Anda di halaman 1dari 29

STANDAR ASUHAN KEPERAWATAN

PADA KLIEN DENGAN CEDERA KEPALA

A. Definisi
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak
yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak
tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak (Japardi, 2002).
Cedera kepala yaitu adanya deformitas berupa penyimpangan bentuk
atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan
perlambatan (accelerasi – descelarasi) yang merupakan perubahan bentuk
dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan factor dan
penurunan percepatan, serta rotasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan
juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan
(Supardi, 2007).
B. Etiologi
a. Kecelakaan (bermotor, sepeda, atau mobil), jatuh
b. Kecelakaan saat olahraga
c. Cedera akibat kekerasan.
C. Klasifikasi
1. Berdasarkan Mekanisme
a. Cedera Kepala Tumpul.
Biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil, motor, jatuh atau
pukulan benda tumpul.
b. Cedera Kepala Tembus.
Disebabkan oleh peluru atau tusukan.
2. Berdasarkan Morfologinya
a. Cedera otak primer
Adalah kelainan patologi otak yang timbul segera akibat
langsung dari trauma. Pada cidera primer dapat terjadi: memar otak,
laserasi. Cidera otak primer adalah cidera otak yang terjadi segera
cidera kepala baik akibat impact injury maupun akibat gaya
akselerasi-deselerasi (cidera otak primer ini dapat berlanjut menjadi
cidera otak sekunder) jika cidera primer tidak mendapat penanganan
yang baik, maka cidera primer dapat menjadi cidera sekunder
(Japardi, 2002).
1) Cidera pada SCALP.
Fungsi utama dari lapisan kulit kepala dengan rambutnya
adalah melindungi jaringan otak dengan cara menyerap sebagian
gaya yang akan diteruskan melewati jaringan otak. Cidera pada
scalp dapat berupa Excoriasi, Vulnus, Hematom subcutan,
Hematom subgaleal, Hematom subperiosteal. Pada excoriasi
dapat dilakukan wound toilet. Sedangkan pada vulnus apertum
harus dilihat jika vulnus tersebut sampai mengenai galea
aponeurotika maka galea harus dijahit (untuk menghindari dead
space sedangkan pada subcutan mengandung banyak pembuluh
darah demikian juga rambut
subperiosteal. Pada excoriasi dapat dilakukan wound toilet.
Sedangkan pada vulnus apertum harus dilihat jika vulnus
tersebut sampai mengenai galea aponeurotika maka galea harus
dijahit (untuk menghindari dead space sedangkan pada subcutan
mengandung banyak pembuluh darah demikian juga rambut
banyak mengandung kuman sehingga adanya hematom dan
kuman menyebabkan terjadinya infeksi). Penjahitan pada galea
memakai benang yang dapat diabsorbsi dalam jangka waktu
lama (tetapi kalau tidak ada dapat dijahit dengan benang
noabsorbsable tetapi dengan simpul terbalik untuk menghindari
terjadinya “druck necrosis”), pada kasus terjadinya excoriasi
yang luas dan kotor hendaknya diberikan anti tetanus untuk
mencegah terjadinya tetanus yang akan berakibat sangat fatal.
Pada kasus dengan hematom subcutaan sampai hematom
subperiosteum dapat dilakukan bebat tekan kemudian berikan
anlgesia, jika selama 2 minggu hematom tidak diabsorbsi dapat
dilakukan punksi steril. Hati-hati cidera scalp pada
anak-anak/bayi karena pendarahan begitu banyak dapat terjadi
shock hipopolemik (Japardi, 2002).
2) Fraktur linier kalvaria.
a) setelah mengembalikan dengan fiksasi pada tulang
disebelahnya, sedangkan fraktur depresi didaerah temporal
tanpa disertai adanya gangguan neurologis tidak perlu
dilakukan operasi (Japadi, 2002).
b) Fraktur Depresi Terbuka. Semua fraktur depresi terbuka
harus dilakukan tindakan operatif debridemant untuk
mencegah terjadinya proses infeksi (meningoencephalitis)
yaitu mengangkat fragmen yang masuk, membuang
jaringan devitalized seperti jaringan nekrosis benda-benda
asing, evakuasi hematom, kemudian menjahit durameter
secara “water tight”/kedap air kemudian fragmen tulang
dapat dikembalikan ataupun dibuang, fragmen tulang
dikembalikan jika Tidak melebihi “golden periode” (24
jam), durameter tidak tegang Jika fragmen tulang berupa
potongan-potongan kecil maka pengembalian tulang dapat
secara “mozaik” (Japardi, 2002).
3) Fraktur Basis Cranii.
Fraktur basis cranii secara anatomis ada perbedaan struktur
didaerah basis cranii dan kalvaria yang meliputi pada basis
caranii tulangnya lebih tipis dibandingkan daerah kalvaria,
Durameter daerah basis lebih tipis dibandingkan daerah kalvaria,
Durameter daerah basis lebih melekat erat pada tulang
dibandingkan daerah kalvaria. Sehingga bila terjadi fraktur
daerah basis mengakibatkan robekan durameter klinis ditandai
dengan Bloody otorrhea, Bloody rhinorrhea, Liquorrhea, Brill
Hematom, Batle’s sign, Lesi nervus cranialis yang paling sering
N I, NVII dan NVIII. Diagnose fraktur basis cranii secara klinis
lebih bermakna dibandingkan dengan diagnose secara radiologis
oleh karena foto basis cranii posisinya “hanging foto”, dimana
posisi ini sangat berbahaya terutama pada cidera kepala disertai
dengan cidera vertebra cervikal ataupun pada cidera kepala
dengan gangguan kesadaran yang dapat menyebabkan apnea.
Adanya gambaran fraktur pada foto basis cranii tidak akan
merubah penatalaksanaan dari fraktur basis cranii, Pemborosan
biaya perawatan karena penambahan biaya foto basis cranii
(Hafid, 1989).
4) Komosio Serebri
Secara definisi komosio serebri adalah gangguan fungsi
otak tanpa adanya kerusakan anatomi jaringan otak akibat
adanya cidera kepala. Sedangkan secara klinis didapatkan
penderita pernah atau sedang tidak sadar selama kurang dari 15
menit, disertai sakit kepala, pusing, mual-muntah adanya amnesi
retrogrde ataupun antegrade. Pada pemeriksaan radiologis CT
scan tidak didapatkan adanya kelainan (Japardi, 2002).
5) Kontusio Serebri
Secara definisi kontusio serebri didefinisikan sebagai
gangguan fungsi otak akibat adanya kerusakan jaringan otak,
secara klinis didapatkan penderita pernah atau sedang tidak sadar
selama lebih dari 15 menit atau didapatkan adanya kelainan
neurologis akibat kerusakan jaringan otak seperti
hemiparese/plegi, aphasia disertai gejala mual-muntah, pusing
sakit kepala, amnesia retrograde/antegrade, pada pemerikasaan
CT
Fraktur linier pada kalvaria dapat terjadi jika gaya langsung
yang bekerja pada tulang kepala cukup besar tetapi tidak
menyebabkan tulang kepala “bending” dan terjadi fragmen
fraktur yang masuk kedalam rongga intrakranial, tetapi tidak ada
terapi khusus pada fraktur linier ini tetapi gaya yang
menyebabkan terjadinya fraktur tersebut cukup besar maka
kemungkinan terjadinya hematom intrakranial cukup besar, dari
penelitian di RS Dr. Soetomo Surabaya didaptkan 88% epidural
hematom disertai dengan fraktur linier kalvaria. Jika gambar
fraktur tersebut kesegala arah disebut “Steallete fracture”, jika
fraktur mengenai sutura disebut diastase fraktur (Japardi, 2002).
6) Fraktur Depresi.
Secara definisi yang disebut fraktur depresi apabila fragmen
dari fraktur masuk rongga intrakranial minimal setebal tulang
fragmen tersebut, berdasarkan pernah tidaknya fragmen
berhubungan dengan udara luar maka fraktur depresi dibagi 2
yaitu fraktur depresi tertutup dan fraktur depresi terbuka
(Sunardi, 2007).
Fraktur Depresi Tertutup. Pada fraktur depresi tertutup biasanya tidak
dilakukan tindakan operatip kecuali bila fraktur tersebut menyebabkan
gangguan neurologis, misal kejang-kejang hemiparese/plegi, penurunan
kesadaran. Tindakan yang dilakukan adalah mengangkat fragmen tulang yang

menyebabkan penekanan pada jaringan otak, sedangkan istilah laserasi


serebri menunjukkan bahwa terjadi robekan membran pia-
arachnoid pada daerah yang mengalami contusio serebri yang
gambaran pada CT Scan disebut “Pulp brain” (Japardi, 2002).
7) Epidural Hematom (EDH = Epidural Hematom)
Epidural Hematom adalah hematom yang terletak antara
durameter dan tulang, biasanya sumber pendarahannya adalah
robeknya Arteri meningica media (paling sering), Vena diploica
(oleh karena adanya fraktur kalvaria), Vena emmisaria, Sinus
venosus duralis. Secara klinis ditandai dengan adanya penurunan
kesadaran yang disertai lateralisasi (ada ketidaksamaan antara
tanda-tanda neurologis sisi kiri dan kanan tubuh) yang dapat
berupa Hemiparese/plegi, Pupil anisokor,Reflek patologis satu
sisi. Adanya lateralisasi dan jejas pada kepala menunjukkan
lokasi dari EDH. Pupil anisokor/dilatasi dan jejas pada kepala
letaknya satu sisi dengan lokasi EDH sedangkan
hemiparese/plegi lataknya kontralateral dengan lokasi EDH,
sedangkan gejala adanya lucid interval bukan merupakan tanda
pasti adanya EDH karena dapat terjadi pada pendarahan
intrakranial yang lain, tetapi lucid interval dapat dipakai sebagai
patokan dari prognosenya makin panjang lucid interval makin
baik prognose penderita EDH (karena otak mempunyai
kesempatan untuk melakukan kompensasi). Pada pemeriksaan
radiologis CT Scan didapatkan gambaran area hiperdens dengan
bentuk bikonvek diantara 2 sutura. Terjadinya penurunan
kesadaran, Adanya lateralisasi, Nyeri kepala yang hebat dan
menetap tidak hilang dengan pemberian anlgesia. Pada CT Scan
jika perdarahan volumenya lebih dari 20 CC atau tebal lebih dari
1 CM atau dengan pergeseran garis tengah (midline shift) lebih
dari 5 mm. Operasi yang dilakukan adalah evakuasi hematom,
menghentikan sumber perdarahan sedangkan tulang kepala dapat
dikembalikan. Jika saat operasi tidak didapatkan adanya edema
serebri sebaliknya tulang tidak dikembalikan jika saat operasi
didapatkan duramater yang tegang dan dapat disimpan subgalea.
Pada penderita yang dicurigai adanya EDH yang tidak
memungkinkan dilakukan diagnose radiologis CT Scan maka
dapat dilakukan diagnostik eksplorasi yaitu “Burr hole
explorations” yaitu membuat lubang burr untuk mencari EDH
biasanya dilakukan pada titik- titik tertentu yaitu Pada tempat
jejas/hematom, pada garis fratur, pada daerah temporal, pada
daerah frontal (2 CM didepan sutura coronaria), pada daerah
parietal, pada daerah occipital. Prognose dari EDH biasanya
baik, kecuali dengan GCS datang kurang dari 8, datang lebih dari
6 jam umur lebih dari 60 tahun (Japardi, 2002).
8) Subdural hematom (SDH)
Secara definisi hematom subdural adalah hematom yang
terletak dibawah lapisan duramater dengan sumber perdarahan
dapat berasal dari Bridging vein (paling sering), A/V cortical,
Sinus venosus duralis. Berdasarkan waktu terjadinya perdarahan
maka subdural hematom dibagi 3 meliputiSubdural hematom
akut terjadi kurang dari 3 hari dari kejadian, Subdural hematom
subakut terjadi antara 3 hari – 3 minggu, Subdural hematom
kronis jika perdarahan terjadi lebih dari 3 minggu. Secara klinis
subdural hematom akut ditandai dengan penurunan kesadaran,
disertai adanya lateralisasi yang paling sering berupa
hemiparese/plegi. Sedangkan pada pemeriksaan radiologis (CT
Scan) didapatkan gambaran hiperdens yang berupa bulan sabit
(cresent). Indikasi operasi menurut EBIC (Europebraininjuy
commition) pada perdarahan subdural adalah Jika perdarahan
tebalnya lebih dari 1 CM, Jika terdapat pergeseran garis tengah
lebih dari 5 mm. Operasi yang dilakukan adalah evakuasi
hematom, menghentikan sumber perdarahan. Bila ada edema
serebri biasanya tulang tidak dikembalikan (dekompresi) dan
disimpan subgalea. Prognose dari penderita SDH ditentukan dari
GCS awal saat operasi, lamanya penderita datang sampai
dilakukan operasi, lesi penyerta di jaringan otak serta usia
penderita, pada penderita dengan GCS kurang dari 8
prognosenya 50 %, makin rendah GCS, makin jelek prognosenya
makin tua pasien makin jelek prognosenya adanya lesi lain akan
memperjelek prognosenya.
Subdural hematom adalah terkumpulnya darah antara
duramater dan jaringan otak, dapat terjadi akut dan kronik.
Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena / jembatan vena
yang biasanya terdapat diantara duramater, perdarahan lambat
dan sedikit. Periode akut dapat terjadi dalam 48 jam – 2 hari, 2
minggu atau beberapa bulan. Gejala – gejalanya : Nyeri kepala,
Bingung, Mengantuk, Menarik diri, Berfikir lambat, Kejang dan
Udem pupil.
9) Intracerebral hematom (ICH)
Perdarahan intracerebral adalah perdarahan yang terjadi
pada jaringan otak biasanya akibat robekan pembuluh darah
yang ada dalam jaringan otak. Secara klinis ditandai dengan
adanya penurunan kesadaran yang kadang-kadang disertai
lateralisasi, pada pemeriksaan CT Scan didapatkan adanya
daerah hiperdens yang indikasi dilakukan operasi jika Single,
Diameter lebih dari 3 cm, Perifer, Adanya pergeseran garis
tengah, Secara klinis hematom tersebut dapat menyebabkan
gangguan neurologis/lateralisasi. Operasi yang dilakukan
biasanya adalah evakuasi hematom disertai dekompresi dari
tulang kepala. Faktor-faktor yang menentukan prognosenya
hampir sama dengan faktor-faktor yang menentukan prognose
perdarahan subdural (Japardi, 2002).
b. Cedera otak sekunder
Cedera otak sekunder yang terjadi akibat dari cidera otak
primer yang tidak mendapat penanganan dengan baik (sehingga
terjadi hipoksia) serta adanya proses metabolisme dan
neurotransmiter serta respon inflamasi pada jaringan otak maka
cidera otak primer berubah menjadi otak sekunder yang meliputi
Edema serebri, Infrark serebri, Peningkatan tekanan intra kranial
(Japardi, 2002).
1) Edema serebri
Adalah penambahan air pada jaringan otak / sel – sel
otak, pada kasus cidera kepala terdapat 2 macam edema serebri
Edema serebri vasogenik, Edema serebri sitoststik (Sunardi,
2007).
a) Edema serebri vasogenik
Edema serebri vasoganik terjadi jika terdapat robekan
dari “ blood brain barrier” (sawar darah otak ) sehingga solut
intravaskuler (plasma darah) ikut masuk dalam jaringan otak
(ekstraseluler) dimana tekanan osmotik dari plasma darah ini
lebih besar dari pada tekanan osmotik cairan intra seluler.
Akibatnya terjadi reaksi osmotik dimana cairan intraseluler,
yang tekanan osmotiknya lebih rendah akan ditarik oleh
cairan ekstra seluler keluar dari sel melewati membran sel
sehingga terjadi edema ekstra seluler sedangkan sel-sel otak
mengalami pengosongan (“shringkage”) (Sunardi, 2002).
b) Edema serebri sitostatik
Edema serebri sitostatik terjadi jika suplai oksigen
kedalam jaringan otak berkurang (hipoksia) akibatnya terjadi
reaksi anaerob dari jaringan otak (pada keadaan aerob maka
metabolisme 1 mol glukose akan di ubah menjadi 38 ATP
dan H2O). Sedangkan dalam keadaan anaerob maka 1
molekul glukose akan diubah menjadi 2 ATP dan H2O
karena kekurangan ATP maka tidak ada tenaga yang dapat
digunakan untuk menjalankan proses pompa Natrium Kalium
untuk pertukaran kation dan anion antara intra selluler dan
ekstraseluler dimana pada proses tersebut memerlukan ATP
akibatnya Natrium (Na) yang seharusnya dipompa keluar dari
sel menjadi masuk kedalam sel bersama masuknya natrium.
Maka air (H2O) ikut masuk kedalam sel sehingga terjadi
edema intra seluler (Sumarmo Markam et.al :1999).
Gambaran CT Scan dari edema serebri Ventrikel menyempit,
Cysterna basalis menghilang, Sulcus menyempit sedangkan
girus melebar.
2) Tekanan Intra Kranial
Tekanan intrakranial (TIK) didefiniskan sebagai tekanan
dalam rongga kranial dan biasanya diukur sebagai tekanan dalam
ventrikel lateral otak. Menurut Morton, et.al tahun 2005, tekanan
intrakranial normal adalah 0-15 mmHg. Nilai diatas 15 mmHg
dipertimbangkan sebagai hipertensi intrakranial atau peningkatan
tekanan intrakranial. Tekanan intrakranial dipengaruhi oleh tiga
faktor, yaitu otak (sekitar 80% dari volume total), cairan
serebrospinal (sekitar 10%) dan darah (sekitar 10%). Monro–
Kellie doktrin menjelaskan tentang kemampuan regulasi otak
yang berdasarkan volume yang tetap. Selama total volume
intrakranial sama, maka TIK akan konstan. Peningkatan volume
salah satu faktor harus diikuti kompensasi dengan penurunan
faktor lainnya supaya volume tetap konstan. Perubahan salah
satu volume tanpa diikuti respon kompensasi dari faktor yang
lain akan menimbulkan perubahan TIK. Beberapa mekanisme
kompensasi yang mungkin antara lain cairan serebrospinal
diabsorpsi dengan lebih cepat atau arteri serebral berkonstriksi
menurunkan aliran darah otak .
Salah satu hal yang penting dalam TIK adalah tekanan
perfusi serebral/cerebral perfusion pressure (CPP). CPP adalah
jumlah aliran darah dari sirkulasi sistemik yang diperlukan untuk
memberi oksigen dan glukosa yang adekuat untuk metabolisme
otak. CPP dihasilkan dari tekanan arteri sistemik rata-rata
dikurangi tekanan intrakranial, dengan rumus CPP = MAP –
ICP. CPP normal berada pada rentang 60-100 mmHg. MAP
adalah rata-rata tekanan selama siklus kardiak. MAP = Tekanan
Sistolik + 2X tekanan diastolik dibagi 3. Jika CPP diatas 100
mmHg, maka potensial terjadi peningkatan TIK. Jika kurang dari
60 mmHg, aliran darah ke otak tidak adekuat sehingga hipoksia
dan kematian sel otak dapat terjadi. Jika MAP dan ICP sama,
berart tidak ada CPP dan perfusi serebral berhenti, sehingga
penting untuk mempertahankan kontrol ICP dan MAP.
Otak yang normal memiliki kemampuan autoregulasi, yaitu
kemampuan organ mempertahankan aliran darah meskipun
terjadi perubahan sirkulasi arteri dan tekanan perfusi.
Autoregulasi menjamin aliran darah yang konstan melalui
pembuluh darah serebral diatas rentang tekanan perfusi dengan
mengubah diameter pembuluh darah dalam perubahan tekanan
arteri. Pada klien dengan gangguan autoregulasi, beberapa
aktivitas yang dapat meningkatkan tekanan darah seperti batuk,
suctioning, dapat meningkatkan aliran darah otak sehingga juga
meningkatkan tekanan TIK.
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi cerebral blood flow
antara lain :
 Simpatis dan parasimpatis, parasimpatis mengakibatkan
vasodilatasi dan simpatis mengakibatkan vasokontriksi.
 Temperatur turun mengakibatkan metabolisme serebral
turun
 Usia semakin tua bloodflow akan semakin turun
 Hematokrit meningkat maka viskositas meningkat sehingga
CBF turun.
Tanda dan gejala peningkatan TIK:
 Pusing
 Muntah
 Penunan kesadaran
 Trias Chusing (Hipertensi, bradikardi, gangguan pola nafas)
 Herniasi otak
3. Berdasarkan beratnya
Berdasarkan GCS maka cedera kepaa dibagi menjadi 3, yaitu:
a. Ringan dengan GCS 14-15
 Dapat terjadi kehilangan kesadaran, atau amnesia tetapi < 30
menit
 Tidak ada kontusio tenggorok, tidak ada fraktur cerebral,
hematom
b. Sedang dengan GCS 9-13
 Kehilangan kesadaran/ amnesia > 30 menit, tapi < 24 jam
 Dapat mengalami fraktur tenggorok
c. Berat dengan GCS 3-8. Kehilangan kesadaran > 24 jam yang
meliputi kontusio, laserasi atau hematom intracerebral.
D. Gejala klinis
a. Sakit kepala (jika pasien sadar)
b. Muntah proyektil
c. Kesadaran menurun
d. Perubahan tipe kesadaran
e. Tekanan darah turun, bradikardi
f. Pupil anisokor
g. Suhu tubuh yang sulit dikendalikan.
E. Patofisiologi
Pathway Trauma kepala

Ekstra kranial Tulang kranial Intra kranial

Terputusnya kontinuitas Terputusnya kontinuitas Jaringan otak rusak (kontusio,


jaringan kulit, otot dan jaringan tulang laserasi)
vaskuler

Gangguan suplai darah


- Perubahan autoregulasi
Resiko Nyeri - Oedema serebral
- Perdarahan infeksi
- hematoma
Iskemia

Hipoksia Perubahan perfusi kejang


jaringan

Perubahan sirkulasi CSS Gangg. Fungsi otak Gangg. Neurologis fokal


- Bersihan jln
nafas
- Obstruksi jln.
Nafas
Peningkatan TIK
- Mual-muntah - Dispnea
Papilodema - Henti nafas
Pandangan kabur - Perubahan.
Penurunan fungsi Pola nafas
pendengaran
Nyeri kepala
Defisit neurologis
Girus medialis lobus
temporalis tergeser

Resiko kurangnya Gangg. Persepsi Resiko tidak efektif


volume cairan sensori jln. Nafas

Herniasi unkus
Tonsil cerebrum tergeser Kompresi medula oblongata

Messenfalon tertekan Resiko injuri


Resiko gangg.
Integritas kulilt
immobilitasi
Gangg.
kesadaran Kurangnya
cemas perawatan diri
F. Pemeriksaan Penunjang
1. CT- Scan ( dengan tanpa kontras ). Mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan, ventrikuler dan perubahan jaringan otak.
2. MRI. Digunakan sama dengan CT – Scan dengan atau tanpa kontras
radioaktif.
3. Cerebral Angiography. Menunjukkan anomaly sirkulasi serebral seperti :
perubahan jaringan otak sekunder menjadi edema, perdarahan dan
trauma.
4. Serial EEG. Dapat melihat perkembangan gelombang patologis.
5. X – Ray. Mendeteksi perubahan struktur tulang ( fraktur ) perubahan
struktur garis (perdarahan / edema), fragmen tulang.
6. BAER. Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil.
7. PET. Mendeteksi perubahan aktifitas metabolisme otak.
8. CFS. Lumbal punksi : dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid
9. ABGs. Mendeteksi keradangan ventilasi atau masalah pernapasan
( oksigenisasi ) jika terjadi peningkatan tekanan intra cranial.
10. Kadar elektrolit. Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai
peningkatan tekanan intrakranial.
11. Screen Toxicologi.
Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan
kesadaran.
G. Penatalaksanaan
1. Anamnesis
Diagnosis cedera kepala biasanya tidak sulit ditegakkan :
riwayat kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja atau perkelahian
hampir selalu ditemukan. Pada orang tua dengan kecelakaan yang
terjadi di rumah, misalnya jatuh dari tangga, jatuh di kamar mandi atau
sehabis bangun tidur, harus dipikirkan kemungkinan gangguan
pembuluh darah otak (stroke) karena keluarga kadang-kadang tak
mengetahui pasti urutan kejadiannya : jatuh kemudian tidak sadar atau
kehilangan kesadaran lebih dahulu sebelum jatuh. Anamnesis yang
lebih terperinci meliputi :
1. Sifat kecelakaan.
2. Saat terjadinya, beberapa jam/hari sebelum dibawa ke rumah sakit.
3. Ada tidaknya benturan kepala langsung.
4. Keadaan penderita saat kecelakaan dan perubahan kesadaran sampai
saat diperiksa.
Bila si pasien dapat diajak berbicara, tanyakan urutan
peristiwanya sejak sebelum terjadinya kecelakaan, sampai saat tiba di
rumah sakit untuk mengetahui kemungkinan adanya amnesia retrograd.
Muntah dapat disebabkan oleh tingginya tekanan intrakranial. Pasien
tidak selalu dalam keadaan pingsan (hilang/ turun kesadarannya), tapi
dapat kelihatan bingung/disorientasi (kesadaran berubah).
2. Indikasi Perawatan
Pasien sebaiknya dirawat di rumah sakit bila terdapat gejala atau
tanda sebagai berikut:
a. Perubahan kesadaran saat diperiksa.
b. Fraktur tulang tengkorak.
c. Terdapat defisit neurologik.
d. Kesulitan menilai kesadaran pasien, misalnya pada anak-anak,
riwayat minum alkohol, pasien tidak kooperatif.
e. Adanya faktor sosial seperti :
1) Kurangnyapengawasan orang tua/keluarga bila dipulangkan.
2) Kurangnya pendidikan orang tua/keluarga.
3) Sulitnya transportasi ke rumah sakit.
Pasien yang diperbolehkan pulang hanis dipesan agar segera
kembali ke rumah sakit bila timbul gejala sebagai berikut :
a. Mengantuk, sulit dibangunkan.
b. Disorientasi, kacau.
c. Nyeri kepala yang hebat, muntah, demam.
d. Rasa lemah, kelumpuhan, penglihatan kabur.
e. Kejang, pingsan.
f. Keluar darah/cairan dari hidung, telinga.
3. Pemeriksaan fisik
Hal terpenting yang pertama kali dinilai ialah status fungsi vital
dan status kesadaran pasien. Ini tiaras dilakukan sesegera mungkin
bahkan mendahului anamnesis yang teliti.
a. Status fungsi vital
Seperti halnya dengan kasus kedaruratan lainnya, hal terpenting
yang dinilai ialah :
1) Jalan nafas airway
2) Pernafasan breathing
3) Nadi clan tekanan darah cireulation
Jalan nafas harus segera dibersihkan dari benda asing, lendir
atau darah, bila perlu segera dipasang pipa naso/orofaring; diikuti
dengan pemberian oksigen. Manipulasi leher hams berhati-hati bila
ada riwayat/dugaan trauma servikal (whiplash injury), jamb dengan
kepala di bawah atau trauma tengkuk. Gangguan yang mungkin
ditemukan dapat berupa :
1) Pernafasan Cheyne Stokes.
2) Pernafasan Biot/hiperventilasi.
3) Pernafasan ataksik. yang menggambarkan makin memburuknya
tingkat kesadaran.
Pemantauan fungsi sirkulasi dilakukan untuk menduga adanya
shock, terutama bila terdapat juga trauma di tempat lain, misalnya
trauma thorax, trauma abdomen, fraktur ekstremitas. Selain itu
peninggian tekanan darah yang disertai dengan melambatnya
frekuensi nadi dapat merupakan gejala awal peninggian tekanan
intrakranial, yang biasanya dalam fase akut disebabkan oleh
hematoma epidural.
b. Status kesadaran
Dewasa ini penilaian status kesadaran secara kualitatif,
terutama pada kasus cedera kepala sudah mulai ditinggalkan
karena subyektivitas pemeriksa; istilah apatik, somnolen, sopor,
coma, sebaiknya dihindari atau disertai dengan penilaian kesadaran
yang lebih obyektif, terutama dalam keadaan yang memerlukan
penilaian/perbandingan secara ketat. Cara penilaian kesadaran yang
luas digunakan ialah dengan Skala Koma Glasgow; cara ini
sederhana tanpa memerlukan alat diagnostik sehingga dapat
digunakan baik oleh dokter maupun perawat. Melalui cara ini pula,
perkembangan/perubahan kesadaran dari waktu ke waktu dapat
diikuti secara akurat. Skala Koma Glasgow adalah berdasarkan
penilaian/pemeriksaan atas tiga parameter, yaitu :
1) Respon membuuka mata.
2) Respon motorik terbaik.
3) Respon verbal terbaik.
Selain menggunakan GCS, bisa menggunakan teknik AVPU
(alert, verbal, pain, unresponsive)dalam menentukan tingkat
kesadaran seseorang.
c. Status Neurologik Lain
Selain status kesadaran di atas pemeriksaan neurologik pada
kasus trauma kapitis terutama ditujukan untuk mendeteksi adanya
tanda-tanda fokal yang dapat menunjukkan adanya kelainan fokal,
dalam hal ini perdarahan intrakranial. Tanda fokal tersebut ialah :
1) Anisokori.
2) Paresis/parahisis.
3) Reties patologik sesisi.
d. Hal-hal Lain
Selain cedera kepala, hams diperhatikan adanya
kemungkinan cedera di tempat lain; trauma thorax, trauma
abdomen, fraktur iga atau tulang anggota gerak harus selalu
dipikirkan dan dideteksi secepat mungkin.
4. Penatalaksanaan Jalan Nafas, Ventilasi, dan Oksigenasi
Hipoksemia (apnea, sianosis atau saturasi oksigen Hb arterial
[SaO2] < 90 % harus dicegah atau segera dikoreksi. Bila ada, saturasi
oksigen dimonitor sesering mungkin atau berkelanjutan. Hipokesemia
dikoreksi dengan memberikan oksigen suplemen.
Jalan nafas harus diamankan pada GCS < 9, ketidakmampuan
mempertahankan jalan nafas adekuat, atau bila hipoksia tidak terkoreksi
dengan oksigen suplemen. Intubasi endotrakheal paling efektif
mempertahankan jalan nafas.
Hiperventilasi profilaksis rutin harus dicegah. Indikasi
dilapangan hanya bila terjadi herniasi otak seperti posturing ekstensor
atau kelainan pupil (asimetrik atau tidak bereaksi) yang masih tampak
setelah hipotensi atau hipoksemia dikoreksi. Normal ventilasi (dengan
intubasi dan ventilator bila ada) sekitar 10 X/menit untuk dewasa, 15-20
X/menit pada anak-anak, dan 20-30 X/menit bagi bayi. Hiperventilasi
ditentukan sebagai 20 X/menit bagi dewasa, 30 X/menit bagi anak-anak
dan 35-40 X/menit bagi bayi. Hiperventilasi dianjurkan sebagai tindakan
primer dilapangan karena mudah dilakukan dan berefek segera.
Hiperventilasi menurunkan tekanan parsial arterial dioksida karbon
(PaCO2) dengan akibat vasokonstriksi, menurunkan aliran darah
serebral (CBF) dan menurunkan tekanan intrakranial (ICP). Namun
hiperventilasi dini profilaktik tidak lagi dianjurkan sebagai tindakan
rutin, karena pada pasien cedera otak traumatika biasanya aliran darah
serebral turun menjadi dua pertiga dari normal dan hiperventilasi lebih
menurunkan aliran darah serebral hingga berpotensi mencapai titik
iskemia otak, hingga memperburuk perfusi otak dan outcome pasien.
Hiperventilasi dilakukan hanya sementara sampai pasien tiba di pusat
bedah saraf dimana analisis gas darah akan menuntun tingkat ventilasi.
5. Pengobatan
b. Memperbaiki/mempertahankan fungsi vital
Usahakan agar jalan nafas selalu babas, bersihkan lendir dan
darah yang dapat menghalangi aliran udara pemafasan. Bila perlu
dipasang pipa naso/orofaringeal dan pemberian oksigen. Infus
dipasang terutama untuk membuka jalur intravena : gunakan cairan
NaC10,9% atau Dextrose in saline.
c.Mengurangi edema otak
Beberapa cara dapat dicoba untuk mengurangi edema otak:
1) Hiperventilasi
Bertujuan untuk menurunkan peO2 darah sehingga
mencegah vasodilatasi pembuluh darah.) Selain itu suplai
oksigen yang terjaga dapat membantu menekan metabolisme
anaerob, sehingga dapat mengurangi kemungkinan asidosis. Bila
dapat diperiksa, paO2 dipertahankan > 100 mmHg dan paCO2 di
antara 25-30 mmHg.
2) Cairan hiperosmoler
Umumnya digunakan cairan Manitol 10-15% per infus
untuk "menarik" air dari ruang intersel ke dalam ruang
intravaskular untuk kemudian dikeluarkan melalui diuresis.
Untuk memperoleh efek yang dikehendaki, manitol hams
diberikan dalam dosis yang cukup dalam waktu singkat,
umumnya diberikan : 0,51 gram/kg BB dalam 10-30 menit.
Cara ini berguna pada kasus-kasus yang menunggu
tindakan bedah. Pada kasus biasa, harus dipikirkan kemungkinan
efek rebound; mungkin dapat dicoba diberikan kembali (diulang)
setelah beberapa jam atau keesokan harinya.
3) Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan
manfaatnya sejak beberapa waktu yang lalu. Pendapat akhir-
akhir ini cenderung menyatakan bahwa kortikosteroid
tidak/kurang bermanfaat pada kasus cedera kepala.
Penggunaannya berdasarkan pada asumsi bahwa obat ini
menstabilkan sawar darah otak. Dosis parenteral yang pernah
dicoba juga bervariasi, Dexametason pernah dicoba dengan dosis
sampai 100 mg bolus yang diikuti dengan 4 dd 4 mg. Selain itu
juga Metilprednisolon pernah digunakan dengan dosis 6 dd 15
mg dan Triamsinolon dengan dosis 6 dd 10 mg.
4) Barbiturat
Digunakan untuk mem"bius" pasien sehingga
metabolisme otak dapat ditekan serendah mungkin, akibatnya
kebutuhan oksigen juga akan menurun; karena kebutuhan yang
rendah, otak relatif lebih terlindung dari kemungkinan kemsakan
akibat hipoksi, walaupun suplai oksigen berkurang. Cara ini
hanya dapat digunakan dengan pengawasan yang ketat.
5) Cara lain
Pala 24-48 jam pertama, pemberian cairan dibatasi
sampai 1500-2000 ml/24 jam agar tidak memperberat edema
jaringan. Ada laporan yang menyatakan bahwa posisi tidur
dengan kepala (dan leher) yang diangkat 30° akan menurunkan
tekanan intrakranial. Posisi tidur yang dianjurkan, terutama pada
pasien yang berbaring lama, ialah kepala dan leher diangkat 30°,
sendi lutut diganjal, membentuk sudut 150°, telapak kaki diganjal
membentuk sudut 90° dengan tungkai bawah.
d. Obat-obat Nootropik
Dewasa ini banyak obat yang dikatakan dapat membantu
mengatasi kesulitan/gangguan metabolisme otak, termasuk pada
keadaan koma.
1) Piritinol
Piritinol merupakan senyawa mirip piridoksin (vitamin
B6) yang dikatakan mengaktivasi metabolisme otak dan
memperbaiki struktur serta fungsi membran sel. Pada fase akut
diberikan dalam dosis 800-4000 mg/hari lewat infus. Tidak
dianjurkan pemberian intravena karena sifatnya asam sehingga
mengiritasi vena.
2) Piracetam
Piracetam merupakan senyawa mirip GABA - suatu
neurotransmitter penting di otak. Diberikan dalam dosis 4-12
gram/ hari intravena.
e.Hal-hal lain
Tidak jarang pasien trauma kepala juga menderita luka
lecet/luka robek di bagian tubuh lainnya. Antibiotika diberikan bila
terdapat luka terbuka yang luas, trauma tembus kepala, fraktur
tengkorak yang antara lain dapat menyebabkan liquorrhoe. Luka
lecet dan jahitan kulit hanya memerlukan perawatan lokal.
Hemostatik tidak digunakan secara rutin; pasien trauma kepala
umumnya sehat dengan fungsi pembekuan normal. Perdarahan
intrakranial tidak bisa diatasi hanya dengan hemostatik.
Antikonvulsan diberikan bila pasien mengalami kejang, atau pada
trauma tembus kepala dan fraktur impresi.

H. Pengkajan Keperawatan
1. Pengkajian Primer
a. Airway
Kaji adanya obstruksi jalan antara lain suara stridor, gelisah karena
hipoksia, penggunaan otot bantu pernafasan, sianosis.
b. Breathing
Inspeksi frekuensi nafas, apakah terjadi sianosis karena luka tembus
dada, fail chest, gerakan otot pernafasan tambahan. Kaji adanya
suara nafas tambahan seperti ronchi, wheezing.
c. Sirkulasi
Kaji adanya tanda-tanda syok seperti: hipotensi, takikardi, takipnea,
hipotermi,pucat, akral dingin, kapilari refill>2 detik, penurunan
produksi urin.
d. Disability
Kaji tingkat kesadaran pasien serta kondisi secara umum.
e. Eksposure. Buka semua pakaian klien untuk melihat adanya luka.
a. Pengkaji Kepala
Kelainan atau luka kulit kepala dan bola mata, telinga bagian luar
dan membrana timpani, cedera jaringan lunak periorbital
b. Leher
Adanya luka tembus leher, vena leher yang mengembang
c. Neurologis
Penilaian fungsi otak dengan GCS
d. Dada
Pemeriksaan klavikula dan semua tulang iga, suara nafas dan
jantung, pemantauan EKG
e. Abdomen
Kaji adanya luka tembus abdomen, pasang NGT dengan trauma
tumpul abdomen
f. Pelvis dan ekstremitas
Kaji adanya fraktur, denyut nadi perifer pada daerah trauma, memar
dan cedera yang lain.

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan cidera


kepala adalah sebagai berikut:

1)    Perfusi jaringan tidak efektif (spesifik serebral) berhubungan


dengan aliran arteri dan atau vena terputus.
2)    Nyeri akut berhubungan dengan agen injury fisik.
3)    Hipertermi berhubungan dengan trauma (cidera jaringan otak,
kerusakan batang otak)
4)    Pola nafas tak efektif berhubungan dengan hipoventilasi
5)    Kerusakan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan
kemampuan kognitif, afektif, dan motorik)
6)    Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan
kemampuan kognitif, motorik, dan afektif.
7)    Defisit perawatan diri: makan/ mandi, toileting berhubungan dengan
kelemahan fisik dan nyeri.
8)    Kurang pengetahuan berhubungan dengan penurunan kemampuan
kognitif, motorik, dan afektif.
9)    Resiko aspirasi berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran.
10) Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan status
hipermetabolik.
11) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan trauma/ laserasi kulit kepala
12) Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan mual, muntah.
13) PK: peningkatan TIK dengan proses desak ruang akibat penumpukan
cairan/ darah di dalam otak.

3. Rencana Perawatan
Diagnosa Tujuan dan kriteria
No Intervensi
Keperawatan  hasil
1 Perfusi jaringan tak NOC: Monitor Tekanan Intra
efektif (spesifik sere- 1.  Status sirkulasi Kranial
bral) b.d aliran arteri 2.  Perfusi jaringan 1.   Catat perubahan respon
dan atau vena serebral klien terhadap stimu-lus /
terputus, dengan Setelah dilakukan rangsangan
batasan karak-teristik: tindakan 2.   Monitor TIK klien dan
–  Perubahan respon keperawatan selama respon neurologis
motorik ….x 24 jam, terhadap aktivitas
–  Perubahan status klien mampu men- 3.  Monitor intake dan output
mental capai : 4.   Pasang restrain, jika perlu
–  Perubahan respon 1.  Status sirkulasi 5.  Monitor suhu dan angka
pupil dengan indikator: leukosit
–  Amnesia retrograde ·   Tekanan darah sistolik 6.  Kaji adanya kaku kuduk
(gangguan dan diastolik dalam 7.  Kelola pemberian
memori) rentang yang antibiotik
diharapkan 8.   Berikan posisi dengan
·    Tidak ada ortostatik kepala elevasi 30-40O
hipotensi dengan leher dalam posisi
·    Tidak ada tanda tan- netral
da PTIK 9.   Minimalkan stimulus dari
2.  Perfusi jaringan lingkungan
serebral, dengan 10. Beri jarak antar tindakan
indicator : keperawatan untuk
·   Klien mampu berko- meminimalkan
munikasi dengan je- peningkatan TIK
las dan sesuai ke- 11. Kelola obat obat untuk
mampuan mempertahankan TIK
·    Klien menunjukkan dalam batas spesifik
perhatian, konsen- Monitoring Neurologis
trasi, dan orientasi (2620)
·    Klien mampu mem- 1.  Monitor ukuran,
proses informasi kesimetrisan, reaksi dan
·    Klien mampu mem- bentuk pupil
buat keputusan de- 2.  Monitor tingkat kesadaran
ngan benar klien
3.   Monitor tanda-tanda vital
4.   Monitor keluhan nyeri
kepala, mual, dan muntah
5.   Monitor respon klien
terhadap pengobatan
6.   Hindari aktivitas jika TIK
meningkat
7.   Observasi kondisi fisik
klien
Terapi Oksigen (3320)
1.  Bersihkan jalan nafas dari
secret
2.  Pertahankan jalan nafas
tetap efektif
3.   Berikan oksigen sesuai
·    Tingkat kesadaran
instruksi
klien membaik
4.   Monitor aliran oksigen,
kanul oksigen, dan
humidifier
5.   Beri penjelasan
kepada klien tentang
pentingnya pemberian
oksigen
6.   Observasi tanda-tanda
hipoventilasi
7.   Monitor respon klien
terhadap pemberian
oksigen
8.   Anjurkan klien untuk tetap
memakai oksigen selama
aktivitas dan tidur
2 Nyeri akut b.d dengan NOC: Manajemen nyeri (1400)
agen injuri fisik, 1.  Nyeri terkontrol 1.  Kaji keluhan nyeri, lokasi,
dengan batasan 2.  Tingkat Nyeri karakteristik, onset/durasi,
karakteristik: 3.  Tingkat kenyamanan frekuensi, kualitas, dan
–  Laporan nyeri ke- Setelah dilakukan beratnya nyeri.
pala secara verbal asuhan keperawatan 2.  Observasi respon
atau non verbal selama …. x 24 jam, ketidaknyamanan secara
–   Respon autonom klien dapat : verbal dan non verbal.
(perubahan vital 1. Mengontrol nyeri, de- 3.  Pastikan klien menerima
sign, dilatasi pupil) ngan indikator: perawatan analgetik dg
–   Tingkah laku eks- –  Mengenal faktor- tepat.
presif (gelisah, me- faktor penyebab 4.  Gunakan strategi
nangis, merintih) –  Mengenal onset nyeri komunikasi yang efektif
–   Fakta dari –  Tindakan pertolong-an untuk mengetahui respon
observasi non farmakologi penerimaan klien terhadap
–   Gangguan tidur –  Menggunakan anal- nyeri.
(mata sayu, getik 5.   Evaluasi keefektifan
menye-ringai, dll) –  Melaporkan gejala- penggunaan kontrol nyeri
gejala nyeri kepada 6.   Monitoring perubahan
tim kesehatan. nyeri baik aktual maupun
–  Nyeri terkontrol potensial.
2.  Menunjukkan tingkat 7.  Sediakan lingkungan yang
nyeri, dengan nyaman.
indikator: 8.  Kurangi faktor-faktor yang
–   Melaporkan nyeri dapat menambah
–   Frekuensi nyeri ungkapan nyeri.
–   Lamanya episode 9.  Ajarkan penggunaan
nyeri tehnik relaksasi sebelum
–   Ekspresi nyeri; wa- atau sesudah nyeri
jah berlangsung.
–   Perubahan respirasi 10. Kolaborasi dengan tim
rate kesehatan lain untuk
–   Perubahan tekanan memilih tindakan selain
darah obat untuk meringankan
–   Kehilangan nafsu nyeri.
makan 11.Tingkatkan istirahat yang
3.   Tingkat adekuat untuk
kenyamanan, dengan meringankan nyeri.
indicator :  Manajemen pengobatan
–   Klien melaporkan (2380)
kebutuhan tidur dan 1. Tentukan obat yang
istirahat tercukupi dibutuhkan klien dan cara
mengelola sesuai dengan
anjuran/ dosis.
2.  Monitor efek teraupetik
dari pengobatan.
3.   Monitor tanda, gejala dan
efek samping obat.
4.   Monitor interaksi obat.
5.  Ajarkan pada klien /
keluarga cara mengatasi
efek samping pengobatan.
6. Jelaskan manfaat
pengobatan yg dapat
mempengaruhi gaya hidup
klien.
 Pengelolaan analgetik
(2210)
1.   Periksa perintah medis
tentang obat, dosis &
frekuensi obat analgetik.
2.   Periksa riwayat alergi
klien.
3.   Pilih obat berdasarkan tipe
dan beratnya nyeri.
4.  Pilih cara pemberian IV
atau IM untuk
pengobatan, jika mungkin.
5.  Monitor vital sign sebelum
dan sesudah pemberian
analgetik.
6.  Kelola jadwal pemberian
analgetik yang sesuai.
7.  Evaluasi efektifitas dosis
analgetik, observasi tanda
dan gejala efek samping,
misal depresi pernafasan,
mual dan muntah, mulut
kering, & konstipasi.
8.   Kolaborasi dgn dokter
untuk obat, dosis & cara
pemberian yg
diindikasikan.
9.   Tentukan lokasi nyeri,
karakteristik, kualitas, dan
keparahan sebelum
pengobatan.
10. Berikan obat dengan
prinsip 5 benar
11.Dokumentasikan respon
dari analgetik dan efek
yang tidak diinginkan
NOC:
Perawatan diri : NIC: Membantu perawatan
(mandi, Makan diri klien Mandi  dan
Toiletting, berpakaian) toiletting
Setelah diberi motivasi
Aktifitas:
perawatan selama
1. Tempatkan alat-alat mandi
….x24  jam, ps mengerti
di tempat yang mudah
cara memenuhi ADL
dikenali dan mudah
secara bertahap sesuai
dijangkau klien
Defisit self care b.d kemam-puan, dengan
2. Libatkan klien dan
3 de-ngan kelelahan,  kriteria :
dampingi
nyeri ·  Mengerti secara seder-
3.   Berikan bantuan selama
hana cara  mandi,
klien masih mampu
makan, toileting, dan
mengerjakan sendiri
berpakaian serta mau
mencoba se-cara aman NIC: ADL Berpakaian
tanpa cemas Aktifitas:
·  Klien mau 1.   Informasikan pada klien
berpartisipasi dengan dalam memilih pakaian
senang hati tanpa selama perawatan
keluhan dalam 2.  Sediakan pakaian di
tempat yang mudah
dijangkau
3.   Bantu berpakaian yang
sesuai
4.   Jaga privcy klien
5.   Berikan pakaian pribadi
yg digemari dan sesuai
memenuhi ADL NIC: ADL Makan
1.  Anjurkan duduk dan
berdo’a bersama teman
2.   Dampingi saat makan
3.  Bantu jika klien belum
mampu dan beri contoh
4.  Beri rasa nyaman saat
makan
4 PK: peningkatan Setelah dilakukan 1.   Pantau tanda dan gejala
tekan-an intrakranial tindakan keperawatan peningkatan TIK
b.d pro-ses desak selama ….x 24 jam - Kaji respon membuka mata,
ruang akibat dapat mencegah atau respon motorik, dan
penumpukan cairan / meminimalkan verbal, (GCS)
darah di dalam otak komplikasi dari - Kaji perubahan tanda-tanda
(Carpenito, 1999) peningkatan TIK, vital
Batasan dengan kriteria : - Kaji respon pupil
karakteristik : ·  Kesadaran stabil - Catat gejala dan tanda-
–  Penurunan kesadar- (orien-asi baik) tanda: muntah, sakit kepala,
an (gelisah, disori- ·  Pupil isokor, diameter lethargi, gelisah, nafas
entasi) 1mm keras, gerakan tak
–  Perubahan motorik ·   Reflek baik bertujuan, perubahan
dan persepsi ·   Tidak mual mental
sensasi ·   Tidak muntah 2.   Tinggikan kepala 30-40O
–  Perubahan tanda vi- jika tidak ada kontra
tal (TD meningkat, indikasi
nadi kuat dan 3.   Hindarkan situasi atau
lambat) manuver sebagai berikut:
–  Pupil melebar, re- - Masase karotis
flek pupil menurun - Fleksi dan rotasi leher
–   Muntah berlebihan
–   Klien mengeluh - Stimulasi anal dengan jari,
mual menahan nafas, dan
– Klien mengeluh mengejan
pandangan kabur - Perubahan posisi yang cepat
dan diplopia 4.  Ajarkan klien untuk
ekspirasi selama perubahan
posisi
5. Konsul dengan dokter
untuk pemberian pe-lunak
faeces, jika perlu
6. Pertahankan lingkungan
yang tenang
7. Hindarkan pelaksanaan
urutan aktivitas yang dapat
meningkatkan TIK (misal:
batuk, penghisapan,
pengubahan posisi, meman-
dikan)
8. Batasi waktu penghisapan
pada tiap waktu hingga 10
detik
9. Hiperoksigenasi dan
hiperventilasi klien se-
belum dan sesudah
penghisapan
10.Konsultasi dengan dokter
tentang pemberian
lidokain profilaktik
sebelum penghisapan
11.Pertahankan ventilasi
optimal melalui posisi
yang sesuai dan
penghisapan yang teratur
12.Jika diindikasikan, lakukan
protokol atau kolaborasi
dengan dokter untuk
terapi obat yang mungkin
termasuk sebagai berikut:
13.Sedasi, barbiturat
(menurunkan laju meta-
bolisme serebral)
14.Antikonvulsan
(mencegah kejang)
15.Diuretik osmotik
(menurunkan edema
serebral)
16.Diuretik non osmotik
(mengurangi edema
serebral)
17.Steroid (menurunkan
permeabilitas kapiler,
membatasi edema serebral)
18.Pantau status hidrasi,
evaluasi cairan masuk dan
keluar)
DAFTAR PUSTAKA

Brunner dan Suddarth. 2011. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Volume II.


Edisi 8. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Carpenito, L.J. w 2010. Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan dan
Masalah Kolaborasi. Edisi 8. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Doenges, M.E. 2011. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Hudak dan Gallo. 2000. Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik. Volume II.
Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Marion Johnson, dkk. 2010. Nursing Outcomes Classification (NOC)
Second Edition. Mosby.
Mc. Closkey dan Buleccheck. 2000. Nursing Interventions Classification (NIC)
Second Edition. Mosby.
NANDA. 2015. Nursing Diagnosis: Definition and Classification. Philadelphia:
North American Nursing Diagnosis Association.

Anda mungkin juga menyukai