Anda di halaman 1dari 12

CEDERA OTAK TRAUMATIK (COT)

3.1.1 Pendekatan dalam Klasifikasi

Cedera Otak Traumatik (COT) diklasifikasikan dengan berbagai cara yang berbeda.
Klasifikasi pertama berdasarkan mekanismenya (tumpul/tertutup,
penetrasi/terbuka, atau trauma ledak). Klasifikasi kedua berdasarkan tingkat
keparahan klinis dari cedera tersebut, metode ini sangat berguna pada trauma
tumpul. Klasifikasi yang biasa dilakukan sebelum evaluasi adalah dengan Glasgow
Coma Scale (GCS), ringan apabila GCS 13-15, sedang 9-12, berat <8 (dengan
catatan apabila ditemukan abnormalitas pada CT Scan berupa perdarahan
intrakranial langsung dikategorikan sebagai berat). Klasifikasi ketiga berdasarkan
lokasi dari cedera intrakranial contohnya intra-aksial vs ekstra-aksial (epidural,
subdural, perdarahan subarachnoid)(1,5) Pada tingkatan neuronal, cedera primer
didefinisikan sebagai kerusakan yang terjadi saat berlangsungnya benturan. Cedera
sekunder merupakan kerusakan yang terjadi sebagai konsekuensi dari respon
fisiologis cedera sebelumnya, terlebih penting lagi adanya iskemia serebral yang
disebabkan oleh banyak faktor meliputi hipotensi, hipoksia, tekanan perfusi
serebral yang tidak adekuat dan hipertensi intrakranial. Faktor-faktor tersebut
mempunyai implikasi penting dalam luaran dari COT.(5) Klasifikasi COT
berdasarkan keparahan klinis menjadi terbatas pada perkembangan saat ini, yaitu
dalam tataran praktis modern. Level kesadaran dapat dikaburkan oleh faktor
perancu pada kondisi akut seperti sedasi, paralisis dan intoksikasi.

3.1.2 Klasifikasi COT : Primer dan Sekunder, Fokal dan Difus

Cedera otak primer disebabkan oleh efek segera dari meknisme tekanan/benturan
langsung yang tidak dapat dihindari saat terjadinya trauma. Baik cedera primer
maupun sekunder dapat diklasifikasian berdasarkan mekanisme fokal atau difus
(Tabel 3.1). Perbedaan klinis cedera fokal dan difus didasarkan dari hasil Computed
Tomography (CT) di mana didapatkann gambaran radiografis berupa masa lesi
untuk mendiagnosa cedera fokal atau untuk menentukan temuan edema, petekia
substansia alba, perdarahan kalosum atau batang otak atas, dan perdarahan
subarachnoid atau intraventrikular untuk mendukung diagnosis cedera difus.
Perbedaan tersebut kini telah berubah, yaitu digunakan dalam mempertimbangkan
mekanisme patologis yang menyertai trauma pada regio lokal serta regio jauh dari
lesi fokal yang muncul pada neuroimaging. Walaupun klasifikasi ini diterima secara
luas, sebagian besar COT memiliki kerusakan fokal dan difus yang terkadang
tumpang tindih. Definisi dan klasifikasi dari COT penting untuk menentukan
penanganan COT yang tepat. Meskipun proses patologis fokal dan difus seringkali
tumpang tindih sehingga sulit untuk mengelompokkan menjadi fokal, difus, primer
dan sekunder, merupakan hal penting untuk membaginya secara terpisah dengan
tujuan kepentingan pemahaman patofisiologi dan patobiologi COT. (Tabel 3.1)(6)

3.1.3 Diagnosis COT

Cedera kepala tidak selalu berimplikasi mejadi COT. Diagnosis COT ditegakkan
dengan dasar gejala klinis sebagai berikut : sebagai contoh, adanya kehilangan
kesadaran dan/atau amnesia (retrograd atau paska trauma). Telaah klinis tambahan
dapat diarahkan dengan berdasar pada tingkat kesadaran pasien, adanya faktor
risiko, dan mekanisme cedera (Gambar).(1)

CT adalah metode yang disukai saat pemeriksaan ketika pasien masuk untuk
menentukan kerusakan struktural dan untuk mendeteksi hematoma intrakranial
(1,5)
yang berkembang. Lesi intrakranial traumatik sering terjadi pada cedera berat
dan sedang, namun juga dilaporkan terjadi pada 14% dari pasien dengan GCS 14.
Risiko lesi intrakranial pada pasien dengan GCS 15 biasanya rendah kecuali apabila
didapatkan faktor risiko. Sehingga panduan yang ada saat ini menyarankan
pemeriksaan CT pada semua pasien COT dengan GCS 14 atau lebih rendah dan
pada pasien dengan GCS 15 yang memiliki faktor risiko. Beberapa penelitian telah
berhasil mengidentifikasi faktor risiko untuk lesi intrakranial, seperti muntah, usia,
durasi amnesia, mekanisme cedera, defisit neurologis, dan terapi antikoagulan.
Fraktur tulang tengkorak dapat dilihat secara baik pada CT dalam pengaturan bone-
window, dan rekonstruksi tiga dimensi dengan tekhnik render volume serta
memberikan analisis yang lebih mendalam dan lebih unggul dalam kasus fraktur
kompleks.(1)

Pemeriksaan MRI jarang dilakukan dalam fase akut COT karena peralatan yang
kompleks dan lebih banyak memakan waktu, serta MRI tidak selalu memberikan
informasi yang dibuthkan dalam menentukan keputusan klinis. Namun MRI dapat
lebih informatif pada kasus cedera penetrasi dengan curiga akibat benda berbahan
kayu. MRI lebih informatif dibandingkan dengan CT pada fase COT subakut dan
kronis (1,5), juga memberikan temuan yang lebih baik pada lesi substansia alba pada
pasien Diffuse Axonal Injury. Tekhnik neuroimaging mengalami perkembangan
yang pesat dari yang awalnya hanya penilaian struktural menjadi penilaian
pencitraan fungsional sehingga berpotensi menawarkan pemahaman COT yang
lebih baik.

Karena COT adalah proses yang dinamis dan berkembang secara patologi, follow
up CT dianjurkan jika lesi ditemukan pada CT inisial atau bila menjadi indikasi
karena adanya penurunan kondisi klinis. Lesi baru akan berkembang kurang lebih
pada 16% pasien dengan cedera difus, dan 25-45 % dari pasien dengan kontusio
serebral akan meningkatkan angka lesi yang besar secara signifikan. Klinisi
biasanya akan mem-follow up pasien sesaat setelah pasien masuk fasilitas
kesehatan, tetapi penelitian terbaru menunjukkan bahwa hasil CT umumnya baru
terlihat dalam waktu 6-9 jam setelah cedera. Follow up CT sering dilakukan apabila
didapatkan lesi yang lebih luas atau apabila didapatkan penuruan kondisi klinis atau
juga kenaiknan TIK. (1) Radiografi konvensional tulang tengkorak memiliki sedikit
peran dalam evaluasi pasien dengan COT dan sebagian besar telah digantikan oleh
CT. Radiologi konvensional terkadang digunakan untuk mengevaluasi posisi benda
tembus atau benda asing radiopak. (5)

Mekanisme cedera spesifik dapat menyebabkan lesi vaskuler. Pembedahan arteri


(ekstrakranial dan intrakranial) telah dikenal pada 17% pasien dengan cedera
servikal tulang belakang, dan pada pasien dengan fraktur basis cranii yang
melibatkan canalis karotis. Aneurisma traumatik dapat ditemui pada sekitar 15%
pasien dengan COT tipe penetrasi. Sehingga pada kasus cedera otak tipe penetrasi,
CT angiografi menjadi indikasi apabila ditemukan hematoma intrakranial, atau
seperti pada kasus ketika lintasan dari peluru tembus kepala melewati pembuluh
darah besar.

3.14. Diffuse Axonal Injury (Cedera Axonal Difus)

Contoh paling bagus dari cedera difus primer adalah difus axonal injury (DAI). DAI
adalah suatu sindrom klinis patologis yang terjadi pada pasien tidak sadar saat
terjadinya trauma, dengan kerusakan aksonal traumatik mikroskopis yang
melibatkan seluruh otak dan tidak ditemukan lesi intraparenkim.

Pada DAI, lesi traumatik pada umumnya mengenai area substansia alba meliputi
batang otak, corpus callosum, ganglia basalis, thalamus, dan hemisfer serebri
(Gambar 3.3). Saat ini DAI dikenal sebagai respon progresif dari trauma sesaat
yang memicu kerusakan membran akson sampai 24-48 jam pada manusia dan
secara primer disebabkan oleh influks kalsium yang tidak terkontrol pada kanal ion
dekat dengan nodus Ranvier.(6)

3.1.5 Hematoma Epidural

Hematoma epidural, yang didefinisikan sebagai hematoma dalam ruang epidural,


dapat terjadi pada hampir 2% COT dan pada 15% COT yang parah. Patogenesis
yang biasa terjadi pada hematoma epidural adalah robeknya arteri meningea media
yang juga sering dikaitkan dengan patah tulang tengkorak pada orang dewasa.
Ukuran dan beratnya hematoma epidural tergantung pada ukuran pembuluh darah
yang terlibat dan tingkat perlekatan antara duramater dan tengkorak. Duramater
bayi melekat dengan kuat pada tengkorak yang masih tumbuh, dan pembuluh
meningeal tidak tertanam dalam tengkorak seperti tengkorak dewasa. Oleh karena
itu, epidural hematoma jarang terjadi pada usia bayi dan balita. Pada usia remaja
atau dewasa muda, deformitas tengkorak yang masih elastis dapat membuat
duramater dari tulang terlepas, tanpa adanya patah tulang, dan dapat pula
menyebabkan perdarahan. Dalam populasi yang lebih tua, pembuluh meningeal
lebih tertanam dalam tulang. Oleh karena itu kelompok usia yang lebih tua memiliki
resiko yang lebih besar mengalami kerusakan dengan trauma tulang dibandingkan
dengan populasi yang lebih muda.

Seperti lesi lain yang bersifat fokal dengan sifat meluas, beberapa pasien dengan
hematoma epidural akan megalami lucid interval, yaitu tertundanya onset dari
periode tidak sadar.

3.1.6 Fraktur Depresi Kranial

Enam persen fraktur depresi kranial dapat menyebabkan komplikasi cedera kepala
dan menimbulkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Komplikasi umum
dari fraktur depresi kranial antara lain adalah infeksi, epilepsi, defisit neurologis,
dan mortalitas. Penatalaksanaan bedah dari komponen fraktur depresi seringkali
memerlukan tindakan debribedemen dan elevasi untuk mengurangi insidensi
infeksi. (8). Pernah dilaporkan suatu kasus yang jarang ditemukan yaitu perdarahan
intrakranial sekunder dari pseudoaneurisma arteri cerebral media distal dengan
lokasi sesuai dengan fraktur tulang tengkorak depresi yang mengalami perbaikan
inkomplit.(9) Patogenenesis yang mungkin adalah adanya protrusi dari parenkim
otak dengan pembuluh darah melalui laserasi dura yang berkelanjutan saat cedera
otak awal dan sebagai lanjutan dari defek tulang dengan perbaikan inkomplit antara
tulang tengkorak dan kraniotomi.

Pencitraan dari Fraktur Kranial

Fraktur dapat dikelompokkan menjadi linier, depresi dan basiler. Fraktur depresi
tengkorak umumnya dihubungkan dengan cedera yang melibatkan parenkim otak
yang mendasari. Fraktur basiler tengkorak penting untuk diperhatikan karena dapat
berhubungan dengan cedera struktur vaskuler (arteri karotis interna, sinus
tranversus dan sigmoid, sinus cavernosus), nervus kranial dan struktur telinga
dalam/tengah.(5)

Tatalaksana Pembedahan dari Fraktur Depresi Kranial(7)


Indikasi :

- Pasien dengan fraktur depresi kranial terbuka yang lebih besar dari tebal
cranium sebaiknya menjalani intervensi operatif untuk mencegah infeksi
- Pasien dengan fraktur depresi kranial terbuka dapat dirawat non operatif
apabila tidak ada bukti klinis atau radiografi adanya penetrasi duramater,
hematoma intrakranial yang signifikan, depresi lebih dari 1 cm, keterlibatan
sinus frontalis, deformitas kosmetik yang besar, luka infeksi,
pneumochepalus, atau kontaminasi luka yang besar.
- Tatalaksana non operatif merupakan metode terpilih pada fraktur depresi
kranial tertutup

Waktu :

Operasi dini dianjurkan untuk mengurangi kejadian infeksi.

Metode:

- Elevasi dan debridement direkomendasikan sebagai metode bedah terpilih


- Pengganti fragmen tulang primer adalah terapi bedah pilihan tanpa adanya
infeksi luka pada saat operasi.
- Semua strategi tatalaksana pada fraktur depresi kranial terbuka harus
menggunakan antibiotik

3.2 STATUS EPILEPTIKUS

3.2.1 Definisi Status Epileptikus

Kejang didefinisikan sebagai :kejadian sementara dari tanda-tanda dan/atau gejala


karena aktivitas neuronal yang secara abnormal berlebihan atau sinkron di otak.
Istilah sementara digunakan untuk menunjukkan bahwa terdapat batas yang jelas
antara awal dan akhir kejadian. Secara klasik SE didefinisikan sebagai: Kondisi
yang ditandai oleh serangan epilepsi yang cukup lama atau berulang-ulang pada
interval cukup singkat sehingga menghasilkan kondisi epilepsi teratur dan
menetap"(10) Dan definisi oleh ILAE Core Group adalah "Secara umum, kejang
status epileptikus mengacu pada suatu kondisi di mana ada kegagalan faktor
"normal" yang berfungsi untuk mengakhiri GTCS tertentu (generalized tonic
clonic seizures)" (11)

SE adalah suatu kondisi yang disebabkan baik dari kegagalan mekanisme yang
bertanggung jawab dalam terminasi kejang atau terjadinya inisiasi suatu mekanisme
yang menyebabkan terjadinya kejang abnormal yang berkepanjangan (setelah titik
waktu t1). Ini adalah suatu kondisi yang dapat menyebabkan akibat jangka panjang
(setelah titik waktu t2), termasuk kematian neuronal, cedera saraf, dan perubahan
jaringan saraf, tergantung pada jenis dan durasi kejang. Definisi ini bersifat
konsepsional, dengan dua dimensi operasional: yaitu yang pertama adalah panjang
kejang dan titik waktu (t1) di mana kejang dianggap sebagai "kejang abnormal yang
diperpanjang". Waktu titik kedua (t2) adalah waktu aktivitas kejang yang sedang
berlangsung dan berada di luar risiko konsekuensi jangka panjang. Pembagian
menjadi dua titik waktu ini memiliki implikasi klinis yang jelas: Titik waktu
dimensi operasional 1 menentukan waktu di mana penanganan harus
dipertimbangkan atau dimulai, sedangkan titik waktu operasional dimensi 2
menentukan seberapa agresif pengobatan harus dilaksanakan untuk mencegah
konsekuensi jangka panjang. Domain waktu dapat bervariasi antara berbagai
bentuk SE yang berbeda. (10)

3.2.2 Klasifikasi Status Epileptikus

Dalam hal klasifikasi SE, penulis mengusulkan empat aksis berikut: (1) Semiologi,
(2) Etiologi, (3) Korelasi EEG, (4) Usia. Idealnya, setiap pasien harus
dikelompokkan menurut masing-masing empat aksis tersebut. Namun, dapat
dipahami bahwa hal tersebut tidak akan selalu mungkin dilakukan. Perkiraan usia
pasien dan semiologi dapat dengan mudah untuk ditentukan. Etiologi akan lebih
sulit dicari dan mungkin memerlukan waktu lebih banyak untuk diidentifikasi.
Tidak dapat dipungkiri pula bahwa rekaman EEG tidak selalu muncul pada banyak
kasus. Namun, hasil EEG akan mempengaruhi pilihan dan agresivitas pengobatan,
prognosis, dan pendekatan klinis, sehingga EEG harus dilakukan sesegera mungkin
apabila tersedia.(10)

Aksis 1 Semiologi

Aksis ini merujuk pada presentasi klinis dari SE dan sebagai dasar dari klasifikasi.
Dua taksonomi kriteria utama antara lain: (10)

1. Ada atau tidaknya gejala motorik yang mencolok


2. Derajat dari gangguan kesadaran (kualitatif dan kuantitatif)

Aksis 2 Etiologi

Kondisi intermediet saat ini (atau boundary syndrome) : (10)

- Ensefalopati epileptik
- Koma tanpa adanya pola EEG epileptik*
- Gangguan kepribadian (contoh psikosis) pada pasien dengan epilepsi
- Status konfusal akut (contoh delirium) dengan pola EEG epileptik
*pengeluaran discharge baik secara lateralisasi dan umum, serta penampilan
monoton tidak dianggap sebagai pola EEG epileptik

Aksis 3 Hal yang berhubungan dengan EEG

Tidak ada pola iktal EEG spesifik dari berbagai bentuk SE yang ada. Adanya pola
epileptiform dapat menjadi suatu ciri khas, namun peningkatan durasi SE dapat
megubah EEG dan dapat terjadi dominasi oleh pola ritmis nonepileptiform. Pola
EEG yang mirip, contohnya gelombang trifasik, dapat ditemui pada berbagai
kondisi patologis, sehingga menyebabkan kebingungan cukup besar. Meskipun
EEG dalam kondisi kelebihan beban karena adanya gerakan dan artefak otot
dalam bentuk kejang dari SE yang membuat nilai klinisnya terbatas, tetapi hal itu
sangat penting dalam diagnosis NCSE, apalagi jika tanda-tanda klinis (jika ada)
sulit tampak dan tidak spesifik. (10 )

Isitilah-istilah untuk mendiskripsikan pola pada SE antara lain : (10)


- Lokasi: general (termasuk pola sinkron bilateral), lateraliasi, bilateral
independen, multifokal.
- Nama pola: discharge periodik, aktivitas delta berirama atau subtipe spike-
and-wave/sharp-and-wave plus.
- Morfologi: ketajaman, jumlah fase (misalnya, morfologi trifasik),
amplitudo absolut dan relatif, polaritas.
- Waktu : prevalensi, frekuensi, durasi, durasi harian pola dan indeks, onset
(tiba-tiba vs bertahap), dan dinamika (berkembang, fluktuatif, atau statis).
- Modulasi: dipicu rangsang vs spontan.
- Pengaruh intervensi (obat) pada EEG.

3.2.3 Status Epileptikus tanpa Kejang

Non-convulsive status epilepticus (NCSE) dapat berupa beberapa bentuk dan secara
luas mengacu pada aktivitas kejang berkepanjangan tanpa adanya keterlibatan
motorik mayor. Pada lingkungan klinik dan kegawatdaruratan neurologis,
gangguan ini sering dianggap biasa dan ahli saraf tampaknya terbiasa dengan
masalah ini. Hal ini berbeda dengan fakta yang ada bahwa kesepakatan tentang
kriteria diagnostik, bentuk klinis, konsekuensi, dan pengobatan dari NCSE masih
jarang dibahas. NCSE bukan istilah yang sepenuhnya memuaskan karena NCSE
sendiri menandakan gangguan klinis heterogen yang tersusun dari berbagai subtipe.
(12)

Diagnosis

NCSE didefinisikan sebagai aktivitas kejang yang terlihat pada


electroencephalogram (EEG) tanpa temuan klinis yang berhubungan dengan GCSE
(generalised convulsive status epilepticus).(13) NCSE juga dapat didefinisikan
sebagai perubahan perilaku dan /atau proses mental yang berbeda dari biasanya dan
(12)
berhubungan dengan pelepasan pola epileptiform terus menerus dalam EEG.
Beberapa definisi lain yang disarankan telah menyertakan komponen yang berbeda,
seperti perubahan klinis gabungan antara gangguan kesadaran, kelainan
electroencephalografik iktal, dan respon terhadap pengobatan. Terdapat perubahan
(12)
pada keadaan klinis dengan perubahan pola EEG, . Durasi episode NCSE
(4, 12)
tersebut adalah 30 menit dari aktivitas epilepsi yang sedang berlangsung.
Respon elektroklinik positif terhadap pengobatan antikonvulsan akut dapat
membantu dalam penegakan diagnosis, tetapi tidak adanya respon tersebut tidak
menyingkirkan diagnosis NCSE. (12)

Secara definisi, NCSE bukanlah diagnosis klinis, tetapi diagnosis secara


elektroensefalografis. Karakteristik klinis dari NCS dapat ambigu, tidak nampak
dan tidak spesifik, sehingga diagnosis sering tertunda bahkan salah. Spektrum klinis
NCSE meliputi anoreksia, afasia / mutisme, amnesia, lesu, agitasi / agresi, berkedip,
kebingungan, kedutan pada wajah, nistagmus, dan tremulus. (4)

NCSE merupakan gangguan yang terdiri dari spektrum klinis yang luas di mana
dalam menentukan diagnosis yang benar membutuhkan temuan berupa prubahan
karakteristik elektroensefalografis. Diagnosis umum dari epilepsi biasanya hanya
menggunakan klinis. Oleh sebab itu diagnosis status epileptikus seharusnya juga
tidak hanya berdasar pada temuan elektroensefalografis.(12)

Etiologi dan Bentuk Klinis

Informasi tentang penyebab dan bentuk klinis dari NCSE sangat penting untuk
pengelolaan penyakit ini. Terdapat kesepakatan umum bahwa faktor penyebab
merupakan faktor prognosis yang paling relevan pada pasien, tetapi sayangnya
masih banyak kekurangan data penelitian tentang etiologi pada subtipe yang
berbeda. Berbagai bentuk NCSE paling baik dibedakan atas dasar klinis, pola
elektroensefalografik, dan dalam konteks sindroma. Dalam praktek klinis sehari-
hari, penting untuk dicatat bahwa infeksi sistemik akut merupakan faktor risiko
penting terjadinya NCSE pada pasien dengan atau tanpa riwayat kejang. (12)

Bentuk klinis dari status epileptikus dapat dibagi menjadi kejang dan tanpa kejang.
NCSE meliputi seluruh bentuk kejang berkepanjangan dan tidak ditemukannya
tanda motorik mayor. Pada kasus-kasus status epileptikus absans, SPSE (simple
partial status epilepticus), CPSE (complex partial status epilepticus), dan status
epileptikus saat koma dan juga termasuk status epileptikus halus (subtle) , semua
tersebut di atas dapat dianggap sebagai bentuk dari NCSE. Klasifikasi berdasarkan
jenis kejang oleh International League Against Epilepsy dan dikotominya yaitu
fokal dan general juga digunakan untuk mengelompokkan status epileptikus dengan
dasar asumsi bahwa terdapat kesamaan status pada tiap jenis kejang. Diagnosis
untuk menentukan bahwa pasien tegolong tipe kejang dan tanpa kejang relatif
mudah, karena dapat diobservasi secara langsung. Sedangkan klasifikasi untuk
menggolongkan bentuk fokal atau general biasanya membutuhkan informasi
tambahan dari pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan lanjut seperti EEG dan
neuroimaging.

Baik pada kelompok kejang/tanpa kejang dan fokal/general, penting untuk dicatat
bahwa status epileptikus adalah penyakit yang berkembang sesuai dinamika
perubahan klinis dan pola EEG yang tinggi. Memang biasanya bentuk GCSE akan
berkembang menjadi SE tipe subtle apabila tidak segera dihentikan saat awal
serangan. SE dengan onset fokal cenderung menjadi general secara elektrofisiologis
dan klinis dalam waktu singkat. Oleh karena itu klinisi harus memikirkan waktu
awal terjadi gejala sampai timbulnya kemungkinan perubahan klinis yang
didapatkan saat pemeriksaan, dan penulis menyarankan untuk melakukan proses
klasifikasi secara bertahap. Pemeriksaan pada pasien dapat digunakan untuk
mengklasifikasikan dalam tipe kejang dan non kejang. Kemudian pemeriksaan
klinis tambahan atau informasi elektrofisiologis selanjutnya dapat digunakan untuk
mengklasifikasikan SE dalam tipe fokal atau general.(12)

Cedera Otak Traumatik tipe Tanpa Kejang Konvulsif (NCS-TBI)

NCS dapat sulit dikenali selama periode akut dalam pengobatan COT karena
gejalanya tidak spesifik. Dengan pengamatan yang cermat serta rekaman EEG
sesegera mungkin, NCS / NCSE dapat segera didiagnosis dan mencegah pasien
COT menjadi lebih buruk secara klinis karena kejang yang tidak diobati. (4)

NCSE adalah komplikasi umum dari COT akut. NCSE didiagnosis ketika hasil
rekaman episodik EEG menunjukkan pola NCS yang terus menerus atau berulang
untuk lebih dari 30 menit tanpa perbaikan keadaan klinis, juga apabila pola EEG
diantara kejang tidak kembali seperti saat preiktal. Karakteristik klinis NCSE juga
ambigu dan tidak spesifik, membuat diagnosis sulit dan tidak pasti. Tanpa adanya
pemantauan EEG secara terus menerus, diagnosis dapat tertunda bahkan salah.
Karena morbiditas dan mortalitas NCSE sebagian besar ditentukan oleh durasi dan
keterlambatan saat diagnosis, perbaikan hasil pengobatan NCSE akan sangat
membutuhkan ketersediaan serta penggunaan EEG yang tepat. NCSE dapat
dihentikan dengan benzodiazepin intravena. Fenitoin intravena kerja panjang juga
mungkin dapat membantu pada kasus NCSE yang refrakter terhadap
benzodiazepin. Jika obat tersebut sudah tidak efektif, induksi supresi besar (burst
suppression) dapat dilakukan menggunakan pentobarbital atau propofol. (4)

Anda mungkin juga menyukai