Anda di halaman 1dari 17

UNIVERSITAS ANDALAS

TUGAS APLIKASI I

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN SOL (SPACE OCCUPYING LESION)

DI RUANG RAWAT INAP NEUROLOGI RSUP DR. M. DJAMIL

PADANG

Disusun Oleh:

Aisya Rahmadhanty

NIM. 2121312008

PROGRAM MAGISTER KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

2022
1. Definisi
SOL (Space-occupying Lesion) merupakan generalisasi masalah tentang ada lesi pada
ruang intracranial khususnya mengenai otak. Banyak penyebab yang dapat menimbulkan lesi
pada otak seperti kontusio serebri, hematoma, infark, abses otak dan tumor intracranial
karena cranium merupakan tempat yang kaku dengan volume yang terfiksasi maka lesi-lesi
ini akan meningkatkan tekanan intracranial. (Cross, 2014).
Space Occupied Lession (SOL) adalah lesi fisik substansial, seperti neoplasma,
perdarahan, atau granuloma, yang menempati ruang. SOL Intrakranial didefinisikan sebagai
neoplasma, jinak atau ganas, primer atau sekunder, serta hematoma atau malformasi vaskular
yang terletak di dalam rongga tengkorak. (Simamora & Zanariah, 2017). Menurut Mutiudin,
dkk (2020), Space Occupying Lesion (SOL) merupakan desakan ruang yang diakibatkan
peningkatan volume di dalam ruang intrakranial yang ditempati oleh jaringan otak, darah,
dan cairan serebrospinal. Lesi desakan ruang (Space Occupying Lesion) bisa meningkatkan
tekanan intrakrania.
2. Etiologi
Space-occupying lesion (SOL) intrakranial mempunyai beberapa etiologi, dimana
semuanya menimbulkan ekspansi dari volume dari cairan intrakranial yang kemudian
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Pembengkakan pada ot ak dapat dibagi dua
yaitu diffuse dan fokal (Khoirinnisa, 2010) Pembengkakan diffuse sering terjadi akibat
peningkatan umum cairan di otak diakibatkan oleh vasodilatasi atau edema. Gangguan sistem
vasomotor dapat menyebabkan vasodilatasi yang kemudian meningkatan aliran darah di
serebrum. Hal ini terjadi sebagai respons terhadap hypercapnia dan hipoksia, dan juga terjadi
akibat head injury. Selain itu, edema dapat terjadi dari tiga mekanisme yaitu vasogenik,
sitotoksik dan interstisial.
Pada edema vasogenik terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh darah serebral akibat
disfungsi sawar otak. Pada edema sitotoksik terjadi jejas terhadap sel endotel, sel glia dan
neuron pada otak. Pada edema interstisial terjadi kerusakan pada ventrikel-ventrikel otak,
sering ditemukan pada kasus hidrosefalus (Utina, 2013). Fokal dapat terjadi akibat abses
serebral, hematoma, atau neoplasma. Lesi menyebar ekstrinsik seperti hematoma subdural
dan meningioma juga meningkatkan tekanan pada kavitas otak dan disebut sebagai space-
occupying lesion (Utina, 2013). Pada neoplasma dapat ditemukan faktor-faktor resiko berikut
(Utina, 2013):
a) Riwayat trauma kepala
b) Faktor genetik
c) Paparan zat kimia yang bersifat karsinogenik
d) Virus tertentu
e) Defisiensi imunologi
f) Kongenital.
3. Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda klinis dari space-occupying lesion (SOL) meliputi tanda-tanda lokal,
tanda-tanda umum, dan tanda-tanda lokal palsu. Gejala yang timbul tiba-tiba sering
menandakan lesi serebrovaskuler sementara lesi-lesi lain menimbulkan gejala secara
perlahan-lahan.
a) Tanda dan gejala peningkatan TIK (Syaiful Saanin, 2012) :
1) Nyeri kepala, merupakan gejala awal pada 20% pasien tumor yang kemudian
berkembang menjadi 60% . Nyeri kepala berat juga diperberat dengan oleh perubahan
posisi, batuk, manuever valsava dan aktivitas fisik. Muntah ditemukan bersama nyeri
kepala pada 50% pasien. Nyeri kepala ipsilateral pada tumor supratentorial sebanyak
80% dan terutama pada bagian frontal. Tumor fossa posterior memberikan nyeri alih
ke oksiput dan leher.
2) Muntah tanpa diawali dengan mual, mengindikasikan tumor yang luas dengan efek
massa tumor tersebut juga mengidikasikan adanya pergeseran otak.
3) Perubahan status mental, meliputi gangguan konsentrasi, cepat lupa, perubahan
kepribadian, perubahan mood dan berkurangnya inisiatif yang terletak pada lobus
frontal atau temporal.
4) Ataksia dan gangguan keseimbangan.
5) Seizure, adalah gejala tumor yang berkembang lambat, paling sering terjadi pada
tumor di lobus frontal kemudian pada tumor lobus parietal dan temporal. Gejala
epilepsi yang muncul pertama kali pada usia pertengahan mengindikasikan adanya
suatu SOL.
6) Papil edema, dapat dinilai dengan ophthalmoskop. Pada keadaan awal tidak
menyebabkan hilangnya daya penglihatan, tetapi edem papil yang berkelanjutan dapat
menyebabkan perluasan bintik buta, penyempitan lapangan pandang perifer dan
menyebabkan penglihatan kabur yang tidak menetap.
b) Tanda-tanda melokalisir, (Syaiful Saanin, 2012):
1) Lobus temporalis
Lesi pada lobus temporalis sering menimbulkan gangguan psikologis yang umum
seperti perubahan perilaku dan emosi. Selain itu pasien juga dapat mengalami
halusinasi dan déjà vu. Lesi pada lobus temporalis juga dapat menyebabkan afasia.
Tumor pada daerah ini dapat mengakibatkan kejang dengan halusinasi deria bau
dangustatori, fenomena motorik dan gangguan kesadaran eksternal tanpa penurunan
kesadran yang benar. Lesi lobus temporalis dapat mengarah kepada depersonalisasi,
gangguan emosi, gangguan sikap, sensasi déjà vu atau jamais vu, mikropsia atau
makropsia (objek kelihatan lebih kecil atau lebih besar daripada seharusnya),
gangguan lapangan pandang (crossed upper quadrantanopia) dan ilusi auditorik atau
halusinasi audotorik, Lesi bahagian kiri dapat mengakibatkan dysnomia dan receptive
aphasia, dan lesi pada bahagian kanan menggangu persepsi pada nada dan melodi.
2) Lobus frontalis
Lesi pada lobus frontalis dapat menyebabkan terjadinya anosmia. Gangguan perilaku
juga dapat terjadi dimana pasien itu cenderung berperilaku tidak sopan dan tidak
jujur. Afasia dapat terjadi apabila area Broca terlibat. Tumor pada lobus frontalis
seringkali mengarah kepada penurunan progresif intelektual, perlambatan aktivitas
mental, gangguan personality dan reflex grasping kontralateral. Pasien mungkin
mengarah kepada afasia ekspresif jika melibatkan bahagian posterior daripada gyrus
frontalis inferior sinistra. Anosmia dapat terjadi karena tekanan pada saraf olfaktorius.
Lesi presentral dapat mengakibatkan kejang motoric fokal atau defisit piramidalis
kontralateral.
3) Lobus parietal
Lesi pada lobus parietal dapat menyebabkan terjadinya astereognosis dan disfasia.
Selain itu dapat juga terjadi kehilangan hemisensorik.
4) Lobus occipital
Lesi sebelum chiasma optic dari mata akan menyebabkan gangguan pada satu mata
sahaja. Lesi pada chiasma optic tersebut akan menyebabkan gangguan kedua mata.
Lesi di belakang chiasma optic akan menyebabkan gangguan pada mata yang
berlawanan.
5) Sudut serebellopontin
Lesi pada sudut serebellopontin dapat menyebabkan tuli ipsilateral, tinnitus,
nystagmus, penurunan refleks kornea, palsi dari sarat kranial fasialis dan trigeminus.
6) Mesensefalon
Tanda-tanda seperti pupil anisokor, inabilities menggerakkan mata ke atas atau ke
bawah, amnesia, dan kesadaran somnolen sering timbul apabila terdapat lesi pada
mesensefalon.
4. Pemeriksaan Penunjang
A. Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik pada SOL menurut Arif Muttaqin, 2008 :
1) Elektroensefalogram (EEG)
Elektroensefalogram (EEG) merekam aktivitas umum elektrik di otak, dengan cara
meletakkan elektroda pada area kulit kepala atau dengan menempatkan
mikroelektroda dalam jaringan otak. Pemeriksaan ini memberikan pengkajian
fisiologis aktivasi serebral.
2) Ekoensefalogram
Pergeseran kandungan intra kranial bisa diketahui dari pemeriksaan ekoensefalogram.
3) Foto rontgen polos
Foto rontgen polos tengkorak dan medulla spinalis sering digunakan dalam
penatalaksanaan trauma akut seperti untuk mengidentifikasi abnormalitas tulang,
adanya fraktur dan dislokasi. Selain itu, foto rontgen polos mungkin menjadi
diagnostik bila kelenjar pineal yang mengalami penyimpangan letak terlihat pada
hasil foto rontgen, yang merupakan petunjuk dini tentang adanya space occupying
lesion (SOL).
4) Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Magnetic Resonance Imaging (MRI) menggunakan medan magnetik untuk
mendapatkan gambaran daerah yang berbeda pada tubuh. Foto magnetik (nucleus
hidrogen) di dalam tubuh seperti magnet-magnet kecil di dalam medan magnet.
Setelah pemberian getaran radiofrekuensi, foto memancarkan sinyal-sinyal, yang
diubah menjadi bayangan.
5) Computerized Tomografi (CT Scan)
Penderita yang dicurigai space occupying lesion (SOL) bisa menggunakan alat
diagnostik CT Scan sebagai evaluasi pasien. Pada basis kranil sensitifitas CT Scan
bisa untuk mendeteksi lesi yang berpenampang kurang dari 1 cm. Lesi abnormal yang
berupa massa mendorong struktuk otak disekitarnya merupakan gambaran CT Scan
pada space occupying lesion (SOL). Densitas yang lebih rendah biasanya
menyebabkan SOL seperti dikelilingi jaringan udem yang terlihat jelas. Sifatnya yang
hiperdens memudahkan dalam membedakan perdarahan atau invasi dengan jaringan
sekitarnya karena adanya klasifikasi. Jika pada waktu pemeriksaan CT Scan disertai
pemberian zat kontras, beberapa jenis SOL akan terlihat lebih nyata. Penilaian space
occupying lesion (SOL) pada CT Scan : Proses desak ditandai dengan garis tengah
otak terdapat pendorongan struktur dan pada ventrikel terjadi penekanan dan
perubahan bentuk
6) Angiografi serebral
Angiografi serebral adalah proses pemeriksaan dengan menggunakan sinar-x terhadap
sirkulasi serebral setelah zat kontras disuntikkan ke dalam arteri yang dipilih.
Angiografi serebral merupakan pilihan terakhir jika dengan pemeriksaan CT scan dan
MRI, diagnosis masih belum bisa ditegakkan.
B. Laboratorium
Pemeriksaan cairan serebrospinal diperlukan bila ada kecurigaan metastasis
leptomeningeal, limfoma sistem saraf pusat atau penyebaran kraniospinal.
Pemeriksaan darah rutin merupakan pemeriksaan yang rutin dikerjakan dalam proses
diagnosis tumor otak. Pemeriksaannya antara lain : pemeriksaan darah lengkap, kadar
elektrolit, dan fungsi metabolik, pemeriksaan lainnya gula darah, LDH, fungsi hati, dan
ginjal serta serologi hepatitis B dan C (KPKN Kemkes RI).
Ukuran Satuan Nilai Rujukan
Eritrosit (sel darah juta/µl 4,0 – 5,0 (P)
merah) 4,5 – 5,5 (L)
Hemoglobin (Hb) g/dL 12,0 – 14,0 (P)
13,0 – 16,0 (L)
Hematokrit % 40 – 50 (P)
45 – 55 (L)
Hitung Jenis
Basofil % 0,0 – 1,0
Eosinofil % 1,0 – 3,0
Limfosit % 20,0 – 40,0
Monosit % 2,0 – 8,0
Laju endap darah mm/jam < 15 (P)
(LED) < 10 (L)
Leukosit (sel darah 103/µl 5,0 – 10,0
putih)
MCH/HER pg 27 – 31
MCHC/KHER g/dL 32 – 36
MCV/VER fl 80 – 96
Trombosit 103/µl 150 – 400

Fungsi Hati
ALT (SGPT) U/L < 23 (P)
< 30 (L)
AST (SGOT) U/L < 21 (P)
< 25 (L)
Bilirubin total mg/dL 0,25 – 1,0
Bilirubin langsung mg/dL 0,0 – 0,25
Protein total g/L 61 – 82
Albumin g/L 37 – 52

Fungsi Ginjal
Kreatinin U/L 60 – 150 (P)
70 – 160 (L)
Urea mg/dL 8 – 25
Natrium mmol/L 135 – 145
Klorid mmol/L 94 – 111
Kalium mmol/L 3,5 – 5,0

Pemeriksaan lainnya
Kolesterol total mg/dL 150 – 200
HDL mg/dL 45 – 65 (P)
35 – 55 (L)
Trigliserid mg/dL 120 – 190
Glukosa (darah, mg/dL 70 – 100
puasa)
Amilase U/L 30 – 130
Asam Urat mg/dL 2,4 – 5,7 (P)
3,4 – 7,0 (W)

5. Penatalaksanaan
A. Medis
1) Pembedahan/ invasif
Tumor otak yang tidak terobati menunjukkan kearah kematian, salah satu akibat
peningkatan TIK atau dari kerusakan otak yang disebabkan oleh tumor. Tujuannya
adalah mengangkat dan memusnahkan semua tumor atau banyak kemungkinan tanpa
meningkatkan penurunan neurologic (paralisis, kebutaan) atau tercapainya gejala-
gejala dengan mengangkat sebagian (dekompresi). Menurut Smeltzer, 2013
penatalaksanaan SOL ada tiga yaitu:
a. Pendekatan pembedahan (Craniotomy)
Bertujuan mengurangi efek massa dan edema, melindungi dan memperbaiki
fungsi neurologis, mengurangi kejadian kejang, menjaga alirana cairan
serebrospinalis, dan memperbaiki prognosis (Dewanto dkk, 2009).
Craniotomy dilakukan untuk mengobati pasien meningioma, astrositoma kistik
pada serebelum, kista koloid pada ventrikel ke-3, tumor kongenital seperti demoid
dan beberapa granuloma. Untuk pasien dengan glioma maligna, pengangkatan
tumor secara menyeluruh dan pengobatan tidak mungkin, tetapi dapat melakukan
tindakan yang mencakup pengurangan TIK, mengangkat jaringan nefrotik dan
mengangkat bagian besar dari tumor yang secara teori meninggalkan sedikit sel
yang tertinggal atau menjadi resisten terhadap radiasi atau kemoterapi.
2) Terapi : Jenis obat, fungsi obat, cara kerja dalam tubuh, organ target
a. Terapi suportif berfokus pada meringankan gejala dan meningkatkan fungsi
neuroligik pasien. Terapi suportif yang utama digunakan adalah antikonvulsan
dan kortikosteroid.
a) Antikonvulsan
Antikonvulsan diberikan pada pasien yang menunjukkan tanda-tanda seizure.
Phenytoin (300-400mg/d) adalah yang paling umum digunakan, tapi
carbamazepine (600-1000mg/h). Phenobarbitol (90-150mg/h) dan valproic
acid (750-1500mg/h) juga dapat digunakan.
b) Kortikosteroid
Kortikosteroid mengurangi udem peritumoral dan emngurangi tekanan
intrakranial. Efeknya mengurangi sakit kepala dengan cepat. Dexamethasone
adalah kortikosteroid yang dipilih karena aktifitas mineralkortikoid yang
minimal. Dosisnya dapat diberikan mulai dari 16mg/h tetapi dosis ini dapat
ditambah atau dikurangi untuk mencapai dosis yang yang dibutuhkan untuk
mengontrol gejala neurologik.
c) Manitol
Digunakan untuk mengurangi peningkatan tekanan intrakranial. Lakukan
pemberian manitol untuk mengurangi edema serebral yang bisa menarik air
bebas dari area otak dan meningkatkan osmolalitas serum. Melalui diuresis
osmotik cairan ini akan dieksresikan. Berikan deksametason melalui intravena
setiap 6 jam selama 24-72 jam, setelah itu secara bertahap dosis dikurangi.
b. Radiotherapi
Radioterapi merupakan penggunaan sebuah mesin X-ray untuk membunuh sel-sel
tumor yang diarahkan pada tumor dan jaringan didekatnya kadang diarahkan pada
seluruh otak atau ke syaraf tulang belakang.
c. Kemoterapi
Untuk terapi kanker biasanya menggunakan kemoterapi yaitu pengobatan
penyakit yang disebabkan oleh agen kimia. Perbedaan antara sel kanker dan sel
normal terhadap reaksi pengobatan sitostika yang diberikan secara sendiri-sendiri
atau kombinasi merupakan dasar pengobatan kemoterapi.
B. Keperawatan (Teori Maslow)
Menurut Hudak & Gallo (2000):
1) Perbaiki dan jaga jalan nafas.
2) Oksigenasi dan ventilasi harus adekuat dilihat dari kadar PCO2 (normal atau tidak)
3) Jika dari hematome (<4 jam) terdapat tanda-tanda penting segera lakukan
pembedahan
4) Untuk mempertahankan aliran darah ke serebral harus dipertahankan normotensi dan
normovolemik
5) Jika terjadi peningkatan TIK lakukan terapi dengan cepat dan apabila terjadi
kemunduran secara klinis lakukan CT Scan kembali.
6) Awasi jikat terjadi komplikasi sistemik
a. Seperti terjadi stress ulser (perdarahan sistem pencernaan)
b. Edema paru neurogenik
c. Abnormalitas hormon Endokrin
d. Jika terjadi peningkatan natrium
e. Kejang
7) Baringkan pasien dengan posisi kepala ditinggikan 150 – 300 dan ganti posisi pasien
secara teratur.
8) Setiap jam sekali GCS/respon pupil di observasi
9) Lakukan perawatan mata dan daerah yang tertekan.
10) Minimal satu kali per shift lakukan suction atau sesuaikan dengan kebutuhan
11) Tali endotracheal harus di rawat dan di posisikan di atas telingan atau posisi yang
tinggi
12) Penurunan tekanan darah harus di awasi
13) Beri nutrisi sejak dini
14) Lakukan terapi hipertermi dengan cara:
a. Hilangkan infeksi
b. Lakukan pendinginan secara aktif.
c. Profilaksis untuk kejang.
6. Askep Teoritis
A. Pengkajian
1) Identitas klien : usia, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku
bangsa, tgl masuk RS, askes.
2) Keluhan utama: nyeri kepala disertai dengan penurunan kesadaran.
3) Riwayat penyakit sekarang : demam, anoreksi dan malaise, peninggian tekanan
intrakranial serta gejala nerologik fokal.
4) Riwayat penyakit dahulu : pernah atau tidak menderita infeksi telinga (otitis media,
mastoiditis) atau infeksi paru-paru (bronkiektaksis,abses paru,empiema) jantung
(endokarditis), organ pelvis, gigi dan kulit.
5) Riwayat keluarga
Riwayat keturunan seperti penyakit hipertensi dan stroke.
6) Pemeriksaa fisik
a. Makan
Dikaji apakah klien menghabiskan porsi makan yang telah disediakan RS, apakah
pasien mengalami mual atau muntah ataupun kedua-duanya.
b. Minum
Dikaji kebiasaan minum pasien sebelum dan saat berada di RS, apakah ada
perubahan (lebih banyak minum atau lebih sedikit dari biasanya).
c. Eliminasi (BAB / BAK)
Dikaji pola buang air kecil dan buang air besar.
d. Gerak dan aktifitas
Dikaji apakah pasien mengalami gangguan/keluhan dalam melakukan
aktivitasnya saat menderita suatu penyakit (dalam hal ini adalah setelah
didiagnosa mengalami alergi) atau saat menjalani perawatan di RS.
e. Rasa Nyaman
Dikaji kondisi pasien yang berhubungan dengan gejala-gejala penyakitnya,
misalnya pasien merasa nyeri di perut bagian kanan atas (dikaji dengan PQRST :
faktor penyebabnya, kualitas/kuantitasnya, lokasi, lamanya dan skala nyeri)
f. Kebersihan Diri
Dikaji kebersihan pasien saat dirawat di RS
g. Rasa Aman
Dikaji apakah pasien merasa cemas akan setiap tindakan keperawatan yang
diberikan kepadanya, dan apakah pasien merasa lebih aman saat ditemani
keluarganya selama di RS.
h. Sosial dan komunikasi
Dikaji bagaimana interaksi pasien terhadap keluarga, petugas RS dan lingkungan
sekitar (termasuk terhadap pasien lainnya).
i. Pengetahuan
Dikaji tingkat pengetahuan pasien tentang penyakitnya yang diderita saat ini dan
terapi yang akan diberikan untuk kesembuhannya.
j. Rekreasi
Dikaji apakah pasien memiliki hobi ataupun kegiatan lain yang ia senangi.
k. Spiritual
Dikaji bagaimana pendapat pasien tentang penyakitnya, apakah pasien menerima
penyakitnya adalah karena murni oleh penyakit medis ataupun sebaliknya.
l. Pemeriksaan neurologis
a) Pemeriksaan Fisik Persyarafan
Nilai kesadaran dengan menggunakan patokan Glasgow Coma Scale (GCS)
Tanyakan waktu, tanggal, tempat dan alasan berkunjung, kaji kemampuan
klien dalam berhitung dan mulailah dengan perhitungan yang sederhana.
b) Saraf Kranial
 Fungsi saraf kranial I (N Olvaktorius)
Lakukan pemeriksaan dengan menutup sebelah lubang hidung klien dan
dekatkan bau-bauan seperti kopi dengan mata tertutup klien diminta
menebak bau tersebut.
 Fungsi saraf kranial II (N. Optikus)
Periksa ketajaman dengan  membaca, perhatikan jarak baca atau
menggunakan snellenchart untuk jarak jauh. Periksa lapang pandang :
Klien berhadapan dengan pemeriksa 60-100 cm, minta untuk menutup
sebelah mata dan pemeriksa juga menutup sebelah mata dengan mata yang
berlawanan dengan mata klien.
 Fungsi saraf kranial III, IV, VI (N. Okulomotoris, Troklear dan Abdusen)
Pada mata diobservasi apakah ada odema palpebra, hiperemi konjungtiva,
dan ptosis kelopak mata. Pada pupil diperiksa reaksi terhadap cahaya,
ukuran pupil, dan adanya perdarahan pupil. Pada gerakan bola mata
diperiksa enam lapang pandang (enam posisi cardinal) yaitu lateral, lateral
ke atas, medial atas, medial bawah lateral bawah. Minta klien mengikuti
arah telunjuk pemeriksa dengan bolamatanya
 Fungsi saraf kranial V (N. Trigeminus)
Fungsi sensorik diperiksa dengan menyentuh kilit wajah daerah maxilla,
mandibula dan frontal dengan mengguanakan kapas. Dengan
menggunakan sensori nyeri menggunakan ujung jarum atau peniti di
ketiga area wajah tadi dan minta membedakan benda tajam dan tumpul.
 Fungsi saraf kranial VII (N. Fasialis)
Fungsi sensorik dengan mencelupkan lidi kapas ke air garam dan
sentuhkan ke ujung lidah, minta klien mengidentifikasi rasa ulangi untuk
gula dan asam. Fungsi mootorik dengan meminta klien tersenyum, bersiul,
mengangkat kedua al;is berbarengan, menggembungkan pipi.
 Fungsi saraf kranial VIII (N. Vestibulokoklear)
Dengan menggunakan test pendengaran mengguanakan weber test dan
rhinne test
 Fungsi saraf kranial IX dan X (N. Glosovaringeus dan Vagus)
Periksa gag refleks dengan menyentuh bagian dinding belakang faring
menggunakan aplikator dan observasi gerakan faring. Periksa aktifitas
motorik faring dengan meminta klien menel;an air sedikit, observasi
gerakan meelan dan kesulitan menelan. Periksa getaran pita suara saat
klien berbicara.
 Fungsi saraf kranial XI(N. Asesoris)
Periksa fungsi trapezius dengan meminta klien menggerakkan kedua bahu
secara bersamaan dan observasi kesimetrisan gerakan.
 Fugsi saraf kranial XII (N. Hipoglosus)
Periksa pergerakan lidah, menggerakkan lidah kekiri dan ke kanan,
observasi kesimetrisan gerakan lidah
c) Fungsi Motorik
Kaji cara berjalan dan keseimbangan  dengan mengobservasi cara berjalan,
kemudahan berjalan, dan koordinasi gerakan tangan dan kaki.
d) Fungsi Sensorik
Pemeriksaan dilakukan dengan memberikan stimulus secara acak pada bagian
tubuh klien dan dapat berupa sentuhan ringan seperti kapas, tumpul dan tajam,
suhu, getaran.
e) Fungsi Refleks
 Biseps: pukulkan refleks hammer pada ibu jari, observasi kontraksi otot
biseps (fleksi siku)
 Triseps: pukulkan refleks hammer pada prosesus olekranon, observasi
kontraksi otot triseps (ekstensi siku).
 Patelar: pukulkan reflek hammer, perhatikan ekstensi otot quadriceps.
B. Diagnosa Keperawatan
1 Ketidak efektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan peningkatan TIK
2 Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan nyeri kepala
3 Resiko cidera berhubungan dengan kejang
4 Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual
muntah
5 Kecemasan berhubungan dengan kurang nya informasi tentang prosedur
C. Intervensi
DIAGNOSA (NANDA) NOC NIC
Resiko ketidakefektifan perfusi NOC : NIC :
jaringan serebral (00201) a. Circulation status - Monitor TTV
Berhubungan dengan Tumor Otak, b. Neurologic status - Monitor AGD, ukuran pupil,
Artherosklerosis arteri, Aneurisma c. Tissue Prefusion : cerebral ketajaman, kesimetrisan dan reaksi
serebral, Emboli, Trauma Kepala, - Monitor adanya diplopia,
Hipertensi, Endokoditis, Setelah dilakukan asuhan selama pandangan kabur, nyeri kepala
peningkatan TIK 3x24 jam ketidakefektifan perfusi - Monitor level kebingungan dan
DO/DS : jaringan cerebral teratasi dengan orientasi
- Gangguan status mental kriteria hasil: - Monitor tonus otot pergerakan
- Perubahan perilaku - Tekanan systole dan diastole - Monitor tekanan intrkranial dan
- Perubahan respon motorik dalam rentang yang diharapkan respon nerologis
- Perubahan reaksi pupil - Tidak ada ortostatikhipertensi - Catat perubahan pasien dalam
- Kesulitan menelan - Komunikasi jelas merespon stimulus
- Kelemahan atau paralisis - Menunjukkan konsentrasi dan - Monitor status cairan
ekstrermitas orientasi - Pertahankan parameter
- Abnormalitas bicara - Pupil seimbang dan reaktif hemodinamik
- Bebas dari aktivitas kejang - Tinggikan kepala 0-45o tergantung
pada konsisi pasien dan order medis
Nyeri akut berhubungan dengan NOC: NIC :
agen cedera biologis (00132) - Comfort level Pain Manajemen
DS: - Pain control (1605) - Monitor kepuasan pasien terhadap
- Kelelahan - Pain level manajemen nyeri
- Takut untuk injuri ulang - Tingkatkan istirahat dan tidur yang
- Nyeri kepala Setelah dilakukan tindakan adekuat
DO: keperawatan selama 3x24 jam - Kelola anti analgetik
- Atropi otot nyeri pasien berkurang dengan - Jelaskan pada pasien penyebab
- Gangguan aktifitas kriteria hasil: nyeri
- Anoreksia - Tidak ada gangguan tidur - Lakukan tehnik nonfarmakologis
- Perubahan pola tidur - Tidak ada gangguan konsentrasi (relaksasi, masase punggung)
- Respon simpatis (suhu dingin, - Tidak ada gangguan hubungan
perubahan posisi tubuh , interpersonal
hipersensitif, perubahan berat - Tidak ada ekspresi menahan
badan) nyeri dan ungkapan secara
verbal
- Tidak ada tegangan otot
Ketidakseimbangan nutrisi NOC: NIC:
kurang dari kebutuhan tubuh a. Nutritional status: Adequacy of - Kaji adanya alergi makanan
(00002) nutrient - Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
Berhubungan dengan : b. Nutritional Status : food and menentukan jumlah kalori dan
Ketidakmampuan untuk Fluid Intake nutrisi yang dibutuhkan pasien
memasukkan atau mencerna nutrisi c. Weight Control - Yakinkan diet yang dimakan
oleh karena faktor biologis, Setelah dilakukan tindakan mengandung tinggi serat untuk
psikologis atau ekonomi, mual keperawatan selama 3x24 jam mencegah konstipasi
muntah nutrisi kurang teratasi dengan - Ajarkan pasien bagaimana membuat
DS: Kriteria hasil : catatan makanan harian.
- Nyeri abdomen - Albumin serum -  Monitor adanya penurunan BB dan
- Muntah - Pre albumin serum gula darah
- Kejang perut - Hematokrit - Monitor lingkungan selama makan
- Rasa penuh tiba-tiba - Hemoglobin - Jadwalkan pengobatan dan tindakan
setelah makan - Total iron binding capacity tidak selama jam makan
DO: - Jumlah limfosit - Monitor turgor kulit
- Diare - Monitor kekeringan, rambut kusam,
- Rontok rambut yang total protein, Hb dan kadar Ht
berlebih - Monitor mual dan muntah
- Kurang nafsu makan - Monitor pucat, kemerahan, dan
- Bising usus berlebih kekeringan jaringan konjungtiva
- Konjungtiva pucat - Monitor intake nuntrisi
- Denyut nadi lemah - Informasikan pada klien dan
keluarga tentang manfaat nutrisi
- Kolaborasi dengan dokter tentang
kebutuhan suplemen makanan
seperti NGT/ TPN sehingga intake
cairan yang adekuat dapat
dipertahankan.
- Atur posisi semi fowler atau fowler
tinggi selama makan
- Kelola pemberan anti emetik:..
- Anjurkan banyak minum
- Pertahankan terapi IV line

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai