Anda di halaman 1dari 36

SKENARIO 5

“TRAUMA PADA KEPALA”


BLOK SISTEM SARAF PUSAT DAN PERILAKU

Disusun oleh:
DIANDRA HELENA KHAIRUNNISA (1102020026)
KELOMPOK: A6

UNIVERSITAS YARSI
Jl. Let. Jend. Suprapto. Cempaka Putih, Jakarta Pusat. DKI Jakarta. Indonesia. 10510. Telepon:
+62 21 4206675
1. Memahami dan Menjelaskan Trauma Kepala (Cranio Cerebral)
1.1 Definisi
• Cedera kepala adalah perubahan fungsi otak atau terdapat bukti patologi pada otak yang
disebabkan oleh kekuatan mekanik eksternal (Ramli, Y., & Zairinal, R., 2017).
• Cedera kepala adalah adalah cedera mekanik yang secara langsung maupun tidak langsung
mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit kepala, fraktur tulang tengkorak,
robekan selaput otak dan kerusakan jaringan otak itu sendiri, serta mengakibatkan
gangguan neurologis (Sjahrir, 2012).
1.2 Etiologi
Cedera kepala dapat diakibatkan oleh trauma mekanik pada kepala baik secara langsung
atau tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis berupa gangguan fisik,
kognitif, dan fungsi psikososial secara sementara maupun permanen.
Beberapa etiologi cedera kepala (Wijaya, A., & Putri, Y., 2013):
1. Trauma tajam
Trauma oleh benda tajam: menyebabkan cedera setempat dan menimbulkan cedera lokal.
Kerusakan local meliputi contusion serebral, hematom serebral, kerusakan otak sekunder
yang disebabkan perluasan masa lesi, pergeseran otak atau hernia.
2. Trauma tumpul
Trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan cedera menyeluruh (difusi): kerusakannya
menyebar secara luas dan terjadi dalam 4 bentuk, yaitu cedera akson, kerusakan otak
hipoksia, pembengkakan otak menyebar pada hemisfer serebral, batang otak atau kedua-
duanya.
Akibat cedera tergantung pada (Wijaya, A., & Putri, Y., 2013):
a. Kekuatan benturan (parahnya kerusakan).
b. Akselerasi dan deselerasi.
c. Cup dan kontra cup
1) Cedera cup adalah kerusakan pada daerah dekat yang terbentur.
2) Cedera kontra cup adalah kerusakan cedera berlawanan pada sisi desakan benturan.
d. Lokasi benturan
e. Rotasi: pengubahan posisi rotasi pada kepala menyebabkan trauma regangan dan robekan
substansia alba dan batang otak. Depresi fraktur: kekuatan yang 10 mendorong fragmen
tulang turun menekan otak lebih dalam. Akibatnya CSS mengalir keluar ke hidung, kuman
masuk ke telinga kemudian terkontaminasi CSS lalu terjadi infeksi dan mengakibatkan
kejang.
1.3 Klasifikasi
Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan: [1] tingkat kesadaran pasien menurut Skala
Koma Glasgow (SKG), [2] lokasi lesi, dan [3] patologi.
Berdasarkan tingkat kesadaran, cedera ke pala dapat dibagi menjadi:
1. Cedera kepala minimal: SKG 15; tidak ada pingsan, tidak ada defisit neurologis, CT scan
otak normal.
2. Cedera kepala ringan: SKG 13-15, terdapat pingsan kurang dari 10 menit, tidak terdapat
defisit neurologis, CT scan otak normal.
3. Cedera kepala sedang: SKG 9-12, terdapat pingsan 10 menit-6 jam, terdapat defisit
neurologis, CT scan otak abnormal.
4. Cedera kepala berat: SKG 3-8, terdapat pingsan lebih dari 6 jam, terdapat defisit
neurologis, CT scan otak abnormal.
Berdasarkan lokasi lesi, cedera kepala dapat dibagi menjadi:
1. Cedera kepala lesi difus: aksonal dan vaskular
a. Cedera aksonal difus
Cedera aksonal difus disebabkan oleh akselerasi atau deselerasi cepat kepala,
terutama jika terdapat gerakan rotasional atau koronal. Umumnya terjadi pada kasus
kecelakaan lalu lintas dan jatuh dari ketinggian. Secara patologi, cedera aksonal difus
dicirikan dengan kerusakan akson dan perdarahan petekie. Secara klinis, pasien akan
kehilangan kesadaran sejak terjadinya cedera, disabilitas berat, dan status vegetatif
yang persisten. Oleh karena kerusakan yang terjadi di tingkat akson, maka gambaran
CT scan sering tidak menunjukkan kelainan, Pada kondisi ini, pemeriksaan MRI
dapat dikerjakan untuk melihat lesi patologis di parenkim,
b. Cedera vaskular difus
Berbeda dengan cedera aksonal difus yang melibatkan akson, cedera vaskular difus
didominasi oleh keterlibatan pembuluh darah. Beberapa pasien cedera kepala yang
mengalami akselerasi atau deselerasi cepat dan parah dapat mengalami perdarahan
petekie pada otak tanpa sempat mengalami cedera aksonal, akibat besarnya energi
mekanik yang menyebabkan pecahnya pembuluh darah.
c. Edema otak dan iskemia serebral
Edema otak pada cedera kepala terjadi melalui beberapa mekanisme, yaitu:
vasodilatasi pembuluh darah otak yang mengakibatkan meningkatnya volume darah
ke otak, rusaknya sawar darah otak yang menyebabkan bocornya cairan (edema
vasogenik), dan meningkatnya kandungan air di dalam sel neuron pada sistem saraf
pusat (edema sitotoksik). Edema otak akan meningkatkan TIK dan menurunkan
tekanan perfusi otak, sehingga menyebabkan kerusakan otak akibat iskemia.
Perbedaan tekanan di antara kompartemen otak dapat mengakibatkan herniasi otak.
Herniasi subfalsingirus singulatum akan menyebabkan kompresi pada arteri serebral
anterior. Sementara herniasi transtentorial dapat menyebabkan kompresi pada arteri
serebral posterior, girus parahipokampus, dan otak tengah. Herniasi transforamen
batang otak menyebabkan iskemia yang berujung pada menurunnya fungsi batang
dan otak atau kematian.
2. Cedera kepala lesi fokal, yang terbagi menjadi:
a. Cedera scalp
Cedera fokal pada scalp dalam bentuk laserasi dan abrasi dapat menjadi penanda
penting untuk menentukan tempat terjadinya benturan dan dapat memberikan
gambaran obyek yang mengenainya. Laserasi scalp merupakan hal penting yang
harus diperhatikan karena dapat menjadi jalur masuk infeksi dan sumber perdarahan.
Sementara, adanya memar tidak selalu menjadi penanda yang berhubungan dengan
lokasi benturan, sebagai contoh: (1) memar periorbita seringkali berkaitan dengan
patah tu- lang orbita akibat cedera contra-coup pada oksiput, (2) memar pada mastoid
(Battle sign) dapat disebabkan oleh aliran darah dari fraktur yang terjadi pada tulang
temporal pars petrosus.
b. Fraktur basis kranii
Fraktur basis kranii dapat menjadi indikasi besarnya energi mekanik yang mengenai
kepala. Energi mekanik yang mengenai daerah yang luas pada tengkorak
mengakibatkan fraktur kominutif, sedangkan pada daerah yang sempit
mengakibatkan fraktur impresi. Fraktur basis kranii dapat mengakibatkan bocornya
cairan serebrospinal dan mengisi sinus-sinus, sehingga dapat menjadi sumber infeksi
intrakranial
c. Kontusio dan laserasi serebri
Robekan (laserasi) pada pia
mater seringkali berhubungan
dengan jejas pada otak
(kontusio), Pada kontusio
serebri, parenkim otak
mengalami edema dan
perdarahan. Jejas yang
terdapat tepat di titik trauma
disebut jejas coup, sedangkan
yang terdapat di sisi kontralateral titik trauma disebut jejas countercoup.
Jejas coup umumnya terjadi pada kasus akselerasi cepat, misalnya saat kepala
dipukul dengan benda keras. Sementara itu, jejas countercoup umumnya terjadi pada
kasus deselerasi cepat, misalnya jatuh dari atas gedung. Saat seseorang jatuh dari
suatu ketinggian, kepala mengalami akselerasi akibat gravitasi bumi dan diikuti
deselerasi cepat akibat menghantam tanah.
Perdarahan pada kontusio serebri dapat
meningkatkan tekanan intrakranial (TIK}.
perdarahan dapat meluas hingga ke substansia
alba dan rongga subdural yang umumnya terjadi
pada lobus frontal dan temporal. Dalam beberapa
hari, perdarahan ini akan diabsorbsi oleh otak,
sehingga menghasilkan kavitas pada girus otak.
Perdarahan dapat bersifat asimptomatik, tetapi
memiliki risiko mengakibatkan epilepsi di
kemudian hari. Diskontinuitas jaringan otak akibat kontusio disebut sebagai laserasi
otak.
d. Perdarahan Intrakranial
- Perdarahan epidural
- Perdarahan subdural
- Perdarahan subaraknoid
- Perdarahan intraventrikular
- Perdarahan intraserebral
Berdasarkan patologi, cedera kepala dapat diklasifikasikan menjadi komosio, kontusio, dan
laserasi serebri.
a. Komosio serebri (gegar otak):
Gangguan fungsi neurologi ringan tanpa tanpa adanya kerusakan struktur otak, terjadi
hilangnya kesadaran kurang dari 10 menit atau tanpa disertai amnesia retrograde, mual,
muntah, nyeri kepala.
b. Kontusio serebri (memar)
Gangguan fungsi neurologi disertai kerusakan jaringan otak tetapi kontinuitas otak masih
utuh, hilangnya kesadaran lebih dari 10 menit.
c. Laserasio serebri
Gangguan fungsi neurologi disertai kerusakan otak yang berat dengan fraktur tengkorak
terbuka. Massa otak terkelupas keluar dari rongga intra kranial.
1.4 Patofisiologi
Benturan kepala akan menimbulkan respons pada tengkorak dan otak, misalnya perge-
rakan (displacement). Secara klinis, respons ini dapat berupa fraktur dan cedera otak. Risiko pasien
mengalami fraktur dan cedera otak ini bergantung kepada faktor akselerasi kepala dan durasi gaya
mekanik pada kepala. Benturan pada permukaan yang keras memiliki durasi singkat dengan
akselerasi tinggi. Sementara itu, durasi yang lebih lama pada permukaan yang kurang keras
menurunkan risiko fraktur, tetapi tidak untuk cedera otak, asalkan akselerasinya tetap tinggi.
Akselerasi kepala memiliki dua komponen sesuai arah vektornya, yaitu translasi (sumbu
sagital, koronal, dan aksial) dan rotasi. Akselerasi translasi membuat kepala bergerak secara
sirkular. Sementara itu, akselerasi rotasi membuat kepala berubah sudutnya terhadap sumbu
sentral. Selain akselerasi, kepala juga dapat mengalami deselerasi/ perlambatan yang merupakan
bentuk negatif dari akselerasi. Akselerasi timbul karena kepala yang bergerak, sedangkan
deselerasi muncul sebagai akibat dari kepala yang terbentur. Saat kepala yang sedang bergerak
lalu terbentur, terjadi kombinasi akselerasi translasi dan rotasi serta deselerasi. Pergerakan akibat
proses akselerasi dan deselerasi ini yang menimbulkan tarikan dan regangan pada otak dan gesekan
antara otak dengan tengkorak, sehingga bermanifestasi klinis dan terlihat kelainan pada pencitraan.
Terdapat dua tipe cedera kepala yang terbentuk, yaitu cedera tumpul dan cedera tembus.
Cedera tumpul umumnya disebabkan oleh mekanisme akselerasi atau deselerasi cepat pada kepala
dengan atau tanpa benturan. Tipe cedera ini umumnya terjadi pada kasus kecelakaan lalu lintas
atau jatuh dari ketinggian. Di lain pihak, cedera tembus merupakan cedera akibat penetrasi tulang
tengkorak oleh objek eksternal, misalnya tembakan peluru atau tusukan benda tajam. Cedera
tembus juga dapat merupakan cedera kolateral akibat adanya obyek eksternal yang mengenai
kepala dan mengakibatkan fraktur impresi hingga terjadi penetrasi ke dalam rongga kranial.
Cedera tembus kecepatan rendah menyebabkan cedera langsung pada pembuluh darah, saraf, dan
jaringan otak, dengan komplikasi perdarahan dan infeksi.

Gaya mekanik eksternal yang mengenai kepala menimbulkan cedera otak primer dan
sekunder. Cedera otak primer terjadi karena efek sangat segera (immediate effect) pada otak akibat
gaya mekanik eksternal saat trauma terjadi. Di lain pihak, cedera otak sekunder terjadi beberapa
saat setelah kejadian trauma akibat jalur kompleks, yang berkembang dan mengakibatkan
kerusakan otak lebih luas. Pada cedera otak primer, lesi difus dapat berupa cedera aksonal difus
dan cedera vaskular difus, sedangkan lesi fokal berupa kontusio fokal, perdarahan intraserebral,
perdarahan subdural, dan perdarahan epidural. Sementara itu, bentuk cedera otak sekunder dapat
berupa edema otak, cedera iskemik, cedera hipoksik, difus, dan disfungsi metabolik Di samping
cedera otak sekunder tersebut, konsekuensi lanjutan dari cedera otak primer dapat berupa
kerusakan sekunder (secondary insult), seperti hipotensi, hipoksia, demam, hipo/hiperglikemia,
gangguan elektrolit, anemia, kejang, dan vasospasme. Di antara semua itu, faktor yang paling
berpengaruh terhadap prognosis buruk adalah hipotensi dan hipoksia yang akan memperberat
cedera otak.

Cedera otak primer akibat benturan pada kepala menimbulkan serangkaian proses yang
pada akhirnya menjadi cedera otak sekunder. Saat benturan terjadi, neuron mengalami regangan
dan tarikan yang termasuk dalam cedera otak primer. Peristiwa ini mengganggu integritas dan
kerja pompa ion membran sel, terjadi perpindahan ion natrium dan kalsium ke intrasel dan ion
kalium ke ekstrasel. Hal ini akan meningkatkan konsentrasi ion kal sium intrasel yang kemudian
memiliki kon sekuensi, yaitu aktivasi calpain yang bisa mendegradasi protein sitoskeletai dan
induksi pelepasan glutamat yang akhirnya mengaktivasi reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA).
Selanjutnya terjadi konsentrasi ion kalsium di mitokondria, sehingga terbentuk banyak radikal
bebas (reactive oxygen species/ROS), aktivasi kaspase, apoptosis neuron, dan fosforilasi oksidatif
inefisien. Konsekuensi terakhir ini selanjutnya akan menyebabkan metabolisme anaerob dan pada
akhirnya kegagalan energi. Inilah yang menjadi inti permasalahan karena neuron membutuhkan
energi yang cukup pada kondisi cedera. Neuron dengan kegagalan energi tidak dapat berfungsi
normal dan selanjutnya terjadi asidosis, edema, dan iskemia yang menambah berat kerusakan otak.
1.5 Manifestasi Klinis
1. Cedera kepala ringan-sedang
a. Disoerientasi ringan
Disorientasi adalah kondisi mental yang berubah dimana seseorang yang mengalami ini
tidak mengetahui waktu atau tempat mereka berada saat itu, bahkan bisa saja tidak
mengenal dirinya sendiri.
b. Amnesia post traumatik
Amnesia post traumatik adalah tahap pemulihan setelah cedera otak traumatis ketika
seseorang muncul kehilangan kesadaran atau koma.
c. Sakit kepala
Sakit kepala atau nyeri dikepala, yang bisa muncul secara bertahap atau mendadak.
d. Mual dan muntah
Mual adalah perasaan ingin muntah, tetapi tidak mengeluarkan isi perut, sedangkan muntah
adalah kondisi perut yang tidak dapat dikontrol sehingga menyebabkan perut
mengeluarkanisinya secara paksa melalui mulut.
e. Gangguan pendengaran
Gangguan pendengaran adalah salah suatu keadaan yang umumnya disebabkan oleh factor
usia atau sering terpapar suara yang nyaring atau keras.
2. Cedera kepala sedang-berat
a. Oedema pulmonal
Edema paru adalah suatu kondisi saat terjadi penumpukan cairan diparu-paru yang dapat
mengganggu fungsi paru-paru. Biasanya ditandai dengan gejala sulit bernafas.
b. Kejang infeksi
Kejang infeksi adalah kejang yang disebabkan oleh infeksi kumandi dalam saraf pusat.
c. Tanda herniasi otak
Herniasi otak adalah kondisi ketika jaringan otak dan cairan otak bergeser dari posisi
normalnya. Kondisi ini dipicu oleh pembengkakan otak akibat cedera kepala, stroke, atau
tumor otak.
d. Hemiparase
Hemiparase adalah kondisi ketika salah satu sisi tubuh mengalami kelemahan yang dapat
mempengaruhi lengan, kaki, dan otot wajah sehingga sulit untuk digerakkan.
e. Gangguan akibat saraf kranial
1.6 Cara Diagnosis dan Diagnosis Banding
ANAMNESIS
1. Mekanisme cedera kepala secara detail, meliputi proses terjadinya, posisi pasien saat
kejadian, bagian tubuh yang pertama kali terkena, kecepatan (jika kecelakaan lalu lintas}
atau besarnya kekuatan (jika pukulan atau barang) obyekyang menyebabkan cedera kepala.
2. Tingkat kesadaran, perlu ditanyakan kesadaran memang sudah hilang sejak setelah trauma
atau hilang setelah pasien sempat sadar.
3. Durasi hilangnya kesadaran.
4. Amnesia pascatrauma, tanyakan kondisi pasien sebelum, saat, dan setelah trauma.
5. Nyeri kepala, perlu dibedakan nyeri akibat peningkatan tekanan intrakranial atau
disebabkan oleh nyeri somatik akibat cedera scalp.
6. Gejala neurologis lain, seperti anosmia, kejang, kelemahan tubuh sesisi atau dua sisi,
bingung, diplopia, dan orientasi pasien terhadap waktu, tempat, serta orang perlu
ditanyakan saat anamnesis. Gejala berupa bocornya cairan serebrospinal melalui hidung
(rinorea) atau telinga (otorea) juga perlu ditanyakan.
7. Hal lain yang juga perlu ditanyakan adalah obat rutin yang sering dikonsumsi pasien,
riwayat penyakit dahulu, gaya hidup (alkohol, rokok, dan narkoba), serta riwayat penyakit
keluarga.
PEMERIKSAAN FISIK
- Tanda-tanda perdarahan intrakranial
- Tanda fraktur basis kranii
- Tanda cedera aksonal difus
(dibahas di sasbel perdarahan dan fraktur)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pencitraan pada fase akut
Seiring dengan perkembangan teknologi, pemeriksaan rontgen tengkorak telah digantikan
oleh adanya CT scan. CT merupakan pilihan utama dalam kasus cedera kepala akut. CT scan
nonkontras potongan aksial dapat dengan cepat mengidentifikasi massa desak ruang dalam
bentuk hematom yang membutuhkan tatalaksana operatif segera.
Kemampuan CT scan untuk memindai jaringan lunak dan tulang, membuat CT scan unggul
dalam mengidentifikasi fraktur tengkorak jenis Impresi atau linier dan fraktur basis kranii.
Menurut National Institute for Health and Clinical Excellence (NICE), CT scan perlu
dilakukan jika pasien:
• Memiliki skor SKG kurang dari 13 pascacedera
• Skor SKG 13 atau 14 dua jam pasca cedera
• Dicurigai mengalami fraktur terbuka atau impresi
• Memiliki tanda-tanda fraktur basis kranii
• Mengalami kejang pascacedera
• Mengalami defisit neurologis sentral
• Mengalami muntah yang lebih dari 1 kali
• Mengalami amnesia tentang kejadian 30 menit sebelum cedera kepala
2. Pencitraan pada fase subakut
Pemeriksaan dengan MRI dilakukan setelah pasien dalam keadaan stabil. MRI dapat
memberikan gambaran yang lebih jelas dan dapat menggambarkan luasnya cedera serta
mampu memberikan informasi tentang prognosis pasien ketika berada di ruang rawat intensif.
CT scan lebih unggul dibanding MRI untuk mendeteksi perdarahan. Namun, MRI lebih
unggul dibanding CT scan untuk mendeteksi cedera aksonal difus.
Selain pencitraan, pemeriksaan penanda biokimia, seperti creatine kinase brain type (CK-BB),
neuron-specific enolase (NSE), protein S100, dapat dilakukan pada pasien cedera kepala.
Diagnosis banding
Hampir semua kelainan intrakranial dapat dijadikan diagnosis banding untuk cedera
kepala, yaitu keganasan otak, stroke, dan aneurisma.
1.7 Tatalaksana
Dasar tata laksana awal untuk semua kasus cedera kepala bertujuan untuk menjaga kestabilan
hemodinamik, penanganan segera akibat cedera primer, mencegah cedera jaringan otak sekunder
dengan cara mencegah munculnya faktor-faktor komorbid seperti hipotensi dan hipoksia, serta
mendapatkan penilaian neurologis yang akurat.
Adapun survei primer meliputi tindakan yang umumnya disingkat ABCD, yaitu:
1. A-Airway (jalan napas)
Prinsipnya adalah memastikan jalan napas tidak mengalami sumbatan. Apabila diperlukan
dapat digunakan alat bantu seperti oropharyngeal airway (OPA).
2. B-Breathing (pernapasan adekuat)
Prinsip pernapasan adekuat adalah dengan memperhatikan pola napas, gerak dinding perut,
dan kesetaraan pengembangan dinding dada kanan dan kiri. Apabila alat tersedia,
diharapkan saturasi oksigen di atas 92%.
3. Circulation (sirkulasi)
4. D-Disability (melihat adanya disabilitas)
Disabilitas mengacu pada ada tidaknya lateralisasi dan kondisi umum dengan memeriksa
status umum dan fokal neurologis.
Pengkajian tanda-tanda vital dilakukan untuk mengetahui kondisi pasien
a) Glasgow Coma Scale (GCS)
GCS merupakan instrumen standar yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat
kesadaran pasien. Glasgow Coma Scale juga digunakan untuk menilai secara kuantitatif
kelainan neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera
kepala. Score GCS menjadi standar pengukuran fungsi neurologis paada pasen dengan
perubahan status mental oleh karena penyebab 26 apapun, termasuk cedera kepala. GCS
merupakan faktor penting yang harus diukur pada pasien dengan cedera kepala. Selain
digunakan untuk mengukur tingkat kesadaran pasien secara kuantitatif, GCS juga
digunakan untuk memprediksi risiko kematian di awal trauma. Skor GCS merupakan salah
satu komponen yang berkatan erat dengan kematian pasien cedera kepala. Pasien cedera
kepala dengan skor total GCS kurang atau sama dengan 8 memiliki rata-rata kematian
sebesar 56 %, setiap penurunan satu nilai GCS berhubungan dengan 14 % kematian.
b) Tekanan Darah (TD)
Tekanan darah adalah suatu indikator penting dalam prognosis pasien dengan
cedera kepala. Tekanan darah juga merupakan prediktor kematian pada beberapa kasus
pasien dengan cedera kepala, ditemukan pasien mengalami hipotensi. Hipotensi
merupakan penyebab kematian pada pasien cedera kepala, hal ini berkaitan dengan
penurunan suplai oksigen dan pengangkutan glukosa ke otak yang merupakan faktor utama
prognosis pada pasien cedera kepala. Tekanan darah yang bermasalah mengakibatkan
outcome yang buruk pada pasien cedera kepala. Hipotensi dapat menyebabkan kematian
dalam periode singkat, hal ini berkaitan dengan terganggunya aliran darah ke otak.
Pasien yang memiliki tekanan darah < 120 mmHg memiliki 1,5 kali lipat lebih
besar memiliki risiko kematian, 2 kali lipat pada tekanan darah < 100 mmHg 3 kali lipat
pada tekanan darah < 70 mmHg Apabila terjadi hipotensi (TD kurang dari 90 mmHg) yang
berlangsung selama 15 menit, dapat memperburuk prognosis pasien cedera kepala dan
meningkatkan mortalitas pasien cedera kepala. Oleh karena itu diperlukan upaya observasi
pasien yang bertujuan untuk mendeteksi dan memberikan tindakan pencegahan hipotensi
segera pada pasien cedera kepala. Tindakan ini merupakan langkah potensial menurunkan
jumlah kematian akibat cedera kepala sekunder.
c) Respiratory Rate (RR)
Evaluasi fungsi respirasi pada pasien cedera kepala merupakan intervensi penting
saat penatalaksanaan pasien cedera kepala. Fungsi respirasi merupakan fungsi yang
menjamin kebutuhan oksigenasi pada otak yang sedang mengalami cedera. Evaluasi fungsi
respirasi, umumnya dilakukan melalui pengukuran RR dan SpO2 . Pasien yang mengalami
cedera kepala memerlukan suplai oksigen yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme otak, sehingga saturasi oksigen merupakan salah satu tanda-tanda vital yang
wajib dikaji dan dipantau terusmenerus pada pasien cedera kepala. Pasien cedera kepala
memerlukan suplai oksigen yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolisme otak.
Observasi saturasi oksigen dilakukan untuk mencegah dan mengenali risiko terjadinya
hipoksia jaringan. Hipoksia jaringan akan menyebabkan risiko trauma sekunder pada
jaringan otak yang akan berakibat pada kematian pasien. Saturasi oksigen perifer di bawah
90% menunjukkan sebuah kondisi hipoksemia. Saturasi oksigen yang lebih rendah secara
signifikan meningkatkan risiko kematian, pasien dengan saturasi 24 kali per menit
meningkatkan risiko kematian pada pasien cedera kepala, dengan kata lain memiliki
outcome yang buruk, perubahan frekuensi pernafasan menyebabkan saturasi oksigen dalam
darah menurun yang diikuti perfusi jaringan yang menurun juga. Perfusi jaringan otak yang
rendah pada otak dapat menyebabkan perburukan kondisi pasien cedera kepala, sehingga
pasien memiliki outcome yang buruk. Semakin tinggi perfusi oksigen ke otak, maka
outcome pasien cedera kepala semakin baik

Tata Laksana Farmakologis


Hipotensi adalah salah satu prediktor mortalitas pada cedera kepala berat. Oleh karena itu,
perlu dilakukan resusitasi dengan cepat begitu tanda-tanda syok ditemukan. Banyak pusat trauma
merekomendasikan kristaloid isotonik sebagai cairan pengganti. Cairan hipotonik harus dihindari
karena dapat mengeksaserbasi edema serebral. Untuk mempertahankan tekanan perfusi serebral
sebesar 50mmHg, dibutuhkan tekanan darah arteri rerata (mean arterial pressure/MAP) sekitar
70mmHg.
Dalam penanganan cedera kepala, perlu diperhatikan adanya tanda-tanda peningkatan TIK
karena harus diturunkan segera. Berdasarkan mekanisme hipoksia yang terjadi pada cedera, maka
edema yang terjadi adalah edema sitotoksik, sehingga digunakan manitol 20%. Terapi ini
menggunakan prinsip osmosis diuresis. Manitol memiliki efek ekspansi plasma yang dapat
menghasilkan gradien osmotik dalam waktu cepat. Cairan ini dapat meningkatkan aliran darah
serebral dan tekanan perfusi serebral yang akan meningkatkan suplai oksigen.
Dosis pemberian manitol dimulai dari l-2g/kgBB dalam waktu 1/2-1 jam tetes cepat. Setelah 6 jam
pemberian dosis pertama, dilanjutkan dengan dosis kedua 0,5g/kgBB dalam waktu 1/2-1 jam tetes
cepat. Selanjut- nya 12 jam dan 24 jam kemudian diberikan 0. 25g/kgBB selama 1/2-1 jam tetes
cepat.
Tata Laksana Operatif
Tindakan operatif dilakukan sesuai indikasi.
Adapun tindakan operatif dilakukan apabila terdapat kasus seperti disebut di bawah ini:
1. Perdarahan epidural adalah:
a. Lebih dari 40cc dengan pergeseran garis tengah pada daerah temporal/ frontal/parietal
dengan fungsi batang masih baik.
b. Lebih dari 30cc pada daerah fos sa posterior dengan tanda-tanda penekanan batang otak
atau hidrosefalus dengan fungsi batang otak ma sih baik.
c. Perdarahan epidural yang progresif.
d. Perdarahan epidural tipis dengan penurunan kesadaran.
2. Perdarahan subdural adalah:
a. SDH luas (>40cc/>5mm) dengan skor GCS>6, fungsi batang otak masih baik.
b. DH tipis dengan penurunan kesadaran.
c. SDH dengan edema serebri/kontu- sio serebri disertai pergeseran garis tengah (midline
shift) dengan fungsi batang otak masih baik.
3. Perdarahan intraserebral adalah:
a. Penurunan kesadaran progresif.
b. Hipertensi, bradikardi, dan gangguan pernapasan (refleks Cushing).
c. Terjadi perburukan pada suatu kondisi defisit neurologis fokal.
4. Fraktur impresi.
5. Fraktur kranii dengan laserasi serebri.
6. Fraktur kranii terbuka.
7. Edema serebri berat yang disertai dengan tanda peningkatan tekanan intrakranial (TIK).
1.8 Komplikasi
• Deep vein thrombosis lebih tinggi pada pasien trauma kepala
• Defisit neurologis
• kebocoran CSF
• Hidrosefalus
• Infeksi
• Kejang
• Edema serebral
1.9 Pencegahan
Pencegahan yang dilakukan untuk mengurangi resiko cedera kepala di dalam masyarakat, yaitu:
• Menggunakan pengaman dan mentaati lalu lintas saat berkendara
• Menggunakan alat pengaman saat berolahraga
• Selalu menggunakan alat keselamatan seperti helm atau pelindung kepala apabila bekerja
di lingkungan yang berisiko menimbulkan cedera kepala
• Memasang pegangan besi di kamar mandi dan di samping tangga untuk mengurangi risiko
terpeleset
• Memastikan lantai selalu kering dan tidak licin juga memasang penerangan yang baik di
seluruh bagian rumah
• Memeriksa kondisi mata secara rutin, terutama jika mengalami gejala gangguan
penglihatan, seperti buram atau penglihatan berbayang.
Langkah yang dapat dilakukan orang tua untuk mencegah anak-anak terkena cedera kepala:
• Mengunci pintu rumah saat tidak ada pengawas
• Memasang tralis jendela, khususnya jika anda tinggal di rumah tingkat
• Meletakkan keset kering di depan pintu kamar mandi agar tidak terpeleset
• Mengawasi anak dan memastikan mereka bermain dengan aman.
1.10 Prognosis
Hasil setelah trauma kepala tergantung pada banyak faktor. Skor GCS awal memang memberikan
beberapa informasi tentang hasilnya; skor motorik paling memprediksi hasil. Pasien dengan GCS
kurang dari 8 memiliki mortalitas yang tinggi. Usia lanjut, komorbiditas, gangguan pernapasan,
dan keadaan koma juga terkait dengan hasil yang buruk. Kejadian cedera kepala di Indonesia setiap
tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah diatas, 10% penderita meninggal
sebelum tiba di rumah sakit. Dari pasien yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokan sebagai
cedera kepala ringan, 10 % termasuk cedera sedang, dan 10 % termasuk cedera kepala berat. Pada
penderita dengan cedera kepala ringan dan sedang hanya 3%-5% yang memerlukan tindakan
operasi dan sisanya dirawat secara konservatif. Prognosis pasien cedera kepala akan lebih baik bila
penatalaksanaan dilakukan secara tepat dan cepat.
2. Memahami dan Menjelaskan Perdarahan Intrakranial
2.1 Definisi
Perdarahan intrakranial didefinisikan sebagai akumulasi darah patologis yang terjadi di
otak dan diklasifikasi berdasarkan lokasi perdarahan yaitu perdarahan epidural, subdural,
subaraknoid, intraventrikular dan intraserebral (intraparenkim).
2.2 Etiologi
Perdarahan di otak memiliki beberapa penyebab, antara lain:
• Trauma kepala, yang disebabkan oleh jatuh, kecelakaan mobil, kecelakaan olahraga atau jenis
pukulan lain di kepala.
• Tekanan darah tinggi (hipertensi), yang dapat merusak dinding pembuluh darah dan
menyebabkan pembuluh darah bocor atau pecah.
• Penumpukan timbunan lemak di arteri (aterosklerosis).
• Gumpalan darah yang terbentuk di otak atau berpindah ke otak dari bagian tubuh lain, yang
merusak arteri dan menyebabkannya bocor.
• Pecahnya aneurisma serebral (titik lemah di dinding pembuluh darah yang membengkak dan
pecah).
• Penumpukan protein amiloid di dalam dinding arteri otak (angiopati amiloid serebral).
• Kebocoran dari koneksi yang terbentuk secara tidak normal antara arteri dan vena (malformasi
arteriovenosa).
• Gangguan perdarahan atau pengobatan dengan terapi antikoagulan (pengencer darah).
• Tumor otak yang menekan jaringan otak menyebabkan perdarahan.
• Merokok, penggunaan alkohol berat, atau penggunaan obat-obatan terlarang seperti kokain.
• Kondisi yang berkaitan dengan kehamilan atau persalinan, termasuk eklamsia, vaskulopati
postpartum, atau perdarahan intraventrikular neonatal.
• Kondisi yang berkaitan dengan pembentukan kolagen yang tidak normal pada dinding
pembuluh darah yang dapat menyebabkan dinding menjadi lemah, mengakibatkan pecahnya
dinding pembuluh.

2.3 Klasifikasi
a. Epidural Hematom
Hematoma epidural dapat berasal dari
arteri atau vena. Hematom epidural
arteri klasik terjadi setelah trauma
tumpul pada kepala, biasanya di
daerah temporal pars skuamosa yang
menyebabkan robeknya arteri
meningea media yang menyebabkan
perdarahan arteri ke dalam ruang
epidural potensial. Vena epidural
hematoma terjadi ketika ada fraktur
tengkorak, dan perdarahan vena dari
fraktur tengkorak mengisi ruang epidural. Hematoma epidural vena sering terjadi pada pasien
anak-anak. Perdarahan ini ditandai dengan akumulasi darah di antara dura mater dan tulang
tengkorak, sehingga gam baran hematomnya khas berbentuk cembung atau bilconveks.
Volume perdarahan merupakan penanda luaran pasien dengan perdarahan epidural. Pasien
dengan volume darah lebih dari 150mL memiliki prognosis yang lebih buruk.
b. Hematom Subdural
Perdarahan subdural merupakan perdarahan akibat robek nya vena jembatan (bridging vein)
terutama yang berdekatan dengan sinus sagital superior. Perdarahan subdural umumnya
disebabkan oleh akselerasi atau deselerasi kepala dengan atau tanpa benturan langsung.
Perdara han subdural seringkali dialami oleh pasien lanjut usia karena umumnya telah terjadi
atrofi otak yang menye babkan meningkatnya kapasitas otak untuk bergerak di dalam rongga
otak. Perdarahan subdural dapat terjadi akut (<3 hari), subakut (3 hari - 3 minggu awitan),
atau kronik (lebih dari 3 minggu awitan}. Perdarahan subdural akut terdiri atas bekuan darah
yang lembut (seperti gel). Setelah beberapa hari, bekuan tersebut akan dipecah menjadi cairan
serosa dan setelah 1-2 minggu akan terbentuk jaringan granulasi dengan fibroblas dan
pembuluh darah baru.
Walaupun perdarahan biasanya akan direabsorbsi, seringkali terjadi perdarahan ulang akibat
pembuluh darah baru yang imatur. Disampingitu, perda rahan subdural kronik seringkali
terjadi pada pasien lanjut usia, orang yang rutin mengonsumsi alkohol, dan pasien dengan
tekanan intrakranial rendah, seperti pasien hidrosefalus dengan pirau ventrikuloperitoneal
(yen triculoperitoneal shunt).
c. Perdarahan Subaraknoid
Akumulasi darah di subaraknoid dapat terjadi setelah cedera kepala, terutama yang
berhubungan dengan kontusio dan laserasi. Perdarahan subaraknoid seringkali menjadi
penyulit pada kasus perdarahan intraventrikular karena kebocoran (leakage) darah ke ruang
subaraknoid melalui foramen Luschka dan Magendie. Perdarahan subaraknoid karena cedera
kepala biasa nya terdistribusi di sulkus-sulkus serebri di sekitar verteks dan tidak mengenai
sisterna basalis. Perdarahan subaraknoid seringkali terjadi akibat benturan pada otak atau leher
dan menyebabkan hilangnya kesadaran secara langsung. Komplikasi kronik perdarahan
subaraknoid adalah terbentuknya hidrosefalus.
d. Perdarahan intraventrikular
Pada cedera kepala biasanya akibat sekunder dari perdarahan intraserebral pada daerah
ganglia basal atau kontusio serebri.
e. Perdarahan intraserebral
Perdarahan intraserebral dapat muncul secara sekunder dengan kontusio atau berhubungan
dengan cedera akson difiis. Perdarahan ini umumnya terbentuk di daerah ganglia basal,
talamus, dan substansia alba bagian parasagital.
2.4 Patofisiologi
Epidural Hematom
Hematoma epidural terjadi ketika darah masuk ke dalam ruang potensial antara dura dan bagian
dalam tengkorak. Paling sering ini terjadi setelah patah tulang tengkorak (85% sampai 95% kasus).
Dapat terjadi kerusakan pada pembuluh arteri atau vena yang memungkinkan darah membedah ke
dalam ruang epidural potensial yang mengakibatkan hematoma epidural. Pembuluh darah yang
paling sering rusak adalah arteri meningea media yang mendasari regio temporoparietal tengkorak.

Hematom Subdural
Hematoma subdural memiliki banyak penyebab termasuk trauma kepala, koagulopati, ruptur
kelainan vaskular, dan spontan. Trauma kepala yang paling umum menyebabkan gerakan otak
relatif terhadap tengkorak yang dapat meregang dan mematahkan pembuluh darah yang melintasi
dari otak ke tengkorak. Jika pembuluh darah rusak, mereka berdarah ke ruang subdural.

Perdarahan Subaraknoid
Perdarahan subarachnoid paling sering terjadi setelah trauma dimana pembuluh permukaan
kortikal terluka dan berdarah ke dalam ruang subarachnoid. Perdarahan subaraknoid non-trauma
paling sering disebabkan oleh pecahnya aneurisma serebral. Ketika aneurisma pecah, darah dapat
mengalir ke ruang subarachnoid. Penyebab lain dari perdarahan subarachnoid termasuk
malformasi arteriovenosa (AVM), penggunaan pengencer darah, trauma, atau penyebab idiopatik.

Perdarahan Intraparenkimal
Perdarahan intraparenkim non-traumatik paling sering terjadi akibat kerusakan hipertensi pada
pembuluh darah serebral yang akhirnya pecah dan berdarah ke otak. Penyebab lainnya termasuk
pecahnya malformasi arteriovenosa, pecahnya aneurisma, arteriopati, tumor, infeksi, atau
obstruksi aliran keluar vena. Trauma penetrasi dan non-penetrasi juga dapat menyebabkan
perdarahan intraparenkim.
2.5 Manifestasi Klinis
Epidural Hematom
Pasien dengan hematoma epidural melaporkan riwayat cedera kepala fokal seperti trauma tumpul
dari palu atau tongkat baseball, jatuh, atau tabrakan kendaraan bermotor. Presentasi klasik dari
hematoma epidural adalah hilangnya kesadaran setelah cedera, diikuti oleh lucid interval
kemudian kerusakan neurologis. Presentasi klasik ini hanya terjadi pada kurang dari 20% pasien.
Gejala lain yang umum termasuk sakit kepala parah, mual, muntah, lesu, dan kejang.

Hematom Subdural
Riwayat cedera kepala mayor atau minor sering dapat ditemukan pada kasus hematoma subdural.
Pada pasien yang lebih tua, hematoma subdural dapat terjadi setelah cedera kepala ringan termasuk
kepala terbentur lemari atau menabrak pintu atau dinding. Subdural akut dapat muncul dengan
trauma, sakit kepala, mual, muntah, perubahan status mental, kejang, dan/atau kelesuan.
Hematoma subdural kronis dapat muncul dengan sakit kepala, mual, muntah, kebingungan,
penurunan kesadaran, kelesuan, defisit motorik, afasia, kejang, atau perubahan kepribadian.
Pemeriksaan fisik dapat menunjukkan defisit motorik fokal, defisit neurologis, kelesuan, atau
perubahan kesadaran.

Perdarahan Subaraknoid
Sakit kepala thunderclap (sakit kepala parah mendadak atau sakit kepala terburuk dalam hidup)
adalah presentasi klasik dari perdarahan subarachnoid. Gejala lain termasuk pusing, mual, muntah,
diplopia, kejang, kehilangan kesadaran, atau kaku kuduk. Temuan pemeriksaan fisik mungkin
termasuk defisit neurologis fokal, kelumpuhan saraf kranial, kaku kuduk, atau penurunan atau
perubahan kesadaran.

Perdarahan Intraparenkimal
Perdarahan intraparenkim non-trauma biasanya muncul dengan riwayat gejala stroke tiba-tiba
termasuk sakit kepala, mual, muntah, defisit neurologis fokal, kelesuan, kelemahan, bicara cadel,
sinkop, vertigo, atau perubahan sensasi.
2.6 Cara Diagnosis dan Diagnosis Banding
Epidural Hematoma
Evaluasi awal meliputi jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi karena kondisi pasien dapat
memburuk dengan cepat dan memerlukan intubasi.
Pemeriksaan neurologis terperinci membantu
mengidentifikasi defisit neurologis. Dengan
meningkatnya tekanan intrakranial mungkin ada
respon Cushing (hipertensi, bradikardia, dan
bradipnea). Emergent CT head tanpa kontras
adalah pilihan pencitraan tes karena sensitivitas
dan spesifisitasnya yang tinggi untuk
mengidentifikasi hematoma epidural yang
signifikan. Secara historis angiografi serebral dapat
mengidentifikasi pergeseran pembuluh darah
serebral, tetapi angiografi serebral telah digantikan
oleh pencitraan CT.

Hematom Subdural
Setelah memastikan stabilitas medis pasien, pemeriksaan neurologis terperinci dapat membantu
mengidentifikasi defisit neurologis tertentu. Pemindaian computed tomography (CT) kepala tanpa
kontras yang paling umum adalah tes pencitraan pilihan pertama. Hematoma subdural akut
biasanya hiperdens dengan subdural kronis menjadi hipodens. Subdural subakut mungkin isodense
ke otak dan lebih sulit untuk diidentifikasi.
Perdarahan Subaraknoid
Evaluasi awal termasuk menilai dan menstabilkan jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi (ABC).
Pasien dengan perdarahan subaraknoid dapat dengan cepat memburuk dan mungkin memerlukan
intubasi darurat. Pemeriksaan neurologis menyeluruh dapat membantu mengidentifikasi setiap
defisit neurologis. Pencitraan awal untuk pasien dengan perdarahan subarachnoid adalah computed
tomography (CT) kepala tanpa kontras. Jika pasien diberikan kontras, hal ini dapat mengaburkan
perdarahan subaraknoid. Perdarahan subarachnoid akut biasanya hyperdense pada pencitraan CT.
Jika CT kepala negatif dan masih ada kecurigaan yang kuat untuk perdarahan subarachnoid, pungsi
lumbal harus dipertimbangkan. Pemeriksaan umum meliputi CT angiogram (CTA) kepala dan
leher, magnetic resonance angiography (MRA) kepala dan leher, atau angiogram serebral
diagnostik kepala dan leher yang dilakukan secara darurat untuk mencari aneurisma, AVM, atau
sumber lain dari perdarahan subaraknoid.

Perdarahan Intraparenkimal
Setelah stabilitas medis pasien dipastikan, CT head tanpa kontras adalah tes diagnostik pertama
yang paling sering dilakukan. Pencitraan harus dapat mengidentifikasi perdarahan intraparenkim
akut sebagai hiperdensitas di dalam parenkim. Bergantung pada riwayat, temuan fisik dan
pencitraan dan pasien otak MRI dengan dan tanpa kontras harus dipertimbangkan karena tumor di
dalam otak dapat muncul sebagai perdarahan intraparenkimal. Pencitraan lain yang perlu
dipertimbangkan termasuk CTA, MRA, atau angiogram serebral diagnostik untuk mencari
penyebab serebrovaskular dari perdarahan intraparenkimal. Evaluasi juga harus mencakup
pemeriksaan neurologis lengkap untuk mengidentifikasi defisit neurologis.
Studi laboratorium juga harus dipertimbangkan termasuk hitung darah lengkap untuk memeriksa
trombositopenia, studi koagulasi (PTT, PT/INR) untuk memeriksa koagulopati, dan panel
metabolik dasar untuk memeriksa kelainan elektrolit.
Tanda diagnostik klinik perdarahan epidural:
• Terdapat interval lusid
• Kesadaran semakin lama semakin menurun
• Hemiparesis kontralateral lesi yang terjadi belakangan
• Pupil anisokor
• Adanya refleks Babinski di kontralateral lesi
• Fraktur di daerah temporal
Tanda diagnostik perdarahan epidural di fossa posterior:
• Interval lusid tidak jelas
• Fraktur kranii oksipital
• Hilang kesadaran dengan cepat
• Gangguan serebelum, batang otak, dan pernapasan
• Pupil isokor
• Pada CT scan otak didapatkan gambaran hiperdens (perdarahan) di tulang tengkorak dan
dura, umumnya di daerah temporal, dan tampak bikonveks
Tanda diagnostik perdarahan subdural:
• Nyeri kepala
• Kesadaran bisa menurun atau normal
• Pada CT scan otak didapatkan gambaran hiperdens (perdarahan) di antara dura mater dan
araknoid yang tampak seperti bulan sabit
Diagnosis banding perdarahan intrakranial meliputi:
• Infeksi - Empiema subdural dapat menyerupai perdarahan subdural administrasi kontras
baru-baru ini
• Hygroma subdural - Mungkin tampak mirip dengan perdarahan subdural kronis
• Tumor - meningioma dapat menyerupai perdarahan ekstradural
2.7 Tatalaksana
Epidural Hematoma
Perawatan dimulai dengan bantuan hidup trauma tingkat lanjut (ATLS) termasuk kontrol
jalan napas, memastikan ventilasi dan sirkulasi yang memadai. Akses intravena (IV) harus
diamankan. Jika pasien memiliki Glasgow Coma Score (GCS) 8 atau kurang atau status neurologis
memburuk, intubasi harus dilakukan. Konsultasi bedah saraf segera harus diperoleh untuk pasien
dengan hematoma epidural karena dapat berkembang dari waktu ke waktu karena perdarahan
terus. Pengobatan definitif adalah evakuasi hematoma dan menghentikan sumber perdarahan.
Beberapa hematoma epidural yang lebih kecil dapat ditangani secara non-bedah dan diawasi
dengan ketat untuk resolusinya.

Hematom Subdural
Perawatan dimulai dengan memastikan jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi yang
memadai. Intubasi harus dipertimbangkan jika pasien mengalami penurunan GCS atau GCS 8 atau
kurang. Pembedahan darurat mungkin diperlukan untuk mengevakuasi hematoma subdural.
Perawatan definitif untuk hematoma subdural adalah evakuasi, tetapi tergantung pada ukuran dan
lokasi beberapa hematoma subdural dapat diawasi untuk resolusinya.
Pilihan manajemen non-bedah termasuk pencitraan berulang untuk memastikan stabilitas
subdural, pembalikan antikoagulan, transfusi trombosit untuk trombositopenia atau disfungsional
trombosit, observasi dengan penilaian neurologis yang sering untuk kerusakan, dan/atau
mengendalikan hipertensi. Pilihan manajemen bedah termasuk lubang bor putar, lubang duri, dan
kraniotomi untuk evakuasi. Data menunjukkan bahwa lubang bor twist memiliki tingkat
komplikasi bedah terendah dengan tingkat kekambuhan tertinggi. Kraniotomi memiliki tingkat
komplikasi pembedahan tertinggi dengan tingkat kekambuhan terendah dari opsi pembedahan, dan
evakuasi lubang duri berada di antara lubang bor putar dan kraniotomi untuk tingkat komplikasi
dan tingkat kekambuhan.

Perdarahan Subaraknoid
Perdarahan subarachnoid mungkin tergantung apakah itu adalah perdarahan subarachnoid
traumatis atau non-traumatis. Untuk perdarahan subarachnoid traumatis, ABC obat harus terjadi
terlebih dahulu. Jika pasien menggunakan antikoagulan atau agen antiplatelet, pertimbangan harus
diberikan untuk membalikkan efeknya. Perawatan biasanya konservatif dengan penilaian ketat
terhadap tanda-tanda vital dan status neurologis. Pada pasien yang tidak sadarkan diri, mungkin
diperlukan monitor tekanan intrakranial (ICP) dan/atau pengurasan ventrikel eksternal (EVD).
Pasien harus dipantau untuk hidrosefalus atau pembengkakan otak. Pencitraan berulang dapat
memverifikasi peningkatan perdarahan subarachnoid traumatis. Kadang-kadang ruptur aneurisma
atau inkompetensi malformasi vaskular intrakranial lainnya dapat menyamar sebagai perdarahan
subarachnoid traumatis. Jika tidak ada riwayat traumatis yang jelas dan meyakinkan, maka etiologi
non-traumatis untuk perdarahan subaraknoid harus dicari.
Pada perdarahan subaraknoid non-trauma, etiologi perdarahan harus dipastikan dan ditangani.
Perawatan bervariasi tergantung pada etiologi perdarahan tetapi dapat mencakup pengobatan
aneurisma atau malformasi arteriovenosa atau penyebab lainnya. Selain itu, harus ada ambang
batas yang rendah untuk penempatan drainase ventrikel eksternal (EVD) karena risiko
hidrosefalus.

Perdarahan Intraparenkimal
Perdarahan intraparenkim dapat mengancam jiwa dan pengobatan dimulai dengan
pengobatan ABC dan stabilisasi pasien. Tekanan darah harus dikontrol untuk mengurangi risiko
perdarahan lebih lanjut. Konsultasi awal dengan bedah saraf harus dipertimbangkan. Pengobatan
perdarahan intraparenkim tergantung pada etiologi perdarahan. Pilihan pengobatan bervariasi dan
termasuk evakuasi bedah agresif, kraniektomi, disolusi berbasis kateter, atau observasi. Evakuasi
bedah kontroversial untuk beberapa bentuk perdarahan intraparenkim. Meskipun banyak
perdarahan intraparenkim yang sekunder akibat penyakit serebrovaskular dan hipertensi, ahli
bedah harus mengantisipasi menghadapi patologi lain yang mendasari termasuk aneurisma, AVM,
dan/atau tumor saat mengevakuasi perdarahan intraparenkim. Perdarahan yang lebih kecil dan
tidak dapat dioperasi dapat dikelola secara medis dengan kontrol tekanan darah, pembalikan agen
antikoagulasi atau antiplatelet, dan strategi neuroprotektif untuk mencegah dan/atau mengurangi
cedera serebral sekunder.
2.8 Komplikasi
Komplikasi utama meliputi:
• Defisit neurologis
• Herniasi otak
• Infark
• Berdarah kembali
• Vasospasme
• Kejang
• Kematian
2.9 Pencegahan
Langkah-langkah yang dapat Anda ambil untuk mengurangi risiko Anda meliputi:
• Kelola tekanan darah Anda.
• Menurunkan kadar kolesterol Anda.
• Menurunkan berat badan berlebih.
• Batasi alkohol dan berhenti merokok.
• Makan makanan yang sehat.
• Berolahragalah secara teratur.
• Mengatur kadar gula darah jika Anda menderita diabetes.
2.10 Prognosis
Prognosis tergantung pada beberapa faktor termasuk:
• Usia pasien
• Penyakit penyerta
• Konsumsi antiplatelet atau antikoagulan
• Skor skala koma Glasgow saat presentasi
• Ukuran murid saat presentasi
• Lokasi perdarahan
• Kehadiran cedera lainnya
• Penundaan waktu untuk intervensi bedah, jika diperlukan.
3. Memahami dan Menjelaskan Fraktur Basis Cranii
3.1 Definisi
Patah tulang dasar kepala/fraktur basis kranii/base skull fracture (BSF) merupakan jenis
fraktur linier yang umum terjadi pada bagian temporal kranium. Fraktur basis kranii dapat menjadi
indikasi besarnya energi mekanik yang mengenai kepala. Energi mekanik yang mengenai daerah
yang luas pada tengkorak mengakibatkan fraktur kominutif, sedangkan pada daerah yang sempit
mengakibatkan fraktur impresi. Fraktur basis kranii dapat mengakibatkan bocornya cairan
serebrospinal dan mengisi sinus-sinus, sehingga dapat menjadi sumber infeksi intrakranial
3.2 Etiologi
Patah tulang hampir selalu disebabkan oleh trauma. Beberapa penyebab paling umum meliputi:
• Kecelakaan mobil.
• Jatuh.
• Cedera olahraga.
3.3 Klasifikasi
Terdapat tiga jenis fraktur basis kranii antara lain: fraktur fossa anterior, fraktur fossa
media dan fraktur fossa posterior. Pada fraktur fossa anterior rhinorrhea paling sering disebabkan
oleh fraktur tulang frontal, ethmoid, dan sphenoid, duramater melekat pada tulang tipis di lantai
fossa anterior. Daerah yang paling sering menyebabkan rhinorrhea adalah adanya fraktur di daerah
cribiform/ethmoid junction dan ethmoid. Fistula pada regio tersebut secara langsung akan
berhubungan dengan kavitas nasal atau melalui ethmoid air cell.
Fraktur fossa media adalah fraktur melalui os petrous yang memanjang ke telinga tengah
dapat menyebabkan otorrhea jika membran timpani robek, atau ditemukannya otorhinorrhea jika
kebocoran terjadi melalui tuba eustachius ke nasofaring. Antara 70-90% fraktur os temporal sejajar
dengan sumbu panjang dari petrous ridge yang dapat merusak tulang pendengaran sehingga
mengakibatkan gangguan pendengaran konduktif dan gangguan N.VII. Fraktur transversal 10-
30% sering dihubungkan dengan defisit N.VIII, gangguan saraf sensorik pendengaran, dan parese
wajah.
Fraktur fossa posterior atau fraktur kranio-orbita, oculorhinorrhea dapat ditemukan apabila
terjadi fraktur kranio-orbita dengan laserasi dari sakus konjungtiva yang memungkinkan
kebocoran cairan serebro spinal dari mata.
3.4 Patofisiologi
Lokasi fraktur memprediksi cedera terkait:
• Fraktur temporal, yang paling umum, berhubungan dengan cedera karotis, cedera saraf
kranial VII atau VIII, dan kebocoran cairan serebrospinal mastoid.
• Fraktur dasar tengkorak anterior berhubungan dengan cedera orbita, kebocoran cairan
serebrospinal hidung, dan cedera saraf kranial I.
• Fraktur dasar tengkorak tengah berhubungan dengan cedera saraf kranial III, IV, V atau
VI, dan cedera karotis.
• Fraktur berbasis tengkorak posterior dikaitkan dengan cedera tulang belakang leher, cedera
arteri vertebralis, dan cedera pada saraf kranial bawah. Cedera ini sangat serius dan
seringkali pasien mengalami hemiplegia atau paraplegia
Cedera terkait:
Fraktur tengkorak basilar sering dikaitkan dengan patologi sistem saraf pusat (SSP) lainnya
seperti hematoma epidural karena kelemahan tulang temporal dan kedekatan arteri meningea
media.
Setidaknya 50% dari fraktur tengkorak basilar berhubungan dengan cedera SSP lain dan sekitar
10% memiliki fraktur tulang belakang servikal. Sebagian besar fraktur tengkorak basilar
melibatkan tulang petrosa, saluran pendengaran eksternal, dan membran timpani.
3.5 Manifestasi Klinis
Gejala tergantung letak frakturnya:
1) Fraktur fossa anterior
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari hidung atau kedua mata dikelilingi lingkaran
“biru” (Brill Hematom atau Racoon’s Eyes), rusaknya Nervus Olfactorius sehingga terjadi
hyposmia sampai anosmia.
2) Fraktur fossa media
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari telinga. Fraktur memecahkan arteri carotis
interna yang berjalan di dalam sinus cavernous sehingga terjadi hubungan antara darah arteri
dan darah vena (A-V shunt).
3) Fraktur fossa posterior
Tampak warna kebiru-biruan di atas mastoid. Getaran fraktur dapat melintas foramen
magnum dan merusak medula oblongata sehingga penderita dapat mati seketika.
Beberapa tanda klinis yang sangat memprediksi fraktur tengkorak basilar meliputi:
• Hemotympanum: fraktur yang melibatkan
punggung petrosa tulang temporal akan
menyebabkan darah menggenang di belakang
membran timpani sehingga tampak ungu.
Biasanya muncul dalam beberapa jam setelah
cedera dan mungkin merupakan temuan klinis
paling awal.
• Cairan serebrospinal (CSF) rhinorrhea atau
otorrhea: "Halo" sign adalah pola cincin ganda
yang digambarkan ketika cairan berdarah dari
telinga atau hidung yang mengandung CSF
diteteskan ke kertas atau linen. Tanda ini
didasarkan pada prinsip kromatografi;
komponen campuran cair akan terpisah saat bepergian melalui suatu bahan. Tanda ini tidak
spesifik untuk adanya CSF, karena garam, air mata, atau cairan lain juga akan menghasilkan
pola cincin bila bercampur dengan darah. Kebocoran CSF mungkin tertunda berjam-jam
hingga berhari-hari setelah trauma awal.
• Ekimosis periorbital (raccoon eyes): Pengumpulan darah di sekitar mata paling sering
dikaitkan dengan fraktur fossa kranial anterior. Temuan ini biasanya tidak ada selama evaluasi
awal dan tertunda 1 sampai 3 hari. Jika bilateral, temuan ini sangat memprediksi fraktur
tengkorak basilar.
• Ekimosis retroauricular atau mastoid (Battle sign): Darah yang terkumpul di belakang telinga
di daerah mastoid berhubungan dengan fraktur pada fossa kranial tengah. Seperti mata
Raccoon, temuan ini sering tertunda 1 hingga 3 hari.
Cedera telinga tengah terlihat pada hampir sepertiga pasien dan dapat muncul dengan
hemotympanum, gangguan tulang pendengaran, gangguan pendengaran, dan bahkan kebocoran
CSF.
3.6 Cara Diagnosis dan Diagnosis Banding
Tanda diagnostik fraktur basis kranii:
Anterior
- Keluarnya cairan likuor melalui hidung/rinorea
- Perdarahan bilateral periorbital ekimosis/raccoon eye
- Anosmia
Media
- Keluarnya cairan likuor melalui telinga/otorea
- Gangguan N. VII dan N. VIII
Posterior
- Bilateral mastoid ekimosis/tanda Battle
Kebocoran cairan serebrospinal melalui telinga
atau hidung pada fraktur basis kranii dapat
dideteksi dengan adanya halo/ double-ring sign.
Hal ini terjadi karena prinsip kromatografi yang
menunjukkan bahwa cairan serebrospinal dan
darah akan terpisah sesuai koefisien difusi saat
diteteskan di kassa/kain. Terpisahnya kedua
komponen inilah yang membentuk gambaran
menyerupai dua buah cincin. Tanda ini dapat
muncul bila konsentrasi cairan serebrospinal
sekitar 30-90%.
Selain itu, untuk menegakkan diagnosis fraktur basis kranii perlu dilakukan pemeriksaan dengan
menggunakan CT scan. Gambaran CT scan otak di awal cedera menunjukkan kondisi normal,
tidak ada tanda perdarahan dan edema. Namun, setelah 24 jam hasil CT scan akan memberikan
gambaran edema otak yang luas.
Diagnosis mungkin jelas pada pemeriksaan fisik dalam beberapa kasus. Rontgen polos tidak
sensitif untuk mendeteksi fraktur tengkorak basilar.
Evaluasi awal biasanya melalui pemindaian computed tomography (CT) non-kontras.
Sayangnya, fraktur berbasis tengkorak yang linier atau tidak bergeser mungkin sulit dideteksi.
Pada pasien dengan kecurigaan klinis tinggi terhadap fraktur tengkorak basilar, multidetector CT
(MDCT) dapat membantu mendeteksi fraktur yang lebih halus. Sebaliknya, saluran saraf dan
pembuluh darah kecil terperinci yang divisualisasikan pada MDCT mungkin salah dibaca sebagai
fraktur. Pneumocephalus harus meningkatkan kecurigaan untuk patah tulang tengkorak basilar.
Pencitraan lebih lanjut dengan CT angiografi dan venografi (CTA, CTV) untuk menilai cedera
vaskular harus dipertimbangkan dalam keadaan akut. MRI mungkin berguna dalam menilai cedera
saraf dan dalam mengevaluasi kebocoran cairan serebrospinal. Kebocoran CSF tidak mudah
didiagnosis dan cairan harus dikirim untuk analisis beta transferrin.

3.7 Tatalaksana
Fraktur tengkorak basilar biasanya disebabkan oleh trauma yang signifikan. Evaluasi
trauma menyeluruh dengan intervensi untuk menstabilkan jalan napas, ventilasi, dan masalah
peredaran darah adalah prioritas. Pasien dengan patah tulang tengkorak basilar memerlukan masuk
untuk observasi. Pasien dengan perdarahan intrakranial memerlukan evaluasi bedah saraf darurat.
Manajemen bedah diperlukan untuk kasus-kasus yang diperumit oleh perdarahan intrakranial yang
membutuhkan dekompresi, cedera vaskular, cedera saraf kranial yang signifikan, atau kebocoran
cairan serebrospinal yang persisten.
Fraktur tengkorak basilar meningkatkan risiko meningitis karena meningkatnya
kemungkinan bakteri dari sinus paranasal, nasofaring, dan liang telinga melakukan kontak
langsung dengan sistem saraf pusat. Pasien dengan kebocoran cairan serebrospinal terkait, terdapat
pada hingga 45% pasien dengan fraktur tengkorak basilar, sering diobati dengan antibiotik
profilaksis untuk mencegah meningitis, tetapi tidak ada bukti yang baik untuk mendukung praktik
ini. Kebocoran yang terus-menerus membutuhkan intervensi bedah saraf. Teknik endoskopi yang
kurang invasif menjadi umum dengan lebih sedikit cedera yang membutuhkan perbaikan terbuka.
3.8 Komplikasi
• Kebocoran CSF
• Meningitis
• Kelumpuhan saraf kranial
• gangguan pendengaran
• Trombosis sinus kavernosus
• Vertigo
• Perdarahan intrakranial
• Kematian
• Defisit saraf kranial melibatkan hilangnya bau dan kelumpuhan wajah.
Fraktur tengkorak basilar juga dapat dikaitkan dengan cedera vaskular yang mengakibatkan oklusi,
pembentukan fistula, perdarahan, atau pembentukan pseudoaneurisma.
3.9 Pencegahan
Ikuti tip keselamatan umum ini untuk mengurangi risiko cedera:
• Selalu gunakan sabuk pengamanmu.
• Kenakan alat pelindung yang tepat untuk semua aktivitas dan olahraga.
• Pastikan rumah dan ruang kerja Anda bebas dari kekacauan yang dapat membuat Anda
atau orang lain tersandung.
• Selalu gunakan alat atau peralatan yang tepat di rumah untuk menjangkau sesuatu. Jangan
pernah berdiri di atas kursi, meja, atau meja.
• Ikuti diet dan rencana olahraga yang akan membantu Anda menjaga kesehatan tulang yang
baik.
• Bicaralah dengan penyedia Anda tentang tes kepadatan tulang jika Anda berusia lebih dari
50 tahun atau jika Anda memiliki riwayat keluarga osteoporosis.
• Gunakan tongkat atau alat bantu jalan jika Anda mengalami kesulitan berjalan atau
memiliki risiko tinggi untuk jatuh.
3.10 Prognosis
Prognosis fraktur dasar tengkorak tergantung pada:
• Robekan dural terkait dan kebocoran CSF
• Ketidakstabilan
• Cedera terkait
• Tingkat keparahan awal cedera neurologis dan vaskular
• Sebagian besar kebocoran CSF sembuh secara spontan dalam 5-10 hari tetapi beberapa
dapat bertahan selama berbulan-bulan. Meningitis dapat terjadi pada kurang dari 5% pasien
tetapi risiko meningkat dengan durasi kebocoran CSF.
Gangguan pendengaran konduktif biasanya sembuh dalam 7-21 hari.
4. Memahami dan Menjelaskan Sindrom Trias Cushing
4.1 Definisi
Triad Cushing mengacu presentasi klasik peningkatan tekanan intrakranial yang
disebabkan oleh perdarahan intrakranial (ICH). Triad tersebut diidentifikasi sebagai adanya
hipertensi, bradikardi dan depresi pernapasan
4.2 Etiologi
Respon Cushing terjadi karena adanya kenaikan tekanan intrakranial (TIK). Edema otak
merupakan sebab paling lazim dari peningkatan tekanan intrakranial dan memiliki banyak
penyebab, antara lain peningkatan cairan intrasel, hipoksia, ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit, iskemia serebral, meningitis, dan cedera.
4.3 Patofisiologi
Tekanan intrakranial pada umumnya bertambah secara berangsur-angsur. Setelah cedera
kepala, timbulnya edema memerlukan waktu 36-48 jam untuk mencapai maksimum. Peningkatan
TIK sampai 33 mmHg mengurangi aliran darah otak secara bermakna. Iskemia yang timbul
merangsang pusat motor dan tekanan darah sistemik meningkat. Rangsangan pada pusat inhibisi
jantung mengakibatkan bradikardia dan pernapasan menjadi lambat. Mekanisme kompensasi ini
dikenal sebagai refleks Cushing, membantu mempertahankan aliran darah otak. Akan tetapi,
menurunnya pernapasan akibat retensi CO2 dan mengakibatkan vasodilatasi otak yang membantu
menaikkan tekanan intrakranial.
Trauma otak menyebabkan fragmentasi jaringan dan kontusio, merusak sawar darah otak,
disertai vasodilatasi dan eksudasi cairan sehingga timbul edema. Edema menyebabkan tekanan
pada jaringan dan akhirnya meningkatkan TIK, yang pada gilirannya akan menurunkan aliran
darah otak, iskemia, hipoksia, asidosis (penurunan pH dan peningkatan pCO2) dan kekurasakan
sawar darah otak lebih lanjut. Siklus ini terus berlanjut sehingga terjadi kematian sel dan edema
bertambah secara progresif kecuali bila dilakukan intervensi.
4.4 Manifestasi Klinis
Trias Cushing:
2. Hipertensi (progresif meningkatkan tekanan darah sistolik)
3. Bradikardi
4. Pelebaran (peningkatakn perbedaan antara tekanan sitolik dan diastolik dari waktu ke waktu)
Gejala yang umum dijumpai pada peningkatan TIK:
1. Sakit kepala merupakan gejala umum pada peningkatan TIK. Sakit kepala terjadi karena traksi
atau distorsi arteri dan vena dan duramater akan memberikan gejala yang berat pada pagi hari
dan diperberat oleh aktivitas, batuk, mengangkat, bersin.
2. Muntah proyektil dapat menyertai gejala pada peningkatan TIK.
3. Edema papil disebabkan transmisi tekanan melalui selubung nervus optikus yang
berhubungan dengan rongga subarakhnoid di otak. Hal ini merupakan indikator klinis yang
baik untuk hipertensi intrakranial.
4. Defisit neurologis seperti didapatkan gejala perubahan tingkat kesadaran; gelisah, iritabilitas,
letargi; dan penurunan fungsi motorik.
5. Bila peningkatan TIK berlanjut dan progresif berhubungan dengan penggeseran jaringan otak
maka akan terjadi sindroma herniasi dan tanda-tanda umum Cushing’s triad (hipertensi,
bradikardi, respirasi ireguler) muncul. Pola nafas akan dapat membantu melokalisasi level
cedera.
Perawatan awal untuk peningkatan TIK adalah meninggikan kepala tempat tidur hingga 30-
45 derajat dan agen osmotik (manitol, salin hipertonik). Pemberian furosemide dan manitol 20%
dengan dosis 1,0 hingga 1,5 g/kg. Hiperventilasi setelah intubasi dan sedasi, hingga pCO 28-32
mmHg akan diperlukan jika TIK meningkat lebih lanjut. ASA merekomendasikan pemantauan
ICP dengan parenkim atau kateter ventrikel untuk semua pasien dengan skala koma Glasgow
(GCS).
Meskipun refleks Cushing adalah respons homeostatis oleh tubuh dalam upaya untuk
menyelamatkan jaringan otak yang kekurangan perfusi, triad Cushing, sayangnya, merupakan
tanda akhir peningkatan TIK dan indikasi bahwa herniasi batang otak sudah dekat. Pasien yang
datang ke unit gawat darurat dengan kekhawatiran akan peningkatan TIK dan dua dari tiga tanda
refleks Cushing ditemukan memiliki angka kematian hampir dua kali lipat lebih tinggi daripada
pasien dengan tanda vital normal dan stabil. Oleh karena itu, penting untuk mengenali tanda-tanda
awal peningkatan TIK (misalnya, sakit kepala, mual, muntah, perubahan tingkat kesadaran) untuk
mengintervensi sedini mungkin. Banyak klinisi menggunakan adanya bradikardia dan hipertensi
sebagai indikasi peningkatan TIK; namun, ini menandakan refleks Cushing tahap akhir yang
membawa prognosis buruk bagi pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Aninditha, T., Wiratman, W. Buku Ajar Neurologi. Jakarta (ID): Departemen Neurologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2017.
Dinallo, S., Waseem, M. Cushing Reflex. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing;
2022.
Simon, L., Newton, E. Basilar Skull Fractures. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing;
2022.
Tenny, S., Thorell, W. Intracranial Hemorrhage. Treasure Island (FL): StatPearls
Publishing; 2022.
Hanifa, R., Syarif, I., & Jurnalis, Y. Gambaran Perdarahan Intrakranial pada Perdarahan
akibat Defisiensi Vitamin K (PDVK) di RSUP Dr. M. Djamil. Jurnal Kesehatan Andalas. 2017;
6(2).
Marbun, A., Evi, S. Pencegahan Resiko Cedera Kepala. Jurnal Abdimas Mutiara. 2021;
2(1).
Sastrawan, A., Sjamsudin, E., Faried, A. Penatalaksanaan Emergensi pada Trauma
Oromaksilofasial Disertai Fraktur Basis Kranii Anterior. Majalah Kedokteran Gigi Indonesia.
2017; 3(2). DOI: http://dx.doi.org/10.22146/majkedgiind.12606
Wijaya, A., Putri, Y. KMB 2 Keperawatan Medikal Bedah Keperawatan Dewasa.
Yogyakarta: Nuha Medika; 2013.
Kayana, I., Maliawan, S., Kawiyana, I. Teknik Pemantauan Tekanan Intrakranial. [Online]
[Diakses 5 Maret 2023]. Tersedia di URL:
https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/download/4935/3724

Anda mungkin juga menyukai