Anda di halaman 1dari 34

REFERAT

CEDERA KEPALA

Pembimbing :
Dr. Julintari Bidramnanta Sp.S

Disusun oleh :
Vivy Desyanti
030.11.303

Kepaniteraan Klinik Ilmu Saraf


Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih
Periode 19 Oktober 21 November 2015
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
Jakarta

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI................................................................................................... 2
BAB I

PENDAHULUAN......................................................................... 3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA................................................................

BAB III RINGKASAN............................................................................... 30


DAFTAR PUSTAKA..... 31

BAB I
PENDAHULUAN
Cedera kepala atau head injury adalah trauma mekanik pada kepala yang
terjadi baik secara langsung atau tidak langsung yang kemudian berakibat kepada
gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, yang bersifat
sementara atau permanen.1
Cedera kepala adalah salah satu penyebab kematian utama dikalangan usia
produktif antara 15-44 tahun. Secara global insiden cedera kepala meningkat dengan
tajam terutama karena peningkatan penggunaan kendaraan bermotor. WHO
memperkirakan bahwa pada tahun 2020 kecelakaan lalu lintas akan menjadi
penyebab penyakit dan trauma ketiga terbanyak di dunia.2
Berdasarkan data Riskesdas 2013 Sulawesi Utara menduduki urutan ke 2
untuk angka kejadian kecelakaan di jalan raya dengan persentase 50,5%. Kecelakaan
lalu lintas terutama kecelakaan sepeda motor terhitung sebagai salah satu penyebab
cedera kepala tersering. 1

BAB
II
TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI CEDERA KEPALA


Cedera kepala merupakan salah satu
masalah kesehatan yang dapat menyebabkan gangguan fisik dan mental yang
kompleks. Gangguan yang ditimbulkan dapat bersifat sementara maupun menetap,
seperti defisit kognitif, psikis, intelektual, serta gangguan fungsi fisiologis lainnya.
Hal ini disebabkan oleh karena trauma kepala dapat mengenai berbagai komponen
kepala mulai dari bagian terluar hingga terdalam, termasuk tengkorak dan otak.2
ANATOMI KEPALA
1. Jaringan lunak kepala
Jaringan lunak kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP(3), yaitu:

Gambar 1. Anatomi SCALP (4) (Sumber: www.medscape.com)


4

Skin (kulit) yang tebal dan mengandung rambut serta kelenjar minyak
(sebasea)

Connective tissue (jaringan subkutis), merupakan jaringan ikat lemak yang


kaya akan pembuluh darah.

Aponeuris Galea, merupakan lapisan terkuat berupa fascia yang melekat pada
otot.

Loose areolar tissue (jaringan areolar longgar) terdiri dari vena- vena tanpa
katup yang menghubungkan scalp, vena diploica dan sinus vena intracranial.

Perikranium
Merupakan periosteum yang melapisi tulang tengkorak, melekat erat pada
sutura dan berhubungan dengan endosteum.

2. Tulang Tengkorak
Terdiri dari kalvaria dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri dari beberapa
tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Basis cranii dibagi atas 3 fosa
yaitu fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa
posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum.

Gambar 2. Tulang tengkorak (5) (Sumber: Sobotta edisi ke 22)


3. Meningens
Selaput meningens terdiri dari 3 lapisan yaitu :

Duramater
Duramater adalah membran yang tebal dan paling dekat dengan tengkorak.
Dura mater, bagian terluar, adalah lapisan fibroelastik sel, tidak mengandung
kolagen ekstraselular, dan memiliki ruang ekstraselular yang signifikan.
Lapisan tengah meningens terdiri dari dua lapisan, yaitu lapisan endosteal,
yang terletak paling dekat dengan calvaria (tengkorak), dan lapisan
meningeal dalam, yang terletak lebih dekat ke otak. Lapisan ini berisi
pembuluh darah besar yang bercabang menjadi kapiler dan berjalan ke pia
mater. (3)
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan

otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins
(jembatan vena) dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural.
6

Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus
sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat.
Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium
(ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada
arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami
cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).

Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput

ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan
dari pia mater oleh cavum subarachnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis.
Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala.

Piamater
Piamater (dalam Bahasa latin disebut tender mother) adalah lapisan

dengan banyak pembuluh darah dan terdiri dari jaringan penyambung yang
halus serta dilalui pembuluh darah yang memberi nutrisi pada jaringan saraf.
Piamater adalah lapisan yang sangat tipis terdiri dari jaringan fibrosa tertutup di
permukaan luarnya dengan selembar sel datar yang tidak permeabel terhadap air.
Piamater ditembus oleh pembuluh darah ke otak dan sumsum tulang belakang,
dan kapiler yang memberikan nutrisi pada otak.
4. Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin dengan berat pada orang dewasa
sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu proensefalon (otak depan)
terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan
rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan
serebellum. Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal
berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus
parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal
7

mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggung jawab


dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem
aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada
medulla oblongata terdapat pusat kardio respiratorik. Serebellum bertanggung
jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan.

Gambar 4. Anatomi Otak (7) (sumber: www.medscape.com)


5. Vaskularisasi Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.
Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk
sirkulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam
dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar
dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis.

PATOFISIOLOGI CEDERA KEPALA


a. Patofisiologi umum
Lesi pada kepala dapat terjadi pada jaringan luar dan dalam rongga kepala. Lesi
jaringan luar terjadi pada kulit kepala dan lesi bagian dalam terjadi pada tengkorak,
pembuluh darah tengkorak maupun otak itu sendiri. Terjadinya benturan pada kepala
dapat terjadi pada 3 jenis keadaan yaitu:
1. Kepala diam dibentur oleh benda yang bergerak
2. Kepala yang bergerak membentur benda yang diam
3. Kepala yang tidak dapat bergerak karena bersandar pada benda yang lain
dibentur oleh benda yang bergerak
Pada cedera kepala kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera
primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai
akibat langsung dari ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan
suatu benda keras maupun oleh proses akselarasi-deselarasi gerakan kepala.
Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup.
Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya beturan pada tulang tengkorak dan
daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada yang berlawanan dengan tempat benturan
akan terjadi lesi yang disebut contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala
bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan
densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid)
menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya.
Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam
tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup).
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis
yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa
perdarahan, edema otak, keruskan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan
tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.
9

b. Patofisiologi spesifik
Cedera kepala disebabkan oleh kerusakan langsung pada jaringan kepala akibat
trauma, gangguan perfusi cerebral dan juga gangguan metabolisme pada otak yang
dapat menyebabkan ischemia like pattern yang menyebabkan akumulasi asam
laktat akibat terjadi glikolisis anaerob, peningkatan permeabilitas membran, dan
edema. Metabolisme anaerob menyebabkan pembentukan energi yang tidak adekuat,
cadangan ATP menurun, dan kegagalan pada pompa ion pada jalur pembentukan ATP
dalam menghasilkan energi.(8)
Tahapan kedua dari kaskade patofisiologi ditandai dengan depolarisasi
membrane terminal bersama dengan perangsangan produksi neurotransmiter yang
berlebihan (yaitu glutamat, aspartat), aktivasi N-methyl-D-aspartat, -amino-3hidroksi-5-metil-4 isoxazolpropionate. Proses ini mengarah kepada terjadinya proses
katabolik di intaseluler. Ca2 + mengaktifkan peroksidase lipid, protease, dan
phospholipase yang meningkatkan konsentrasi intraseluler asam lemak bebas dan
radikal bebas. Selain itu, aktivasi caspases (protein ICE-seperti), translocases, dan
endonuklease memulai perubahan struktural progresif membran biologis dan DNA
nucleosomal (fragmentasi DNA dan menghambat perbaikan DNA). Peristiwa ini
menyebabkan membran degradasi pembuluh darah dan struktur selular dan akhirnya
nekrosis dan apoptosis.(8) Prostaglandin merupakan mediator inflamasi yang
diproduksi oleh membran lipid yang mengalami kerusakan, juga meningkat secara
signifikan dalam plasma pasien dengan cedera kepala sedang sampai berat selama 2
minggu pertama setelah cedera. Pasien dengan kadar prostaglandin yang lebih tinggi
memiliki hasil signifikan lebih buruk daripada mereka memiliki kadar prostaglandin
yang sedikit. Baru-baru ini, peningkatan sel T reaktif terhadap antigen mielin
ditemukan pada 10 pasien dengan cedera kepala berat. Meskipun ukuran sampel
terbatas, pasien dengan peningkatan reaktivitas T-sel memiliki hasil yang lebih baik
dibandingkan dengan pasien lain yang sel T nya tidak reaktif.(9)

10

c. Aliran darah otak


Pada cedera kepala, dapat terjadi hiperperfusi atau hipoperfusi pada pembuluh
darah di otak. Hipoperfusi yang terjadi sebagai akibat dari iskemia. Iskemik serebral
dapat menyebabkan pasien jatuh pada keadaan vegetatif dan kematian. Iskemia otak
menyebabkan stres metabolik dan gangguan ion di otak.
Pada tahap awal dari terjadinya cedera, didapatkan keadaan hiperperfusi pada
pembuluh darah otak. Mekanisme yang terjadi pada iskemia pasca-trauma juga
mengakibatkan cedera morfologi seperti distorsi pembuluh darah sebagai akibat dari
perpindahan mekanik, hipotensi dengan adanya kegagalan autoregulasi, terbatasnya
ketersediaan nitrit oksida atau neurotransmitter kolinergik, dan potensiasi dari
prostaglandin yang diinduksi vasokonstriksi.
Hiperperfusi ditandai dengan terjadinya hiperemia. Keadaan ini berhubungan
dengan terjadinya vasoparalisis yang selanjutnya dapat menyebabkan peningkatan
aliran darah dan tekanan intrakranial.
d. Disfungsi metabolisme otak
Pada keadaan cedera kepala akibat trauma, kemampuan metabolisme pada otak
menurun. Hal ini berkaitan dengan disfungsi mitokondria yang merupakan penghasil
ATP sebagai akibat dari trauma. Disfungsi metabolisme ini juga berhubungan dengan
hiperperfusi dan hipoperfusi aliran darah otak.
e. Oksigenasi otak

Cedera otak menyebabkan ketidakseimbangan antara penyebaran oksigen dan


juga konsumsi oksigen. Keadaan ini berbahaya karena dapat menyebabkan hipoksia
dan dapat berakibat kematian.
f. Edema dan Inflamasi
Klasifikasi

edema

otak

berkaitan

dengan

kerusakan

struktural

dan

ketidakseimbangan osmotik yang disebabkan oleh cedera primer atau sekunder.


11

Edema otak vasogenik disebabkan oleh gangguan mekanis atau autodigestive atau
kerusakan fungsional dari lapisan sel endotel dari pembuluh otak. Disintegrasi
dinding endotel pembuluh darah otak memungkinkan ion dan protein mentransfer
tidak terkendali dari intravaskular ke ekstraseluler kompartemen (interstitial) otak
dengan menyebabkan akumulasi air. Edema sitotoksik adalah keadaan dimana
ditandai dengan akumulasi cairan dikompartemen intraseluler neuron, astrosit, dan
mikroglia. Patologi ini disebabkan oleh permeabilitas membran sel meningkat,
kegagalan pompa ion karena deplesi energi, dan reabsorpsi seluler zat terlarut
osmotik aktif. Cedera kepala juga menyebabkan peradangan yang mengaktivasi
sitokin-sitokin pro inflamasi sehingga terjadi inflamasi pada otak.
KLASIFIKASI CEDERA KEPALA(11)
Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan:
a. Mekanisme cedera kepala
Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan
cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan
kecelakaan mobil atau motor, jatuh atau terkena pukulan benda tumpul. Sedang
cedera kepala tembuus disebabkan oleh peluru atau tusukan.
b. Beratnya cedera (Glasgow Coma Scale) (3)
Kategori

SKG

Gambaran Klinik

CT Scan otak

Minimal

15

Pingsan (-) defisit neurologi{-)

Normal

Ringan

13-15

Pingsan < 10 menit, defisit neurologik (-) Normal

Sedang

9-12

Pingsan >10 menit s/d 6 jam

Abnormal

Defisit neurologik (+)


Berat

3-8

Pingsan > 6 jam, defisit neurotogik (+)

Abnormal

Catatan :
1. Tujuan klasifikasi ini untuk pedoman triase di gawat darurat
12

2. Jika abnormalitas CT Scan berupa perdarahan intrakranial, penderita


dimasukkan klasifikasi trauma kapitis berat.
c. Morfologi cedera
1. Fraktur cranium, terdiri dari:
Fraktur linier
-

Vault
Vault merupakan fraktur yang terjadi pada atap tengkorak (calvarium) yang

disebut dengan fracture calvarium, Fraktur linier pada kalvaria ini dapat terjadi jika
gaya langsung yang bekerja

pada tulang kepala cukup besar tetapi tidak

menyebabkan tulang kepala bending dan terjadi fragmen fraktur yang masuk
kedalam rongga intrakranial. Gaya yang menyebabkan terjadinya fraktur tersebut
cukup besar maka kemungkinan terjadinya hematom intrakranial cukup besar Jika
gambar fraktur tersebut kesegala arah disebut Steallete fracture, jika fraktur
mengenai sutura disebut diastase fraktur
-

Basilar
Merupakan fraktur yang terjadi pada dasar tengkorak, disebut fraktur basis

kranii (skull base) Skull base di bagi menjadi 3 yaitu:


Anterior
Gejala dan tanda klinis :
-

keluarnya cairan likuor melalui hidung / rhinorea

perdarahan bilateral periorbital ecchymosis / raccoon eye

anosmia

Media
Gejala dan tanda klinis :
-

keluarnya cairan likuor melalui telinga / otorrhea

gangguan n.VII & VIII

Posterior
13

Gejala dan tanda klinis :


-

bilateral mastoid ecchymosis / Battle s sign

Penunjang diagnostik:
-

Memastikan cairan serebrospinal secara sederhana dengan tes halo

Scaning otak resolusi tinggi dan irisan 3 mm (50% +) (high resolution and
thin section)

Depress fracture
Apabila fragmen dari fraktur masuk rongga intrakranial minimal setebal
tulang fragmen tersebut. Fraktur depresi dibagi 2 berdasarkan pernah tidaknya
fragmen berhubungan dengan udara luar,yaitu:
1. Fraktur Depresi Tertutup
Biasanya tidak dilakukan tindakan operatif kecuali bila fraktur tersebut
menyebabkan gangguan neurologis, misal kejang-kejang, hemiparese/ plegi,
penurunan kesadaran. Tindakan yang dilakukan adalah mengangkat fragmen tulang
yang menyebabkan penekanan pada jaringan otak.
2. Fraktur Depresi Terbuka
Semua fraktur depresi terbuka harus dilakukan tindakan operatif debridemant
untuk mencegah terjadinya proses infeksi (meningoencephalitis) yaitu mengangkat
fragmen yang masuk, membuang jaringan nekrosis, benda asing, evakuasi hematom,
kemudian menjahit durameter secara water tight/kedap air kemudian fragmen
tulang dapat dikembalikan ataupun dibuang.
2. Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa, walau kedua
bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma epidural,

14

hematoma subdural, dan kontusi (atau hematoma intraserebral). Lesi intrakranial


terdiri dari:

Hematoma Epidural

Gambar 5. Hematoma epidural (Sumber: www.medscape.com)


Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di ruang potensial
antara tabula interna dan duramater dengan ciri berbentuk bikonvek atau menyerupai
lensa cembung. Paling sering terletak diregio temporal atau temporoparietal dan
sering akibat robeknya pembuluh meningeal media. Perdarahan biasanya dianggap
berasal dari arteri, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena pada sepertiga
kasus. EDH terjadi pada sekitar 2% pasien dengan cedera kepala dan 5-15% dari
pasien dengan cedera kepala yang fatal. Intrakranial hematoma epidural dianggap
komplikasi yang paling serius dari cedera kepala, membutuhkan diagnosis segera dan
intervensi bedah. EDH juga paling sering terjadi pada laki-laki dibandingkan
perempuan dengan ratio 4:1. EDH jarang terjadi pada pasien usia kurang dari 2 tahun
dan lebih dari 60 tahun dikarenakan durameter menempel erat pada tabula interna.
(9)

Bila ditindak segera, prognosis biasanya baik karena penekan gumpalan darah yang

terjadi tidak berlangsung lama. Keberhasilan pada penderita pendarahan epidural


berkaitan langsung dengan status neurologis penderita sebelum pembedahan. Gejala
yang sangat menonjol ialah kesadaran menurun secara progresif. Pasien dengan
15

kondisi seperti ini seringkali tampak memar di sekitar mata dan di belakang telinga.
Sering juga tampak cairan yang keluar pada saluran hidung atau telinga. Pasien
seperti ini harus di observasi dengan teliti. Setiap orang memiliki kumpulan gejala
yang bermacam-macam akibat dari cedera kepala. Banyak gejala yang muncul
bersaman pada saat terjadi cedera kepala.(11)
Tanda diagnostik klinik dari Epidural Hematom adalah(12)
1. Lucid interval (+)
2. Kesadaran makin menurun
3. Late Hemiparese kontralateral lesi
4. Pupil anisokor
5. Babinsky (+) kontralateral lesi
6. Fraktur di daerah temporal
Pada tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai hemiparese atau
serangan epilepsi fokal. Pada perjalanannya, pelebaran pupil akan mencapai
maksimal dan reaksi cahaya pada permulaan masih positif menjadi negatif. Inilah
tanda sudah terjadi herniasi tentorial. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan
bradikardi. Pada tahap akhir, kesadaran menurun sampai koma dalam, pupil
kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak
menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian. Gejala-gejala
respirasi yang bisa timbul berikutnya, mencerminkan adanya disfungsi rostrocaudal
batang otak.
Jika Epidural hematom di sertai dengan cedera otak seperti memar otak,
interval bebas tidak akan terlihat, sedangkan gejala dan tanda lainnya menjadi kabur.
Dengan pemeriksaan CT Scan akan tampak area hiperdens yang tidak selalu
homogen, bentuknya biconvex sampai planoconvex, melekat pada tabula interna dan
mendesak ventrikel ke sisi kontralateral ( tanda space occupying lesion ). Batas

16

dengan korteks licin, densitas duramater biasanya jelas, bila meragukan dapat
diberikan injeksi media kontras secara intravena sehingga tampak lebih jelas.

Hematoma subdural(13)
Hematoma subdural(SDH) adalah perdarahan yang terjadi diantra duramater
dan arakhnoid. Hematoma subdural(SDH) adalah jenis yang paling umum
dibandingkan dengan EDH, ditemukan sekitar 30% penderita dengan cedera
kepala berat. Terjadi paling sering akibat robeknya jembatan vena antara kortek
cerebral dan drainasi sinus. Namun SDH juga dapat berkaitan dengan laserasi
permukaan atau substansi otak. Fraktura tengkorak mungkin ada atau tidak.
Selain itu, kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akut biasanya
sangat lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma epidural.
Mortalitas umumnya 60%, namun mungkin diperkecil oleh tindakan operasi
yang sangat segera dan pengelolaan medis agresif. Subdural hematom terbagi
menjadi akut, subakut, dan kronis. (13-14)

a. Hematoma Subdural Akut


Menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48 jam setelah cedera. Dan
berkaitan dengan cedera berat. Gangguan progresif disebabkan oleh tekanan pada
jaringan otak dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya
menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadaan ini dengan cepat menimbulkan
berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut dan tekanan darah. Pada
CT Scan tampak gambaran hyperdens sickle ( seperti bulan sabit ) dekat tabula
interna, terkadang sulit dibedakan dengan epidural hematom. Batas medial hematom
seperti bergerigi.

17

Gambar 6. Hematoma subdural akut. Sumber (www.medscape.com)


b. Hematoma Subdural Subakut
Hematoma ini menyebabkan devisit neurologik dalam waktu lebih dari 48 jam
tapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Anamnesis klinis dari penderita ini adalah
adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti
perbaikan status neurologik yang perlahan - lahan. Namun pada jangka waktu tertentu
penderita menunjukkan tanda status neurologik yang memburuk.

Gambar 7. Hematoma subdural subakut. Sumber (Japardi I 2004) (3)


18

c. Hematoma Subdural Kronik


Timbulnya gejala tertunda beberapa minggu, bulan dan bahkan beberapa tahun
setelah cedera pertama. Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati
ruangan subdural. Terjadinya perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural. Pada
CT Scan terlihat adanya komplek perlekatan, transudasi, kalsifikasi yang disebabkan
oleh bermacam- macam perubahan, oleh karenanya tidak ada pola tertentu. Pada CT
Scan akan tampak area hipodens, isodens, atau sedikit hiperdens, berbentuk
bikonveks, berbatas tegas melekat pada tabula.

Gambar 8. Hematoma subdural kronik. Sumber (www.medscape.com)

19

Perdarahan Subarakhnoid
Perdarahan subarakhnoid traumatika didapatkan gejala kaku kuduk, nyeri
kepala, dan bisa terdapat gangguan kesadaran.(6) Pada pemeriksaan penunjang CT
scan didapatkan gambaran hiperdens di ruang subarkhnoid.

Gambar 9. Perdarahan subarakhnoid. Sumber (www.medscape.com)


3. Kontusi dan Hematoma Intraserebral
Kontusi serebral murni biasanya jarang terjadi. Selanjutnya, kontusi otak
hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural akut. Majoritas terbesar kontusi
terjadi dilobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi pada setiap tempat termasuk
serebelum dan batang otak. Perbedaan antara kontusi dan hematoma intraserebral
traumatika tidak jelas batasannya. Bagaimanapun, terdapat zona peralihan, dan
kontusi dapat secara lambat laun menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa
hari.
Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan
(parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan otak
yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak
tersebut. Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi
20

perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi lainnya
(countrecoup). Defisit neurologi yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung
pada lokasi dan luas perdarahan.
4. Cedera difus
Diartikan sebagai suatu keadaan patologis penderita koma (penderita tidak
sadar setelah mengalami benturan kepala) tanpa gambaran SOL pada CT scan atau
MRI. Cedara otak difus merupakan kerusakan otak yang disebabkan oleh kecelakaan
lalu lintas berkecepatan tinggi sehingga terjadi mekanisme akselerasi dan deselerasi.
Angulasi, rotasi, dan peregangan yang timbul menyebabkan robekan pada serabut
saraf pada berbagai tempat yang sifatnya menyeluruh (difus). Klasifikasi cedera difus
berdasarkan gambaran patologi(3):
1. Diffuse Axonal Injury (DAI)
Adanya Kerusakan akson yang menyeluruh dalam hemisfer cerebri, korpus
kalosum, batang otak, dan serebelm (pedunkulus).
2. Diffuse Vascular Injury (DVI)
Perdarahan kecil-kecil yang menyebar pada seluruh hemisfer. Keadaan ini dapat
menyebabkan pasien meninggal dalam hitungan menit. Pada DVI, terjadi kerusakan
menyeluruh pada endotel mikrovaskuler otak.
PENEGAKAN DIAGNOSIS(12)
Diagnosis ditegakkan berdasarkan
1. Anamnesis

Trauma kapitis dengan / tanpa gangguan kesadaran atau dengan interval lucid

Perdarahan / otorrhea / rhinorrhea

Amnesia Traumatika (retrograd / anterograd)

2. Hasil pemeriksaan klinis Neurologis


21

3. Foto kepala polos, posisi AP, lateral, tangensial


4. Foto lain dilakukan atas indikasi termasuk foto servikal.
Dari hasil foto, perlu diperhatikan kemungkinan adanya fraktur :

Linier

Impresi

terbuka / tertutup

5. CT Scan Otak : untuk melihat kelainan yang mungkin terjadi berupa

Gambaran kontusio

Gambaran edema otak

Gambaran perdarahan (hiperdens) :

Hematoma epidural

Hematoma subdural

Perdarahan subarakhnoid

Hematoma intraserebral

PEMERIKSAAN KLINIS UMUM DAN NEUROLOGIS

Penilaian Kesadaran berdasarkan skala koma Glasgow (SKG)

Penilaian fungsi vital tensi, nadi, pernafasan

Otorrhea, Rhinorrhea

Ecchymosis periorbital bilateral / Eyes/ hematoma kaca mata

Ecchymosis mastoid bilateral / Battle s Sign

Gangguan fokal neurologik

Fungsi motorik : lateralisasi. kekuatan otot

Refleks tendon, refleks patologis

Pemeriksaan fungsi batang otak:


22

Ukuran besar, bentuk, isokor / anisokor & reaksi pupil

Refleks kornea

Doll's eye phenomen

Monitor pola pernafasan:


o cheyne stokes : lesi di hemisfer
o central neurogenic hyperventilation : lesi di mesensefalon - pons
o apneustic breath : lesi di pons
o atoxic breath : lesi di medulla oblongata

Gangguan fungsi otonom

Funduskopi

PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Foto polos kepala
Tidak semua penderita dengan cedera kepala diindikasikan untuk pemeriksaan
kepala karena masalah biaya dan kegunaan yang sekarang makin ditinggalkan.
Jadi indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm, luka tembus (tembak/tajam), adanya
corpus alineum, deformitas kepala (dari inspeksi dan palpasi), nyeri kepala yang
menetap, gejala fokal neurologis, gangguan kesadaran. Pada kecurigaan adanya
fraktur depresi maka dilakukan foto polos posisi AP/lateral dan oblique.
b. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)
Indikasi CT Scan adalah :
1. Nyeri kepala menetap atau muntah muntah yang tidak menghilang
setelah pemberian obatobatan analgesia/anti muntah.
2. Adanya kejang kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat lesi
intrakranial dibandingkan dengan kejang general.

23

3. Penurunan GCS lebih 1 point dimana faktor faktor ekstrakranial telah


disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena misal terjadi
shock, febris, dll).
4. Adanya lateralisasi.
5. Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal fraktur
depresi temporal kanan tapi terdapat hemiparese/plegi kanan.
6. Luka tembus akibat benda tajam dan peluru
7. Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS.
8. Bradikardia (Denyut nadi kurang 60 X / menit).
c. Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan
jaringan otak.
d. MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
e. Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti:
perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
f. Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
g. X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan/edema), fragmen tulang.
h. BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
i. PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
j. CSF, Lumbal Punksi: Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
k. ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi)
jika terjadi peningkatan tekanan intracranial
l. Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrkranial
PENATALAKSANAAN

24

Penatalaksanaan penderita cedera kepala ditentukan atas dasar beratnya cedera


dan dilakukan menurut urutan prioritas. Yang ideal dilaksanakan oleh suatu tim yang
terdiri dari paramedis terlatih, dokter ahli saraf, bedah saraf, radiologi, anestesi dan
rehabilitasi medik. Pasien dengan cedera kepala harus ditangani dan dipantau terus
sejak dari tempat kecelakaan, selama perjalanan dari tempat kejadian sampai rumah
sakit, diruang gawat darurat, kamar radiologi, sampai ke ruang operasi, ruang
perawatan atau ICU, sebab sewaktu-waktu bisa memburuk akibat aspirasi, hipotensi,
kejang dan sebagainya. Macam dan urutan prioritas tindakan cedera kepala
ditentukan atas dalamnya penurunan kesadaran pada saat diperiksa.
Penanganan emergensi sesuai dengan beratnya trauma kapitis (ringan, sedang,
berat) berdasarkan urutan(12) :
Survei Primer, gunanya untuk menstabilkan kondisi pasien, meliputi tindakantindakan sebagai berikut:
A = Airway (jalan nafas).
Bebaskan jalan nafas dengan memeriksa mulut dan mengeluarkan darah,
gigi yang patah, muntahan, dan lain sebagainya. Bila perlu lakukan
intubasi (waspadai kemungkinan adanya fraktur tulang leher)
B = Breathing (pernafasan).
Pastikan pernafasan adekuat
Perhatikan frekuensi, pola nafas dan pernafasan dada atau perut dan
kesetaran pengembangan dada kanan dan kiri (simetris). Bila ada
gangguan pernafasan, cari penyebab apakah terdapat gangguan pada
sentral (otak dan batang otak) atau perifer (otot pernafasan atau paruparu). Bila perlu, berikan Oksigen sesuai dengan kebutuhan dengan target
saturasi 02 > 92%.

25

C = Circulation (sirkulasi)
Pertahankan Tekanan Darah. Sistolik > 90 mmHg. Pasang sulur intravena.
Berikan cairan intravena drip, NaCl 0,9% atau Ringer. Hindari cairan
hipotonis. Bila perlu berikan obat vasoptesor dan / inotropik.
D = Disability (yaitu untuk mengetahui lateralisasai dan kondisi umum dengan
pemeriksaan cepat status umum dan neurologi )
-

Tanda vital: tekanan darah, nadi, pernafasan, suhu

Skala koma Glasgow

Pupil : ukuran, bentuk dan reflek cahaya

Pemeriksaan neurologi cepat: hemiparesis, refieks patologis

Luka-luka

Anamnesa : AMPLE {Allergies, Medications, Past Illnesses, Last


Meal, Event / Environment related to the injury)

Survei Sekunder, meliputi pemeriksaan dan tindakan lanjutan setelah kondisi


pasien stabil.
E = Laboratorium
Darah : Hb, leukosit, hitung jenis lekosit, trombosit, ureum, keatinin, gula
darah sewaktu, analisa gas darah dan elektrolit
Urine : perdarahan (+) / (-)
Radiologi:
-

Foto polos kepala, posisi AP, lateral, tangensial

CT scan otak.
26

Foto lainnya sesuai indikasi (termasuk foto servikal)

F = Manajemen Terapi
-

Siapkan untuk operasi pada pasien yang mempunyai indikasi

Siapkan untuk masuk ruang rawat

Penanganan luka-luka

Pemberian terapi obat obatan sesuai kebutuhan

Indikasi Operasi Cedera Kepala (3)

EDH (epidural hematoma);


a. > 40 cc dengan midline shifting pada daerah temporal / frontal / parietal
dengan fungsi batang otak masih baik.
b. > 30 cc pada daerah fossa posterior dengan tanda-tanda penekanan batang
otak atau hidrosefalus dengan fungsi batang otak masih baik.
c. EDH progresif.
d. EDH tipis dengan penurunan kesadaran bukan indikasi operasi.

SDH (subdural hematoma)


a. SDH luas (> 40 cc / > 5 mm) dengan GCS > 6, fungsi batang otak masih baik.
b. SDH tipis dengan penurunan kesadaran bukan indikasi operasi.
c. SDH dengan edema serebri / kontusio serebri disertai midline shift dengan
fungsi batang otak masih baik.

ICH (perdarahan intraserebrai) pasca trauma. Indikasi operasi ICH pasca trauma :
a. Penurunan kesadaran progresif.
b. Hipertensi dan bradikardi dan tanda-tanda gangguan nafas (Cushing reflex).
c. Perburukan defisit neurologi fokal.

27

4. Fraktur impresi melebihi 1 (satu) diploe.


5. Fraktur kranii dengan laserasi serebri.
6. Fraktur kranii terbuka (pencegahan infeksi intra-kranial).
7. Edema serebri berat yang disertai tanda peningkatan TIK, dipertimbangkan
operasi dekompresi.
SEQUELE CEDERA KEPALA(3,15)
1. Kelumpuhan saraf kranial
a. Anosmia
Kehilangan indera penciuman terjadi pada sekitar 5% dari semua pasien
dirawat di rumah sakit dengan cedera kepala. Insiden lebih tinggi (20%)
pada pasien yang telah sadar (Zusho, 1982).
b. Jalur visual
Pada cedera kepala dapat terjadi kerusakan nervus opticus. Jika terjadi lesi
pada chiasma opticum akan menyebabkan hemianopia bitemporal, hal ini
terjadi karena adanya proses iskemia pada chiasma opticum.
c. Gangguan dari saraf oculomotor
Pada tahap akut setelah cedera, dapat terjadi kelainan pada gerakan bola
mata yang bersifat sementara. Pasien yang yang dalam keadaan koma
selama berjam-jam atau hari mungkin memiliki dysconjugate (vestibulookular) yang kembali normal setelah pasien sadar dari koma. Hal ini
mungkin mencerminkan disfungsi sementara pada batang otak yang akan
menyebabkan gejala sisa.
d. Gangguan pada nervus facialis dan nervus vestibulochoclearis
Kelumpuhan pada wajah dapat terjadi pada pasien yang mengalami cedera
kepala yang disertai dengan fraktur pada wajah. Selain itu jika terdapat

28

fraktur yang mengenai labirin dan utrikulus pada telinga dapat


mengakibatkan munculnya vertigo yang hebat dan nistagmus pada mata.
e. Gangguan pendengaran
Banyak pasien dengan cedera kepala berat memiliki beberapa gangguan
pendengaran, biasanya sensorineural, dan sering dikaitkan dengan fraktur
transversal yang dapat terjadi secara bilateral. Gangguan sensorineural juga
dapat terjadi tanpa adanya fraktur, mungkin karena kerusakan pada organ
corti.
2. Komplikasi Tertunda
Hidrosefalus
Berdasarkan lokasi penyebab obstruksi dibagi menjadi komunikan dan non
komunikan. Hidrosefalus komunikan lebih sering terjadi pada cedera kepala
dengan obstruksi, Hidrosefalus non komunikan terjadi sekunder akibat
penyumbatan di sistem ventrikel. Gejala klinis hidrosefalus ditandai dengan
muntah, nyeri kepala, papil udema, dimensia, ataksia, gangguan miksi
3. Defisit intelektual (fungsi kognitif )
Pada pasien yang mengalami cedera kepala dapat mengalami defisit fungsi
kognitif biasanya memeperlihatkan adanya patologi bilateral.
4. Sindrom lobus frontal
Pada pasien yang mengalami cedera kepala dapat terjadi perubahan perilaku atau
kepribadian. Lesi di wilayah dorsolateral mempengaruhi kemampuan untuk
merencanakan dan untuk memperbaiki kesalahan ketika melakukan tugas-tugas
kompleks. Ada kecenderungan untuk mengatasi masalah dengan strategi tetap
dengan ketidakmampuan berinovasi atau mengubah arah dalam menanggapi
tuntutan tugas yang berbeda atau kegagalan untuk melakukan sesuatu.

5. Defisit memori

29

Pada sebagian pasien yang mengalami cedera kepala dapat mengalami gangguan
memori. Misalnya pasien lupa kejadian yang dialaminya. Selain itu pasien juga
bisa lupa namanya sendiri.
6. Mood, tingkah laku dan kognitif
Gangguan kognitif dan tingkah laku lebih menonjol dibanding gangguan fisik
setelah cedera kepala dalam jangka lama. Penelitian Pons Ford, menunjukkan 2
tahun setelah cedera kepala masih terdapat gangguan kognitif, tingkah laku atau
emosi termasuk problem daya ingat pada 74 %, gangguan mudah lelah (fatigue)
72%, gangguan kecepatan berpikir 67%. Sensitif dan Iritabel 64%, gangguan
konsentrasi 62%.
7. Sindroma post kontusio
Merupakan komplek gejala yang berhubungan dengan cedera kepala 80% pada 1
bulan pertama, 30% pada 3 bulan pertama dan 15% pada tahun pertama:
Somatik : nyeri kepala, gangguan tidur, vertigo/dizzines, mual, mudah lelah,
sensitif terhadap suara dan cahaya, kognitif: perhatian, konsentrasi, memori,
Afektif: iritabel, cemas, depresi, emosi labil.

PROGNOSIS
Apabila penanganan pasien yang mengalami cedera kepala sudah mendapat
terapi yang agresif, terutama pada anak-anak biasanya memiliki daya pemulihan yang
baik. Penderita yang berusia lanjut biasanya mempunyai kemungkinan yang lebih
rendah untuk pemulihan dari cedera kepala.(15) Kecacatan yang dihasilkan dari cedera
kepala tergantung pada tingkat keparahan cedera, lokasi cedera, usia dan status
kesehatan umum individu tersebut.(16) Beberapa kecacatan umum yang dapat terjadi
pada pasien dengan cedera kepala yaitu masalah kognisi (berpikir, memori, dan
penalaran), pengolahan sensorik (penglihatan, pendengaran, sentuhan, rasa, dan bau),
komunikasi (ekspresi dan pemahaman), dan perilaku atau kesehatan mental (depresi,
kecemasan, perubahan kepribadian , agresi, bertindak, dan ketidaktepatan sosial).
30

31

BAB III
RINGKASAN
Cedera kepala atau head injury adalah trauma mekanik pada kepala yang
terjadi baik secara langsung atau tidak langsung yang kemudian berakibat kepada
gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, yang bersifat
sementara atau permanen.
Cedera kepala merupakan salah satu masalah kesehatan yang dapat
menyebabkan gangguan fisik dan mental yang kompleks. Gangguan yang
ditimbulkan dapat bersifat sementara maupun menetap, seperti defisit kognitif,
psikis, intelektual, serta gangguan fungsi fisiologis lainnya. Hal ini disebabkan oleh
karena trauma kepala dapat mengenai berbagai komponen kepala mulai dari bagian
terluar hingga terdalam, termasuk tengkorak dan otak.
Terjadinya cedera kepala, kerusakan dapat terjadi dalam dua tahap, yaitu
kerusakan primer yang merupakan akibat yang langsung dari suatu proses mekanik
dan kerusakan sekunder yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul
sebagai tahap lanjutan dari kerusakan primer.
Aspek-aspek terjadinya cedera kepala dikelompokan menjadi beberapa
klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme cedera kepala, beratnya cedera kepala, dan
morfologinya. Kerusakan otak sering kali menyebabkan kelainan fungsi yang
menetap. Kelainan fungsi yang terjadi juga tergantung kepada bagian otak mana yang
terkena.
Gejala yang timbul juga tergantung bagian otak yang terkena dampak dari
cedera. Penatalaksanaan cedera kepala dibagi menjadi primary survey dan secondary
survey, dimana keduanya bertujuan untuk menyelamatkan jiwa pasien, mengobati
kelainan yang terjadi, dan mencegah komplikasi lebih lanjut.
Prognosis dari cedera kepala tergantung pada tingkat keparahan cedera, lokasi
cedera, dan usia dan status kesehatan umum individu.
Daftar Pustaka
32

1. Simanjuntak F, Ngantung DJ, Mahama CN. Gambaran pasien cedera kepala di


RSUP. Prof.Dr.R.D.Kandou Manado periode Januari 2013-Desember 2013.
Jurnal e-Clinic. 2015; Vol 3: 354.
2. Irawan H, Setiawan F, Dewi, Dewanto G. Perbandingan Glasgowcoma scale
dan revised trauma score dalam memprediksi disabilitaspasien trauma kepala
di rumah sakit Atma Jaya. Maj Kedokt Indon. 2010; 60: 437-42.
3. Japardi I. Cedera Kepala. Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia:
Jakarta:2004.
4. Harris MC. Scalp Anatomy. 2013. Diakses tanggal 02 November 2015 pukul
21.00: www.medscape.com.
5. Putz R, Pabst R. Sobotta Atlas Anatomi Manusia. Ed.22. EGC:Jakarta:2006.
6. Bescke T. Subarachnoid hemorrhage. 2015. Diakses tanggal 03 November
2015 pukul 15.00: www.medscape.com.
7. Rughani. Brain Anatomy. 2015. Diakses tanggal 02 November 2015 pukul
22.20: www.medscape.com.
8. Mendelow AD. Pathophysiology of Head Injury. Br.J.Surg vol:1983 70 64150.
9. Olson DA. Head Injury. 2014. Diakses tanggal 29 September 2015 pukul
15.00:www.medscape.com.
10. Liebeskind SD. Epidural Hematome. 2014. Diakses tanggal 30 September
2015 pukul 17.00 :www.medscape.com.
11. Price DD. Epidural Hematom in Emergency Medicine. 2015. Diakses tanggal
30 September 2015 pukul 17.15: www.emedicine.medscape.com.
12. Perdossi. Konsensus nasional penanganan trauma kapitis dan trauma spinal.
Jakarta: Perdossi ; 2006.
33

13. Meagher JR. Subdural Hematom. 2015. Diakses tanggal 01 November 2015
pukul 10.00: www.medscape.com.
14. National Institute of Neurological Disorder and stroke. Subdural Hematom
CT

Scan.

2015.

Diakses

tanggal

01

November

2015

pukul

11.00:www.ninds.nih.gov.
15. Reilly P, Bullock L. Head injury. 1997. Published in London. ISBN 0 412
585405.
16. Khisner S. Complications and Prognosis of Head Injury. 2015. Diakses
tanggal 04 November 2015 pukul 14.30: www.medscape.com.

34

Anda mungkin juga menyukai