Anda di halaman 1dari 40

REFLEKSI KASUS Maret 2019

“APPENDIKSITIS ”

Disusun Oleh:

Ni Putu Mona Aryati

N 111 17 089

Pembimbing Klinik:

dr. Ahmadi Alwi, Sp.B

BAGIAN ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2019
BAB I

0
PENDAHULUAN

Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm


(kisaran 3- 15cm), dan berpangkal di caecum. Lumennya sempit di bagian proksimal
dan melebar di bagian distal. Apendiks berbentuk kerucut pada bayi, lebar pada
pangkalnya dan menyempit ke arah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab
rendahnya insiden appendicitis pada usia itu.1
Apendiks diperkirakan ikut serta dalm system imun sektorik di saluran
pencernaan. Namun, pengangkatan apendiks tidak menimbulkan efek fungsi system
imun yang jelas. Peradangan pada appendix merupakan penyebab tersering nyeri
abdomen akut dan memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi
yang umumnya berbahaya, sedangkan batasan apendisitis akut adalah apendisitis
yang terjadi secara akut yang memerlukan intervensi bedah, biasanya memiliki durasi
tidak lebih dari 48 jam, ditandai dengan nyeri abdomen kuadran kanan bawah dengan
nyeri tekan lokal dan nyeri alih, nyeri otot yang ada diatasnya, dan hiperestesia kulit. 2
Berlanjutnya kondisi apendisitis akan meningkatkan resiko terjadinya perforasi dan
pembentukan masa periapendikular. Perforasi dengan cairan inflamasi dan bakteri
masuk ke rongga abdomen lalu memberikan respons inflamasi permukaan
peritoneum atau terjadi peritonitis. Apabila perforasi apendiks disertai dengan
material abses, maka akan memberikan manifestasi nyeri local akibat akumulasi
abses dan kemudian juga akan memberikan respons peritonitis. Manifestasi yang
khas dari perforasi apendiks adalah nyeri hebat yang tiba-tiba datang pada abdomen
kanan bawah.2
Penyakit ini dapat terjadi pada semua umur, tetapi umumnya terjadi pada
dewasa dan remaja muda, yaitu pada umur 10-30 tahun dan insiden tertinggi pada
kelompok umur 20-30 tahun.3 Apendisitis akut sama-sama dapat terjadi pada laki-laki
maupun perempuan, tetapi insidensi pada laki-laki umumnya lebih banyak dari
perempuan terutama pada usia 20-30 tahun. Apendisitis akut merupakan salah satu
kasus tersering dalam bidang bedah abdomen. Rata-rata 7% populasi di dunia
menderita apendisitis dalam hidupnya. Selain itu, juga di laporkan hasil survey angka
insidensi apendisitis, dimana terdapat 11 kasus apendisitis pada setiap 1000 orang di

1
Amerika.4 Menurut WHO (World Health Organization), indisdensi apendisitis di Asia
pada tahun 2004 adalah 4,8% penduduk dari total populasi. Menurut Departemen
Kesehatan RI di Indonesia pada tahun 2008, apendisitis menduduki urutan keempat
penyakit terbanyak setelah dispepsia, gastritis, dan duodenitis dengan jumlah pasien
rawat inap sebanyak 28.040. Selain itu, pada tahun 2008, insidensi apendisitis di
Indonesia menempati urutan tertinggi di antar kasus kegawatan abdomen
lainnyaKasus perforasi apendiks pada apendisitis akut berkisar 20-30% dan
meningkat 32-72% pada usia lebih dari 60 tahun, sedangkan pada anak kurang dari
satu tahun kasus apendisitis jarang ditemukan. Insiden tertinggi dilaporkan pada
rentang usia 20-30 tahun. Data rekam medis di Rumah Sakit Umum Anutapura Palu
mencatat 434 kasus pasien yang mengalami apendisitis pada tahun 2014. Tingginya
angka tersebut mengharuskan dokter memiliki kemampuan mendiagnosis apendisitis
dengan cepat dan tepat.4
Dalam mendiagnosis apendisitis, anamnesis dan pemeriksaan memegang
peranan utama dengan akurasi 76-80%, tetapi dalam mencegah pasien agar tidak
terjadi perforasi tidaklah cukup hanya dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik. 5
Dapat juga dilakukan Ultrasonography (USG) dan Computed Tomography (CT)
scan, tetapi dikarenakan alat ini memerlukan biaya yang tidak murah dan tidak semua
unit pelayanan memilikinya, sehingga pemeriksaan ini masih jarang untuk dilakukan.
Selain itu, USG dan CT-Scan sendiri bukan untuk mencari adanya apendisitis,
pemeriksaan ini untuk membantu mencari differential diagnosis atau untuk
membantu pasien yang hasil diagnosisnya masih diragukan.4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI APPENDIX
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm,
dan berpangkal di sekum. Apendiks melekat pada permukaan postereomedial
caecum, sekitar 1 inci (2,5cm) dibawah juncture ileocaecalis. 7 Apendiks

2
vermiformis diliputi seluruhnya oleh peritoneum, yang melekat pada
mesenterium intestinum tenue oleh messenteriumnya sendiri yang pendek
disebut mesoapendiks. Mesoapendiks berisi arteria dan vena appendicularis dan
nervus. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal. 8
Apendiks vermiformis terletak di fosa illiaca dextra, dan dalam hubunganya
dengan dinding anterior abdomen, pangkalnya terletak sepertiga ke atas di garis
yang menghubungkan spina illiaca anterior superior dan umbilicus (titik
Mcburney). Di dalam abdomen, dasar apendiks vermiformis mudah ditemukan
dengan mencari taenia coli caecum dan mengikutinya sampai apendiks
vermiformis, dimana taenia ini bersatu membentuk tunica muscularis
longitudinalis yang lengkap. 2,5
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti
arteri mesenterika superior dan arteri apendikularis, sedangkan persarafan
simpatis berasal dari nervus torakalis 10. Oleh karena itu, nyeri viseral pada
apendisitis bermula di sekitar umbilikus.2 Pendarahan apendiks berasal dari arteri
apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat,
misalnya karena thrombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami gangren.5

3
Persarafan sekum dan apendiks vermiformis berasal dari saraf simpatis
dan parasimpatis dari plekxus mesenterica superior. Serabut saraf simpatis
berasal dari medula spinalis torakal bagian kaudal, dan serabut
parasimpatis berasal dari kedua nervus vagus. Serabut saraf aferen dari
apendiks vermiformis mengiringi saraf simpatis ke segmen medula spinalis
thorakal 10.9 Posisi apendiks terbanyak adalah retrocaecal (65%), pelvical

(30%), patileal (5%), paracaecal (2%), anteileal (2%) dan preleal (1%).
Pada 65% kasus, apendiks terletak intraperitoneal, yang memungkinkan
apendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang
mesoapendiks penggantungnya. Pada kasus selebihnya, apendiks terletak
retroperitoneal, yaitu di belakang sekum, di belakang kolon asendens. 7
Gejala klinis apendisitis ditentukan oleh letak apendiks. Berikut pada
gambar 1 adalah anatomi dari apendiks. 2,5

B. FISIOLOGI
Apendiks menghasilkan lendir 1-2ml per hari. Lendir itu normalnya
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke caecum. Hambatan
aliran lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada pathogenesis
appendicitis. Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut

Gambar 2 dan 3. Anatomi Apendiks.1


associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk
apendiks, ialah IgA. Immunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung
terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi
sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limf disini kecil sekali jika
dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh.1 Namun
demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh
karena jumlah jaringan limfe disini sangat kecil jika dibandingkan dengan
jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh. Istilah usus buntu yang dikenal
di masyarakat awam adalah kurang tepat karena usus yang buntu sebenarnya
adalah sekum. Apendiks diperkirakan ikut serta dalam sistem imun sekretorik di
saluran pencernaan, namun pengangkatan apendiks tidak menimbulkan defek
fungsi sistem imun yang jelas.2
C. APPENDISITIS AKUT
Apendisitis akut adalah salah satu penyebab nyeri abdomen akut yang paling
sering ditemukan. Hipotesis penyebab paling umum adalah adanya obstruksi
lumen yang berlanjut kerusakan dinding apendiks dan pembentukan abses2,3
Apendisitis akut mampu berkembang menjadi perforasi apendiks yang
nantinya dapat mengakibatkan 67% kematian pada kasus-kasus apendisitis akut.
Apendektomi yang dini telah lama direkomendasikan sebagai pengobatan
apendisitis akut dikarenakan risiko progresivitas apendisitis menuju pada
perforasi. Perforasi apendiks akan menyebabkan sepsis yang tidak terkontrol
(akibat peritonitis), abses intra-abdomen atau septikemia gram negatif 5
Pada anak-anak, radang usus buntu mungkin mirip dengan gastroenteritis,
divertikulitis atau intususepsi meckel. Para pasien lanjut usia dapat datang
dengan gangren. Pada wanita hamil gejalanya dapat dirujuk kehamilan dan
keterlambatan diagnosis dapat menyebabkan keguguran janin. Diagnosis
banding pada wanita bisa berupa radang panggul penyakit, torsi ovarium,
kehamilan ektopik yang pecah dan Mittelschmerz. Penyebab paling umum dari
radang usus buntu akut adalah obstruksi yang disebabkan oleh fecolith.
Penyebab lain bisa jadi limfoid hiperplasia, tumor, cacing atau biji-bijian.4

D. EPIDEMIOLOGI

5
Apendisitis akut merupakan masalah pembedahan yang paling sering dan
apendektomi merupakan salah satu operasi darurat yang sering dilakukan
diseluruh dunia. Faktor potensialnya adalah diet rendah serat dan konsumsi gula
yang tinggi, riwayat keluarga serta infeksi. Kejadian apendisitis 1,4 kali lebih
tinggi pada pria dibandingkan dengan wanita. Insidensi apendisitis lebih tinggi
pada anak kecil dan lansia.2
Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2004, diketahui bahwa
apendisitis diderita oleh 418 juta jiwa di seluruh dunia, 259 juta jiwa darinya
adalah laki-laki dan selebihnya adalah perempuan, dan mencapai total 118 juta
jiwa di kawasan Asia Tenggara. 11 Apendisitis merupakan peradangan pada usus
buntu sehingga penyakit ini dapat menyebabkan nyeri dan beberapa keluhan lain
seperti mual, muntah, konstipasi atau diare, demam yang berkelanjutan dan sakit
perut sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari.4,5
Menurut Departmen Kesehatan RI pada tahun 2006, apendisitis merupakan
penyakit urutan keempat terbanyak di Indonesia pada tahun 2006. 10 Jumlah
pasien rawat inap penyakit apendiks pada tahun tersebut mencapai 28.949
pasien, berada di urutan keempat setelah dispepsia, duodenitis, dan penyakit
cerna lainnya. Sedangkan, menurut Departemen Kesehatan RI pada tahun 2009,
apendisitis masuk dalam daftar 10 penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di
rumah sakit di berbagai wilayah Indonesia dengan total kejadian 30,703 kasus
dan 234 jiwa yang meninggal akibat penyakit ini.4,5

E. ETIOLOGI
Terjadinya apendisitis akut umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri. Namun
terdapat banyak sekali faktor pencetus terjadinya penyakit ini. Diantaranya
obstruksi yang terjadi pada lumen apendiks yang biasanya disebabkan karena
adanya timbunan tinja yang keras (fekalit), hiperplasia jaringan limfoid, penyakit
cacing, parasit, benda asing dalam tubuh, tumor primer pada dinding apendiks
dan striktur. Penelitian terakhir menemukan bahwa ulserasi mukosa akibat
parasit seperti E Hystolitica, merupakan langkah awal terjadinya apendisitis pada
lebih dari separuh kasus, bahkan lebih sering dari sumbatan lumen.6
Sumber penyumbatan meliputi :

Tinja, parasit, atau pertumbuhan yang menyumbat lumen usus buntu

6

Jaringan getah bening membesar di dinding appendix, yang
disebabkan oleh infeksi pada Saluran GI atau tempat lain di tubuh

Penyakit radang usus (IBD), termasuk penyakit Crohn dan kolitis
ulserativa, gangguan jangka panjang yang menyebabkan iritasi dan
bisul di Saluran GI.6
Beberapa penelitian juga menunjukkan peran kebiasaan makan. Penelitian
epidemiologi menunjukan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan
pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan
tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan
meningkatkannya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini akan
mempermudah timbulnya apendisitis akut. Frekuensi dari obstruksi meningkat
dengan keparahan dari proses inflamasi. Fecalith ditemukan 40% dari kasus
apendisitis akut sederhana, pada 65% kasus apendisitis gangrenosa tanpa ruptura
dan sekitar 90% oada kasus apendisitis gangrenosa dengan ruptur.7
Faktor yang mempengaruhi :
a. Obstruksi
Hiperplasi kelenjargetah bening(60%)
Fecolith(35%)masa feces yang membatu
Corpus alienum(4%) biji2an
Striktur lumen (1%)kinking , krn mesoappendiks pendek, adesi
b. InfeksiBiasanya secara hematogen dari tempat lain, misal : pneumonia,
tonsilitis dsb. Antara lain jenis kuman : E. Coli, Streptococcus
Ada 4 faktor yang mempengaruhi terjadinya appendisitis :

1. Adanya isi lumen

2. Derajat sumbatan yang terus menerus

3. Sekresi mukus yang terus menerus

4. Sifat inelastis / tak lentur dari mukosa appendik

Akibat sumbatan / obstruksi mengakibatkan sekresi mukus terganggu , sehingga


tekanan intra lumen meningkat mengakibatkan gangguan drainage pada :

Limfe : Oedemkuman masukulcerasi mukosaAppendisitis akut Vena


: TrombusIskhemikuman masukpusAppendisitis Supuratif Arteri :

7
Nekrosiskuman masuk ganggren Appendisitis
ganggrenosa Perforasi peritonitis umum

Appendisitis akut setelah 48 jam dapat menjadi :

1. Sembuh

2. Kronik

3. Perforasi

4. Infiltrat / absesIni terjadi bila proses berjalan lambat, ileum terminale, caecum dan
omentum akan membentuk barier dalam bentuk infiltrat. Pada anak-anak dimana
omentum pendek dan orang tua dengan daya tahan tubuh yang menurun sulit
terbentuk infiltrat, sehingga kemungkinan terjadi perforasi lebih besar.

F. KLASIFIKASI
Klasifikasi apendisitis terbagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut dan
apendisitis kronik.2,3,5

1. Apendisitis akut

Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh
radang mendadak pada apendiks yang memberikan tanda setempat,
disertai maupun tidak disertai rangsang peritonieum lokal. Gejala
apendisitis akut ialah nyeri samar dan tumpul yang merupakan nyeri
viseral didaerah epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini sering
disertai mual, muntah dan umumnya nafsu makan menurun. Dalam
beberapa jam nyeri akan berpindah ke titik Mc.Burney. Nyeri
dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan
nyeri somatik setempat. Apendisitis akut dibagi menjadi :

a. Apendisitis Akut Sederhana

Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa


disebabkan obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen

8
appendiks dan terjadi peningkatan tekanan dalam lumen yang
mengganggu aliran limfe, mukosa appendiks menebal, edema, dan
kemerahan. Gejala diawali dengan rasa nyeri di daerah umbilikus,
mual, muntah, anoreksia, malaise dan demam ringan.2

b. Apendisitis Akut Purulenta (Supurative Appendicitis)

Gambar 4. Appendisitis Supuratif8

Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema


menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding apendiks
dan menimbulkan trombosis.2 Keadaan ini memperberat iskemia
dan edema pada apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus besar
berinvasi ke dalam dinding apendiks menimbulkan infeksi serosa
sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin.
Apendiks dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di
dalam lumen terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan
rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik
Mc. Burney, defans muskuler dan nyeri pada gerak aktif dan pasif.
Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai
dengan tanda-tanda peritonitis umum.2

9
c. Apendisitis Akut Gangrenosa

Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri


mulai terganggu sehingga terjadi infark dan gangren. Selain
didapatkan tanda-tanda supuratif, apendiks mengalami gangren
pada bagian tertentu. Dinding apendiks berwarna ungu, hijau
keabuan atau merah kehitaman. Pada apendisitis akut gangrenosa
terdapat mikroperforasi dan kenaikan cairan peritoneal yang
purulen.2

Gambar 5. Appendisitis Gangrenosa8

d. Apendisitis Infiltrat

Apendisitis infiltrat adalah proses radang apendiks yang


penyebarannya dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum,
kolon dan peritoneum sehingga membentuk gumpalan massa
flegmon yang melekat erat satu dengan yang lainnya.2,3,4

10
e. Apendisitis

Gambar 6. Appendisitis Phlegmon8

Abses

Apendisitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi


nanah (pus), biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum,
retrosekal, subsekal dan pelvikal.2

f. Apendisitis Perforasi

Apendisitis perforasi adalah pecahnya apendiks yang sudah


gangren yang menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut
sehingga terjadi peritonitis umum. Pada dinding apendiks tampak
daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik.2

2.
Gambar 7. Appendisitis Perforasi8

Apendisitis kronik

Diagnosis
apendisitis
kronik baru dapat
ditegakkan
jika ditemukan

11
adanya riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang
kronik apendiks secara makroskopik dan mikroskopik.4 Kriteria
mikroskopik apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding
apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya
jaringan parut dan ulkus lama di mukosa dan adanya sel inflamasi
kronik. Insiden apendisitis kronik antara 1-5%. Apendisitis kronik
kadang-kadang dapat menjadi akut lagi dan disebut apendisitis
kronik dengan eksaserbasi akut yang tampak jelas sudah adanya
pembentukan jaringan ikat.2,4

G. PATOFISIOLOGI
Penyebab appendisitis adalah terjadinya sebuah obstruksi atau
penyumbatan dari lumen apendiks. Lendir di dalam lumen apendiks,
menyebabkan bakteri yang biasanya hidup di dalamnya dapat berkembang biak.
Akibatnya, lumen membengkak dan menjadi terinfeksi.8
Sumber penyumbatan meliputi :
 Appendicitis dapat terjadi karena berbagai macam penyebab, antara
lain obstruksi oleh fecalith, gallstone, tumor, atau bahkan oleh
cacing (Oxyurus vermicularis), akan tetapi paling sering
disebabkan obstruksi oleh fecalith dan kemudian diikuti oleh proses
peradangan.
 Hiperplasia folikel limfoid appendiks juga dapat menyebabkan
obstruksi lumen
Patofisiologi apendisitis dapat dimulai di mukosa dan kemudian
melibatkan seluruh lapisan dinding apendix dalam waktu 24-48 jam pertama.
Upaya pertahanan tubuh berusaha membatasi proses radang ini dengan menutup
apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa
periapendikuler yang secara salah dikenal dengan istilah infiltrat apendiks. Di
dalamnya, dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami
perforasi. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa

12
periapendikuler akan menjadi tenang dan selanjutnya akan mengurai diri secara
perlahan.8,9
Awalnya, pasien akan merasa gejala gastrointestinal ringan seperti
berkurangnya nafsu makan, perubahan kebiasaan BAB yang minimal, dan
kesalahan pencernaan. Anoreksia berperan penting pada diagnosis appendicitis,
khususnya pada anak-anak.5 Distensi appendiks menyebabkan perangsangan
serabut saraf visceral dan dipersepsikan sebagai nyeri di daerah periumbilical.
Nyeri awal ini bersifat nyeri dalam, tumpul, berlokasi di dermatom Th 10.
Adanya distensi yang semakin bertambah menyebabkan mual dan muntah,
dalam beberapa jam setelah nyeri. Jika mual muntah timbul lebih dulu sebelum
nyeri, dapat dipikirkan diagnosis lain. 5 Appendiks yang obstruksi merupakan
tempat yang baik bagi bakteri untuk berkembang biak. Seiring dengan
peningkatan tekanan intraluminal, terjadi gangguan aliran limfe, terjadi oedem
yang lebih hebat. Akhirnya peningkatan tekanan menyebabkan obstruksi vena,
yang mengarah pada iskemik jaringan, infark, dan gangrene. Setelah itu, terjadi
invasi bakteri ke dinding appendiks; diikuti demam, takikardi, dan leukositosis
akibat kensekuensi pelepasan mediator inflamasi dari jaringan yang iskemik.
Saat eksudat inflamasi dari dinding appendiks berhubungan dengan peritoneum
parietale, serabut saraf somatic akan teraktivasi dan nyeri akan dirasakan lokal
pada lokasi appendiks, khususnya di titik Mc Burney’s. 7,8
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna tetapi
membentuk jaringan parut yang melengket dengan jaringan sekitarnya.
Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang di perut kanan bawah.
Suatu saat, organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan sebagai
eksaserbasi akut.7,9

H. GAMBARAN KLINIS
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari
terjadinya perdangan mendadak pada umbai cacing yang memberikan tanda
setempat, baik disertai maupun tidak disertai dengan rangsangan peritoneum
lokal. Gejala klasik apendisitis adalah nyeri samar-samar dan tumpul yang
merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium di sekitar umbilikus. Keluhan ini

13
sering disertaui mual dan muntah. Umunya, nafsu makan menurun. Dalam
beberapa jam nyeri akan berpindah kedaerah kanan bawah titik McBurney. Bila
apendiks terletak retrosekal retroperitoneal, tanda nyeri perut kanan bawah tidak
begitu jelas dan tidak ada tanda peradangan karena apendiks terlindungi oleh
sekum. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan atau nyeri timbul saat berjalan
karena kontraksi otot psoas mayor yang menegang dari dorsal. Radang pada
apendiks yang terletak di rongga peritoneum sehingga dapat menimbulkan gejala
dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga peristaltik meningkat dan
pengosongan rektum menjadi lebih cepat serta berulang. Jika apendiks tadi
menempel ke kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kencing.
Gelaja appendisitis pada anak tidak spesifik. Pada awalnya anak sering hanya
menunjukan gejala rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak dapat
melukiskan rasa nyerinya. Beberapa jam kemudian anak akan muntah sehinggs
menjadi lemahdan letargik. Karena gejala yang tidak khas ini, appendisitis
kadang sering diketahui setelah terjadi perforasi. 2,5
Apendisitis yang tidak tertangani segera akan meningkatkan risiko
terjadinya perforasi dan pembentukan massa peri apendikular. Perforasi dengan
cairan inflamasi dan bakteri masuk ke dalam rongga abdomen, lalu memberikan
respons inflamasi permukaan peritoneum atau terjadi peritonitis. Apendisitis
perforasi adalah pecahnya apendiks yang sudah gangren yang menyebabkan pus
masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum. Pada dinding
apendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik.7
Pada appendicitis tanpa komplikasi biasanya demam ringan (37,5 -38,5 0
C). Jika suhu tubuh diatas 38,6 0 C, menandakan terjadi perforasi. Anak dengan
appendicitis kadang-kadang berjalan pincang pada kaki kanan. Karena saat
menekan dengan paha kanan akan menekan Caecum hingga isi Caecum
berkurang atau kosong. Bising usus meskipun bukan tanda yang dapat dipercaya
dapat menurun atau menghilang.2.7

I. PEMERIKSAAN FISIK 9,10


1. Nyeri tekan (+) Mc. Burney.

14
Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran kanan bawah atau titik Mc.
Burney dan ini merupakan tanda kunci diagnosis.7

Gambar 9. Titik Mc Burney’s9

2. Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum.

Rebound tenderness (nyeri lepas tekan) adalah nyeri yang hebat di


abdomen kanan bawah saat tekanan secara tiba-tiba dilepaskan setelah
sebelumnya dilakukan penekanan perlahan dan dalam di titik Mc.
Burney.

3. Defence muscular

Nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang menunjukkan adanya


rangsangan peritoneum parietal.7

4. Rovsing sign (+)

15
Gambar 10. Rovsing Sign8

Nyeri abdomen di kuadran kanan bawah apabila dilakukan penekanan


pada abdomen bagian kiri bawah, hal ini diakibatkan oleh adanya nyeri
lepas yang dijalarkan karena iritasi peritoneal pada sisi yang
berlawanan.12

5. Psoas sign (+)

Terjadi karena adanya rangsangan muskulus psoas oleh peradangan yang


terjadi pada apendiks.2

Gambar 10. Psoas Sign8

6. Obturator sign (+)

16
Rasa nyeri yang terjadi bila panggul dan lutut difleksikan kemudian
dirotasikan ke arah dalam dan luar secara pasif, hal tersebut menunjukkan
peradangan apendiks terletak pada daerah hypogastrium.4

Gambar 11. Obturator Sign8

Pada perkusi akan terdapat nyeri ketok. Pada auskultasi akan


terdapat peristaltik normal, peristaltik tidak ada pada illeus paralitik
karena peritonitis generalisata akibat apendisitis perforata. Auskultasi
tidak banyak membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis, tetapi
kalau sudah terjadi peritonitis maka tidak terdengar bunyi peristaltik
usus. Apendisitis dapat didiagnosis menggunakan skor alvarado yang
dapat dilihat pada table

17
J. PEMERIKSAAN PENUNJANG 2,5,8,9
1) Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang rutin dilakukan adalah jumlah leukosit
darah. Jumlah leukosit darah biasanya meningkat pada kasus apendisitis.
Hitung jumlah leukosit darah merupakan pemeriksaan yang mudah
dilakukan dan memiliki standar pemeriksaan terbaik. Pada kebanyakan
kasus terdapat leukositosis, terlebih pada kasus dengan komplikasi berupa
perforasi. Penelitian yang dilakukan oleh Guraya SY menyatakan bahwa
peningkatan jumlah leukosit darah yang tinggi merupakan indikator yang
dapat menentukan derajat keparahan apendisitis.
2) Urinalisis
Urinalisis Sekitar 10% pasien dengan nyeri perut memiliki penyakit
saluran kemih. Pemeriksaan laboratorium urin dapat mengkonfirmasi atau
menyingkirkan penyebab urologi yang menyebabkan nyeri perut.
Meskipun proses inflamasi apendisitis akut dapat menyebabkan piuria,
hematuria, atau bakteriuria pada sebanyak 40% pasien, jumlah eritrosit
pada urinalisis yang melebihi 30 sel per lapangan pandang atau jumlah
leukosit yang melebihi 20 sel per lapangan pandang menunjukkan
terdapatnya gangguan saluran kemih.

3) Radiografi konvensional
Pada foto polos abdomen, meskipun sering digunakan sebagai bagian dari
pemeriksaan umum pada pasien dengan abdomen akut, jarang membantu
dalam mendiagnosis apendisitis akut. Pasien dengan apendisitis akut,

18
sering terdapat gambaran gas usus abnormal yang non spesifik.
Pemeriksaan tambahan radiografi lainnya yaitu pemeriksaan barium
enema dan scan leukosit berlabel radioaktif. Jika barium enema mengisi
pada apendiks vermiformis, diagnosis apendisitis ditiadakan.

4) Ultrasonografi
Ultrasonografi berguna dalam memberikan diferensiasi penyebab nyeri
abdomen akut ginekologi, misalnya dalam mendeteksi massa ovarium.
Ultrasonografi juga dapat membantu dalam mendiagnosis apendisitis
perforasi dengan adanya abses. Apendisitis akut ditandai dengan (1)
adanya perbedaan 20 densitas pada lapisan apendiks vermiformis /
hilangnya lapisan normal (target sign); (2) penebalan dinding apendiks
vermiformis; (3) hilangnya kompresibilitas dari apendiks vermiformis ;
(4) peningkatan ekogenitas lemak sekitar (5) adanya penimbunan cairan.7
Keadaan apendisitis dengan perforasi ditandai dengan (1) tebal
dinding apendiks vermiformis yang asimetris ; (2) cairan bebas
intraperitonial, dan (3) abses tunggal atau multipel7

Potongan transerval teknik kompressi bertahap pada apendicitis akut :


tampak penebalan dinding appendix (diameter lebih 6 mm) dengan
kumpulan cairan yang terlokulasi dalam lumen appendix B.Potongan
longitudinal : tampak struktur tubular, non compressible, non peristaltik

19
dengan diameter dinding appendix lebih 6 mm. Tampak tepi seperti cincin
pada cairan periappendiceal.8

K. DIAGNOSIS BANDING 2
Pada keadaan tertentu, beberapa penyakit perlu dipertimbangkan sebagai
diagnosis banding2 :
Banyak masalah yang dihadapi saat menegakkan diagnosis apendisitis
karena penyakit lain yang memberikan gambaran klinis yang hampir
sama dengan apendisitis, diantaranya :

1. Gastroenteritis, ditandai dengan terjadi mual, muntah, dan diare


mendahului rasa sakit. Sakit perut lebih ringan, panas dan
leukositosis kurang menonjol dibandingkan, apendisitis akut.13
2. Limfadenitis Mesenterika, biasanya didahului oleh enteritis atau
gastroenteritis. Ditandai dengan nyeri perut kanan disertai dengan
perasaan mual dan nyeri tekan perut.13
3. Demam dengue, dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis dan
diperoleh hasil positif untuk Rumple Leede, trombositopeni, dan
hematokrit yang meningkat.1
4. Infeksi Panggul dan salpingitis akut kanan sulit dibedakan dengan
apendisitis akut. Suhu biasanya lebih tinggi dari pada apendisitis dan
nyeri perut bagian bawah lebih difus. Infeksi panggul pada wanita
biasanya disertai keputihan dan infeksi urin.10
5. Gangguan alat reproduksi wanita, folikel ovarium yang pecah dapat
memberikan nyeri perut kanan bawah pada pertengahan
siklusmenstruasi. Tidak ada tanda radang dan nyeri biasa hilang
dalam waktu 24 jam.9
6. Kehamilan ektopik, hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan
keluhan yang tidak jelas seperti ruptur tuba dan abortus. Kehamilan
di luar rahim disertai pendarahan menimbulkan nyeri mendadak
difus di pelvik dan bisa terjadi syok hipovolemik.2
7. Divertikulosis Meckel, gambaran klinisnya hampir sama dengan
apendisitis akut dan sering dihubungkan dengan komplikasi yang

20
mirip pada apendisitis akut sehingga diperlukan pengobatan serta
tindakan bedah yang sama.2
8. Ulkus peptikum perforasi, sangat mirip dengan apendisitis jika isi
gastroduodenum mengendap turun ke daerah usus bagian kanan
sekum.14
9. Batu ureter, jika diperkirakan mengendap dekat appendiks dan
menyerupai apendisitis retrosekal. Nyeri menjalar ke labia, skrotum,
penis, hematuria dan terjadi demam atau leukositosis.14

L. TATA LAKSANA2,10
Bila diagnosis secara klinis sudah jelas, tindakan paling utama dan
merupakan satu-satunya pilihan yang baik adalah apendektomi. Pada
apendistits tanpa komplikasi, biasanya tidak perlu diberikan antibiotik,
kecuali pada apendisitis gangrenosa atau apendisitis perforata. Penundaan
tidak bedah sambil meberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau
perforasi.2
Pada kasus usus buntu yang sudah pecah/ mengalami perforasi
sayatan luka operasi biasanya agak cukup lebar (bisa di samping/kanan
bawah perut atau di bagian tengah perut-tegak lurus) dan umumnya disertai
pemasangan drain (selang) di perut kanan bawah. Drain/selang ini fungsinya
adalah untuk mengeluarkan/mengalirkan sisa bekuan darah/nanah yang
berasal dari rongga perut.7
Apabila tindakan pembedahan (Apendiktomi) dilakukan sebelum
terjadi ruptur dan terdapat tanda-tanda peritonitis maka biasanya perawatan
pascabedah tanpa disertai penyulit. Pemberian antibiotik biasanya
diindikasikan. Untuk waktu pemulangan dari pasien yang menderita
apendisitis ini tergantung pada seberapa dini penegakan diagnosis, derajat
inflamasi dan penggunaan metode pembedahan yang lakukan yaitu bedah
terbuka atau laparoskopi.10

Pengobatan pasien apendisitis

a. Persiapan sebelum operasi

21

Observasi
Dalam 8-12 jam setelah timbulnya keluhan, tanda dan gejala
apendisitis seringkali masih belum jelas. Observasi ketat perlu
dilakukan, pasien diminta untuk melakukan tirah baring dan
dipuasakan. Laksatif tidah boleh diberikan apabila dicurigai
adanya apendisitis atau bentuk peritonitis lainnya. Pemeriksaan
abdomen dan rektal serta pemeriksaan darah diulang secara
periodik. Foto abdomen dan toraks tegak dilakukan untuk mencari
kemungkinan adanya penyulit lain. 10


Antibiotik

b. Operasi apendiktomi

Apendiktomi adalah suatu tindakan pembedahan untuk mengangkat


apendiks dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan risiko
perforasi. Apendiktomi dapat di lakukan dengan anestesi umum atau
pun dengan anestesi spinal dan dilakukan insisi pada abdomen bawah.
Selain itu, dapat juga dilakukan dengan metode baru yang sangat
efektif yaitu dengan laparoskopi.10

Apendiktomi dapat dilakukan dengan tiga jenis insisi yang


berbeda dan masing-masing memiliki keuntungan dan kerugian.

a. Insisi menurut McBurney (grid incision atau muscle splitting


incision).

Teknik ini paling sering dikerjakan dikarenakan tidak terjadi


benjolan dan tidak mungkin terjadi herniasi, trauma operasi
minimum pada alat-alat tubuh dan masa penyembuhan lebih
cepat. Namun insisi McBurney juga memiliki kerugian yaitu
lapangan operasi terbatas, sulit diperluas dan waktu yang
dibutuhkan untuk operasi lebih lama. Namun operasi dapat

22
diperluas dengan memotong otot secara tajam. Untuk
pelaksanaanya, dilakukan sayatan pada garis yang tegak lurus
pada garis yang menghubungkan spina iliaka anterior superior
(SIAS) dengan umbilikus pada batas sepertiga lateral (titik
McBurney). Sayatan ini mengenai kutis, subkutis dan fasia. Otot-
otot dinding abdomen disayat secara tumpul menurut arah serabut
ototnya.

b. Insisi menurut Roux (muscle cutting incision).

Sayatan ini dilakukan pada lokasi dan arah yang sama dengan
insisi McBurney hanya saja insisi menurut Roux ini dilakukan
sayatan yang langsung menembus dinding abdomen tanpa
mempedulikan arah serabut otot sampai tampak peritoneum.
Adapun keuntungannya adalah lapangan operasi lebih luas, lebih
mudah diperluas, sederhana dan mudah. Dan kerugiannya adalah
lebih banyak memotong saraf dan pembuluh darah, sehingga
perdarahan pada teknik ini lebih banyak, masa pemulihan pasca
bedah lebih lama, nyeri pasca operasi lebih sering terjadi dan
kadang-kadang terdapat hematoma yang terinfeksi.7

c. Insisi pararektal.

Sayatan ini dilakukan pada garis lateral muskulus rektus


abdominis dekstra secara vertical dari kranial ke kuadral
sepanjang 10 cm. keuntungannya, dapat dipakai pada insiden
apendiks yang belum pasti dan sayatan dapat dengan mudah
diperpanjang. Namun untuk kerugiannya, sayatan ini tidak secara
tepat langsung mengarah ke apendiks atau sekum, dapat
memotong saraf dan pembuluh darah yang besar dan untuk
menutup luka dibutuhkan jahitan penunjang.2

23
c. Laparoskopi

Gambar 12. Laparoskopi 11

Laparaskopi apendiktomi merupakan tindakan bedah invasive minimal


yang paling banyak digunakan pada kasus appendicitis akut. Tindakan
apendiktomi dengan menggukanan laparaskopi dapat mengurangi
ketidaknyamanan pasien jika menggunakan metode open apendiktomi
dan pasien dapat menjalankan aktifitas paska operasi dengan lebih
efektif.11

Laparaskopi apendiktomi tidak perlu lagi membedah rongga


perut pasien. Metode ini cukup dengan memasukan laparaskop pada
pipa kecil (yang disebut trokar) yang dipasang melalui umbilicus dan
dipantau melalui layar monitor. Selanjutnya dua trokar akan
melakukan tindakan pemotongan apendiks. Tindakan dimulai dengan
observasi untuk mengkonfirmasi bahwa pasien terkena apendisitis
akut tanpa komplikasi. Pemisahan apendiks dengan jaringan
mesoapendiks apabila terjadi adhesi. Kemudian apendiks dipasangkan
dipotong dan dikeluarkan dengan menggunakan forsep bipolar yang
dimasukan melalui trokar. Hasilnya pasien akan mendapatkan luka

24
operasi yang minimal dan waktu pemulihan serta waktu perawatan di
rumah sakit akan menjadi lebih singkat.11

d. Perawatan sesudah operasi

Pada hari operasi penderita diberi infus menurut kebutuhan


sehari kurang lebih 2 sampai 3 liter cairan Ringer laktat dan dekstrosa.
Pada apendisitis tanpa perforasi : Antibiotika diberikan hanya 1 x 24
jam. Pada apendisitis dengan Perforasi : Antibiotika diberikan hingga
jika gejala klinis infeksi reda dan laboratorium normal. (sesuai Kultur
kuman). Mobilisasi secepatnya setelah penderita sadar dengan
menggerakkan kaki, miring kekiri dan kanan bergantian dan duduk.
Penderita boleh jalan pada hari pertama pasca bedah. Pemberian
makanan peroral dimulai dengan memberi minum sedikit-sedikit (50
cc) tiap jam apabila sudah ada aktivitas usus yaitu adanya flatus dan
bising usus. Bilamana dengan pemberian minum bebas penderita tidak
kembung maka pemberian makanan peroral dimulai. Jahitan diangkat
pada hari kelima sampai hari ketujuh pasca bedah. Bila tindakan
operasi lebih besar, misalnya dengan peritonitis, pasien dipuasakan
sampai fungsi usus kembali normal.

M. KOMPLIKASI
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik
berupa perforasi bebas maupun perforasi pada appendiks yang telah
mengalami wall-off sehingga berupa massa yang terdiri dari kumpulan
apendiks, sekum dan lekuk usus halus.7
Apendisitis adalah penyakit yang jarang mereda dengan spontan,
tetapi penyakit ini tidak dapat diramalkan dan mempunyai kecenderungan
menjadi progresif dan mengalami perforasi. Karena perforasi jarang terjadi
dalam 8 jam pertama, observasi aman untuk dilakukan dalam masa tersebut.13
Tanda-tanda perforasi meliputi meningkatnya nyeri, spasme otot
dinding perut kuadran kanan bawah dengan tanda peritonitis umum atau

25
abses yang terlokalisasi, ileus, demam, malaise, dan leukositosis semakin
jelas. Bila perforasi dengan peritonitis umum atau pembentukan abses telah
terjadi sejak pasien pertama kali datang, diagnosis dapat ditegakan dengan
pasti. 12
Bila terjadi peritonitis umum terapi spesifik yang dilakukan adalah
operasi untuk menutup asal perforasi. Sedangkan tindakan lain sebagai
penunjang : tirah baring dalam posisi fowler medium (setengah duduk),
pemasangan NGT, puasa, koreksi cairan dan elektrolit, pemberian penenang,
pemberian antibiotik spektrum luas dilanjutkan dengan pemberian antibiotik
yang sesuai dengan hasil kultur, transfuse untuk mengatasi anemia, dan
penanganan syok septik secara intensif, bila ada.12
Bila terbentuk abses apendik akan teraba massa di kuadran kanan
bawah yang cenderung mengelembung ke arah rectum atau vagina. Terapi
dini dapat diberikan kombinasi antibiotik (ampisilin, gentamisin,
metronidazol atau klindamisin). Dengan sediaan ini abses akan segera
menghilang, dan apendektomi dapat dilakukan 6-12 minggu kemudian. Pada
abses yang tetap progresif harus segera dilakukan drainase. Abses daerah
pelvis yang menonjol ke arah rectum atau vagina dengan fluktuasi positif juga
perlu dilakukan drainase. 7
Tromboflebitis supuratif dari sistem portal jarang terjadi, tetapi
merupakan komplikasi yang letal. Hal ini harus kita curigai bila ditemukan
demam sepsis, menggigil, hepatomegali dan ikterus setelah terjadi perforasi
apendik. Pada kedaan ini diindikasikan pemberian antibiotik kombinasi
dengan drainase. 12
Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa abses subfrenikus dan fokal
sepsis intraabdominal lain. Obstruksi intestinal juga dapat terjadi akibat
perlengketan.7

N. PROGNOSIS
Angka kematian dipengaruhi oleh usia pasien, keadekuatan persiapan
prabedah, serta stadium penyakit pada waktu intervensi bedah. Apendisitis tak
berkomplikasi membawa mortalitas kurang dari 0,1%, gambaran yang
mencerminkan perawatan prabedah, bedah dan pascabedah yang tersedia saat

26
ini.9 Angka kematian pada apendisitis berkomplikasi telah berkurang dramatis
menjadi 2 sampai 5 persen, tetapi tetap tinggi dan tak dapat diterima (10-
15%) pada anak kecil dan orang tua. Pengurangan mortalitas lebih lanjut
harus dicapai dengan intervensi bedah lebih dini.

BAB III

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : An. RM Pekerjaan : Pelajar


Umur : 7 tahun Tanggal masuk : 23/02/2019
JK :laki-laki Ruangan : Eboni
Rumah Sakit: Anuntaloko Parigi

II. ANAMNESIS

Keluhan utama :
Nyeri perut kanan bawah

Anamnesis terpimpin :
Pasien laki-laki umur 7 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan nyeri perut
kanan bawah yang dirasakan secara tiba – tiba mulai malam hari sebelum masuk

27
rumah sakit. Nyeri dirasakan seperti tertusuk-tusuk yang terus menerus, nyeri
yang kemudian menjalar ke seluruh bagian perut. Keluhan disertai dengan Mual
(+), muntah (+) lebih dari 5 kali berisi makanan dan cairan. Demam(+) sejak
malam hari sebelum masuk rumah sakit, BAK (+) dan BAB (+) biasa.

Riwayat penyakit sebelumnya :


Pasien pernah mengalami keluhan serupa namun tidak diobati di rumah sakit.

Riwayat penyakit keluarga :


Riwayat Diabetes Melitus (-)
Riwayat Penyakit Jantung (-)

III. PEMERIKSAAN FISIK


Kesadaran : Composmentis
Tekanan Darah : 100/70 mmHg
Nadi : 122 x/menit
RR : 24 x/menit
Temperature : 38,2 oC

Kepala : Normocepal
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-), pembesaran kelenjar tyroid (-)
Thorax :
Paru-paru
 Inspeksi : Simetris bilateral, retraksi (-/-)
 Palpasi : Nyeri tekan (-), vokal fremitus kanan sama dengan kiri.
 Perkusi : Sonor +/+, batas paru hepar SIC VI midclavicula dextra
 Auskultasi : Vesikuler (+/+), Rhonki (-/-) wheezing (-/-).
Jantung
 Inspeksi : Iktus kordis tak tampak
 Palpasi : Pulsasi ictus cordis tidak teraba
 Perkusi : Pekak
Batas jantung atas SIC II parasternal sinistra
Batas jantung bawah SIC V midclavicula sinistra
Batas jantung kanan SIC IV parasternal dextra
 Auskultasi : BJ I/II murni reguler
Abdomen:
 Inspeks : Tampak datar, ikut gerak napas

28
 Auskultasi : Peristaltik (+), kesan menurun
 Perkusi : Timpani seluruh abdomen
 Palpasi : Nyeri tekan 4 kuadran abdomen (+), nyeri tekan Mcburney
(+), Rovsing sign (+), Obturator sign(+), Defans Muscular (+).
Ekstremitas:
 Superior : akral hangat, sianosis (-),edema (-).
 Inferior : akral hangat, sianosis (-),edema (-).

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Pemeriksaan Darah Rutinn Kimia Darah : (24/02/2019)

Result Normal Range


Leukosit : 29.,95 x 103/ul 4.00 – 11.00
Neutrophil : 26,92 x 103/ul 2.00- 7.00
Limfosit : 2,31 x 103/ul 0.80 – 4.00
Monosit : 0,06 x 103/ul 0.12 – 0.80
Eosinofil : 0,21 x 103/ul 0,02 – 0,50
Basophil : 0,47 x 103/ul 0.00 – 0.10
6
RBC : 4,17x 10 /ul L (4.4 – 5.9)
Hb : 10,9 g/dl L (13,2 – 17,3)
HCT : 33,6 % L (40 – 52 )
PLT : 393 x 103/ul 150- 400

b. Urinalisis : (24/02/2019)

Hasil Nilai Normal


PH : 6,0 4.5 – 8.0
Berat Jenis : 1.010 1.005 – 1.030
Glukosa : (-) Negatif
Lekosit : (-) Negatif
Eritrosit : (-) Negatif
Protein : (+1) Negatif
Sedimen :
Lekosit : 1-2 < 5 /LPB
Eritrosit : 2-3 < 5 / LPB

29
Selinder : (-) Negatif
Epitel : (-) Negatif
Crystal : (-) Negatif

IV. RESUME

Pasien anak laki-laki umur 7 tahun masuk rumah sakit dengan abdominal pain
kuadran kanan bawah yang dirasakan secara tiba – tiba sejak malam hari
sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dirasakan seperti tertusuk-tusuk yang terus
menerus, referal pain ke fossa iliaka (+). Nausea (+), vomit (+) lebih dari 5 kali
berisi makanan dan cairan. Febris (+) sejak malam hari sebelum masuk rumah
sakit. BAK (+) dan BAB (+) biasa. Pemeriksaan fisik kesadaran komposmentis,
TD = 100/70 mmHg, N= 122 x.menit, S = 38,2 derajat celcius. pemeriksaan
abdomen inskpeksi tampak datar, peristaltik (+) kesan menurun, hipertimpani
(+), nyeri tekan suprapubik (+), nyeri tekanMcburney (+), Rovsing sign(+),
Pasoas sign (+), defans muscular (+). Pemeriksaan laboratorium di dapatkan
WBc=29,95 ul, hb = 10,9 mg/dl, PLT = 393 ul.

V. DIAGNOSIS
Appendisitis Perforasi

VI. PENATALAKSANAAN
MEDIKA MENTOSA
1. IVFD RL 500 ml 20 tpm
2. Cefotaxime 500 gr/12jam
3. Ranitidin 25 mg/12 jam

Operatif
Pro Laparatomi appendectomy
Laporan Operasi
1. Pasien baring dalam posisi supinasi di bawah pengaruh spinal anestasi
2. Desinfeksi dengan prosedur aseptik
3. Identifikasi insisi midline infraumbilical perdalam insisi peritoneum
4. Buka peritoneum (Tampak pus ± 100 cc)
5. Identifikasi caecum tampak appendix kesan perforasi
6. Lakukan pemotangan appendix, lanjut jahit tabac sac
7. Bebaskan appendix

30
8. Kontrol perdarahan dan cuci rongga abdomen
9. Pasang selang drains
10. Jahit luka operasi lapis demi lapis
11. Operasi selesai

Instruksi post Operasi


- IVFD RL : Dex 2:1
- Cefotaxime 1 gr 12 jam/ iv
- Metronidazole 500 mg / 8 jam
- Keterolac 15 mg / 8 jam / iv
- Ranitidin 25 mg / 12 jam / iv
- Rawat di ruangan icu
- Puasa

VII. PROGNOSIS
Ad vitam : Dubia
Ad sanationam : Dubia
Ad functionam : Dubia

VIII. Follow Up
1. Tanggal 25 februari 2019
S: Nyeri perut bekas operasi (+), flatus (+), demam (-), mual (-), muntah
(-) BAB (-).
O:
Tekanan Darah: 90/60 mmHg
Nadi : 112 x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 36 ºC
Drain : ±75 cc
A: Post Op Laparotomy appendektomy H+1
P: IVFD RL = dextrose 5 % 1:1 1000cc / 24 jam
cefotaxim 1 gr/12 jam
Ketorolak 15 mg/8 jam/iv
Metronidazole 250 mg/8 jam/iv
Ranitidin 25 mg/ 12 jam/iv
Rawat Luka
Ganti botol drain
Diet lunak

2. Tanggal 26 Februari 2019


S: Nyeri perut bekas operasi (+), = Flatus (+), demam (-), mual (-), muntah
(-), BAB (-).
O:
Tekanan Darah : 110/70 mmHg

31
Nadi : 70 x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 37 ºC
Drain : ±50 cc
A: Post Op Apendisitis Perforasi H+2
P: IVFD RL = dextrose 5 % 1:1 1000cc / 24 jam
cefotaxim 1 gr/12 jam
Ketorolak 15 mg/8 jam/iv
Metronidazole 250 mg/8 jam/iv
Ranitidin 25 mg/ 12 jam/iv
Diet lunak
Rawat Luka

3. Tanggal 27 februari 2019


S: Nyeri perut bekas operasi (+),Flatus (+), demam (-), nyeri kepala (-),
pusing (-), mual (-), muntah (-), BAB (+).
O:
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 74 x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 36,9 ºC
Drain : ±10 cc
Luka : Keadaan luka tampak basah (+)
A: Post Op Apendisitis Perforasi H+3
P: IVFD RL 20 tpm
Aff drain
cefotaxim 1 gr/12 jam
Ketorolak 15 mg/8 jam/iv
Metronidazole 250 mg/8 jam/iv
Ranitidin 25 mg/ 12 jam/iv
Pindah keruang perawatan
Rawat Luka

4. Tanggal 28 Februari 2019


S: Nyeri perut bekas operasi (+) berkurang, kembung (+), demam (-), nyeri
kepala (-), pusing (-), mual (-), muntah (-),Flatus (+), BAB (+).
O:
Tekanan Darah: 110/80 mmHg
Nadi : 82 x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 36,5 ºC
Luka : Keadaan luka tampak basah (+)
A: Post Op Apendisitis Perforasi H+4
P: IVFD RL 20 tpm
cefotaxim 1 gr/12 jam

32
Ketorolak 15 mg/8 jam/iv
Metronidazole 250 mg/8 jam/iv
Ranitidin 25 mg/ 12 jam/iv
Rawat Luka
Diet Lunak

5. Tanggal 1 Maret 2019


S: Nyeri perut bekas operasi (+), kembung (-) demam (-), nyeri kepala (-),
pusing (-), mual (-), muntah (-).
O:
Tekanan Darah : 100/70 mmHg
Nadi : 70 x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 36,8 ºC
Luka : Keadaan luka tampak basah (+)
A: Post Op Apendisitis Perforasi H+5
P: IVFD RL 20 tpm
Cefotaxim 1 gr/12 jam
Ketorolak 15 mg/8 jam/iv
Metronidazole 250 mg/8 jam/iv
Ranitidin 25 mg/ 12 jam/iv
Rawat Luka
6. Tanggal 2 Maret 2019
S: Nyeri perut bekas operasi (+), perut kembung (+), Flatus (+), demam
(-), nyeri kepala (-), pusing (-), mual (-), muntah (-), BAB (+).
O:
Tekanan Darah : 90/60 mmHg
Nadi : 74 x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 36,5 ºC
Luka : Keadaan luka tampak basah (+)
A: Post Op Apendisitis Perforasi H+6
P: IVFD RL 20 tpm
Cefotaxim 1 gr/12 jam
Ketorolak 15 mg/8 jam/iv
Metronidazole 250 mg/8 jam/iv
Ranitidin 25 mg/ 12 jam/iv
Mobilisasi Jalan
Rawat Luka

7. Tanggal 03 Maret 2019


S: Nyeri perut bekas operasi (-), perut kembung (-) demam (-), nyeri
kepala (-), pusing (-), mual (-), muntah (-), flatus (+), BAB (+)
O:
Tekanan Darah : 100/70 mmHg

33
Nadi : 84 x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 37 ºC
Luka : Keadaan luka kering

A: Post Op Apendisitis Perforasi H+7


P:
aff infus
Cefixime 2 x 100mg
Ganti verban
Pasien boleh pulang

BAB IV
DISKUSI

Pasien anak laki-laki umur 7 tahun masuk rumah sakit dengan abdominal pain
kuadran kanan bawah yang dirasakan secara tiba – tiba sejak malam hari sebelum
masuk rumah sakit. Nyeri dirasakan seperti tertusuk-tusuk yang terus menerus,
referal pain ke fossa iliaka (+). Nausea (+), vomit (+) lebih dari 5 kali berisi makanan
dan cairan. Febris (+) sejak malam hari sebelum masuk rumah sakit..
Nyeri merupakan gejala yang pertama kali muncul pada appendicitis. Nyeri
sering dirasakan sebagai nyeri tumpul, nyeri di periumbilikal yang samar-samar, tapi
seiring dengan waktu akan berlokasi di abdomen kanan bawah. Variasi lokasi
anatomis appendiks dapat mengubah gejala nyeri yang terjadi. Pada anak-anak
dengan letak appendiks yang tetrocaecal atau pelvis, nyeri dapat mulai terjadi di
kuadran kanan bawah tanpa diawali nyeri pada periumbilikus. Nyeri pada flank,
nyeri punggung dan nyeri alih pada testis juga merupakan gejala umum.1
Suhu tubuh merupakan salah satu pemeriksaan yang dilakukan pada kasus-
kasus dengan kecurigaan apendisitis. Kenaikan suhu tubuh melebihi suhu normal
terjadi sebagai tanda adanya infeksi seperti pada apendisitis. Agen-agen infeksi akan
menghasilkan pirogen, kemudian memasuki sirkulasi sistemik dan meningkatkan
PGE2 yang akan menghasilkan c-AMP sehingga terjadi peningkatan set poin
termoregulator di hipotalamus dan bermanifestasi pada peningkatan suhu tubuh.
Suhu tubuh yang lebih tinggi pada apendisitis perforasi berkaitan dengan proses
peradangan semakin parah melibatkan area peradangan yang lebih luas. Semakin luas

34
area peradangan maka massa serta eksudat peradangan yang dihasilkan akan lebih
banyak.3
Pemeriksaan fisik kesadaran komposmentis, TD = 100/70 mmHg, N= 122
x.menit, S = 38 derajat celcius. pemeriksaan abdomen inskpeksi tampak datar,
peristaltik (+) kesan menurun, hipertimpani (+), nyeri tekan suprapubik (+), nyeri
tekan Mcburney (+), Rovsing sign(+), Obturator sign (+), defans muscular (+).
Pada pemeriksaan fisik, pemeriksaan dapat menilai nyeri dengan melakukan
penekanan pada beberapa area spesifik abdomen. Rovsing sign dilakukan dengan
memberikan tekanan tangan ke sisi kiri bawah perut, nyeri akan terasa di sisi kanan
bawah perut. Psoas sign dilakukan dengan melanturkan otot ini akan menyebabkan
sakit perut jika apendiks meradang. Ini terjadi karena otot psoas kanan menabrak
pelvis dekat apendiks. Obturator sign dilakukan dengan meminta pasien berbaring
dengan kaki kanan ditekuk di lutut. Menggerakkan lutut yang ditekuk ke kiri dank e
kanan membutuhkan penekukan otot obturator dan akan menyebabkan nyeri perut
karena otot obturator berjalan dekat dengan apendiks.6
Dasar anatomis terjadinya psoas sign adalah appendiks yang terinflamasi
yang terletak retroperitoneal akan kontak dengan otot psoas pada saat dilakukan
manuver ini. Obturator sign: dilakukan dengan posisi pasien terlentang, kemudian
gerakan endorotasi tungkai kanan dari lateral ke medial. Nyeri pada cara ini
menunjukkan peradangan pada M. obturatorius di rongga pelvis. Perlu diketahui
bahwa masing-masing tanda ini untuk menegakkan lokasi Appendix yang telah
mengalami radang atau perforasi. Dasar anatomis terjadinya Obturator sign,
Blumberg’s sign: nyeri lepas kontralateral (tekan di LLQ kemudian lepas dan nyeri di
RLQ). Wahl’s sign: nyeri perkusi di RLQ di segitiga Scherren menurun. Baldwin
test: nyeri di flank bila tungkai kanan ditekuk. Defence musculare: bersifat lokal,
lokasi bervariasi sesuai letak Appendix. Nyeri pada daerah cavum Douglas bila ada
abscess di rongga abdomen atau Appendix letak pelvis. Nyeri pada pemeriksaan
rectal tooucher. Dunphy sign: nyeri ketika batuk.5
Pada Pemeriksaan laboratorium di dapatkan leukosit 29,95 ul. Kadar leukosit
secara signifikan lebih tinggi pada kasus perforasi dibandingkan dengan appendisitis
tanpa perforasi. Leukositosis pada pasien appendisitis akut dapat mencapai 10.000-

35
18.000 sel/mm3 dan jika >18.000 sel/mm3 maka umumnya terjadi peritonitis akibat
perforasi.3
Pada pasien ini, laparatomi appendiktomi dilakukan sebagai penanganan
utama. Pada apendisitis, penanganan yang biasa dilakukan adalah tindakan operasi
untuk mengangkat apendiks. Tindakan dilakukan terutama pada pasien yang
memiliki sakit perut dan demam yang persisten, atau tanda-tanda usus buntu yang
pecah dan infeksi, operasi tanpa melakukan tes diagnostik. Operasi segera
mengurangi kemungkinan usus buntu yang curiga perforasi. Pada kasus usus buntu
yang sudah pecah/ mengalami perforasi sayatan luka operasi biasanya agak cukup
lebar (bisa di samping/kanan bawah perut atau di bagian tengah perut-tegak lurus)
dan umumnya disertai pemasangan drain (selang) di perut kanan bawah.6
Pemasangan drain mempunyai risiko lebih rendah terjadinya komplikasi
dibandingkan dengan yang tidak dipasang drain, sehingga proses penyembuhan luka

pasien yang dipasang drain lebih cepat dibandingkan dengan yang tidak dipasang .
Drain/selang ini fungsinya adalah untuk mengeluarkan/mengalirkan sisa bekuan

darah/nanah yang berasal dari rongga perut .

36
BAB V
KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan mengenai kasus ini, dapat ditarik kesimpulan sebagai


berikut.
1. Apendisitis akut adalah salah satu penyebab nyeri abdomen akut yang paling
sering ditemukan. Hipotesis penyebab paling umum adalah adanya obstruksi
lumen yang berlanjut kerusakan dinding apendiks dan pembentukan abses
2. Diagnosis apendisitis ditegakkan dengan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium, dan ultrasonography (USG).
3. Pemeriksaan suhu tubuh termasuk dalam salah satu kriteria pada skor alvarado
untuk penegakkan diagnosis apendisitis. Suhu tubuh apendisitis akut dapat
mencapai 10.000-18.000 sel/mm3 dan jika >18.000 sel/mm3 maka umumnya
terjadi peritonitis akibat perforasi.
4. Penanganan standar apendisitis di dunia adalah operasi pengangkatan apendiks
yang disebut apendektomi dan dilakukan laparotomi jika sudah terjadi perforasi.

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Bahan Ajar DR.dr. Warsinggih, Sp.B-Kbd .Appendisitis Akut.


2016.Http:://Med.Unhas.Ac.Id/Kedokteran/Wpcontent/Uploads/2016/10/App
edisitis-Akut.Pdf. Diakses 05 Januari 2019
2. Wim De Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 4. Jakarta. 2016
3. Craig, Sandy. Appendicitis [internet]. 2014. Tersedia di
http://emedicine.medscape.com/article/773895-overview#a0156 .
4. Depkes RI. Kasus Appendicitis di Indonesia. 2008. diakses dari:
http://www.artikelkedokteran.com/arsip/kasus-apendisitis-di-indonesia-pada-
tahun-2008.html
5. Mansjoer A. Kapita Selekta Kedokteran, edisi 4. 2010. Jakarta : Media
Aesculapius.
6. Tiara & Umbas, Pemeriksaan Rapid Urinary Bladder Cancer Antigen untuk
Deteksi Karsinoma sel Transisional buli pada Populasi indonesia (Penelitian
Awal), Bagian Urologi Rumah sakit Cipto Mangunkusomo Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Indonesian journal of cancer vol 7 No.2
2013. Diakses 23 Oktober 2018.
7. Fajar Awalia Yulianto, R. Kince Sakinah, M. Insan Kamil, Tri Yunis Miko
Wahono. 2017. Faktor Prediksi Perforasi Apendiks pada Penderita Apendisitis
Akut Dewasa di RS Al-Ihsan Kabupaten Bandung Periode 2013–2014.
Universitas Islam Bandung .Di akses 11 Januari 2018.
8. Brunicardi FC. Schwartz’s principles of surgery. 2010. USA: Mc-Graw Hill
Company.
9. Schwartz SI, Shires GT, Spencer FC, Daly JM, Fischer JE, Galloway AC.
Principles of
10. National Digestive Diseases Information Clearinghouse. Appendicitis. Spirt
MJ. Complicated intra-abdominal infections: a focus on appendicitis and
diverticulitis. Postgraduate Medicine. 2010;122(1):39–51.
11. Rahmadi Indra, Ida Bagus B.S.A, Untung Alfianto. 2017. Perbedaan
Penggunaan Drain DanTanpa Penggunaan Drain Intra Abdomen Terhadap
Lama Perawatan Pascaoperasi Laparotomi Apendisitis Perforasi
12. Ana Majdawati. 2015. Peningkatan Visualisasi Appendix dengan Kombinasi
Adjuvant Teknik Pemeriksaan Ultrasonografi pada Kasus

38
Appendicitis.https://ejournal.unisba.ac.id/index.php/gmhc/article/viewFile/18
44/pdf

39

Anda mungkin juga menyukai