Anda di halaman 1dari 43

4

GAMBARAN MAKRO DAN MIKRO PADA TRAUMA KEPALA

Penyusun :
Paulus Anung A. Pandelaki
Agnes
Richard Arner Tukang

Pembimbing :
dr. Faizal Z , Sp. F
ANATOMI KEPALA

1. Kulit Kepala (Scalp)


Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu:
a. skin atau kulit yang mengandung rambut dan kelenjar keringat (kelenjar sebasea)
b. connective tissue atau jaringan penyambung di mana sebagian besar saraf sensorik berada
di lapisan ini.
c. aponeurosis atau galea aponeurotika yang merupakan jaringan ikat berhubungan
langsung dengan tengkorak di mana melekat 3 otot yakni ke anterior m. frobtalis,
posterior m. occipitalis dan lateral m. temporalis.
d. loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar yang memisahkan galea dari
perikranium. Lapisan ini terdapat pembuluh darah sehingga pada trauma kepala dapat
terjadi perdarahan yang hebat (hematom subgaleal).
e. Pericranium yaitu bagian yang berhubungan dengan tabula eksterna dari skull atau
tengkorak.

Gambar 1. Anatomi Kulit Kepala


(Dikutip dari kepustakaan 1)
2. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari dua dinding atau tabula yang dipisahkan oleh tulang
berongga. Dinding luar disebut tabula eksterna, dan dinding bagian dalam disebut tabula
interna. Struktur demikian memungkinkan suatu kekuatan dan isolasi yang lebih besar,
dengan bobot yang lebih ringan. Tabula
interna mengandung alur-alur yang berisikan
arteri meningea anterior, media dan
posterior. Apabila fraktur tulang tengkorak
menyebabkan terkoyaknya salah satu dari
arteri-arteri ini, perdarahan arterial yang
diakibatkannya, yang tertimbun dalam ruang
epidural, dapat menimbulkan akibat yang
fatal kecuali bila ditemukan dan diobati
dengan segera. Tulang tengkorak terdiri dari
beberapa tulang yaitu frontal, parietal,
temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya
diregio temporal adalah tipis, namun disini
dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii
berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai
bagian dasar otak saat bergerak akibat
proses akselerasi dan deselerasi. Rongga
tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu :
fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa
media tempat temporalis dan fosa posterior
ruang bagi bagian bawah batang otak dan
serebelum.10

Gambar 2. Anatomi Tulang Tengkorak


3. Meningen
Meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu :
a. Dura mater
Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan
lapisan meningeal. Dura mater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa
yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Dura mater terdiri dari 2 lamina
yakni lamina endostealis dan meningealis. Pada encephalon. Lamina endostealis melekat
kuat pada permukaan inferior cranium, terutama sutura, basis crania, dan tepi foramen
magnum. Lamina meningealis mempunyai permukaan yang licin dan membentuk 4 septa
yaitu falx cerebri, tentorium cerebella, falx cerebelli, dan diafragma sellae.
Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang
potensial (ruang subdura) yang terletak antara dura mater dan arachnoid, dimana sering
dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan
pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut bridging
veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis
superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari
sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat.
Arteri-arteri meningea terletak antara dura mater dan permukaan dalam dari kranium
(ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-
arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera
adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).
b. Arachnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput
arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang meliputi
otak 3,6. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural
dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis.
Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala.
c. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adarah membrana
vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang
paling dalam . Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya.
Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater.

Gambar 3. Lapisan Meningen Otak

4. Otak
Menurut perkembangan embriologi, otak atau encephalon terbagi atas 3 bagian yaitu :
a. Proencephalon yang berkembang menjadi telencephalon dan diencephalon.
Telencephalon selanjutnya menjadi hemisfer cerebri yang menempati fossa crania
anterior dan media.
b. Mesencephalon
c. Rhombencepahlon yang berkembang menjadi pons dan cerebellum.
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang dewasa sekitar
1,4 kg. Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan fungsi
emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi
sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus
oksipital bertanggungjawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas
berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada
medula oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggungjawab dalam
fungsi koordinasi dan keseimbangan.3
Gambar 4. Lobus-lobus Otak
(Dikutip dari kepustakaan 3)

5. Cairan Cerebrospinalis dan Vaskularisasi


Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan
produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui foramen
Monroe menuju ventrikel III, melalui akuaduktus Sylvius menuju ventrikel IV. Setelah
melalui 2 foramen Luschka di bagian lateral dan foramen Magendi di medial, CSS akan
direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus
sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid
sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan intrakranial.
Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan
sekitar 500 ml CSS per hari.
Otak mendapat suplai darah dari arteri karotis interna dan arteri vertebralis. Sedangkan
darah dari parenkim otak bermuara ke dalam sinus-sinus venosus yang kemudian dialirkan
ke vena jugularis interna.
Gambar 5. Otak, Medula spinalis. Gambaran berwarna biru merupakan distribusi cairan
serebrospinal
TRAUMA BENDA TUMPUL KEPALA
Benda tumpul yang sering mengakibatkan luka antara lain adalah batu, besi, sepatu, tinju,
lantai, jalan dan lain-lain. Adapun definisi dari benda tumpul itu sendiri adalah tidak bermata
tajam, konsistensi keras / kenyal dan permukaan halus / kasar.
Kekerasan tumpul dapat terjadi karena 2 sebab yaitu alat atau senjata yang mengenai atau
melukai orang yang relatif tidak bergerak dan yang lain orang bergerak ke arah objek atau alat
yang tidak bergerak. Dalam bidang medikolegal kadang-kadang hal ini perlu dijelaskan, walaupun
terkadang sulit dipastikan. Luka karena kererasan tumpul dapat berebentuk salah satu atau
kombinasi dari luka memar, luka lecet, luka robek, patah tulang atau luka tekan. Variasi
mekanisme terjadinya trauma tumpul adalah:
a) Benda tumpul yang bergerak pada korban yang diam.
b) Korban yang bergerak pada benda tumpul yang diam.
Sekilas nampak sama dalam hasil lukanya namun jika diperhatikan lebih lanjut terdapat perbedaan
hasil pada kedua mekanisme itu. Organ atau jaringan pada tubuh mempunyai beberapa cara
menahan kerusakan yang disebabkan objek atau alat, daya tahan tersebut menimbulkan berbagai
tipe luka yakni abrasi, laserasi, kontusi/ruptur, fraktur, kompresi, dan perdarahan.
Kekerasan benda tumpul pada kepala dapat mengenai bagian-bagian kepala tertentu
dengan efek yang masing-masing yaitu pada :
1) Kulit dapat menyebabkan :
a) L. Lecet
b) L. Memar
c) L. Robek
2) Tengkorak dapat terjadi :
a) Fraktur Basis Cranii
b) Fraktur Calvaria
3) Otak
a) Contusio Cerebri
b) Laceratio Cerebri
c) Oedema Cerebri
d) Commotio Cerebri
4) Selaput Otak
a) Epidural Haemorrhage
b) Sub dural Haemorrhage
c) Sub arachnoid Haemorrhage

A. Trauma Cranium (Tulang Tengkorak)


Beberapa klasifikasi fraktur tulang tengkorak dapat dilakukan berdasarkan : 7,8
1. Gambaran fraktur, dibedakan atas :
a. Linier
b. Diastase
c. Comminuted
d. Depressed
2. Lokasi anatomis, dibedakan atas :
a. Konveksitas (kubah tengkorak)
b. Basis cranii (dasar tengkorak)
3. Keadaan luka, dibedakan atas :
a. Terbuka
b. Tertutup

Deskripsi keadaan fraktur dapat menggunakan kombinasi dari ketiga klasifikasi di atas.
Gambaran fraktur sangat ditentukan oleh tiga hal, yaitu : 7-9
1. Besarnya kekuatan benturan
2. Perbandingan antara besar kekuatan dan luasnya daerah benturan, semakin besar nilai
perbandingan ini akan cenderung menyebabkan fraktur deppressed.
3. Lokasi dan keadaan fisik tulang tengkorak

Fraktur Linier
Fraktur linier merupakan garis fraktur tunggal pada tengkorak yang meliputi seluruh
ketebalan tulang. Umumnya disebabkan oleh benturan dengan objek yang keras (tumpul) dengan
ukuran sedang, yaitu dengan luas lebih dari 5 cm.2,7,8
Bila fraktur linier ini didapatkan melintasi daerah perdarahan a.meningea media, perlu
dicurigai terjadinya hematoma epidural arterial. Bila garis fraktur yang dijumpai melintasi daerah
sinus longitudinal superior atau sinus lateralis maka perlu dicurigai adanya hematoma epidural
vena.7,8

Gambar 3. Fraktur linier disebabkan oleh benturan keras pada kepala yang mengenai jalan raya
akibat kecelakaan lalu lintas. (dikutip dari kepustakaan No.10)

Fraktur Diastase
Fraktur diastase adalah fraktur yang terjadi pada sutura tulang tengkorak, dan berakibat
terjadinya pemisahan sutura kranial tersebut. Fraktur ini sering terjadi pada anak di bawah usia 3
tahun, sedangkan pada orang dewasa relatif lebih jarang. Fraktur diastase yang terjadi pada sutura
lambdoidea memiliki resiko terjadinya hematoma epidural. 7-9

Gambar 4. Fraktur diastase pada Coronal Suture Line (CSL) dan Sagital Suture Line (SSL).
Dikutip dari kepustakaan No.10
Fraktur Comminuted
Fraktur comminuted adalah fraktur yang menyebabkan terjadinya lebih dari satu fragmen
patahan tulang, namun masih dalam satu bidang. Beberapa literatur tidak membedakan fraktur ini
dengan fraktur linier, karena diasumsikan merupakan bentuk fraktur linier yang multipel. 7-9

Gambar 5. Gambaran fraktur comminuted. ( Dikutip dari kepustakaan No.11

Fraktur Deppressed
Fraktur ini disebababkan oleh benturan dengan beban tenaga yang lebih besar daripada
fraktur linier, dengan permukaan benturan yang lebih kecil. Misalnya benturan oleh martil, kayu,
batu, pipa besi, dll. Fenomena kontak yang terjadi disini lebih terfokus dan lebih padat sehingga
akhirnya melebihi kapasitas elastisitas tulang dan terjadilah perforasi tulang. Fraktur deppressed
diartikan sebagai fraktur dengan tabula eksterna pecahan fraktur yang tertekan masuk ke dalam
sehingga terletak di bawah level anatomik tabula interna tulang tengkorak sekitanya yang utuh.
Sebagai akibat impaksi tulang ini, dapat terjadi penetrasi terhadap duramater dan jaringan otak di
bawahnya, dan dapat berakibat kerusakan struktural dari jaringan otak tersebut.7,8

Gambar 6. Fraktur depressed pada tulang tengkorak


( Dikutip dari kepustakaan No.9 )

Fraktur Konveksitas
Fraktur konveksitas adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang yang membentuk konveksitas
(kubah) tengkorak seperti os frontalis, os temporalis, os parietalis, dan os occipitalis. Fraktur
konveksitas dapat berupa fraktur linier, deppressed, kominutif, atau diastase.7,8

Gambar 7. Fraktur konveksitas dengan hematoma subgaleal yang luas (pemeriksaan


postmortem) (Dikutip dari kepustakaan No.7)

Fraktur Basis Cranii


Fraktur basis cranii adalah fraktur yang lokasinya terletak pada dasar cranium, yang dapat
terjadi pada fossa anterior, fossa media, maupun fossa posterior. Fraktur jenis ini merupakan
kondisi yang serius, dapat berakibat fatal, dan memiliki komplikasi yang tidak ringan. Beberapa
literatur memberikan perkiraan kasus fraktur basis cranii mencapai 3 - 24 % dari total seluruh
kasus cedera kepala. Fraktur basis cranii sering disertai dengan robeknya lapisan duramater,
sehingga terjadi kebocoran cairan serebrospinal, yang akhirnya mengakibatkan terjadinya
rhinorea dan otorhea. Adanya kebocoran cairan serebrospinal memberikan resiko tinggi
terjadinya infeksi selaput otak maupun jaringan otak.7,8
Fraktur pada masing-masing fossa akan memberikan manifestasi berbeda :
a. Fraktur Basis Cranii Fossa Anterior
Bagian posterior dari fossa anterior dibatasi oleh os sphenoid, processus clinoidalis anterior
dan jugum sphenoidalis. Manifestasi yang ditimbulkan adalah rhinorea (cairan serebrospinal),
hematoma subkonjungtiva, dan ekimosis periorbita, bisa bilateral, biasa disebut sebagai brill
hematoma atau raccoon eyes. Ekimosis periorbita disebabkan oleh adanya perdarahan pada
struktur di belakangnya, bukan karena cedera langsung pada derah orbital. Untuk
membedakannya, dapat diperhatikan bahwa pada tanda ini batasnya tegas, selalu terletak di
bawah tepi orbita dan tidak didapatkan cedera lokal pada lapisan kulit. 7,8
b. Fraktur Basis Cranii Fossa Media
Bagian anterior langsung berbatasan dengan fossa anterior sedangkan bagian posterior
dibatasi oleh pyramida petrosus os temporalis, processus clinoidalis posterior dan dorsum sella.
Manifestasi yang dapat ditemukan adalah ekimosis pada mastoid (battle’s sign) yang muncul 24-
48 jam setelah cedera kepala terjadi, otorhea, dan hemotimpanum yaitu darah yang dijumpai pada
canalis auricularis eksterna, dapat terjadi bila membran timpani robek. 7,8

Gambar 8. Hematoma retroauriculer (battle’s sign) pada fraktur basis cranii fossa media
(Dikutip dari kepustakaan No.7)

c. Fraktur Basis Cranii Fossa Posterior


Fossa posterior merupakan dasar dari kompartemen infratentorial. Fraktur pada daerah ini
kadang memberikan tanda battle’s sign, akan tetapi sering tidak disertai dengan gejala dan tanda
yang jelas, dan dapat menimbulkan kematian dalam waktu singkat karena penekanan terhadap
batang otak. 7,8

Trauma Serebrum ( Cedera Otak )


Cedera otak dapat dibedakan atas kerusakan primer dan sekunder. 7,8
1. Kerusakan Primer
Cedera kepala primer adalah kerusakan yang terjadi pada masa akut, yaitu terjadi segera
saat benturan terjadi sebagai akibat dari kekuatan mekanik yang menyebabkan deformasi
jaringan. Kerusakan ini dapat bersifat fokal ataupun difus. 7,8

a. Kerusakan Fokal
Kerusakan fokal merupakan kerusakan yang melibatkan bagian-bagian tertentu dari otak,
tergantung pada mekanisme cedera yang terjadi. Kerusakan fokal yang timbul dapat berupa : 7,8
- Kontusio serebri
Kontusio serebri adalah kerusakan jaringan otak tanpa disertai robeknya piamater.
Istilah kontusio digunakan untuk menyatakan adanya cedera atau gangguan pada jaringan
otak yang lebih berat dari konkusi (concussion), dengan memiliki karakteristik adanya
kerusakan sel saraf dan aksonal, dengan titik-titik perdarahan kapiler dan edema jaringan otak.
Terutama melibatkan puncak-puncak gyrus karena bagian ini akan bergesekan dengan
penonjolan dan lekukan tulang saat terjadi benturan. 7,8

Gambar 9. Kontusio pada dasar lobus temporal dan frontal, disebut juga ’burst lobe’
(Dikutip dari kepustakaan No.7)

Kontusio dapat terjadi pada lokasi benturan (coup contussion), di tempat lain
(countrecoup contussion) atau dapat pula terjadi diantara lesi coup dan countercoup yang
disebut sebgai intermediate-coup contussion. 7,8
Gambar 10. Lesi coup dan countrecoup sehubungan dengan mekanisme
Cedera kepala (Dikutip dari kepustakaan No.7)

Lesi kontusio sering berkembang sejalan dengan waktu, sebabnya antara lain adalah
perdarahan yang terus berlangsung, iskemik nekrosis, dan diikuti oleh edema vasogenik.
Kontusio tampak tidak terlalu berat, namun dapat mengakibatkan kematian karena adanya
komplikasi yang ditimbulkan, misalnya komplikasi kardiopulmonal. 7,8

- Laserasi serebri
Laserasi serebri adalah kontusio serebral yang berat, dimana mengakibatkan gangguan
kontinuitas jaringan otak yang kasat mata, dan dalam hal ini terdapat kerusakan atau robeknya
piamater. Laserasi biasanya berkaitan dengan adanya perdarahan subarachnoid traumatika,
subdural akut, dan intraserebral. Laserasi dapat dibedakan atas laserasi langsung dan tidak
langsung. Laserasi langsung disebabkan oleh luka tembus kepala yang disebabkan oleh benda
asing atau penetrasi fragmen fraktur terutama pada fraktur depressed terbuka. Sedangkan
laserasi tak langsung disebabkan oleh deformasi jaringan yang hebat akibat kekuatan
mekanis. 7,8

- Perdarahan intrakranial
o Hematoma Epidural
Hematoma epidural atau dalam beberapa literatur disebut pula sebagai
hematoma ekstradural, adalah keadaan dimana terjadi penumpukan darah diantara
duramater dan tabula interna tulang tengkorak. Umumnya disebabkan oleh trauma
tumpul kepala, yang mengakibatkan terjadinya fraktur linier, namun dapat pula tanpa
disertai fraktur. Lokasi yang paling sering adalah di bagian temporal atau
temporoparietal ( 70 % ) dan sisanya di bagian frontal, oksipital, dan fossa serebri
posterior. Darah pada hematoma epidural membeku, berbentuk bikonveks.
Sumber perdarahan yang paling sering adalah dari cabang a.meningea media,
akibat fraktur yang terjadi di bagian temporal tengkorak. Namun dapat pula dari arteri
dan vena lainnya, atau bahkan keduanya. Hematoma epidural yang tidak disertai
fraktur tulang tengkorak akan memiliki kecenderungan lebih berat, karena
peningkatan tekanan intrakranial akan lebih cepat terjadi. 7,8

Gambar 11. Hematoma epidural. (Dikutip dari kepustakaan No.10)

o Hematoma Subdural
Hematoma subdural adalah perdarahan yang terjadi diantara lapisan
duramater dan arachnoidea. Perdarahan yang terjadi dapat berasal dari pecahnya
bridging vein yang melintas dari ruang subarachnoidea atau korteks serebri ke
ruang subdural, dengan bermuara dalam sinus venosus duramater. Selain itu dapat
pula akibat robekan pembuluh darah kortikal, subarachnoidea, atau arachnoidea
yang disertai robeknya lapisan arachnoidea. Perdarahan jenis ini relatif lebih
banyak terjadi daripada hematoma epidural, dan memiliki angka mortalitas yang
tinggi, antara 60-70 % untuk yang sifatnya akut. 7,8
Gambar 12. Hematoma subdural ( Dikutip dari kepustakaan No.10 )

o Hematoma Sub – Arachnoid


Hematoma sub arachnoid terjadi akibat rupturnya bridging vein pada ruang
sub arachnoid, atau pembuluh darah yang ada pada permukaan jaringan otak.
Robekan pembuluh darah terjadi akibat gerakan dindingnya yang timbul kala otak
bergerak atau menggeser. Perdarahan terletak antara arachnoid dan piamater,
mengisi ruang subarachnoid dan masuk ke dalam sistem cairan serebrospinalis.
Umumnya lesi disertai dengan kontusio atau laserasi serebri. Perdarahan
subarachnoid yang terjadi murni tanpa ada lesi lain hanya sekitar 10 %. Darah
yang masuk ke dalam subarachnoid dan sistem cairan serebrospinalis tersebut
akan menyebabkan terjadinya iritasi meningeal. Adanya darah dalam ruang
subarachnoid ini akan berakibat arteri mengalami spasme. Sebagai akibatnya
aliran darah ke otak sangat berkurang, bahkan diduga dapat turun hingga tinggal
40 %. Vasospasme biasanya mulai terjadi pada hari ketiga dan mencapai
puncaknya pada hari ke 6-8, dan akhirnya menghilang pada hari ke-12.
Vasospasme ini akan menyebabkan terganggunya mikrosirkulasi dalam otak dan
sebagai dampaknya akan terjadi edema otak.
Perdarahan subarachnoid yang terjadi pada cedera kepala dapat juga
mengakibatkan terjadinya hidrosefalus, baik tipe komunikan maupun non
komunikan. Tipe komunikan terjadi bila produk darah mengobstruksi villi
arachnoid, sedangkan tipe non komunikans dapat terjadi bila bekuan darah
mengobstruksi ventrikel keempat atau ketiga. 7,8
Gambar 13. Hematoma subarachnoid. (A) Hematoma subarachnoid pada lobus occipital pada
kasus Diffuse Axonal Injury. (B) Hematoma subarachnoid pada lobus frontal dan lobus parietal.
(C) Hematoma subarachnoid yang kecil pada fissura sylvii. (Dikutip dari kepustakaan No.9)

o Hematoma intraserebri
Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan
(parenkim otak). Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan
otak yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam
jaringan otak tersebut. Perdarahan dapat berlokasi di bagian mana saja, misalnya
di substansia alba hemisfer serebri, serebellum, diensefalon, atau mungkin juga di
corpus callosum. Akan tetapi lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis dan
temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi
lainnya (countre-coup). 7,8
Lesi dapat berupa fokus perdarahan kecil-kecil, namun dapat pula berupa
perdarahan yang luas. Perdarahan yang kecil-kecil umumnya sebagai akibat lesi
akselerasi-deselerasi, sedangkan yang besar umumnya akibat laserasi atau
kontusio serebri berat. Beberapa sumber menyatakan definisi hematoma
intraserebri adalah perdarahan lebih dari 5 cc, sedangkan bila kurang maka disebut
petechial intraserebri (kontusio serebri). Perdarahan dapat terjadi segera, dapat
pula beberapa hari atau minggu kemudian, khususnya pada pasien lanjut usia. 7,8
Perdarahan pada lobus temporal memberikan resiko besar terjadinya
herniasi uncus yang berakibat fatal. Hematoma intraserebral yang disertai dengan
hematoma subdural, kontusio atau laserasi pada daerah yang sama memiliki efek
yang juga fatal, dan disebut sebagai ”burst lobe”. Bentuk perdarahan lainnya
adalah yang disebut Bollinger’s apoplexy, yaitu hematoma intraserebral yang
terjadi setelah beberapa minggu (atau bulan) setelah cedera dan selama waktu
tersebut pasien dalam keadaan neurologis yang normal. Hal ini berkaitan dengan
keadaan hipotensi, syok, DIC, dan konsumsi alkohol. 7,8

Gambar 14. Dua area hematoma intraserebral pada whhite matter (kiri) dan di ganglia basal
(kanan). (Dikutip dari kepustakaan No.12)

o Hematoma Intraventrikuler
Hematoma intraventrikuler adalah adanya darah dalam sistem ventrikel,
dalam hal ini akibat trauma. Sumber perdarahan tidak selalu mudah diketahui,
bahkan biasanya sulit ditemukan, mungkin dari robekan vena di dinding ventrikel,
korpus kalosum, septum pelusidum, forniks, atau pada pleksus koroid. Dapat pula
sebagai perluasan dan perdarahan di lobus temporal atau frontal, atau ganglia
basalis. Biasanya hematoma ini didapatkan menyertai trauma kepala dengan
hematoma subarachnoid. Cedera kepala yang sampai menyebabkan perdarahan
intraventrikel ini merupakan cedera yang sangat berat, dan karenanya memiliki
mortalitas yang tinggi. 7,8
Gambar 15. hematoma intraventrikular. (Dikutip dari kepustakaan No.12)

Kerusakan Difus
Kerusakan difus adalah kerusakan yang sifatnya berupa disfungsi menyeluruh dari otak, dan
umumnya bersifat mikroskopis. Kerusakan ini paling sering disebabkan oleh kecelakaan lalu
lintas dengan kecepatan tinggi sehingga terjadi mekanisme akselerasi dan deselerasi. Angulasi,
rotasi, dan peregangan yang timbul menyebabkan robekan serabut saraf pada berbagai tempat
yang sifatnya menyeluruh. Berdasarkan gambaran patologinya, kerusakan difus ini dibedakan
atas: 7,8
- Diffuse Axonal Injury (DAI)
DAI adalah adanya kerusakan akson yang difus dalam hemisfer serebri, korpus
kalosum, batang otak, dan serebelum (pedunkulus). Awalnya, kekuatan renggang pada saat
benturan melebihi level ketahanan akson, sehingga terjadi sobekan atau fragmentasi
aksolemma, dan keteraturan susunan sitoskeleton akson akan menjadi rusak. Terjadi pada saat
benturan, tetapi ada yang memberi batas waktu dalam 60 menit sejak kejadian (primer
axotomy). 7,8
Aksolemma dan susunan membran pada awalnya masih utuh, walaupun susunan
sitoskeleton akson terganggu. Penghantaran aksoplasma akan terbendung pada sitoskeleton
yang mengalami kerusakan sehingga terjadi pembengkakan akson (retraction ball), yang pada
akhirnya akan menyebabkan putusnya akson. Terjadi antara 12 – 48 jam (secondary
axotomy). 7,8

- Diffuse Vascular Injury (DVI)


DVI ditandai dengan perdarahan kecil-kecil yang menyebar pada seluruh hemisfer,
khusunya massa putih daerah lobus frontal, temporal, dan batang otak, biasanya pasien segera
meninggal dalam beberapa menit. Pada DVI, terjadi perubahan struktur menyeluruh pada
endotel mikrovaskular otak. Sehingga terjadi ekstravasasi sel darah merah. 7,8

2. Kerusakan Sekunder
Kerusakan sekunder adalah kerusakan otak yang timbul sebagai komplikasi dari kerusakan
primer termasuk kerusakan oleh hipoksia, iskemia, edema otak, TTIK (Tekanan Tinggi
Intrakranial), hidrosefalus dan infeksi. Berdasarkan mekanismenya, kerusakan ini dapat
dikelompokkan atas dua, yaitu : 7,8
a. Kerusakan hipoksik – iskemik menyeluruh ( Diffuse hypoxic-ischemic damage)
Kerusakan ini sudah berlangsung pada saat antara terjadinya trauma dan awal pengobatan.
Kerusakan ini timbul karena : 7,8
- Hipoksia : penurunan jumlah O2 dalam alveoli
- Iskemia : berhentinya aliran darah
- Hipotensi arterial sistemik
b. Edema otak menyeluruh (Diffuse brain swelling)
Keadaan ini terjadi akibat peningkatan kandungan air dalam jaringan otak atau
peningkatan volume darah (intravaskuler), atau kombinasi keduanya. Pada diffuse brain
swelling sebenarnya belum jelas patogenesisnya, diperkirakan sebagai jenis kongestif karena
kehilangan tonus vasomotor. 7,8
TRAUMA LUKA TEMBAK KEPALA

Luka tembak adalah luka yang disebabkan oleh penetrasi anak peluru yang masuk ke

dalam tubuh yang diproyeksikan dengan senjata api atau persentuhan peluru dengan tubuh.

Yang termasuk dalam luka tembak adalah luka tembak masuk maupun luka tembak keluar.

Luka tembak masuk terjadi apabila anak peluru memasuki suatu objek dan tidak keluar lagi,

sedangkan pada luka tembak keluar, anak peluru menembus objek secara keseluruhan.

Umumnya luka tembak ditandai dengan luka masuk yang kecil dan luka keluar yang lebih

besar. Luka ini biasanya juga disertai dengan kerusakan pada pembuluh darah, tulang, dan

jaringan sekitar.

Luka tembak terjadi karena energy dari peluru saat menembus tubuh. Semakin besar

energy yang dihasilkan peluru, semakin parah luka yang dapat terjadi. Energy akan meningkat

seiring, besar, berat, dan kecepatan pelurunya. Secara umum peluru berukuran besar yang

ditemabakkan dari senapan menyebabkan luka yang lebih besar dibandingkan dengan peluru

berukuran kecil yang ditembakkan dari pistol.

KLASIFIKASI LUKA TEMBAK

Klasifikasi luka tembak ada 2 macam, antara lain :

1. Luka Tembak Masuk

Pada saat seseorang melepaskan tembakan dan kebetulan mengenai sasaran, yaitu

tubuh korban, maka pada tubuh tersebut akan didapatkan perubahan yang diakibatkan

oleh beberapa unsur atau komponen yang keluar dari laras senjata api tersebut. Adapun

komponen atau unsur-unsur yang keluar pada setiap penembakan adalah: Anak peluru,
Butir-butir mesiu yang tidak terbakar atau sebagian terbakar, asap atau jelaga, api dan

partikel logam.

Klasifikasi luka tembak masuk di kulit sebaiknya didasarkan pada jarak

tembakan karena hal terpenting pada pemeriksaan kasus luka tembak adalah menentukan

jarak tembakan. Berdasarkan jarak tembakan, luka tembak masuk diklasifikasikan

menjadi 3, yaitu :

a. Luka tembak masuk kontak

Pada umumnya luka tembak masuk kontak adalah perbuatan bunuh diri.

Terjadi bila laras senjata api ditekankan pada kulit dan ditembakkan. Sasarannya

adalah daerah temporal, dahi sampai occiput, dalam mulut, telinga, wajah di bawah

dagu dengan arah yang menuju otak. Luka pada kulit tidak bulat, tetapi terbentuk

bintang dan sering ditemukan cetakan/jejas ujung laras daun mata pejera. Terjadinya

luka terbentuk bintang disebabkan karena ujung laras ditempelkan pada kulit, maka

seluruh gas masuk ke dalam dan akan keluar melalui lubang anak peluru. Pada

tepinya terdapat gelang kontusi dan apabila ada rambut akan hangus. Disamping ada

gelang kontusi tepi luka menunjukkan tanda luka terdapat sisa-sisa mesiu, tattoage

minimal atau tidak ada.

Apabila senjata dipegang erat menekan kulit, sisa mesiu tedapat dalam yang

tijaringan subkutan dan dalam saluran tembakan. Apabila ada tulang di bawah kulit,

penghitaman karena mesiu sering dapat ditemukan pada permukaan kulit tebal, maka

tepi luka akan berbentuk bintang atau robek-robek karena gas-gas yang masuk

terhalang tulang, berbalik keluar. Seringkali tepi luka berwarna “pinkish-red” karena
terbentuknya carboxylhemoglobin akibat gas CO yang masuk. Pada kontak erat dapat

terjadi cetakan dari moncong laras.

Ciri-ciri Luka tembak kontak pada regional kepala adalah :1

- Kebiasaannya sasaran tembak untuk kasus bunuh diri di daerah temporal,


dahi sampai occiput, dalam mulut, telinga, wajah dibawah dagu dengan
arah yang menuju otak.
- Terjadi bila moncong senjata ditekan pada tubuh korban dan ditembakkan.
- Umumnya luka berbentuk bundar yang dikelilingi kelim lecet yang sama
lebarnya pada setiap bagian.
- Jaringan subkutan 5-7,5 cm di sekitar luka tembak masuk mengalami
laserasi.
- Di sekeliling luka tampak daerah yang berwarna merah atau merah cokelat,
yang menggambarkan bentuk dari moncong senjata, ini disebut jejas laras.
- Rambut dan kulit sekitar luka dapat hangus terbakar.
- Saluran luka akan berwarna hitam yang disebabkan oleh butir-butir mesiu,
jelaga dan minyak pelumas.
- Tepi luka dapat berwarna merah, oleh karena terbentuknya COHb.
- Bentuk luka tembak tempel sangat dipengaruhi oleh keadaan / densitas
jaringan yang berada dibawahnya, dengan demikian dapat dibedakan :
o Luka tembak tempel di daerah dahi
 Luka berbentuk bintang
 Terdapat jejas laras
o Luka tembak tempel di daerah pelipis
 Luka berbentuk bendar
 Terdapat jejas laras
o Luka tembak tempel di daerah perut
 Luka berbentuk bundar
 Kemungkinan besar tidak terdapat jejas laras
Scalp

Skull

Gases and

soot

Stellate,

seared,

blackened

wound

margins

Gambar 22. Luka tembak tempel didaerah dahi. (dikutip dari kepustakaan 3)

b. Luka tembak masuk jarak dekat

Pada umumnya luka tembak masuk jarak dekat ini desebabkan oleh peristiwa

pembunuhan, sedangkan untuk bunuh diri biasanya ditemukan tanda-tanda schot

hand. Terjadi pada jarak tembakan mulai jarak dari kontak longgar hingga jarak

kurang dari 60 cm, mempunyai ciri-ciri yang khas yang disebabkan karena efek dari

asap, nyala api, dan tattoage. Efek dari nyala api terjadi pada tembakan sampai 30

cm. Tattoo yang disebabkan mesiu yang tidak terbakar dapat terlihat sekitar luka

tembak masuk pada tembakan kurang dari 60 cm. Kadang-kadang ditemukan juga

mental fouling pada luka tembak masuk jarak dekat. Pada tepi luka terdapat gelang

kontusi selebar 1-1,5 cm.


Gambar 23. Disekitar luka tembak di bagian kepala terdapat bintik-bintik hitam (kelim
tattoo) dan kelim jelaga.8

c. Luka tembak masuk jarak jauh

Berbentuk bulat atau oval, tanpa adanya kekotoran/noda-noda yang disebabkan

nyala api, asap atau sisa-sisa mesiu/tattoage. Pada arah tembakan tegak lurus

permukaan sasaran bentuk contusion ring-nya konsentris, bundar. Sedangkan pada

tembakan miring bentuk contusion ring-nya oval. Luka sedemikan disebabkan

tembakan pada jarak lebih dari 60-75 cm.

Tepi luka umumnya menunjukkan gelang kontusi dengan jelaga disekitar luka.

Dapat juga ditemukan kemerahan pada tepi luka disebabkan karena ecchymosis

akibat perdarahan di dalam kulit. Jelaga di sekitar luka disebabkan karena hapusan

dari jelaga anak peluru.


Gambar 24. Luka tembak masuk jarak jauh.Arah tembakan lurus permukaan
sasaran, bentuk contusion ringnya konsentris.

2. Luka Tembak Keluar

Luka tembak keluar di kulit terjadi sama dengan luka tembak masuk. Hanya saja

kekuatan yang meregangkan kulit, arahnya dari dalam keluar. Tembakan dilepaskan

menembus jaringan lunak yang tipis, seperti pada ekstremitas memungkinkan terjadinya

luka ini. Luka tembak keluar dapat menimbulkan kesulitan dalam interpretasinya sebab

bervariasi dalam ukuran dan bentuk. Faktor-faktor yang mempengaruhi ialah :

 Kecepatan dari anak peluru pada waktu keluar.

 Luas daerah yang terkena anak peluru pada waktu keluar.

 Deformasi anak peluru..

 Ada tidaknya fragmen tulang yang ikut keluar.

 Ada tidaknya tulang di bawah kulit tempat kelluar.

 Ada tidaknya benda yang tertekan pada kulit tempat keluar.

Kecepatan dan besar anak peluru adalah fator penting dalam menentukan besarnya

luka yang ditimbulkan, makin besar kecepatannya, makin besar kerusakan yang

ditimbulkan sehingga semakin besar luka keluarnya.


Deformitas anak peluru dan goyangan yang disebakan organ-organ dalam tubuh

yang tidak sama kepadatannya menyebabkan anak peluru bergerak tidak beraturan

sehingga pada waktu keluar akan menimbulkan luka yang lebih besar daripada luka

tembak masuknya. Bentuk luka tembak keluar jadi sangat bervariasi, dapat ulat, stelatte,

cruciata, elips, kadang-kadang hanya berupa laserasi seperti luka iris.

Pada luka tembak keluar tidak ada gelang kontusi kecuali apabila ada benda keras

yang menempel/menekan kulit tempat peluru keluar, seperti korban menempel di tembok

atau tergeletak di lantai, atau anak peluru keluar itu mengenai sabuk atau benda keras lain.

Dalam keadaan demikian bentuk luka tembak tidak hanya bulat, tetapi juga menunjukkan

adanya “gelang kontusi” ditepinya yang dapat dikacaukan sebagai luka tembak masuk.

3. Luka tembak pada tulang. 1

Khususnya tulang pipih akan akan menunjukkan kelainan yang khas, sehingga

walupun korban telah mengalami pembusukan masih tetap akan dapat dikenali dari bagian

sebelah mana peluru masuk pada bagian mana pula peluru tersebut keluar. Luka tembak

pada kepala merupakan contoh yang baik untuk melihat kelainan dimaksud.

- Pada tempat masuknya peluru, lubang yang terjadi pada tabula eksterna akan

lebih kecil dibandingkan dengan lubang pada tabula interna, sehingga

membentuk corong yang membuka keluar.

- Pada tempat keluarnya peluru, lubang yang terjadi pada tabula interna akan

lebih kecil bila dibandingkan dengan lubang eksterna, sehingga membentuk

corong yang membuka keluar.

- Pada luka tembak tempel dapat dijumpai jejas berwarna hitam yang

ditimbulkan oleh butir-butir mesiu yang tidak terbakar atau sebagian


terbakar, yang menempel pada tepi lubang yang terbentuk pada tengkorak

atau tulang.

Gambar 25. Gambaran luka tembak masuk dan luka tembak keluar pada tulang tengkorak. 1

MEKANISME SUATU TEMBAKAN

Anak peluru yang menembus kulit akan menyebabkan terjadnya lubang yang dikelilingi

bagian yang kehilangan kulit ari berupa kelim lecet. Selain itu zat yang melekat pada anak

peluru, seperti minyak pelumas koma, jelaga, dan elemen mesiu (Pb, Sb, Ba) akan terusap

pada tepi lubang (pada luka tembak masuk jarak jauh). Butir-butir mesiu yang tidak habis

terbakar akan tertanam pada kulit di sekitar kelim lecet, membentuk kelim tattoo (pada luka

tembak masuk jarak dekat), dan jelaga/asap yang keluar dari ujug laras senjata akan

membentuk kelim jelaga, sedangkan api yang ikut keluar akan membentuk kelim api (berupa

hiperemi atau jaringan yang terbakar, pada luka tembak masuk jarak sangat dekat). Ujung
larang yang menempel pada kulit saat senjata api ditembakka akan membentuk luka lecet

tekan yang mengelilingi kelim lecet dengan sekitar yang menonjol, dikenal sebagai jejak laras.

LTM (luka tembak masuk) jarak jauh hanya dibentuk oleh komponen anak peluru,

sedangkan LTM jarak dekat dibentuk oleh komponen anak peluru dan butir-butir mesiu yang

tidak habis terbakar. LTM jarak sangan dekat dibentuk oleh komponen anak peluru, butir

mesiu, jelaga, dan panas/api. LTM tempel/kontak dibentuk oleh seluruh komponen tersebut

di atas (yang akan masuk ke dalam saluran luka) dan jejas laras. Saluran luka akan berwarna

hitam dan jejas laras akan tampak mengelilingi luka tembak masuk sebagai luka lecet jenis

tekanan, yang terjadi sebagai akibat tekanan berbalik dari udara hasil ledakan mesiu. Bila

seluurh lingkaran laras senjata menempel tegak lurus pada kulit, maka butir mesiu, jelaga api,

semuanya masuk ke dalam luka. Tekanan balik gas panas yang masuk ke dalam saluran dapat

mengakibatkan peregangan kulit yang sangat besar dan memberikan gambaran luka seperti

bintang. Bila tidak seluruh lingkaran laras senjata menempel pada permukaan kulit, maka akan

terbentuk gambaran LTM yang merupakan kombinasi dari LTM tempel dan LTM jarak sangat

dekat.

Gambaran LTM jarak jauh dapat juga ditemukan pada korban yang tertembak pada jarak

yang dekat/sangat dekat, apabila di atas permukaan kulit terdapat penghalang misalnya

pakaian yang tebal, ikat pinggang, helm, dan sebagainya sehingga komponen-komponen butir

mesiu yang tidak habis terbakar, jelaga, dan api tertahan oleh penghalang tersebut.

Pada tempat anak peluru meninggalkan tubuh korban akan ditemukan LTK (luka

tembak keluar). LTK umumnya lebih besar dari LTM akibat terjadinya deformitas anak

peluru, bergoyangnya anak peluru, dan terikutnya jaringan tulang yang pecah keluar dari LTK.

Pada anak peluru yang menembus tulang pipih, seperti tulang atap tengkorak, akan terbentuk
corong yang membuka searah dengan gerak anak peluru. LTK mungkin lebih kecil daripada

LTM bila terjadi pada luka tembak tempel/kontak, atau pada anak peluru yang telah kehabisan

tenaga pada saat akan keluar meninggalkan tubuh. Bentuk LTK tidak khas dan sering tidak

beraturan.

PERBEDAAN LUKA TEMBAK MASUK DAN KELUAR

No. Luka Tembak Masuk Luka Tembak Keluar

1. Ukurannya kecil karena peluru Luka tembak keluar ukurannya lebih

menembus kulit seperti bor dengan besar dan lebih tidak teratur

kecepatan tinggi dibandingkan luka tembak masuk, karena

kecepatan peluru berkurang sehingga

menyebabkan robekan jaringan

2. Pinggiran luka melekuk kea rah dalam Pinggiran lukan melekuk keluar karena

karena peluru menembus kulit dari luar peluru menuju keluar

3. Pinggiran luka mengalami abrasi Pinggiran luka tidak mengalami abrasi

4. Pakaian masuk ke dalam luka, dibawa Tidak ada

oleh peluru yang masuk

5. Pada luka bisa tampak hitam, terbakar, Tidak ada

kelim tattoo, atau jelaga

6. Pada tulang tengkorak, pinggiran luka Tampak seperti gambaran mirip kerucut

teratur bentuknya

7. Bisa tampak berwarna merah terang Tidak ada

akibat adanya zat Karbonmonoksida


8. Disekitar luka tampak kelim Tidak ada

ecchymosis

Tabel 1. Perbedaan Luka Tembak Masuk dan Luka Tembak


Keluar

Patofisiologi Trauma pada Kepala


Trauma Cranium (Tulang Tengkorak)
Ketebalan dan elastisitas jaringan tulang menentukan kemampuan tulang tersebut untuk
menyesuaikan diri dengan proses perubahan bentuk (deformasi) saat benturan. Hal ini juga
dipengaruhi oleh umur, dengan pertambahan usia maka elastisitas jaringan tulang akan berkurang.
Keadaan tulang yang mempengaruhi adalah tingkat elastisitas dan ketebalan tulang tengkorak.7,8
Pada saat terjadi benturan, terjadi peristiwa penekanan pada tabula eksterna di tempat
benturan dan peristiwa peregangan pada tabula interna. Peristiwa peregangan tabula interna ini
tidak hanya terbatas di bawah daerah kontak, tetapi meliputi seluruh tengkorak. Jika peregangan
ini melebihi kemampuan deformasi tulang tengkorak, terjadilah fraktur. Oleh sebab itu, peristiwa
fraktur pada tulang tengkorak berawal dari tabula interna yang kemudian disusul oleh tabula
eksterna. 7,8
Benturan pada tulang tengkorak menyebabkan perubahan elastisitas pada tulang tengkorak,
mencakup lekukan ke dalam (inbending) pada bagian tulang yang terkena dan biasa pula terjadi
variasi lain dimana terjadi lekukan ke arah luar (outbending). Apabila kekuatan benturan
mengenai area yang kecil (misal: pukulan atau senjata) maka fraktur biasanya memberikan
gambaran inbending, sedangkan apabila area yang terkena benturan itu luas, maka biasanya akan
memberikan gambaran outbending. Bentuk konveks dari tulang tengkorak menyebabkan
penyebaran energi secara efisien dimana vertex merupakan puncak dari tulang tengkorak. Pada
banyak kasus, fraktur linier akan bercabang sepanjang diastase dan membentuk fraktur diastase.
Sebaliknya, energi yang terjadi pada basis tulang tengkorak (basis cranii) akan menyebabkan
fraktur linier yang akan mengakibatkan tejadinya kelemahan, memberikan berbagai gambaran
adanya udara dalam foramina dan sinus. 7,8

Trauma Cerebrum (Otak)


Ruang intrakranial adalah suatu ruangan kaku yang terisi penuh sesuai kapasitasnya dengan
unsur yag tidak dapat ditekan, otak 1400 gr, cairan serebrospinal ± 75ml, dan darah ± 75 ml.
Peningkatan volume salah satu diantara ketiga unsur utama ini mengakibatkan desakan pada
ruangan yang ditempati oleh unsur lainnya dan menaikkan tekanan intrakranial. Peningkatan
Tekanan Intrakranial (TIK) tudak hanya disebabkan oleh cedera kepala melainkan mempunyai
banyak penyebab lainnya.13
TIK normal berkisar antara 50-200 mmH2O atau 4-15 mmHg. TIK dalam keadaan normal
dipengaruhi oleh aktivitas sehari-hari dan dapat meningkat melebihi batas normal. Aktivitas
tersebut antara lain pernapasan perut yang dalam, batuk, dan mengedan. Kenaikan sementara TIK
tidak menimbulkan kesukaran, tetapi kenaikan TIK yang menetap mempunyai akibat merusak
pada kehidupan jaringan otak.13
Mekanisme yang bekerja bila salah satu dari tiga elemen intrakranial meningkat sangat
penting untuk mempertahankan integritas otak. Perubahan kompensatoris meliputi pengalihan
cairan serebrospinal ke rongga spinal, peningkatan aliran vena dari otak, dan sedikit tekanan pada
jaringan otak. Tumor, cedera otak, edema, dan obstruksi aliran cairan serebrospinalis semua dapat
meningkatkan TIK. Mekanisme kompensasi akan menjadi tidak efektif bila menghadapi
peningkatan TIK yang serius dan berlangsung lama. 13
Edema otak merupakan sebab yang paling lazim dari peningkatan TIK dan memiliki
banyak penyebab antara lain peningkatan cairan intrasel, hipoksia, ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit, iskemia serebral,meningitis, dan tentu saja cedera kepala.
TIK pada umumnya bertambah secara berangsur-angsur. Setelah cedera kepala, timbulnya
edema memerlukan waktu 36-48 jam untuk mencapai maksimum. Peningkatan TIK sampai 33
mmHg ( 450 mmH2O ) mengurangi Aliran Darah Otak (ADO) secara bermakna. Iskemia yang
timbul merangsang pusat vasomotor, dan tekanan darah sistemik meningkat. Rangsangan pada
pusat inhibisi jantung mengakibatkan bradikardia dan pernapasan menjadi lebih lambat.
Mekanisme kompensasi ini dikenal sebagai refleks cushing yang membantu mempertahankan
ADO. Akan tetapi menurunnya pernapasan mengakibatkan retensi CO2 dan mengakibatkan
vasodilatasi otak yang mengakibatkan peningkatan TIK. Tekanan darah sistemik akan terus
meningkat sebanding dengan peningkatan TIK, walaupun akhirnya dicapai suatu titik dimana
TIK melebihi tekanan arteri dan sirkulasi otak berhenti dengan akibat kematian otak. 13
Cedera otak menyebabkan fragmentasi jaringan dan kontusio, merusak Sawar Darah Otak
(SDO), disertai vasodilatasi dan eksudasi cairan sehingga timbul edema. Edema menyebabkan
peningkatan tekanan pada jaringan dan akhirnya meningkatkan TIK, yang pada gilirannya akan
menurunkan Aliran Darah Otak (ADO), iskemia, hipoksia, asidosis (penurunan O2 dan
penigkatan CO2), dan kerusakan SDO lebih lanjut. Siklus ini akan terus berlanjut hingga terjadi
kematian sel.13

Hasil Temuan Pemeriksaan (Otopsi) Trauma Kepala pada Mayat

1. Fraktur tulang tengkorak.


Pada pemeriksaan luar fraktur basis crania dapat ditemukan adanya lebam periorbital
(raccoon eyes), perdarahan sclera, perdarahan retroauricular (Battle’s sign) dan perdarahan dari
telinga. 9
Gambar: Manifestasi eksternal fraktur basis cranii. (A) Lebam periorbital (raccoon eyes). (B)
Perdarahan sclera. (C) Perdarahan dari telinga. (D) Lebam dibelakang telinga (Battle’s sign).
2. Epidural Hematom.
Temuan autopsi pada epidural hematom yang tidak ditangani sangat jelas. Terdapat
kontusio pada kulit kepala temporal di sisi hematom, hematom yang besar pada ruang epidural
dapat terlihat ketika tulang tengkorak dibuka. Edema serebral berat difus yang hebat sebagai efek
okupansi ruang intracranial oleh hematom dapat diamati, termasuk herniasi subfalcine, yang
meluas dari sisi hematom ke arah yang berlawanan, dan herniasi transtentorial, yang biasa lebih
terlihat pada sisi yang hematom. Pembengkakan hemisfer serebral dibawah hematom
menyebabkan permukaan otak tampak mulus. 9
3. Subdural hematom.
a. Subdural hematom akut. Temuan luar pada kasus subdural hematom akut dapat
mencerminkan penyebab trauma. Banyak kasus pada pada subdural hematom akut, baik
apakah disebabkan oleh serangan atau jatuh, memiliki tanda trauma benda tumpul pada
pemeriksaa luar, lebih umum terdapat di wajah daripada di kepala. Fraktur tengkorak umum
terjadi. Pada kasus di hematom yang tidak ditangani, hematom yang terjadi meluas pada ruang
dibawah duramater karena sifat dari duramater yang kaku. Hematoma tercetak pada
permukaan otak di bawahnya sehingga undulasi kortikal normal tetap terjaga bahkan ketika
terjadi udem otak berat (berkebalikan dengan permukaan otak yang mulus dibawah epidural
hematom. Kecembungan girus pada hemisfer pada arah yang berlawanan mendatar dan sulcus
di dekatnya tertekan, mencerminkan suatu efek space-occupying dari hematom dan udem otak
sekunder. Herniasi transtentorial dan herniasi tonsillar sering terjadi. 9
b. Subdural hematom kronik. Pada subdural hematom kronik, terdapat berbagai variasi
penampakan yang berhubungan dengan ukuran dan lamanya. Umumnya, kavitas hematom
sempit dan mengandung darah cair atau cairan yang bercampur dengan darah. Hematom
ditutup oleh lapisan tipis membrane dalam dan lapiran tebal membrane luar. Penampilannya
bermacam-macam, terbentuk dari perdarahan baru, perdarahan lama yang kelabu,
hemosidering kuning dan kolagen pucat serta jaringan fibrotic lainnya. Jika hematom
merupakan penyebab kematian, efek dari space-occupancy akan terlihat pada herniasi
subfalcine, uncal dan tonsillar. 9
4. Perdarahan subarachnoid.
Perdarahan pada ruang subarachnoid yang diakibatkan oleh trauma kranioserebral sering
ekstensif karena cairan serebrospinal dan darah subarachnoid yang tidak membeku mengalir
bebas pada ruang subarachnoid. Jumlah perdarahan subarachnoid proporsional terhadap interval
antara waktu trauma dan kematian (dapat minimal apabila kematian terjadi segera setelah trauma)
dan ukuran dari sumber perdarahan, dan, meskipun jejas darah subarachnoid dapat menyebar luas,
biasa yang paling jelas terletak dekat dengan sumbernya. 9
5. Perdarahan intraserebral.
Perdarahan intraserebral dapat terjadi dalam bentuk kontusio-hematom, perdarahan batang
otak yang menyebabkan herniasi transtentorial, himatom jauh di dalam otak terpisah dari
konveksitas hemisfer, hematom ekstraganglion atau lobar yang soliter dan berukuran sedang-
besar, hematom serebral yang terisolasi, dan tipe yang jarang di mana terjadi robekan antara
korpus kalosum dorsolateral dan girus cingulated menyebabkan perdarahan ke dalam ventrikel
dan hematom yang membelah white matter antara dasar lateral korpus kalosum dan girus
cingulate. 9
6. Perdarahan intraventrikular.
Keberadaan darah yang berlebihan pada ventrikel keempat, terlihat melalui foramen
Luschka dan Magendie sebelum pengirisan otak, dapat diambil pada saat autopsy sebagai bukti
tidak langsung dari perdarahan intraventrikular. 9
7. Kontusi.
a. Kontusi akut. Penampakan umum dari kontusi akut pada permukaan otak bervariasi dari
permukaan otak yang pucat ke kerusakan disertai perdarahan dan nekrosis pada area yang
luas. Perubahan tersebut dapat terletak pada gray matter atau meluas dengan derajat dan
karakteristik yang bervariasi ke white matter di dekatnya. Pada irisan otak, kontusi yang kecil
atau kontusi dengan interval antara trauma dan kematian yang dekat, tampak sebagai
perdarahan linear yang sejajar dengan permukaan pial, mencerminkan jalur pembuluh darah
kortikal dan menggambarkan bagaimana robekan pembuluh darah tersebut mempengaruhi
kontusi. Kontusi-laserasi yang besar tampak sebagai area perdarahan yang terpisah-pisah
dengan bentuk yang irregular. Kontusi koup memiliki bentuk menyempit dengan dasarnya
pada permukaan pial. Udem otak terlokalisasi disekitar kontusi yang setara dengan ukuran
kontusi. 9
b. Kontusi lama. Resorpsi darah dan jaringan nekrotik dari kontusi meninggalkan kavitas dan
kistik yang jelas. 9
8. Diffuse Axonal Injury. Cedera kontak pada kulit kepala dan tulang jarang ditemukan, tetapi bila
ada dapat dihubungkan antara cedera aksonal dan kontak pada kepala. Temuan pada permukaan
otak juga jarang. Irisan otak sulit dinilai melalui mata telanjang atau mengandung robekan
perdarahan dengan dimensi yang bervariasi pada korpus kalosum, pada sudut dorsal dari hemisfer
serebral, dan pada kuadran dorsolateral dari batang otak rostral pada sekitar pedunkel serebellar
superior dan tengah. Perdarahan pada thalamus dan ganglia basalis sering terjadi. 9
9. Diffuse Vascural Injury.
Diffuse vascular injury biasanya fatal, korban dapat meninggal pada tempat kejadian atau
bertahan hidup hanya beberapa jam. Cedera kontak pada kepala mungkin tidak tampak jelas.
Pemeriksaan pada otak menunjukkan perdarahan subarachnoid yang jarang dan perdarahan
petechi yang tersebar luas. Hal yang terakhir dapat terlihat dibawah mikroskop.Perdarahan
tampak nyata pada banyak daerah subependymal, pons lateral dan otak tengah, dan garis tengah
hipotalamus dan batang otak rostral. 9
10. Hypoxic-Ischemic Brain Injury.
Otak tampak normal atau terlihat pembengkakan difus atau local non-spesifik dan tampak
pucat. Penampakan yang jelas hanya dapat terlihat di bawah mikroskop dalam bentuk neuron
dengan noda sitoplasmik merah terang dan nuclei hiperkromatik menyusut pada area dengan
hematoksilin dan eosin. Gambaran diagnosis histologis pada nekrosis neuronal iskemik tidak
tampak sebelum 6-12 jam setelah cedera. 9
11. Brain Swelling.
Gambaran patologis awal dari udem otak adalah pendataran dari permukaan girus dan
penyempitan sulcus. Efek keseluruhan dari udem otak adalah gambaran umum otak yang mulus
dan datar pada undulasi normal pada permukaan hemisfer serebral. Gambaran otak dari dewasa
muda normalnya tampak full sehingga kadang-kadang sulit untuk membedakan apakah terjadi
udem otak atau tidak. 9

A. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. X-Ray

X-Ray penting dilakukan pada pemeriksaan luka temabk. Semua luka tembak harus

dilakukan pemeriksaan rontgen, terutama pada luka tembak keluar.

Kegunaan X-Ray antara lain :

 Untuk melihat apakah peluru atau bagian-bagian dari peluru masih ada di

dalam tubuh

 Untuk menentukan letak peluru

 Untuk menentukan letak dari fragmen-fragmen kecil dari peluru yang

ditinggalkan di dalam tubuh sehingga dapat dikeluarkan

 Unutk mengidentifikasi jenis amunisi dan senjata yang digunakan

 Untuk mendokumentasikan arah peluru

Untuk menggunakan X-Ray dalam menentukan letak peluru akan menyingkat

waktu otopsi. X-Ray harus dilakukan tanpa seluruh luka tembak keluar karena walaupun

ada luka keluar bukan berarti kalau peluur memang keluar. Mungkin saja peluru tersebut

mempunyai cukup energy untuk menimbulkan defek di kulit, tetapi memantul kembali
ke dalam tubuh. Luka keluar tersebut juga mungkin disebabkan oleh fragmen tulang yang

didorong keluar oleh peluru.

X-Ray juga berguna pada kasus di mana selubung peluru dan inti terpisah pada saat

memasuki tubuh, inti bisa saja keluar, namun selubungnya terperangkap di dalam. Pada

otopsi, jika tidak disadari, maka pemeriksa akan menarik kesimpulan yang salah, bahwa

seluruh peluru telah keluar. Ataupun sebaliknya di mana selubung keluar, namun inti

terperangkap. Kesalah tersebut dapat dihindari dengan X-Ray yang akan menunjukkan

apakah terjadi pemisahan inti dan selubung.

Pada luka tembus, pecahan-pecahan kecil dari peluru dapat tertinggal di sepanjang

luka atau pada tulang yang terperforasi oleh peluru. Pecahan tersebut biasanya

terlewatkan pada otopsi, maka dengan itu perlu dilakukan X-Ray sehingga dapat diambil

unutk pemeriksaan scanningelectron microscope. Pemeriksaan ini gunanya adalah unutk

mengetahui asal metal. X-Ray juga bisa memperlihatkan luka dari luka tembak lama atau

pecahan-pecahan peluru yang tidak berhubungan dengan kematian. Pada luka lama sudah

terjadi fribrosis dan peluru sudah berwarna hitam karena terjadi oksidasi.

Pada gambaran radiologi juga bisa dilihat apakah terjadi pemantulan dalam.

Terdapat gambaran jejak pecahan-pecahan yang terlihat bolak-balik. Namun, X-Ray juga

mempunyai beberapa kekurangan, antara lain kaliber dari peluru tidak adapat ditentukan

dengan tepat. Ini karena pembesaran dari gambaran peluru yang tergantung dari jarak

dengan sinar X-Ray. Peluru yang dekat dengan sinar terlihat lebih besar dan batas terlihat

kabur daripada gambaran yang lebih dekat ke film. Namun, estimasi kaliber bisa

didapatkan. X-Ray sebaiknya diambil pada saat jenazah masih berpakaian agar dapat

mendeteksi peluru yang keluar dari tubuh dan tertinggal di dalam pakaian.
2. CT-Scan

CT-Scan adalah alat yang lebih akurat untk mengevaluasi letak peluru dan pecahan-

pecahan tulang. Dapat diketahui sejauh mana peluru menembus organ atau jaringan. Pada

luka tembak kepala, dapat dilihat apakah terjadi perdarahan otak, fraktur tulang vertebra,

dan lain-lain.

 Tes Paraffin merupakan tes yang tidak spesifik, sebab hanya dpaat

mendeteksi adanya nitrat dan nitrit saja. Sehingga tes ini juga dapat

memberikan hasil positif jika tangan tercemar tembakau, kacang-kacangan,

pupuk, atau obat-obatan.

 Tes Harrison dan Gilroy, menggunakan kassa yang telah dibasahi dengan

asam klorida. Bedanya Tes Paraffin adalah, bahwa tes yang terakhir ini

untuk medeteksi adanya unsur logam, merkuri, antimony, barium, atau

timah hitam. Tentu harus diperhitungkan apakah pekerjaannya berkaitan

dengan logam-logam tersebut.

 Tes berikutnya adalah Metode Neutron Activation Analysis (NAA), tes ini

lebih sensitive sebab masih dapat mendeteksi antimony, barium, dan copper

walaupun tangan yang digunakan untuk menembak sudah dibersihkan. Dan

tes lain yang juga sensitive adalah tes yang menggunakan Metode Anatomic

Absorbtion Spectroscopy (AAS) atau Flameless Atomic Absorbtion

Spectroscopy (FAAS).
Kesimpulan

Trauma kepala dapat diakibatkan oleh berbagai macam mekanisme, sehingga hasil yang
ditemukan oleh trauma tersebut akan bervariasi. Pemeriksaan dari luar secara teliti mengenai
mekanisme penyebab trauma sangat penting untuk menentukan kira – kira penyebab kematian.
Selain luka luar pada kepala, harus dipikirkan juga kerusakan bagian dalam, khususnya bagian
selaput otak dan jaringan otak itu sendiri karena dapat terjadi komplikasi yang sangat fatal.
Daftar Pustaka

1. Akhyar Yayan. Cedera Kepala (Head Injury). Cited from:


http://yayanakhyar.wordpress.com/2008/04/25/cedera-kepala-head-injury/. 2008.
2. Mardjono Mahar, Priguna Sidharta. Neurologi Klinis Dasar. PT. Dian Rakyat. Jakarta. 2003.
3. Anonimous. Cedera Kepala. Cited from:
http://info.medicastore.com/index.php?mod=penyakit&id=687.
4. Luhulima JW. Anatomi Susunan Saraf Pusat. Bagian Anatomi Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin. 2003.
5. Japardi, Iskandar, Cedera Kepala, PT Buana Ilmu Populer, Jakarta Barat, 2004, p. 7-27, 67-
76.
6. Wahjoepramono, Cedera Kepala, ISBN 979-98173-2-3, 1 Agustus 2005, p.21-89, 137-43.
7. Shkrum Michael J, David A.Ramsay, ‘ Craniocerebral Trauma and Vertebrospinal Trauma’,
Forensic Pathology of Trauma, Humana Press, New Jersey, 2007, p. 519-73
8. Oemichen, M, R. N. Auer, H.G. Konig, ‘Injuries of the Brain’s Coverings’, Forensic
Neuropathology and Associated Neurology, Springer, Germany, 2006, p. 112-47
9. Dolinak, David, Evan W. Matshes, Emma O. Lew, ’Forensic Neuropathology’, Forensic
Pathology Principles and Practise, Elsevier Academic Press, USA, 2005, p.423-52
10. Oemichen, M, R. N. Auer, H.G. Konig, ‘Closed Brain Injury’, Forensic Neuropathology and
Associated Neurology, Springer, Germany, 2006, p. 178-210.
11. Lombardo, Mary Carter, ‘Cedera Susunan Saraf Pusat’, Price, Sylvia A, Lorraine M. Wilson,
Patofisiologi, Buku 2, Edisi 4, EGC, Jakarta, p. 1010-2
12. Singh Jagvir, Arabela Stock. Head Trauma: Treatment & Medication. Cited from:
http://emedicine.medscape.com/article/907273-treatment. 2006.

Anda mungkin juga menyukai