2010)
PENCEGAHAN
FARMAKOLOGIS
AGITASI
EMERGENSI
(AE)
Metode
Pencarian bibliografi dan anilisis untuk meta anilisis studi ini dilakukan sesuai
dengan pedoman dari Cochrane Handbook for systematic reviews of intervention
dan pernyataan dari QUORUM.
Database yang telah dikumpulkan antara lain dari : Pubmed, Embase, dan
Cochrane Database for Systemic Review. Dalam mendefinisikan AE yaitu yang
meliputi agitasi, gangguan perilaku, dan delirium, kata kunci yang digunakan
adalah : agitation, and sevourane or desurane, and children or infant,
behavior, and sevourane or desurane, and children or infant, delirium, and
sevourane or desurane, and children and infant. Hanya artikel berbahasa
Inggris yang digunakan. Apabila tidak didapatkan artikel penuhnya, penulis
artikel dihubungi untuk mendapatkan salinan data penelitiannya.
Artikel yang didapatkan kemudian dianalisis secara terpisah oleh dua ahli anestesi
senior. Artikel yang dianalisis harus memenuhi kriteria sebagai berikut :
randomized controlled trial, double-blinded (artikel yang dalam proses
evaluasinya menggunakan metode blinding tetap diikutsertakan), agen yang
digunakan sevofluran dan desfluran, tidak ada gangguan neurologis, protokol
anestesi yang digunakan sesuai standar, agitasi atau delirium sebagai hasil akhir,
ada grup kontrol, dan definisi AE yang digunakan pada masing-masing artikel
telah distandardisasi.
Penulis meng-eksklusi semua penelitian yang membandingkan dua agen
profilaksis atau adanya intervensi, dan juga penelitian yang meneliti terapi kuratif
AE. Selain itu, pecarian manual dari referensi yang ada pada artikel terpilih juga
dilakukan (termasuk review dan meta analisis). Hasil pencarian artikel paling baru
adalah Februari 2009.
Artikel dinilai dan diekstraksi oleh dua pembaca yang berbeda. Data yang diambil
meliputi umur pasien, jenis pembedahan, agen sedatif premedikasi (dosis, waktu
pemberian dan rute pemberian), dosis, waktu pemberian, dan rute pemberian dari
agen profilaksis, agen hipnotik, opioid intraoperatif yang digunakan, analgesi
artikel penuhnya, penulis akan dihubungi dua kali (biasanya karena tidak ada
respon). Total pasien pada grup intervensi adalah 1695 pasien da 1477 pasien
pada grup kontrol. Midazolam yang diberikan sebagai premedikasi baik saat 30
menit sebelum induksi dan 30 menit setelah induksi tidak memiliki efek
profilaksis terhadap AE [OR = 0.88 (0.44, 1.76); I2 = 47%, P = 0.11]. Propofol
meunjukkan efek protektif terhadap AE [OR = 0.21 (0.16, 0.28), I2 = 52%, P =
0.01]. Pemberian ketamin juga mencegah terjadinya AE [OR = 0.28 (0.13, 0.60),
I2 = 0%, P = 0.68]. Begitu pula 2-adrenoreseptor agonis juga ternyata bersifat
protektif [OR = 0.23 (0.17, 0.33), I2 = 24%, P = 0.2]. Fentail preoperatif juga
menunjukkan efek protektif terhadap AE EA [OR = 0.31 (0.18, 0.56), I 2 = 47%, P
= 0.06]. Analgesik preoperatif menujukkan efek protektif terhadap AE [OR = 0.15
(0.07, 0.34), I2 = 8%, P = 0.36]. Terakhir, meta-analisis pada dua studi
menunjukkan bahwa 5HT3 antagonis tidak efektif dalam mencegah AE (OR =
0.39, 95% condence interval 0.121.31; I2 = 0%, P = 0.56).
Diskusi
Temuan paling besar pada meta analisis ini adalah bahwa midazolam yang
popular sebagai obat ideal premedikasi ternyata tidak memiliki efek prevetif
terhadap AE, propofol nampaknya efektif tetapi efikasinya tergantung pada waktu
pemberian. Kemudian ketamin, 2-adrenoreseptor agonis, fentanil, dan analgesia
preoperatif semuanya efektif sebagai agen preventif AE.
Etiologi dari AE masih tidak diketahui. Hipotesis yang saat ini ditekankan adalah
cepatnya kejadian terjadi akibat agen anestesi baru seperti sevofluran dan
desfluran. Hal ini dapat meyebabkan keadaan disosiatif di mana pada kondisi ini
ketika anak bangun, anak telah mengalami perubahan persepsi kognitif. Efikasi
dari 5HT3 serotonin reseptor antagonis yang dilaporkan pada sebuah penelitian
merujuk pada keterlibatan sistem serotonergis proses kaitannya dengan etiologi
AE. Faktor lain juga dianggap sebagai pemicu seperti nyeri posoperatif dan
kecemasan preoperatif. AE terbukti berhubungan dengan kecemasan preoperatif
dan dicegah dengan pencegahan nyeri parenteral.
Pada dasarnya midazolam secara luas dipakai sebagai agen premedikasi secara
logis harusnya dapat mencegah terjadinya AE. Namun pada hasil meta analisis ini
didapatkan hasil yang berlawanan. Dua studi dengan menggunakan alfentanil dan
asetaminofen saat preoperatif tidak memberikan efek preventif, sedangkan studi
tanpa menggunakan analgesia preoperatif menunjukkan bahwa midazolam efisien
dalam mencegah AE. Sehingga adanya analgetik, sedasi atau keduanya yang
didapat dari opioid bisa memburamkan efek midazolam.
Propofol dapat menunda atau mengubah kemunculan serta dapat mengurangi
insidensi AE. Namun, Farmakokinetik yang cepat agen ini serta pemberian dosis
rendah (1 mg/kg) pada salah satu studi dapat menjelaskan kegagalan dosis bolus
dalam mencegah AE baik sebelum dan sesudah induksi.
Ketamin, 2-adrenoreseptor agonis, fentanil, dan analgesia preoperatif merupakan
agen yang efektif dalam mencegah AE. Ketamin, sebuah N-metil-d-Aspartat
reseptor antagonis, menghasilkan efek analgesik dan opoid-sparring
digunakan
dalam
dosis
rendah.
Dexmethomidine
dan
klonidin
ketika
juga
dipertimbangkan sebagai agen analgesik poten dan digunakan untuk analgesi baik
parenteral ataupun loco-regional (spinal-epidural). Fentanil merupakan opioid
receptor agonis poten yang secara rutin digunakan saat peroperatif. Bersama
dengan analgesi preoperatif memiliki efikasi yang tinggi dalam mencegah AE.
Namun analisis subgroup menunjukkan bahwa analgesia preoperatif tidak
memiliki faktor yang berpengaruh pada efikasi ketamin, propofol, dan 2adrenoreseptor agonis terhadap AE. Selain itu, fentanil i.v preoperatif gagal dalam
menghambat AE. Efikasi lebih besar yang ditunjukkan oleh ketamin, 2adrenoreseptor agonis dan fentanil pada pengurangan nyeri posoperasi bukanlah
temuan konstan di artikel. Hasil ini diduga karena sifat analgesik dari senyawasenyawa tersebut tidak berperan dalam efek pencegahan AE. Mekanisme lain
seperti potensiasi atau sedasi mungkin juga terlibat. Studi yang dilakukan selama
anestesi untuk keperluan imejing ternyata masih ditemukan AE meskipun
prosedur imejing tersebut tidak nyeri. Mengeluarkan temuan itu dari analisis tidak
mempengaruhi efikasi dari obat-obatan tersebut.
Telah diajukan bahwa 5HT3 antagonis yang diberikan untuk mencegah PONV
juga mencegah AE. Hasil penulis tidak sesuai dengan ajuan tersebut, namun hasil
penulis hanya berdasarkan dua studi saja, sehingga perlu dilakukan penelitian
lebih lanjut sebelum membuat kesimpulan yang lebih kuat.
Kualitas dari meta-analisis tergantung pada dua faktor penting : kualitas dalam
meilih sumber penelitian, serta deteksi heterogenitas dan biasnya. Tentang kualitas
dari artikel yang dipilih, artikel yang dipilih harus memenuhi kriteria ketat seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya. Semua studi merupakan studi yang diacak dan
double-blinded dan protokol anestesi yang standar. Artikel yang dianalisis adalah
heterogen karena protokol anestesi dan analgesinya. Desain penelitian bervariasi
mulai dari premedikasi yang diberikan, jalur pemberian, waktu pemberian dan
pemberian preoperatif analgesik. Hal tersebut dapat menjelaskan kenapa insidensi
AE yang diobservasi juga bervariasi. Idealnya penelitian baru tentang pencegahan
AE harus didasarkan pada penggunaan alat yang tersrandarisasi. Kemudian, bias
juga dinilai menggunakan rekomendasi dari Chochran Collaboration.
Kesimpulannya adalah bahwa meta analisis yang mengevaluasi pencegahan AE
menunjukkan bahwa propofol, pencegahan nyeri, ketamin, dan 2-adrenoreseptor
agonis efektif dalam mencegah terjadinya AE. Hal tersebut menarik karena
potensi penggunaannya secara kombinasi dengan agen yang berbeda serta berbagi
macam jalur pemberiannya. Studi-studi selanjutnya sebaiknya terfokus dalam
meneliti hubungan dari obat-obat tersebut dalam mencegah terjadinya AE serta
penggunaan skala PAED (Paediatric Anaesthesia Emergence Delirium) yang
terstandardidasi dalam penelitian selanjutnya.