Anda di halaman 1dari 13

1

BAB I
LANDASAN TEORI

A. KONSEP MEDIS
1. PENGERTIAN
Cedera Kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa
diikuti terputusnya kontinuitas otak (Muttaqin, 2008).

Cedera kepala adalah cedera yang meliputi trauma kulit kepala,
tengkorak dan otak. Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologik yang
serius diantara penyakit neurologik dan merupakan proporsi epidemic sebagai
hasil kecelakaan jalan raya (Smeltzer & Bare 2001).
2. ANATOMI FISIOLOGI
a. Kulit kepala
Pada bagian ini tidak terdapat banyak pembuluh darah. Bila robek,
pembuluh- pembuluh ini sukar mengadakan vasokonstriksi yang dapat
menyebabkan kehilangan darah yang banyak. Terdapat vena emiseria dan
diploika yang dapat membawa infeksi dari kulit kepala sampai dalam
tengkorak(intracranial) trauma dapat menyebabkan abrasi, kontusio,
laserasi, atau avulasi.

2

b. Tulang kepala
Terdiri dari calvaria (atap tengkorak) dan basis cranium (dasar tengkorak).
Fraktur tengkorak adalah rusaknya kontinuibis tulang tengkorak
disebabkan oleh trauma. Fraktur calvarea dapat berbentuk garis (liners)
yang bisa non impresi (tidak masuk / menekan kedalam) atau impresi.
Fraktur tengkorak dapat terbuka (dua rusak) dan tertutup (dua tidak rusak).
Tulang kepala terdiri dari 2 dinding yang dipisahkan tulang berongga,
dinding luar (tabula eksterna) dan dinding dalam (labula interna) yang
mengandung alur-alur artesia meningia anterior, indra dan prosterion.
Perdarahan pada arteria-arteria ini dapat menyebabkan tertimbunnya darah
dalam ruang epidural.
c. Lapisan Pelindung otak / Meningen
1) Durameter adalah membran luas yang kuat, semi translusen, tidak
elastis menempel ketat pada bagian tengkorak. Bila durameter
robek, tidak dapat diperbaiki dengan sempurna. Fungsi durameter :
a) Melindungi otak
b) Menutupi sinus-sinus vena ( yang terdiri dari durameter dan
lapisan endotekal saja tanpa jaringan vaskuler ).
c) Membentuk periosteum tabula interna.
2) Arachnoid adalah membrane halus, vibrosa dan elastis, tidak
menempel pada dura. Diantara durameter dan arachnoid terdaptr
ruang subdural yang merupakan ruangan potensial. Pendarahan
subdural dapat menyebar dengan bebas. Vena-vena otak yang
melewati subdural mempunyai sedikit jaringan penyokong sehingga
mudah cedera dan robek pada trauma kepala.
3) Piameter adalah membran halus yang sangat kaya dengan pembuluh
darah halus, masuk kedalam semua sulkus dan membungkus semua
girus, kedua lapisan yang lain hanya menjadi jembatan sulkus.
Pada beberapa fisura dan sulkus di sisi medial hemisfer otak.
Sawar ini merupakan struktur penyokong dari pleksus foroideus pada
setiap ventrikel.
Diantara arachnoid dan piameter terdapat ruang sub arachnoid, ruang ini
melebar dan mendalam pada tempat tertentu. Dan memungkinkan
sirkulasi cairan cerebrospinal. Pada kedalam system vena.
3

d. Otak
Otak terdapat didalam iquor cerebro Spiraks. Kerusakan otak yang dijumpai
pada trauma kepala dapat terjadi melalui 2 campuran :
1) Efek langsung trauma pada fungsi otak,
2) Efek-efek lanjutan dari sel- sel otakyang bereaksi terhadap trauma.
Apabila terdapat hubungan langsung antara otak dengan dunia luar (fraktur
cranium terbuka, fraktur basis cranium dengan cairan otak keluar dari
hidung / telinga), merupakan keadaan yang berbahaya karena dapat
menimbulkan peradangan otak.
Otak dapat mengalami pembengkakan (edema cerebri) dank arena
tengkorak merupakan ruangan yang tertutup rapat, maka edema ini akan
menimbulkan peninggian tekanan dalam rongga tengkorak (peninggian
tekanan tekanan intra cranial).
e. Tekanan Intra Kranial (TIK).
Tekanan intra cranial (TIK) adalah hasil dari sejumlah jaringan otak,
volume darah intracranial dan cairan cerebrospiral di dalam tengkorak pada
1 satuan waktu. Keadaan normal dari TIK bergantung pada posisi pasien
dan berkisar 15 mmHg. Ruang cranial yang kalau berisi jaringan otak
(1400 gr), Darah (75 ml), cairan cerebrospiral (75 ml), terhadap 2 tekanan
pada 3 komponen ini selalu berhubungan dengan keadaan keseimbangan
Hipotesa Monro Kellie menyatakan : Karena keterbatasan ruang ini untuk
ekspansi di dalam tengkorak, adanya peningkatan salah 1 dari komponen ini
menyebabkan perubnahan pada volume darah cerebral tanpa adanya
perubahan, TIK akan naik. Peningkatan TIK yang cukup tinggi,
menyebabkan turunnya batang otak (Herniasi batang otak) yang berakibat
kematian.
f. Jenis-Jenis Cedera Kepala
1) Fraktur tengkorak
Susunan tulang tengkorak dan beberapa kulit kepala membantu
menghilangkan tenaga benturan kepala sehingga sedikit kekauatan
yang ditransmisikan ke dalam jaringan otak. 2 bentuk fraktur ini :
fraktur garis (linier) yang umum terjadi disebabkan oleh pemberian
kekuatan yang amat berlebih terhadap luas area tengkorak tersebut dan
4

fraktur tengkorak seperti batang tulang frontal atau temporal. Masalah
ini bisa menjadi cukup serius karena les dapat keluar melalui fraktur.
2) Cedera otak dan gagar otak
Kejadian cedera minor dapat menyebabkan kerusakan otak bermakna .
Otak tidak dapat menyimpan oksigen dan glukosa sampai derajat
tertentu. Otak tidak dapat menyimpan oksigen dan glukosa sampai
derajat tertentu yang bermakna. Sel-sel selebral membutuhkan suplay
darah terus menerus untuk memperoleh makanan. Kerusakan otak
belakang dapat pulih dan sel-sel mati dapat diakibatkan karena darah
yang mengalir berhenti hanya beberapa menit saja dan keruskan
neuron tidak dapat mengalami regenerasi. Gegar otak ini merupakan
sinfrom yang melibatkan bentuk cedera otak tengah yang menyebar
ganguan neuntosis sementara dan dapat pulih tanpa ada kehilangan
kesadaran pasien mungkin mengalami disenenbisi ringan,pusing
ganguan memori sementara ,kurang konsentrasi ,amnesia rehogate,dan
pasien sembuh cepat. Cedera otak serius dapat terjadi yang
menyebabkan kontusio,laserasi dan hemoragi.
3) Komosio serebral
Adalah hilangnya fungsi neurologik sementara tanpa kerusakan
struktur. Komosio umumnya meliputi sebuah periode tidak sadarkan
diri dalam waktu yang berakhir selama beberap detik sampai beberapa
menit,getaran otak sedikit saja hanya akan menimbulkan amnesia atau
disonentasi.
4) Kontusio cerebral
Merupakan cedera kepala berat dimana otak mengalami memar,
dengan kemungkinan adanya daerah hemorasi pada subtansi otak.
Dapat menimbulkan edema cerebral 2-3 hari post truma. Akibatnya
dapat menimbulkan peningkatan TIK dan meningkatkan mortabilitas
(45%).
5) Hematuma cerebral ( Hematuma ekstradural atau nemorogi ).
Setelah cedera kepala,darah berkumpul di dalam ruang epidural
(ekstradural) diantara tengkorak dura,keadaan ini sering diakibatkan
dari fraktur hilang tengkorak yang menyebabkan arteri meningeal
tengah putus atau rusak (laserasi),dimana arteri ini benda diantara dura
5

dan tengkorak daerah infestor menuju bagian tipis tulang temporal.
Hemoragi karena arteri ini dapat menyebabkan penekanan pada otak.
6) Hemotuma subdural
Adalah pengumpulan darah diantara dura dan dasar otak.Paling sering
disebabkan oleh truma tetapi dapat juga terjadi kecenderungan
pendarahan dengan serius dan aneusrisma. Hemorogi subdural lebih
sering terjadi pada vena dan merupakan akibat putusnya pembuluh
darah kecil yang menjembatani ruang subdural. Dapat terjadi akut,
subakut atau kronik.
Hemotuma subdural subakut adalah suatu kontusio sedikit berat dan
dicurigai pada pasien yang gagal untuk meningkatkan kesadaran
setelah trauma kepala.
Hemotuma subdural kronik dapat terjadi karena cedera kepala minor
terjadi pada lansia.
7) Hemotuma sub aradinoid.
Perdarahan yang terjadi pada ruang arachnoid yaitu antara lapisan
arachnoid dengan diameter. Sering kali terjadi karena adanya vena
yang ada di daerah tersebut terluka. Sering kali bersifat kronik.
8) Hemorasi infracerebral.
Adalah pendarahan ke dalam subtansi otak, pengumpulan daerah 25ml
atau lebih pada parenkim otak. Penyebabnya seringkali karena adanya
infrasi fraktur, gerakan akselarasi dan deseterasi yang tiba-tiba.

2. KLASIFIKASI
Cedera kepala berdasarkan beratnya cedera, menurut (Mansjoer, 2000) dapat
diklasifikasikan penilaiannya berdasarkan skor GCS dan dikelompokkan
menjadi.
a. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14 15.
1) Pasien sadar, menuruti perintah tapi disorientasi.
2) Tidak ada kehilangan kesadaran
3) Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang
4) Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
5) Pasien dapat menderita laserasi, hematoma kulit kepala
6

a. Cedera kepala sedang dengan nilai GCS 9 13
Pasien bisa atau tidak bisa menuruti perintah, namun tidak memberi
respon yang sesuai dengan pernyataan yang di berikan.
1) Amnesia paska trauma
2) Muntah
3) Tanda kemungkinan fraktur cranium (tanda Battle, mata rabun,
hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan serebro spinal.
4) Kejang
b. Cedera kepala berat dengan nilai GCS sama atau kurang dari 8.
1) Penurunan kesadaran sacara progresif
2) Tanda neorologis fokal
3) Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi cranium
(Mansjoer, 2000)
3. ETIOLOGI
Menurut Tarwoto (2007), penyebab dari Cedera Kepala adalah
a. Kecelakaan lalu lintas.
b. Terjatuh
Pukulan atau trauma tumpul pada kepala.
c. Olah raga
d. Benturan langsung pada kepala
e. Kecelakaan industri.

4. PATHOFISIOLOGI
Menurut Tarwoto, dkk (2007 : 127), adanya cedera kepala dapat
mengakibatkan kerusakan struktur, misalnya kerusakan pada parenkim otak,
kerusakan pembuluh darah, perdarahan, edema, dan gangguan biokimia otak
seperti penurunan adenosis tripospat, perubahan permeabilitas vaskuler.
Patofisiologi cedera kepala dapat digolongkan menjadi 2 proses yaitu cedera
kepala primer dan cedera kepala sekunder. Cedera kepala primer merupakan
suatu proses biomekanik yang dapat terjadi secara langsung saat kepala
terbentur dan memberi dampak cedera jaringan otak. Pada cedera kepala
sekunder terjadi akibat cedera kepala primer, misalnya akibat hipoksemia,
iskemia dan perdarahan. Perdarahan serebral menimbulkan hematoma,
7

misalnya pada epidural hematoma yaitu berkumpulnya antara periosteum
tengkorak dengan durameter, subdural hematoma akibat berkumpulnya darah
pada ruang antara durameter dengan sub arakhnoid dan intra serebral hematom
adalah berkumpulnya darah di dalam jaringan serebral. Kematian pada cedera
kepala disebabkan karena hipotensi karena gangguan autoregulasi, ketika
terjadi autoregulasi menimbulkan perfusi jaringan serebral dan berakhir pada
iskemia jaringan otak.

5. TANDA DAN GEJALA
a. Nyeri yang menetap atau setempat.
b. Bengkak pada sekitar fraktur sampai pada fraktur kubah cranial.
c. Fraktur dasar tengkorak: hemorasi dari hidung, faring atau telinga dan
darah terlihat dibawah konjungtiva,memar diatas mastoid (tanda
battle),otorea serebro spiral ( cairan cerebros piral keluar dari telinga ),
minorea serebrospiral (les keluar dari hidung).
d. Penurunan kesadaran.
e. Pusing / berkunang-kunang.
f. Absorbsi cepat les dan penurunan volume intravaskuler.
g. Peningkatan TIK
h. Dilatasi dan fiksasi pupil atau paralysis ekstremitas
i. Peningkatan TD, penurunan frek. Nadi, peningkatan pernafasan.
j. Hilangnya kesadaran , mual dan muntah dan terdapat hematom.

6. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan diagnostik yang diperlukan pada klien dengan cedera kepala
meliputi :
a. CT scan (dengan / tanpa kontras)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan, ventrikuler, dan
perubahan jaringan otak.
b. MRI
Digunakan sama dengan CT scan dengan / tanpa kontras radioaktif.
c. Cerebral Angiography
Menunjukkan anomali sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan
otak sekunder menjadi edema, perdarahan, dan trauma.
8

d. Serial EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang patologis.
e. Sinar-X
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis (perdarahan / edema), fragmen tulang.
f. BAER
Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil.
g. CSS
Lumbal pungsi dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
h. Kadar elektrolit
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan
tekanan intracranial.
i. Screen Toxicology
Untuk mendeteksi pengaruh obat yang dapat menyebabkan penurunan
kesadaran.
j. Rontgen thoraks 2 arah (PA/AP dan lateral)
Rontgen thoraks menyatakan akumulasi udara / cairan pada area
pleural.
k. Analisa Gas Darah (AGD / Astrup).
(Muttaqin,2008).


7. PENATALAKSAAN
Penatalaksanaan medis pada cedera kepala sebagai berikut :
a. Penatalaksanaan Umum. Bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan,
lepaskan gigi palsu, pertahankan tulang servikal segaris dengan badan
dengan memasang kolar servikal.
1) Monitor respirasi : bebaskan jalan nafas, monitor keadaan ventilasi,
pemeriksaan AGD, bahkan oksigen bila perlu.
2) Monitor tekanan intrakranial.
3) Atasi syok bila ada.
4) Kontrol tanda-tanda vital.
5) Keseimbangan cairan elektrolit.
9

b. Operasi
Dilakukan untuk mengeluarkan darah pada intraserebral, debridemen luka,
kraniotomi.
c. Menilai sirkulasi
1) Diuretik : Untuk mengurangi edema serebral misalnya manitol 20 %,
furosemid (lasik).
2) Antikonvulsan : Untuk menghentikan kejang misalnya dilantin,
fegretol, valium.
3) Kortikosteroid : Untuk menghambat pembentukkan edema misalnya
dengan dexamethasone.
4) Antagonis histamin : Mencegah terjadinya iritasi lambung karena
hipersekresi akibat trauma kepala misalnya dengan cimetidine,
ranitidine.
5) Antibiotik : Jika terjadi luka yang besar.
(Tarwoto, 2007).

8. EPIDEMIOLOGI
Insiden cedera kepala diperkirakan 200 per 100000 orang berusia 0-19
tahun, sekitar 10 dari 100000 anak meninggal akibat cedera kepala. Peristiwa
yang menyebabkan cedera kepala ringan terjadi pada 82 % kasus, pada cedera
sedang hingga berat 14 % dan kematian pada 15 %. Tingkat cedera kepala
diantara anak laki-laki hampir dua kali lipat dibandingkan anak perempuan.
Cedera dan kecelakaan kendaraan bermotor dan terkait olahraga merupakan
penyebab utama cedera kepala pada anak yang lebih tua, sementara jatuh
merupakan penyebab paling sering pada anak yang lebih muda.

9. KOMPLIKASI
a. Herniasi
b. Perdarahan
c. Infeksi telinga dan hidung
d. Hidrosefalus ,hiperthermia
e. Kejang
f. SIADH
g. Bocornya LCS , edema pulmonal
10

h. Kebocoran cairan serebrospinal
i. Peningkatan tekanan intrakranial
j. Kegagalan pernafasan dan defisit neurologis

10. PROGNOSIS
Pemulihan fungsi otak tergantung kepada beratnya cedera yang terjadi,
umur anak, lamanya penurunan kesadaran dan bagian otak yang terkena. 50%
dari anak yang mengalami penurunan kesadaran selama lebih dari 24 jam,
akan mengalami komplikasi jangka panjang berupa kelainan fisik, kecerdasan
dan emosi. Kematian akibat cedera kepala berat lebih sering ditemukan pada
bayi.Anak-anak yang bertahan hidup seringkali harus menjalani rehabilitasi
kecerdasan dan emosi. Masalah yang biasa timbul selama masa pemulihan
adalah hilangnya ingatan akan peristiwa yang terjadi sesaat sebelum terjadinya
cedera (amnesia retrograd), perubahan perilaku, ketidakstabilan emosi,
gangguan tidur dan penurunan tingkat kecerdasan.

B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
a. Aktifitas dan istirahat
Gejala : Merasa lemah,lelah,kaku hilang keseimbangan
Tanda : Perubahan kesadaran, letargi ,hemiparese, ataksia cara berjalan tidak
tegap, masalah dalam keseimbangan, cedera/trauma ortoped ,kehilangan
tonus otot.
b. Sirkulasi
Gejala : Perubahan tekanan darah atau normal, Perubahan frekuensi jantung
(bradikardia, takikardia yg diselingi bradikardia disritmia.
c. Integritas ego
Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian.
Tanda : Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi.
c. Eliminasi
Gejala : Inkontensia kandung kemih/usus mengalami gangguan fungsi.
d. Makanan/cairan
Gejala : mual, muntah dan mengalami perubahan selera makan.
Tanda : muntah, gangguan menelan.
11

e. Neurosensori
Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo,
sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, Perubahan dalam penglihatan
seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagain lapang pandang,
gangguan pengecapan dan penciuman.
Tanda : Perubahan kesadran bisa sampai koma, Perubahan status mental,
Perubahan pupil, Kehilangan penginderaan, Wajah tidak simetris.
Genggaman lemah tidak seimbang, Kehilangfan sensasi sebagian tubuh.
f. Nyeri/kenyamanan
Gejala : sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yg berbeda biasanya lama
Tanda : Wajah menyeringai,respon menarik pada ransangan nyeri yg hebat,
merintih.
g. Pernafasan
Tanda: Perubahan pola nafas, nafas berbunyi, stridor, tersedak,ronkhi,mengi
h. Keamanan
Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan.
Tanda : Fraktur/dislokasi,gangguan penglihatan.
i. Kulit : Laserasi, abrasi, perubahan warna, adanya aliran cairan dari telinga
atau hidung, gangguan kognitif, gangguan rentang gerak, demam.

2. DIAGNOSA DAN INTERVENSI
DX 1 : Resiko tinggi peningkatan TIK yang berhubungan dengan desak ruang sekunder
dari kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan baik bersifat intraserebral
hematoma, subdural hematoma, dan epidural hematoma.
Tujuan : dalam waktu 2x24 jam tidak terjadi peningkatan TIK pada klien.
Kriteria hasil : klien tidak gelisah, klien tidak mengeluh nyeri kepala, mual-mual dan
muntah, GCS 4, 5, 6, tidak terdapat papiledema. TTV dalam batas normal.
Intervensi Rasionalisasi
Mandiri
Kaji faktor penyebab dari situasi/keadaan
individu/penyebab koma/penurunan perfusi
jaringan dan kemungkinan penyebab
peningkatan TIK.
Deteksi dini untuk memprioritaskan
intervensi, mengkaji status
neurologis/tanda-tanda kegagalan
untuk menentukan perawatan
kegawatan atau tindakan pembedahan.
Memonitor tanda-tanda vital tiap 4 jam Suatu keadaan normal bila sirkulasi
serebral terpelihara dengan baik atau
fluktuasi ditandai dengan tekanan
darah sistemik, penurunan dari
autoregulator kebanyakan merupakan
tanda penurunan difusi local
12


DX 2 : Ketidakefektifnya pola pernapasan yang berhubungan dengan depresi pusat
pernapasan, kelemahan otot-otot pernapasan, ekspansi paru yang tidak maksimal karena
trauma, dan perubahan perbandingan O2 dengan CO2, kegagalan ventilator.
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam setelah intervensi adanya peningkatan, pola napas
kembali efektif.
Kriteria hasil : Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektif, mengalami perbaikan
pertukaran gas-gas pada paru, adaptif mengatasi faktor-faktor penyebab.
Intervensi Rasionalisasi
Berikan posisi yang nyaman,
biasanya dengan peninggian kepala
tempat tidur. Balik kesisi yang sakit.
Dorong klien untuk duduk sebanyak
mungkin.
Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan
ekspansi paru dan ventilasi pada sisi yang tidak
sakit.
Observasi fungsi pernapasan, dispnea,
atau perubahan tanda-tanda vital.
Distress pernapasan dan perubahan pada tanda
vital dapat terjadi sebagai akibat stress fisiologi
dan nyeri atau dapat menunujukkan terjadinya
syok sehubungan dengan hipoksia.
Bantulah klien untuk mengontrol
pernapasan jika ventilator tiba-tiba
berhenti.
Melatih klien untuk mengatur napas seperti napas
dalam, napas pelan, napas perut, pengaturan
posisi, dan teknik relaksasi dapat membantu
memaksimalkan fungsi dan system pernapasan.
Kolaborasi dengan tim kesehatan lain
:
Dengan dokter, radiologi, dan
fisioterapi.
Pemberian antibiotik.
Pemberian analgesic.
Fisioterapi dada.
Konsul foto thoraks.
Kolaborasi dengan tim kesehatan lain untuk
mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas
pengembangan parunya.

vaskularisasi darah serebral.
Evaluasi pupil, amati ukuran, ketajaman, dan
reaksi terhadap cahaya.
Reaksi pupil dan pergerakan kembali
dari bola mata merupakan tanda dari
gangguan nervus/saraf jika batang otak
terkoyak. Reaksi pupil diatur oleh saraf
III cranial (okulomotorik) yang
menunjukkan keseimbangan antara
parasimpatis dan simpatis. Respon
terhadap cahaya merupakan kombinasi
fungsi dari saraf cranial II dan III.
Monitor temperatur dan pengaturan suhu
lingkungan.
Panas merupakan refleks dari
hipotalamus.
Peningkatan kebutuhan metabolism
dan O2akan menunjang peningkatan
TIK/ICP (Intracranial Pressure).
Pertahankan kepala/leher pada posisi yang
netral, usahakan dengan sedikit bantal. Hindari
penggunaan bantal yang tinggi pada kepala.
Perubahan kepala pada satu sisi dapat
menimbulkan penekanan pada vena
jugularis dan menghambat aliran darah
otak (menghambat drainase pada vena
serebral), untuk itu dapat
meningkatkan tekanan intracranial.
Berikan periode istirahat antara tindakan
perawatan dan batasi lamanya prosedur.
Tindakan yang terus-menerus dapat
meningkatkan TIK oleh efek
rangsangan kumulatif.
13

DX 3 : Tidak efektif bersihan jalan napas yang berhubungan dengan adanya jalan napas
buatan pada trakea, peningkatan sekresi sekret, dan ketidakmampuan batuk/batuk efektif
sekunder akibat nyeri dan keletihan.
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam terdapat perilaku peningkatan keefektifan jalan napas.
Kriteria hasil : Bunyi napas terdengar bersih, ronkhi tidak terdengar, tracheal tube bebas
sumbatan, menunjukkan batuk yang efektif, tidak ada lagi penumpukan sekret di saluran
pernapasan.
Intervensi Rasionalisasi
Kaji keadaan jalan napas Obstruksi mungkin dapat disebabkan oleh
akumulasi sekret, sisa cairan mucus, perdarahan,
bronkhospasme, dan/atau posisi dari
endotracheal/tracheostomy tube yang berubah.
Evaluasi pergerakan dada dan
auskultasi suara napas pada kedua
paru (bilateral).
Pergerakan dada yang simetris dengan suara
napas yang keluar dari paru-paru menandakan
jalan napas tidak terganggu. Saluran napas bagian
bawah tersumbat dapat terjadi pada
pneumonia/atelektasis akan menimbulkan
perubahan suara napas seperti ronkhi atau
wheezing.
Anjurkan klien mengenai tekhik
batuk selama pengisapan seperti
waktu bernapas panjang, batuk kuat,
bersin jika ada indikasi.
Batuk yang efektif dapat mengeluarkan sekret
dari saluran napas.
Atur/ubah posisi klien secara teratur
(tiap 2jam).
Mengatur pengeluaran sekret dan ventilasi
segmen paru-paru, mengurangi risiko atelektasis.
Berikan minum hangat jika keadaan
memungkinkan.
Membantu pengenceran sekret, mempermudah
pengeluaran sekret.
Berikan obat-obat bronchodilator
sesuai indikasi seperti aminophilin,
meta-proterenol sulfat (alupent),
adoetharine hydrochloride
(bronkosol).
Mengatur ventilasi dan melepaskan sekret karena
relaksasi muscle/bronchospasme.

DX 4 : Nyeri akut yang berhubungan dengan trauma jaringan dan refleks spasme otot
sekunder.
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam nyeri berkurang/hilang.
Kriteria hasil : Secara subjektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat diadaptasi, dapat
mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau menurunkan nyeri, klien tidak gelisah.
Intervensi Rasional
Jelaskan dan bantu klien dengan
tindakan pereda nyeri nonfarmakologi
dan non-invasif.
Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan
nonfarmakologi lainnya telah menunujukkan
keefektifan dalam mengurangi nyeri.
Ajarkan relaksasi :
Teknik-teknik untuk menurunkan
ketegangan otot rangka, yang dapat
menurunkan intensitas nyeri dan juga
tingkatkan relaksasi masase.

Akan melansarkan peredaran darah sehingga
kebutuhan O2 oleh jaringan akan terpenuhi dan
akan mengurangi nyerinya.
Ajarkan metode distraksi selama nyeri
akut.
Mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-hal yang
menyenangkan.
Kolaborasi pemberian analgetik Analgetik memblok lintasan nyeri

Anda mungkin juga menyukai