I DENGAN
OLEH
NPM: 20213024
2021/2022
LEMBAR PERSETUJUAN
Laporan praktik Keperawatan Gawat Darurat dan Kritis ini telah disetujui
Menyetujui,
LAPORAN PENDAHULUAN
1. Anatomi kepala
Pada Kulit kepala terdri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu:
Skin atau kulit
Sifatnya tebal dan mengandung rambut serta kelenjar keringat.
Connective Tissue atau jaringan subkutis
Merupakan jaringan kat lemak yang memiliki septa-septa, kaya
akan pembuluh darah terutama di atas Galea. Pembuluh darah
tersebut merupakan anastommistis antara arteri karotis interna dan
eksterna, tetapi lebih dominan arteri karotis eksterna.
Aponeurosis galea
Lapisan ini merupakan lapisan terkuat, berupa fascia yang melekat
pada tiga otot Japardi, yaitu :
a. ke anterior – m. frontalis
b. ke posterior – m. occipitslis
c. ke lateral – m. temporoparietalis
Ketiga otot ini dipersarafi oleh nervus fasialis.
Loose areolar tissue atau jaringan ikat longgar
Lapisan ini mengandung vena emissary yang merupakan vena
tanpa katup (valveless vein), yang menghubungkan SCALP, vena
diploica, dan sinus vena intrakranial (misalnya Sinus sagitalis
superior). Jika terjadi infeksi pada lapisan ini, akan muda
menyebar ke intrakranial. Hematoma yang tebentuk pada lapisan
ini disebut Subgaleal hematom, merupakan hematoma yang paling
sering ditemukan setelah cedera kepala
Pericranium (perikranium).
Merupakan periosteum yang melapisi tulang tengkorak,
melekat erat terutama pada sutura karena melalui sutura ini
periosteum akan langsung berhubngan dengan endosteum (yang
melapisi permukaan dalam tulang tengkorak).
Hematoma di antara lapisan periosteum dan tulang tengkorak
disebut Cephal hematoma (sub-periosteal hematoma). Hematoma
ini terutama terjadi pada neonates, disebabkan oleh pergesekan dan
perubahan bentuk tulang tengkorak saat dijalan lahir, atau terjadi
setelah fraktur tulang tengkorak.
Hematoma ini biasanya terbatas pada satu tulang (dibatasi oleh
sutura), dan terfiksasi pada perabaan dari luar, sedangkan lapisan
lapisan kulit di atasnya dapat digerakkan dengan mudah.
Hematoma ini akan diabsorbsi sendiri. Selaput otak
(meningien) adalah selaput yang membungkus otak dan sumsum
tulang belakang untuk mrlindungi struktur syaraf yang halus,
membawa pembuluh darah dan cairan sekresi serebrospinalis,
meperkecil benturan atau getaran pada otak dan sumsum tulang
belakang. Selaput otak terdiri dari tiga lapisan yaitu :
Duramater Selaput keras pembungkus otak yang berasal
dari jaringan ikat tebal dan kuat. Pada bagian tengkorak
terdiri dari periost (selaput) tulang tengkorak dan
durameter propia bagian dalam. Duramater ditempat
tertentu mengandung rongga yang mengalirkan darah dari
venaotak. Rongga ini dinamakan sinus vena. Diafragma
sellae adalah lipatan berupa cincin dalam duramater
menutupi sel tursika sebuah lekukan pada tulang stenoid
yang berisi kelenjar hipofi sis.
Araknoidea Selaput tipis yang membentuk sebuah balon
yang berisi cairan otak yang meliputi susunan saraf sentral.
Otak dan medulla spinalis berada dalam balon yang berisi
cairan itu. Kantong-kantong araknoid ke bawah berakhir di
bagian sacrum, medulla spinalis berhenti setinggi lumbal I-
II. Dibawah lumbal II kantong berisi cairan hanya terdapat
saraf-saraf perifer yang keluar dari media spinalis. Pada
bagian ini tidak ada medulla spinalis. Hal ini dimanfaatkan
untuk pengambilan cairan otak yang disebut pungsi lumbal.
Piameter Selaut tipis yang terdapat pada permukaan
jaringan otak, piamaeter yang berhubungan dengan
araknoid melalui struktur jaringan ikat yang disebut
trebekhel.
2. Fisologis Cairan Otak (Tekanan Intrakranial)
Tekanan intrakrania (TIK) adalah tekanan realtif di dalam rongga
kepala yang dihasilkan poleh keberadaan jaringan otak, cairan
serebrospinal (CSS), dan volume darah yang bersirkulasi di otak.
Menurut hipotesa Monro-Kellie, adanya peningkatan volume pada
satu komponen haruslah dikompensasikan dengan penurunan volume
salah satu dari komponen lainnya. Dengan kata lain, terjadinya
peningkatan tekanan intrakrainial selalu diakbbatkan oleh adanya
ketidakseimbangan antara volume intracranial dengan isi cranium. Adanya
suatu penambahan massa intrakranial, maka sebagai kompenasasi awal
adalah penurunan volume darah vena dan cairan serebro spinal secara
resprokal. Keadaan ini dikenal sebagai doktrin Monro-Kellie Burrows,
yang telah dibuktikkan melalui berbagai penelitian eksperimental maupun
klinis (kecuali pada anak-anak dimana sutura tulang tengkoraknya masih
belum menutp, sehingga masih mampu mengakomodasi penambahan
volume intrakranial). System vena akan menyempit bahkan kolaps dan
darah akan diperas ke luar melalui vena jigularis atau mellaui vena-vena
emisaria dan kullit kepala. Kompensasi selanjunya adalah CSS juga akan
terdesak melalui foramen magnum kea rah rongga subarachnoid spinalis.
Mekanisme kompenasi ini hanya berlangsung sampai batastertentu
yang disebut sebagai titik batas kompensasi dan kemudian akan terjadi
peningkatan tekanan intrakranial yang hebat secara tiba-tiba. Parenkin
otak dan darah tidak ikut serta dalam mekanisme kompenasi tersebut di
atas. Kenaikan TIK lebih dari 10 mmHg dikategorikan sebagai keadaan
yang patologis (hipertensi intrakranial), keadaan ini berpotensi merusak
otak serta berakibat fatal. Secara garis besar kerusakan otak akibat tekanan
tinggi intrakranial (TTIK) terjadi melalui dua mekanisme, yaitu pertama
adalah sebagai akibat gangguan aliran darah serebral dan kedua adalah
sebaga akibat proses mekanisme pergeseran otak yang kemudian
menimbulkan pergeseran dan herniasi jaingan otak.
B. DEFINISI
Cedera Kepala, dikenal juga sebagai cedera otak, adalah gangguan
fungsi otak normal karena trauma ( trauma tumpul dan trauma tusuk ).
Defisit neurologis terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia dan
pengaruh masa karena hemoragi, serta edema serebral di sekitar jaringan
otak. Jenis-jenis cedera otak meliputi komosio, kontusio serebri, kontusio
batang otak, hematoma epidural, hematoma subdural, dan fraktur
tengkorak.
Cedera kepala atau trauma kepala memiliki banyak terminologi di
antaranya cedera kepala akut, cedera otak traumatik, (traumatik brain
injury), cedera kepala tertutup, dan cedera kepala penetrans. Cedera kepala
akut merupakan istilah umum yang digunakan dalam menjelaskan cedera
kepala dan stuktur yang berada di dalamnya, sedangkan cedera otak hanya
mengacu pada cedera yang terjadi pada organ otaknya sendiri. Cedera otak
akut merupakan salah satu kondisi yang di sebabkan oleh kejadian
traumatik atau cedera tusukan (penetrasi). Sedangkan istilah cedera kepala
tertutup sendiri mengacu pada cedera tumpul otak yang tidak menimbulkan
fraktur tengkorak terbuka. Cedera penistrasi di sebabkan oleh peluru atau
benda-benda lainnya seperti pisau, senapan, palu, maupun pemukul
baseball.
C. ETIOLOGI
Trauma Kepala secara umum disebabkan oleh beberapa hal berikut ini
kecelakaan lalu-lintas, terjatuh dari tempat tinggi, pukulan pada kepala,
tertimpa benda berat, kecelakaan kerja, luka tembak, atau cedera saat lahir.
cedera kepala dapat disebabkan karena beberapa hal diantaranya adalah:
1) Pukulan Langsung
Dapat menyebabkan kerusakan otak pada sisi pukulan ( coup injury )
atau pada sisi yang berlawanan dari pukulan ketika otak bergerak
dalam tengkorak dan mengenai dinding yang berlawanan (contrecoup
injury).
2) Rotasi / deselerasi
Fleksi, ekstensi atau rotasi leher menghasilkan serangan pada otak
yang menyerang titik tulang tengkorak (misalnya pada sayap dari
tulang sfenoid). Rotasi yang hebat juga menyebabkan trauma
robekan di dalam substansi putih otak dan batang otak, menyebabkan
cedera aksonal dan bintik-bintik perdarahan intraserebral.
3) Tabrakan
Otak seringkali terhindar dari trauma langsung kecuali jika berat
(terutama pada anak yang elastis).
4) Peluru
Cendrung menimbulkan hilangnya jaringan seiring dengan trauma.
Pembengkakan otak merupakan masalah akibat disrupsi. Tengkorak
yang secara otomatis akan menekan otak.
D. FAKTOR RESIKO
Penyebab:
Kecelakaan lalulintas
Kecelakaan dan benturan pada kepala
E. PATOFISIOLOGI
Secara patologi, cedera kepala dapat dibagi menjadi dua tahapan yaitu
cedera primer dan cedera sekunder.
a. Cedera Primer
Cedera primer terjadi pada saat terjadi cedera atau tumbukan,
karena tenaga kinetic mengenai kranium atau otak. Tenaga kinetic ini
meliputi akselerasi, deselerasi, akselerasi-deselerasi, dan coup-
countercoup. Akselerasi terjadi ketika objek bergerak membentur
kepala yang sedang dalam kondisi diam (statis). Deselerasai terjadi
saat kepala yang sedang bergerak membemtur objek statis, misalnya
tembok. Ajselerasi-deselarasi terjadi dalam peristiwa tabrakan
kendaraan bermotor dalam kecepatan tinggi atau kendaraan yang
menabrak pejalan kaki. Sedangkan coup-countercoup merupakan
akibat dari pergerakan isi intracranial terhadap kranium. Cedera coup
mengakibatkan kerusakan pada daerah yang dekat dengan area yang
terbentur. Sedangkan cedera countracoup menyebabkan pada area
yang berlawanan dengan benturan. Kebanyakan kerusakan cedera
“kontra kup” berlawanan pada sisi desakan benturan.
Cedera primer dapat dibagi ke dalam cedera fokal dan difus.
Cedera fokal menyebabkan luka makroskopik, seperti fraktur
tengkorak, laserasi dan kontusio otak, perdarahan epidural, perdarahan
subdural, dan perdarahan intraserebral . Sedangkan cedera difus
menyebabkan cedera mikroskopis seperti concussion dan diffuse
axonal injury.
Fraktur Tengkorak. Fraktur tengkorak ini biasanya diikuti
dengan laserasi scalp, yaitu lapisan terluar pelindung otak yang
sangat kaya dengan pembuluh darah, sehingga dapat
menimbulkan perdarahan dalam jumlah banyak. Keparahan
fraktur tengkorak ini tergantung pada lokasi dan kerusakan
jaringan yang ada. Fraktur basilar di fosa anterior dapat
menimbulkan periorbital ekimosis (raccoon atau panda eyes)
dan rhinorrhea (keluarnya darah atau cairan otak dari hidung).
Sedangkan fraktur basiler di fosa middle atau posterior dapat
menimbulkan memar di atas mastoid (battle sign) dan drainase
darah atau cairan otak melalui telinga (othorea).
Laserasi dan kontusio otak. Laserasi dan kontusio jaringan otak
biasanya ditemukan pada lobus frontal dan temporal. Laserasi
merupakan kondisi robeknya jaringan otak yang dapat juga
terjadi pada frakur tengkorak depresi. Sedangkan kontusio
merupakan memarnya permukaan korteks otak. Pasien dengan
kondisi ini akan tampak gelisah, kehilangan ingatan sementara,
disfungsi motoric, gangguan bicara, atau koma. Pembedahan
debridemen diperlukan jika tekanan intracranial sulit dikontrol
dengan obat-obatan.
Hematoma. Hematoma pada otak dapat diklasifikasikan
menjadi beberapa antara lain epidural, subdural dan
intraserebral.
Hematoma Epidural. Hematoma epidural terjadi
saat fraktur linear menembus tulang temporal dan
melukai arteri meningeal. Pasien biasanya
mengalami pemburukan secara cepat dan akhirnya
meninggal. Mortalitas dan morbiditasnya
meningkat seiring dengan kecepatan ekspansi
hematoma dari perdarahan arteri, menimbulkan
herniasi uncal dan tidak secara langsung
mencederai otak. Herniasi uncal adalah kondisi
ketika uncus (ujung anterior parahippocampal gyrus
berbentuk kait dan berada di atas permukaan
basomedial lobus temporal) mengalami displasi
akibat peningkatan tekanan intracranial sehingga
terjadi kerusakan otak dan batang otak secara
progresif. Herniasi uncal ini menekan saraf kranial
III, otak tengah, dan arteri serebral posterior,
sehingga menimbulkan koma dan gagal napas.
Hematoma yang berada di antara dura dan kranium
dapat menekan dan menggeser otak. Penderita
biasanya mengalami perubahan pupil sluggish dan
elliptical hingga terjadi dilatasi dan terfiksasi pada
salah satunya. Terdapat pula perubahan simultan
motorik yang berkembang dari hemiparese ringan,
menjadi dekortikasi, deserebrasi, atau flaccid
paralysis. Penanganan yang cepat dapat membuat
prognosisnya menjadi baik.
Hematoma subdural. Hematoma subdural ini
merupakan penyebab mortalitas dan morbiditas
tertinggi kedua dalam cedera kepala. Hematoma ini
aslinya berasal dari perdarahan vena korteks atau
vena di antara permukaan otak dengan dura,
sehingga memiliki progresivitas yang lebih lambat
dibandingkan dengan hematoma epidural.
Terdapat tiga jenis hematoma yaitu:
Akut: Gejala tampak dalam 24-72 jam
setelah cedera dan biasanya membutuhkan
pembedahan segera.
Sub-Akut: Gejala muncul dalam 72 jam
sampai 2 minggu pasca-cedera dan
membutuhkan pemantauan ketat terhadap
tanda-tanda peningkatan intracranial dan
herniasi. Pembedahan evakuasi bergantung
dari konsistensi dan ukuran bekuan yang
ada.
Kronis: Gejala muncul setelah lebih dari dua
minggu pasca-cedera. Perdarahan berjalan
lambat dan lebih banyak ruangan dalam otak
yang terisi bekuan sebelum korban
mengalami gangguan neurologis. Angka
mortalitas berkisar dari 30-63%.
Hematoma intraserebral. Area perdarahan pada
hematoma intraserebral memiliki batas yang tegas
yaitu 2 cm atau lebih ke dalam parenkim otak.
Hematoma ini menimbulkan deficit neurologis
fokal sesuai dengan lokasi otak yang terkena.
Operasi pengambilan bekuan darah dilakukan jika
memiliki batas tegas dan mudah dicapai. Angka
mortalitasnya berkisar antara 25-60%.
Diffuse Axonal. Cedera difuse axonal biasanya diakibatkan
oleh tabrakan kendaraan bermotor dalam kecepatan tinggi
sehingga terjadi gesekan antara permukaan substansia grisea
dan substansia alba. Hal ini menyebabkan robekan dan
perlukaan axon bermielin dalam substansia grisea. Hal CT scan
sering menunjukkan gambaran normal atau terdapat tanda-
tanda perdarahan pada korpus kallosum, area periventricular,
atau batang otak. Angka morbiditas dan mortalitasnya tinggi
sesuai dengan tingkat keparahan cedera ringan, sedang, atau
berat.
Cedera difuse axonal ringan mengalami hilang kesadaran
antara 6 sampai dengan 24 jam. Sedangkan pada derajat
sedang, kondisi koma memanjang dan angka mortalitas
mencapai 20%. Kondisi koma yang lebih panjang terjadi pada
cedera berat yang ditandai dengan disfungsi batang otak yang
memicu ketidakstabilan hemodinamik dan jantung. Angka
mortalitasnya meningkat mencapai 60-70%. Disfungsi
autonomic yang sering terjadi pasca-cedera ini ditandai dengan
peningkatan tekanan intracranial, dilatasi pupil, diaphoresis,
hipertensi, takikardia dan postur tubuh fleksi atau ekstensi
abnormal.
Perdarahan Subarakhnoid. Perdarahan pada ruang
subarachnoid dan memicu vasospasme ini terjadi pada sekitar
25-40% pasien dengan cedera otak akut. Pasien dengan
perdarahan subarachnoid ini membutuhkan waktu perawatan di
ruang intensif yang lebih lama. Vasospasem meningkat pada
hari ke-3 hingga ke-7 setelah perdarahan dan menyusut pada
hari ke-10.
Konkusi Serebral. Konkusi serebral/otak merupakan kondisi
hilangnya kesadaran sesaat, dan amnesia biasanya berlangsung
kurang dari 6 jam dengan sedikit atau tanpa gejala neurologis
sisa. Hasil CT scan menunjukkan kondisi normal tanpa adanya
lesi makroskopik jaringan otak. Kondisi serebral sendiri
merupakan bentu umum dari cedera kepala. Berdasarkan berat
ringannya gejala yang ditimbulkan, konkusi serebral dapat
dibedakan menjadi ringan dan klasik. Konkusi ringan
merupakan disfungsi neurologis sementara tanpa disertai
hilangnya kesadaran maupun ingatan. Sedangkan konkusi
klasik meliputi disfungsi neurologis sementara dan hilangnya
kesadaran serta daya ingat (amnesia).
Sebagian besar pasien akan sadar penuh dalam waktu
48 jam, tetapi biasanya masih menyisakan gejala sisa. Pada
beberapa kasus, cedera sekunder dapat terjadi akibat dari
hipoksia dan iskemia serebral. Hal ini akan memicu edema
serebral dan peningkatan intracranial.
Sebagian pasien mungkin akan mengalami sindrom
pascakonkusi yaitu gejala sisa pasca-cedera setelah cedera
kepala ringan. Gejala yang dialami dapat berlangsung dalam
beberapa minggu hingga satu tahun. Sedangkan komplikasi
yang dapat terjadi adalah perdarahan intracranial
(subdural,parenkimal, maupun epidural).
b. Cedera Sekunder
Kondisi yang terjadi pascacedera otak akut ini merupaka
perubahan biofisik maupun biokimia yang mengganggu perfusi
sehingga dapat menimbulkan disfungsi neuronal sampai dengan
kematian. Jika penanganan sebelumnya berfokus pada peningkatan
tekanan intracranial, pada kondisi saat ini berfokus pada peningkatan
perfusi yang adekuat.
Aliran darah serebral normalnya dipertahankan pada kisaran
50-150 mmHg. Saat tekanan darah sistemik menurun, pembuluh darah
serebral berdilatasi. Sebaliknya saat tekanan darah sistemik meningkat,
darah serebral mengalami vasokonstriksi. Aliran darah ke otak
dikontrol oleh mekanisme autoregulasi serebral. Kerusakan pada
sistem autoregulasi akan memengaruhi keberhasilan pengobatan yang
dilakukan.
Beberapa jam pascacedera, aliran darah serebral menurun
hingga setengah dari jumlah normal yaitu 50 Ml/100 gram otak/menit.
Iskemia terjadi saat aliran darah serebral turun dibawah 20 Ml/100 mg
otak/menit, dan menimbulkan kematian sel jika telah mencapai 10-15
mL/100 mg otak/menit.
Iskemia adalah konsekuensi sekunder dari perdarahan baik
yang spontan maupun traumatic. Mekanisme terjadinya iskemia
karena adanya tekanan pada pembuluh darah akibat ekstravasasi darah
ke dalam tengkorak yang volumenya tetap dan vasospasme reaktif
pembuluh-pembuluh darah yang terpajan di dalam ruang antara
lapisan araknoid dan piamater meningen. Biasanya perdarahan
intraserebral secara cepat menyebabkan kerusakan fungsi otak dan
kehilangan kesadaran.
Hipoksia dan Iskemik juga memicu rantai respons kimiawi dan
proses neurotoksis. Kondisi ini meliputi regulasi chanel ion kalsium,
natrium, dan kalium; pengeluaran exitotoxic asam amino, produksi
superoxide dan radikal bebas, perioksidasi lemak, dan pengeluaran
mediator inflamasi. Hal itu semua menimbulkan kerusakan sel serebral
dan jika tidak terrangani, dapat menyebabkan kematian sel. Secara
umum, apabila aliran darah ke jaringan otak terpurus selama 15-20
menit akan terjadi infark atau kematian jaringan.
F. MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi klinik dari cedera kepala tergantung dari berat ringannya
cedera kepala, yaitu:
1. Perubahan kesadaran adalah merupakan indikator yang paling sensitive yang
dapat dilihat dengan penggunaan GCS (Glascow Coma Scale).
2. Peningkatan TIK yang mempunyai trias Klasik seperti: nyeri kepala karena
regangan dura dan pembuluh darah; papil edema yang disebabkan oleh
tekanan dan pembengkakan diskus optikus; muntah seringkali proyektil.
G. KOMPLIKASI
1. Edema selebral dan herniasi otak.
Edema selebral adalah peningkatan atau pembengkan tekanan
intrakranial pada pasien cedera kepala. TIK meningkat karena
ketidakmampuan tengkorak utuh membesar meskipun peningkatan volume
oleh pembengkakan otak diakibatkan oleh trauma.
2. Defisit neurologik dan psikologik.
3. Komplikasi lain setelah traumatik berupa cedera kepala meliputi:
infeksi sistemik seperti : pneumonia, infeksi saluran kemih,
septikemia.
Infeksi bedah neuro seperti : infeksi luka, osteomielitus, meningitis,
ventikulitis, abses otak.
H. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Laboratorium
- GDA untuk menentukan adanya masalah ventilasi atau
oksigenasi dan peningkatan tekananintrakranial (TIK).
- Kimia/ Elektolit serum dapat menunjukkan ketidakseimbangan
yang memperberat peningkatan TIK. Peningkatan laju
metabolisme dan diaphoresis dapat menyebabkan peningkatan
natrium (hypernatremia).
Pencitraan
- CT scan untuk mengidentifikasi adanya hemoragi, hematoma,
kontusio, fraktur tengkorak, pembengkakan atau pergeseran
jaringan otak.
- MRI lebih sensitif untuk memeriksa defisit neurologis yang
tidak terdeteksi oleh ST scan.
Prosedur Diagnostik
- EEG menunjukkan adanya atau terjadinya gelombang
patologis.
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN TEORI
A. Pengkajian
a) Identitas Klien
Nama, umur, jenis kelamin, tempat tanggal lahir, golongan darah,
pendidikan terakhir, agama, suku, status perkawinan, pekerjaan, TB, BB,
Alamat.
b) Riwayat Kesehatan
Tingkat kesadaran/GCS (< 15), konvulsi, muntah, dispnea, takipnea, sakit
kepala, wajah simetris, tidak lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi secret
pada saluran napas, adanya liquor dari hidung dan telinga dan kejang.
c) Riwayat Penyakit Dahulu
Diketahui baik yang berhubungan dengan sistem persarafan maupun
penyakit sistem sistemik lainnya. Demikian pula riwayat penyakit keluarga
terutama yang mempunyai penyakit menular.
d) Riwayak Kesehatan
Dapat dikaji dari klien atau keluarga sebagai data subyektif. Data-data ini
sangat berarti karena dapat mempengaruhi prognosa klien
Pengkajian pola Gordon
Aktivitas/istirahat
Gejala : Merasa lelah, lemah, kaku, hilang keseimbangan.
Tanda : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, puandreplegia,
ataksia, cara berjalan tidak tegang.
Sirkulasi
Gejala : Perubahan tekanan darah (hipertensi) bradikardi, takikardi.
Integritas Ego
Gejal : Perubahan tingkah laku dan kepribadian.
Tanda : Cemas, mudah tersinggung, angitasi, bingung, depresi dan
impulsif.
Makanan/cairan
Gejala : Mual, muntah dan mengalami perubahan selera.
Tanda : Muntah, gangguan menelan.
Eliminasi
Gejala : Inkontinensia, kandung kemih atau usus atau mengalami
gangguan fungsi.
Neurosensori
Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia, vertigo, sinkope,
kehilangan pendengaran, gangguan pengecapan dan
penciuman, perubahan penglihatan seperti ketajaman.
Tanda : Perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan status
mental, konsentrasi, pengaruh emosi atau tingkah laku dan
memoris.
Nyeri/kenyamanan
Gejala : Sakit kepala.
Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri
yang hebat, gelisah, tidak bisa istirahat, merintih.
Pernafasan
Tanda : Perubahan pola pernafasan (apnoe yang diselingi oleh
hiperventilasi nafas berbunyi)
Keamanan
Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan.
Tanda : Fraktur/dislokasi, gangguan penglihatan, gangguan rentang
gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalami
paralisis, demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh.
Interaksi sosial
Tanda : Apasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara
berulang-ulang, disartria.
Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum
2. Tingkat kesadaran: Composmentis, apatis, somnolen, spoor, koma.
3. TTV
4. Sistem pernapasan
Perubahan pola napas, baik irama, kedalaman maupun frekuensi, nafas
bunyi ronchi.
5. Sistem Kardiovaskuler
Apabila terjadi peningkatan TIK. tekanan darah meningkat, denyut nadi
brakikardi kemudian takikardi.
6. Sistem perkemihan
Inkotenensia, distensi kandung kemih.
7. Sistem Gastrointestinal
Usus mengalami gangguan fungsi, mual/muntah dan mengalami perubahan
selera.
8. Sistem Muskoloskeletal
Kelemahan otot, deformasi
9. Sistem persarafan
Gejala: Kehilangan kesadaran, amnesia, vertigo, syncope, tinnitus,
kehilangan pendengaran, perubahan penglihatan, gangguan pengecapan.
Tanda: Perubahan kesadaran sampai koma, perubahan status mental,
perubahan pupil, kehilangan pengindraan, kejang, kehilangan sensasi
sebagian tubuh.
a). Nervus kranial
N.I : Penurunan daya penciuman
N.II : Pada trauma frontalis terjadi penurunan penglihatan
N. III, N.IV, N.VI : Penurunan lapang padang, reflex cahaya
menurun, perubahan ukuran pupil, bola mata tidak dapat mengikuti
perintah, anisokor.
N.V : Gangguan mengunyah
N.VII, N.XII : Lemahnya penutupan kelopak mata, hilangnya rasa
pada 2/3 anterior lidah
N.VIII : Penurunan pendengaran dan kesimbangan tubuh.
N. IX, N.X, N.XI : Jarang ditemukan
b) Skala Koma Glasgow (GCS)
VERBAL:
1. Tidak berespon
2. Suara tidak dapat dimengerti, rintihan
3. Bicara kacau/ kata-kata tidak tepat/ tidak nyambung
dengan pertanyaan.
4. Bicara membingungkan, jawaban tidak tepat
5. Orientasi baik
MOTORIK :
1. Tidak berespon
2. Ekstensi abnormal
3. Fleksi abnormal
4. Menarik area nyeri
5. Melokalisasi nyeri
6. Dengan perintah
REAKSI MEMBUKA MATA :
1. Tidak berespon
2. Rangsangan nyeri
3. Dengan perintah (rangsang suara/sentuh)
4. Spontan
c) Fungsi Motorik
Setiap ekstremitas diperiksa dan dinilai dengan skala berikut yang
digunakan secara internasional:
RESPON SKALA
Kekuatan normal 5
Kelemahan sedang 4
Kelemahan berat (antigravity) 3
Kelemahan berat (not antigravity) 2
Gerakan trace 1
Tidak ada gerakan 0
A. Diagnosa Keperawatan
1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan hipoksia
2. Peubahan persepsi sensori berhubungan dengan deficit neurologi
3. Resiko perdarahan
B. Intervensi
NO DIAGNOSA TUJUAN DAN INTERVENSI (NIC) RASIONAL
KEPERAWATAN KRITERIA HASIL
(NOC)
d) Monitor suhu
d) Demam menandakan
dana tur suhu
adnya gangguan
lingkungan
hipotalamus , peningkatan
sesuai
kebutuhan metabolic akan
indikasi.
meningkatkan TIK.
Batasi
pemakaian
selimut dan
e) Mencegah kelibahan
kompres bila
cairan yang dapat
demam. menambah edema serebri
e) Monitor sehingga terjadi
asupan dan peningkatan TIK.
keluaran
setiap delapan f) Mengurangi hipokremia
jam sekali yang dapat meningkatkan
f) Berikan vasodilatasi cerebri,
oksigen volume darah dan TIK.
tambahan
sesuai indikasi g) Monitol/gliderol
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2013. Keperawatan Medikal Bedah, ed-12. Jakarta : EGC
Arif Muttaqin, 2008, Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Persarafan, Jakarta : Salema Medika
NPM: 20213024
2021/2022
LEMBAR PERSETUJUAN
Menyetujui,
A. PENGKAJIAN
Tanggal pengkajian : Minggu, 12 Juni 2022
Jam : 16.10
Sumber data : pasien dan rekam medic
a. Identitas pasien
Nama pasien : Ny. N.C
Nomor RM : 22030093
Tanggal lahir : 29-12-1968 (53 tahun).
Jenis kelamin : perempuan
Rujukan :-
Diagnose rujukan : -
Pendidikan pasien : Tidak sekolah.
Pekerjaan : petani
b. Pemeriksaan fisik
Sistem pernapasan
Jalan napas : tampak bersih, tidak ada produksi
sputum.
RR : 25 x/menit
Irama napas : tidak teratur
Suara napas : vesikuler
Sputum : pasien tidak ada sputum.
Penggunaan otot bantu napas : pasien tampak terpasang ventilator
Terpasang ETT : pasien tampak terpasang ETT.
Terpasang ventilator : pasien terpasang ventilator, mode:
bileved 10, TV: 409, RR: 25X/menit, PEEP: 5/10, I:E: ST, FiO2: 40%.
Inspeksi : bentuk thorax normal/ tidak ada
kelainan bentuk, retraksi interkosta tidak ada, sianosis tidak ada,
tidak terdengar suara napas tambahan seperti stridor.
Palpasi : tidak ada krepitasi.
Perkusi : terdengar pekak.
Auskultasi : suara napas vesikuler, tidak terdengar
suara napas tambahan.
Sistem kardiovaskuler
Nadi : 120 x/menit
Irama : teratur
Tekanan darah : 116/66 mmHg
Pulsasi : tampak kuat
Akral : hangat
Warna kulit : pucat
Nyeri dada : tidak di kaji, karena pasien dalam keadaan koma.
Perdarahan : pasien tampak tidak ada perdarahan.
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak.
Palpasi : iktus cordis tidak teraba.
Perkusi :
Batas atas jantung : ICS 2 linea sternalis dekstra
Batas bawah jantung : ICS 5 midclavikularis sinistra.
Batas kanan atas jantung : ICS 4 linea parasternal kanan
Batas kiri jantung : ICS 4 linea midclavicularis
sinistra.
Auskultasi : bunyi jantung normal, tidak ada murmur.
Sistem saraf pusat
Kesadaran : koma
GCS : eye: 1 verbal: x motorik: 1
Kekuatan otot :
Tangan kanan kiri
1 1
Kaki 1 1
Keterangan: tidak ada gerakan, kontraksi otot dapat dipalpasi atau di lihat.
Sistem gastrointestinal
Distensi : berdasarkan hasil observasi pasien tidak mengalami distensi.
Peristaltic : pasien mengalami peristaltic usus dengan lamanya
peristaltic : 8x/menit.
Defekasi : 1 kali/hari dengan konsistensi lembek berwarna kuning.
Sistem perkemihan
BAK : pasien tampak menggunakan pampers dan
kateter 16 F.
Warna : tampak berwarna kuning.
Distensi kandung kemih : tidak ada.
Nyeri saat berkemih : tidak di kaji karena pasien dalam keadaan
koma.
Penggunaan catheter urine : pasien tampak menggunakan kateter urin
dengan jumlah urine : 500 cc, warna : kuning pekat.
Sistem hematologi
Perdarahan : tidak ada perdarahan.
Sistem musculoskeletal dan integument
Turgor kulit : elastic
Terdapat luka : tampak ada luka post kraneoctomy dikepala
bagian kanan.
Fraktur : tidak ada fraktur.
Kesulitan bergerak : pasien tampak sulit bergerak karena pasien
merupakan riwayat jatuh di kamar mandi dan pasien dalam keadaan koma.
Penggunaan alat bantu : pasien tampak dibantu oleh perawat dalam
bergerak.
Obstetric dan ginekologi
Hamil : pasien tidak dalam keadaan hamil.
Riwayat kehamilan : tidak di kaji karena pasien dalam koma.
Keluhan : tidak di kaji karena pasien koma.
Alat invasive/ non invasive yang terpasang saat ini
Drain/WSD : pasien tampak terpasang drain dari luka operasi post
kraneoktomi , dengan produksi drain: 200 cc, berwarna: merah.
IV line : pasien terpasang infuse Nacl 0,9% dengan 6
liter/menit.
NGT : pasien tampak terpasang NGT.
Oksigen : pasien tidak terpasang oksigen.
Riwayat psikososial dan spiritual
Psikososial
Komunitas yang diikuti : tidak di kaji karena pasien dalam keadaan
koma.
Koping : tidak di kaji karena pasien dalam keadaan koma.
Afek : tidak di kaji karena pasien dalam keadaan koma.
Persepsi penyakit : tidak di kaji karena pasien dalam keadaan
koma.
Hubungan keluarga/orang terdekat : suaminya.
Spiritual
Gangguan/tidak normal 20
(pincang/diseret)
6. Status mental 0 15 Pasien
Pasien menyadari kondisi mengalami
dirinya keterbatasan
Pasien mengalami 15 daya ingat
keterbatasan daya ingat
Total nilai 75 Resiko
tinggi.
Mandi 0= Tergantung 0
5= Mandiri
10= Mandiri
10= Mandiri
Penggunaan 0= Tergantung 0
Kamar mandi/
Toilet 5= Perlu dibantu tapi tidak tergantung penuh
10= Mandiri
15= Mandiri
10 = Mandiri
- 0 – 20 = Ketergantungan penuh
- 21 – 61 = Ketergantungan berat (sangat tergantung)
- 62 – 90 = Ketergantungan moderat
- 91 – 99 = Ketergantungan ringan
100 = Mandiri
g. Skrining status nutrisi
Berdasarkan Malnutrition Screening Tool (MST)
(Lingkari skor sesuai dengan jawaban, Total skor adalah jumlah skor yang
dilingkari):
No Parameter Skor
.
a. Tidak
b. Ya
Pasien dengan diagnose khusus : pasien mengalami
penyakit jantung sudak sejak tahun 2019.
3.
( Diabetes melitus/Jantung, Ginjal, Paru
paru/Stroke/Kanker? penurunan Imunitas ).
Pasien mengatakan tidak mengalami penurunan berat badan,
akan tetapi pasien mengalami peningkatan berat badan karena edema
yang dialami oleh pasien. Pasien juga mengalami penurunan nafsu
makan, karena pasien mempunyai penyakit jantung
h. Pemeriksaan penunjang
C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan hipersekresi jalan
napas.
2. Gangguan ventilasi spontan berhubungan dengan kelelahan otot
pernapasan.
3. Resiko perfusi cerebral tidak efektif kondisi klinis terkait cedera kepala.
D. INTERVENSI KEPERAWATAN
2. Dukungan ventilasi S: -
Observasi: O:
1. Mengidentifikasi Tampak sesak
adanya kelelahan Tampak
otot bantu napas menggunakan alat
2. Mengidentifikasi bantu pernapasan
(tampak terpasang
efek perubahan
ventilator, dengan:
posisi terhadap Mode:
status pernapasan Bileved 10
3. Memonitor status TV: 409
respirasi dan RR: 25
oksigenasi x/menit
Terapeutik: PEEP: 5/10
I:E: ST
4. Mempertahankan FiO2: 40%.
kepatenan jalan Takikardi
napas
A: gangguan ventilasi
5. Memberikan spontan belum meningkat.
posisi semi fowler
P: dukungan ventilasi
atau fowler dilanjutkan.
Kolaborasi:
6. Mengkolaborasi
pemberian
ventilator.
3. Manajemen peningkatan S : -
tekanan intracranial O:
Observasi: Tampak luka post op
1. Mengidentifikasi kraneoktomi di
kepala bagian kanan
penyebab
Tampak pasien tidak
peningkatan TIK sadarkan diri.
2. Memonitor tanda
dan gejala A: perfusi cerebral menurun
peningkatan TIK
3. Memonitor MAP P: manajemen peningkatan
tekanan intracranial.
4. Memonitor status
pernapasan
5. Memonitor intake
dan output cairan
Terapeutik:
6. Memberikan
posisi semi fowler
2. Dukungan ventilasi S: -
Observasi: O:
1. Mengidentifikasi Tampak sesak
adanya kelelahan Tampak
otot bantu napas menggunakan alat
2. Mengidentifikasi bantu pernapasa
(tampak terpasang
efek perubahan
ventilator, dengan:
posisi terhadap Mode:
status pernapasan Bileved 10
3. Memonitor status TV: 400
respirasi dan RR: 21
oksigenasi x/menit
Terapeutik: PEEP: 5/10
I:E: ST
4. Mempertahankan
kepatenan jalan FiO2: 40%.
napas Takikardi
5. Memberikan
A : gangguan ventilasi
posisi semi fowler
spontan belum meningkat.
atau fowler
Kolaborasi: P: dukungan ventilasi
dilanjutkan.
6. Mengkolaborasi
pemberian
ventilator.
3. Manajemen peningkatan S: -
tekanan intracranial O:
Observasi: Tampak luka post op
kraneoktomi di
1. Mengidentifikasi
kepala bagian kanan
penyebab
Tampak pasien tidak
peningkatan TIK sadarkan diri.
2. Memonitor tanda
dan gejala A: perfusi cerebral menurun
peningkatan TIK
3. Memonitor MAP P: manajemen peningkatan
4. Memonitor status tekanan intracranial.
pernapasan
5. Memonitor intake
dan output cairan
Terapeutik:
6. Memberikan
posisi semi fowler
2. Dukungan ventilasi S :-
Observasi: O:
1. Mengidentifikasi Tampak sesak
adanya kelelahan Tampak
otot bantu napas menggunakan alat
2. Mengidentifikasi bantu pernapasa
(tampak terpasang
efek perubahan
ventilator, dengan:
posisi terhadap Mode:
status pernapasan Bileved 10
3. Memonitor status TV: 409
respirasi dan RR: 25
oksigenasi x/menit
PEEP: 5/10
Terapeutik: I:E: ST
FiO2: 40%.
4. Mempertahankan
Takikardi
kepatenan jalan
napas A: gangguan ventilasi
5. Memberikan spontan belum meningkat.
posisi semi fowler
P: dukungan ventilasi
atau fowler
Kolaborasi: dilanjutkan.
6. Mengkolaborasi
pemberian
ventilator.
3. Manajemen peningkatan S :-
tekanan intracranial O:
Observasi: Tampak luka post op
kraneoktomi di
1. Mengidentifikasi
kepala bagian kanan
penyebab
Tampak pasien tidak
peningkatan TIK sadarkan diri.
2. Memonitor tanda
dan gejala A: perfusi cerebral menurun
peningkatan TIK
3. Memonitor MAP P: manajemen peningkatan
4. Memonitor status tekanan intracranial.
pernapasan
5. Memonitor intake
dan output cairan
Terapeutik:
6. Memberikan
posisi semi fowler
RESUME KEPERAWATAN PADA TN. I.G.Y.P DENGAN
OLEH
NPM: 20213024
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS
2021/2022
LEMBAR PERSETUJUAN
Menyetujui,
A. PENGKAJIAN
Tanggal pengkajian : Rabu, 08 Juni 2022
Jam : 11.00
Sumber data : rekam medis
a. Identitas pasien
Nama pasien : Tn. I.G.Y.P
Nomor RM : 22028958
Tanggal lahir : 14-08-1967 (umur 54 tahun)
Jenis kelamin : laki-laki
Rujukan : RSU Negara.
Diagnose rujukan : CKR+hemiparesis
Pendidikan pasien : SMA
Pekerjaan : PNS
b. Pemeriksaan fisik
Sistem pernapasan
Jalan napas : tampak bersih, tidak ada penumpukan
sekret.
RR : 10/20
Irama napas : tidak teratur
Suara napas : vesikuler
Sputum : pasien tidak tampak ada produksi
sputum
Penggunaan otot bantu napas : pasien terpasang ventilator untuk
membantu pernapasan.
Terpasang ETT : pasien tampak terpasang ETT
Terpasang ventilator : pasien tampak menggunakan
ventilator. Mode: pc-SIM V10, TV: 440, RR: 10/20, PEEP: 5/8, I:E:…..,
FiO2: 40%.
Sistem kardiovaskuler
Nadi : 120 x/menit.
Irama : teratur.
Tekanan darah : 139/72 mmHg
Pulsasi : kuat
Akral : hangat
Warna kulit : pucat
Nyeri dada : tidak dikaji karena pasien koma.
Perdarahan : tidak ada perdarahan.
Sistem saraf pusat
Kesadaran : koma
GCS : eye: 1, verbal: 0, motorik: 1
Kekuatan otot :
Tangan kanan kiri
0 0
Kaki
0 0
Interprestasi: pasien dalam keadaan koma, sehingga kontraksi otot tidak
terdeteksi (paralisis sempurna)
Alat invasive/non invasive yang terpasang saat ini
Drain/wsd : pasien terpasang drain subdural dengan NGT no.8, produksi
50 cc.
Iv line : pasien terpasang infuse Nacl 0,9% dengan 8 liter/menit.
NGT : pasien terpasang NGT fr 16.
Oksigen : pasien tidak terpasang oksigen.
c. Resiko jatuh
Morse Fall Scale (MFS) skala jatuh dari Morse
Nama pasien : Tn. I.G.Y.P
Umur : 54 tahun
Keterangan:
Tidak beresiko : 0-24
Resiko rendah : 25-50
Resiko tinggi : lebih dari 51
d. Status fungsional
Form Indeks Barthel
Prosedur tes: Pasien dinilai menggunakan Barthel Index pada awal treatment,
selama masa rehabilitasi, dan pada masa akhir rehabilitasi
Mandi 0= Tergantung 0
5= Mandiri
10= Mandiri
10= Mandiri
Penggunaan 0= Tergantung 0
Kamar mandi/
Toilet 5= Perlu dibantu tapi tidak tergantung penuh
10= Mandiri
15= Mandiri
- 0 – 20 = Ketergantungan penuh
- 21 – 61 = Ketergantungan berat (sangat tergantung)
- 62 – 90 = Ketergantungan moderat
- 91 – 99 = Ketergantungan ringan
100 = Mandiri
e. Skrining status nutrisi
Berdasarkan Malnutrition Screening Tool (MST)
(Lingkari skor sesuai dengan jawaban, Total skor adalah jumlah skor yang
dilingkari):
No Parameter Skor
.
1-5 kg
6-10 kg
11-15kg
>15 kg
a. Tidak
b. Ya
C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Gangguan ventilasi spontan berhubungan dengan kelelahan otot pernapasan
D. RENCANA KEPERAWATAN
P: dukungan
ventilasi
RESUME KEPERAWATAN PADA NY. I.W. S DENGAN
CARSIONOMA NASOFARING DI ICU IGD SANGLAH DENPASAR
OLEH
NAMA: MARIA HELENA NEI
NPM: 21203024
2021/2022
LEMBAR
PERSETUJUAN
Resume keperawatan gawat darurat dan kritis ini telah disetujui pada
tanggal………Juni 2022
Menyetujui
IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien (inisial) : Tn. I.W. S
Nomor RM : 22013641
Tanggal Lahir : 02-10-1956
Jenis Kelamin : Laki – laki
Rujukan :-
Diagnosis Rujukan : Karsinoma Nasofaring
Alasan Masuk : Pasien masuk dengan dengan penurunan
kesadaran dan tampak gelisah.
Pendidikan Pasien :SMP
Pekerjaan : Petani
Alaamat : Selemadeg Timur, Tabanan, Bali.
Status perkawinan : Menikah
Tanggal MRS : 31-05-2022
PEMERIKSAAN FISIK
Sistem Pernapasan
Jalan Napas : Tampak tidak bersih. Ada sumbatan : secret
RR : 12/ 19 dengan Tipe venti ACPC 10 . Fi02 : 60%
Irama Napas : Tampak tidak teratur
Kedalaman : Dangkal
Suara Napas :Auskultasi Gurgling
Kelainan dinding thoraks : Tidak ada kelaianan, pergerakan dinding thoraks simetris
Sputum : Warna : Cokelat Konsistensi : Chair Penggunaan Otot Bantu Napas:
Pasien Tampak menggunakan Otot Bantu pernapasan
Terpasang ETT: Ukuran 7,5.
Terpasang Ventilator Tipe ACPC 10, TV : 226 RR: 12/19 PEEP/ CPAP :4/-,Irama EKG
Sinus Rhythm FiO2 : 60 % SP02 : 100 % , Tidal volume 394
Sistem Kardiovaskuler
Nadi: 77 kali/menit CRT : < 3 Detik
Irama : Teratur
Tekanan darah :95/59 mmHg MAP : 73
Pulsasi : Kuat
Akral : Hangat
Warna kulit : Tampak pucat
Nyeri dada : Pasien tidak ada nyeri dada
Perdarahan : Tidak tampak perdarahan
5 5
Interpretasi:
0 Kontraksi otot tidak terdeteksi (paralisis sempurna)
1 Tidak ad agerakan, kontraksi otot dapat dipalpasi atau dilihat
2 Gerakan otot penuh, melawan gravitasi dengan topangan
3 Gerakan yang normal melawan gravitasi
4 Gerakan penuh yg normal melawan gravitasi dan melawan tahanan
minimal
5 Kekuatan otot normal, melawan gravitasi dan tahanan penuh
Sistem Gastrointestinal
Distensi : √Tidak
Peristaltik : √ Ya, Lama: 20 kali/menit
Defekasi : Paien belum BAB selama perawatan di ICU
Sistem Perkemihan
BAK : 700 cc/ 7 jam
Warna: Kuning
Distensi Kandung Kemih : Tidak ada distensi kandung kemih
Nyeri saat berkemih : Pasien tampak tidak sadarkan diri sehingga tidak bisa
mengkaji nyeri saat BAK., dan dalam skala behavior pain scale 3
Penggunaan catheterurine:Pasien terpasang later No. 16
Jumlah urine : 700cc/7 jam, Warna: Kuning
NGT : Ya, Pasien terpasang NGT Warna : bening Jumlah: 2-3 cc pada saat cek
residu
Ya 15
STATUS FUNGSIONAL
Form Indeks Barthel
Variabel: Kemampuan Fungsional
Merupakan variabel yang digunakan untuk mengukur status fungsional pada
pasien yang mengalami gangguan sistem saraf.
Prosedur tes: Pasien dinilai menggunakan Barthel Index pada awal treatment,
selama masa rehabilitasi, dan pada masa akhir rehabilitasi.
Mandi 0= Tergantung 0
5= Mandiri
10= Mandiri
10= Mandiri
Penggunaan 0= Tergantung 0
Kamar mandi/
5= Perlu dibantu tapi tidak tergantung penuh
Toilet
10= Mandiri
15= Mandiri
Kriteria Hasil: pasien ketergantungan penuh karena pasien dalam keadaan koma.
- 0 – 20 = Ketergantungan penuh
- 21 – 61 = Ketergantungan berat (sangat tergantung)
- 62 – 90 = Ketergantungan moderat
- 91 – 99 = Ketergantungan ringan
100 = Mandiri
NYERI
Nyeri : √Tidak Ya, jika Ya
(P) Penyebab : tidak terkaji
(Q) Kualitas : tidak terkaji
(R) Area/Regio : tidak terkaji
(S) Skala : 3 (berdasarkan Behaviour Pain Scale)
Gunakan skala di atas untuk mengukur skala nyeri pasien anak atau dewasa yang sadar,
komunikatif, dan tidak terintubasi. Gunakan CPOT untuk mengukur skala nyeri pasien
dengan intubasi (lampirkan lembar CPOT dan skor).
(T) Waktu : tidak terkaji
Nyeri Hilang dengan: tidak terkaji
Nyeri mempengaruhi: tidak terkaji karena pasien diberikan obat –obatan sedasi.
N KATEGORI NILAI SKOR
O EKPRESI WAJAH
1 Netral, Rileks Tak tampatk kontraksi otot wajah 0 0
Tegang Dahi mengerut, alis mata menurun, orbital 1 1
dan levatror mengencang atau perubahan
lain seperti membuka mata atau menangis
selama prosedur dilakukan
Meringis Semua gerakan diatas di tambah kelopak 2 0
mata menutup rapat
GERAKAN TUBUH
2 Posisi Normal Tidak bergerak sama sekali 0 0
ANALISA DATA
RENCANA KEPERAWATAN
NO DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI
KEPERAWATAN (SMART) (ONEC)
1. Bersihan jalan napas Setelah dilakukan tindakan Manjemen jalan napas :
tidak efektif b/d keperawatan selama 1x8 Observasi
hipersekresi jalan jam, diharapkan bersihan 1. Monitor pola napas
napas jalan napas pasien ( frekuensi, kedalaman, usaha
meningkat dengan kriteria napas)
hasil: 2. Monitor bunyi napas
1. Batuk efektif tambahan (mis, mengi,
meningkat wheezing, gurgling, rnkhi
2. Produksi sputum kering)
menurun 3. Monitor sputum
3. Dispnea membaik Terapeutik
4. Sianosis membaik 4. Pertahankan kepatenan jalan
5. Gelisah membaik napas dengan head-tilt dan
6. Frekuensi napas chin-lift (jaw thrust jika curiga
membaik trauma servikal)
7. Pola napas membaik 5. Posisikan semi fowler atau
fowler
6. Lakukan penghisapan lendir
kurang dari 15 detik
7. Lakukan hiperoksigenasi
sebelum penghisapan ETT
8. Berikan oksigen
Kolaborasi :
Kolaborasi pemberian
bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik, jika perlu.