Anda di halaman 1dari 81

LAPORAN KEPERAWATAN PADA TN.

I DENGAN

CEDERA KEPALA BERAT + HEMIPARASE SINISTRA POST TRAUMA

DI ICU IGD RSUP SANGLAH DENPASAR

OLEH

NAMA: MARIA HELENA NEI

NPM: 20213024

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA SANTU PAULUS RUTENG

2021/2022
LEMBAR PERSETUJUAN

Laporan praktik Keperawatan Gawat Darurat dan Kritis ini telah disetujui

pada tanggal………………Juni 2022

Menyetujui,

Pembimbing institusi pembimbing Klinik

Ns. Yuliana R.R.Krowa,M.Kep Ns. Nanik Cahyani S.Kep


NIDN: 1516029001 NIP: 1974050319980 3 2002
BAB I

LAPORAN PENDAHULUAN

A. ANATOMI DAN FISIOLOGI

1. Anatomi kepala
Pada Kulit kepala terdri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu:
 Skin atau kulit
Sifatnya tebal dan mengandung rambut serta kelenjar keringat.
 Connective Tissue atau jaringan subkutis
Merupakan jaringan kat lemak yang memiliki septa-septa, kaya
akan pembuluh darah terutama di atas Galea. Pembuluh darah
tersebut merupakan anastommistis antara arteri karotis interna dan
eksterna, tetapi lebih dominan arteri karotis eksterna.
 Aponeurosis galea
Lapisan ini merupakan lapisan terkuat, berupa fascia yang melekat
pada tiga otot Japardi, yaitu :
a. ke anterior – m. frontalis
b. ke posterior – m. occipitslis
c. ke lateral – m. temporoparietalis
Ketiga otot ini dipersarafi oleh nervus fasialis.
 Loose areolar tissue atau jaringan ikat longgar
Lapisan ini mengandung vena emissary yang merupakan vena
tanpa katup (valveless vein), yang menghubungkan SCALP, vena
diploica, dan sinus vena intrakranial (misalnya Sinus sagitalis
superior). Jika terjadi infeksi pada lapisan ini, akan muda
menyebar ke intrakranial. Hematoma yang tebentuk pada lapisan
ini disebut Subgaleal hematom, merupakan hematoma yang paling
sering ditemukan setelah cedera kepala
 Pericranium (perikranium).
Merupakan periosteum yang melapisi tulang tengkorak,
melekat erat terutama pada sutura karena melalui sutura ini
periosteum akan langsung berhubngan dengan endosteum (yang
melapisi permukaan dalam tulang tengkorak).
Hematoma di antara lapisan periosteum dan tulang tengkorak
disebut Cephal hematoma (sub-periosteal hematoma). Hematoma
ini terutama terjadi pada neonates, disebabkan oleh pergesekan dan
perubahan bentuk tulang tengkorak saat dijalan lahir, atau terjadi
setelah fraktur tulang tengkorak.
Hematoma ini biasanya terbatas pada satu tulang (dibatasi oleh
sutura), dan terfiksasi pada perabaan dari luar, sedangkan lapisan
lapisan kulit di atasnya dapat digerakkan dengan mudah.
Hematoma ini akan diabsorbsi sendiri. Selaput otak
(meningien) adalah selaput yang membungkus otak dan sumsum
tulang belakang untuk mrlindungi struktur syaraf yang halus,
membawa pembuluh darah dan cairan sekresi serebrospinalis,
meperkecil benturan atau getaran pada otak dan sumsum tulang
belakang. Selaput otak terdiri dari tiga lapisan yaitu :
 Duramater Selaput keras pembungkus otak yang berasal
dari jaringan ikat tebal dan kuat. Pada bagian tengkorak
terdiri dari periost (selaput) tulang tengkorak dan
durameter propia bagian dalam. Duramater ditempat
tertentu mengandung rongga yang mengalirkan darah dari
venaotak. Rongga ini dinamakan sinus vena. Diafragma
sellae adalah lipatan berupa cincin dalam duramater
menutupi sel tursika sebuah lekukan pada tulang stenoid
yang berisi kelenjar hipofi sis.
 Araknoidea Selaput tipis yang membentuk sebuah balon
yang berisi cairan otak yang meliputi susunan saraf sentral.
Otak dan medulla spinalis berada dalam balon yang berisi
cairan itu. Kantong-kantong araknoid ke bawah berakhir di
bagian sacrum, medulla spinalis berhenti setinggi lumbal I-
II. Dibawah lumbal II kantong berisi cairan hanya terdapat
saraf-saraf perifer yang keluar dari media spinalis. Pada
bagian ini tidak ada medulla spinalis. Hal ini dimanfaatkan
untuk pengambilan cairan otak yang disebut pungsi lumbal.
 Piameter Selaut tipis yang terdapat pada permukaan
jaringan otak, piamaeter yang berhubungan dengan
araknoid melalui struktur jaringan ikat yang disebut
trebekhel.
2. Fisologis Cairan Otak (Tekanan Intrakranial)
Tekanan intrakrania (TIK) adalah tekanan realtif di dalam rongga
kepala yang dihasilkan poleh keberadaan jaringan otak, cairan
serebrospinal (CSS), dan volume darah yang bersirkulasi di otak.
Menurut hipotesa Monro-Kellie, adanya peningkatan volume pada
satu komponen haruslah dikompensasikan dengan penurunan volume
salah satu dari komponen lainnya. Dengan kata lain, terjadinya
peningkatan tekanan intrakrainial selalu diakbbatkan oleh adanya
ketidakseimbangan antara volume intracranial dengan isi cranium. Adanya
suatu penambahan massa intrakranial, maka sebagai kompenasasi awal
adalah penurunan volume darah vena dan cairan serebro spinal secara
resprokal. Keadaan ini dikenal sebagai doktrin Monro-Kellie Burrows,
yang telah dibuktikkan melalui berbagai penelitian eksperimental maupun
klinis (kecuali pada anak-anak dimana sutura tulang tengkoraknya masih
belum menutp, sehingga masih mampu mengakomodasi penambahan
volume intrakranial). System vena akan menyempit bahkan kolaps dan
darah akan diperas ke luar melalui vena jigularis atau mellaui vena-vena
emisaria dan kullit kepala. Kompensasi selanjunya adalah CSS juga akan
terdesak melalui foramen magnum kea rah rongga subarachnoid spinalis.
Mekanisme kompenasi ini hanya berlangsung sampai batastertentu
yang disebut sebagai titik batas kompensasi dan kemudian akan terjadi
peningkatan tekanan intrakranial yang hebat secara tiba-tiba. Parenkin
otak dan darah tidak ikut serta dalam mekanisme kompenasi tersebut di
atas. Kenaikan TIK lebih dari 10 mmHg dikategorikan sebagai keadaan
yang patologis (hipertensi intrakranial), keadaan ini berpotensi merusak
otak serta berakibat fatal. Secara garis besar kerusakan otak akibat tekanan
tinggi intrakranial (TTIK) terjadi melalui dua mekanisme, yaitu pertama
adalah sebagai akibat gangguan aliran darah serebral dan kedua adalah
sebaga akibat proses mekanisme pergeseran otak yang kemudian
menimbulkan pergeseran dan herniasi jaingan otak.

B. DEFINISI
Cedera Kepala, dikenal juga sebagai cedera otak, adalah gangguan
fungsi otak normal karena trauma ( trauma tumpul dan trauma tusuk ).
Defisit neurologis terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia dan
pengaruh masa karena hemoragi, serta edema serebral di sekitar jaringan
otak. Jenis-jenis cedera otak meliputi komosio, kontusio serebri, kontusio
batang otak, hematoma epidural, hematoma subdural, dan fraktur
tengkorak.
Cedera kepala atau trauma kepala memiliki banyak terminologi di
antaranya cedera kepala akut, cedera otak traumatik, (traumatik brain
injury), cedera kepala tertutup, dan cedera kepala penetrans. Cedera kepala
akut merupakan istilah umum yang digunakan dalam menjelaskan cedera
kepala dan stuktur yang berada di dalamnya, sedangkan cedera otak hanya
mengacu pada cedera yang terjadi pada organ otaknya sendiri. Cedera otak
akut merupakan salah satu kondisi yang di sebabkan oleh kejadian
traumatik atau cedera tusukan (penetrasi). Sedangkan istilah cedera kepala
tertutup sendiri mengacu pada cedera tumpul otak yang tidak menimbulkan
fraktur tengkorak terbuka. Cedera penistrasi di sebabkan oleh peluru atau
benda-benda lainnya seperti pisau, senapan, palu, maupun pemukul
baseball.

C. ETIOLOGI
Trauma Kepala secara umum disebabkan oleh beberapa hal berikut ini
kecelakaan lalu-lintas, terjatuh dari tempat tinggi, pukulan pada kepala,
tertimpa benda berat, kecelakaan kerja, luka tembak, atau cedera saat lahir.
cedera kepala dapat disebabkan karena beberapa hal diantaranya adalah:
1) Pukulan Langsung
Dapat menyebabkan kerusakan otak pada sisi pukulan ( coup injury )
atau pada sisi yang berlawanan dari pukulan ketika otak bergerak
dalam tengkorak dan mengenai dinding yang berlawanan (contrecoup
injury).
2) Rotasi / deselerasi
Fleksi, ekstensi atau rotasi leher menghasilkan serangan pada otak
yang menyerang titik tulang tengkorak (misalnya pada sayap dari
tulang sfenoid). Rotasi yang hebat juga menyebabkan trauma
robekan di dalam substansi putih otak dan batang otak, menyebabkan
cedera aksonal dan bintik-bintik perdarahan intraserebral.
3) Tabrakan
Otak seringkali terhindar dari trauma langsung kecuali jika berat
(terutama pada anak yang elastis).
4) Peluru
Cendrung menimbulkan hilangnya jaringan seiring dengan trauma.
Pembengkakan otak merupakan masalah akibat disrupsi. Tengkorak
yang secara otomatis akan menekan otak.
D. FAKTOR RESIKO
Penyebab:
 Kecelakaan lalulintas
 Kecelakaan dan benturan pada kepala

Faktor resiko secara umum:

 Tidak pake helm


 Alkohol dan obat-obatan
 Mengemudi tanpa sabuk pengaman
 Menyebrang tiba-tiba
 Mengantuk
 Tidak konsentrasi

E. PATOFISIOLOGI
Secara patologi, cedera kepala dapat dibagi menjadi dua tahapan yaitu
cedera primer dan cedera sekunder.
a. Cedera Primer
Cedera primer terjadi pada saat terjadi cedera atau tumbukan,
karena tenaga kinetic mengenai kranium atau otak. Tenaga kinetic ini
meliputi akselerasi, deselerasi, akselerasi-deselerasi, dan coup-
countercoup. Akselerasi terjadi ketika objek bergerak membentur
kepala yang sedang dalam kondisi diam (statis). Deselerasai terjadi
saat kepala yang sedang bergerak membemtur objek statis, misalnya
tembok. Ajselerasi-deselarasi terjadi dalam peristiwa tabrakan
kendaraan bermotor dalam kecepatan tinggi atau kendaraan yang
menabrak pejalan kaki. Sedangkan coup-countercoup merupakan
akibat dari pergerakan isi intracranial terhadap kranium. Cedera coup
mengakibatkan kerusakan pada daerah yang dekat dengan area yang
terbentur. Sedangkan cedera countracoup menyebabkan pada area
yang berlawanan dengan benturan. Kebanyakan kerusakan cedera
“kontra kup” berlawanan pada sisi desakan benturan.
Cedera primer dapat dibagi ke dalam cedera fokal dan difus.
Cedera fokal menyebabkan luka makroskopik, seperti fraktur
tengkorak, laserasi dan kontusio otak, perdarahan epidural, perdarahan
subdural, dan perdarahan intraserebral . Sedangkan cedera difus
menyebabkan cedera mikroskopis seperti concussion dan diffuse
axonal injury.
 Fraktur Tengkorak. Fraktur tengkorak ini biasanya diikuti
dengan laserasi scalp, yaitu lapisan terluar pelindung otak yang
sangat kaya dengan pembuluh darah, sehingga dapat
menimbulkan perdarahan dalam jumlah banyak. Keparahan
fraktur tengkorak ini tergantung pada lokasi dan kerusakan
jaringan yang ada. Fraktur basilar di fosa anterior dapat
menimbulkan periorbital ekimosis (raccoon atau panda eyes)
dan rhinorrhea (keluarnya darah atau cairan otak dari hidung).
Sedangkan fraktur basiler di fosa middle atau posterior dapat
menimbulkan memar di atas mastoid (battle sign) dan drainase
darah atau cairan otak melalui telinga (othorea).
 Laserasi dan kontusio otak. Laserasi dan kontusio jaringan otak
biasanya ditemukan pada lobus frontal dan temporal. Laserasi
merupakan kondisi robeknya jaringan otak yang dapat juga
terjadi pada frakur tengkorak depresi. Sedangkan kontusio
merupakan memarnya permukaan korteks otak. Pasien dengan
kondisi ini akan tampak gelisah, kehilangan ingatan sementara,
disfungsi motoric, gangguan bicara, atau koma. Pembedahan
debridemen diperlukan jika tekanan intracranial sulit dikontrol
dengan obat-obatan.
 Hematoma. Hematoma pada otak dapat diklasifikasikan
menjadi beberapa antara lain epidural, subdural dan
intraserebral.
 Hematoma Epidural. Hematoma epidural terjadi
saat fraktur linear menembus tulang temporal dan
melukai arteri meningeal. Pasien biasanya
mengalami pemburukan secara cepat dan akhirnya
meninggal. Mortalitas dan morbiditasnya
meningkat seiring dengan kecepatan ekspansi
hematoma dari perdarahan arteri, menimbulkan
herniasi uncal dan tidak secara langsung
mencederai otak. Herniasi uncal adalah kondisi
ketika uncus (ujung anterior parahippocampal gyrus
berbentuk kait dan berada di atas permukaan
basomedial lobus temporal) mengalami displasi
akibat peningkatan tekanan intracranial sehingga
terjadi kerusakan otak dan batang otak secara
progresif. Herniasi uncal ini menekan saraf kranial
III, otak tengah, dan arteri serebral posterior,
sehingga menimbulkan koma dan gagal napas.
Hematoma yang berada di antara dura dan kranium
dapat menekan dan menggeser otak. Penderita
biasanya mengalami perubahan pupil sluggish dan
elliptical hingga terjadi dilatasi dan terfiksasi pada
salah satunya. Terdapat pula perubahan simultan
motorik yang berkembang dari hemiparese ringan,
menjadi dekortikasi, deserebrasi, atau flaccid
paralysis. Penanganan yang cepat dapat membuat
prognosisnya menjadi baik.
 Hematoma subdural. Hematoma subdural ini
merupakan penyebab mortalitas dan morbiditas
tertinggi kedua dalam cedera kepala. Hematoma ini
aslinya berasal dari perdarahan vena korteks atau
vena di antara permukaan otak dengan dura,
sehingga memiliki progresivitas yang lebih lambat
dibandingkan dengan hematoma epidural.
Terdapat tiga jenis hematoma yaitu:
 Akut: Gejala tampak dalam 24-72 jam
setelah cedera dan biasanya membutuhkan
pembedahan segera.
 Sub-Akut: Gejala muncul dalam 72 jam
sampai 2 minggu pasca-cedera dan
membutuhkan pemantauan ketat terhadap
tanda-tanda peningkatan intracranial dan
herniasi. Pembedahan evakuasi bergantung
dari konsistensi dan ukuran bekuan yang
ada.
 Kronis: Gejala muncul setelah lebih dari dua
minggu pasca-cedera. Perdarahan berjalan
lambat dan lebih banyak ruangan dalam otak
yang terisi bekuan sebelum korban
mengalami gangguan neurologis. Angka
mortalitas berkisar dari 30-63%.
 Hematoma intraserebral. Area perdarahan pada
hematoma intraserebral memiliki batas yang tegas
yaitu 2 cm atau lebih ke dalam parenkim otak.
Hematoma ini menimbulkan deficit neurologis
fokal sesuai dengan lokasi otak yang terkena.
Operasi pengambilan bekuan darah dilakukan jika
memiliki batas tegas dan mudah dicapai. Angka
mortalitasnya berkisar antara 25-60%.
 Diffuse Axonal. Cedera difuse axonal biasanya diakibatkan
oleh tabrakan kendaraan bermotor dalam kecepatan tinggi
sehingga terjadi gesekan antara permukaan substansia grisea
dan substansia alba. Hal ini menyebabkan robekan dan
perlukaan axon bermielin dalam substansia grisea. Hal CT scan
sering menunjukkan gambaran normal atau terdapat tanda-
tanda perdarahan pada korpus kallosum, area periventricular,
atau batang otak. Angka morbiditas dan mortalitasnya tinggi
sesuai dengan tingkat keparahan cedera ringan, sedang, atau
berat.
Cedera difuse axonal ringan mengalami hilang kesadaran
antara 6 sampai dengan 24 jam. Sedangkan pada derajat
sedang, kondisi koma memanjang dan angka mortalitas
mencapai 20%. Kondisi koma yang lebih panjang terjadi pada
cedera berat yang ditandai dengan disfungsi batang otak yang
memicu ketidakstabilan hemodinamik dan jantung. Angka
mortalitasnya meningkat mencapai 60-70%. Disfungsi
autonomic yang sering terjadi pasca-cedera ini ditandai dengan
peningkatan tekanan intracranial, dilatasi pupil, diaphoresis,
hipertensi, takikardia dan postur tubuh fleksi atau ekstensi
abnormal.
 Perdarahan Subarakhnoid. Perdarahan pada ruang
subarachnoid dan memicu vasospasme ini terjadi pada sekitar
25-40% pasien dengan cedera otak akut. Pasien dengan
perdarahan subarachnoid ini membutuhkan waktu perawatan di
ruang intensif yang lebih lama. Vasospasem meningkat pada
hari ke-3 hingga ke-7 setelah perdarahan dan menyusut pada
hari ke-10.
 Konkusi Serebral. Konkusi serebral/otak merupakan kondisi
hilangnya kesadaran sesaat, dan amnesia biasanya berlangsung
kurang dari 6 jam dengan sedikit atau tanpa gejala neurologis
sisa. Hasil CT scan menunjukkan kondisi normal tanpa adanya
lesi makroskopik jaringan otak. Kondisi serebral sendiri
merupakan bentu umum dari cedera kepala. Berdasarkan berat
ringannya gejala yang ditimbulkan, konkusi serebral dapat
dibedakan menjadi ringan dan klasik. Konkusi ringan
merupakan disfungsi neurologis sementara tanpa disertai
hilangnya kesadaran maupun ingatan. Sedangkan konkusi
klasik meliputi disfungsi neurologis sementara dan hilangnya
kesadaran serta daya ingat (amnesia).
Sebagian besar pasien akan sadar penuh dalam waktu
48 jam, tetapi biasanya masih menyisakan gejala sisa. Pada
beberapa kasus, cedera sekunder dapat terjadi akibat dari
hipoksia dan iskemia serebral. Hal ini akan memicu edema
serebral dan peningkatan intracranial.
Sebagian pasien mungkin akan mengalami sindrom
pascakonkusi yaitu gejala sisa pasca-cedera setelah cedera
kepala ringan. Gejala yang dialami dapat berlangsung dalam
beberapa minggu hingga satu tahun. Sedangkan komplikasi
yang dapat terjadi adalah perdarahan intracranial
(subdural,parenkimal, maupun epidural).
b. Cedera Sekunder
Kondisi yang terjadi pascacedera otak akut ini merupaka
perubahan biofisik maupun biokimia yang mengganggu perfusi
sehingga dapat menimbulkan disfungsi neuronal sampai dengan
kematian. Jika penanganan sebelumnya berfokus pada peningkatan
tekanan intracranial, pada kondisi saat ini berfokus pada peningkatan
perfusi yang adekuat.
Aliran darah serebral normalnya dipertahankan pada kisaran
50-150 mmHg. Saat tekanan darah sistemik menurun, pembuluh darah
serebral berdilatasi. Sebaliknya saat tekanan darah sistemik meningkat,
darah serebral mengalami vasokonstriksi. Aliran darah ke otak
dikontrol oleh mekanisme autoregulasi serebral. Kerusakan pada
sistem autoregulasi akan memengaruhi keberhasilan pengobatan yang
dilakukan.
Beberapa jam pascacedera, aliran darah serebral menurun
hingga setengah dari jumlah normal yaitu 50 Ml/100 gram otak/menit.
Iskemia terjadi saat aliran darah serebral turun dibawah 20 Ml/100 mg
otak/menit, dan menimbulkan kematian sel jika telah mencapai 10-15
mL/100 mg otak/menit.
Iskemia adalah konsekuensi sekunder dari perdarahan baik
yang spontan maupun traumatic. Mekanisme terjadinya iskemia
karena adanya tekanan pada pembuluh darah akibat ekstravasasi darah
ke dalam tengkorak yang volumenya tetap dan vasospasme reaktif
pembuluh-pembuluh darah yang terpajan di dalam ruang antara
lapisan araknoid dan piamater meningen. Biasanya perdarahan
intraserebral secara cepat menyebabkan kerusakan fungsi otak dan
kehilangan kesadaran.
Hipoksia dan Iskemik juga memicu rantai respons kimiawi dan
proses neurotoksis. Kondisi ini meliputi regulasi chanel ion kalsium,
natrium, dan kalium; pengeluaran exitotoxic asam amino, produksi
superoxide dan radikal bebas, perioksidasi lemak, dan pengeluaran
mediator inflamasi. Hal itu semua menimbulkan kerusakan sel serebral
dan jika tidak terrangani, dapat menyebabkan kematian sel. Secara
umum, apabila aliran darah ke jaringan otak terpurus selama 15-20
menit akan terjadi infark atau kematian jaringan.
F. MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi klinik dari cedera kepala tergantung dari berat ringannya
cedera kepala, yaitu:
1. Perubahan kesadaran adalah merupakan indikator yang paling sensitive yang
dapat dilihat dengan penggunaan GCS (Glascow Coma Scale).
2. Peningkatan TIK yang mempunyai trias Klasik seperti: nyeri kepala karena
regangan dura dan pembuluh darah; papil edema yang disebabkan oleh
tekanan dan pembengkakan diskus optikus;  muntah seringkali proyektil.

G. KOMPLIKASI
1. Edema selebral dan herniasi otak.
Edema selebral adalah peningkatan atau pembengkan tekanan
intrakranial pada pasien cedera kepala. TIK meningkat karena
ketidakmampuan tengkorak utuh membesar meskipun peningkatan volume
oleh pembengkakan otak diakibatkan oleh trauma.
2. Defisit neurologik dan psikologik.
3. Komplikasi lain setelah traumatik berupa cedera kepala meliputi:
 infeksi sistemik seperti : pneumonia, infeksi saluran kemih,
septikemia.
 Infeksi bedah neuro seperti : infeksi luka, osteomielitus, meningitis,
ventikulitis, abses otak.

H. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
 Laboratorium
- GDA untuk menentukan adanya masalah ventilasi atau
oksigenasi dan peningkatan tekananintrakranial (TIK).
- Kimia/ Elektolit serum dapat menunjukkan ketidakseimbangan
yang memperberat peningkatan TIK. Peningkatan laju
metabolisme dan diaphoresis dapat menyebabkan peningkatan
natrium (hypernatremia).
 Pencitraan
- CT scan untuk mengidentifikasi adanya hemoragi, hematoma,
kontusio, fraktur tengkorak, pembengkakan atau pergeseran
jaringan otak.
- MRI lebih sensitif untuk memeriksa defisit neurologis yang
tidak terdeteksi oleh ST scan.
 Prosedur Diagnostik
- EEG menunjukkan adanya atau terjadinya gelombang
patologis.
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN TEORI
A. Pengkajian
a) Identitas Klien
Nama, umur, jenis kelamin, tempat tanggal lahir, golongan darah,
pendidikan terakhir, agama, suku, status perkawinan, pekerjaan, TB, BB,
Alamat.
b) Riwayat Kesehatan
Tingkat kesadaran/GCS (< 15), konvulsi, muntah, dispnea, takipnea, sakit
kepala, wajah simetris, tidak lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi secret
pada saluran napas, adanya liquor dari hidung dan telinga dan kejang.
c) Riwayat Penyakit Dahulu
Diketahui baik yang berhubungan dengan sistem persarafan maupun
penyakit sistem sistemik lainnya. Demikian pula riwayat penyakit keluarga
terutama yang mempunyai penyakit menular.
d) Riwayak Kesehatan
Dapat dikaji dari klien atau keluarga sebagai data subyektif. Data-data ini
sangat berarti karena dapat mempengaruhi prognosa klien
Pengkajian pola Gordon
 Aktivitas/istirahat
Gejala  :  Merasa lelah, lemah, kaku, hilang keseimbangan.
Tanda  : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, puandreplegia,
ataksia, cara berjalan tidak tegang.
 Sirkulasi
Gejala     :  Perubahan tekanan darah (hipertensi) bradikardi, takikardi.
 Integritas Ego
Gejal :  Perubahan tingkah laku dan kepribadian.
Tanda   : Cemas, mudah tersinggung, angitasi, bingung, depresi dan
impulsif.
 Makanan/cairan
Gejala : Mual, muntah dan mengalami perubahan selera.
Tanda : Muntah, gangguan menelan.
 Eliminasi
Gejala  : Inkontinensia, kandung kemih atau usus atau mengalami
gangguan fungsi.
 Neurosensori
Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia, vertigo, sinkope,
kehilangan pendengaran, gangguan pengecapan dan
penciuman, perubahan penglihatan seperti ketajaman.
Tanda  :  Perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan status
mental, konsentrasi, pengaruh emosi atau tingkah laku dan
memoris.
 Nyeri/kenyamanan
Gejala   :  Sakit kepala.
Tanda  :  Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri
yang hebat, gelisah, tidak bisa istirahat, merintih.
 Pernafasan
Tanda : Perubahan pola pernafasan (apnoe yang diselingi oleh
hiperventilasi nafas berbunyi)
 Keamanan
Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan.
Tanda   : Fraktur/dislokasi, gangguan penglihatan, gangguan rentang
gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalami
paralisis, demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh.
 Interaksi sosial
Tanda : Apasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara
berulang-ulang, disartria.
Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum
2. Tingkat kesadaran: Composmentis, apatis, somnolen, spoor, koma.
3. TTV
4. Sistem pernapasan
Perubahan pola napas, baik irama, kedalaman maupun frekuensi, nafas
bunyi ronchi.
5. Sistem Kardiovaskuler
Apabila terjadi peningkatan TIK. tekanan darah meningkat, denyut nadi
brakikardi kemudian takikardi.
6. Sistem perkemihan
Inkotenensia, distensi kandung kemih.
7. Sistem Gastrointestinal
Usus mengalami gangguan fungsi, mual/muntah dan mengalami perubahan
selera.
8. Sistem Muskoloskeletal
Kelemahan otot, deformasi
9. Sistem persarafan
Gejala: Kehilangan kesadaran, amnesia, vertigo, syncope, tinnitus,
kehilangan pendengaran, perubahan penglihatan, gangguan pengecapan.
Tanda: Perubahan kesadaran sampai koma, perubahan status mental,
perubahan pupil, kehilangan pengindraan, kejang, kehilangan sensasi
sebagian tubuh.
a). Nervus kranial
N.I : Penurunan daya penciuman
N.II : Pada trauma frontalis terjadi penurunan penglihatan
N. III, N.IV, N.VI : Penurunan lapang padang, reflex cahaya
menurun, perubahan ukuran pupil, bola mata tidak dapat mengikuti
perintah, anisokor.
N.V : Gangguan mengunyah
N.VII, N.XII : Lemahnya penutupan kelopak mata, hilangnya rasa
pada 2/3 anterior lidah
N.VIII : Penurunan pendengaran dan kesimbangan tubuh.
N. IX, N.X, N.XI : Jarang ditemukan
b) Skala Koma Glasgow (GCS)
VERBAL:
1. Tidak berespon
2. Suara tidak dapat dimengerti, rintihan
3. Bicara kacau/ kata-kata tidak tepat/ tidak nyambung
dengan pertanyaan.
4. Bicara membingungkan, jawaban tidak tepat
5. Orientasi baik
MOTORIK :
1. Tidak berespon
2. Ekstensi abnormal
3. Fleksi abnormal
4. Menarik area nyeri
5. Melokalisasi nyeri
6. Dengan perintah
REAKSI MEMBUKA MATA :
1. Tidak berespon
2. Rangsangan nyeri
3. Dengan perintah (rangsang suara/sentuh)
4. Spontan
c) Fungsi Motorik
Setiap ekstremitas diperiksa dan dinilai dengan skala berikut yang
digunakan secara internasional:
RESPON SKALA
Kekuatan normal 5
Kelemahan sedang 4
Kelemahan berat (antigravity) 3
Kelemahan berat (not antigravity) 2
Gerakan trace 1
Tidak ada gerakan 0

A. Diagnosa Keperawatan
1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan hipoksia
2. Peubahan persepsi sensori berhubungan dengan deficit neurologi
3. Resiko perdarahan
B. Intervensi
NO DIAGNOSA TUJUAN DAN INTERVENSI (NIC) RASIONAL
KEPERAWATAN KRITERIA HASIL
(NOC)

1 Perubahan perfusi Setelah dilakukan a) Kaji status a) Hasil dari pengkajian


jaringan serebral asuhan keperawatan
neurologis dapat diketahui secara dini
berhubungan selama ….x 24 jam
dengan hipoksia diharapkan klien yang adanya tanda-tanda
mempunyai perfusi
berhubungan peningkatan TIK sehingga
jaringan adekuat dengan
kriteria hasil: dengan tanda- dapat menentukan arah
 Tingkat
tanda tindakan selanjutnya serta
kesadaran
normal peningkatan manfaat untuk menentukan
(composmentis)
TIK terutama lokasi, perluasan
 TTV dalam
rentang normal CGS. perkembangan kerusakan
SSP.

b) Monitor TTV b) Dapat mendeteksi secara


minimal setiap dini tanda-tanda
jam sampai peningkatan TIK, misalnya
klien stabil. hilangnya autoregulasi
dapat mengikuti kerusakan
vaskularisasi selenral local.

c) Tinggikan c) Posisi kepla dengan sudu


posisi kepala 15-45 derajat dari kaki
dengan sudut akan meningkatkan dan
15-45 derajat memperlancar aliran baik
tanpa bantal vena kepala sehingga
dan posisi mengurangi kongesti
netral serebrum dan mencegah
penekanan pada saraf
medulla spinalis yang
menambah TIK.

d) Monitor suhu
d) Demam menandakan
dana tur suhu
adnya gangguan
lingkungan
hipotalamus , peningkatan
sesuai
kebutuhan metabolic akan
indikasi.
meningkatkan TIK.
Batasi
pemakaian
selimut dan
e) Mencegah kelibahan
kompres bila
cairan yang dapat
demam. menambah edema serebri
e) Monitor sehingga terjadi
asupan dan peningkatan TIK.
keluaran
setiap delapan f) Mengurangi hipokremia
jam sekali yang dapat meningkatkan
f) Berikan vasodilatasi cerebri,
oksigen volume darah dan TIK.
tambahan
sesuai indikasi g) Monitol/gliderol

g) Berikan obat- merupakan cairan

obatan hipertonis yang berguna

antiedema untuk manarik cairan dari

seperti manito, interseluler dan

gliserol dan ekstraseluler, Lasix untuk


losix sesuai meningkatkan ekskresi

indikasi natrium dan air yang


berguna untuk mengurangi
edema otak.
2 Peubahan persepsi Setelah dilakukan a) Kaji respon sensori a) Informasi yang penting
sensori asuhan keperawatan
terhadap panas atau untuk kemampuan klien
berhubungan selama...x 24 jam
dengan deficit diharapkan klien dingin, raba atau semua sistem sensori dapat
neurologi mengalami perubahan
sentuhan. Catat terpengaruh dengan adanya
persepsi sensori dengan
kriteria hasil: perubahan yang perubahan yang melibatkan
 Tingkatkan
terjadi. kemampuan untuk
kesadaran
normal menerima dan berespon
E4 M6 V5. b) Kaji persepsi klien, sesuai stimulus.
 Fungsi alat-alat
indera baik. baik respon balik dan b) Hasil pengkajian dapat
 Klien kooperatif koneksi kemampuan menginformasikan susunan
kembali dan klien beriorentasi fungsi otak yang terkena
dapat
terhadap orang, dan membuat intervensi
berorientasi pada
orang, waktu dan tempat dan waktu. sempurna.
tempat.
c) Berikan stimulus
yang berarti saat c) Merangsang kembali
penurunan kesadaran. kemampuan persepsi
d) Berikan klien sensori.
dengan pengamanan d) Gangguan persepsi
sisiterhadap tidur, sensori dan buruknya
bantu latihan jalan keseimbangan dapat
dan lindungi dari meningkatkan risiko
cedera. terjadinya injury,
e) Rujuk pada ahli e) Pendekatan antar
fisioterapi deuposi disiplin dapat menciptakan
wicara, terapi kognitif rencana penatalaksanaan
terintegrasi yang berfokus
pada peningkatan evaluasi
dan fungsi fisik, kognitif
dan keterampilan
perseptual.
3 Risiko perdarahan Setelah diberikan a. Catat kadar a. Untuk mengetahui kadar
berhubungan Asuhan Keperawatan
hemoglobin/ hemoglobin dan hematokrit
dengan selama….x 24 jam dapat
meminimalkan hematokrit sebelum klien.
komplikasi yang terjadi
dan sesudah b. Untuk mengetahui
dengan kriteria hasil:
 Klien tidak perdarahan. kelancaran aliran IV klien.
mengalami
b. Pantau aliran IV c. Untuk mengetahui
kehilangan darah
 Kulit dan c. Pantau koagulasi kemampuan darah dalam
membrane
darah klien melakukan proses
mukosa pasien
tidak pucat ( prothrombin, pembekuan darah sehingga
 Nilai thromboplastin, tidak terjadi pendarahan.
hemoglobulin
fibrinogen, fibrin, dan
dalam batas
normal. jumlah platelet)
 Nilai hematokrit
dalam batas
normal

DAFTAR PUSTAKA

Rencana Asuhan Keperawatab Medikal Bedah : Diagnosis NANDA-I 2015-2017


intervensi NIC hasil NOC/ editor, Deni Yasmara, Nursiswati, Rosyidah Arafat ;
editor penyelaras Bhetsy Angelina, Monica Ester, Pamilih Eko Karyuni. –Jakarta :
EGC, 2016.

Brunner & Suddarth. 2013. Keperawatan Medikal Bedah, ed-12. Jakarta : EGC

Arif Muttaqin, 2008, Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Persarafan, Jakarta : Salema Medika

ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN. I DENGAN

CEDERA KEPALA BERAT + HEMIPARASE SINISTRA POST TRAUMA

DI ICU IGD RSUP SANGLAH DENPASAR


OLEH

NAMA: MARIA HELENA NEI

NPM: 20213024

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA SANTU PAULUS RUTENG

2021/2022
LEMBAR PERSETUJUAN

Asuhan Keperawatan Gawat Darurat dan Kritis ini telah disetujui

pada tanggal………………Juni 2022

Menyetujui,

Pembimbing institusi pembimbing Klinik

Ns. Yuliana R.R.Krowa,M.Kep Ns. Nanik Cahyani S.Kep


NIDN: 1516029001 NIP: 1974050319980 3 2002

A. PENGKAJIAN
Tanggal pengkajian : Minggu, 12 Juni 2022
Jam : 16.10
Sumber data : pasien dan rekam medic
a. Identitas pasien
Nama pasien : Ny. N.C
Nomor RM : 22030093
Tanggal lahir : 29-12-1968 (53 tahun).
Jenis kelamin : perempuan
Rujukan :-
Diagnose rujukan : -
Pendidikan pasien : Tidak sekolah.
Pekerjaan : petani
b. Pemeriksaan fisik
Sistem pernapasan
Jalan napas : tampak bersih, tidak ada produksi
sputum.
RR : 25 x/menit
Irama napas : tidak teratur
Suara napas : vesikuler
Sputum : pasien tidak ada sputum.
Penggunaan otot bantu napas : pasien tampak terpasang ventilator
Terpasang ETT : pasien tampak terpasang ETT.
Terpasang ventilator : pasien terpasang ventilator, mode:
bileved 10, TV: 409, RR: 25X/menit, PEEP: 5/10, I:E: ST, FiO2: 40%.
 Inspeksi : bentuk thorax normal/ tidak ada
kelainan bentuk, retraksi interkosta tidak ada, sianosis tidak ada,
tidak terdengar suara napas tambahan seperti stridor.
 Palpasi : tidak ada krepitasi.
 Perkusi : terdengar pekak.
 Auskultasi : suara napas vesikuler, tidak terdengar
suara napas tambahan.
Sistem kardiovaskuler
Nadi : 120 x/menit
Irama : teratur
Tekanan darah : 116/66 mmHg
Pulsasi : tampak kuat
Akral : hangat
Warna kulit : pucat
Nyeri dada : tidak di kaji, karena pasien dalam keadaan koma.
Perdarahan : pasien tampak tidak ada perdarahan.
 Inspeksi : ictus cordis tidak tampak.
 Palpasi : iktus cordis tidak teraba.
 Perkusi :
 Batas atas jantung : ICS 2 linea sternalis dekstra
 Batas bawah jantung : ICS 5 midclavikularis sinistra.
 Batas kanan atas jantung : ICS 4 linea parasternal kanan
 Batas kiri jantung : ICS 4 linea midclavicularis
sinistra.
 Auskultasi : bunyi jantung normal, tidak ada murmur.
Sistem saraf pusat
Kesadaran : koma
GCS : eye: 1 verbal: x motorik: 1

Kekuatan otot :
Tangan kanan kiri
1 1

Kaki 1 1

Keterangan: tidak ada gerakan, kontraksi otot dapat dipalpasi atau di lihat.
Sistem gastrointestinal
Distensi : berdasarkan hasil observasi pasien tidak mengalami distensi.
Peristaltic : pasien mengalami peristaltic usus dengan lamanya
peristaltic : 8x/menit.
Defekasi : 1 kali/hari dengan konsistensi lembek berwarna kuning.
Sistem perkemihan
BAK : pasien tampak menggunakan pampers dan
kateter 16 F.
Warna : tampak berwarna kuning.
Distensi kandung kemih : tidak ada.
Nyeri saat berkemih : tidak di kaji karena pasien dalam keadaan
koma.
Penggunaan catheter urine : pasien tampak menggunakan kateter urin
dengan jumlah urine : 500 cc, warna : kuning pekat.
Sistem hematologi
Perdarahan : tidak ada perdarahan.
Sistem musculoskeletal dan integument
Turgor kulit : elastic
Terdapat luka : tampak ada luka post kraneoctomy dikepala
bagian kanan.
Fraktur : tidak ada fraktur.
Kesulitan bergerak : pasien tampak sulit bergerak karena pasien
merupakan riwayat jatuh di kamar mandi dan pasien dalam keadaan koma.
Penggunaan alat bantu : pasien tampak dibantu oleh perawat dalam
bergerak.
Obstetric dan ginekologi
Hamil : pasien tidak dalam keadaan hamil.
Riwayat kehamilan : tidak di kaji karena pasien dalam koma.
Keluhan : tidak di kaji karena pasien koma.
Alat invasive/ non invasive yang terpasang saat ini
Drain/WSD : pasien tampak terpasang drain dari luka operasi post
kraneoktomi , dengan produksi drain: 200 cc, berwarna: merah.
IV line : pasien terpasang infuse Nacl 0,9% dengan 6
liter/menit.
NGT : pasien tampak terpasang NGT.
Oksigen : pasien tidak terpasang oksigen.
Riwayat psikososial dan spiritual
Psikososial
 Komunitas yang diikuti : tidak di kaji karena pasien dalam keadaan
koma.
 Koping : tidak di kaji karena pasien dalam keadaan koma.
 Afek : tidak di kaji karena pasien dalam keadaan koma.
 Persepsi penyakit : tidak di kaji karena pasien dalam keadaan
koma.
 Hubungan keluarga/orang terdekat : suaminya.

Spiritual

 kebiasaan keluarga/pasien untuk mengatasi stress dari sisi spiritual:


tidak di kaji karena pasien dalam keadaan koma.
c. kebiasaan berdoa atau ibadah : tidak di kaji karena pasien dalam
keadaan koma.
d. Kebutuhan edukasi
Hambatan dalam pembelajaran
Tidak di kaji karena pasien dalam keadaan koma. Tidak ada hambatan
kepada keluarga dalam memberikan edukasi dalam memberikan
perawatan terhadap pasien.
e. Risiko cidera/jatuh
Morse fall scale (MFS) skala jatuh dari morse
Nama pasien : Ny. N.C
Umur : 53 tahun.

No Pengkajian Skala Nilai Ket.

1. Riwayat jatuh: apakah pasien Tidak 0 25 Ya


pernah jatuh dalam 3 bulan
terahkir? Ya 25

2. Diagnose sekunder: apakah Tidak 0 15 Ya


pasien memiliki lebih dari satu
penyakit? Ya 15

3. Alat bantu jalan: 0 0 Pasien bed


 Bed rest/dibantu perawat rest/dibantu
 Kruk/tongkat/walker 15 perawat

 Berpegangan pada benda- 30


benda di sekitar (kursi,
lemari, meja)
4. Terapi intravena: apakah saat ini Tidak 0 20 Pasien
pasien terpasang infuse? terpasang
Ya 20 infuse Nacl
0.9 %

5. Gaya berjalan/cara berpindah: 0 0 Pasien tidak


 Normal/bed dapat
rest/immobile (tidak dapat bergerak
bergerak sendiri) sendiri/bed
 Lemah ( tidak bertenaga) 10 rest.

 Gangguan/tidak normal 20
(pincang/diseret)
6. Status mental 0 15 Pasien
 Pasien menyadari kondisi mengalami
dirinya keterbatasan
 Pasien mengalami 15 daya ingat
keterbatasan daya ingat
Total nilai 75 Resiko
tinggi.

Keterangan: pasien dalam resiko tinggi dengan nilai : 75.


Tidak beresiko : 0-24
Resiko rendah : 25-50
Resiko tinggi : lebih dari 51.
f. Status fungsional
Form Indeks Barthel
Variabel: Kemampuan Fungsional
Merupakan variabel yang digunakan untuk mengukur status fungsional
pada pasien yang mengalami gangguan sistem saraf.
Prosedur tes: Pasien dinilai menggunakan Barthel Index pada awal
treatment, selama masa rehabilitasi, dan pada masa akhir rehabilitasi.

Aktivitas Elemen Penilaian Skor

Makan 0 = Tidak Mampu 0

5 = Memerlukan bantuan seperti, mengoleskan


mentega, atau memerlukan bentuk diet khusus

10= Mandiri/ tanpa bantuan

Mandi 0= Tergantung 0

5= Mandiri

Kerapian/ 0= Memerlukan bantuan untuk menata penampilan 0


Penampilan diri
5= Mandiri (mampu menyikat gigi, mengelap
wajah, menata rambut, bercukur)

Berpakaian 0 = Tergantung/ tidak mampu 0

5= Mandiri (Mampu mengancingkan baju,menutup


resleting)

Buang Air 0= inkontinesia 0


besar

5= Kadang mengalami kesulitan

10= Mandiri

Buang air 0= Inkontinesia, harus dipasang kateter, tidak 0


kecil mampu mengontrol BAK secara mandiri

5= Kadang mengalami kesehatan

10= Mandiri

Penggunaan 0= Tergantung 0
Kamar mandi/
Toilet 5= Perlu dibantu tapi tidak tergantung penuh

10= Mandiri

Berpindah 0 = tidak mampu, mengalami gangguan 0


tempat (dari keseimbangan
tempat tidur
ke tempat 5= memerlukan bantuan (perlu satu atau dua
duduk atau orang) untuk bisa duduk
sebaliknya)
10= Memerlukan sedikit bantuan (hanya diarahkan
secara verbal)

15= Mandiri

Mobilitas 0 = tidak mampu atau berjalan kurang dari 50 0


(berjalan pada meter
permukaan
yang rata) 5 = hanya bisa bergerak dengan kursi roda, lebih
dari 50 meter

10 = berjalan dengan bantuan lebih dari 50 meter


15 = Mandiri (meski menggunakan alat bantu)

Menaiki/ 0 = Tidak mampu 0


menuruni
tangga 5 = Memerlukan bantuan

10 = Mandiri

Kriteria Hasil: pasien ketergantungan penuh.

- 0 – 20 = Ketergantungan penuh
- 21 – 61 = Ketergantungan berat (sangat tergantung)
- 62 – 90 = Ketergantungan moderat
- 91 – 99 = Ketergantungan ringan
100 = Mandiri
g. Skrining status nutrisi
Berdasarkan Malnutrition Screening Tool (MST)
(Lingkari skor sesuai dengan jawaban, Total skor adalah jumlah skor yang
dilingkari):

No Parameter Skor
.

1. Apakah pasien mengalami penurunan berat badan yang


tidak
diinginkan dalam 6 bulan terakhir?

a. Tidak penurunan berat badan


b. Tidak yakin / tidak tahu / terasa baju lebih longgar
c. Jika ya, berapa penurunan berat badan tersebut
1-5 kg
6-10 kg
11-15kg
>15 kg
Tidak yakin penurunannya
2. Apakah asupan makan berkurang karena berkurangnya
nafsu makan?

a. Tidak
b. Ya
Pasien dengan diagnose khusus : pasien mengalami
penyakit jantung sudak sejak tahun 2019.
3.
( Diabetes melitus/Jantung, Ginjal, Paru
paru/Stroke/Kanker? penurunan Imunitas ).
Pasien mengatakan tidak mengalami penurunan berat badan,
akan tetapi pasien mengalami peningkatan berat badan karena edema
yang dialami oleh pasien. Pasien juga mengalami penurunan nafsu
makan, karena pasien mempunyai penyakit jantung

h. Pemeriksaan penunjang

Jenis pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal


RBC 3.41 106/ul 3.80-5.20
HGB 10.4 g/dl 11.5-15.2
HCT 29.8 % 35.0-46.0
MCV 87.5 um3 77.0-97.0
MCH 30.5 pg 26.0-34.0
MCHC 34.9 g/dl 32.0-35.0
M-CV 12.0 % 11.0-17.0
SDW-SD 37.0 Um3 37.0-49.0
PLT 216 103/ul 150-400
PCT 0.19 % 0.15-0.40
MPV 8.7 Um3 8.0-11.0
PDW 12.3 Um3 11.0-22.0
P-LCC 48 103/ul 44-140
P-LCR 22.2 % 18.0-50.0
WBC 14.44 103/ul 3.50-10.00
NEU 10.56 % 40.0-73.0
LYM 2.61 % 18.0-45.0
MON 0.96 % 4.0-12.0
EOS 0.07 % 0.5-7.0
BAS 0.12 % 0.0-2.0
LIC 0.12 % 0.0-1.0
Nama obat Golongan Dosis Rute Indikasi

Ceftriaxon Antibiotic 2 gram/24 jam IV Untuk mencegah


infeksi bakteri.

Neropinefrin Analgetik 1 gram/8 jam IV Obat untuk


menurunkan
tekanan darah
tinggi.

Fentanyl Analgesic dan 300 mcg dalam 50 IV Untuk manajemen


obat bius. ml Nacl 0,9% nyeri
kecepatan 2,1 cc/jam

Paracetamol Analagesik dan 1000 mg tiap 8 jam IV Untuk meredakan


antipiuretik gejala demam dan
nyeri

As. Anti fibrinolitik 1000 mg tiap 8 jam IV Untuk


Tranexamat menghentikan
perdarahan

Fenitoin Antikonvulsan 100 mg tiap 12 jam IV Untuk mengatasi


kejang.

Omeprazole Proton pump 40 mg tiap 12 jam IV Untuk tukak


inhibitor lambung dan tukak
duodenum.

Manitol Diuretic 100 ml tiap 4 jam IV Untuk menurunkan


osmotic peningkatan
tekanan
intracranial

Digoxin Antiaritmia 0,5 mg IV Untuk gagal


jantung dan aritmia
pada dewasa
B. ANALISA DATA

NO DATA MASALAH ETIOLOGI

1. Data subyektif: - Bersihan jalan Hipersekresi


Data obyektif: napas tidak
jalan napas
 Pasien tampak sesak efektif
 Pasien tampak tidak
mampu batuk
 Sputum berlebih
 Frekuensi napas berubah
 Pola napas berubah.
 TTV:
TD: 116/66 mmHg
N: 110 x/menit
S : 36,90 C
RR: 25 x/menit
SPO2: 100 %

2. Data subyektif: - Gangguan Kelelahan otot


Data obyektif: ventilasi
pernapasan
 Tampak sesak spontan
 Tampak menggunakan alat
bantu pernapasa (tampak
terpasang ventilator,
dengan:
 Mode: Bileved 10
 TV: 409
 RR: 25 x/menit
 PEEP: 5/10
 I:E: ST
 FiO2: 40%.
 Takikardi

3. Data subyektif: - Resiko perfusi Cedera kepala


Data obyektif: cerebral tidak
 Tampak luka post op efektif
kraneoktomi di kepala
bagian kanan
 Tampak pasien tidak
sadarkan diri.

C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan hipersekresi jalan
napas.
2. Gangguan ventilasi spontan berhubungan dengan kelelahan otot
pernapasan.
3. Resiko perfusi cerebral tidak efektif kondisi klinis terkait cedera kepala.

D. INTERVENSI KEPERAWATAN

No Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil Intervensi


keperawatan

1. Bersihan jalan Setelah dilakukan Manajemen jalan napas


napas tidak asuhan keperawatan Observasi:
efektif selama 3x24 diharapkan 1. Monitor pola
berhubungan bersihan jalan nafas napas (frekuensi,
kedalaman, usaha
dengan membaik, dengan
napas).
hipersekresi jalan kriteria hasil: 2. Monitor sputum
napas. 1. Produksi sputum (jumlah, warna
menurun dan aroma)
2. Dispnea Terpeutik :
membaik 3. Pertahankan
3. Frekuensi napas kepatenan jalan
membaik napas.
4. Pola napas 4. Posisikan pasien
membaik. semi fowler atau
fowler.
5. Lakukan
penghisapan
lendir kurang dari
15 detik.
6. Lakukan
hiperoksigenasi
sebelum
penghisapan
endotrakeal
Kolaborasi:
7. Kolaborasi
pemberian
ventilator.

2. Gangguan Setelah dilakukan Dukungan ventilasi


ventilasi spontan asuhan keperawatan Observasi:
berhubungan selama 3x24 jam 1. Identifikasi
dengan kelelahan diharapkan ventilasi adanya kelelahan
otot bantu napas
otot pernapasan. spontan meningkat,
2. Identifikasi efek
dengan kriteria hasil: perubahan posisi
1. Volume tidal terhadap status
meningkat pernapasan
2. Dispnea 3. Monitor status
menurun respirasi dan
3. Penggunaan otot oksigenasi
bantu napas Terapeutik:
menurun 4. Pertahankan
4. Takikardi kepatenan jalan
membaik. napas
5. Berikan posisi
semi fowler atau
fowler
Kolaborasi:
6. Kolaborasi
pemberian
ventilator.

3. Resiko perfusi Setelah dilakukan Manajemen peningkatan


cerebral tidak asuhan keperawatan tekanan intracranial
efektif kondisi selama 3x24 jam, Observasi:
klinis terkait diharapkan perfusi 1. Identifikasi
cedera kepala. cerebral meningkat, penyebab
peningkatan TIK
dengan kriteria hasil:
2. Monitor tanda
1. Tingkat dan gejala
kesadaran peningkatan TIK
meningkat 3. Monitor MAP
2. TTV membaik 4. Monitor status
pernapasan
5. Monitor intake
dan output cairan
Terapeutik:
6. Berikan posisi
semi fowler

E. IMPLEMENTASI DAN EVALUASI

No Hari Ja Implementasi Evaluasi


Dx Tangg m
. al

1. Mingg Manajemen jalan napas S: -


u Observasi: O:
12-06- 1. Memonitor pola  Pasien tampak sesak
2022 napas (frekuensi,  Pasien tampak tidak
kedalaman, usaha
mampu batuk
napas).
2. Memonitor  Sputum berlebih
sputum (jumlah,  Frekuensi napas
warna dan aroma)
berubah
Terpeutik :
3. Mempertahankan
kepatenan jalan  Pola napas berubah.
napas.
 TTV:
4. Memposisikan
pasien semi TD: 116/66 mmHg
fowler atau N: 110 x/menit
fowler.
S : 36,90 C
5. Melakukan
penghisapan RR: 25 x/menit
lendir kurang dari SPO2: 100 %
15 detik. A: bersihan jalan napas
6. Melakukan
belum mebaik.
hiperoksigenasi
sebelum P: manajamen jalan napas
penghisapan dilanjutkan
endotrakeal
Kolaborasi:
7. Mengkolaborasi
pemberian
ventilator.

2. Dukungan ventilasi S: -
Observasi: O:
1. Mengidentifikasi  Tampak sesak
adanya kelelahan  Tampak
otot bantu napas menggunakan alat
2. Mengidentifikasi bantu pernapasan
(tampak terpasang
efek perubahan
ventilator, dengan:
posisi terhadap  Mode:
status pernapasan Bileved 10
3. Memonitor status  TV: 409
respirasi dan  RR: 25
oksigenasi x/menit
Terapeutik:  PEEP: 5/10
 I:E: ST
4. Mempertahankan  FiO2: 40%.
kepatenan jalan  Takikardi
napas
A: gangguan ventilasi
5. Memberikan spontan belum meningkat.
posisi semi fowler
P: dukungan ventilasi
atau fowler dilanjutkan.
Kolaborasi:
6. Mengkolaborasi
pemberian
ventilator.

3. Manajemen peningkatan S : -
tekanan intracranial O:
Observasi:  Tampak luka post op
1. Mengidentifikasi kraneoktomi di
kepala bagian kanan
penyebab
 Tampak pasien tidak
peningkatan TIK sadarkan diri.
2. Memonitor tanda
dan gejala A: perfusi cerebral menurun
peningkatan TIK
3. Memonitor MAP P: manajemen peningkatan
tekanan intracranial.
4. Memonitor status
pernapasan
5. Memonitor intake
dan output cairan
Terapeutik:
6. Memberikan
posisi semi fowler

1. Senin, Manajemen jalan napas S: -


13-06- Observasi: 0:
2022 1. Memonitor pola  Pasien tampak sesak
napas (frekuensi,
 Pasien tampak tidak
kedalaman, usaha
napas). mampu batuk
2. Memonitor  Sputum berlebih
sputum (jumlah,
 Frekuensi napas
warna dan aroma)
Terpeutik : berubah
3. Mempertahankan  Pola napas berubah.
kepatenan jalan
 TTV:
napas.
4. Memposisikan TD: 123/70 mmHg
pasien semi N: 179 x/menit
fowler atau
S : 36,60 C
fowler.
5. Melakukan RR: 21 x/menit
penghisapan  SPO2: 99 %
lendir kurang dari
15 detik. A: bersihan jalan napas
6. Melakukan
belum mebaik.
hiperoksigenasi
sebelum
penghisapan P: manajamen jalan napas
endotrakeal
dilanjutkan
Kolaborasi:
7. Mengkolaborasi
pemberian
ventilator.

2. Dukungan ventilasi S: -
Observasi: O:
1. Mengidentifikasi  Tampak sesak
adanya kelelahan  Tampak
otot bantu napas menggunakan alat
2. Mengidentifikasi bantu pernapasa
(tampak terpasang
efek perubahan
ventilator, dengan:
posisi terhadap  Mode:
status pernapasan Bileved 10
3. Memonitor status  TV: 400
respirasi dan  RR: 21
oksigenasi x/menit
Terapeutik:  PEEP: 5/10
 I:E: ST
4. Mempertahankan
kepatenan jalan  FiO2: 40%.
napas  Takikardi
5. Memberikan
A : gangguan ventilasi
posisi semi fowler
spontan belum meningkat.
atau fowler
Kolaborasi: P: dukungan ventilasi
dilanjutkan.
6. Mengkolaborasi
pemberian
ventilator.

3. Manajemen peningkatan S: -
tekanan intracranial O:
Observasi:  Tampak luka post op
kraneoktomi di
1. Mengidentifikasi
kepala bagian kanan
penyebab
 Tampak pasien tidak
peningkatan TIK sadarkan diri.
2. Memonitor tanda
dan gejala A: perfusi cerebral menurun
peningkatan TIK
3. Memonitor MAP P: manajemen peningkatan
4. Memonitor status tekanan intracranial.
pernapasan
5. Memonitor intake
dan output cairan
Terapeutik:
6. Memberikan
posisi semi fowler

1. Selasa, Manajemen jalan napas S: -


14-06- Observasi: O:
2022 1. Memonitor pola  Pasien tampak sesak
napas (frekuensi,
 Pasien tampak tidak
kedalaman, usaha
napas). mampu batuk
2. Memonitor
sputum (jumlah,
warna dan aroma)  Sputum berlebih
Terpeutik :
 Frekuensi napas
3. Mempertahankan
berubah
kepatenan jalan
napas.  Pola napas berubah.
4. Memposisikan  TTV:
pasien semi
TD: 110/60 mmHg
fowler atau
fowler. N: 121 x/menit
5. Melakukan S : 36,00 C
penghisapan
RR: 24 x/menit
lendir kurang dari
15 detik.  SPO2: 99%
6. Melakukan A: bersihan jalan napas
hiperoksigenasi belum mebaik.
sebelum
P: manajamen jalan
penghisapan
endotrakeal napas dilanjutkan
Kolaborasi:
7. Mengkolaborasi
pemberian
ventilator.

2. Dukungan ventilasi S :-
Observasi: O:
1. Mengidentifikasi  Tampak sesak
adanya kelelahan  Tampak
otot bantu napas menggunakan alat
2. Mengidentifikasi bantu pernapasa
(tampak terpasang
efek perubahan
ventilator, dengan:
posisi terhadap  Mode:
status pernapasan Bileved 10
3. Memonitor status  TV: 409
respirasi dan  RR: 25
oksigenasi x/menit
 PEEP: 5/10
Terapeutik:  I:E: ST
 FiO2: 40%.
4. Mempertahankan
 Takikardi
kepatenan jalan
napas A: gangguan ventilasi
5. Memberikan spontan belum meningkat.
posisi semi fowler
P: dukungan ventilasi
atau fowler
Kolaborasi: dilanjutkan.
6. Mengkolaborasi
pemberian
ventilator.

3. Manajemen peningkatan S :-
tekanan intracranial O:
Observasi:  Tampak luka post op
kraneoktomi di
1. Mengidentifikasi
kepala bagian kanan
penyebab
 Tampak pasien tidak
peningkatan TIK sadarkan diri.
2. Memonitor tanda
dan gejala A: perfusi cerebral menurun
peningkatan TIK
3. Memonitor MAP P: manajemen peningkatan
4. Memonitor status tekanan intracranial.
pernapasan
5. Memonitor intake
dan output cairan
Terapeutik:
6. Memberikan
posisi semi fowler
RESUME KEPERAWATAN PADA TN. I.G.Y.P DENGAN

CEDERA KEPALA RINGAN

DI ICU IGD RSUP SANGLAH DENPASAR

OLEH

NAMA: MARIA HELENA NEI

NPM: 20213024
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA SANTU PAULUS RUTENG

2021/2022
LEMBAR PERSETUJUAN

Resume Keperawatan Gawat Darurat dan Kritis ini telah disetujui

pada tanggal………………Juni 2022

Menyetujui,

Pembimbing institusi pembimbing Klinik

Ns. Yuliana R.R.Krowa,M.Kep Ns. Nanik Cahyani S.Kep


NIDN: 1516029001 NIP: 1974050319980 3 2002

A. PENGKAJIAN
Tanggal pengkajian : Rabu, 08 Juni 2022
Jam : 11.00
Sumber data : rekam medis
a. Identitas pasien
Nama pasien : Tn. I.G.Y.P
Nomor RM : 22028958
Tanggal lahir : 14-08-1967 (umur 54 tahun)
Jenis kelamin : laki-laki
Rujukan : RSU Negara.
Diagnose rujukan : CKR+hemiparesis
Pendidikan pasien : SMA
Pekerjaan : PNS
b. Pemeriksaan fisik
Sistem pernapasan
Jalan napas : tampak bersih, tidak ada penumpukan
sekret.
RR : 10/20
Irama napas : tidak teratur
Suara napas : vesikuler
Sputum : pasien tidak tampak ada produksi
sputum
Penggunaan otot bantu napas : pasien terpasang ventilator untuk
membantu pernapasan.
Terpasang ETT : pasien tampak terpasang ETT
Terpasang ventilator : pasien tampak menggunakan
ventilator. Mode: pc-SIM V10, TV: 440, RR: 10/20, PEEP: 5/8, I:E:…..,
FiO2: 40%.
Sistem kardiovaskuler
Nadi : 120 x/menit.
Irama : teratur.
Tekanan darah : 139/72 mmHg
Pulsasi : kuat
Akral : hangat
Warna kulit : pucat
Nyeri dada : tidak dikaji karena pasien koma.
Perdarahan : tidak ada perdarahan.
Sistem saraf pusat
Kesadaran : koma
GCS : eye: 1, verbal: 0, motorik: 1
Kekuatan otot :
Tangan kanan kiri
0 0
Kaki
0 0
Interprestasi: pasien dalam keadaan koma, sehingga kontraksi otot tidak
terdeteksi (paralisis sempurna)
Alat invasive/non invasive yang terpasang saat ini
Drain/wsd : pasien terpasang drain subdural dengan NGT no.8, produksi
50 cc.
Iv line : pasien terpasang infuse Nacl 0,9% dengan 8 liter/menit.
NGT : pasien terpasang NGT fr 16.
Oksigen : pasien tidak terpasang oksigen.
c. Resiko jatuh
Morse Fall Scale (MFS) skala jatuh dari Morse
Nama pasien : Tn. I.G.Y.P
Umur : 54 tahun

No Pengkajian Skala Nilai Ket.


1. Riwayat jatuh: apakah pasien pernah jatuh Tidak 0 0 Tidak ada
dalam 3 bulan terahkir?
Ya 25

2. Diagnose sekunder: apakah pasien memiliki Tidak 0 0 Ya


lebih dari satu penyakit?
Ya 15

3. Alat bantu jalan: 0 0 Pasien bed


 Bed rest/dibantu perawat rest/dibantu
 Kruk/tongkat/walker 15 perawat

 Berpegangan pada benda-benda di 30


sekitar (kursi, lemari, meja)
4. Terapi intravena: apakah saat ini pasien Tidak 0 20 Pasien
terpasang infuse? terpasang
Ya 20 infuse Nacl
0.9 %

5. Gaya berjalan/cara berpindah: 0 0 Pasien tidak


 Normal/bed rest/immobile (tidak dapat
dapat bergerak sendiri) bergerak
 Lemah ( tidak bertenaga) 10 sendiri/bed
rest.
 Gangguan/tidak normal 20
(pincang/diseret)
6. Status mental 0 15 Pasien
 Pasien menyadari kondisi dirinya mengalami
ketrbatasan
 Pasien mengalami keterbatasan daya 15 daya ingat.
ingat
Total nilai 35 Resiko
rendah.

Keterangan:
Tidak beresiko : 0-24
Resiko rendah : 25-50
Resiko tinggi : lebih dari 51
d. Status fungsional
Form Indeks Barthel

Variabel: Kemampuan Fungsional

Merupakan variabel yang digunakan untuk mengukur status fungsional pada


pasien yang mengalami gangguan sistem saraf.

Prosedur tes: Pasien dinilai menggunakan Barthel Index pada awal treatment,
selama masa rehabilitasi, dan pada masa akhir rehabilitasi

Aktivitas Elemen Penilaian Skor

Makan 0 = Tidak Mampu 0

5 = Memerlukan bantuan seperti, mengoleskan


mentega, atau memerlukan bentuk diet khusus

10= Mandiri/ tanpa bantuan

Mandi 0= Tergantung 0

5= Mandiri

Kerapian/ 0= Memerlukan bantuan untuk menata penampilan 0


Penampilan diri

5= Mandiri (mampu menyikat gigi, mengelap


wajah, menata rambut, bercukur)

Berpakaian 0 = Tergantung/ tidak mampu 0

5= Mandiri (Mampu mengancingkan baju,menutup


resleting)

Buang Air 0= inkontinesia 0


besar
5= Kadang mengalami kesulitan

10= Mandiri

Buang air 0= Inkontinesia, harus dipasang kateter, tidak 0


kecil mampu mengontrol BAK secara mandiri

5= Kadang mengalami kesehatan

10= Mandiri

Penggunaan 0= Tergantung 0
Kamar mandi/
Toilet 5= Perlu dibantu tapi tidak tergantung penuh

10= Mandiri

Berpindah 0 = tidak mampu, mengalami gangguan 0


tempat (dari keseimbangan
tempat tidur
ke tempat 5= memerlukan bantuan (perlu satu atau dua
duduk atau orang) untuk bisa duduk
sebaliknya)
10= Memerlukan sedikit bantuan (hanya diarahkan
secara verbal)

15= Mandiri

Mobilitas 0 = tidak mampu atau berjalan kurang dari 50 0


(berjalan pada meter
permukaan
yang rata) 5 = hanya bisa bergerak dengan kursi roda, lebih
dari 50 meter

10 = berjalan dengan bantuan lebih dari 50 meter

15 = Mandiri (meski menggunakan alat bantu)

Menaiki/ 0 = Tidak mampu 0


menuruni
tangga 5 = Memerlukan bantuan
10 = Mandiri

Kriteria Hasil: pasien ketergantungan penuh.

- 0 – 20 = Ketergantungan penuh
- 21 – 61 = Ketergantungan berat (sangat tergantung)
- 62 – 90 = Ketergantungan moderat
- 91 – 99 = Ketergantungan ringan
100 = Mandiri
e. Skrining status nutrisi
Berdasarkan Malnutrition Screening Tool (MST)
(Lingkari skor sesuai dengan jawaban, Total skor adalah jumlah skor yang
dilingkari):

No Parameter Skor
.

1. Apakah pasien mengalami penurunan berat badan yang


tidak
diinginkan dalam 6 bulan terakhir?

a. Tidak penurunan berat badan

b. Tidak yakin / tidak tahu / terasa baju lebih longgar

c. Jika ya, berapa penurunan berat badan tersebut

1-5 kg

6-10 kg

11-15kg

>15 kg

Tidak yakin penurunannya


2. Apakah asupan makan berkurang karena berkurangnya
nafsu makan?

a. Tidak

b. Ya

Pasien dengan diagnose khusus : pasien mengalami


penyakit jantung sudak sejak tahun 2019.
4.
( Diabetes melitus/Jantung, Ginjal, Paru
paru/Stroke/Kanker? penurunan Imunitas ).
Tidak di kaji karena pasien dalam keadaan koma.
B. ANALISA DATA

No Data Masalah Etiologi

1. Data subyektif: - Gangguan ventilasi Kelelahan otot


Data obyektif:
spontan pernapasan
 Pasien tampak sesak
 Pasien tampak
menggunakan otot
bantu napas
 Volume tidal menurun
 Tampak takikardi

C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Gangguan ventilasi spontan berhubungan dengan kelelahan otot pernapasan
D. RENCANA KEPERAWATAN

No Diagnose Tujuan dan kriteria Intervensi


keperawatan hasil

1. Gangguan Setelah diberikan Dukungan ventilasi


ventilasi spontan asuhan keperawatan Observasi:
berhubungan selama 1x 8 jam, 1. Identifikasi
dengan kelelahan diharapkan ventilasi adanya kelelahan
otot pernapasan spontan meningkat, otot bantu napas
dengan kriteria hasil: 2. Monitor status
1. Volume tidal respirasi dan
meningkat oksigenasi
2. Dispnea Terapeutik:
menurun 3. Pertahankan
3. Penggunaan otot kepatenan jalan
bantu napas napas
menurun 4. Berikan posisi
4. Takikardi semi fowler atau
membaik fowler.
5. Berikan oksigen
sesuai kebutuhan
Kolaborasi
6. Koloborasi dalam
pemberian
ventilator.

E. IMPLEMENTASI DAN EVALUASI


No Hari Jam Implementasi Evaluasi
dx. Tanggal

1. Rabu, 08.00- Dukungan ventilasi S: -


09-06- 14.00 Observasi:
2022 1. Mengidentifikasi O:
adanya kelelahan  Pasien
otot bantu napas tampak sesak
2. Memonitor status  Pasien
respirasi dan tampak
oksigenasi menggunakan
Terapeutik: otot bantu
3. Mempertahankan napas
kepatenan jalan  Volume tidal
napas menurun
4. Memberikan posisi  Tampak
semi fowler atau takikardi
fowler.  TTV
5. Memberikan oksigen TD : 127/67
sesuai kebutuhan mmHg
Kolaborasi N : 140
6. Mengkoloborasi x/menit
dalam pemberian S : 39,80C.
ventilator. RR : 26
x/menit
SPO2 : 99%.
A: ventilasi spontan
menurun.

P: dukungan
ventilasi
RESUME KEPERAWATAN PADA NY. I.W. S DENGAN
CARSIONOMA NASOFARING DI ICU IGD SANGLAH DENPASAR

OLEH
NAMA: MARIA HELENA NEI
NPM: 21203024

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA SANTU PAULUS RUTENG

2021/2022
LEMBAR
PERSETUJUAN

Resume keperawatan gawat darurat dan kritis ini telah disetujui pada
tanggal………Juni 2022

Menyetujui

Pembimbing Institusi Pembimbing Klinik

Ns. Yuliana R.R. Krowa, M. Kep Ns. Nanik Cahyani S.Kep


NIDN: 1516029001 NIP: 1974050319980 3 2002

IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien (inisial) : Tn. I.W. S
Nomor RM : 22013641
Tanggal Lahir : 02-10-1956
Jenis Kelamin : Laki – laki
Rujukan :-
Diagnosis Rujukan : Karsinoma Nasofaring
Alasan Masuk : Pasien masuk dengan dengan penurunan
kesadaran dan tampak gelisah.
Pendidikan Pasien :SMP
Pekerjaan : Petani
Alaamat : Selemadeg Timur, Tabanan, Bali.
Status perkawinan : Menikah
Tanggal MRS : 31-05-2022
PEMERIKSAAN FISIK
Sistem Pernapasan
Jalan Napas : Tampak tidak bersih. Ada sumbatan : secret
RR : 12/ 19 dengan Tipe venti ACPC 10 . Fi02 : 60%
Irama Napas : Tampak tidak teratur
Kedalaman : Dangkal
Suara Napas :Auskultasi Gurgling
Kelainan dinding thoraks : Tidak ada kelaianan, pergerakan dinding thoraks simetris
Sputum : Warna : Cokelat Konsistensi : Chair Penggunaan Otot Bantu Napas:
Pasien Tampak menggunakan Otot Bantu pernapasan
Terpasang ETT: Ukuran 7,5.
Terpasang Ventilator Tipe ACPC 10, TV : 226 RR: 12/19 PEEP/ CPAP :4/-,Irama EKG
Sinus Rhythm FiO2 : 60 % SP02 : 100 % , Tidal volume 394
Sistem Kardiovaskuler
Nadi: 77 kali/menit CRT : < 3 Detik
Irama : Teratur
Tekanan darah :95/59 mmHg MAP : 73
Pulsasi : Kuat
Akral : Hangat
Warna kulit : Tampak pucat
Nyeri dada : Pasien tidak ada nyeri dada
Perdarahan : Tidak tampak perdarahan

Sistem Saraf Pusat


Kesadaran : Coma
GCS : Eye:1 Verbal:x Motorik:: 1
Total:2 Kesimpulan: Berdasarkan GCS Pada Tn. W. S adalahh 2
yaitu dalam tingkat kesadaran koma
Kekuatan Otot : 5 5

5 5
Interpretasi:
0 Kontraksi otot tidak terdeteksi (paralisis sempurna)
1 Tidak ad agerakan, kontraksi otot dapat dipalpasi atau dilihat
2 Gerakan otot penuh, melawan gravitasi dengan topangan
3 Gerakan yang normal melawan gravitasi
4 Gerakan penuh yg normal melawan gravitasi dan melawan tahanan
minimal
5 Kekuatan otot normal, melawan gravitasi dan tahanan penuh
Sistem Gastrointestinal
Distensi : √Tidak
Peristaltik : √ Ya, Lama: 20 kali/menit
Defekasi : Paien belum BAB selama perawatan di ICU
Sistem Perkemihan
BAK : 700 cc/ 7 jam
Warna: Kuning
Distensi Kandung Kemih : Tidak ada distensi kandung kemih
Nyeri saat berkemih : Pasien tampak tidak sadarkan diri sehingga tidak bisa
mengkaji nyeri saat BAK., dan dalam skala behavior pain scale 3
Penggunaan catheterurine:Pasien terpasang later No. 16
Jumlah urine : 700cc/7 jam, Warna: Kuning

Alat invasive/non invasive yang terpasang saat ini

Drain/WSD: Pasien tidak terpasang drain .

IV Line :Infus RL 20 tetes/menit

NGT : Ya, Pasien terpasang NGT Warna : bening Jumlah: 2-3 cc pada saat cek
residu

Oksigen : Pasien terpasang ventilator tipe Bilevel 15 dengan F102 50%.

Pasien terpasang ETT ukuran 7,5 pada tanggal 3 juni 2022.

Pasien terpasang kateter urin No. 16 pada tanggal 4 juni 2022


RISIKO CIDERA/JATUH
Morse fall scale (MFS) skala jatuh dari morse.

No Pengkajian Skala Nilai Ket.

1. Riwayat jatuh: apakah pasien pernah Tidak 0 0 Tidak


jatuh dalam 3 bulan terahkir? ada
Ya 25

2. Diagnose sekunder: apakah pasien Tidak 0 15 Ya


memiliki lebih dari satu penyakit?

Ya 15

3. Alat bantu jalan: 0 0 Pasien


 Bed rest/dibantu perawat bed
 Kruk/tongkat/walker 15 rest/diba
ntu
 Berpegangan pada benda-benda 30
perawat
di sekitar (kursi, lemari, meja)
4. Terapi intravena: apakah saat ini pasien Tidak 0 20 Pasien
terpasang infuse? terpasang
Ya 20
infuse
Nacl 0.9
%

5. Gaya berjalan/cara berpindah: 0 0 Pasien


 Normal/bed rest/immobile tidak
(tidak dapat bergerak sendiri) dapat
 Lemah ( tidak bertenaga) 10 bergerak
sendiri/b
 Gangguan/tidak normal 20
ed rest.
(pincang/diseret)
6. Status mental 0 0 Pasien
 Pasien menyadari kondisi menyada
dirinya ri kondisi
 Pasien mengalami keterbatasan 15 dirinya.
daya ingat
Total nilai 35 Resiko
rendah.
Keterangan:
Tidak beresiko : 0-24
Resiko rendah : 25-50
Resiko tinggi : lebih dari 51.

STATUS FUNGSIONAL
Form Indeks Barthel
Variabel: Kemampuan Fungsional
Merupakan variabel yang digunakan untuk mengukur status fungsional pada
pasien yang mengalami gangguan sistem saraf.
Prosedur tes: Pasien dinilai menggunakan Barthel Index pada awal treatment,
selama masa rehabilitasi, dan pada masa akhir rehabilitasi.

Aktivitas Elemen Penilaian Skor

Makan 0 = Tidak Mampu 0

5 = Memerlukan bantuan seperti, mengoleskan mentega,


atau memerlukan bentuk diet khusus

10= Mandiri/ tanpa bantuan

Mandi 0= Tergantung 0

5= Mandiri

Kerapian/ 0= Memerlukan bantuan untuk menata penampilan diri 0


Penampilan
5= Mandiri (mampu menyikat gigi, mengelap wajah,
menata rambut, bercukur)

Berpakaian 0 = Tergantung/ tidak mampu 0


5= Mandiri (Mampu mengancingkan baju,menutup
resleting)

Buang Air 0= inkontinesia 0


besar

5= Kadang mengalami kesulitan

10= Mandiri

Buang air kecil 0= Inkontinesia, harus dipasang kateter, tidak mampu 0


mengontrol BAK secara mandiri

5= Kadang mengalami kesehatan

10= Mandiri

Penggunaan 0= Tergantung 0
Kamar mandi/
5= Perlu dibantu tapi tidak tergantung penuh
Toilet
10= Mandiri

Berpindah 0 = tidak mampu, mengalami gangguan keseimbangan 0


tempat (dari
5= memerlukan bantuan (perlu satu atau dua orang)
tempat tidur ke
untuk bisa duduk
tempat duduk
atau 10= Memerlukan sedikit bantuan (hanya diarahkan
sebaliknya) secara verbal)

15= Mandiri

Mobilitas 0 = tidak mampu atau berjalan kurang dari 50 meter 0


(berjalan pada 5 = hanya bisa bergerak dengan kursi roda, lebih dari 50
permukaan meter
yang rata)
10 = berjalan dengan bantuan lebih dari 50 meter

15 = Mandiri (meski menggunakan alat bantu)

Menaiki/ 0 = Tidak mampu 0


menuruni
5 = Memerlukan bantuan
tangga
10 = Mandiri

Kriteria Hasil: pasien ketergantungan penuh karena pasien dalam keadaan koma.

- 0 – 20 = Ketergantungan penuh
- 21 – 61 = Ketergantungan berat (sangat tergantung)
- 62 – 90 = Ketergantungan moderat
- 91 – 99 = Ketergantungan ringan
100 = Mandiri

NYERI
Nyeri : √Tidak Ya, jika Ya
(P) Penyebab : tidak terkaji
(Q) Kualitas : tidak terkaji
(R) Area/Regio : tidak terkaji
(S) Skala : 3 (berdasarkan Behaviour Pain Scale)

Gunakan skala di atas untuk mengukur skala nyeri pasien anak atau dewasa yang sadar,
komunikatif, dan tidak terintubasi. Gunakan CPOT untuk mengukur skala nyeri pasien
dengan intubasi (lampirkan lembar CPOT dan skor).
(T) Waktu : tidak terkaji
Nyeri Hilang dengan: tidak terkaji
Nyeri mempengaruhi: tidak terkaji karena pasien diberikan obat –obatan sedasi.
N KATEGORI NILAI SKOR
O EKPRESI WAJAH
1 Netral, Rileks Tak tampatk kontraksi otot wajah 0 0
Tegang Dahi mengerut, alis mata menurun, orbital 1 1
dan levatror mengencang atau perubahan
lain seperti membuka mata atau menangis
selama prosedur dilakukan
Meringis Semua gerakan diatas di tambah kelopak 2 0
mata menutup rapat
GERAKAN TUBUH
2 Posisi Normal Tidak bergerak sama sekali 0 0

Perlindungan Gerakan lambat berusaha menyentuh daerah 1 0


nyeri
Gelisah/ Berusaha menarik tabung atau mencabut 2 2
Agitasi selang, berusaha duduk, menggerakan kaki
dan meronta, tidak mengikuti perintah,
menyerang perawat, berusaha keluar dari
tempat tidur
3 Mengikuti ventilator ( Terintubasi )
Ventilator Alaram tidak berbunyi , Ventilasi lancer 0 0
toleransi
terhadap
pergerakan
Batuk tapi Batuk , alarm bunyi tetapi berhenti sendiri 1 0
masih toleransi
Melawan Asinkron, Ventilator terhambat, alarm 2 0
ventilator sering bunyi
4 Ketegangan otot ( Dengan cara mengevaluasi pada saat melakukan fleksi dan
ekstensi pasif ekstermitas atas saat pasien istrhat atau pindah posisi )
Relaks Tidak melawan saat dipindah posisikan 0 0
Tegang, Kaku Melawan saat di pindah posisikan 1 1
Sangat tegang, Melawan dengan sangat kuat saat dipindah 2 0
kaku posisikan
TOTAL 4
Keterangan :
Skor 0 : Tidak nyeri
Skor 1-2 : Nyeri ringan
Skor 3-4 : Nyeri sedang
Skor 5-6 : Nyeri Berat
Skor 7-8 : Nyeri sangat berat
Berdasarkan skala CPOT Ny. R. W dalam skala nyeri 4 yaitu dengan skala
nyeri sedang
SKALA BEHAVIOR PAIN SCALE
NO EKSPRESI WAJAH SKOR NILAI
1. Rileks 1 1
2. Tegang partial 2
3. Tegang
4. Tegang dan meringis
EKSTREMITAS ATAS
1 Tidak bergerak 1 1
2 Menekuk partial 2
3 Menekuk dengan fleksi jari 3
4 Retraksi permanen 4
COMPLIENCE DENGAN VENTILASI
1 Toleransi baik 1
2 Batuk , toleransi dengan 2
ventilasi
3 Figthing Ventilator 3
4 Tidak dapat mengontrol 4
ventilasi
TOTAL 3
Berdasarkan skala BPS Tn. W. S dalam skala nyeri sedang dan
mendapatkan terapi sedasi ras -4

ANALISA DATA

No DATA MASALAH ETIOLOGI


1. Subyektif : - Bersihan jalan Hipersekresi jalan
Obyektif : napas tidak napas
1. Keadaan umum : Sakit berat efektif
Kesadaran : Pasien dengan RASS
-4 ( Sedasi dalam .
2. TD : 95/59 mmHg
Nadi : 77 x/ menit
MAP : 73
Pulsasi : kuat
Akral : hangat
Pasien tampak dengan :
3. Jalan Napas : Tampak tidak
bersih. Ada sumbatan : secret
4. Pasien tampak tidak bisa batuk
atau mengeluarkan secret sendiri
5. RR : 12/ 19 dengan Tipe venti
ACPC 10 . Fi02 : 60%
6. Irama Napas : Tampak tidak
teratur
7. Kedalaman : Dangkal
8. Suara Napas : Gurgling
9. Sputum : Warna : Cokelat
Konsistensi : Cair
Diagnosa Keperawatan
1. Bersihan jalan napas tidak efektif b/d hipersekresi jalan napas

RENCANA KEPERAWATAN
NO DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI
KEPERAWATAN (SMART) (ONEC)
1. Bersihan jalan napas Setelah dilakukan tindakan Manjemen jalan napas :
tidak efektif b/d keperawatan selama 1x8  Observasi
hipersekresi jalan jam, diharapkan bersihan 1. Monitor pola napas
napas jalan napas pasien ( frekuensi, kedalaman, usaha
meningkat dengan kriteria napas)
hasil: 2. Monitor bunyi napas
1. Batuk efektif tambahan (mis, mengi,
meningkat wheezing, gurgling, rnkhi
2. Produksi sputum kering)
menurun 3. Monitor sputum
3. Dispnea membaik  Terapeutik
4. Sianosis membaik 4. Pertahankan kepatenan jalan
5. Gelisah membaik napas dengan head-tilt dan
6. Frekuensi napas chin-lift (jaw thrust jika curiga
membaik trauma servikal)
7. Pola napas membaik 5. Posisikan semi fowler atau
fowler
6. Lakukan penghisapan lendir
kurang dari 15 detik
7. Lakukan hiperoksigenasi
sebelum penghisapan ETT
8. Berikan oksigen
 Kolaborasi :
Kolaborasi pemberian
bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik, jika perlu.

IMPLEMENTASI DAN EVALUASI


NOD HARI/ JAM IMPLEMENTASI EVALUASI PARA
x TGL F
1. Sabtu, 11 08.3 1. Memonitor pola S:-
0 napas O :Keadaan
Juni 2022
( frekuensi, umum : sedang.
kedalaman, Kesadaran :
08.3 usaha napas) Pasien dengan
5 2. Memonitor RASS -4 ( Sedasi
bunyi napas sedang)
tambahan (mis, TD : 110/70
mengi, mmHg
08.4 wheezing, Nadi : 98 x/ menit
0 gurgling, rnkhi MAP : 83
08.4 kering) Pulsasi : kuat
5 3. Memonitor Akral : hangat
sputum 1. Jalan
4. Mempertahanka napas
n kepatenan tampak
jalan napas tidak
09.0 dengan head-tilt bersih,
0 dan chin-lift masih ada
(jaw thrust jika secret
09.1 curiga trauma berwarna
0 servikal) cokelat,
5. Memposisikan dengan
semi fowler atau konsistens
09.1 fowler i cair
5 6. Melakukan 2. Pasien
penghisapan tampak
lendir kurang tidak bisa
09.2 dari 15 detik batuk atau
0 7. Melakukan mengeluar
09.2 hiperoksigenasi kan secret
5 sebelum sendiri
penghisapan 3. RR
ETT : 12/ 19
8. Memberikan dengan
oksigen Tipe venti
9. Mengkolaborasi ACPC 10 .
pemberian Fi02 :
bronkodilator, 60%
ekspektoran, 4. Irama
mukolitik, jika napas
perlu. pasien
tampak
tidak
teratur dan
tidak ada
kedalaman
pernapasa
n
5. Tampak
terdengar
suara
napas
tambahan :
gurgling
6. Pola napas
pasien
tampak
berubah
7. Pasien
tampak
lebih
tenang.
A : Bersihan jalan
napas tidak efektif
belum teratasi
P : Intervensi
dilanjutkan :
Manjemen jalan
napas :
 Observasi
1. Monitor pola
napas
( frekuensi,
kedalaman,
usaha napas)
2. Monitor
bunyi napas
tambahan
(mis, mengi,
wheezing,
gurgling,
rnkhi kering)
3. Monitor
sputum
 Terapeutik
4. Pertahankan
kepatenan
jalan napas
dengan
head-tilt dan
chin-lift (jaw
thrust jika
curiga
trauma
servikal)
5. Posisikan
semi fowler
atau fowler
6. Lakukan
penghisapan
lendir
kurang dari
15 detik
7. Lakukan
hiperoksigen
asi sebelum
penghisapan
ETT
8. Berikan
oksigen
 Kolaborasi :
1. Kolaborasi
pemberian
bronkodilato
r,
ekspektoran,
mukolitik,
jika perlu.

Anda mungkin juga menyukai