Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN KASUS

STROKE ISKEMIK

Tugas ini dibuat untuk melengkapi persyaratan mengikuti


Program Internship Dokter Indonesia
Rumah Sakit Umum Daerah dr. Fauziah Bireuen

Disusun Oleh:

dr. Husnaini

Pembimbing:

Dr. lailatul fitri, Sp.N

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH dr. FAUZIAH BIREUEN


PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN BIREUEN
2021
KATA PENGANTAR

Bismillaahirrahmaanirrahiim, segala puji bagi Allah, Tuhan pemilik alam semesta


dan ilmu pengetahuan yang ada di dalamnya. Berkat rahmat dan karunia-Nya lah penulis
dapat menyelesaikan laporan kasus “Stroke iskemik”
Laporan kasus ini disusun dengan segenap kemampuan yang dimiliki oleh penulis
baik dari ilmu, tenaga, waktu bahkan materi yang tujuannya sebagai salah satu tugas dalam
menjalani Program Internsip Dokter Indonesia di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Fauziah
Bireuen Tahun 2021.
Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dr.
Lailatul fitri, Sp.N selaku dokter pembimbing.
Penulis sangat menyadari keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki,
oleh karena itu penulis berharap kritik dan saran yang membangun demi penyempurnaan
tugas ini dan sebagai bekal penulis untuk menyusun tugas-tugas lainnya di kemudian hari.
Semoga laporan kasus ini banyak memberi manfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Bireuen, 15 November 2021

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Appendisitis akut adalah kasus kegawatdaruratan nyeri abdomen akut akibat


peradangan pada appendiks vermiformis1 yang diawali oleh obstruksi lumen karena benda
asing , fekalit, hiperplasia limfoid, neoplasma dan/atau parasit2 mengakibatkan invasi ke
dinding appendiks oleh flora usus sehingga infeksi dan inflamasi terjadi3.
Diperkirakan terjadi 120/100.000 kasus appendisitis akut tiap tahunnya didunia 1. Pada
tahun 2015 terdapat 378.614 kasus appendisitis terjadi di negara Amerika Utara 4. Sedangkan
di Amerika Serikat rata-rata 300.000 orang menjalani operasi appendisitis dengan perkiraan
lifetime incidence berkisar 7-14% berdasarkan jenis kelamin, harapan hidup, dan ketepatan
diagnosis5. Di Indonesia angka kejadian appendisitis mencapai 95/1000 penduduk serta
menjadi negara dengan kejadian appendisitis tertinggi diseluruh negara Assosiation South
East Asia Nation (ASEAN)6.
Data dari Kementerian Kesehatan RI menunjukkan peningkatan angka penderita
appendisitis pada tahun 2009 sebesar 596.132 (3,36%) menjadi 612.435 (3,53%) pada tahun
2010. Prevalensi tersebut membuat appendisitis sebagai penyakit tidak menular tertinggi
kedua di Indonesia pada rawat inap rumah sakit ditahun tersebut7.

Diagnosis appendisitis cukup sulit karena gejala klinis sering atipikal dan tumpang
tindih dengan kondisi lain5. Secara nasional, perkembangan appendisitis belum mendapat
porsi perhatian serius, padahal jika tidak segera ditatalaksana akan menimbulkan komplikasi
berat seperti perforasihingga 30-70% yang meningkatkan angka severitas dan mortalitas 6.
Risiko lain berupa peritonitis, pembentukan masa periapendikular, abses intra abdominal,
bahkan dapat berakhir kematian8.
World Health Organization (WHO) menyatakan mortalitas akibat appendisitis di
dunia berkisar 0,2-0,8%7. Walaupun mortalitasnya rendah, tetapi appendisitis memiliki
tingkat morbiditas yang tinggi9. Departemen Kesehatan menganggap appendisitis sebagai isu
prioritas kesehatan baik ditingkat lokal maupun nasional akibat dampak besar pada kesehatan
masyarakat10.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Apendisitis


Apendisitis adalah peradangan pada appendiks vemiformis dan merupakan penyebab
abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini sering mengenai semua umur baik laki-laki
maupun perempuan tetapi lebih sering mengenai laki-laki berusia antara 10-30 tahun5.

2.2 Anatomi dan Fisiologi Apendiks


1. Anatomi Apendiks
Appendiks yaitu organ digestif berbentuk tabung menyerupai cacing atau “worm
like’ sehingga disebut Appendiks vermiformis dengan panjang bervariasi rata-rata 10 cm
(kisaran 3-15 cm) dan berpangkal di Caecum.11 Appendiks memiliki lumen yang
menyempit diproksimal dan meluas dibagaian distal. Pada usia bayi memiliki appendiks
berbentuk seperti kerucut yang melebar dibagian pangkal lalu menyempit
diujungnya.Kondisi anatomi tersebut menyebabkan menurunnyakejadian appendisitis pada
usia tersebut11. Appendiks terhubung ke mesenterium dibagian bawah ileum oleh sebagian
kecil mesocolon yang dikenal sebagai mesoappendiks12.

Gambar 2.1 Anatomi apendiks

Pada apendiks terdapat 3 tanea coli yang menyatu dipersambungan caecum dan berguna
dalam menandakan tempat untuk mendeteksi apendiks. Posisi apendiks terbanyak adalah
retrocaecal/retrocolic (43,5%), sub-caecal (24,4%), postileal (14,3%), pelvic (9,3%),
paracaecal (5,8%), preileal (2,4%), Selain itu, juga dikenal istilah ectopic atau posisi lain
(0,27%) yang berarti posisi Appendiks vermiformis tidak termasuk dalam kelompok posisi
yang telah dijelaskan13.
Persarafan pada Caecum dan Appendiks vermiformis diatur oleh saraf simpatis dan
parasimpatis dari plexus mesentericus superior. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang
nervus vagus yang mengikuti arteri mesenterika superior dan arteri appendicularis,
sedangkan persarafan simpatis berasal dari nervus torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral
pada appendisitis bermula di sekitar umbilikus. Rasa nyeri dari appendiks kemudian
disalurkan melalui serabut afferen masuk ke medulla spinalis setinggi T1011.
 Apendiks mendapat vaskularisasi oleh arteri apendicular yang merupakan cabang dari
arteri ileocolica. Perdarahan arteri berasal dari mesenterium superior lalu ke arteri ileocolica
kemudian ke arteri appendicularis 14. Arteri apendiks termasuk end arteri, Jika arteri ini
tersumbat, misalnya oleh karena trombosis pada infeksi appendiks maka akan mengalami
gangren11 Darah vena dialirkan ke vena ileocolica, selanjutnya ke vena mesenterica superior.
Terdapat pula arteri appendicularis aksesori yang bercabang dari arteri Caecal posterior.
Kerusakan arteri ini dapat menyebabkan perdarahan intraoperatif dan pasca operasi yang
signifikan dan diikat setelah arteri appendicularis utama dikendalikan 14. Aliran limfe dari
Appendiks vermiformis ke nodus lymphatici ileocolici, terus ke nodi lymphatici mesenterici
superiores13.

2. Fisiologi Apendisitis
Secara fisiologis apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir tersebut
normalnya dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran
lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis. Imunoglobulin
sekretoar yang dihasilkan oleh Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT) yang terdapat di
sepanjang saluran cerna termasuk apendiks adalah IgA, imunoglobulin tersebut sangat efektif
sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak
mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfe disini sangat kecil jika
dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh.11

2.3 Epidemiologi Apendisitis


Insidens apendisitis dinegara maju lebih tinggi daripada di negara berkembang.
Namun, dalam tiga-empat dasawarsa terakhir kejadiannya menurun secara bermakna. Hal ini
diduga disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-
hari. Serat makanan dianggap mengurangi viskositas feses, waktu persinggahan di usus, dan
menghambat pembentukan fekalit12
Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur hanya pada anak kurang dari satu
tahun jarang dilaporkan. Insidens tertinggi terjadi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah
itu menurun. Insiden pada lelaki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-
30 tahun insidensi pada lelaki lebih tinggi disbanding perempuan5.

2.4 Faktor Resiko Appendisitis


a) Pola Makan
Pola makan meliputi frekuensi makan, konsumsi air minum,konsumsi fast food,
konsumsi sayur,pemilihan menu sehari-hari, dan mie instan. Kelompok orang yang suka
mengonsumsi mie instan maka asupan energi, lemak, natrium, tiamin, dan riboflavin lebih
tinggi dibandingkan yang tidak mengonsumsi mie instan. Sebaliknya, asupan protein,
kalsium, fosfor, besi, kalium, vitamin A, niasin, dan vitamin C secara signifikan lebih rendah.
Konsumsi fast food dapat meningkatkan asupan kalori, lemak, lemak jenuh, natrium, dan
minuman ringan serta menurunkan asupan vitamin A, vitamin C, susu, buah-buahan, dan
sayuran dibandingkan orang yang tidak makan makanan cepat saji. Selain itu, mengonsumsi
sayur dan buah juga lebih rendah pada kelompok tersebut. Dapat dikatakan bahwa
mengonsumsi fast food dan mie instan berkontribusi pada peningkatan asupan energi, tetapi
rendah dalam asupan mikronutrien. Asupan vitamin dan mineral yang tidak adekuat dapat
memicu penurunan imunitas yang cenderung mengarah pada kejadian infeksi3.
Kebiasaan makan makanan rendah serat berperan atas timbulnya konstipasi dan
berpengaruh terhadap timbulnya appendisitis7. Konstipasi akan menaikkan tekanan
intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional appendiks dan meningkatnya
pertumbuhan kuman flora kolon biasa11.
b) Usia
Kejadian appendisitis secara bertahap meningkat sejak lahir dan memuncak pada akhir
masa remaja kemudian secara bertahap menurun pada usia geriatri12. Salah satu faktor
pencetus appendisitis ialah hiperplasia jaringan limfe15.

Secara histologis, pada usia 1 tahun maka seluruh jaringan limfoid telah matang.
Selama masa bayi dan awal masa anak jaringan limfoid perifer mengalami perkembangan
yang cepat hingga masa pubertas sehingga memicu respon imunitas terhadap infeksi berupa
hiperplasia limfoid dan terjadilah obstruksi lumen appendiks15. Pada usia di atas 60 tahun,
tidak ditemukan jaringan limfoid pada appendiks, namun terdapat perubahan pada lapisan
serosa yang lebih elastis dibanding lapisan mukosa sehingga respon terhadap tekanan
intraluminal berbeda dibanding pasien yang lebih muda, mengakibatkan kemampuan
meregang akibat akumulasi sekret intraluminal kurang baik, dapat berlanjut menjadi iskemik
dan gangren stadium awal1.
Submukosa mengandung folikel limfoid yang sangat sedikit saat lahir. Jumlah ini
kemudian secara bertahap meningkat sekitar 200 folikel pada usia 10-20 tahun dan
selanjutnya menurun. Pada orang yang berusia lebih dari 30 tahun, kurang dari setengah
jumlah tersebut ada dan jumlahnya terus menurun sepanjang masa dewasa. Meskipun
demikian, appendisitis dapat terjadi pada segala usia9. Insidens tertinggi pada kelompok usia
20-30 tahun dengan dominasi pria dibandingkan wanita5.
Rata-rata usia anak untuk insidens appendisitis terjadi di usia 10-17 tahun 5. Hiperplasia
limfoid diamati lebih sering diantara bayi dan orang dewasa serta bertanggung jawab
terhadap peningkatan kejadian appendisitis pada kelompok usia ini. Anak-anak yang lebih
muda memiliki tingkat perforasi yang lebih tinggi, berkisar 50-85%. Usia rata-rata
appendektomi adalah 22 tahun. Meskipun jarang terjadi, appendisitis neonatal bahkan
prenatal telah dilaporkan. Dokter harus mempertahankan indeks kecurigaan yang tinggi pada
semua kelompok usia12.

c) Status Gizi

Gizi merupakan salah satu faktor penentu terhadap respon imunitas. Kekurangan salah
satu zat gizi dapat menghambat respon imunitas dan meningkatkan risiko infeksi.
Appendisitis diawali oleh infeksi yang memicu hiperplasia limfoid pada dinding appendiks
yang membuat obstruksi pada lumen proksimal. Jika asupan gizi tidak adekuat dapat
menyebabkan penurunan berat badan, imunitas menurun, kerusakan jaringan mukosa, invasi
patogen, serta adanya gangguan pada pertumbuhan dan perkembangan anak. Oleh karena gizi
yang buruk, anak menjadi kurus, lemah, dan rentan oleh infeksi, terutama karena integritas
struktural, fungsional epitel, dan inflamasi. Ini menunjukkan bahwa malnutrisi dan infeksi
memiliki hubungan erat. Penelitian oleh Nelson dkk, di Southampton, Inggris menunjukkan
perbedaan pada berat dan tinggi badan untuk kelompok anak appendisitis. Anak yang
menderita appendisitis memiliki berat badan lebih rendah dibandingkan yang tidak menderita
appendisitis, begitu pun tinggi badan anak menunjukkan hasil dalam batas signifikan. Bekele
dkk, melakukan penelitian pada 147 anak dengan usia dibawah 13 tahun di Etiopia,
menunjukkan bahwa lebih dari seperempat anak penderita appendisitis mengalami
underweight dan stunted. Diperlukan peran aktif orang tua guna mengawasi dan
mengarahkan pemilihan makanan pada anak3.
d) Jenis Kelamin
Insidens appendisitis pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali pada
kelompok usia 20-30 tahun, ketika insidens laki- laki lebih tinggi. Perbandingan angka
kejadian pada remaja dan dewasa muda yaitu 3 : 2 yang didominasi oleh pria. Kejadian
appendisitis pada orang dewasa 1,4 kali lebih banyak pada pria daripada wanita. Risiko
penyakit ini sebanyak 8,6% pada pria dan 6,7% pada wanita1.
Penelitian Indri U, dkk (2014) menyatakan persentase risiko jenis kelamin laki-laki dan
perempuan yakni 72,2% : 27,8%. Fenomena ini dikarenakan laki-laki banyak menghabiskan
waktu di luar rumah untuk bekerja serta cenderung mengkonsumsi makanan cepat saji.
Kebiasaan tersebut mencuatkan komplikasi atau obstruksi pada usus sehingga timbul lah
masalah pada sistem pencernaan salah satunya adalah appendisitis7.

2.5 Etiologi Appendisitis

a) Fekalit sebagai penyebab appendisitis (33%)3 banyak terjadi pada orang dewasa
maupun yang lebih tua. Fekalit terbentuk dari garam kalsium dan debris fekal
yang melapisi kotoran atau feses yang memadat di dalam appendiks14.
b) Hiperplasia limfoid menjadi penyebab terbanyak obstruksi (60%)3. Hiperplasia
limfoid sekunder akibat penyakit radang usus (Kolitis) atau Inflammatory Bowel
Disease (IBD) biasanya terjadi pada remaja dan dewasa muda. Hiperplasia
limfoid dikaitkan dengan berbagai gangguan infeksi dan inflamasi termasuk
penyakit Crohn, Gastroenteritis, Amebiasis, Infeksi Pernapasan, Measles, dan
Mononukleosis/Demam Kelenjar14.
c) Tumor Appendiks/Neoplasma (Tumor, Karsinoma, Metastasis ke Appendiks,
karsinoma Appendiks Primer) menjadi penyebab kurang dari 1% kasus
appendisitis akut16.
d) Infeksi: Bakteri (Misalnya Yersinia sp dan E.histolytica, Mycobacteria sp,
Actinomyces sp), Fungi (Misalnya Histoplasma sp), Virus (Misalnya Adenovirus,
Sitomegalovirus), Parasit (Misalnya Schistosoma sp, Cacing Gelang,
Strongyloides stercoralis)14. Polimikroba harus dipertimbangkan sebagai
penyebab infeksi pada penyakit appendisitis selain itu cakupan antibiotik harus
mampu menanggulangi bakteri tersebut seperti Escherichia coli, Bacteroides
fragilis, Enterococci, Pseudomonas aeruginosa, dan sebagainya. Pemilihan dan
durasi pemberian antibiotik harus sesuai dan terkadang menjadi kontroversi
sehingga dibutuhkan pemeriksaan penunjang berupa kultur17.
e) Benda Asing (Misalnya biji makanan dan barium yang menggumpal) 16 .

2.6 Patofisiologi Apendisitis


Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasia
folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya
atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami
bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks
mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen.
Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan
edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendistis akut fokal
yang ditandai oleh nyeri epigastrium.Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus
meningkat, hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri
akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat
sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah, keadaan ini disebut dengan apendisitis
supuratif akut11.

Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti
dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah
rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi. Perkembangan dari terjadinya obstruksi
menjadi perforasi biasanya berlangsung dalam 72 jam. Jika area periappendikular tertutup
oleh abses yang terbentuk maka nyeri akan terlokalisasi pada daerah abses namun apabila
area tidak tertutup maka cairan akan menyebar ke seluruh peritoneum sehingga nyeri bersifat
umum di seluruh lapang abdomen11.

2.7 Manifestasi Klinis


a. Tanda awal
 Nyeri mulai diepigastrium atau regio umbilikus disertai mual dan anoreksia
 Demam yang tidak terlalu tinggi
b. Nyeri pindah ke kanan bawah dan menunjukkan tanda rangsangan peritonium lokal
d titik Mc Burney.
 Nyeri tekan
 Nyeri lepas
 Defans muskular

c. Nyeri rangsangan peritonium tidak langsung
 Nyeri kanan bawah pada tekanan kiri ( Rovsign sign)
 Nyeri kanan bawah bila tekanan disebelah kiri dilepaskan ( Blumberg)
 Nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti nafas dalam,
berjalan, batuk dan mengedan17.

2.8 Klasifikasi Apendisitis

Klasifikasi apendisitis terbagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut dan apendisitis
kronik.
1. Apendisitis akut
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang
mendadak pada apendiks yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak disertai
rangsang peritonieum lokal. Gejala apendisitis akut ialah nyeri samar dan tumpul yang
merupakan nyeri viseral didaerah epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini sering
disertai mual, muntah dan umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri
akan berpindah ke titik Mc.Burney. Nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya
sehingga merupakan nyeri somatik setempat.
Apendisitis akut dibagi menjadi :
a. Apendisitis Akut Sederhana
Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan obstruksi.
Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendiks dan terjadi peningkatan tekanan dalam
lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa appendiks menebal, edema, dan kemerahan.
b. Apendisitis Akut Purulenta (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan
terbendungnya aliran vena pada dinding apendiks dan menimbulkan trombosis. Keadaan
ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus
besar berinvasi ke dalam dinding apendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa
menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin.
c. Apendisitis Akut Gangrenosa
Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai terganggu
sehingga terjadi infark dan gangren. Selain didapatkan tanda-tanda supuratif, apendiks
mengalami gangren pada bagian tertentu. Dinding apendiks berwarna ungu, hijau keabuan
atau merah kehitaman, terdapat mikroperforasi dan kenaikan cairan peritoneal
yangpurulen.
d. Apendisitis Infiltrat
Apendisitis infiltrat adalah proses radang apendiks yang penyebarannya dapat
dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga membentuk
gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang lainnya.
e. Apendisitis abses
Apendisitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah (pus), biasanya di
fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrosekal, subsekal dan pelvikal.
f. Apendisitis Perforasi
Apendisitis perforasi adalah pecahnya apendiks yang sudah gangren yang
menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum. Pada
dinding apendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik12.

2. Apendisitis kronik
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya riwayat
nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks secara makroskopik
dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh
dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan
ulkus lama di mukosa dan adanya sel inflamasi kronik. Insiden apendisitis kronik antara 1-
5%. Apendisitis kronik kadang-kadang dapat menjadi akut lagi dan disebut apendisitis
kronik dengan eksaserbasi akut yang tampak jelas sudah adanya pembentukan jaringan
ikat12.

2.9 Diagnosis Apendisitis


Penderita appendisitis akan memperlihatkan ekpresi dan sikap tampak kesakitan16. Pada
anamnesis perlu ditanyakan keluhan dan riwayat seperti nyeri perut, demam, mual, muntah,
anoreksia, frekuensi buang air kecil, diare, ataupun konstipasi, serta lamanya gejala yang
dirasakan. Nyeri perut akut pada pasien appendisitis didapatkan pada regio epigastrium atau
umbilikus, biasanya berlangsung 6 - 24 jam atau bahkan lebih dari 48 jam, selanjutnya nyeri
tersebut bermigrasi ke kuadran kanan bawah sehingga nyeri dirasa lebih tajam dan lebih
jelas14,28. Pada kasus yang lebih berat dapat ditemukan adanya abdomen difus, kembung atau
ketegangan perut, demam dengan suhu lebih dari 38 0C dapat disertai menggigil yang
biasanya ditemukan pada kasus perforasi18.
Kegagalan dalam mengenali presentasi klinis dari appendisitis akan menyebabkan
keterlambatan diagnosis dan peningkatan morbiditas penderita appendisitis. Penderita
dengan appendiks retrocaecal atau dengan kehamilan mengalami nyeri terbatas pada
panggul kanan atau sudut costovertebral. Pria dengan posisi appendiks retrocaecal akan
mengeluh nyeri pada testis sebelah kanan. Lokasi pelvis atau retroileal dari appendiks yang
meradang akan merujuk ke pelvis, rektum, dan adneksa19.
Pada pemeriksaan fisik harus dimulai dengan inspeksi. Inspeksi dapat terfokus pada
tingkah laku pasien dan keadaan perutnya. Pasien dengan appendisitis sering bergerak
perlahan dan terbatas, membungkuk ke depan, dan sering berjalan dengan sedikit pincang.
Pasien akan memegang kuadran kanan bawah dengan tangan dan enggan untuk naik ke meja
periksa. Pada appendisitis dini, akan ditemukan inspeksi berupa perut rata. Perubahan warna
dan bekas luka memar harus diperkirakan adanya trauma perut. Adanya perut kembung
menunjukkan suatu komplikasi seperti perforata atau obstruksi. Ketika dilakukan auskultasi
abdomen, bisa ditemukan suara usus normal atau hiperaktif pada appendisitis dini diganti
dengan suara usus hipoaktif ketika memburuk menjadi perforata20.
Pada palpasi dapat ditemukan adanya nyeri tekan pada regio kuadran kanan bawah dan
terkadang diikuti oleh nyeri tekan lepas11. Dari pemeriksaan fisik dengan palpasi dapat
ditemukan tanda-tanda sebagai berikut ini :

1) Rovsing Sign
Rovsing Sign merupakan nyeri alih kuadran kanan bawah setelah dilakukan
palpasi atau perkusi pada kuadran kiri bawah14. Kemungkinan terdapat iritasi peritoneal pada
sisi yang berlawanan19.
2) Obturator Sign
Obturator Sign merupakan nyeri pada kuadran kanan bawah dengan rotasi
internal dan eksternal pinggul kanan yang dilipat 13. Kemungkinan ada inflamasi appendiks
yang berlokasi di hemipelvis kanan11. Uji obturator digunakan sebagai cara untuk melihat
apakah appendiks yang meradang kontak dengan musculus obturator internus yang
merupakan dinding panggul kecil19.
3) Psoas Sign
Uji ini untuk mengetahui letak appendiks11. Psoas Sign adalah nyeri kuadran
kanan bawah dengan ekstensi pinggul kanan atau dengan fleksi pinggul kanan melawan
resistensi. Kemungkinan inflamasi appendiks pada sepanjang musculus psoas dextra 14. Uji
Psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas melalui hiperekstensi pada sendi di panggul
kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, selanjutnya paha kanan ditahan. Bila appendiks
yang meradang menempel di otot psoas mayor, hal tersebut akan menimbulkan nyeri11.

4) Dunphy Sign
Dunphy Sign adalah nyeri pada kuadran kanan bawah dengan rangsangan batuk
yang disengaja. Kemungkinan menjadi indikasi lokasi peritonitis14.
Pada perkusi akan terdapat nyeri ketok pada auskultasi akan terdapat peristaltik
normal, peristaltik tidak ada pada illeus paralitik karena peritonitis generalisata akibat
apendisitis perforata. Auskultasi tidak banyak membantu dalam menegakkan diagnosis
apendisitis, tetapi kalau sudah terjadi peritonitis maka tidak terdengar bunyi peristaltik
usus. Pada pemeriksaan colok dubur (Rectal Toucher) akan terdapat nyeri pada jam 9-12.

Apendisitis dapat didiagnosis menggunakan skor alvarado yang dapat dilihat pada tabel
2.1.
Tabel 2.1 Gambaran klinis apendisitis akut berdasarkan skor alvarado

Tabel Skor Alvarado Skor


Gejala Klinis
Nyeri perut yang berpindah ke kanan bawah 1
Nafsu makan menurun 1
Mual dan atau muntah 1
Tanda Klinis
Nyeri lepas Mc. Burney 1
Nyeri tekan pada titik Mc. Burney 2
Demam (suhu > 37,2° C) 1
Pemeriksaan Laboratoris
Leukositosis (leukosit > l 0.000/ml) 2
Shift to the left (neutrofil > 75%) 1
TOTAL 10

Interpretasi:
Skor 7-10 = apendisitis akut,
Skor 5-6 = curiga apendisitis akut,
Skor l-4 = bukan apendisitis akut.
2.10 Pemeriksaan Penunjang Apendisitis
Pemeriksaan laboratorium21
a. Hitung jenis leukosit dengan hasil leukositosis.
b. Pemeriksaan urin dengan hasil sedimen dapat normal atau terdapat leukosit
dan eritrosit lebih dari normal bila apendiks yang meradang menempel
pada ureter atau vesika. Pemeriksaan leukosit meningkat sebagai respon
fisiologis untuk melindungi tubuh terhadap mikroorganisme yang
menyerang. Pada apendisitis akut dan perforasi akan terjadi leukositosis
yang lebih tinggi lagi. Hb (hemoglobin) nampak normal. Laju endap darah
(LED) meningkat pada keadaan apendisitis infiltrat. Urin rutin penting
untuk melihat apakah terdapat infeksi pada ginjal.
c. Apendikogram
Apendikogram dilakukan dengan cara pemberian kontras BaS04 serbuk
halus yang diencerkan dengan perbandingan 1:3 secara peroral dan
diminum sebelum pemeriksaan kurang lebih 8-10 jam untuk anak-anak
atau 10-12 jam untuk dewasa, hasil apendikogram dibaca oleh dokter
spesialis radiologi.
d. Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi menjadi salah satu modalitas diagnostik non invasif tersering
untuk appendisitis34. Sensitivitas USG dilaporkan dari 78% menjadi 83%,
sedangkan spesifisitasnya berkisar dari 83% hingga 93%. Pada keadaan
normal, appendiks tidak dapat terlihat pada USG. Tetapi, pada appendisitis maka
appendiks dengan posisi tetap dapat terlihat, non-kompresif dengan struktur tubuler
berdiameter 7-9mm. Pemeriksaan ini dapat memvisualisasikan hipertrofi,
gangguan struktur berlapis dinding appendiks, akumulasi cairan purulen, dan
adanya fekalit pada appendiks

2.11 Diagnosis Banding Apendisitis


Banyak masalah yang dihadapi saat menegakkan diagnosis apendisitis karena penyakit
lain yang memberikan gambaran klinis yang hampir sama dengan apendisitis,
diantaranya21:
 Gastroenteritis, ditandai dengan terjadi mual, muntah, dan diare mendahului rasa
sakit. Sakit perut lebih ringan, panas dan leukositosis kurang menonjol
dibandingkan, apendisitis akut.
 Limfadenitis Mesenterika, biasanya didahului oleh enteritis atau gastroenteritis.
Ditandai dengan nyeri perut kanan disertai dengan perasaan mual dan nyeri tekan
perut.
 Demam dengue, dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis dan diperoleh hasil
positif untuk Rumple Leede, trombositopeni, dan hematokrit yang meningkat.
 Infeksi Panggul dan salpingitis akut kanan sulit dibedakan dengan apendisitis akut.
Suhu biasanya lebih tinggi dari pada apendisitis dan nyeri perut bagian bawah lebih
difus. Infeksi panggul pada wanita biasanya disertai keputihan dan infeksi urin.
 Kehamilan ektopik, hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yang
tidak jelas seperti ruptur tuba dan abortus. Kehamilan di luar rahim disertai
pendarahan menimbulkan nyeri mendadak difus di pelvik dan bisa terjadi syok
hipovolemik.

2.12 Penatalaksanaan Apendisitis


Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita apendisitis meliputi
penanggulangan konservatif dan operatif.11,21
 Penanggulangan konservatif
Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak
mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik. Pemberian
antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita apendisitis perforasi,
sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan elektrolit, serta pemberian
antibiotik sistemik.
 Operatif
Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan apendisitis maka tindakan yang
dilakukan adalah operasi membuang appendiks. Penundaan appendektomi dengan
pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses dan perforasi. Pada abses apendiks
dilakukan akan dilakukan drainase sebagaimana perlunya dilakukan pada appendisitis
ini.

2.13 Prognosis Apendisitis


Dengan adanyatindakan bedah awal, kemungkinan kematian akibat appendisitis sangat
rendah. Orang tersebut biasanya dapat dipulangkan dari rumah sakit dalam 1 hingga 3 hari.
Selain itu, durasi pemulihan biasanya cepat dan lengkap. Namun, pemulihan pada orang
berusia lebih tua membutuhkan waktu yang lebih lama.Tanpa tindakan pembedahan atau
antibiotik (seperti yang mungkin terjadi pada seseorang di lokasi terpencil tanpa akses ke
perawatan medis modern), lebih dari 50% orang dengan apendisitis meninggal.Untuk
apendiks yang mengalami komplikasi berupa perforasi bahkan peritonitis maka
prognosisnya lebih serius. Pembedahan dan antibiotik telah menurunkan angka kematian
menjadi hampir nol4.
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama : Tn. RM
Jenis kelamin : Laki-laki
Tanggal Lahir/Usia : 18 tahun
Pekerjaan : Pelajar
Perkawinan : Belum Menikah
Agama : Islam
Alamat : Peusangan
Tanggal Masuk RS : 5 November 2021

1. Anamnesa
Keluhan Utama : Nyeri perut kanan bawah
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RSUD dr. Fauziah Bireun pada tanggal 5 November
2021 dengan keluhan nyeri perut kanan bawah sejak 1 hari SMRS. Pasien
mengatakan nyeri dirasakan hilang timbul, sebelumnya terasa nyeri dan panas pada
ulu hati sejak ± 2 hari yang lalu. Pasien juga mengeluhkan nyeri pada perut kanan
bawah ketika batuk dan bergerak. Pasien juga mengeluhkan tidak nafsu makan, mual
(+), muntah(+) 3 kali, demam (+) . BAB cair 2 hari yang lalu, BAK dalam batas
normal, buang angin (+).

Riwayat penyakit dahulu : Tidak ada


Riwayat penyakit keluarga : Tidak Ada
Riwayat Penggunaan obat : Tidak Ada
Riwayat Alergi : Tidak Ada
Riwayat Psikososial : Pasien mengaku sering terlambat makan, suka
makanan pedas dan tidak suka sayuran serta buah-
buahan.
Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Temperatur : 38,2°C
Pernafasan : 20 x / menit
Nadi : 82 x / menit

2. Status Generalisata
Kepala : Normochepali
Mata : Refleks pupil +/+ isokhor, konjungtivaanemis+/+
Hidung : Septum deviasi (-), secret (-), rhinorea (-)
Telinga : Secret (-), nyeri tekan tragus (-)
Leher : Trakea Midline (+) Pembesaran KGB (-),Pembesaran kelenjar
thyroid (-)
Thorax
 Inspeksi : Bentuk normal, kedua hemithorax bergerak simetris
 Palpasi : Stem fremitus kanan dan kiri normal
 Perkusi : Seluruh lapang thorax sonor
 Auskultasi :vesikular (+/+) normal, Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-), BJ I dan II murni
regular, Murmur (-), gallops (-)

3. Status Lokalisata
Regio : Abdomen Quadrant Kanan Bawah ( regio iliaca dextra)
- Inspeksi : Bentuk simetris,
- Palpasi : Nyeri tekan (+) dan nyeri lepas (+) di McBurney, Rovsing’s
sign (-), Blumberg's sign (+), Defense muscular (-).
- Perkusi : Timpani
- Auskultasi : Bising Usus (+) menurun

4. Pemeriksaan Khusus
- Psoas Sign (+)
- Obturator Sign (+)
5. Pemeriksaan Penunjang
Hematologi (5 November 2021)

Hasil Nilai Rujukan Satuan


Hemoglobin 15,7 13,5-18 g/dl
Hematokrit 47,9 37-51 %
Eritrosit 5,28 4,2-6,2 10^6/ul
Leukosit 16,18 4-10,3 10^3/ul
Trombosit 263 150-450 10^3/ul
KGDS 95 <140 mg/100 ml
Eosinophil 2 1-2 %
Basofil 0 0-1 %
Neutrofil Batang 0 2-6 %
Netrofil segmen 89 40-70 %
Limfosit 4 20-40 %
Monosit 5 0-6 %
PT 12,9 9,3-11,4 detik
APTT 30,1 25-37 detik
HbsAg Negatif Negatif ng/dl
Rapid Test AG Negatif Non reaktif Sel/ul
COVID-19
Golongan Darah B ng/dl

Radiologi :
No Pemeriksaan Hasil
1 Foto BNO/Abdomen Distensi Usus (-), airfluid level (-),
Scoliosis (-), Komposisi Fraktur (-),
Osteofit (-), penyempitan discus(-).
Kesan : Normal

6. Diagnosa
Diagnosa Banding :
- Apendisitis akut
- Gastroenteritis
- Limfadenitis Mesentrika
Diagnosa Kerja :
- Appendisitis Akut

7. Penatalaksanaan
- IVFD RL 20 gtt/i
- Inj. Ceftriaxone 1gr/12 jam
- Inj. Ranitidin 1 amp/12 jam
- Inj. Ondancetron 1 amp/8 jam

Operatif : Appendictomy

BAB IV
PEMBAHASAN KASUS
Pada anamnesa didapatkan pasien mengeluh nyeri di perut daerah ulu hati, sekitar
pusar, dan perut kanan bawah. Nyeri tersebut merupakan nyeri visceral yang sifatnya difus,
terletak pada mid-line, sekitar umbilikal, tidak dapat ditunjukkan, bersifat tumpul dan tidak
jelas, tidak menetap. Referred pain sesuai persarafan yang terjadi akibat regangan organ.
Nyeri visceral pada appendicitis ini bermula di sekitar umbilicus sesuai dengan persarafan
dari N.Thorakalis X. Nyeri disebabkan oleh karena obstruksi lumen appendiks yang akan
menyebabkan peningkatan sekresi normal mukus dari mukosa appendiks yang distensi.
Makin lama mucus makin banyak, namun elastisitas dinding appendiks mempunyai
keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang
meningkat tersebut akan menyebabkan appendiks mengalami hipoksia, menghambat aliran
limfe dan invasi bakteri. Infeksi menyebabkan pembengkakan appendiks bertambah (edema).
Pada saat inilah terjadi appendicitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.
Pasien juga mengeluhkan nyeri perut kanan bawah yang hilang timbul, nyeri tersebut
merupakan nyeri visceral yang berubah menjadi nyeri somatis. Nyeri ini disebabkan oleh
sekresi mukus yang terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Kemudian hal tersebut
akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding.
Peradangan yang timbul akan meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga
menimbulkan nyeri daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan appendicitis supuratif
akut.
Keluhan mual dan muntah pasien disebabkan oleh inflamasi dan tekanan yang
berlebihan pada appendiks yang distensi sehingga pusat muntah akan diaktifkan dari saluran
pencernaan melalui aferen nervus vagus.
Nyeri tekan daerah McBurney terjadi karena translokasi bakteri yang menyebabkan
nyeri somatis.
Illiopsoas sign menunjukkan peradangan dari appendiks yang letaknya dekat dengan
otot psoas. Obturator test juga positif karena gerakan rotasi dari pinggang juga menghasilkan
nyeri pada pasien dengan appendiks yang juga terletak berdekatan dengan otot obturator
eksternus.
Leukositosis yang didapatkan dari pemeriksaan darah lengkap menunjukkan respon
tubuh terhadap infeksi.
Penatalaksanaan pada pasien ini dilakukan tindakan pembedahan dini sesuai Alvarado
score dengan total skor 10, yaitu perlu dilakukan operasi dini bila skor 7-10.
Skor yang
Penilaian Skor Ajuan
Didapat
Gejala -Nyeri beralih 1 1
-Anoreksia 1 1
-Mual / muntah 1 1
Tanda -Nyeri perut kanan bawah 2 2
(Mc Burney point)
-Nyeri lepas 1 1
-Kenaikkan temperature 1 1
(> 37.5 oC)
Laboratoriu -Leukositosis (> 10.000/ul) 2 2
m -Neutrofil bergeser ke kiri 1 1
(> 72%)
Total Skor 10 10

Pemberian obat Ceftriaxone yaitu, antibiotik spektrum luas golongan sefalosporin


generasi 3 pada pasien ini untuk mencegah infeksi berat dan diantaranya memiliki aktivitas
melawan bakteri aerob dan anaerob.

BAB V
KESIMPULAN
Appendicitis adalah peradangan pada appendix vermicularis. Appendicitis merupakan
kasus bedah akut abdomen yang paling sering dijumpai. Faktor predisposisi dan etiologinya
bisa bermacam-macam, namun obstruksi lumen adalah penyebab utamanya.
Gejala klinis meliputi nyeri perut kanan bawah tepatnya di titik McBurney disertai
nyeri epigastrium, dapat pula nyeri di seluruh perut pada fase tertentu. Dapat dijumpai mual,
muntah, anoreksia, dan demam. Dapat dilakukan manuver Rovsing’s sign, Blumberg sign,
Illiopsoas sign, dan Obturator test dalam membantu penegakan diagnosis.
Pada pasien ini, berdasarkan hasil anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang yang dilakukan maka diagnosisnya adalah appendicitis akut. Dari hasil
pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien ini sudah cukup terpenuhi.
Penatalaksanan pada pasien ini sesuai dengan teori. Kondisi pasien saat pulang telah dalam
keadaan stabil. Prognosis pada pasien ini adalah ad bonam.

DAFTAR PUSTAKA

1. Dani, Calista P. 2014. Karakteristik Penderita Appendisitis Akut di Rumah Sakit


Immanuel Bandung Periode 1 Januari 2013 – 30 Juni 2013. Tesis. Fakultas
Kedokteran Universitas Kristen Maranatha : Bandung.
2. Baresti SW, Rahmanto T. Sistem Skoring Baru untuk Mendiagnosis Appendisitis
Akut. Majority. 2017;(6)3: 169-173.
3. Atikasari H, Susetyowati, Makhmudi. Hubungan Kebiasaan Makan dan Status Gizi
terhadap Kejadian Appendisitis pada Anak di Yogyakarta. Sari Pediatri. 2015;
(17)2 : 95-100.
4. Ferris M, Quan S, Kaplan BS, et all. The Global Incidence of Appendicitis : A
Systemic Review of Population Based Studies. Meta Analysis. 2017;(266)2:237-241.
5. Thomas GA, Lahunduitan I, Tangkilisan A. Angka Kejadian Appendisitis di RSUP
Prof. Dr.R.D Kandou Manado Periode Oktober 2012 – September 2015. Jurnal e-
Clinic. 2016;(4)1 : 231-236.
6. Padmi CI, Widarsa T. Akurasi Total Hitung Leukosit dan Durasi Simtom Sebagai
Prediktor Perforasi Appendisitis pada Penderita Appendisitis Akut. Warmadewa
Medical Journal. 2017;(2)2: 71-76. Available from: DOI: 10.22225/wmj.1.2.394.71-
82. 2019.04.016.
7. Arifuddin A, Salmawati L, Prasetyo A. Faktor Risiko Kejadian Appendsistis di
Bagian Rawat Inap Rumah Sakit Umum Anuputra Palu. Jurnal Preventif. 2017;(8)1:
1-58.
8. Indra R, Bagus I, Alfianto U. Perbedaan Penggunaan Drain dan Tanpa
Penggunaan Drain Intra Abdomen Terhadap Lama Perawatan Pascaoperasi
Laparatomi Appendisitis Perforasi. Biomedika. 2018;(10)1: 35-38.

9. CS W, Sabir M. Perbandingan antara Suhu Tubuh, Kadar Leukosit, dan Platelet


Distribution Width (PDW) pada Appendisitis Akut dan Appendisitis Perforasi di
Rumah Sakit Umum Anutapura Palu Tahun 2014. Jurnal Kesehatan Tadulako. 2016;
(2)2: 1-72.
10. Rahmawati CL, Pinzon RT, Lestari T. Evaluasi Implementasi Clinical Pathway
Appendicitis Elektif di RS Bethesda Yogyakarta. Berkala Ilmiah Kedokteran Duta
Wacana. 2017;(2)3: 437-444.
11. Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W, Prasetyono TOH, et all. Buku Ajar Ilmu Bedah.
Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2007.
12. Craig S, Brenner BE. 2017. Appendicitis : Practice Essentials, Background,
Anatomy. 2017. Medscape. Available from : http://emedicine.medscape.com. 2019.
04.28.
13. Golalipour MJ, Arya, Azarhoosh, et all. Anatomical Variations of Vermiform
Appendix In South-East Caspian Sea(Gorgan-IRAN). J.Anat.Soc.India. 2003;(52)2:
141-143.
14. Paulsen F, Waschke J ed. Sobotta Atlas Anatomi Manusia Organ- Organ Dalam.
Edisi 3. Jakarta:EGC. 2013.
15. Pratiwi S, Arbi I, Lestari, SMA. 2014. Gambaran Hitung Leukosit Pre Operatif
pada Tiap-Tiap Tingkat Keparahan Appendisitis Akut Anak (Berdasarkan
Klasifikasi Cloud) di RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau Periode Januari 2011 –
Desember 2012. Tesis. Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Riau.
Bagian Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Riau.
16. Elsevier Point of Care. 2017. Clinical Overview Appendicitis. Elsevier.
http://www.clinicalkey.com. 2019.03.06.
17. Sifri CD, Madoff LC. Appendicitis. Elsevier Clinical Key. Available
from:https://www.clinicalkey.com. 2019.03.03
18. Sarosi GA. Appendicitis. Sleisenger and Fordtran’s Gaastrointestinal and Liver
Disease.2016. Elsevier Clinical Key. Available from : https://www.clinicalkey.com.
2019.03.03.

19. Petroianu A. Diagnosis of Acute Appendicitis. International Journal of Surgery.


2012;(10): 115-119. Available from : journal homepages : www.theijs.com.
2019.03.05.
20. Gorter RR, Eker HH, Stam MAWG, et all. Diagnosis and Management of Acute
Appendicitis : EAES Consesnsus Development Conference 2015. Consesnsus
Statement. 2016;30; 4668-4690. Available From:DOI: 10.1007/s00464-016-5245-7.
2019.03.17.
21. Ishikawa H. Diagnosis and Treatment of Acute Appendicitis. JMAJ. 2003;(46)5:217-
221.

Anda mungkin juga menyukai