Anda di halaman 1dari 90

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Ny.

S DENGAN STROKE HEMORAGIC


DALAM PEMBERIAN CONSTRAINT INDUNCED MOVEMENT THERAPY
(CIMT) MENGGUNAKAN MODEL KEPERAWATAN CALLISTA ROY
DI BANGSAL SYARAF RSUP DR M DJAMIL PADANG

Disusun Oleh:

Aisya Rahmadhanty 2121312008


Yuza Olsi Rahmi 2121312014
Andika Maharani 2121312033

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami sampaikan kehadirat Allah SWT berkat limpahan rahmat dan
karunia-Nya sehingga kelompok dapat menyelesaikan laporan makalah KMB Lanjut
I ini tepat pada waktunya. Laporan makalah ini membahas “Asuhan Keperawatan
Pada Ny. S Dengan Stroke Hemoragic dalam Pemberian Constraint Indunced
Movement Therapy (CIMT) Menggunakan Model Keperawatan Callista Roy di
Bangsal Syaraf RSUP Dr M Djamil Padang”. Laporan ini diajukan untuk memenuhi
salah satu syarat tugas kelompk KMB lanjut I.
Dalam penyusunan laporan ini, kelompok banyak mendapat tantangan dan
hambatan akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan ini bisa teratasi.
Oleh karena itu, kelompok mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam menyusun makalah ini. Semoga bantuannya mendapat balasan yang
setimpal dari Allah SWT.
Kelompok menyadari bahwa laporan makalah ini masih jauh dari sempurna.
Kelompok mengharapkan kritik dan saran yang membangun bagi pembaca. Akhir
kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita semua. Terutama
bagi teman-teman yang ingin meneruskan makalah ini sehingga menjadi lebih baik
lagi.

Padang, Oktober 2021

Kelompok

DAFTAR ISI

ii
KATA PENGANTAR..............................................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...............................................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................................3
C. Tujuan Penulisan............................................................................................3
D. Manfaat Penulisan..........................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Stroke Hemoragik..........................................................................................5
1. Anatomi Fisiologi Otak............................................................................5
2. Pengertian Stroke Hemoragik..................................................................8
3. Klasifikasi................................................................................................8
4. Etiologi.....................................................................................................9
5. Manifestasi Klinis....................................................................................12
6. Patofisiologi ............................................................................................13
7. Pemeriksaan Penunjang...........................................................................17
8. Penatalaksanaan.......................................................................................18
9. Komplikasi...............................................................................................20
B. Constraint Induced Movement Therapy.........................................................21
1. Pengertian Constraint Induced Movement Therapy................................21
2. Tujuan dan Manfaat Constraint Induced Movement Therapy.................22
3. Mekanisme Constraint Induced Movement Therapy...............................23
C. Teori Keperawatan Model Adaptasi Callista Roy.........................................24
1. Konsep Model Adaptasi Callista Roy......................................................24
2. Model Adaptasi Callista Roy dalam Asuhan Keperawatan.....................28
BAB III LAPORAN KASUS
A. Aplikasi Asuhan Keperawatan Adaptasi Roy pada Ny.S dengan Stroke
Hemoragik......................................................................................................40

iii
BAB IV EVIDANCE BASED NURSING
A. Penelusuran Evidance....................................................................................59
B. Pertanyaan Klinis...........................................................................................59
C. Sumber Penelusuran dan Kata Kunci............................................................60
D. Temuan Penelusuran......................................................................................61
E. Telaah Kritisi.................................................................................................64
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan....................................................................................................77
B. Saran..............................................................................................................77
DAFTAR PUSTAKA

iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit degeneratif telah menambah peliknya kondisi kesehatan di berbagai
negara di dunia, yang selama ini didera banyaknya kasus penyakit menular dan
infeksi yang tergolong non degeneratif. Menurut laporan World Health
Organization (WHO), kematian akibat penyakit degeneratif diperkirakan akan
terus meningkat diseluruh dunia. Hingga akhir tahun 2005 penyakit degeneratif
telah menyebabkan kematian hampir 17 juta orang di seluruh dunia. Jumlah ini
menempatkan penyakit degeneratif menjadi penyakit pembunuh manusia
terbesar. Peningkatan terbesar akan terjadi dinegara – negara berkembang dan
negara miskin. Di prediksi pada tahun 2030 akan ada 52 juta jiwa kematian per
tahun atau naik 14 juta jiwa dari 38 juta jiwa. Lebih dari dua per tiga (70%) dari
populasi global akan meninggal akibat penyakit degeneratif (Buletin Kesehatan,
2011). Beberapa penyakit degeneratif yang banyak terjadi dimasyarakat adalah
penyakit jantung koroner, hipertensi, diabetes, stroke dan kanker.
Pada tahun 2016, lebih dari setengah kematian global (54%) disebabkan oleh
10 penyebab kematian, salah satunya adalah penyakit stroke. Stroke menempati
urutan kedua sebagai penyakit penyebab kematian di dunia pada tahun 2016.
Stroke bersama dengan penyakit jantung koroner menjadi penyakit paling
mematikan dengan 15,2 juta kematian(WHO, 2018) Menurut American Heart
Association (AHA), pada tahun 2014 prevalensi stroke mencapai angka 43 juta
pasien di dunia. Stroke adalah penyebab kematian ke-3 di Amerika dengan angka
penderita sebanyak 972.000 pasien/tahun dan pasien yang meninggal sebanyak
149.000 jiwa. Masalah stroke di Indonesia menjadi semakin penting dan
mendesak baik stroke hemoragik maupun stroke non hemoragik. Di Indonesia,
stroke menempati urutan ketiga penyebab kematian setelah penyakit jantung dan
kanker. Berdasarkan data RISKESDAS, 2018 prevalensi stroke berdasarkan
diagnosis dokter pada penduduk umur ≥15tahun sebesar 10,9%. Sedangkan

1
prevalensi di Sumatera Barat sebesar 10,8% menempati posisi ke-1 se-Sumatera
dan posisi ke 13 se-Indonesia (RISKESDAS,2018).
Menurut American Stroke Association (2017), hipertensi adalah faktor risiko
tersering dan utama penyebab kejadian stroke hemoragik nontraumatik atau
perdarahan otak. Semakin tinggi derajat hipertensi, semakin tinggi risiko
perdarahan intraserebral (PIS) pada stroke hemoragik. Insiden hipertensi
meningkat seiring bertambahnya usia sehingga hipertensi penyebab tersering
perdarahan intraserebral spontan pada orang tua. Tanda dan gejala stroke antara
lain senyum tidak simetris, gerak tubuh melemah, bicara pelo, rasa kebas, rabun,
dan sakit kepala yang hebat. Menurut Aprilia (2017) konsekuensi paling umum
dari stroke adalah hemiplegi atau hemiparesis, bahkan 80 persen penyakit stroke
menderita hemiparesis atau hemiplegi yang berarti satu sisi tubuh lemah atau
bahkan lumpuh.
Masalah keperawatan yang muncul akibat stroke hemoragik sangat beragam
tergantung dari luas daerah otak yang mengalami infark atau kematian jaringan
dan lokasinya. Pasien stroke hemoragik yang mengalami afasia dengan masalah
keperawatan gangguan komunikasi verbal tandanya otak sebelah kiri pasien
mengalami gangguan (Johan & Susanto, 2018). Salah satu dampak jika gangguan
komunikasi verbal tidak diatasi yaitu akan manimbulkan kesalahpahaman antara
pasien dengan pelayan kesehatan, komunikasi tidak efektif dan berakibat pada
ketidakmampuan pasien untuk mengekspresikan keadaan dirinya (Batticaca B.
Fransisca, 2008). Pasien Stroke hemoragik yang mengalami gangguan
komunikasi verbal, perlu dilakukan rahabilitasi dengan latihan bicara disartria
maupun afasia. Rehabilitasi yang dapat diberikan pada pasien pasca stroke yang
mengalami gangguan mobilitas fisik salah satunya adalah constraint induced
movement therapy.
Model Adaptasi Roy berasumsi bahwa dasar ilmu keperawatan adalah
pemahaman mengenai proses adaptasi manusia dalam menghadapi situasi
hidupnya. Roy mengidentifikasikan 3 aspek dalam model keperawatannya yaitu

2
pasien sebagai penerima layanan keperawatan, tujuan keperawatan dan intervensi
keperawatan. Masing-masing aspek utama tersebut termasuk didalamnya konsep
keperawatan, manusia, sehat-sakit, lingkungan dan adaptasi. Konsep adaptasi
diasumsikan bahwa individu merupakan sistem terbuka dan adaptif yang dapat
merespon stimulus yang datang baik dari dalam maupun luar individu (Roy &
Andrews, 1991 dalam Tomey & Alligood, 2006).
Dengan Model Adaptasi Roy, perawat dapat meningkatkan penyesuaian diri
pasien dalam menghadapi tantangan yang berhubungan dengan sehat-sakit,
meningkatkan penyesuaian diri pasien menuju adaptasi dalam menghadapi
stimulus. Perawat berperan sebagai pemberi pelayanan kesehatan, pendidikan,
pemberi asuhan keperawatan, pembaharuan, pengorganisasi pelayanan kesehatan
yang khususnya adalah sebagai pemberi asuhan keperawatan untuk pemulihan
pasien. Berdasarkan latar belakang ini, kelompok tertarik untuk membuat studi
kasus dengan judul “Asuhan Keperawatan Ny. S Dengan Stroke Hemoragic
Dengan Model Keperawatan Callista Roy di Bangsal Syaraf RSUP Dr M Djamil
Padang”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas, kelompok mengambil
rumusan masalah bagaimana asuhan keperawatan Ny. S dengan stroke hemoragic
dengan model keperawatan Callista Roy di bangsal syaraf RSUP Dr M Djamil
Padang serta Evidance based nursing terkait terapi modalitas pada pasien SH?
C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui asuhan keperawatan yang dapat diberikan pada Ny. S
dengan stroke hemoragik menggunakan model keperawatan Callista Roy di
bangsal syaraf RSUP Dr M Djamil Padang serta penerapan evidence based
nursing dalam intervensi keperawatan pada pasien SH.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui konsep teori scara umum terkait Stroke Hemoragic

3
b. Untuk mengetahui konsep teori scara umum terkait pendekatan model
keperawatan Calista Roy
c. Untuk mengetahui asuhan keperawatan Ny.S dengan Stroke Hemoragic
menggunakan pendekatan model keperawatan Callista Roy di bangsal
syaraf RSUP Dr M Djamil Padang
d. Untuk mengetahui Evidences based nursing terkait terapi modalitas pada
pasien SH
D. Manfaat Penulisan
1. Bagi penulis
Melatih kelompok untuk menyusun hasil pemikiran, asuhan keperawatan, dan
membuat evidence based nursing, serta membantu kelompok
mengembangkan pengetahuan, wawasannya dan menambah pengalaman
nyata dalam asuhan keperawatan pada pasien yang menderita stroke
hemoragik.
2. Bagi institusi pendidikan
Hasil penulisan kelompok diharapkan dapat digunakan sebagai bahan
referensi dan bacaan sehingga dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan
pembaca, khususnya tentang asuhan keperawatan Ny.S dengan Stroke
Hemoragic menggunakan model keperawatan Callista Roy di bangsal syaraf
RSUP Dr M Djamil Padang dan Evidance Based Nursing.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Stroke Hemoragic
1. Anatomi Fisiologi Otak
a. Anatomi
Otak merupakan pusat kendali fungsi tubuh yang rumit dengan sekitar
100 millar sel saraf, walaupun berat total otak hanya sekitar 2,5% dari
berat tubuh, 70 % oksigen dan nutrisi yang diperlukan tubuh ternyata
digunakan oleh otak. Berbeda dengan otak dan jaringan lainya.

Gambar 2.1 Anatomi Otak


Otak merupakan bagian utama dari sistem saraf, dengan komponen
bagiannya adalah:
a) Cerebrum
Bagian otak yang terbesar yang terdiri dari sepasang hemisfer kanan
dan kiri dan tersusun dari korteks. Korteks ditandai dengan sulkus
(celah) dan girus (Ganong, 2003). Cerebrum dibagi menjadi beberapa
lobus, yaitu:
1) Lobus Frontalis, berperan sebagai pusat fungsi intelektual yang
lebih tinggi, seperti kemampuan berpikir abstrak dan nalar, bicara,
pusat penghidu, dan emosi. Pada lobus ini terdapat daerah broca
yang mengatur ekspresi bicara, lobus ini juga mengatur gerakan

5
sadar, perilaku sosial, berbicara, motivasi dan inisiatif (Purves
dkk, 2004).
2) Lobus Temporalis, mencakup bagian korteks serebrum yang
berjalan ke bawah dari fisura laterali dan sebelah posterior dari
fisura parieto-oksipitalis (White, 2008). Lobus ini berfungsi untuk
mengatur daya ingat verbal, visual, pendengaran dan berperan
dalam pembentukan dan perkembangan emosi.
3) Lobus parietalis, merupakan daerah pusat kesadaran sensorik di
area sensorik primer untuk rasa raba dan pendengaran (White,
2008).
4) Lobus oksipitalis, berfungsi untuk pusat penglihatan dan area
asosiasi penglihatan: menginterpretasi dan memproses rangsang
penglihatan dari nervus optikus dan mengasosiasikan rangsang ini
dengan informasi saraf lain & memori (White, 2008).
5) Lobus Limbik, berfungsi untuk mengatur emosi manusia, memori
emosi dan bersama hipothalamus menimbulkan perubahan melalui
pengendalian atas susunan endokrin dan susunan otonom (White,
2008).
b) Cerebellum
Cerebellum memiliki peran koordinasi yang penting dalam fungsi
motorik yang didasarkan pada informasi somatosensori yang diterima,
inputnya 40 kali lebih banyak dibandingkan output. Cerebellum
merupakan pusat koordinasi untuk keseimbangan dan tonus otot.
(Purves, 2004).
c) Brainstem
Berfungsi mengatur seluruh proses kehidupan yang mendasar.
Berhubungan dengan diensefalon diatasnya dan medulla spinalis
dibawahnya. Struktur-struktur fungsional batang otak yang penting
adalah jaras asenden dan desenden traktus longitudinalis antara

6
medulla spinalis dan bagian-bagian otak, anyaman sel saraf dan 12
pasang saraf cranial.
b. Fisiologis
Darah mengangkut zat asam, makanan dan substansi lainnya yang
diperlukan bagi fungsi jaringan hidup yang baik. Kebutuhan otak sangat
mendesak dan vital, suplai darah arteri ke otak merupakan suatu jalinan
pembuluh-pembuluh darah yang bercabang-cabang, berhubungan erat
satu dengan yang lain sehingga dapat menjamin suplai darah yang
adekuat untuk sel (Wilson, et al., 2002).
a) Peredaran Darah Arteri
Suplai darah ini dijamin oleh dua pasang arteri, yaitu arteri vertebralis
dan arteri karotis interna. Arteri karotis interna dan eksterna bercabang
dari arteri karotis komunis yang berakhir pada arteri serebri anterior
dan arteri serebri medial. Di dekat akhir arteri karotis interna, dari
pembuluh darah ini keluar arteri communicans posterior yang bersatu
kearah kaudal dengan arteri serebri posterior. Arteri serebri anterior
saling berhubungan melalui arteri communicans anterior. Arteri
vertebralis kiri dan kanan berasal dari arteria subklavia sisi yang sama.
Arteri subklavia kanan merupakan cabang dari arteria inominata,
sedangkan arteri subklavia kiri merupakan cabang langsung dari aorta.
Arteri vertebralis memasuki tengkorak melalui foramen magnum,
setinggi perbatasan pons dan medula oblongata. Kedua arteri ini
bersatu membentuk arteri basilaris (Wilson, et al., 2002).
b) Peredaran Darah Vena
Aliran darah vena dari otak terutama ke dalam sinus-sinus duramater,
suatu saluran pembuluh darah yang terdapat di dalam struktur
duramater. Sinus-sinus duramater tidak mempunyai katup dan
sebagian besar berbentuk triangular. Sebagian besar vena cortex
superfisial mengalir ke dalam sinus longitudinalis superior yang

7
berada di medial. Dua buah vena cortex yang utama adalah vena
anastomotica magna yang mengalir ke dalam sinus longitudinalis
superior dan vena anastomotica parva yang mengalir ke dalam sinus
transversus (Wilson, et al., 2002).
2. Pengertian Stroke Hemoragik
Stroke adalah gangguan perfusi jaringan serebral yang disebabkan oklusi
(sumbatan), embolisme serta perdarahan (patologi dalam otak itu sendiri
bukan karena faktor luar) yang dapat mengakibatkan gangguan permanen
atau sementara (Rosjidi & Nurhidayat, 2014).
Stroke hemoragik adalah pecahnya pembuluh darah di otak sehingga
aliran darah menjadi tidak normal dan darah yang keluar merembes masuk ke
dalam suatu daerah di otak dan merusaknya (Amanda, 2018). Stroke
hemoragik merupakan disfungsi neurologis fokal yang akut dan disebabkan
oleh perdarahan pada substansi otak yang terjadi secara spontan bukan oleh
karena trauma kapitis, akibat pecahnya pembuluh arteri dan pembuluh kapiler
(Nugraha, 2018). Stroke hemoragik adalah jenis stroke yang penyebabnya
adalah pecahnya pembuluh darah di otak atau bocornya pembuluh darah otak.
Terjadi karena tekanan darah otak yang mendadak, meningkat dan menekan
pembuluh darah, sehingga pembuluh darah tersumbat, tidak dapat menahan
tekanan tersebut (Wati, 2019).
3. Klasifikasi Stroke Hemoragik
Menurut Indrawati dkk., (2016) Klasifikasi stroke hemoragik dibedakan atas
dua kelompok yaitu sebagai berikut :
a. Perdarahan Intraserebral
Diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah intraserebral sehingga darah
keluar dari pembuluh darah dan kemudian masuk ke dalam jaringan otak.
Pada stroke jenis ini pembuluh darah pada otak pecah dan darah
membasahi jaringan otak. Darah ini sangat mengiritasi jaringan otak
sehingga menyebabkan spasme atau menyempitnya arteri di sekitar

8
tempat perdarahan. Sel- sel otak yang berada jauh dari tempat perdarahan
juga akan mengalami kerusakan karena aliran darah terganggu. Selain itu,
jika volume darah yang keluar lebih dari 50 ml maka dapat terjadi proses
desak ruang yakni rongga kepala yang luasnya tetap, “diperebutkan” oleh
darah “pendatang baru” dan jaringan otak sebagai “penghuni lama”.
Biasanya pada proses desak ruang ini, jaringan otak yang relatif lunak
mengalami kerusakan akibat penekanan oleh jendela darah.
b. Perdarahan Subarakhnoid
Perdarahan subarakhnoid adalah masuknya darah ke ruang subarachnoid
baik dari tempat lain (perdarahan subarachnoid sekunder) dan sumber
perdarahan berasal dari rongga subarachnoid itu sendiri/perdarahan
subarachnoid primer. Perdarahan yang terjadi di pembuluh darah yang
terdapat pada pembungkus selaput pembungkus otak. Selanjutnya, darah
mengalir keluar mengisi rongga antara tulang tengkorak dan otak. Sama
seperti perdarahan intraserebral, darah yang keluar dapat menyebabkan
spasme arteri sekitar tempat perdarahan, mengiritasi jaringan sekitar, serta
menyebabkan proses desak ruang.
4. Etiologi Stroke Hemoragik
Terhalangnya suplai darah ke otak pada stroke perdarahan (stroke
hemoragik) disebabkan oleh arteri yang mensuplai darah ke otak pecah.
Penyebabnya misalnya tekanan darah yang mendadak tinggi dan atau oleh
stress psikis berat. Peningkatan tekanan darah yang mendadak tinggi juga
dapat disebabkan oleh trauma kepala atau peningkatan tekanan lainnya,
seperti mengedan, batuk keras, mengangkat beban, dan sebagainya.
Pembuluh darah pecah umumnya karena arteri tersebut berdinding tipis
berbentuk balon yang disebut aneurisma atau arteri yang lecet bekas plak
aterosklerotik (Junaidi, 2011). Selain hal-hal yang disebutkan diatas, ada
faktor-faktor lain yang menyebabkan stroke (Arum, 2015) diantaranya:
a. Faktor Resiko Medis

9
Faktor risiko medis yang memperparah stroke adalah:
1) Arteriosklerosis (pengerasan pembuluh darah)
2) Adanya riwayat stroke dalam keluarga (factor keturunan)
3) Migran (sakit kepala sebelah)
b. Faktor Resiko Perilaku
Perilaku menerapkan gaya hidup dan pola makan yang tidak sehat :
1) Kebiasaan merokok
2) Mengosumsi minuman bersoda dan beralkohol
3) Sering menyantap makanan siap saji (fast food/junkfood)
4) Kurangnya aktifitas gerak/olahraga
5) Suasana hati yang tidak nyaman, seperti sering marah tanpa alasan
yang jelas
c. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi
1) Hipertensi (tekanan darah tinggi)
Tekanan darah tinggi merupakan peluang terbesar terjadinya stroke.
Hipertensi mengakibatkan adanya gangguan aliran darah yang mana
diameter pembuluh darah akan mengecil sehingga darah yang
mengalir ke otak pun berkurang. Dengan pengurangan aliran darah ke
otak, maka otak kekurangan suplai oksigen dan glukosa, lama
kelamaan jaringan otak akan mati.
2) Penyakit Jantung
Penyakit jantung koroner dan infark miokard menjadi faktor terbesar
terjadinya stroke. Jantung merupakan pusat aliran darah tubuh. Jika
pusat pengaturan rusak, maka aliran darah tubuh pun menjadi
terganggu, termasuk aliran darah menuju otak.
3) Diabetes Melitus
Pembuluh darah pada penderita diabetes melitus umumnya lebih kaku
atau tidak lentur, karena adanya peningkatan atau penurunan kadar

10
glukosa darah secara tiba-tiba sehingga dapat menyebabkan kematian
otak.
4) Merokok
Orang yang merokok mempunyai kadar fibrinogen darah yang lebih
tinggi dibanding yang tidak merokok. Peningkatan kadar fibrinogen
mempermudah terjadinya penebalan pembuluh darah sehingga
pembuluh darah menjadi sempit dan kaku, sehingga dapat
menyebabkan gangguan aliran darah.
d. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
1) Usia
Semakin bertambahnya usia, semakin besar resiko terjadinya stroke,
karena degenerasi (penuaan). Pada lansia, pembuluh darah lebih kaku
karena banyak penimbunan plak. Penimbunan plak yang berlebih
akan mengakibatkan berkurangnya aliran darah ke tubuh.
2) Jenis Kelamin
Dibanding dengan perempuan, laki-laki cenderung beresiko lebih
besar mengalami stroke. Ini terkait bahwa laki-laki cenderung
merokok. Bahaya terbesar dari rokok adalah merusak lapisan
pembuluh darah pada tubuh.
3) Riwayat Keluarga
Orang dengan riwayat stroke pada keluarga memiliki resiko lebih
besar untuk terkena stroke disbanding dengan orang yang tanpa
riwayat stroke pada keluarganya.
4) Perbedaan Ras
Fakta terbaru menunjukkan bahwa stroke pada orang Afrika- Karibia
dua kali lebih tinggi dari pada orang non-Karibia. Dikarenakan
hipertensi dan diabetes lebih sering terjadi pada orang afrika-karibia
dari pada orang non- Afrika Karibia. Hal ini dipengaruhi juga oleh
factor genetic dan faktor lingkungan.

11
5. Manifetasi Klinis
Menurut Nugraha, 2018, manifestasi klinik stroke hemoragik tergantung dari
sisi atau bagian mana yang terkena, rata-rata serangan, ukuran lesi dan
adanya sirkulasi kolaretal. Pada stroke akut gejala klinis meliputi:
a. Kelumpuhan wajah atau anggota badan sebelah (hemiparesis) atau
hemiplegia (paralisis) yang timbul secara mendadak. Kelumpuhan terjadi
akibat adanya kerusakan pada area motorik di korteks bagian frontal,
kerusakan ini bersifat kontralateral artinya jika terjadi kerusakan pada
hemisfer kanan maka kelumpuhan otot pada sebelah kiri. Pasien juga
akan kehilangan kontrol otot vulenter dan sensorik sehingga pasien tidak
dapat melakukan ekstensi maupun fleksi.
b. Gangguan sensibilitas pada satu atau lebih anggota badan, terjadi karena
kerusakan sistem saraf otonom dan gangguan saraf sensorik
c. Penurunan kesadaran (Konfusi, delirium, letargi, stupor, atau koma).
Terjadi akibat perdarahan, kerusakan otak kemudian menekan batang otak
atau terjadinya gangguan metabolik otak akibat hipoksia.
d. Afasia (kesulitan dalam berbicara) adalah defisit komunikasi verbal,
termasuk dalam membaca, menulis memahami bahasa. Afasia terjadi jika
terdapat kerusakan pada area pusat bicara primer yang berada pada
hemisfer kiri dan biasanya terjadi pada stroke dengan gangguan pada
arteri middle serebral kiri. Afasia dibagi menjadi tiga yaitu afasia
motorik, sensorik dan global. Afasia motorik terjadi pada Area Broca,
yang terletak pada lobus frontal otak. Pada afasia jenis ini pasien dapat
memahami lawan bicara tetapi pasien tidak dapat mengungkapkan lewat
bicara. Afasia sensorik terjadi karena kerusakan pada Area Wernicke,
yang terletak pada lobus temporal. Pada afasia sensorik pasien tidak
mampu menerima stimulasi pendengaran tetapi pasien mampu
mengungkapkan pembicaraan, sehingga respon pembicaraan pasien tidak
nyambung atau koheren. Pada afasia global pasien dapat merespon

12
pembicaraan dengan baik menerima maupun mengungkapkan
pembicaraan.
e. Disatria (bicara cadel atau pelo) merupakan kesulitan bicara terutama
dalam artikulasi sehingga ucapannya menjadi tidak jelas. Namun pasien
dapat memahami pembicaraan, menulis, mendengarkan maupun
membaca. Disatria terjadi karena kerusakan nervus kranial sehingga
terjadi kelemahan dari otot bibir, lidah dan laring.
f. Gangguan penglihatan (diplopia) dimana pasien dapat kehilangan
penglihatan atau juga pandangan menjadi ganda, gangguan lapang
pandang pada salah satu sisi. Dikarenakan kerusakan pada lobus temporal
atau pariental yang dapat menghambat serat saraf optik ada korteks
oksipital. Gangguan penglihatan juga dapat disebabkan karena kerusakan
pada saraf kranial II, IV dan VI.
g. Disfagia atau kesulitan menelan terjadi karena kerusakan nervus kranial
IX.
h. Inkontenesia bowel maupun bladder sering terjadi, karena tergangguanya
saraf yang mensyarafi bladder dan bowel.
i. Vertigo seperti mual, muntah, dan nyeri kepala, terjadi karena
peningkatan tekanan intrakranial, edema serebri.
6. Patofisiologi
Faktor resiko stroke seperti gaya hidup, diabetes melitus, riwayat penyakit
jantung dapat menyebabkan kerja norepinefrin dipembuluh darah meningkat
sehingga tekanan darah meningkat. Hipertensi yang terus menerus dapat
mengakibatkan timbulnya penebalan dan degeneratif pembuluh darah yang
dapat menyebabkan rupturnya arteri serebral sehingga perdarahan menyebar
dengan cepat dan menimbulkan perubahan setempat serta iritasi pada
pembuluh darah otak. Perubahan yang terus berlanjut ini dapat menyebabkan
pembuluh darah otak (serebral) pecah sehingga terjadi stroke hemoragik
(Rahmayanti, 2019).

13
Mekanisme yang sering terjadi pada stroke perdarahan intraserebral
adalah faktror dinamik yang berupa peningkatan tekanan darah. Hipertensi
kronis menyebabkan pembuluh darah arteriol yang berdiameter 100-400
mikrometer mengalami perubahan patologik. Perubahan tersebut berupa
lipohyalinosis, fragmentasi, nekrosis, dan mikroaneurisma pada arteri di otak.
Kenaikan tekanan darah secara mendadak dapat menginduksi pecahnya
pembuluh darah dan akan menyebabkan perdarahan. Menurut Munir (2015),
pecahnya pembuluh darah otak mengakibatkan darah masuk ke dalam
jaringan otak, membentuk massa atau hematom yang menekan jaringan otak
dan menimbulkan oedema di sekitar otak. Peningkatan Transient Iskemic
Attack (TIA) terjadi dengan cepat dapat mengakibatkan kematian yang
mendadak karena herniasi otak. Perdarahan Intraserebral sering dijumpai di
daerah pituitary glad, thalamus, sub kartikal, lobus parietal, nucleus
kaudatus, pons, dan cerebellum. Hipertensi kronis mengakibatkan perubahan
struktur dinding pembuluh darah berupa lipohyalinosis atau nekrosis fibrinoid
(Perdana, 2017).
Aneurisma paling sering di dapat pada percabangan pembuluh darah
besar di sirkulasi willis sedangkan AVM (Arteriovenous Malformatio) dapat
dijumpai pada jaringan otak di permukaan pia meter dan ventrikel otak,
ataupun di dalam ventrikel otak dan ruang subarachnoid (Perdana, 2017).
Awal aneurisma adalah adanya kantong kecil melalui arteri media yang
rusak. Kerusakan ini meluas akibat tekanan hidrostatik dari aliran darah
pulsatif dan turbulensi darah, yang paling besar berada di bifurcatio atrei.
Suatu anuerisma matur memiliki sedikit lapisan media, diganti dengan
jaringan ikat, dan mempunyai lamina elastika yang terbatas atau tidak ada
sehingga mudah terjadi ruptur. Saat aneurisma ruptur, terjadi ekstravasasi
darah dengan tekanan arteri masuk ke ruang subarachnoid dan dengan cepat
menyebar melalui cairan serebrospinal mengelilingi otak dan medulla

14
spinalis. Ekstravasasi darah menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial
(TIK) global dan mengiritasi meningeal (Munir, 2015).
Peningkatan TIK yang mendadak juga mengakibatkan perdarahan
subarachnoid pada retina dan penurunan kesadaran. Perdarahan
subarachnoid dapat mengakibatkan vasopasme pembuluh darah serebral.
Vasopasme ini seringkali terjadi 3-5 hari setelah perdarahan, puncaknya hari
ke 5-9, dan dapat menghilang setelah minggu ke 2-5. Timbulnya vasopasme
diduga karena interaksi antara bahan-bahan yang berasal dari darah dan
dilepaskan ke dalam cairan serebrospinalis dengan pembuluh darah arteri di
ruang subarachnoid. Ini dapat mengakibatkan disfungsi otak global (nyeri
kepala, penurunan kesadaran) maupun fokal (hemiparese, gangguan
hemisensorik, afasia, dan lain-lain). Otak dapat berfungsi jika kebutuhan O2
dan glukosa otak dapat terpenuhi. Otak tidak punya cadangan O2 jadi
kerusakan, kekurangan aliran darah otak walau sebentar akan menyebabkan
gangguan fungsi (Wati, 2019).
Perdarahan subarachnoid (PSA) yang mengacu pada perdarahan otak di
bawah arachnoid, sering menyebabkan onset cepat defisit neurologis dan
hilangnya kesadaran. Perdarahan subarachnoid akan direspon tubuh dengan
cara mengkonstraksi pembuluh darah (vasokonstriksi atau vasospasme) yang
diransang oleh zat-zat yang bersifat vasokonstriksi seperti serotonin,
prostaglandin, dan produk pecahan darah lainnya. Keadaan ini akan memicu
ion kalsium untuk masuk kedalam sel otot polos pembuluh darah. Akhirnya
terjadi kematian pada sel saraf dan menyebabkan kehilangan control
mengakibatkan terjadinya hemiplegi dan hemiparesis. Hemiplegi dan
hemiparesis dapat mengakibatkan kelemahan pada alat gerak dan
menyebabkan keterbatasan dalam pergerakan fisik pada ekstremitas sehingga
muncul masalah keperawatan hambatan mobilitas fisik (Black dan Hawks,
2014).

15
Pathway Hipertensi aneurisma

Peningkatan
viskositas darah Adanya titik lemah dlm dinding
arteri cerebral
Peningkatan tekanan
intravaskuler
Rupture aneurisma

Pembuluh darah serebral pecah

Perdarahan

Hematoma cerebral

Darah masuk ke Perdarahan Perdarahan Menurunnya suplay darah ke otak


dlm jaringan otak intraserebri (PIS) subarachnoid (PSA)

Perfusi jar. Cerebral tdk adekuat


Darah mengiritasi jaringan sekitar, terjadi lesi dan spasme arteri

Peningkatan TIK Peningkatan TIK Iskemik/ infark jar. otak


Nyeri akut

Herniasi serebral Vasospasm pembuluh Ketidakefektifan


darah cerebral perfusi jar. serebral

Gg. Fungsi brainstem Gg. Fungsi


Disfungsi otak fokal
thalamus cerebrum & Disfungsi otak global
cerebbellum

hemiparesis Afasia; gg
Depresi Depresi Depresi pusat Gg.
pusat Nyeri Penuruanan fungsi bicara
pusat pengantar hemisensorik
pncernaan prnafasan kardiovaskuler kepala kesadaran
Gg.
Respon Gg. Pola Perubaha Komunikasi
GI; Mual, nafas n denyut verbal
Resiko Resiko
muntah Resiko
jatuh aspirasi trauma
Gg. Deficit
Penurunan bedrest
Resiko mobilittas perawatan diri
kardiak
deficit cairan fisik
output
elektrolit Resiko kerusakan
Gg. Perfusi integritas kulit
Penuruanan NI, Penuruanan Penurunan
jaringan
NII, III, IV,VI, NIX, NX, NXI, NXII
perifer
Gg. Persepsi NVII, NVIII NV
sensori Tersedak;
Gg. nutrisi obstruksi jln
krg dri keb. nafas
tubuh Bersihan jln
nafas tdk
efektif

16
7. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Wati (2019), pemeriksaan penunjang pada pasien yang mengalami
stroke hemoragik adalah sebagai berikut:
a. Angiografi serebral. Membantu menentukan penyebab stroke secara
spesifik misalnya pertahanan atau sumbatan arteri, meperlihatkan secara
tepat letak oklusi atau ruptur.
b. Computer Tomography scan-CT scan; mengetahui adanya tekanan
normal dan adanya trombosis, emboli serebral, dan tekanan intracranial.
Peningkatan TIK dan cairan yang mengandung darah menunjukkan
adanya perdarahan subarakhnoid dan perdarahan intrakranial. Kadar
protein total meningkat, beberapa kasus trombosis disertai proses
inflamasi.
c. Fungsi lumbal. Pemeriksaan ini menunjukkan terlihatnya darah atau
siderofag secara langsung pada cairan serebrospinal.
d. Magnetic Resonance Imaging (MRI). Menunjukkan daerah infark,
perdarahan, malformasi arteriovena (MAV).
e. Ultrasonografi doppler (USG doppler). Mengidentifikasi penyakit
arteriovena (masalah sistem arteri karotis/aliran darah atau timbulnya
plak) dan arterioklerosis (Munir, 2015). Pemeriksaan sinar x kepala dapat
menunjukkan perubahan pada glandula pineal pada sisi yang berlawanan
dari massa yang meluas, klasifikasi karotis internal yang dapat dilihat
pada trombosis serebral, klasifikasi parsial pada dinding aneurisme pada
perdarahan subaraknoid.
f. Elektroensefalogram (EEG). Mengidentifikasi masalah pada gelombang
otak dan memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.
g. Sinar tengkorak. Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pienal
daerah yang berlawanan dan massa yang meluas, klasifikasi karotis

17
interna terdapat pada trombosis serebral; kalsifikasi parsial dinding
aneurisma pada perdarahan subarakhnoid.
h. Pemeriksaan Laboratorium
a) Pemeriksaan gula darah: gula darah bisa meningkat karena keadaan
hiperglikemia.
8. Penatalaksanaan
Menurut Wati (2019), penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada pasien
yang mengalami stroke hemoragik adalah sebagai berikut:
a. Terapi Stroke Hemoragik Pada Serangan akut
1) Saran operasi diikuti dengan pemeriksaan.
2) Masukan pasien ke unit perawatan saraf untuk dirawat di bagian
bedah saraf.
3) Pada stroke hemoragik, terutama disebabakan SAH, manajemen
cairan merupakan prioritas, sehingga pasien berada dalam status
euvolemi dengan pemberian cairan isotonik. Tidak dianjurkan
menggunakan cairan hipotonik karena dapat mencetuskan atau
memperberat edema serebral yang terjadi, dan larutan yang
mengandung glukosa sebaiknya tidak diberikan kecuali pasien berada
dalam keadaan hipoglikemik.
4) Penatalaksanaan umum di bagian saraf; Neuroprotektor yang umum
digunakan pada pasien stroke adalah citicolin dan piracetam.
Berdasarkan penelitian penggunaan neuroprotektor memberikan
luaran yang signifikan terhadap kesadaran, fungsi kognitif, dan
motorik pada pasien stroke. Citicolin dengan dosis 2 x 250 mg
maupun 2 x 500 mg memberikan nilai GCS yang tidak jauh berbeda
baik pada pasien stroke iskemik maupun stroke hemoragik.

18
b. Neurologis
1) Pengawasan tekanan darah dan konsentrasinya; American Heart
Association (AHA) merekomendasikan pengelolaan tekanan darah
pada pasien perdarahan intraserebral, dengan memilih target tekanan
darah sesuai dengan faktor-faktor yang ada pada pasien, yaitu tekanan
darah awal, penyebab dicurigai perdarahan, usia, dan peningkatan
tekanan intrakranial. Alasan utama untuk untuk menurunkan tekanan
darah adalah untuk menghindari perdarahan akibat rupture aneurisma
atau malformasi arteriovenosa, dimana terjadi peningkatan risiko
perdarahan berlanjut atau perdarahan berulang. Pemberian
antihipertensi jika didapatkan tekanan darah yang tinggi diberikan
dengan pertimbangan bukan hanya terhadap otak saja, tetapi juga
terhadap kerusakan organ lain. Meskipun demikian jika tekanan
darahnya rendah pada pasien yang mempunyai riwayat hipertensi
pada fase akut serangan stroke, menandakan deteriorasi neurologis
dini atau peningkatan volume infark dan outcome yang buruk pada
bulan pertama saat serangan, khususnya penurunan tekanan darah
sistolik lebih dari 20 mmHg.
2) Kontrol adanya edema yang dapat menyebabkan kematian jaringan
otak.
c. Terapi perdarahan dan perawatan pembuluh darah
a) Antifibrinolitik untuk meningkatkan mikrosirkulasi dosis kecil.
b) Natrii Etamsylate
c) Kalsium, Profilaksis vasopasme
d) Pengawasan tekanan darah dan kosentrasinya.
e) Perawatan umum pasien dengan serangan stroke akut; Pengaturan
suhu, atur suhu ruangan menjadi 18-200C, Pemantauan keadaan

19
umum pasien (EKG, nadi, saturasi O2 PO2, PCO2) dan Pengukuran
suhu tiap dua jam.
d. Terapi Non-farmakologi
1) Pengaturan Posisi
Pengaturan posisi pasien di tempat tidur setiap dua jam untuk
memberi peluang tubuh beraktivitas secara pasif, dan
memaksimalkan pengembangan paru serta mencegah terjadinya
dekubitus, tetapi jika membalikkan tubuh pasien terlalu sering
dikhawatirkan akan meningkatkan tekanan intrakranial, oleh
karena itu dilakukan perubahan posisi dalam selang waktu 2 jam.
2) Akupresur
Akupresur yang juga biasa disebut dengan pijat akupuntur adalah
metode pemijatan berdasarkan ilmu akupuntur tanpa
menggunakan jarum (Sukanta, 2008). Akupresur merupakan
terapi yang aman diberikan karena tidak melibatkan penggunaan
teknik invasif, hanya menggunakan jempol, jari atau siku untuk
menekan ke titik tubuh terentu.
9. Komplikasi
Menurut Rahmayanti (2019) komplikasi yang dapat terjadi pada pasien stroke
hemoragik adalah sebagai berikut :
a. Fase akut
1) Hipoksia serebral dan menurunnya aliran darah otak. Pada area otak
yang infark atau terjadi kerusakan karena perdarahan maka terjadi
gangguan perfusi jaringan akibat terhambatnya aliran darah otak.
Tidak adekuatnya aliran darah dan oksigen mengakibatkan hipoksia
jaringan otak.
2) Edema serebri; merupakan respon fisiologis adanya trauma jaringan.
Edema terjadi jika pada area yang mengalami hipoksia atau iskemik

20
maka tubuh akan meningkatkan aliran darah pada lokasi tersebut
dengan cara vasodilatasi pembuluh darah dan meningkatkan tekanan
sehingga cairan interstresial akan berpindah ke ekstraseluler sehingga
terjadi edema jaringan otak.
3) Peningkatan Tekanan Intrakranial (TIK); bertambahnya massa pada
otak seperti adanya perdarahan atau edema otak akan meningkatkan
tekanan intrakranial yang ditandai adanya defisit neurologi.
Peningkatan teakanan intrakranial yang tinggi dapat mengakibatkan
herniasi serebral yang dapat mengancam kehidupan.
4) Aspirasi. Pasien stroke dengan gangguan kesadaran atau koma sangat
rentan terhadap adanya aspirasi karena tidak adanya reflek batuk dan
menelan.
b. Komplikasi pada masa pemulihan atau lanjut
1) Komplikasi yang sering terjadi pada masa lanjut atau pemulihan,
biasanya terjadi akibat immobilisasi seperti pneumonia, dekubitus,
kontraktur, thrombosis vena dalam, atropi, inkontinensia urine.
2) Kejang, terjadi akibat kerusakan atau gangguan pada aktifitas listrik
otak.
3) Nyeri kepala kronis seperti migraine, nyeri kepala tension, nyeri
kepala clauster.
4) Malnutrisi, karena intake yang tidak adekuat.
B. Constraint Indunced Movement Therapy
1. Pengertian Constraint Indunced Movement Therapy
Constraint Induced Movement Therapi (CIMT) dikembangkan oleh
Edward Taub di University of Alabama di Birmingham. Edward Taub
menyebutkan CIMT merupakan multifaset teknik neurorehabilitation yang
bertujuan untuk meningkatkan fungsi motorik dan meningkatkan penggunaan
ekstremitas atas yang mengalami hemiparese (Wittenberg & Schaechter,

21
2009). Constraint Induced Movement Therapy (CIMT) adalah program
rehabilitasi yang pendekatannya meningkatkan ketrampilan dan kemampuan
dari ekstremitas yang memiliki gangguan penggunaan (sisi yang sakit) untuk
aktifitas setelah stroke, terutama di situasi kehidupan aktivitas sehari-hari.
CIMT atau CI Therapy adalah sebuah teknik rehabilitasi yang dirancang
untuk mengurangi masalah fungsi ekstrimitas atas lengan dan tangan pada
pasien stroke, dan cocok untuk dewasa dengan hemiplegia dengan kelemahan
salah satu lengan dari yang lain, gerakan yang menghalangi pada ektrimitas
yang kurang terkena dengan memakai selempang (sling) atau sarung tangan
pelatihan, konsentrasi dan latihan berulang pada anggota gerak yang terkena/
paresis dengan 90 %. (McDermott, 2017)
2. Tujuan dan Manfaat Constraint Induced Movement Therapy
Pelatihan CIMT merupakan salah satu teknik dalam neurorehabilitasi
yang bertujuan meningkatkan fungsi motorik dan meningkatkan penggunaan
ekstremitas atas hemiparetik dalam kegiatan sehari-hari (Wittenberg dan
Schaechter, 2009). Selain itu Constraint Induced Therapy juga mempunyai
tujuan untuk meningkatkan aktifitas pada hemisper yang tidak dominan dan
menurunkan aktifitas pada hemisper yang dominan. Hal ini mungkin dapat
dilihat sebagai bentuk “CIMT yang terpusat” yaitu memaksa kenaikan
rangsangan dalam hemisper yang kurang digunakan (dalam kasus ini, dalam
hemisper yang tidak dominan) dimana terjadi induksi perubahan rangsangan
kortikal melalui modulasi perifer (Williams dkk., 2010).
Diharapkan dengan latihan kemampuan fungsional yang berulangulang
pasien mampu mengembalikan kemampuan fungsional yang terganggu
dengan teori plastisitas otak dan konsep neurologis yaitu apabila terdapat
perbaikan neurologis maka akan dapat memperbaiki kemampuan fungsional
begitu juga sebaliknya.

22
3. Mekanisme Constraint Induced Movement Therapy
Constraint Induced Movement Therapy (CIMT) adalah program
rehabilitasi yang pendekatannya meningkatkan ketrampilan dan kemampuan
dari ekstremitas yang memiliki gangguan penggunaan (sisi yang sakit) untuk
aktifitas setelah stroke, terutama disituasi kehidupan aktivitas sehari-hari.
Para peneliti rehabilitasi dan dokter menyimpulkan CIMT adalah sebuah
program terapi dengan penahanan/pengekangan yang dilakukan di lengan
yang sehat dan sisi yang sakit sebagai anggota gerak aktif utama dalam
ekstremitas atas sebagai perbaikan dalam fungsi motorik setelah terjadi stroke
(Morris et al., 2006).
Fokus dari CIMT pada tangan hemiplegi dimana pada sisi tangan yang
kurang terpengaruh diberi tahanan terkendali sedangkan pada sisi tangan
yang lebih terpengaruh diberikan latihan secara terstruktur. Intervensi
dilakukan selama dua jam perhari, tujuh hari selama seminggu sampai dengan
dua bulan dan umpan balik pengukuran fungsi motorik tangan dievaluasi
dengan menggunakan WMFT sebagai alat ukur primer sedangkan Motor
Activity Log (MAL) dan Fugl-Meyer Assessment (FMA) digunakan sebagai
alat ukur sekunder. Pada CIMT dilakukan latihan secara intensif pada bagian
tangan yang lemah disaat yang bersamaan memberi tahanan untuk tidak
menggunakan sisi tangan yang kuat. Sisi tangan yang kuat biasanya dapat
dibungkus atau diselimuti oleh kain lunak atau menggunakan gendongan
lengan (arm-sling) selama sebagian atau sepanjang hari, guna mendorong
agar penderita tersebut menggunakan sisi tangan yang lemah dalam
menyelesaikan aktifitas sehari-hari dan suatu tugas pekerjaan menyiapkan
makan dan minum, aktifitas bermain seperti melempar bola, menulis, dan
berjalan. Umumnya CIMT ini pula perlu dilakukan secara intensif, latihan
yang dilakukan secara berulang-ulang pada bagian sisi tangan yang lemah
dan biasanya diberikan selama 90% waktu bangun dalam sehari (sekitar tiga

23
belas jam sehari) periode selama dua minggu, hal ini dapat dilakukan di
klinik, di rumah, dan dimanapun saja ia ingin berada.
CIMT dengan latihan yang intensitas, konsentrasi, durasi & banyaknya
latihan merupakan faktor yang penting dalam membuat perubahan dalam
fungsi motor dan organisasi otak. CIMT membangkitkan plastisitas neuronal
pada pasien stroke, meningkatkan jumlah neuron yang berhubungan dengan
pergerakan ekstremitas yang hemiparesis pada stroke. Karena stimulasi
berulang atau hasil aktivasi peningkatan rangsangan dan fasilitasi transmisi
sinapsis yang relevan, pengulangan latihan dapat menyebabkan peningkatan
kinerja dan pembelajaran. Dengan demikian, sinaptik transmisi dan
efektivitas koneksi sinaptik yang terus menerus berulang akan membuat
sistem saraf pusat dan perifer bekerja (Kim et al, 2004).
C. Model Adaptasi Calista Roy
1. Konsep Model Adaptasi Calista Roy
Calista Roy dalam model adaptasi mengambarkan tentang 4 konsep
utama yaitu konsep tentang manusia, lingkungan, kesehatan dan keperawatan
beserta preposisi-preposisi yang tertuang dalam 4 konsep tersebut. Berikut
skema hubungan keempat konsep dalam model adaptasi Roy:

Umpan balik

INPUT/ PROSES MEKANISME EFEKTOR


STIMULUS KOPING PERILAKU OUTPUT/
1. Stimulus fokal A. Regulator kimia, RESPON
1. Fungsi fisiologis
2. Stimulus neural atau endokrin
2. Konsep diri 1. Adaptif
kontekstual B. Kognator (persepsi,
3. Fungsi peran 2. inefektif
3. Stimulus pembelajaran,
4. Interdependence
residual keputusan dan emosi)

Umpan balik

Bagan 2.2 Skema model adaptasi Roy

24
1) Manusia
Menurut Roy manusia merupakan sistem adaptif yang mempunyai
kemampuan beradaptasi terhadap kompleksitas masalah sepanjang
kehidupannya. Manusia sebagai sistem adaptif selalu mendapat input
berupa stimulus eksternal dan internal. Stimulus eksternal berasal dari
lingkungan disekitar manusia, sedangkan stimulus internal adalah berasal
dari dalam diri manusia. Setiap manusia mempunyai kemampuan
adaptasi dalam berbagai tingkatan level. Tingkatan adaptasi ini sangat
mempengaruhi kemampuan manusia berespon positif terhadap suatu
situasi. Stimulus menurut Roy dibedakan menjadi tiga yaitu:
a. Stimulasi fokal
Stimulus fokal adalah stimulus internal dan eksternal yang dengan
segera menyadarkan sistem individu untuk beradaptasi seperti
injuri dan nyeri. Stimulus fokal berdampak langsung pada individu,
sehingga memberikan kesadaran yang cepat untuk bereaksi dan
beradaptasi.
b. Stimulasi kontesktual
Stimulus kontekstual adalah stimulus lainnya yang terdapat dalam
suatu situasi yang berkontribusi terhadap efek dari stimulus fokal.
Stimulus kontekstual mempengaruhi respon individu terhadap
stimulus fokal seperti lingkungan keluarga. Berbeda dengan halnya
dengan stimulus fokal, stimulus ini bukan merupakan pusat perhatian
individu, namun keberadaannya memberikan pengaruh terhadap
respon individu dalam beradaptasi terhadap stimulus fokal.
c. Stimulasi residual
Stimulus residual adalah suatu faktor lingkungan dengan atau tanpa
sistem manusia dengan efek yang tidak jelas. Bentuk stimulus residual
antara lain karakteristik, nilai dan sikap individu yang telah

25
berkembang dari pengalaman masa lalu seperti kepercayaan dan
pengalaman. Pada pasien fraktur yang mengalami nyeri sehingga
individu melakukan proses kontrol berupa mekanisme koping.
Proses koping individu dalam menghadapi stimulus lingkungan akan
mengahasilkan fungsi adaptasi. Respon adaptasi adalah merespon
meningkatkan integritas dalam rangkah mencapai tujuan sistem manusia.
Adaptasi merupakan perilaku individu yang tampak sebagai respon
terhadap perubahan atau stimulus lingkungan. Respon adaptasi menurut
Roy terbagi dalam 4 fungsi adaptasi, yaitu:
a. Fungsi fisiologis
Fungsi adaptasi fisiologis berfokus pada kebutuhan untuk
mempertahankan integritas anatomi dan fisiologi tubuh. Adaptasi
fisiologis menunjukkan sejauh mana tubuh secara fisiologi bereaksi
terhadap stimulus untuk mempertahankan integritasnya. Adaptasi
fisiologis dapat dilihat dari pemenuhan kebutuhan oksigen, nutrisi,
eliminasi, aktivitas dan istirahat, proteksi, penginderaan, cairan,
elektrolit dan keseimbangan asam-basa, fungsi persarafan dan fungsi
endokrin.
b. Fungsi konsep diri
Konsep diri adalah merupakan pandangan individu tentang dirinya
yang terbentuk dari persepsi internal dan persepsi berdasarkan
reaksi orang lain terhadap dirinya. Konsep diri memiliki 2 area yaitu
fisik diri dan personal diri. Fisik diri adalah pandangan individu
tentang kondisi fisik yang meliputi atribut fisik, fungsi tubuh, seksual,
status sehat dan sakit dan body image. Sedangkan personal diri adalah
padangan individu tentang karakteristik diri, ekspektasi diri, nilai yang
meliputi konsistensi diri, ideal diri dan moral-etika spiritual diri.

26
c. Fungsi peran
Fungsi peran menurut Roy adalah unit fungsi sosial dimana setiap
peran tampil dalam hubungan dengan orang lain. Sebagai contoh peran
orang tua berhubungan dengan anak, peran sebagai perawat
berhubungan dengan pasien, dan sebagainya.
d. Fungsi interdepeden
Fungsi interdependen berfokus pada kedekatan hubungan antara
individu dengan keluarga atau dengan kelompok masyarakat.
2) Lingkungan
Menurut Roy manusia berinteraksi dengan perubahan lingkungan dan
melakukan proses adaptasi terhadap perubahan tersebut. Lingkunagan
mencakup semua kondisi, keadaan dan pengaruh-pengaruh yang
berdampak pada perkembagan dan mentranformasikan arti kehidupan
pada setiap orang. Roy menekankan kepada hubungan manusia dengan
lingkungan dimana lingkungan secara terus menerus memberikan
stimulus kepada manusia untuk berespon dan beradaptasi.
3) Kesehatan
Sehat dalam model adaptasi Roy dipandang sebagai kondisi yang adaptif,
dimana terdapat interaksi antara manusia dengan lingkungan. Adaptasi
merupakan proses meningkatkan integritas, fisiologi, psikologi dan sosial
individu yang dinyatakan sebagai kemampuan mencapai tujuan untuk
kelangsungan hidup dan perkembangan, yang disebut sebagai
kesempurnaan dan kesatuan.
4) Keperawatan
Keperawatan didefenisikan sebagai sesuatu pengetahuan yang
menentukan proses analisa tindakan yang berhubungan dengan tindakan
manusia terhadap penyakit dan resiko penyakit. Keperawatan merupakan
disiplin praktik karena memiliki “scientiic Body of Knowledge” yang

27
digunakan untuk memberikan pelayanan yang perlu bagi manusia,
dengan cara meningkatkan kemampuan dan mempengaruhi kesehatan
kearah yang positif.
2. Model Adaptasi Roy dalam Asuhan Keperawatan
Teori Model adaptasi Roy menuntun perawat mengaplikasikan proses
keperawatan. Element Proses keperawatan menurut Roy meliputi:
a. Pengkajian prilaku (behavior)
Dapat diamati, diukur, dan dilaporkan secara subjektif oleh seseorang,
sehingga prilaku terdiri dari 2 hal yaitu prilaku yang dapat diobservasi dan
prilaku yang tidak dapat diobservasi.
b. Pengkajian stimulus
Stimulus merupakan sesuatu yang menimbulkan respon. Pengkajian
stimulus diarahkan pada stimulus fokal yang merupakan perubahan
prilaku yang dapat diobservasi. Stimulus kontekstual berkontribusi
terhadap penyebab terjadinya prilaku atau presipitasi oleh stimulus
fokal. Sedangkan stimulus residual yang mempengaruhi adalah
pengalaman masa lalu. Beberapa faktor dari pengalaman masa lalu relevan
dalam menjelaskan bagaimana keadaan saat ini. Hal umum yang
mempengaruhi stimulus antara lain budaya (status sosial ekonomi,
etnik, sistem kepercayaan), keluarga (struktur, kerja), tahap
perkembangan (usia, kerja, keturunan, dan faktor genetika), mode adaptif
integritas (fisiologi dan patologis, konsep diri, fungsi peran,
interdependensi), efektifitas kognator (persepsi, pengetahuan, keahlian),
dan pertimbangan lingkungan (pengobatan, penggunaan obat tertentu,
tembakau, alkohol).
Ada 4 (empat) mode dalam model adaptasi Roy yang harus
diperhatikan oleh perawat pada saat pengkajian prilaku maupun stimulus.

28
a) Mode Fisiologis (the physiological mode)
Mode adaptasi fisiologi merupakan proses tubuh manusia terhadap
kerja fisik, respon interaksi dengan lingkungan baik ekternal
maupun internal. Dalam penerapan asuhan keperawatan, mode
fisiologis dibedakan atas dua kelompok besar yaitu 5 (lima)
kebutuhan dasar pada integritas fisiologis yang terdiri dari
oksigenisasi, nutrisi, eliminasi, aktifitas dan istirahat serta proteksi
(perlindungan), dan 4 (empat) proses fisiologis yang membantu
aktifitas regulator dan mengintegrasikan fungsi fisiologis yang terdiri
dari sensasi, cairan dan elektrolit, fungsi neurologis, dan fungsi
endokrin.
1) Oksigenisasi
Menurut Perry & Poter, (2005) Kebutuhan oksigenasi meliputi
kebutuhan tubuh terhadap oksigen dan proses dari ventilasi,
pertukaran gas, serta transportasi gas. Mekanisme koping yang
diharapkan adalah mempertahankan kesusuaian oksigen dan
ventilasi secara terus-menerus.
 Pengkajian prilaku: ventilasi meliputi: karakteristik
pernapasan (tachypnea, bradypnea, apnea, respiratory arrest)
suara napas (rales, ronchi, pleural friction rub), Pengkajian
prilaku pertukaran gas meliputi: pengkajian hasil analisa gas
darah (Pao2, Pco2), sedangkan pengkajian prilaku
transportasi gas meliputi: pengukuran nadi (bradycardia,
tachycardia), irama (regular, irregular, arrhytmia) tekanan
darah, bunyi jantung, membran mukosa, kulit dingin, kuku
tanda sianosis.
 Pengkajian stimulus yang berkaitan dengan ventilasi
meliputi pengkajian terhadap kepatenan jalan nafas, otot

29
bantu nafas, fungsi pusat pernafasan, dan jalur persyarafan
yang berkaitan. Pengkajian stimulus terhadap pertukaran
gas meliputi konsentrasi oksigen di udara, keadekuatan
aliran darah ke elveoli, dan integritas membran alveolar.
Sedangkan pengkajian stimulus pada transportasi gas
meliputi pengkajian pompa jantung, kondisi inflamasi
jantung, perdarahan, dehidrasi, penialian hasil diagnostic
yang berkaitan dengan sistem respirasi dan kardiovaskular,
seperti hemoglobin, hematokrit,sel darah merah , radiologi,
elektrokardiografi, serta faktor lain meliputi latihan fisik,
kondisi stress, perubahan suhu dll. Beberapa masalah
adaptasi dalam diagnosa keperawatan yang dapat
ditegakkan pada kebutuhan oksigenasi antara lain hipoksia,
shock, gangguan ventilasi, pertukaran gas tidak edekuat,
perubahan perfusi jaringan.
2) Nutrisi
Menurut Perry & Potter (2005) tubuh manusia memiliki
kebutuhan esensial terhadap nutrisi, walaupun tubuh dapat
bertahan tanpa makanan lebih lama dari pada tanpa cairan.
Mekanisme koping yang diharapkan adalah mempertahankan
fungsi tubuh, meningkatkan pertumbuhan dan mengganti jaringan
yang rusak, dengan cara ingesti dan asimilasi makanan.
Pengkajian yang dapat dilakukan adalah:
 Pengkajian prilaku: intake yang tidak adekuat, alergi
makanan, nyeri saat menelan, tinggi dan berat badan, pola
makan, kondisi rongga mulut, perubahan pencernaan
termasuk perubahan cara pemasukan makanan kedalam
tubuh, serta sensasi terhadap rasa dan bau.

30
 Pengkajian stimulus: pengkajian kondisi penyakit yang
mempengaruhi perubahan pemasukan nutrisi, pengobatan
yang mempengaruhi pemasukan makanan atau proses
pencernaan, kebiasaan makan, tipe atau jenis makanan,
kemampuan membeli makanan, kondisi makanan, budaya,
penerimaan seseorang terhadap perubahan berat badan
kebutuhan kalori yang dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin,
ukuran tubuh, aktifitas, suhu tubuh, diet, ras, kehamilan,
dan hormon endokrin. Beberapa masalah adaptasi pada
diagnose keperawatan berkaitan dengan kebutuhan nutrisi
antara lain anoreksia, nutrisi kurang/lebih dari kebutuhan
tubuh, nausea/vomiting, ketidakefektipan strategi koping
terhadap penurunan ingestik.
3) Eliminasi
Eleminasi merupakan salah satu dari proses metabolisme. Produk
sisa dikeluarkan melalui paru-paru, kulit, ginjal dan pencernaan.
 Pengkajian prilaku yang berkaitan dengan kebutuhan
eliminasi antara lain pengkajian karakteristik feses. Terdiri
dari banyaknya feses, warna, konsistensi, bau, dan pola
defekasi, bising usus, nyeri saat buang air besar. Pengkajian
terhadap eliminasi urin yang terdiri dari karakteristik dan
jumlah urin dalam 24 jam, warna, bau, frekuensi, nyeri pada
saat eliminasi urin ,dan pengkajian hasil diagnostic
laboratorium yang berkaitan dengan eliminasi.
 Pengkajian stimulus terhadap kebutuhan eliminasi antara
lain kondisi penyakit atau proses penyakit, keseimbangan
cairan, stimulasi lingkungan, suhu dan kenyamanan
ruangan, tiolet, atau urinal, diet, pengobatan, nyeri, stress,

31
kultur, dsb. Beberapa masalah adaptasi dalam diagnose
keperawatan yang dapat dimunculkan antara lain gangguan
eliminasi BAB : konstipasi atau diare atau inkontinensia,
gangguan pola eliminasi urin : retensi urin atau
inkontinensia urin, ketidak efektifan strategi koping
terhadap penurunan fungsi eliminasi.
4) Aktifitas dan Istirahat
Jumlah kebutuhan istirahat bervariasi, bergantung pada kualitas
tidur, status kesehatan, pola aktivitas, gaya hidup dan umur
seseorang.
 Pengkajian prilaku berkaitan dengan kebutuhan aktifitas
antara lain ada 2 kategori yaitu : pertama pengkajian
frekuensi, intensitas dan durasi aktivitas sehari-hari. Kedua
pengkajian fungsi motorik seperti massa otot, kekuatan otot,
mobilitas sendi, ukuran dan fungsi sendi, postur tubuh,
koordinasi motori, pergerakan abnormal atau yang tidak
disadari. Sedangkan pengkajian prilaku terhadap kebutuhan
istirahat antara lain kuantitas dan kualitas istirahat harian, pola
tidur seperti frekuensi dan lamanya tidur, riwayat tidur
sebelumnya, tanda kesulitan tidur gelisah saat mulai tidur.
 Pengkajian stimulus terhadap kebutuhan aktifitas antara lain
gangguan neuromuskuler dan sistem skletal, penyakit yang
memerlukan pembatasan aktifitas termasuk protocol
pengobatan, enggan untuk beraktifitas, dan factor
lingkungan. Untuk kebutuhan istirhat, pengkajian
stimulusnya antara lain ketidaknyamanan atau nyeri dari
penyakit, istirahat yang kurang, faktor lingkungan seperti
temperatur, kondisi psikologis seperti beban mental kerja,

32
distress seperti cemas, depresi, perubahan kebiasaan tidur,
penggunaan obat-obatan dan alkohol. Beberapa masalah
adaptasi dalam diagnosa keperawatan pada bagian ini antara
lain ketidakedekuatan aktifitas fisik, keterbatasan mobilitas dan
koordinasi, intoleransi aktivitas, immobilisasi, sleep
deprevation, dan kelelahan.
5) Proteksi
Mekanisme koping yang diharapkan adalah mempertahankan
tubuh melawan infeksi, trauma dan perubahan temperatur.
 Pengkajian prilaku yang berkaitan dengan proteksi adalah
kulit : eritema, sianosis, joundis, konjungtiva dan mukosa
membran, nyeri area fraktur, dan kondisi kulit pada area
fraktur, tekstur dan kualitas rambut, kulit kepala, keringat,
sensitifitas terhadap nyeri dan suhu, serta pemeriksaan
darah dan urine yang berhubungan dengan masalah
proteksi.
 Pengkajian stimulus terhadap kebutuhan proteksi meliputi
stimulasi lingkungan misalnya temperatur ruangan, jumlah
sirkulasi dan kelembaban udara, tahap perkembangan,
sistem imun dll. Beberapa masalah adaptasi yang bisa
menjadi diagnosa keperawatan adalah gangguan integritas
kulit, infeksi, tidak efektifnya proses imun.
6) Sensasi
Sensasi merupakan bagian dari proses fisiologis yang membantu
aktifitas regulator dan mengintegrasikan fungsi fisiologis. Hal ini
berkaitan dengan sistem pendengaran, sistem penglihatan, dan
sistem somatosensoris. Mekanisme koping yang diharapkan adalah
memungkinkan individu untuk berinteraksi dengan lingkungan.

33
 Pengkajian prilaku: gerakan bola mata, reaksi pupil terhadap
cahaya, hasil uji snellen chart, uji penglihatan perifer, uji
buta warna, uji pendengaran seperti audiometri, uji rhinne,
uji weber, uji sentuhan pada kulit.
 Pengkajian stimulus: penyakit pada organ yang berkaitan
dengan sensasi seperti gangguan neurologi, proses penyakit
dari sistem lain yang berdampak pada sensasi. Masalah
adaptasi yang dapat diangkat menjadi diagnosa keperawatan
antara lain ganguan sensoris: penglihatan, pendengaran, nyeri.
7) Cairan dan elektrolit
Mekanisme koping menurut Roy diharapkan dapat
mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit dan asam
basa, yang dapat memperbaiki keadaan seluler dan ekstraseluler
serta fungsi sistemik (Perry & Potter, 2005).
 Pengkajian prilaku menurut Roy & Andrews (1999);
Alligood & Tomey (2006) berkaitan dengan cairan dan
elektrolit meliputi tanda dan gejala yang berhubungan
dengan perubahan cairan elektrolit. Perubahan hemodinamik
seperti edema paru, edema ekstrimitas, turgor kulit, perubahan
tekanan darah dan nadi. Serta pengkajian hasil pemeriksaan
diagnostik fungsi ginjal dan fungsi jantung.
 Pengkajian stimulus: segala sesuatu yang berefek terhadap
perubahan cairan dan elektrolit. Beberapa masalah adaptasi
terkait cairan dan elektrolit adalah dehidrasi, syok,
perdarahan, penurunan keluaran urin, kelebihan cairan tubuh,
peningkatan/penurunan elektrolit.
8) Fungsi neurologis

34
Fungsi neurologis termasuk bagian dari proses fisiologis yang
membantu aktifitas regulator dan mengintegrasikan fungsi
fisiologis. Mekanisme koping dapat terjadi menurut Roy sebagai
akibat adanya koordinasi dan kontrol pergerakan tubuh, tingkat
kesadaran, dan proses kognitif emosional.
 Pengkajian prilaku: pengkajian fungsi serebral (status
mental, fungsi intelektual, kandungan isi pikir, status
emosional, persepsi, kemampuan motorik, kemampuan
bahasa, dan dampak terhadap gaya hidup. Untuk status
mental, perawat melakukan pengkajian tentang penampilan
dan prilaku pasien, cara berpakaian, perawatan diri,
kebersihan diri, postur, gerakan isyarat, ekspresi wajah,
aktifitas motorik, orientasi terhadap waktu, tempat dan
orang. Fungsi intelektual dinilai dari kemampuan berhitung
dan uji abstrak. Fungsi saraf kranial dinilai dari uji 12 pasang
saraf kranial. Sistem motorik dinilai melalui pengkajian
ukuran otot, tonus, kekuatan otot, koordinasi, dan
keseimbangan. Sistem sensorik dinilai dari uji sentuhan.
Selanjutnya pengkajian reflek, serta nilai Glasgow Coma
Scale.
 Pengkajian stimulusnya antara lain penyakit neurologis,
penurunan tingkat kesadaran, nyeri kepala, penurunan
kekuatan otot, komplikasi karena kerusakan saraf seperti
atropi otot atau kontraktur, egan mobilisasi, nyeri semakin
meningkat jika pasien mobilisasi/beraktivitas.
9) Fungsi endokrin
Pengkajian prilaku: hal– hal yang dapat diukur, diamati, dan
dilaporkan terkait dengan masalah oksigenisasi, nutrisi, aktivitas

35
dan istirahat, cairan, elektrolit dan keseimbangan adam basa,
eliminasi, proteksi, dan sensasi serta fungsi neurolagi sebagai efek
dari gangguan fungsi endokrin yang ada hubungannya dengan
pasien. Pemeriksan laboratorium yang berkaitan dengan fungsi
endokrin.
Pengkajian stimulus: disfungsi kelenjer yang disebabkan oleh
trauma dan kondisi lingkungan. Beberapa masalah adaptasi yang
menjadi diagnosa keperawatan berkaitan dengan fungsi
endokrin adalah penerunan nafsu makan, kelelahan, penurunan
energi.
b) Mode Konsep Diri (the self-concept mode)
Kebutuhan dari konsep diri ini berhubungan dengan integritas
psikis antara lain persepsi, aktivitas mental dan ekspresi perasaan.
Kebutuhan harga diri berhubungan dengan keinginan terhadap
kekuatan, pencapaian, rasa cukup, kompetensi, rasa percaya diri dan
kemerdekaan. Jika konsep diri pasien mengalami perubahan karena
penyakit atau cedera, tindakan perawatan spesifik bergantung pada
sistem dukungan dan kepribadian pasien. Jika tingkat harga diri
pasien sangat rendah , gagal untuk merawat diri sendiri, perawat
mungkin harus membantu memenuhi kebutuhan seperti kebutuhan
nutrisi, keselamatan, sambal meningkatkan harga diri pasien (Perry &
Potter, 2005)
 Pengkajian prilaku: hal yang dilaporkan terkait gambaran
seseorang merasakan dirinya (body sensastion), seseorang
memandang dirinya (body image), perubahan penampilan, respon
terhadap situasi (self-consistency), tindakan terhadap dirinya
(self-ideal), dan kepercayaan yang dimiliki (moral-ethical-

36
spiritual self), misal kepercayaan pasien tentang keperawatan,
kepatuhan terhadap program pengobatan, tingkat motivasi.
 Pengkajian stimulus: pengkajian tentang tumbuh kembang,
pembelajaran, reaksi terhadap orang lain, persepsi, krisis
maturasi, strategi koping. Masalah adaptasi yang menjadi
diagnosis keperawatan pada mode konsep diri adalah gangguan
citra tubuh, disfungsi seksual, kehilangan, kecemasan,
ketidakberdayaan, rendah diri.
c) Mode Fungsi Peran (the role function mode)
Mode fungsi peran mengenal pola-pola interaksi sosial seseorang
dalam berhubungan dengan orang lain. Fokus pada seseorang dapat
memerankan dirinya dimasyarakat sesuai kedudukannya.
 Pengkajian prilaku: hal–hal yang dapat diamati dan dilaporkan
berkaitan dengan pengalaman sehat dan sakit yang berdampak
terhadap penampilan peran seseorang ditengah masyarakat.
Pengkajiannya meliputi pengkajian instrumental seperti belajar,
bekerja, menulis, dan ekspresif seperti bermain dalam kelompok,
mengungkapkan perasaan.
 Pengkajian stimulus terdiri dari pengkajian stimulus instrumental
dan ekspresif. Keduanya memfokuskan pada pengkajian tentang
keberadaan diri, penghargaan, akses terhadap fasilitas, kerjasama/
kolaborasi. Masalah adaptasi yang menjadi bagian dari diagnosis
keperawatan pada mode ini antara lain ketidakefektifan transisi
peran, konflik peran, dan kejauhan peran.
d) Mode Interdependensi (the interdependency mode)
Perawat mengobservasi kemandirian pasien dalam mengerjakan semua
aktivitas, keseimbangan antara kemampuan memberi dan menerima,
kecemasan karena penyakit, perasaan kesepian.

37
 Pengkajian prilaku: pengamatan dan laporan subjektif tentang
orang lain yang bermakna, respon memberi pada orang lain,
respon menerima dari orang lain, sistem pendukung
 Pengkajian stimulus: kebutuhan untuk mencintai dan menerima
cinta, kasih sayang, perhatian, dan nilai; harapan dari suatu
hubungan, penerimaan kebutuhan, keahlian interaksi, pengetahuan
tentang pertemanan, dan perkembangan usia dan kerja.
c. Diagnosa Keperawatan
Menurut teori adaptasi Roy, sebagai suatu hasil dari pengambilan
keputusan berhubungan dengan kurang mampunya adaptasi. Diagnosa
keperawatan dirumuskan dengan mengobservasi tingkah laku pasien
terhadap pengaruh lingkungan. Menurut Roy ada 3 metode dalam
menetapkan diagnosa keperawatan yaitu suatu pernyataan dari prilaku
dengan stimulus yang sangat mempengaruhi, suatu ringkasan tentang
prilaku dengan stimulus yang relevan, serta penamaan yang
meringkaskan pola prilaku ketika lebih dari satu mode berdampak oleh
stimulus yang sama. Data prilaku merupakan hasil dari pengamatan,
pengukuran, dan laporan subjektif. Data lain adalah penyataan tentang
stimulus fokal, kontekstual, dan residual yang mempengaruhi data prilaku
tersebut. Setelah itu dibedakan 2 hal yaitu data yang termasuk
adaptasi positif atau adaptasi negative
d. Penetapan Tujuan Keperawatan
Roy menyampaikan bahwa tujuan pada intervensi keperawatan adalah
untuk mempertahankan dan mempertinggi perilaku adaptif dan mengubah
perilaku inefektif menjadi adaptif. Penetapan tujuan dibagi atas tujuan
jangka panjang dan jangka pendek. Tujuan jangka panjang meliputi:
hidup, tumbuh, reproduksi dan kekuasaan. Sedangkan tujuan jangka

38
pendek meliputi: tercapainya tingkah laku yang diharapkan setelah
dilakukan manipulasi terhadap stimulasi fokal, kontektual dan residual.
e. Intervensi dan Implementasi
Intervensi keperawatan berisi manajemen terhadap stimulus yang
mempengaruhi prilaku dan mengubah atau memanipulasi stimulasi fokal,
kontekstual dan residual, juga difokuskan pada koping individu sehingga
seluruh stimulasi sesuai dengan kemampuan individu untuk beradaptasi.
Intervensi keperawatan dinilai efektif jika tingkah laku pasien sesuai
dengan tujuan yang ditetapkan dengan cara merubah, meningkatkan,
menurunkan, menghilangkan, atau memelihara stimulus tersebut.
Intervensi keperawatan ditetapkan berdasarkan 4 hal meliput:
pendekatan alternatif yang akan dilakukan, konsekuensi yang akan
terjadi, pencapaian tujuan oleh elternatif tersebut, dan diterima atau
tidaknya nilai alternatif. Intervensi keperawatan ini dilakukan melalui
kerjasama dengan orang lain (pasien, keluarga, dan tim kesehatan lain).
Sedangkan implementasi menurut Roy merupakan uraian yang lebih rinci
dari intervensi keperawatan yang telah terpilih. Implementasi keperawatan
lebih menguraikan bagaimana tujuan keperawatan tercapai dalam
memanajemen stimulus yang ada.
f. Evaluasi
Menurut Roy evaluasi merupakan penilaian efektif terhadap intervensi
keperawatan sehubungan dengan tingkah laku pasien. Oleh karena itu,
evaluasi tersebut menjadi refleksi dari tujuan keperawatan yang telah
ditetapkan sebelumnya. Perawat harus mengkaji tingkah laku pasien
setelah diimplementasi. Intervensi keperawatan dinilai efektif jika tingkah
laku pasien sesuai dengan tujuan yang ditetapkan.

39
BAB III
LAPORAN KASUS
APLIKASI ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN MODEL KEPERAWATAN
CALLISTA ROY PADA NY.S DENGAN GANGGUAN PERSYARAFAN
Tgl Pengkajian : 08/09/2021 Tgl.MRS : 01/09/2021
Jam Pengkajian : 11.00 Pasien Datang :
Ruang/Kelas : HCU neurologi No. MR : 0111****
A. PENGKAJIAN
1. Identitas pasien
Nama : Ny. S
Umur : 52 tahun
Agama : Islam
Jenis Kelamin : Perempuan
Status Marital : Menikah
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : IRT
Alamat : Jorong Lubuk Bulang Kel.Gunung Selasih
Diagnosa Medis : Stroke Hemoragic OH13 + Hipertensi Stg II +
Dislipidemia
2. Riwayat Kesehatan
Keluhan Utama : Pasien masuk RS tgl melalui IGD dengan
keadaan penurunan kesadaran. Keluarga
mengatakan sebelum di bawa ke RS pasien
sering meringis sambil memegang kepala dan
mengeluhkan sakit kepala, nyeri dirasakan
dibagian depan kepala dan sisi kiri, berdenyut
dan tidak hilang dengan makan obat. Keluarga
mengatakan 2 hari sebelum dirawat, pasien

40
muntah, frekuensi 3 x, isi yang dimakan.,
keluarga juga mengatakan anggota gerak
kanan pasien sulit untuk digerakkan, dan tidak
bisa berbicara.
Riwayat Kesehatan : Pengkajian tanggal 8/9/2021 jam 11 WIB di
Sekarang ruangan neurologi. Keluarga mengatakan pasien
sulit menggerakkan anggota gerak sebelah kanan,
dan tidak dapat berbicara.
Riwayat Alergi : Tidak ada
Riwayat Operasi : Tidak ada
Riwayat Penyakit Lalu : Keluarga mengatakan pasien tidak memiliki
penyakit jantung maupun DM. keluarga
mengatakan pasien baru mengalami penyakit
seperti ini.

Riwayat Keturanan : Keluarga mengatakan ibu dan kakak pasien


mempunyai riwayat hipertensi.

3. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum : Berat
b. Kesadaran : Compos mentis afasia
c. GCS : E4 , M6 , V afasia
d. Vital Sign
Pemeriksaan Hasil Nilai normal
Tekanan darah 140/70 mmHg 100/60-140/90 mmHg
Nadi 88x/i 70-100 x/i
Respirasi 20x/i 16-20 x/i
Suhu 36,8⸰c 36,5 - 37,5⸰c
4. Pengkajian Fisiologis

41
a. Oksigenasi
1) Fisik
I : SaturasiO2 99% , pergerakan dada simetris ki-ka, tidak ada yang
tertinggal, retraksi dada (-), batuk (-), tidak ada pernafasan
cuping hidung, konjungtiva tidak anemis, sianosis (-).
Pa : Taktil fremitus tidak bisa dinilai, Nadi = 88x/I, irama reguler,
teraba kuat dan teratur, CRT = 2 detik, akral hangat
Pe : Sonor pada semua lapang paru
A : Vesikuler di kedua lapang paru, wh (-/-), rh (-/-), S1-S2 normal,
gallop (-), murmur (-).
2) Lab : Tanggal 01/09/2021
Variabel Nilai Nilai normal H/L
Hb 14,4 g/dL 13-18 N
Eritrosit 4,94 x 106 /µL 4 – 4,5 H
Ht 42,8 % 37 - 43 N
Trombosit 265.000 /ul 150 - 400 N
PT 10,2 detik 9,9 - 13,31 N
APTT 26,6 detik 25,10 - 28,90 N
pH 7,566 7,35 – 7,45
PaO2 152,5 83 – 108
PaCO2 29,7 35 - 45
HCO3- 27,3 mmol/L 21-28
SpO2 98,9 95 - 98

3) Pemeriksaan diagnostik lain (Radiologi Thorax): Cor dan Pulmo


dalam batas normal.

 Stimulus fokal : adaptif

42
 Stimulus kontekstual :-
 Stimulus residual :-
b. Nutrisi
1) Fisik
Pasien terpasang NGT, mendapatkan diet MC 1.700 kkal/ hari, berupa
susu 6 x 250 kkal (1500 kkal) dan ekstra jus 200 kkal. Hari ini pasien
belajar menelan dan habis 1 porsi diet MS.
Antropometri :
TB : 160 cm BBI : 61,2 kg
BB : 80 kg IMT : 31,25 kg/m2
I : Abdomen datar, luka (-),stoma (-), spider (-), konjungtiva tidak
anemis, sklera tidak ikterik, mukosa bibir lembab.
A : Bising usus 6x/menit
Pe : Timpani
Pa : Abdomen supel, nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), ascites (-)
2) Laboratorium
SGOT : 12 U/L (Normal <31)
SGPT : 14 U/L (Normal <32)
Protein total : 6,9 g/dL (Normal 6,6-8,7)
Albumin : 3,8 g/dL (Normal 3.8-5)
Globulin : 3,1 g/dL (Normal 1,3-2,7)
Kolesterol total : 220 mg/dL (Normal <200)
Trigliserida : 145 mg/dL (Normal <150)
HDL : 48 mg/dL (Normal >66)
LDL : 143 mg/dL (Normal <150)
GDP : 126 mg/dL (Normal : 70 - 99)
GD2PP : 143 mg/dl (Normal <140)
HBA1C : 5,8 % (Normal 4,8 - 6,839)

43
Asam urat : 4,7 mg/dl (Normal 2,4 - 5,7)
Ket: Tidak ada riwayat DM
 Stimulus fokal : Kadar kolestrol meningkat
 Stimulus kontekstual : pasien tidak pernah melakukan
pemeriksaan kesehatan ke fasilitas
kesehatan
 Stimulus residual : Pola makan yang tidak terkontrol
c. Eliminasi
1) Fisik
BAK : Pasien terpasang kateter dengan jumlah ±2900cc/ hari, warna
jernih kekuningan.
BAB : Saat ini BAB 1x/hari dengan konsistensi lembek dan warna
kekuningan.
2) Laboratorium
Variabel Nilai Nilai normal H/L
Ureum 26 10-50 mg/dL N
Kreatinin 0,6 0.6-1.2 mg/dL N

 Stimulus fokal : Adaptif


 Stimulus kontekstual :-
 Stimulus residual :-
d. Aktivitas dan Istirahat
1) Fisik
Pola tidur siang : pasien jarang tidur siang, tidur ±1 jam
Pola tidur malam : Keluarga mengatakan pasien kadang
terbangun, tidur malam ±5-6 jam.
Aktivitas : Keluarga mengatakan tangan dan kaki kanan pasien
tampak sulit di gerakkan. ADL dibantu oleh perawat dan keluarga.

44
Mobilisasi pasien terbatas. Skor Barthel index 45 (ketergantungan
berat).

Kekuatan otot: ka 333 555 ki

333 555
Keluhan Tidur dan Tidak Ya  Insomnia
Istirahat √ Lainnya: keluarga mengatakan pasien
kadang terbangun malam hari sambil
meringis memegang kepala
Kualitas tidur : √Cukup  Kurang
Kegiatan pengantar √ Lampu redup  Lampu terang  Membaca
tidur  Minum minuman hangat  lainnya : …….

 Stimulus fokal : Penurunan kekuatan otot/ hemiparese dekstra


 Stimulus kontekstual : Penurunan koordinasi saraf pusat karena
terdapat perdarahan di temporoparietal (S)
 Stimulus residual : Adanya riwayat hipertensi dalam keluarga,
pasien tidak pernah melakukan pemeriksaan
kesehatan ke fasilitas kesehatan
e. Proteksi dan Perlindungan
1) Fisik
Kulit : Kulit tampak lembab, warna kuning langsat, tidak
terdapat lecet pada pasien. Turgor kulit baik.
Terdapat selang infus yang terpasang ditangan
sebelah kiri, kuku bersih, bengkak (-), eritema (-).
Rambut : Rambut distribusi merata, warna hitam bercampur
putih (uban)

45
Skor Resiko Jatuh : 55 (Tinggi)
Braden Skor : 17 ( resiko ringan)
2) Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 01 September 2021:
Variabel Nilai Nilai normal H/L
Hb 14 g/dL 13-18 N
Trombosit 265 x 103 /µL 150 – 400 N
Leukosit 13.110 /µL 5.000-10.000 H

 Stimulus fokal : adaptif


 Stimulus kontekstual :-
 Stimulus residual :-
f. Sensori
1) Fisik
Keluarga mengatakan sakit kepala pasien tampak berkurang (pasien
tampak sesekali meringis dan memegang kepala), pasien tampak
meringis dan memegang kepala terutama saat duduk lama tanpa
bersandar. Lamanya lebih kurang 2 menit saat pasien meringis sampai
terlihat tenang. VAS 2. Sakit kepala seperti ditusuk-tusuk (pertanyaan
pada klien di bantu dengan tulisan).
Penglihatan : Respon cahaya +/-
Pendengaran : kanan (+), kiri kurang
Penciuman : tidak bisa dikaji, tidak ada perdarahan di kanan / kiri
Pengecapan : ekspresi pasien sesuai dengan rasa makanan, parastesia
tidak bisa dikaji
 Stimulus fokal : Afasia, hemiparese dekstra dan nyeri
kepala karena
 Stimulus kontekstual : adaya perdarahan di temporoparietal (S)

46
 Stimulus residual : Adanya riwayat hipertensi dalam keluarga
dan pasien tidak pernah memeriksakan
kesehatan ke pelayanan kesehatan

g. Cairan dan elektrolit


1) Fisik
Intake Output
Minum (diet MC) : 2000 ml/24 jam Urine : 2900 ml/24 jam
Intravena : 1000 ml/24 jam IWL : 500 ml/24 jam
Total : 3000 ml/24 jam Total : 2950 ml/24 jam
Balance : + 50 ml
2) Laboratorium tanggal 03 September 2021:
Nilai Nilai normal H/L
Natrium (Na) darah 137 mmol/L 136-145 N
Kalium (K) darah 3,8 mmol/L 3.5-5,1 N
Klorida (Cl) darah 104 mmol/L 97-111 N

Keterangan : Tidak ada distensi vena jugularis, tidak ada edema.


 Stimulus fokal : Adaptif
 Stimulus kontekstual :-
 Stimulus residual :-
h. Fungsi neurologi
1) Fisik
Keluarga mengatakan sakit kepala pasien tampak berkurang (pasien
tampak sesekali meringis dan memegang kepala), pasien tampak
meringis dan memegang kepala terutama saat duduk lama tanpa
bersandar. Lamanya lebih kurang 2 menit saat pasien meringis sampai
terlihat tenang. VAS 2. Sakit kepala seperti ditusuk-tusuk (pertanyaan
pada klien di bantu dengan tulisan).

47
Status mental :
a) Kesadaran : Composmentis, GCS E4M6Vafasia
b) Memori jangka panjang dan jangka pendek : tidak bisa dikaji
c) Ekspresi wajah mengikuti situasi dan kondisi emosional saat
berkomunikasi dengan pasien.
d) Intelektual (judgement) : Tidak bisa dikaji
e) Bahasa : Keluarga mengatakan menggunakan bahasa Indonesia
dan minang
f) Bicara : Afasia, komunikasi dengan menulis symbol (v = ya, x
= tidak)
g) Afek baik
Pengkajian 12 Saraf kranial :
Olfaktorius Tidak terkaji
Optikus RC +/-, lapang pandang kurang baik (saat
dipanggil pasien melihat dengan memutar
badan), visus tidak bisa dikaji
Okulomotorius, Gerakan kedua bola mata asimetris, bola
troklearis, dan abdusen mata kiri tidak bergerak, bola mata kanan
gerak ke atas dan kebawah bisa, kekiri bisa,
kekanan kurang; pupil anisokor 3mm/5mm,
DEM bola mata kiri tidak bergerak, ptosis
mata kiri
Trigeminus Maksila dan mandibula bisa mengatup
dengan kencang, bisa dirasakan di temporalis
dan mesenter, otot mengunyah baik
Fasialis Merasakan 2/3 lidah bagian depan (manis),
senyum asimetris, mulut tertarik kekanan,
pasien bisa mengernyitkan dahi

48
Akustikus / Pendengaran pasien kanan normal kiri
Vestibulokoklearis berkurang, saat diberikan bunyi gesekan jari
di dekat telinga kiri dan kanan pasien,
keseimbangan dan tes hidung-jari tidak bisa
dilakukan.
Glosofaringeus Pasien bisa menelan, reflek muntah ada, rasa
pahit (ekspresi saat minum obat sesuai)
Vagus Nyeri menelan tidak ada, uvula tertarik ke
kanan
Aksesorius Bahu kanan dan kiri simetris, kepala dapat
menengok ke kiri
Hipoglosus Lidah dapat keluar masuk dengan baik

h) Reflek
Reflek fisiologis: reflek bisep (+/+), trisep(+/+), patella (+/+)
Reflek patologis: reflek babinsky (+) chad dock(+), oppenheim(+)
pada kaki kanan, negative pada kaki kiri
Rangsang meningeal: Kaku kuduk (-), brudzinski (-), lasegue (-),
kernig (-).
2) Radiologi: 01/09/2021 Brain ct scan non kontras: hasil perdarahan
temporoparietal (S)
 Stimulus fokal :defisit visual parsial, Gangguan komunikasi
verbal
 Stimulus kontekstual : adaya perdarahan di temporoparietal (S)
 Stimulus residual : Adanya riwayat hipertensi dalam keluarga
dan pasien tidak pernah memeriksakan
kesehatan ke pelayanan kesehatan
i. Endokrin
1) Fisik

49
a) Kelenjer tiroid : Tidak ada pembesaran
b) Tremor : Tidak ada
c) Polifagi (-), polidipsi (-), poliuri (-)

2) Laboratorium tanggal 02 september 2021


Nilai Nilai normal H/L
Gula darah puasa 126 mg/dl 70 - 99 mg/dL H
GD 2 jam PP 143 mg/ dl <140 mg/dl H
HBA 1 C 5,8 % 4,8 - 6,839 % N
Hasil laboratorium tanggal 8/09/2021
Gula darah 120 mg/dl 50-200mg/dl N
sewaktu

 Stimulus fokal : Adaptif


 Stimulus kontekstual :-
 Stimulus residual :-
5. Terapi dan Tindakan
No Nama Obat Dosis Rute
1 ceftriaxone 2 x 1 gr Iv
2 ranitidine 2 x 50 mg Iv
3 paracetamol 3 x 750 mg oral
4 laxadine 3 x 10 cc Oral
5 amlodipin 1 x 10 mg Oral
6 simvastatin 1 x 20 mg Oral
7 valsartan 1 x 80 mg Oral

50
6. Adaptasi Konsep Diri
Pengkajian Stimulus
Pola Pengkajian Perilaku
Stimulus Fokal Stimulus Kontekstual Stimulus Residual

Fisik diri a. Sensasi tubuh Rasa nyeri yang Faktor yang mungkin Pasien memiliki
pasien afasia, keluarga mengatakan dialami oleh pasien dapat menjadi pencetus kemauan mengikuti
sakit kepala pasien tampak adalah lesi di otak program rehabilitasi
berkurang, memegang kepala dan
meringis tampak sudah berkurang
b. Citra tubuh
Keluarga mengatakan, mata kiri
pasien tidak terbuka, kaki dan
tangan kanan kurang aktif bergerak
Personal diri a. Konsistensi diri Perasaan nyaman Adanya kemauan pasien
Keluarga konsisten untuk berada disekitar untuk sembuh
melakukan pengobatan dan keluarga, dan pasien
perawatan demi kesembuhan mendapat semangat
pasien. dari keluarga yang
b. Ideal diri menjadi support
Keluarga ingin pasien segera system
sembuh dan bisa kembali
beraktiviitas seperti biasa.
c. Moral-ethic-spiritual
Keluarga mengatakan selalu
berdoa untuk pasien dan
menpedengarkan muratal kepada
pasien selama dirawat.

51
7. Adaptasi Fungsi Peran
Pengkajian Stimulus
Pola Pengkajian Perilaku
Stimulus Fokal Stimulus Kontekstual Stimulus Residual

Pengembangan Pasien ibu dari 2 orang anak. -


peran Pasien adalah seorang
pensiunan guru TK. Sehari-
hari pasien rajin
melaksanakan kegiatan
keagamaan

8. Adaptasi Interdependensi
Pengkajian Stimulus
Pola Pengkajian Perilaku
Stimulus Fokal Stimulus Kontekstual Stimulus Residual

Affectional Selama di rumah sakit kebutuhan -


adequacy pasien dibantu penuh oleh perawat
dan keluarga.
Sumber daya Keluarga pasien sudah memahami Keluarga sudah Keluarga pasien sangat Keluarga berharap
yang adekuat tentang kemungkinan keterbatasan terpapar informasi memperhatikan dan pasien mendapatkan
yang akan di alami oleh pasien, mengenai pengobatan merawat pasien pengobatan yang terbaik
namun belum memahami program perawatan di RS dan berharap pasien
terapi yang harus dijalani untuk namun belum tahu dapat segera sembuh.
mengurangi keterbatasan yang cara untuk mengurangi
dialami pasien keterbatasan yang
dialami pasien

52
ANALISA DATA

No Data Etiologi Masalah Keperawatan


1 DS: Keluarga mengatakan tangan dan Gangguan Hambatan Mobilitas
kaki kanan pasien tampak sulit neuromuskuler Fisik
digerakkan
DO:
- Kekuatan otot:
Ka 333 555 ki
333 555
- Reflek patologis: reflek
babinsky (+/-) chad dock(+/-),
oppenheim(+/-)
2 DS: Keluarga mengatakan pasien Agen cidera fisik Nyeri Akut
sesekali memegang kepala dan
meringis, terutama saat duduk lama
tanpa bersandar.
P: stroke hemoragik
Q: seperti ditusuk-tusuk
R: kepala bagian depan dan samping
kiri
S: skala nyeri VAS 2
T: hilang timbul, ±2 menit
DO: TD = 140/70 mmHg
HR = 88 x/I
RR = 20 x/I
T = 36,7 C
3 DS: Penurunan Gangguan komunikasi
- Keluarga mengatakan pasien sirkulasi serebral verbal

53
tidak dapat berbicara
DO:
- Kesadaran : CMAfasia
- Pasien Afasia motoric
- Terdapat defisit visual parsial
(ptosis mata kiri)
- Hasil ct scan: terdapat
perdarahan pada temporoparietal
(s)

54
B. INTERVENSI KEPERAWATAN
No Diagnosis keperawatan NOC NIC
1 Hambatan mobilitas Fisik b.d Setelah diberikan intervensi Bed rest care, kegiatan:
gangguan neuromuskuler keperawatan selama 3 x 24  Jelaskan alasan untuk bed rest
jam hambatan mobilitas fisik  Hindari penggunaan sprei bertekstur kasar
teratasi ditandai dengan:  Jaga sprei tetap bersih, kering dan bebas kerut
- Gerakan otot  Naikkan pagar pengaman tempat tidur
meningkat  Pantau kondisi kulit
- Bergerak dengan  Ajarkan latihan di tempat tidur, sesuai kebutuhan
mudah  Bantu ADL pasien
 Monitor komplikasi tirah baring (mis, hilang
tonus otot, sakit punggung, konstipasi,
peningkatan stres, kebingungan, perubahan
siklus tidur, isk, kesulitan buang air kecil,
pneumonia)tempatkan dalam posisi tegak
sebentar-sebentar untuk pasien yang tidak dapat
bangun dari tempat tidur untuk mengghindari
intoleransi ortostatik
Pengaturan posisi, kegiatan:
 Dorong pasien untuk terlibat dalam perubahan
posisi
 Pantau status oksigenasi sebelum dan sesudah

55
perubahan posisi
 Lakukan ROM aktif/ pasif
 Tempatkan barang - barang yang sering
digunakan dalam jangkauan
Fall prevention
 Identifikasi defisit kognitif atau fisik pasien yang
meningkatkan potensi jatuh
 Bantu ambulasi pasien
 Tempatkan barang barang yang mudah dijangkau
pasien
 Anjurkan pasien untuk meminta bantuan
 Pasang tanda resiko jatuh
2 Nyeri akut b.d Agen cidera Setelah diberikan intervensi Manajemen nyeri :
Fisik selama 3 x 24 jam nyeri  Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
teratasi ditandai dengan: meliputi:lokasi, sifat, lama, onset, frekuensi,
 Melaporkan nyeri intensitas dan pencetus.
berkurang  Kaji respon nonverbal.
 Meringis berkurang  Berikan informasi tentang nyeri, seperti
 Gelisah berkurang penyebab nyeri dan cara mengatasi.
 Ajarkan teknik nonfarmakologis (mis,
biofeedback, TENS, Hypnosis, relaxation,
guided imagery, terapi musik, distraksi, terapi

56
bermain, terapi aktivitas, akupresur, aplikasi
panas/dingin, dan pijat) sebelum, sesudah, dan
jika mungkin, selama nyeri, sebelum tingkat
nyeri meningkat, dan bersama terapi nyeri
lainnya.
 Jelaskan penggunaan terapi farmakologis untuk
nyeri saat ini
 Berikan istirahat/ tidur yang cukup untuk
mengurangi nyeri
 Dorong pasien untuk mendiskusikan pengalaman
nyerinya
 Beri penjelasan akurat tentang respon dan
pengalaman nyeri pasien pada keluarga
 Beritahu dokter jika metoda yang digunakan
tidak berhasil atau jika ada komplain dari pasien
mengenai metoda yang diberikan
3 Gangguan komunikasi verbal Setelah diberikan intervensi Commnication enhancement: speech deficit
b.d penurunan sirkulasi keperawatan selama 3 x 24  Monitor kognitif, anatomi dan proses fisiologis
serebral jam gangguan komunikasi terkait kemampuan bicara (mis, memori,
verbal teratasi ditandai pendengaran dan bahassa)
dengan:  Monitor pasien terhadap rasa frustasi,
kemarahan, depresi, atau lainnya terkait

57
Komunikasi: gangguan kemampuan bicara
- Penggunaan bahassa  Kenali perilaku emosional dan fisik sebagai
isyarat meningkat bentuk komunikasi
- Penggunaan Bahasa  Berikan alternatif komunikasi (mis, writing
non verbal meningkat tablet, flash card, kedipan mata, papan
komunikasi dengan gambar dan huruf, isyarat
tangan atau gerakan lainnya, dan komputer)
 Berikan metode alternatif untuk menulis dadn
membaca yang sesuai
 Sesuaikan gaya komunikasi untuk memenuhi
kebutuhan pasien (mis, berdiri di depan pasien
ketika berbicara, mendengarkan dengan penuh
perhatian, menyajikan suatu ide atau satu pikiran
di suatu waktu, berbicara perlahan sambil
menghindari berteriak, menggunakan komuniksi
tertulis, atau meminta bantuan keluarga dalam
memahami ucapan pasien)
 Pertahankan lingkungan dan rutinitas yang
terstruktur (yaitu, pastikan jadwal harian yang
konsisten, sering memberikan pengingat, dan
menyediakan kalender dan isyarat lingkunngan

58
lainnya)
 Ubah lingkungan untuk meminimalisir
kebisingan berlebih dan mengurangi tekanan
emosional (mis, batasi pengunjung, peralatan
berlebihan dan kebisingan)
 Ulangi apa yang pasien ucapkan untuk
memastikan akurasi
 Gunakan pertanyaan tertutup hingga pasien bisa
menjawab ya atau tidak, waspada pasien dengan
afasia ekspresif dapat memberikan respon
otomatis yang salah
 Kolaborasi dengan keluarga dan terapis untuk
mengembangkanrencana komunikasi yang
efektif
 Berikan penguatan positif
 Mengkoordinasikan kegiatan dengan tim
rehabilitasi

59
BAB IV
EVIDENCE BASED NURSING
A. Penelusuran Evidence dan Telaah Kritisi
Evidence Based Nursing yang akan diterapkan pada pasien kasus diatas
adalah Constraint Induced Movement Therapy (CIMT) yaitu untuk meningkatkan
fungsi motorik penderita stroke dan untuk mengetahui perubahan kemampuan
fungsional ekstremitas atas pada pasien stroke. Stroke adalah penyakit
cerebrovaskular (pembuluh darah otak) yang ditandai dengan gangguan fungsi
otak karena adanya kerusakan atau kematian jaringan otak akibat berkurang atau
tersumbatnya aliran darah dan oksigen ke otak.
B. Pertanyaan Klinis
Berdasarkan latar belakang yang sudah penulis uraikan diatas maka dapat
dirumuskan masalah dalam pertanyaan klinis “Pada pasien stroke hemoragik
dengan hemiparese, apakah Constraint Induced Movement Therapy (CIMT) dapat
meningkatkan kemampuan fungsional ekstremitas atas?” Untuk lebih jelasnya
akan digambarkan dalam bentuk PICO seperti pada tabel di bawah ini:
Tabel 4.1
Analisis PICO
Unsur PICO Analisis Kata Kunci
(Terapi)
P Pasien stroke hemoragik dengan Stroke hemorrhagic
hemiparese patient with Hemiparesis
I Constraint Induced Movement Constraint Induced
Therapy Movement Therapy
C Standar intervensi untuk pasca stroke management
stroke guide line
O Meningkatkan fungsi motorik Motor activity,
pasca stroke, mencegah
komplikasi lokal

60
Tabel 4.2
Hasil Penelususran Evidence
Sumber Penelusuran
Kata Kunci Science Google
Pubmed
Direct Scholar
Stroke Hemorrhagic Ditemukan 11.493 Ditemukan Ditemukan 128.000
jurnal, 109.274 jurnal, jurnal, dipersempit
dipersempit dipersempit dengan nursing
dengan nursing dengan nursing 8.200, dipersempit
didapatkan 224 didapatkan 849 4 tahun terakhir
jurnal, jurnal, didapatkan 6.000
dipesrsempit 3 dipesrsempit 3 jurnal, relavan 26
tahun terakhir tahun terakhir jurnal.
didapatkan 111 didapatkan 55
jurnal, yang jurnal, yang
relevan 2 jurnal relevan 3 jurnal

 Stroke Ditemukan 553 Ditemukan 1.176 Ditemukan 5.450


Hemorrhagic jurnal, jurnal, jurnal, dipersempit
 Constraint dipersempit dipersempit 4 tahun terakhir
Induced dengan nursing dengan nursing didapatkan 2.100
Movement didapatkan 13 didapatkan 23 jurnal, dipersempit
Therapy jurnal, jurnal, yang dengan nursing
dipesrsempit 3 relevan 1 jurnal didapatkan 484 jurnal
tahun terakhir relavan 17 jurnal.
didapatkan 1
jurnal
 Stroke Ditemukan 243 Ditemukan 12 Ditemukan 3.450
Hemorrhagic jurnal, jurnal, jurnal, dipersempit
 Constraint dipersempit dipersempit dengan 4 tahun
Induced dengan 5 tahun dengan nursing terakhir didapatkan
Movement terakhir didapatkan 2 1.490 jurnal,
Therapy didapatkan 2 jurnal dipersempit dengan
 Stroke jurnal nursing didapatkan
management 64 jurnal,relavan
guidelines 10 jurnal.
 Stroke Ditemukan 5 Ditemukan 2 Ditemukan 2.270
Hemorrhagic jurnal, yang jurnal, yang jurnal, dipersempit
 Constraint relevan 1 jurnal relevan 0 jurnal dengan 4 tahun
Induced terakhir didapatkan
Movement 910 jurnal,

61
Therapy dipersempit dengan
 Stroke nursing didapatkan
management 54 jurnal,relavan
guidelines 10 jurnal.
 Motor activity

C. Temuan Penelusuran
1. Effects of modified constraint-induced movement therapy with trunk
restraint in early stroke patients: A single-blinded, randomized,
controlled, pilot trial.
Hyouk bang, Dae, et al. 2018. Effects of modified constraint-induced
movement therapy with trunk restraint in early stroke patients: A single-
blinded, randomized, controlled, pilot trial. NeuroRehabilitation 42, 29–35.
DOI:10.3233/NRE-172176 IOS.
2. ROM and CIMT effects to Stroke Patients’s Upper Extremity Functional
Ability
Wulandari, dkk. (2020). ROM and CIMT effects to Stroke Patients’s Upper
Extremity Functional Ability
3. Effect of Modified Constraint - Induced Movement Therapy Combined
With Auditory Feedback For Trunk Control on Upper Extremity in
Subacute Stroke Patients with Moderate Impairment: Randomized
Controlled Pilot Trial
Bang, Dae Hyouk. (2016). Effect of Modified Constraint - Induced Movement
Therapy Combined With Auditory Feedback For Trunk Control on Upper
Extremity in Subacute Stroke Patients with Moderate Impairment:
Randomized Controlled Pilot Trial.
doi.org/10.1016/j.jstrokecerebrovasdis.2016.03.030
4. Rehabilitation of stroke patients with plegic hands: Randomized
controlled trial of expanded Constraint-Induced Movement therapy.

62
Uswatte, et al. (2018). Rehabilitation of stroke patients with plegic hands:
Randomized controlled trial of expanded Constraint-Induced Movement
therapy. Restorative Neurology and Neuroscience 36 (2018) 225–244. DOI
10.3233/RNN-170792
5. Constraint-induced movement therapy in treatment of cute and sub-
acute stroke: a meta-analysis of 16 randomized controlled trials.
Hua Li, Xi. 2017. Constraint-induced movement therapy in treatment of cute
and sub-acute stroke: a meta-analysis of 16 randomized controlled trials.
Neural Regeneration Research Vol 12 Issue 9. doi: 10.4103/1673-
5374.215255
6. Effects of modified constraint-induced movement therapy on upper
extremity function and occupational performance of stroke patients
Hui Kim, Jeong. 2018. Effects of modified constraint-induced movement
therapy on upper extremity function and occupational performance of stroke
patients. The Journal of Physical therapy science.
7. The effects of mental practice combined with modified constraint-
induced therapy on corticospinal excitability, movement quality,
function, and activities of daily living in persons with stroke.
Hee Kim, et al. 2017. The effects of mental practice combined with modified
constraint-induced therapy on corticospinal excitability, movement quality,
function, and activities of daily living in persons with stroke. Taylor and
Francis Group, Disability and rehabilitation.
DOI: 10.1080/09638288.2017.1337817
8. Effects of constraint-induced movement therapy for lower limbs on
measurements of functional mobility and postural balance in subjects
with stroke: a randomized controlled trial
Márcia Gomes, et al. 2017. Effects of constraint-induced movement therapy
for lower limbs on measurements of functional mobility and postural balance

63
in subjects with stroke: a randomized controlled trial, Taylor and Francis
Group; Topics in Stroke Rehabilitation, DOI:
10.1080/10749357.2017.1366011.
9. Effects of Game-Based Constraint-Induced Movement Therapy on
Balance in Patients with Stroke A Single-Blind Randomized Controlled
Trial.
Suk Choi, et al. 2017. Effects of Game-Based Constraint-Induced Movement
Therapy on Balance in Patients with Stroke A Single-Blind Randomized
Controlled Trial. American Journal of Physical Medicine & Rehabilitation.
DOI: 10.1097/PHM.0000000000000567
10. Effects of Two Different Modes of Task Practice during Lower Limb
Constraint-Induced Movement Therapy in People with Stroke: A
Randomized Clinical Trial.
Abdullahi, et al. 2021. Effects of Two Different Modes of Task Practice
during Lower Limb Constraint-Induced Movement Therapy in People with
Stroke: A Randomized Clinical Trial. Hindawi Neural Plasticity Volume
2021. DOI: 10.1155/2021/6664058.

D. TELAAH KRITISI
Penulis akan menguraikan deskripsi jurnal utama yang digunakan dalam
menerapkan EBN. Penulis akan menjelaskan beberapa poin yang terkait jurnal
utama sebagai berikut:
1. Judul Penelitian
Judul penelitian jurnal utama adalah “Effects of modified constraint-induced
movement therapy with trunk restraint in early stroke patients: A single-
blinded, randomized, controlled, pilot trial”.
2. Tujuan Penelitian
Meningkatkan fungsi ekstremitas atas dan ADL pasien stroke dengan

64
menggunakan terapi modified constraint-induced movement (mCIMT) dan
trunk restrain (RT)
3. Metode dan Prosedur Penelitian
Penelitian ini adalah single blind controlled trial terhadap 24 pasien stroke
di klinik rehabilitasi di Republik Korea. Sampel dibagi menjadi 2 grup
masing - masing 12 pasien dalam satu grup yang dilakukan randomisasi
secara acak. Kedua kelompok diberikan latihan selama 1 jam, 5
hari/minggu, selama 4 minggu. Peserta di kedua kelompok diminta
melakukan tugas dengan lengan yang terkena saja (lengan yang kurang
paretic berada di dalam sarung tangan dengan tali berperekat). Kedua
kelompok menjalani pengulanan latihan seperti menyusun kerucut dan
balok, menggenggam dan melepaskan suatu objek, ke depan dan ke
samping, mengangkat dan menjauhkan suatu benda dari ujung meja yang
satu ke ujung meja yang lain. Untuk kelompok intervensi, tubuhnya ditahan
dikursi dengan tali yang tidak elastis setinggi vertebra toracal 7, yang
membatasi gerakan badan untuk berpindah dan berotasi. Elevasi scapula,
gerakan lengan dan gerakan panggul tidak dibatasi.
Dalam peneliti ini dilakukan pengukuran fungsi ekstremitas atas dan ADL
sebelum intervensi dan sesudah intervensi dengan menggunakan The Action
research arm test (ARAT), the Fugl-Meyer Assessment (FMA), the
Modifified Barthel Index (MBI), the Motor Activity Logs (MAL-AOU and
MAL-QOM), dan Maximal Elbow Extention Angle During Reaching
(MEEAR).
4. Hasil Penelitian

Perubahan dalam kelompok dari pengukuran sebelum dan sesudah tes


dievaluasi dengan menggunakan paired t test. Pada akhir minggu
keempat, skor rata-rata meningkat secara signifikan di semua ukuran hasil
(ARAT, FMA, MBI, MEEAR, dan MAL) di kedua kelompok mCIMT +

65
TR dan mCIMT. Namun, nilai rata-rata pada kelompok mCIMT + TR
lebih besar daripada kelompok mCIMT, menunjukkan peningkatan yang
lebih baik secara signifikan pada kelompok mCIMT + TR (P <0,05).

Perubahan rata-rata skor ARAT pada fungsi ekstremitas atas pada


kelompok mCIMT + TR secara signifikan lebih besar daripada pada
kelompok mCIMT (9,5dibandingkan ± 3,564,67 ± skor3,52, P = 0,003).
Perubahan rata-rata skor gangguan ekstremitas atas FMA-UE pada
kelompok mCIMT + TR secara signifikan lebih besar daripada kelompok
mCIMT (8 ± 4,75 versus 5,5 ± 3,03, P = 0,042). Perubahan rata-rata skor
kehidupan sehari-hari MBI pada kelompok mCIMT + TR secara
signifikan lebih besar daripada pada kelompok mCIMT
(25,75dibandingkan 15,41 ± 5,17 ± 5,11, P = 0,001). Perubahan berarti
dalam skor ekstensi siku MEEAR dalam kelompok mCIMT + TR secara
signifikan lebih besar dibandingkan pada kelompok mCIMT (24 ± 9,45◦
vs 10,58 ± 5,02◦, P = 0,002). Perubahan rata-rata dalam pengukuran
jumlah penggunaan MAL-AOU secara signifikan lebih besar pada
kelompok mCIMT + TR dibandingkan pada kelompok mCIMT (1,51 ±
0,33 versus 1,08 ± 0,32, P = 0,005). Kelompok mCIMT + TR
menunjukkan peningkatan skor ARAT, FMA, MBI, MEEAR, dan MAL
yang secara signifikan lebih besar daripada kelompok mCIMT

5. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini, pemberian intervensi mCIMT


berpengaruh terhadap peningkatan fungsi ekstremitas atas pada pasien
stroke. Namun pemberian mCIMT + TR lebih efektif dibandingkan
pemberian mCIMT saja dalam meningkatkan fungsi ekstremitas atas dan
ADL pada pasien stroke awal. 

66
6. Aplikabilitas
Pada pelaksanaannya penelitian ini tidak menimbulkan efek yang
membahayakan pada subjek penelitian. Intervensi yang digunakan, bersifat
noninvasif, murah, patient-directed, aman, dan secara teknis dapat
meningkatkan fungsi ekstremitas atas dan ADL pasien. Dalam melakukan
latihan ini, pemilihan pasien dan latihan berulang sangat penting dalam
meningkatkan fungsi ekstremitas

67
E. Telaah Kritisi
NO Judul Tujuan Metode Penelitian Hasil Penelitian

1. Judul : Mengetahui Penelitian ini menggunakan desain Quasi Pada kelompok intervensi,
ROM and CIMT pengaruh Eksperimen dengan non equivalent group terdapat peningkatan fungsi
effects to Stroke latihan rentang control dengan non random control group pre ekstremitas atas setelah diberikan
Patients’s Upper gerak pasif fase test post test.. Populasi penelitian ini adalah intervensi ROM dan CIMT, dari
Extremity akut pasca seluruh pasien stroke dengan hemiparese di RS nilai 16,47 (fungsi rendah)
Functional Ability stroke terhadap Soedarsono dalam bulan Mei - Juli 2019. menjadi 19,76 (fungsi sedang)
Penulis : Wulandari, fungsi motorik Kemudian sampel diambil dengan consecutive saat post test. Pada kelompok
dkk pasien. sampling, dengan kriteria inklusi: pasien pria/ kontrol, tidak terdapat perbedaan
Tahun : 2020 wanitadirawat di ruang interna RS Soedarsono, yang signifikan terhadap fungsi
dengan unilateral hemiparese, kesadaran CM, ekstremitas atas sebelum dan
bisa berkomunikasi, bersedia menjadi responden. sesudah diberikan ROM yaitu
Dan kriteria eksklusi adalah stroke dengan 16,06 saat pretest, menjadi 16,41
komplikasi, pasien membatalkan partisipasi, saat post test. Sehingga dapat
pasien tidak kooperatif, stroke berulang dan disimpulkan terdapat perbedaan
pasien penurunan kesadaran yang dipindahkan kemampuan kemampuan
ke ruangan lain. Responden sebanyak 34 orang, fungsional ekstremitas atas antara

64
dibagi dua kelompok, kelompok kontrol kelompok perlakuan dan kontrol
sebanyak 17 orang dan kelompok intervensi pada pasien stroke dengan
sebanyak 17 orang. Kelompok pertama diberi hemiparese..
ROM satu kali ssehari selama 10 - 15 menit
sesuai prosedur RS. Kelompok intervensi diberi
ROM dan CIMT yang alatnya sudah disiapkan
peneliti berupa toples plastik 200 gr, telepon/
Hp, penggaris plastik 30 cm, kertas A4 50 gr,
pensil kayu, plastik air 2,3 L, gelas plastik 250
ml, handuk kecil, baskom plastik,
rompi/baju/kemeja dengan kancing, dan handuk
mandi pasien, selama 20 menit sehari. Masing -
masing kelompok diberi perlakuan selama 5
hari. Sebelumnya kedua kelompok dilakukan
pretest menilai kemampuan fungsional
ekstremitas atas dengan form Chedoke Arm and
Hand Activity Inventory (CAHAI). Kemudian
diberi intervensi. Setelah 5 hari, dilakukan post
test dengan form CAHAI.

65
2 Judul :Effect of Mengetahui Populasi: Pasien stroke dengan hemiparese Pada pasien subakut dengn
Modified Constraint efektifitas CIMT unilateral dengan kriteria inklusi: masih bisa gangguan sedang, pemberian
- Induced Movement dikombinasikan menggerakkan tangan secara aktif minimal 10 ° terapi CIMT yang dikombinasi
Therapy Combined dengan auditory pada sensi metacarpophalangeal dan dengan ausitory feedback sangat
With Auditory feedback untuk interphalangeal dan 10 ° di pergelangan tangan, membantu dalam meningkatkan
Feedback For Trunk mengontrol dengan hasil skor MMSE ≥ 24, skor amount of fungsi ekstremitas atas
Control on Upper fungsi use (AOU) < 2,5 pada aktivitas motor log, tidak ibandingkan pemberian terapi
Extremity in ekstremitas atas memiliki spastisitas berlebihan (skor Asworth CIMT saja
Subacute Stroke pada pasien >3), dan tidak mengikuti rehabilitasi dan terapi
Patients with stroke subakut obat. Kriteria eksklusi adalah: pasien dengan
Moderate gangguan kognitif yang parah atau afasia (karena
Impairment: tidak bisa memahami perintah terapis), pasien
Randomized yang tidak stabil.
Controlled Pilot
Pengambilan sampel oleh terapis yang tidak
Trial.
terlibat dalam penelitian mengacak pasien
Penulis: Dae Hyouk
menjadi kelompok intervensi dan kelompok
Bang
kontrol. Di acak dengan menggunakan amplop
Tahun: 2016.
tertutup berisi tulisan untuk tugas yang akan

66
dikerjakan. Amplop diberikan kepada
fisioterapis yang tidak tahu isinya karena sudah
diberi nomor dan disegel. Setiap protokol latihan
diterapkan selama 20 sesi (1 jam/ hari dan 5
hari/minggu selama 4 minggu). selama
penelitian semua peserta menerima rehabilitasi
konvensional, termasuk terapi fisik dan okupasi.

Selama latihan, tangan dan pergelangan tangan


pasien yang sehat diletakkan dalam sarung
tangan dan diikit ke badan. Petunjuk dan
penjelasan yang benar tentang mekanika tubuh
mengenai perkembangan melalui tugas terapi
juga diberikan. Tugas yang diberikan adalah:
membersihkan meja, mengambil sikat baju dan
menyikatnya, mengambil dan membawa cangkir
kemulut, mengambil dan membuka kotak,
jangkau kedepan dan memindahkan toples dari
satu tempat ke tempat lain, mengambil sisir

67
rambut dan menyisirnya, ambil beberapa kertas
dan buang ketempat sampah, ambil sebuah
kubus dan memindahkan ke dalam kotak, ambil
dan balikkan kartunya, ambil dan pindahkan
botol.

Pasien kelompok intervensi selain terapi CIMT


juga dilakukan auditory feedback, yaitu dengan
menempelkan badan pada sandaran kursi yang
sudah diberi sensor setinggi tulangpunggung
torak ke tujuh. Jika punggung pasien tidak tegak/
tidak menempel pada sandaran kursi, maka akan
bunyi isyarat pada pasien untuk selalu
menepelkan punggung.

3. Judul :Rehabilitation Untuk Peserta diambil dari pasien yang mendaftar ke Setelah perawatan, kelompok
of stroke patients mengevaluasi labor yang diminta partisipasinya. Sampel eCIMT menunjukkan
with plegic hands: kemanjuran diambil dengan telpon wawancara terstruktur peningkatan yang relatif
Randomized eCIMT untuk dan dilakukan pemeriksaan terstruktur oleh signifika. Hasil penelitian ini
controlled trial of hemiparese terapi fisik/ okupasi dan ahli saraf. Peserta menunjukkan pengaruh eCIMT

68
expanded Constraint- berat memenuhi kriteria ROM pada -5a atau -5b, dan sangat baik,bermakna dan tahan
Induced Movement di eksklusi jika: stroke < 1 tahun, melaporkan lama untuk pasien stroke dengan
therapy. penggunaan lengan yang hemiparese, hemiparese berat terhadap
Penulis: Uswatte, et menunjukkan kelenturan pada tangan yang aktivitas sehari-hari.
al. terkena, tidak dapat berdiri selama 2 menit tanpa
Tahun: 2018 bantuan orang lain, melaporkan sakit pada
bagian tubuh manapun, hasil MMSE <24 atau
tidak mampu mengikuti petunjuk 2 dari 4 item
dari tes fungsi wolfmotor.

Sampel: diacak dengan komputer, menjadi 10


orang mendapat eCIMT, 11 orang kelompok
kontrol (4 plasebo, 7 perawatan biasa)

Intervensi: kelompok intervensi mendapat


latihan 6jam/ hari selama 15 hari kerja (sesuai
lampiran). setiap hari peserta diminta
mengerjakan 10 dari 30 tugas yang ada, misal
membuka lemari es, membawa benda, kemudian
berkembang menjadi tugas yang lebih sulit.

69
Setelah perawatan peserta diminta berlatih 2 -3
kali, misal mencapai target di dinding,
menyendok kacang dengan cangkir selama 30
menit sehari. Peserta dimotivasi untuk lebih
sering menggunakan tangan yang terkena.
Selama latihan dilakukan 10 menit dengan
menggunakan EMG-FES untuk menambah
kekuatan

4. Judul: Constraint- Untuk Pemilihan data dengan cara mengambil Sebanyak 16 RCT (dengan 379
induced movement mengevaluasi penelitian RCT yang membandingkan CIMT pasien mendapat intervensi CIMT
therapy in treatment kemanjuran dalam terapi stroke akut atau sub akut dengan dan 359 kelompok kontrol),
of cute and sub-acute klinis dari terapi okupasi tradisional. Dengan kriteria pasien analisis menunjukkan perbedaan
stroke: a meta- CIMT pada >18 tahun, riwayat stroke< 6 bulan, dan signifikan dalam mendukung
analysis of 16 stroke akut dan dievaluasi minimal pada sastu fungsi ekstremitas terapi CIMT terhadap
randomized sub akut atas. peningkatan fungsi motorik.
controlled trials. Dapat disimpulkan terapi CIMT
Penulis: Xi Hua Li mungkin lebih bermanfaat dari
Tahun: 2017. pada terapi tradisional dalam

70
meningkatkan fungsi ekstremitas
atas setelah stroke akut atau sub
akut.

5. Judul: Effects of Melihat Sampel terdiri dari 14 pasien, 7 kelompok mCIMT meningkatkan fungsi
modified constraint- efektifitas intervensi, 7 kelompok kontrol, dengan kriteria ekstremitas atas lebih baik
induced movement modified CIMT inklusi: pasien dengan onset penyakit stroke daripada terapi rehabilitasi
therapy on upper (mCIMT) dalam 3 bulan, MRI menunjukkan stroke konvensional
extremity function terhadap fungsi pertama dengan lesi hemisfer kanan atau kiri,
and occupational ekstremitas atas minimal ekstensi pergelangan tangan aktif 20 °
performance of dan kinerja kerja dan ekstensi jari tangan 10 ° , tahap pemulihan
stroke patients pasien stroke menurut skala burnnstrorm > 5, skor MMSE >
Penulis: dibandingkan 24. Dengan kriteria eksklusi tidak mampu
Jeong Hui Kim & dengan terapi memberi persetujuan, riwayat stroke
Moon -Young Chan rehabilitasi sebelumnya, riwayat epilesi atau kejang, dan
Tahun: 2018 konvensional. kondisi medis yang tidak stabil.

Kelompok eksperimen menerima mCIMT dan


terapi rehabilitasi konvensional (CRT),
sedangkan kelompok kontrol menerima CRT.

71
Ekstremitas atas yang hemiplegi, mendapat
latihan 5 hari satu minggu selama 2 minggu oleh
terapi okupasi berlisensi. Kelompok mCIMT
diberi latihan tugas adaptif 2 jam perhari, dengan
tangan yang terkena menggunakan sarung
tangan selama latihan. CRT terdiri dari terapi
okupasi dan fisik yanng meliputi kekuatan,
ADL, keseimbangan gaya berjalan, dan latihan
koordinasi. Kelompok kontrol hanya menerima
CRT yang sebanding dengan total sesi kelompok
intervensi.

6. Judul: The effects of Membandingka Pasien terdiri dari 14 orang dengan kriteri inklusi Kedua kelompok menunjukkan
mental practice n efek terapi didiagnosis stroke hemiplegia dengan onset > 3 peningkatan yang signifikan
combined with kombinasi bulan, tidak ada gangguan pendengaran, hasil dalam kualitas gerakan dan
modified constraint- dengsn zcIMT MMSE > 24, Vividnes dari MIQS <2,26 poin, aktivitas kinerja kehidupan sehari
induced therapy on pada ransangan tahap pemulihan fungsi tangan Brunnstrom ≥ -hari. Peningkatan ransangan
corticospinal kortikospinal, tahap 3, sendi metacarpophalangeal > 10 ° dan kortikospinal, fungsi ekstremitas
excitability, kualitas gerakan pergelangan tangan 20° disisi yang sakit. Dengan atas dan kinerja kegiatan sehari -

72
movement quality, ekstremitas atas kriteria eksklusi: penggunaan alat pacu jantung, hari lebih besar pada kelompok
function, and yang terkena, riwayat epilepsi, kemungkinan hamil, adanya intervensi dari pada kelompok
activities of daily fungsi motorik implan logam dikepala dan kondisi medis yang kontrol. Dapat disimpulkan terapi
living in persons with atas dan kierja tidak terkontrol. Sampel di bagi dengan stratified kombinasi lebih efektif dalam
stroke. lengan yang randomisasi menjadi dua kelompok. Kelompok peningkatan ransangan
terkena dalam intervensi diberi mCIMT dan terapi mental, kortikospinal, fungsi ekstremitas
Penulis: Hee Kim,
kehidupan kelompok kontrol hanya diberikan mCIMT. atas dan kinerja kegiatan sehari -
Eun-Young Yoo ,
sehari - hari Peserta tidak tahu dengan pembagian kelompok hari. Kombinasi terapi mCIMT
Min-Ye Jung,
pasien stroke dan terapi yang didapatkan. dan terapi mental dapat
Jongbae Kim , Ji-
dengan digunakan sebagai terapi yang
Hyuk Park and Dae- Program mCIMT mengharuskan peserta
hemiplegic berguna untuk intervensi klinis.
Hyuk Kang melakukan kegiatan sehari - hari sambil
mengenakan batasan tangan selama 6 jam sehari/
Tahun: 2017
5 hari seminggu selama 2 minggu, dan diawasi
terapis selama 1 jam perhari. Selama kunjungan,
peserta diarahkan untuk memilih dan melakukan
5 - 6 dari 18 ADL secara berulang .

Program latihan mental digabungkan dengan


pengamatan tindakan, dilakukan dengan

73
mendengarkan audio sambil menonton video
selama 10 menitsetelah latihan ADL selama 1
jam. Video ini untuk memvisualisasikan
kegiatan ADL, seperti video menyendok sup dari
mangkok kemudian membawa sendok ke mulut
sambil mendengarkan penjelasan selama 4
menit, video berakhir, peserta disuruh
memejamkan mata dan berlatih latihan relaksasi
selama 2 menit, kemudian latihan mental yang
awalnya pakai video diulang tanpa video selama
4 menit.

7. Judul: Effects of Untuk menguji Penelitian ini adalah uji coba acak, demgam Hasil ANOVA menunjukkan
constraint-induced efek CIMT komputer populasi adalah pasien stroke (21 - 70 perbaikan setelah latihan
movement therapy terhadap tahun) yang dirawat di pusat rawatan neurologis keseimbangan postural dan
for lower limbs on ekstremitas klinik universitas atau yabg sudah pulang. Pasien fungsional mobilitas. Dapat
measurements of bawah pada terdiri dari 38 orang dibagi menjai kelompok disimpulkan latihan CIMT
functional mobility fungsional eksperimen (19 orang) dan kelompok kontrol (treadmill) selama 2 minggu
and postural balance mobilitas dan (19 orang) dengan kriteria inklusi: diagnosa efektif meningktakan

74
in subjects with keseimbangan stroke pertama (iskemik atau hemoragik) yang keseimbangan postural dan
stroke: a randomized postural pada mengakibatkan defisit berjalan sampai 1 tahun fungsional mobilitas pada pasien
controlled trial pasien stroke setelah onset stroke. Semua peserta bisa berjalan stroke subakut
setidaknya 10 meter tanpa alat bantu jalan
Penulis:Emília
dengan kecepatan lambat atau sedang dan
Márcia Gomes de
mampu memahami beberapa perintah motoriik.
Souza e Silva ,
Kriteria eksklusi: ketidakstabilan kondisi jantung
Tatiana Souza
dan kondisi klinis lainnya yang mempengaruhi
Ribeiro , Tállyta
keseimbangan dan/atau gaya berjalan, nyeri
Camyla Chaves da
dan/atau ketidaknyamanan yang dapat
Silva,
menghambat latihan, perubahan TD sebelum,
Mayara Fabiana saat atau setelah latihan dan tidak sedang
Pereira Costa , mengikuti rehabilitasi terhadap anggota gerak
Fabrícia Azevedo da bawah.
Costa Cavalcanti and Kelompok intervensi diberikan latihan treadmill
Ana Raquel dengan beban di pergelangan kaki dan kelompok
Rodrigues Lindquist kontrol diberikan latihan treadmill ltanpa beban
kaki. Alokasi dirahasiakan dengan memberikan
Tahun: 2017
amplop tertutup.

75
8. Effects of game- Untuk Desain dalam penelitian ini adalah randomized Hasil penelitian menunjukan
based constrain- menentukan controlled trial yang dilakukan di 3 tempat bahwa hanya terdapat perbedaan
induced movement apakah terapi rehabilitasi Daejeon, Republik Korea. bermakna (p<0,05) pada
therapy on balnace in gerakan yang Responden dalam penelitian ini berjumlah 36 spatisitas ekstensor lutut
patients with stroke diinduksi responden dengan stroke kronis yang dipilih (kelompok 1 (median = 0(0),
Ho-Suk Choi, Won- kendala berbasis secara acak ditugaskan ke CIMT berbasis mean rank 27,50) group 2
Soeb Shin. Dae- permainan permainan (n=12), pelatihan berbasis (median = 0(0), mean rank =
Hyouk Bang and (CIMT) efektif permaianan umum (n=12) dan kelompok 31,64 ), pengerahan tenaga
Sung-Jin dalam konsvensional (n=12). Semua intervensi sebelum memulai kegiatan
Tahun : 2017 meningkatkan dilakukan sebanyak 3 kali seminggu selama 4 (kelompok 1 (median 0(0,05)),
kemampuan minggu. CIMT berbasis permainan dilakukan rata-rata peringkat = 21,90),
keseimbangan selama 30 menit.penilaian akhir menggunakan kelompok 2 (median=1(0,5), rata-
pada pasien heading sk slalom dan sepak bola dari sistem rata peringkat 37,64 ) dan
dengan stroke game wii fit. Kriteria inklusi dalam penelitian pengerahan tenaga setelah
dan untuk adalah diagnosis stroke lebih dari 6 bulan, dimulainya kegiatan (kelompok 1
memberikan mampu berdiri mandiri, dan tidak ada gangguan (median = 1(1), rata-rata
pengetahuan kognitif berdasarkan hasil pemeriksaan mini peringkat = 27,07 ) kelompok 2
klinis tentang mental state. Kriteria eksklusi dalam penelitian (median = 1(0), rata-rata
pelatihan adalah adanya gangguan neurologis selaian peringkat = 39,61) pasca

76
berbasis stroke, gangguan ortopedi, dan gangguan intervensi mendukung kelompok
permainan yang penglihata ataupun pendengaran. Partisipan eksperimen (kelomok 1). Dari
memungkinkan dalam penelitian ini bersifat sukarela, dan pasien hasil penelitian ini dapat
penerapan memahami sepenuhnya tujuandan metode dalam disimpulkan bahwa protokol
CIMT pada penelitian sebelum melakukan persetujuan group 1 lebih efektiv dalam
ekstremitas secara tertulis. Kontrol keseimbangan statis dan meingkatkan hasil setelah stroke.
bawah simetri menahan beban dinilai dan uji jangkauan
fungsional (FRT), uji jangkauan fungsional yang
dimodifikasi (mFRT), dan uji Time Up and Go
(TUG) dilakukan untuk mengevaluasi
kemampuan keseimbangan.
9. Effects of two Untuk Penelitian ini merupakan uji klinis acak yang Hasil penelitian menunjukan
diffrent modes of mengetahui disetuji oleh komite etik kementrian kesehatan bahwa hanya terdapat perbedaan
task practice during efektivitas negara bagian Kano. Lima puluh delapan orang bermakna (p<0,05) pada
lower limb constraint protokol CIMT dengan stroke berpartisipasi dalam penelitian ini spatisitas ekstensor lutut
–induced movement yang kelompok 1 dan 2 dalam penelitian ini (kelompok 1 (median = 0(0),
therapy in people menggunakan melakukan 600 pengulangan setiap hari dan 3 mean rank 27,50) group 2
with stroke : A jumlah jam latihan tugas masing-masing 5 kali (median = 0(0), mean rank =
Randomized Clinical pengulangan seminggu selama 4 minggu. Gangguan motorik 31,64 ), pengerahan tenaga

77
Trial latihan sebagai (hasil utama), kesimbangan, mobilitas sebelum memulai kegiatan
Auwal Abdulllahi, ukuran fungsional, kelenturan ekstensor lutut, kecepatan (kelompok 1 (median 0(0,05)),
Naima Umar Aliyu, intensitas dan gaya berjalan, dan pengerahan tenaga rata-rata peringkat = 21,90),
Ushotanefe Useh, dibandingkan sebelum dan sesudah dimulainya aktivitas kelompok 2 (median=1(0,5), rata-
Muhammad Aliyu dengan protokol dimulai pada awal pasca intervensi. Data rata peringkat 37,64 ) dan
Abba, Mukadas CIMT yang dianalisis menggunakan uji Friedmann dan pengerahan tenaga setelah
Oyiniran Akindele, menggunakan mann-withney U. dimulainya kegiatan (kelompok 1
Steven Truijen, and jam latihan (median = 1(1), rata-rata
Peserta dalam penelitian ini adalah pasien
Wim Saeys. dalam peringkat = 27,07 ) kelompok 2
stroke. kriteria inklusi dalam penelitian adalah
Tahun : 2021 meningkatkan (median = 1(0), rata-rata
partisipan dengan stroke hemoragik maupun
hasil dalam peringkat = 39,61) pasca
iskemik pada setiap stadium stroke. berusia 18
meningkatkan intervensi mendukung kelompok
tahun, dengan kemmapuan kognitif yang baik.
hasil fungsional eksperimen (kelomok 1). Dari
(skor 24 pada pemeriksaan keadaan minimal)
ekstremitas hasil penelitian ini dapat
dengan sikap simteris (dimulai dengan
bawah pada disimpulkan bahwa protokol
menggamati postur berdiri peserta) dengan
orang dengan group 1 lebih efektiv dalam
kemampuan berdiri dan berjalan dengan bantuan
pukulan meingkatkan hasil setelah stroke
minimal dinilai dengan menggunakan ambulasi
fungsional dan memiliki fleksi lutut aktif 15

78
derajat pada anggota tubuh yang terkena dalam
posisi berdiri.

79
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Asuhan Keperawatan
Berdasarkan asuhan keperawatan yang telah dijelaskan pada bab 3, maka
penulis dapat menarik keseimpulan:
a. Hasil pengkajian pada kasus Ny.S dapat didokumentasikan secara
komprehensif dengan pengkajian awal, pengkajian fisiologis, pengkajian
konsep diri dan fungsi peran dengan model keperawatan Callista Roy.
b. Berdasarkan kasus Ny.S didaptkan 3 diagnosis keperawatan berbasis
NANDA NIC NOC diagnosis keperawatan tersebut meliputi: hambatan
mobilitas fisik b.d gangguan neuromuskuler, nyeri akut b.d agen cedera
fisik, gangguan komunikasi verbal b.d penurunan sirkulasi serebral.
c. Berdasarkan diagnosis yang ditemukan, direncanakan dan diatasi dengan
beberapa intervensi sesuai NANDA NIC-NOC.
2. Evidance Based Nursing
Penerapan EBN yang dilakukan pada Ny.S dengan stroke hemoragik dalam
pemberian constraint induced movement therapy. Berdasarkan 10 artikel
jurnal yang telah ditelaah constraint induced movement therapy sangat efektif
dalam meningkatkan fungsi motoric pada pasien pasca stroke.
B. Saran
Melalui laporan makalah ini, diharapkan dapat dijadikan rujukan bagi bahan
bacaan bagi pembaca, mahasiswa keperawatan, dan peneliti selanjutnya yang
berkaitan dengan asuhan keperawatan pada pasien stroke hemoragik
menggunakan model adaptasi Roy dengan terapi modalitas constrain induced
movement therapy (CIMT) pada pasien stroke hemoragik. Selain itu, makalah ini
dapat menjadi acuan dalam mengembangkan standar operasional prosedur terkait
constrain induced movement therapy (CIMT) dalam penanganan nonfarmakologi
pada pasien dengan stroke.

80
DAFTAR PUSTAKA

Bang, Dae-Hyouk, Shin, Won-Seob, and Choi, Ho-Suk. ‘Effects of Modified


Constraint-induced Movement Therapy with Trunk Restraint in Early Stroke
Patients: A Single-blinded, Randomized, Controlled, Pilot Trial’.
2018;42(1):29-35. DOI: 10.3233/NRE-172176.
Wulandari, dkk. ROM and CIMT effects to Stroke Patients’s Upper Extremity
Functional Ability. 2020; Vol 8(3):223-231
Bang, Dae Hyouk. (2016). Effect of Modified Constraint - Induced Movement
Therapy Combined With Auditory Feedback For Trunk Control on Upper
Extremity in Subacute Stroke Patients with Moderate Impairment: Randomized
Controlled Pilot Trial. 2016;25(7):1606-1612.
doi.org/10.1016/j.jstrokecerebrovasdis.2016.03.030
Uswatte, et al. Rehabilitation of stroke patients with plegic hands: Randomized
controlled trial of expanded Constraint-Induced Movement therapy. Restorative
Neurology and Neuroscience 36 (2018) 225–244. DOI 10.3233/RNN-170792
Hua Li, Xi. Constraint-induced movement therapy in treatment of cute and sub-acute
stroke: a meta-analysis of 16 randomized controlled trials. Neural Regeneration
Research. 2017;12(9). doi: 10.4103/1673-5374.215255
Hui Kim, Jeong. 2018. Effects of modified constraint-induced movement therapy on
upper extremity function and occupational performance of stroke patients. The
Journal of Physical therapy science.
Kim JH, Chang MY. Effects of modified constraint-induced movement therapy on
upper extremity function and occupational performance of stroke patients. J
Phys Ther Sci. 2018;30(8):1092-1094. doi:10.1589/jpts.30.1092
E Silva EMGS, Ribeiro TS, da Silva TCC, Costa MFP, Cavalcanti FADC, Lindquist
ARR. Effects of constraint-induced movement therapy for lower limbs on
measurements of functional mobility and postural balance in subjects with

81
stroke: a randomized controlled trial. Top Stroke Rehabil. 2017;24(8):555-561.
doi: 10.1080/10749357.2017.1366011.
Choi, Ho-Suk PT, MS; Shin, Won-Seob PT, PhD; Bang, Dae-Hyouk PT, MS; Choi,
Sung-Jin PT, MS Effects of Game-Based Constraint-Induced Movement
Therapy on Balance in Patients with Stroke, American Journal of Physical
Medicine & Rehabilitation. 2017;96(3):p 184-190. doi:
10.1097/PHM.0000000000000567
Abdullahi, et al. Effects of Two Different Modes of Task Practice during Lower
Limb Constraint-Induced Movement Therapy in People with Stroke: A
Randomized Clinical Trial. Hindawi Neural Plasticity. 2021; 9pg. DOI:
10.1155/2021/6664058.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) (2018). Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian RI tahun 2018.
http://www.depkes.go.id/resources/download/infoterkini/materi_rakorpop_2018
/Hasil%20Riskesdas%202018.pdf – Diakses November2021.
Johan, M., & Susanto, A. (2018). Gangguan Berbahasa Pada Penderita Strok Suatu
Kajian : Neurolinguistik, (1), 103–108.
Rosjidi, C. H., & Nurhidayat, S. (2014). Buku Ajar Peningkatan Tekanan Intrakranial
& Gangguan Peredaran Darah Otak. Yogyakarta: Gosyen Publishing.
Potter PA & Perry AG. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses
dan Praktik Edisi 4, Jakarta: EGC.

82

Anda mungkin juga menyukai