Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN dan ASUHAN KEPERAWATAN

GAWAT DARURAT DENGAN KASUS TRAUMA KEPALA


DI RUANG MARWAH RSI MASYITHOH BANGIL

Disusun Oleh :

SITI FARADILA NUR LAILATUL M

(14201.10.18034)

PROGRAM SARJANA KEPERAWATAN


STIKES HAFSHAWATY ZAINUL HASAN PROBOLINGGO
TAHUN AKADEMIK 2022
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

Pasuruan , 3 Februari 2022

Mahasiswa

Pembimbing Ruang Pembimbing Akademik

Kepala Ruang
A. Anatomi Fisiologi

1. Anatomi Kepala
a. Kulit kepala
Pada bagian ini tidak terdapat banyak pembuluh darah. Bila
robek, pembuluh - pembuluh ini sukar mengadakan
vasokonstriksi yang dapat menyebabkan kehilangan darah yang
banyak. Terdapat vena emiseria dan diploika yang dapat
membawa infeksi dari kulit kepala sampai dalam tengkorak
(intracranial) trauma dapat menyebabkan abrasi, kontusio,
laserasi, atau avulasi.
b. Tulang Kepala
Terdiri dari calvaria (atap tengkorak) dan basis eranium (dasar
tengkorak). Fraktur tengkorak adalah rusaknya kontinuibis
tulang tengkorak disebabkan oleh trauma. Fraktur calvarea
dapat berbentuk garis (liners) yang bisa non impresi (tidak
masuk / menekan kedalam) atau impresi. Fraktur tengkorak
dapat terbuka (dua rusak) dan tertutup (dua tidak rusak). Tulang
kepala terdiri dari 2 dinding yang dipisahkan tulang berongga,
dinding luar (tabula eksterna) dan dinding dalam (labula
interna) yang mengandung alur- alur artesia meningia anterior,
indra dan prosterion. Perdarahan pada arteria- arteria ini dapat
menyebabkan tertimbunya darah dalam ruang epidural.
c. Lapisan Pelindung otak / Meninges
Terdiri dari 3 lapisan meninges yaitu durameter, asachnoid dan
diameter.
1) Durameter adalah membrane luas yang kuat, semi translusen,
tidak elastic menempel ketat pada bagian tengkorak. Bila
durameter robek, tidak dapat diperbaiki dengan sempurna :
a) Melindungi otak
b) Menutupi sinus- sinus vena( yang terdiri durameter dan
lapisan endotekal saja tanpa jaringan vaskuler)
c) Membentuk periosteum tabula interna
2) Asachnoid adalah membrane halus, vibrosa dan elastic, tidak
menempel pada dura. Diantara durameter dan arachnoid
terdapat ruang subdural yang merupakan ruangan potensial.
Pendarahan subdural dapat menyebar dengan bebas. Vena-
vena otak yang melewati subdural mempunyai sedikit jaringan
penyokong sehingga mudah cedera dan robek pada trauma
kepala.
3) Diameter adalah membrane halus yang sangat kaya dengan
pembuluh darah halus, masuk kedalam semua sulkus dan
membungkus semua girus, kedua lapisan yang lain hanya
memjabatani silkus. Pada beberapa fisura dan sulkus di sisi
medial homisfer otak. Parameter membentuk sawan antar
ventrikel dan sulkus atau vernia. Sawar ini merupakan struktur
penyokong dari pleksus forodeusnpada setiap ventrikel.
Diantara arachnoid dan parameter terdapat ruang
subarachnoid, ruang ini melebar dan mendalam pada tempat
tertentu. Dan memungkinkan sirkulasi cairan cerebrospinal.
Pada kedalam system vena.
d. Otak
Otak terdapat didalam iquor cerebro spiraks. Kerusakan otak yang
dijumpai pada trauma kepala dapat terjadi melalui 2 campuran :
1) Efek langsung trauma pada fungsi otak
2) Efek- efek lanjutan sel- sel otak yang beraksi terhadap trauma
Apabila terdapat hubungan langsung antara otak dengan dunia
luar (fraktur cranium terbuka, fraktur basis cranium dengan
cairan otak keluar dari hidung/ telinga), merupakan keadaan
yang berbahaya karena dapat menimbulkan peradangan otak.
Otak dapat mengalami pembengkakan (edema cerebri) dank
arena tengkorak merupakan ruangan yang tertutup rapat, maka
edema ini akan menimbulkan peninggian tekanan dalam
rongga tengkorak (peninggian tekanan intra cranial).
e. Tekanan intra cranial (TIK)
Tekanan intra cranial (TIK) adalah hasil dari sejumlah
jaringan otak, volume darah intracranial dan cairan cerebrospiral di
dalam tengkorak pada 1 satuan waktu. Keadaan normal dari TIK
bergantung pada posisi pasien dan berkisar ± 15 mmHg. Ruang
cranial yang kalau berisi jaringan otak (1400 gr), Darah (75 ml),
cairan cerebrospiral (75 ml), terhadap 2 tekanan pada 3
komponen ini selalu berhubungan dengan keadaan
keseimbangan Hipotesa Monro – Kellie menyatakan : Karena
keterbatasan ruang ini untuk ekspansi di dalam tengkorak,
adanya peningkatan salah 1 dari komponen ini menyebabkan
perubahan pada volume darah cerebral tanpa adanya perubahan,
TIK akan naik. Peningkatan TIK yang cukup tinggi,
menyebabkan turunnya batang 0tak (Herniasi batang otak) yang
berakibat kematian.
B. Definisi
Traumatic brain injury (TBI) merupakan cedera kepala yang sering
terjadi populasi di seluruh dunia. selama cedera kepala terjadi reaksi
kaskade inflamasi yang di hubungkan dengan aktivitas TLR4. (Bowo Hery
Prasetyo,dkk 2017)
Trauma kepala adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara
langsung maupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi
neurologis, yaitu fungsi fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporal
maupun permanen.
Cedera otak traumatis (TBI) muncul dalam berbagai bentuk mulai
dari perubahan kesadaran ringan hingga keadaan koma yang tidak henti-
hentinya dan kematian.
C. Etiologi
a. Jatuh
Jatuh (penyebab utama) dengan angka maksimum pada anak-anak
dengan usia 0-4 tahun dan orang dewasa dengan usia 75 tahun ke atas
(memiliki tingkat rawat inap dan kematian).
b. Kendaraan bermotor
kendaraan bermotor tingkat berlebihan pada orang dewasa usia 20-24
tahun, laki-laki lebih tinggi dari perempuan.
c. Kekerasan
Menurut KBBI, kekerasan didefinisikan sebagai suatu perihal atau
perbuatan seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau
matinya orang lain, atau menyebabkan kerusakan fisik pada barang
atau orang lain (secara paksaan).
D. Klasifikasi
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis
dikenal 3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, berat dan
morfologi. Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas :
1. Cedera kepala tumpul; biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu
lintas, jatuh atau pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi
akselerasi dan deselerasi yang cepat menyebabkan otak bergerak di
dalam rongga cranial dan melakukan kontak pada protuberans tulang
tengkorak.
2. Cedera tembus; disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.

Berdasarkan morfologinya cedera kepala dikelompokkan menjadi :

1. Fraktur tengkorak ; Fraktur tengkorak dapat terjadi pada atap dan dasar
tengkorak.
2. Fraktur dapat berupa garis/ linear, mutlipel dan menyebar dari satu
titik (stelata) dan membentuk fragmen-fragmen tulang (kominutif).
Fraktur tengkorak dapat berupa fraktur tertutup yang secara normal
tidak memerlukan perlakuan spesifik dan fraktur tertutup yang
memerlukan perlakuan untuk memperbaiki tulang tengkorak.
3. Lesi intrakranial; dapat berbentuk lesi fokal (perdarahan epidural,
perdarahan subdural, kontusio, dan peradarahan intraserebral), lesi
difus dan terjadi secara bersamaan.

Berdasarkan beratnya cedera kepala dikelompokkan menjadi : Secara


umum untuk mendeskripsikan beratnya penderita cedera kepala digunakan
Glasgow Coma Scale (GCS). Penilaian ini dilakukan terhadap respon
motorik (1-6), respon verbal (1-5) dan buka mata (1-4), dengan interval
GCS 3-15. Berdasarkan beratnya cedera kepala dikelompokkam menjadi :

1. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefenisikan sebagai cedera


kepala berat
2. Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13
3. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15
E. Manifestasi klinis
Gejala klinis yang muncul pada trauma kepala sedang adalah
hilangnya kesadaran atau amnesia lebih dari 30 menit dan kurang dari 24
jam, GCS 9-12, saturasi oksigen > 90 %, tekanan darah systole >100
mmHg dan dapat mengalami fraktur tengkorak. Bila fraktur, mungkin
adanya cairan serebrospinal yang keluar dari hidung (rhinorrohea) dan
telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal. Secara umum gejala klinis
trauma kepala adalah sebagai berikut;
 Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan
frekuensi jantung (bradikardi, takikardia, yang diselingi dengan
bradikardia disritmia)
 Inkontinensia kandung kemih atau usus atau mengalami gangguan
fungsi
 Mual, muntah atau mungkin proyektil, gangguan menelan (batuk,
air liur, disfagia)
 Wajah menyeringai, respon pada rangsangan nyeri yang hebat,
gelisah tidak bisa beristirahat, merintih
 Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi),
nafas berbunyi, stridor, terdesak, ronchi, mengi positif
(kemungkinan karena aspirasi)
 Gangguan dalam regulasi tubuh
 Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian
 Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian,
konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi atau tingkah laku
dan memori)
 Kehilangan penginderaan seperti gangguan penglihatan,
pengecapan, penciuman dan pendengaran, re$leks tendon tidak ada
atau lemah, kejang, sangat sensitif terhadap sentuhan dan gerakan,
kehilangan sensasi sebagian tubuh, kesulitan dalam menentukan
posisi tubuh
 Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya
lama
Jika tidak diobati pasien dapat mengalami komplikasi tertentu
seperti (kejang pasca trauma, hidrosefalus, thrombosis vena dalam
(DVT), osifikasi heterotopic, spastisitas kelainan gaya berjalan, agitasi,
dan ensefalopati traumatis kronis).
F. Patofisiologi
Patogenesis TBI adalah proses kompleks yang diakibatkan oleh
cedera primer dan sekunder yang menyebabkan deficit neurologis
sementara atau permanen. Defisit primer berhubungan langsung dengan
dampak eksternal utama otak. Cedera sekunder dapat terjadi dalam
hitungan menit hingga hari sejak tumbukan primer dan terdiri dari kaskade
molekuler, kimiawi dan inflamasi yang bertanggung jawab atas kerusakan
otak lebih lanjut. Kaskade ini melibatkan depolarisasi neuron dengan
pelepasan neurotransmitter rangsang seperti glutamat dan aspartat yang
menyebabkan peningkatan kalsium intraseluler. Kalsium intraseluler
mengaktifkan serangkaian mekanisme dengan aktivasi enzim caspases,
calpases, dan radikal bebas yang mengakibatkan degradasi sel baik secara
langsung maupun tidak langsung melalui proses apoptosis. Degradasi sel
saraf ini dikaitkan dengan respons inflamasi yang selanjutnya merusak sel
saraf dan memicu kerusakan pada sawar darah otak dan edema serebral
lebih lanjut. Keseluruhan proses ini diatur ke atas dan ke bawah juga
melalui beberapa mediator. Setelah fase cedera kedua mengikuti masa
pemulihan, yang terdiri dari reorganisasi di tingkat anatomi, molekuler,
dan fungsional.

Volume kompartemen intrakranial terdiri dari 3 isi terpisah:


parenkim otak (83%), cairan serebrospinal (CSF, 11%), dan darah (6%).
Masing-masing konten ini bergantung satu sama lain untuk lingkungan
homeostatis di dalam tengkorak. Namun, ketika volume intracranial
melebihi konstituen normalnya, terjadi serangkaian mekanisme
kompensasi. Peningkatan volume intracranial dapat terjadi di otak yang
mengalami trauma melalui efek massa dari darah, edema sitotoksik dan
vasogenik, dan kongesti vena. Jaringan otak tidak bisa dimampatkan.
Akibatnya, jaringan otak yang mengalami edema pada awalnya akan
menyebabkan ekstrusi CSF ke kompartemen tulang belakang. Akhirnya,
darah, terutama yang berasal dari vena, juga dikeluarkan dari otak. Tanpa
intervensi yang tepat, dan terkadang bahkan dengan intervensi maksimal,
mekanisme kompensasi gagal dan hasil akhirnya adalah kompresi otak
patologis dan kematian berikutnya.
G. Penatalaksanaan
1. Manajemen pra-rumah sakit
Tujuan utama penatalaksanaan pra-rumah sakit adalah untuk
mencegah hipoksia dan hipotensi karena penghinaan sistemik ini
menyebabkan kerusakan otak sekunder. Saat dinilai sebelum rumah
sakit saat masuk, saturasi oksigen <90% ditemukan pada 44% -55%
kasus dan hipotensi pada 20% -30% kasus. Hipoksia dan hipotensi
sangat terkait dengan hasil yang buruk. Dalam berbagai pengaturan,
pengenalan sistem pra-rumah sakit yang mampu menormalkan
oksigenasi dan tekanan darah (BP) telah dikaitkan dengan hasil yang
lebih baik.
Namun, memastikan pelatihan paramedis yang memadai sangat
penting karena intubasi oleh paramedis yang kurang terlatih dikaitkan
dengan hasil yang lebih buruk.
Hipotensi arteri paling baik dicegah dengan resusitasi cairan dini
dan adekuat dengan kristaloid normotonik dan koloid. Tidak ada
manfaat yang ditunjukkan untuk larutan hipertonik, atau untuk
albumin, yang dikaitkan dengan hasil yang lebih buruk.
2. Manajemen intra- rumah sakit
a. Manajemen awal di ruang gawat darurat dimulai dengan mengenali
TBI dan melibatkan penilaian tingkat kesadaran pasien,
b. Mengamankan jalan napas dengan tabung endotrakeal untuk pasien
dengan skor Glasgow Coma Scale (GCS) ≤8, memastikan
oksigenasi yang memadai (PaO2>60mmHg) danBP (sistolik BP >
90 mmHg).
c. Memasukkan kanula intravena perifer (IV)
d. Pemantauan jantung
e. Denyut nadi oksimetri
f. Kapnografi bentuk gelombang kontinu jika diperlukan.
g. Pemeriksaan aneurologi harus dilakukan secepatnya, dan skor GCS
≤8 dianggap sebagai STBI
h. Hitung darah lengkap, elektrolit, glukosa, parameter koagulasi,
kadar alkohol dalam darah, toksikologi andurin harus diperiksa.
3. Penatalaksanaan pasien dengan trauma kepala harus selalu
mempertimbangkan pembatasan gerak C-spine. Pegang leher agar
tidak bergerak sejajar dengan tubuh, pasang kerah serviks yang kaku
atau semirigid, dan (kecuali pasien sangat gelisah) kencangkan kepala
ke troli dengan karung pasir dan lakban. Prioritas dalam TBI harus
selalu untuk mengamankan, memelihara, dan melindungi jalan nafas
yang bersih. Keluarkan sekresi dan benda asing dengan ekstraksi atau
hisap manual, berikan oksigen dengan masker (10-12 1 / menit)

4. manajemen konserfatif dan operatif


a. Penentuan posisi
Pasien harus diposisikan dengan benar dengan leher dalam
posisinetral dan ujung kepala tempat tidur diangkat ke 30 °. Ini
memfasilitasi drainase vena serebral. Ujung kepala tempat tidur
harus ditinggikan untuk pasien dengan CSF, rhinorrhea, dan
otorrhea. Kerah serviks yang kaku harus dilonggarkan atau dilepas
untuk mengurangi ICP.
b. Manajemen jaringan otak yang diarahkan oksigen
Pasien yang menerima terapi oksigen jaringan otak untuk
mempertahankan tekanan oksigen jaringan otak = 20 mmHg dan
diobati dengan terapi yang dipandu ICP atau CPP untuk menjaga
ICP <20 mmHg dan CPP> 60 mmHg diketahui memiliki hasil
yang lebih baik penurunan angka kematian.
 Pasien-pasien ini harus diresusitasi dan dikelola dengan
metode berikut seperti:
 pengenalan lebih awal dan pengangkatan hematoma
 intubasi dan ventilasi dengan FiO2dan ventilasi
menit disesuaikan atur SaO2>93% dan menghindari
PaO2 <60 mmHg.
 PaCO ditetapkan pada 35– 45 mmHg kecuali ICP
ditingkatkan saat PaCO2 aku s2 dipertahankan
antara 30 dan 40 mmHg
 normotermia (~ 35 ° C – 37 ° C)
 sedasi dengan pemberian propofol selama 24 jam
awal, dilanjutkan dengan sedasi dan analgesia
dengan lorazepam, morfin, atau fentanyl
 ujung kepala dinaikkan hingga 15 ° –30 ° dan lutut
ditinggikan
 jika ada kejang, berikan antikonvulsan (fenitoin)
selama 1 minggu atau lebih
 euvolemia dengan pemberian infus kristaloid
(saline normal 0,9%, 20 mEq / L KCl; 80-100 ml /
jam) penggunaan ICP dan PO jaringan otak ,
monitor dan terapi yang diarahkan pada oksigen
otak mengurangi angka kematian setelah STBI

c. Manajemen suhu
Hipotermia mengurangi ICP (40%) dan aliran darah otak
(CBF,60%), memiliki efek positif pada metabolisme otak, dan
meningkatkan hasil selama 3 bulan setelah cedera. Jadi, itu
membatasi cedera otak sekunder. Normotermia harus
dipertahankan dengan penggunaan obat antipiretik, perangkat
pendingin permukaan, atau bahkan kateter manajemen suhu
endovaskular.
d. Profilaksis tukak stress
Bisul stres (ulkus Cushing) adalah faktor risiko yang sangat umum
pada pasien di Unit Perawatan Intensif (ICU). Dinamakan enteral,
H.2-Blocker, proton- inhibitors, dan sucralfate direkomendasikan
untuk profilaksis stress bisul.
e. Nutrisi
Pasien segera setelah cedera mungkin mengalami keadaan
hipermetabolik sistemik dan otak. Pemberian makanan enteraldini
harus dimulai dalam 72 jam setelah cedera. Pada hari ke 7 pasca
cedera, pasien ini harus diberikan penggantian kalori penuh.
Setelah TBI, inisiasi nutrisi dini dianjurkan. Nutrisi parenteral lebih
unggul dari nutrisi enteral dalam meningkatkan hasil. Pedoman
berbasis bukti mencakup pemberian nutrisi awal (dalam 24 jam
setelah cedera) (> 50% dari total pengeluaran energi dan 1–1,5 g
kg protein) selama 2 minggu pertama setelah cedera. Memberi
makan pasien untuk mencapai penggantian kalori basal setidaknya
5 kali sehari dan paling banyak pada 7 hari pasca cedera dianjurkan
untuk mengurangi kematian. Makan jejunal transgastrik di
rekomendasikan untuk mengurangi kejadian pneumonia terkait
ventilator. Pasien dengan TBI parah memiliki intoleransi makan
lambung, yang mungkin disebabkan oleh pengosongan lambung
disfungsional akibat peningkatan ICP dan penggunaan opiat. Agen
prokinetik, seperti metoclopramide, dapat meningkatkan toleransi
makan.
Secara klasik, parenteral (PN) sering dikaitkan dengan
tingkat infeksi yang lebih tinggi, imunosupresi, hiperglikemia, hati
steatosis, integritas gastrointestinal (GI) berkurang, dan ekspresi
jaringan limfoid terkait usus (GALT). Enteral (EN)
merangsang GI hyperemia pasca-prandial, meningkatkan aliran
darah mukosa, yang mengimbangi perubahan aliran darah GI
karena situasi peningkatan tekanan intratoraks selama penggunaan
vasopressor yang menyebabkan peningkatan ekspresi GALT.
Selain itu, EN memberikan kualitas makro dan mikronutrien yang
lebih baik seperti trigliserida dan serat rantai menengah, yang
mengarah pada produksi asam lemak rantai pendek. Maka dari itu
EN dini adalah pendekatan terbaik untuk terapi nutrisi pada pasien
dengan TBI parah.
Kombinasi suplementasi nutrisi pemodulasi kekebalan, juga
dikenal sebagai obat dalam menjaga dan mendukung integritas
struktural mukosa saluran cerna dan fungsi imunologisnya, akan
sangat bermanfaat bagi pasien yang menderita TBI dalam
kembalinya mereka ke homeostasis serebral yang mendekati
normal. Prinsip umum dari strategi peningkatan kekebalan
berfokus pada suplementasi kombinasi nutrisi pemodulasi
kekebalan - glutamin, arginin, asam lemak omega-3, dan
nukleotida - dengan tujuan meningkatkan pemulihan jaringan otak
dan meminimalkan kehilangan saraf pada mereka yang rentan. TBI
sedang hingga berat baik untuk peningkatan kekebalan atau diet
standar yang diberikan secara intragastrik. Tingkat IL-6 sangat
berkurang pada hari ke-3 (p = 0,002) (IL-10 tidak berubah) pada
kelompok diet peningkat kekebalan dibandingkan dengan
kelompok diet standar. Pemberian makan jangka pendek pada fase
pasca-trauma cedera otak akut dapat mengurangi tingkat sitokin,
menunjukkan bahwa sindrom respons peradangan sistemik (SIRS)
mungkin dimodulasi oleh jenis pemberian makan ini.
f. Terapi cairan
Terapi cairan membantu memulihkan kapasitas vaskular,
perfusi jaringan, dan laju aliran jantung. Saline hipertonik dapat
digunakan untuk pasien dengan komplikasi STBI dan syok
sistemik. Euvolemia dapat dipertahankan dengan menggunakan
cairan isotonik seperti saline normal.
g. Hiperventilasi
Hiperventilasi mengurangi PaCO2, CBF, dan ICP oleh
autoregulasi otak. Ini hanya dapat digunakan jika ICP> 30 mmHg
danCPP <70mmHg; CPP> 70 mmHtapi lebih tinggi ICP>
40mmHg.
h. Transportasi pasien
Pasien-pasien ini harus dipindahkan dengan hati-hati dan
dirawat dengan perlindungan yang sesuai. Itu harus dilakukan oleh
personel yang terlatih dan memiliki perlengkapan yang sesuai
dengan pengawasan yang cermat, dukungan untuk organ vital,
pemantauan terus menerus, pencegahan kerusakan tulang belakang,
dan dokumentasi yang lengkap.
i. Terapi hemostatic
Pasien dengan STBI mengembangkan koagulopati.
Konsentrat kompleks protrombin, plasma beku segar, dan / atau
Vitamin K harus diberikan untuk pasien dengan perdarahan
intraserebral terkait warfarin (ICH). Jumlah trombosit harus
dipertahankan >75.000 dengan transfusi trombosit jika perlu untuk
pasien dengan trombositopenia.
j. Manajemen glukosa
Kadar glukosa darah yang sangat tinggi atau rendah harus
dikelola sesuai dengan itu. Rentang target hingga 140 mg / dLatau
bahkan 180 mg / dL mungkin sesuai. Pasien dengan hiperglikemia
harus dikelola protokol insulin dalam kasus dengan nilai> 200 mg /
dl untuk meningkatkan hasil. Setelah TBI ada lonjakan
katekolamin yang ditandai, dengan pelepasan kortisol dan
intoleransi glukosa yang menyebabkan hiperglikemia yang
signifikan.Metabolisme anaerobik glukosa dan asidosis yang
dihasilkan di otak dapat menyebabkan disfungsi saraf dan edema
serebral. Regulasi serebrovaskular yang terganggu setelah TBI juga
telah terlibat sebagai alasan untuk hasil yang buruk karena
hiperglikemia. Cairan yang mengandung glukosa harus dihindari
dan gula darah dipantau untuk mempertahankan kadar antara 4–8
mmol / L.
Disglikemia adalah komplikasi umum pada pasien TBI.
Seperti disebutkan sebelumnya, TBI menghasilkan keadaan
hipermetabolik sistemik yang terkait dengan hiperglikemia.Di
tingkat otak konsekuensi biasa dari neurotrauma yang terkait
dengan metabolism glukosa termasuk hiperglikolisis, disfungsi
mitokondria, dan glukosa CMD rendah atau tinggi. Pemberian
glukosa eksogen atau karbohidrat total yang berlebihan, melebihi
laju oksidasi glukosa pasien (maksimum 5 mg / kg / menit, atau 0,3
g / kg / jam), dapat menyebabkan hiperglikemia. Dengan demikian,
hiperglikemia mungkin mencerminkan intensitas respons stres dan
keparahan cedera primer dan dapat diperburuk oleh manajemen
klinis di ICU. kontrol glikemik yang ketat dapat bermanfaat bagi
pasien umum yang sakit kritis. Hipoglikemia ringan dan sedang
telah dikaitkan dengan glukosa otak rendah dan peningkatan LPR,
terutama disebabkan oleh kadar piruvat yang lebih rendah.
k. Trakeostomi
Pada pasien dengan TBI terisolasi berat, trakeostomi
mungkin menguntungkan jika dilakukan pada 2 atau 3 minggu
setelah masuk.
l. Manajemen medis
Peningkatan ICP dapat dicegah dengan pemberian
sedasi.Terapi utama setelah nyeri dan agitasi adalah larutan manitol
atau natrium klorida hipertonik. Propofol, IV dexmedetomidine,
dan fentanyl biasanya digunakan pada pasien dengan ventilasi
mekanis. Steroid tidak dianjurkan di TBI. Barbiturat biasanya
digunakan untuk mengobati ICP. Tidak ada penegasan bahwa
barbiturat mengurangi kematian; itu juga menyebabkan BP rendah.
Mannitol dapat digunakan untuk mengurangi ICP dan itu juga
membantu dalam meningkatkan CBF.
m. Manajemen bedah
Evakuasi bedah dilakukan pada pasien yang memiliki skor
GCS =8dengan lesi besar pada CT scan kepala tanpa kontras.
Fraktur tengkorak depresi yang terbuka atau rumit membutuhkan
perbaikan dengan pembedahan. Kraniektomi dekompresi
membantu hasil positif pasien.
ASUHAN KEPERAWATAN TEORI
A. PENGKAJIAN
Pengumpulan data klien baik subyektif atau obyektif pada gangguan
sistem persarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada bentuk,
lokasi, jenis injuri dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya. Data yang
perlu didapati adalah sebagai berikut :
1. Identitas klien
Nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa, status
perkawinan, alamat, golongan darah, pengahasilan, hubungan klien
dengan penanggung jawab.
2. Riwayat kesehatan
Tingkat kesadaran/GCS (< 15), konvulsi, muntah, dispnea /
takipnea, sakit kepala, wajah simetris / tidak, lemah, luka di kepala,
paralise, akumulasi sekret pada saluran napas, adanya liquor dari hidung
dan telinga dan kejang.
3. Riwayat penyakit dahulu dan keluarga
Haruslah diketahui baik yang berhubungan dengan sistem
persarafan maupun penyakit sistem sistemik lainnya. Demikian pula
riwayat penyakit keluarga terutama yang mempunyai penyakit menular.
Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dari klien atau keluarga sebagai
data subyektif. Data-data ini sangat berarti karena dapat mempengaruhi
prognosa klien.
4. Pemeriksaan Fisik
Aspek neurologis yang dikaji adalah tingkat kesadaran, biasanya
GCS < 15, disorientasi orang, tempat dan waktu. Adanya refleks babinski
yang positif, perubahan nilai tanda-tanda vital kaku kuduk, hemiparese.
Nervus cranialis dapat terganggu bila cedera kepala meluas sampai
batang otak karena udema otak atau perdarahan otak juga mengkaji
nervus I, II, III, V, VII, IX, XII.
5. Penatalaksanaan Medis Pada Trauma Kepala
a. Obat-obatan : Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti
edema serebral, dosis sesuai dengan berat ringanya trauma.
b. Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurnagi
vasodilatasi.
c. Pengobatan anti edema dnegan larutan hipertonis yaitu manitol 20 %
atau glukosa 40 % atau gliserol 10 %.
d. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisillin) atau
untuk infeksi anaerob diberikan metronidasol.
e. Makanan atau cairan, Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak
dapat diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrosa 5 %, amnifusin,
aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2 - 3 hari
kemudian diberikan makanan lunak.
f. Pada trauma berat. Karena hari-hari pertama didapat penderita
mengalami penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi
natrium dan elektrolit maka hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu
banyak cairan. Dextosa 5 % 8 jam pertama, ringer dextrosa 8 jam
kedua dan dextrosa 5 % 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila
kesadaran rendah makanan diberikan melalui nasogastric tube (2500
- 3000 TKTP). Pemberian protein tergantung nilai ure nitrogennya.
g. Pembedahan
6. Pemeriksaan Penujang
1. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) : mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak.
Catatan : Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilekukan
pada 24 - 72 jam setelah injuri.
2. MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras
radioaktif.
3. Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral,
seperti : perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema,
perdarahan dan trauma
4. Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
5. X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan
struktur garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
6. BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
7. PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
8. CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
9. ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial
10. Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit
sebagai akibat peningkatan tekanan intrkranial
11. Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga
menyebabkan penurunan kesadaran
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan yang biasanya muncul adalah :
1. Gangguan integritas kulit b.d factor mekanis
2. Nyeri akut b.d agen pencedera fisik
3. Resiko perfusi srebral tidak efektif b.d cedera kepala
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil Intervensi
Gangguan Kriteria hasil: integritas Perawatan luka (I.14564)
integritas kulit kuit dan jaringan 1. Monitor karakteristik luka
(D.0192) (L.14125) 2. Monitor tanda – tanda
a. Kerusakan lapisan kulit infeksi
b. Nyeri 3. Bersihkan dengan cairan
c. Perdarahan NaCl atau pemberian
d. Kemerahan nontoksik
e. Hematoma 4. Berikan salep yang sesuai
ke kulit
5. Pasang balutan sesuai jenis
luka
6. Jelaskan tanda dan gejala
infeksi
7. Anjurkan engkonsumsi
makanan yang tinggi kalori
8. Ajarkan prosedur
perawatan luka secara
mandiri
Nyeri akut Kriteria hasil : Tingkat Manajemen nyeri (I.08066)
(D.0077) nyeri (L.08066) a.Kaji karakteristik nyeri
a.Keluhan nyeri menurun secara komprehensif
b.Meringis menurun b.Berikan teknik
c.Gelisah menurun nonfarmakologis untuk
d.Frekuensi nadi membaik mengurangi nyeri
c.Jelaskan penyebab pemicu
nyeri
d.Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengeurangi nyeri
e.Kolaborasi pemberian
analgesic
Resiko perfusi Setelah dilakukan tindakan Manajemen peningkatan
serebral tidak keperawatan selama 3 x24 tekanan intracranial (I.06198)
efektif (D.0016) jam, perfusi serebral dapat Pemantauan Tekanan
efektif kembali dengan ntrakranial (I.06198)
kriteria hasil: Perfusi 1.Monitor tanda/gejala
serebral (L.02014) peningkatan TIK
a.Tingkat kesadaran 2.Monitor TD
meningkat 3.Monitor tingkat kesadaran
b.Gelisah menurn 4.Pertahankan posisi kepala
c.Sakit kepala menurun dan leher yang netral
5.Meminimalkan stimulus
dengan menyediakan
lingkungan yang tenang
6.Kolaborasi dengan dokter
pemberian diuretic osmosis
DAFTAR PUSTAKA

Yesi Pusparini, 2017, Pengaruh Guide Imagery Terhadap Nyeri Kepala Pasien
CKR, Volume XI Nomor 1. Januari 2017.
Mutaqqin, A. (2013). Buku ajar asuhan keperawatan klien dengan gangguan
sistem persyarafan.Jakarta : Salemba medika.
Brunner & Suddarth. (2013).Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol 3.
Jakarta: EGC.
Long Barbara C. (2012). Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses
Keperawatan) Jilid 3.Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan
Keperawatan
Mansjoer, A dkk. (2012). Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta:
Media Aesculapius.
Price, S. A. (2013). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, alih
bahasa: Peter Anugerah, Buku Kedua, edisi 4, Jakarta: EGC.
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G Bare. (2012). Buku Ajar Keperawatan
Medikal BedahBrunner & Suddarth. Edisi 8. Jakarta :EGC.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017).Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia:
Definisi Dan Indicator Diagnostic. Jakarta: DPP PPNI.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia:
Definisi Dan Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta: DPP PPNI.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia:
Definisi Dan Tindakan Keperawatan. Jakarta: DPP PPNI.
LEMBAR KONSUL

NO KETERANGAN TTD

Anda mungkin juga menyukai