“APPENDIKSITIS ”
Disusun Oleh:
N 111 17 089
Pembimbing Klinik:
0
PENDAHULUAN
1
Amerika.4 Menurut WHO (World Health Organization), indisdensi apendisitis di Asia
pada tahun 2004 adalah 4,8% penduduk dari total populasi. Menurut Departemen
Kesehatan RI di Indonesia pada tahun 2008, apendisitis menduduki urutan keempat
penyakit terbanyak setelah dispepsia, gastritis, dan duodenitis dengan jumlah pasien
rawat inap sebanyak 28.040. Selain itu, pada tahun 2008, insidensi apendisitis di
Indonesia menempati urutan tertinggi di antar kasus kegawatan abdomen
lainnyaKasus perforasi apendiks pada apendisitis akut berkisar 20-30% dan
meningkat 32-72% pada usia lebih dari 60 tahun, sedangkan pada anak kurang dari
satu tahun kasus apendisitis jarang ditemukan. Insiden tertinggi dilaporkan pada
rentang usia 20-30 tahun. Data rekam medis di Rumah Sakit Umum Anutapura Palu
mencatat 434 kasus pasien yang mengalami apendisitis pada tahun 2014. Tingginya
angka tersebut mengharuskan dokter memiliki kemampuan mendiagnosis apendisitis
dengan cepat dan tepat.4
Dalam mendiagnosis apendisitis, anamnesis dan pemeriksaan memegang
peranan utama dengan akurasi 76-80%, tetapi dalam mencegah pasien agar tidak
terjadi perforasi tidaklah cukup hanya dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik. 5
Dapat juga dilakukan Ultrasonography (USG) dan Computed Tomography (CT)
scan, tetapi dikarenakan alat ini memerlukan biaya yang tidak murah dan tidak semua
unit pelayanan memilikinya, sehingga pemeriksaan ini masih jarang untuk dilakukan.
Selain itu, USG dan CT-Scan sendiri bukan untuk mencari adanya apendisitis,
pemeriksaan ini untuk membantu mencari differential diagnosis atau untuk
membantu pasien yang hasil diagnosisnya masih diragukan.4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANATOMI APPENDIX
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm,
dan berpangkal di sekum. Apendiks melekat pada permukaan postereomedial
caecum, sekitar 1 inci (2,5cm) dibawah juncture ileocaecalis. 7 Apendiks
2
vermiformis diliputi seluruhnya oleh peritoneum, yang melekat pada
mesenterium intestinum tenue oleh messenteriumnya sendiri yang pendek
disebut mesoapendiks. Mesoapendiks berisi arteria dan vena appendicularis dan
nervus. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal. 8
Apendiks vermiformis terletak di fosa illiaca dextra, dan dalam hubunganya
dengan dinding anterior abdomen, pangkalnya terletak sepertiga ke atas di garis
yang menghubungkan spina illiaca anterior superior dan umbilicus (titik
Mcburney). Di dalam abdomen, dasar apendiks vermiformis mudah ditemukan
dengan mencari taenia coli caecum dan mengikutinya sampai apendiks
vermiformis, dimana taenia ini bersatu membentuk tunica muscularis
longitudinalis yang lengkap. 2,5
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti
arteri mesenterika superior dan arteri apendikularis, sedangkan persarafan
simpatis berasal dari nervus torakalis 10. Oleh karena itu, nyeri viseral pada
apendisitis bermula di sekitar umbilikus.2 Pendarahan apendiks berasal dari arteri
apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat,
misalnya karena thrombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami gangren.5
3
Persarafan sekum dan apendiks vermiformis berasal dari saraf simpatis
dan parasimpatis dari plekxus mesenterica superior. Serabut saraf simpatis
berasal dari medula spinalis torakal bagian kaudal, dan serabut
parasimpatis berasal dari kedua nervus vagus. Serabut saraf aferen dari
apendiks vermiformis mengiringi saraf simpatis ke segmen medula spinalis
thorakal 10.9 Posisi apendiks terbanyak adalah retrocaecal (65%), pelvical
(30%), patileal (5%), paracaecal (2%), anteileal (2%) dan preleal (1%).
Pada 65% kasus, apendiks terletak intraperitoneal, yang memungkinkan
apendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang
mesoapendiks penggantungnya. Pada kasus selebihnya, apendiks terletak
retroperitoneal, yaitu di belakang sekum, di belakang kolon asendens. 7
Gejala klinis apendisitis ditentukan oleh letak apendiks. Berikut pada
gambar 1 adalah anatomi dari apendiks. 2,5
B. FISIOLOGI
Apendiks menghasilkan lendir 1-2ml per hari. Lendir itu normalnya
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke caecum. Hambatan
aliran lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada pathogenesis
appendicitis. Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut
D. EPIDEMIOLOGI
5
Apendisitis akut merupakan masalah pembedahan yang paling sering dan
apendektomi merupakan salah satu operasi darurat yang sering dilakukan
diseluruh dunia. Faktor potensialnya adalah diet rendah serat dan konsumsi gula
yang tinggi, riwayat keluarga serta infeksi. Kejadian apendisitis 1,4 kali lebih
tinggi pada pria dibandingkan dengan wanita. Insidensi apendisitis lebih tinggi
pada anak kecil dan lansia.2
Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2004, diketahui bahwa
apendisitis diderita oleh 418 juta jiwa di seluruh dunia, 259 juta jiwa darinya
adalah laki-laki dan selebihnya adalah perempuan, dan mencapai total 118 juta
jiwa di kawasan Asia Tenggara. 11 Apendisitis merupakan peradangan pada usus
buntu sehingga penyakit ini dapat menyebabkan nyeri dan beberapa keluhan lain
seperti mual, muntah, konstipasi atau diare, demam yang berkelanjutan dan sakit
perut sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari.4,5
Menurut Departmen Kesehatan RI pada tahun 2006, apendisitis merupakan
penyakit urutan keempat terbanyak di Indonesia pada tahun 2006. 10 Jumlah
pasien rawat inap penyakit apendiks pada tahun tersebut mencapai 28.949
pasien, berada di urutan keempat setelah dispepsia, duodenitis, dan penyakit
cerna lainnya. Sedangkan, menurut Departemen Kesehatan RI pada tahun 2009,
apendisitis masuk dalam daftar 10 penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di
rumah sakit di berbagai wilayah Indonesia dengan total kejadian 30,703 kasus
dan 234 jiwa yang meninggal akibat penyakit ini.4,5
E. ETIOLOGI
Terjadinya apendisitis akut umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri. Namun
terdapat banyak sekali faktor pencetus terjadinya penyakit ini. Diantaranya
obstruksi yang terjadi pada lumen apendiks yang biasanya disebabkan karena
adanya timbunan tinja yang keras (fekalit), hiperplasia jaringan limfoid, penyakit
cacing, parasit, benda asing dalam tubuh, tumor primer pada dinding apendiks
dan striktur. Penelitian terakhir menemukan bahwa ulserasi mukosa akibat
parasit seperti E Hystolitica, merupakan langkah awal terjadinya apendisitis pada
lebih dari separuh kasus, bahkan lebih sering dari sumbatan lumen.6
Sumber penyumbatan meliputi :
Tinja, parasit, atau pertumbuhan yang menyumbat lumen usus buntu
6
Jaringan getah bening membesar di dinding appendix, yang
disebabkan oleh infeksi pada Saluran GI atau tempat lain di tubuh
Penyakit radang usus (IBD), termasuk penyakit Crohn dan kolitis
ulserativa, gangguan jangka panjang yang menyebabkan iritasi dan
bisul di Saluran GI.6
Beberapa penelitian juga menunjukkan peran kebiasaan makan. Penelitian
epidemiologi menunjukan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan
pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan
tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan
meningkatkannya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini akan
mempermudah timbulnya apendisitis akut. Frekuensi dari obstruksi meningkat
dengan keparahan dari proses inflamasi. Fecalith ditemukan 40% dari kasus
apendisitis akut sederhana, pada 65% kasus apendisitis gangrenosa tanpa ruptura
dan sekitar 90% oada kasus apendisitis gangrenosa dengan ruptur.7
Faktor yang mempengaruhi :
a. Obstruksi
Hiperplasi kelenjargetah bening(60%)
Fecolith(35%)masa feces yang membatu
Corpus alienum(4%) biji2an
Striktur lumen (1%)kinking , krn mesoappendiks pendek, adesi
b. InfeksiBiasanya secara hematogen dari tempat lain, misal : pneumonia,
tonsilitis dsb. Antara lain jenis kuman : E. Coli, Streptococcus
Ada 4 faktor yang mempengaruhi terjadinya appendisitis :
7
Nekrosiskuman masuk ganggren Appendisitis
ganggrenosa Perforasi peritonitis umum
1. Sembuh
2. Kronik
3. Perforasi
4. Infiltrat / absesIni terjadi bila proses berjalan lambat, ileum terminale, caecum dan
omentum akan membentuk barier dalam bentuk infiltrat. Pada anak-anak dimana
omentum pendek dan orang tua dengan daya tahan tubuh yang menurun sulit
terbentuk infiltrat, sehingga kemungkinan terjadi perforasi lebih besar.
F. KLASIFIKASI
Klasifikasi apendisitis terbagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut dan
apendisitis kronik.2,3,5
1. Apendisitis akut
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh
radang mendadak pada apendiks yang memberikan tanda setempat,
disertai maupun tidak disertai rangsang peritonieum lokal. Gejala
apendisitis akut ialah nyeri samar dan tumpul yang merupakan nyeri
viseral didaerah epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini sering
disertai mual, muntah dan umumnya nafsu makan menurun. Dalam
beberapa jam nyeri akan berpindah ke titik Mc.Burney. Nyeri
dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan
nyeri somatik setempat. Apendisitis akut dibagi menjadi :
8
appendiks dan terjadi peningkatan tekanan dalam lumen yang
mengganggu aliran limfe, mukosa appendiks menebal, edema, dan
kemerahan. Gejala diawali dengan rasa nyeri di daerah umbilikus,
mual, muntah, anoreksia, malaise dan demam ringan.2
9
c. Apendisitis Akut Gangrenosa
d. Apendisitis Infiltrat
10
e. Apendisitis
Abses
f. Apendisitis Perforasi
2.
Gambar 7. Appendisitis Perforasi8
Apendisitis kronik
Diagnosis
apendisitis
kronik baru dapat
ditegakkan
jika ditemukan
11
adanya riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang
kronik apendiks secara makroskopik dan mikroskopik.4 Kriteria
mikroskopik apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding
apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya
jaringan parut dan ulkus lama di mukosa dan adanya sel inflamasi
kronik. Insiden apendisitis kronik antara 1-5%. Apendisitis kronik
kadang-kadang dapat menjadi akut lagi dan disebut apendisitis
kronik dengan eksaserbasi akut yang tampak jelas sudah adanya
pembentukan jaringan ikat.2,4
G. PATOFISIOLOGI
Penyebab appendisitis adalah terjadinya sebuah obstruksi atau
penyumbatan dari lumen apendiks. Lendir di dalam lumen apendiks,
menyebabkan bakteri yang biasanya hidup di dalamnya dapat berkembang biak.
Akibatnya, lumen membengkak dan menjadi terinfeksi.8
Sumber penyumbatan meliputi :
Appendicitis dapat terjadi karena berbagai macam penyebab, antara
lain obstruksi oleh fecalith, gallstone, tumor, atau bahkan oleh
cacing (Oxyurus vermicularis), akan tetapi paling sering
disebabkan obstruksi oleh fecalith dan kemudian diikuti oleh proses
peradangan.
Hiperplasia folikel limfoid appendiks juga dapat menyebabkan
obstruksi lumen
Patofisiologi apendisitis dapat dimulai di mukosa dan kemudian
melibatkan seluruh lapisan dinding apendix dalam waktu 24-48 jam pertama.
Upaya pertahanan tubuh berusaha membatasi proses radang ini dengan menutup
apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa
periapendikuler yang secara salah dikenal dengan istilah infiltrat apendiks. Di
dalamnya, dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami
perforasi. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa
12
periapendikuler akan menjadi tenang dan selanjutnya akan mengurai diri secara
perlahan.8,9
Awalnya, pasien akan merasa gejala gastrointestinal ringan seperti
berkurangnya nafsu makan, perubahan kebiasaan BAB yang minimal, dan
kesalahan pencernaan. Anoreksia berperan penting pada diagnosis appendicitis,
khususnya pada anak-anak.5 Distensi appendiks menyebabkan perangsangan
serabut saraf visceral dan dipersepsikan sebagai nyeri di daerah periumbilical.
Nyeri awal ini bersifat nyeri dalam, tumpul, berlokasi di dermatom Th 10.
Adanya distensi yang semakin bertambah menyebabkan mual dan muntah,
dalam beberapa jam setelah nyeri. Jika mual muntah timbul lebih dulu sebelum
nyeri, dapat dipikirkan diagnosis lain. 5 Appendiks yang obstruksi merupakan
tempat yang baik bagi bakteri untuk berkembang biak. Seiring dengan
peningkatan tekanan intraluminal, terjadi gangguan aliran limfe, terjadi oedem
yang lebih hebat. Akhirnya peningkatan tekanan menyebabkan obstruksi vena,
yang mengarah pada iskemik jaringan, infark, dan gangrene. Setelah itu, terjadi
invasi bakteri ke dinding appendiks; diikuti demam, takikardi, dan leukositosis
akibat kensekuensi pelepasan mediator inflamasi dari jaringan yang iskemik.
Saat eksudat inflamasi dari dinding appendiks berhubungan dengan peritoneum
parietale, serabut saraf somatic akan teraktivasi dan nyeri akan dirasakan lokal
pada lokasi appendiks, khususnya di titik Mc Burney’s. 7,8
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna tetapi
membentuk jaringan parut yang melengket dengan jaringan sekitarnya.
Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang di perut kanan bawah.
Suatu saat, organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan sebagai
eksaserbasi akut.7,9
H. GAMBARAN KLINIS
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari
terjadinya perdangan mendadak pada umbai cacing yang memberikan tanda
setempat, baik disertai maupun tidak disertai dengan rangsangan peritoneum
lokal. Gejala klasik apendisitis adalah nyeri samar-samar dan tumpul yang
merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium di sekitar umbilikus. Keluhan ini
13
sering disertaui mual dan muntah. Umunya, nafsu makan menurun. Dalam
beberapa jam nyeri akan berpindah kedaerah kanan bawah titik McBurney. Bila
apendiks terletak retrosekal retroperitoneal, tanda nyeri perut kanan bawah tidak
begitu jelas dan tidak ada tanda peradangan karena apendiks terlindungi oleh
sekum. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan atau nyeri timbul saat berjalan
karena kontraksi otot psoas mayor yang menegang dari dorsal. Radang pada
apendiks yang terletak di rongga peritoneum sehingga dapat menimbulkan gejala
dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga peristaltik meningkat dan
pengosongan rektum menjadi lebih cepat serta berulang. Jika apendiks tadi
menempel ke kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kencing.
Gelaja appendisitis pada anak tidak spesifik. Pada awalnya anak sering hanya
menunjukan gejala rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak dapat
melukiskan rasa nyerinya. Beberapa jam kemudian anak akan muntah sehinggs
menjadi lemahdan letargik. Karena gejala yang tidak khas ini, appendisitis
kadang sering diketahui setelah terjadi perforasi. 2,5
Apendisitis yang tidak tertangani segera akan meningkatkan risiko
terjadinya perforasi dan pembentukan massa peri apendikular. Perforasi dengan
cairan inflamasi dan bakteri masuk ke dalam rongga abdomen, lalu memberikan
respons inflamasi permukaan peritoneum atau terjadi peritonitis. Apendisitis
perforasi adalah pecahnya apendiks yang sudah gangren yang menyebabkan pus
masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum. Pada dinding
apendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik.7
Pada appendicitis tanpa komplikasi biasanya demam ringan (37,5 -38,5 0
C). Jika suhu tubuh diatas 38,6 0 C, menandakan terjadi perforasi. Anak dengan
appendicitis kadang-kadang berjalan pincang pada kaki kanan. Karena saat
menekan dengan paha kanan akan menekan Caecum hingga isi Caecum
berkurang atau kosong. Bising usus meskipun bukan tanda yang dapat dipercaya
dapat menurun atau menghilang.2.7
14
Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran kanan bawah atau titik Mc.
Burney dan ini merupakan tanda kunci diagnosis.7
3. Defence muscular
15
Gambar 10. Rovsing Sign8
16
Rasa nyeri yang terjadi bila panggul dan lutut difleksikan kemudian
dirotasikan ke arah dalam dan luar secara pasif, hal tersebut menunjukkan
peradangan apendiks terletak pada daerah hypogastrium.4
17
J. PEMERIKSAAN PENUNJANG 2,5,8,9
1) Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang rutin dilakukan adalah jumlah leukosit
darah. Jumlah leukosit darah biasanya meningkat pada kasus apendisitis.
Hitung jumlah leukosit darah merupakan pemeriksaan yang mudah
dilakukan dan memiliki standar pemeriksaan terbaik. Pada kebanyakan
kasus terdapat leukositosis, terlebih pada kasus dengan komplikasi berupa
perforasi. Penelitian yang dilakukan oleh Guraya SY menyatakan bahwa
peningkatan jumlah leukosit darah yang tinggi merupakan indikator yang
dapat menentukan derajat keparahan apendisitis.
2) Urinalisis
Urinalisis Sekitar 10% pasien dengan nyeri perut memiliki penyakit
saluran kemih. Pemeriksaan laboratorium urin dapat mengkonfirmasi atau
menyingkirkan penyebab urologi yang menyebabkan nyeri perut.
Meskipun proses inflamasi apendisitis akut dapat menyebabkan piuria,
hematuria, atau bakteriuria pada sebanyak 40% pasien, jumlah eritrosit
pada urinalisis yang melebihi 30 sel per lapangan pandang atau jumlah
leukosit yang melebihi 20 sel per lapangan pandang menunjukkan
terdapatnya gangguan saluran kemih.
3) Radiografi konvensional
Pada foto polos abdomen, meskipun sering digunakan sebagai bagian dari
pemeriksaan umum pada pasien dengan abdomen akut, jarang membantu
dalam mendiagnosis apendisitis akut. Pasien dengan apendisitis akut,
18
sering terdapat gambaran gas usus abnormal yang non spesifik.
Pemeriksaan tambahan radiografi lainnya yaitu pemeriksaan barium
enema dan scan leukosit berlabel radioaktif. Jika barium enema mengisi
pada apendiks vermiformis, diagnosis apendisitis ditiadakan.
4) Ultrasonografi
Ultrasonografi berguna dalam memberikan diferensiasi penyebab nyeri
abdomen akut ginekologi, misalnya dalam mendeteksi massa ovarium.
Ultrasonografi juga dapat membantu dalam mendiagnosis apendisitis
perforasi dengan adanya abses. Apendisitis akut ditandai dengan (1)
adanya perbedaan 20 densitas pada lapisan apendiks vermiformis /
hilangnya lapisan normal (target sign); (2) penebalan dinding apendiks
vermiformis; (3) hilangnya kompresibilitas dari apendiks vermiformis ;
(4) peningkatan ekogenitas lemak sekitar (5) adanya penimbunan cairan.7
Keadaan apendisitis dengan perforasi ditandai dengan (1) tebal
dinding apendiks vermiformis yang asimetris ; (2) cairan bebas
intraperitonial, dan (3) abses tunggal atau multipel7
19
dengan diameter dinding appendix lebih 6 mm. Tampak tepi seperti cincin
pada cairan periappendiceal.8
K. DIAGNOSIS BANDING 2
Pada keadaan tertentu, beberapa penyakit perlu dipertimbangkan sebagai
diagnosis banding2 :
Banyak masalah yang dihadapi saat menegakkan diagnosis apendisitis
karena penyakit lain yang memberikan gambaran klinis yang hampir
sama dengan apendisitis, diantaranya :
20
mirip pada apendisitis akut sehingga diperlukan pengobatan serta
tindakan bedah yang sama.2
8. Ulkus peptikum perforasi, sangat mirip dengan apendisitis jika isi
gastroduodenum mengendap turun ke daerah usus bagian kanan
sekum.14
9. Batu ureter, jika diperkirakan mengendap dekat appendiks dan
menyerupai apendisitis retrosekal. Nyeri menjalar ke labia, skrotum,
penis, hematuria dan terjadi demam atau leukositosis.14
L. TATA LAKSANA2,10
Bila diagnosis secara klinis sudah jelas, tindakan paling utama dan
merupakan satu-satunya pilihan yang baik adalah apendektomi. Pada
apendistits tanpa komplikasi, biasanya tidak perlu diberikan antibiotik,
kecuali pada apendisitis gangrenosa atau apendisitis perforata. Penundaan
tidak bedah sambil meberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau
perforasi.2
Pada kasus usus buntu yang sudah pecah/ mengalami perforasi
sayatan luka operasi biasanya agak cukup lebar (bisa di samping/kanan
bawah perut atau di bagian tengah perut-tegak lurus) dan umumnya disertai
pemasangan drain (selang) di perut kanan bawah. Drain/selang ini fungsinya
adalah untuk mengeluarkan/mengalirkan sisa bekuan darah/nanah yang
berasal dari rongga perut.7
Apabila tindakan pembedahan (Apendiktomi) dilakukan sebelum
terjadi ruptur dan terdapat tanda-tanda peritonitis maka biasanya perawatan
pascabedah tanpa disertai penyulit. Pemberian antibiotik biasanya
diindikasikan. Untuk waktu pemulangan dari pasien yang menderita
apendisitis ini tergantung pada seberapa dini penegakan diagnosis, derajat
inflamasi dan penggunaan metode pembedahan yang lakukan yaitu bedah
terbuka atau laparoskopi.10
21
Observasi
Dalam 8-12 jam setelah timbulnya keluhan, tanda dan gejala
apendisitis seringkali masih belum jelas. Observasi ketat perlu
dilakukan, pasien diminta untuk melakukan tirah baring dan
dipuasakan. Laksatif tidah boleh diberikan apabila dicurigai
adanya apendisitis atau bentuk peritonitis lainnya. Pemeriksaan
abdomen dan rektal serta pemeriksaan darah diulang secara
periodik. Foto abdomen dan toraks tegak dilakukan untuk mencari
kemungkinan adanya penyulit lain. 10
Antibiotik
b. Operasi apendiktomi
22
diperluas dengan memotong otot secara tajam. Untuk
pelaksanaanya, dilakukan sayatan pada garis yang tegak lurus
pada garis yang menghubungkan spina iliaka anterior superior
(SIAS) dengan umbilikus pada batas sepertiga lateral (titik
McBurney). Sayatan ini mengenai kutis, subkutis dan fasia. Otot-
otot dinding abdomen disayat secara tumpul menurut arah serabut
ototnya.
Sayatan ini dilakukan pada lokasi dan arah yang sama dengan
insisi McBurney hanya saja insisi menurut Roux ini dilakukan
sayatan yang langsung menembus dinding abdomen tanpa
mempedulikan arah serabut otot sampai tampak peritoneum.
Adapun keuntungannya adalah lapangan operasi lebih luas, lebih
mudah diperluas, sederhana dan mudah. Dan kerugiannya adalah
lebih banyak memotong saraf dan pembuluh darah, sehingga
perdarahan pada teknik ini lebih banyak, masa pemulihan pasca
bedah lebih lama, nyeri pasca operasi lebih sering terjadi dan
kadang-kadang terdapat hematoma yang terinfeksi.7
c. Insisi pararektal.
23
c. Laparoskopi
24
operasi yang minimal dan waktu pemulihan serta waktu perawatan di
rumah sakit akan menjadi lebih singkat.11
M. KOMPLIKASI
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik
berupa perforasi bebas maupun perforasi pada appendiks yang telah
mengalami wall-off sehingga berupa massa yang terdiri dari kumpulan
apendiks, sekum dan lekuk usus halus.7
Apendisitis adalah penyakit yang jarang mereda dengan spontan,
tetapi penyakit ini tidak dapat diramalkan dan mempunyai kecenderungan
menjadi progresif dan mengalami perforasi. Karena perforasi jarang terjadi
dalam 8 jam pertama, observasi aman untuk dilakukan dalam masa tersebut.13
Tanda-tanda perforasi meliputi meningkatnya nyeri, spasme otot
dinding perut kuadran kanan bawah dengan tanda peritonitis umum atau
25
abses yang terlokalisasi, ileus, demam, malaise, dan leukositosis semakin
jelas. Bila perforasi dengan peritonitis umum atau pembentukan abses telah
terjadi sejak pasien pertama kali datang, diagnosis dapat ditegakan dengan
pasti. 12
Bila terjadi peritonitis umum terapi spesifik yang dilakukan adalah
operasi untuk menutup asal perforasi. Sedangkan tindakan lain sebagai
penunjang : tirah baring dalam posisi fowler medium (setengah duduk),
pemasangan NGT, puasa, koreksi cairan dan elektrolit, pemberian penenang,
pemberian antibiotik spektrum luas dilanjutkan dengan pemberian antibiotik
yang sesuai dengan hasil kultur, transfuse untuk mengatasi anemia, dan
penanganan syok septik secara intensif, bila ada.12
Bila terbentuk abses apendik akan teraba massa di kuadran kanan
bawah yang cenderung mengelembung ke arah rectum atau vagina. Terapi
dini dapat diberikan kombinasi antibiotik (ampisilin, gentamisin,
metronidazol atau klindamisin). Dengan sediaan ini abses akan segera
menghilang, dan apendektomi dapat dilakukan 6-12 minggu kemudian. Pada
abses yang tetap progresif harus segera dilakukan drainase. Abses daerah
pelvis yang menonjol ke arah rectum atau vagina dengan fluktuasi positif juga
perlu dilakukan drainase. 7
Tromboflebitis supuratif dari sistem portal jarang terjadi, tetapi
merupakan komplikasi yang letal. Hal ini harus kita curigai bila ditemukan
demam sepsis, menggigil, hepatomegali dan ikterus setelah terjadi perforasi
apendik. Pada kedaan ini diindikasikan pemberian antibiotik kombinasi
dengan drainase. 12
Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa abses subfrenikus dan fokal
sepsis intraabdominal lain. Obstruksi intestinal juga dapat terjadi akibat
perlengketan.7
N. PROGNOSIS
Angka kematian dipengaruhi oleh usia pasien, keadekuatan persiapan
prabedah, serta stadium penyakit pada waktu intervensi bedah. Apendisitis tak
berkomplikasi membawa mortalitas kurang dari 0,1%, gambaran yang
mencerminkan perawatan prabedah, bedah dan pascabedah yang tersedia saat
26
ini.9 Angka kematian pada apendisitis berkomplikasi telah berkurang dramatis
menjadi 2 sampai 5 persen, tetapi tetap tinggi dan tak dapat diterima (10-
15%) pada anak kecil dan orang tua. Pengurangan mortalitas lebih lanjut
harus dicapai dengan intervensi bedah lebih dini.
BAB III
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
II. ANAMNESIS
Keluhan utama :
Nyeri perut kanan bawah
Anamnesis terpimpin :
Pasien laki-laki umur 7 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan nyeri perut
kanan bawah yang dirasakan secara tiba – tiba mulai malam hari sebelum masuk
27
rumah sakit. Nyeri dirasakan seperti tertusuk-tusuk yang terus menerus, nyeri
yang kemudian menjalar ke seluruh bagian perut. Keluhan disertai dengan Mual
(+), muntah (+) lebih dari 5 kali berisi makanan dan cairan. Demam(+) sejak
malam hari sebelum masuk rumah sakit, BAK (+) dan BAB (+) biasa.
Kepala : Normocepal
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-), pembesaran kelenjar tyroid (-)
Thorax :
Paru-paru
Inspeksi : Simetris bilateral, retraksi (-/-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), vokal fremitus kanan sama dengan kiri.
Perkusi : Sonor +/+, batas paru hepar SIC VI midclavicula dextra
Auskultasi : Vesikuler (+/+), Rhonki (-/-) wheezing (-/-).
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tak tampak
Palpasi : Pulsasi ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Pekak
Batas jantung atas SIC II parasternal sinistra
Batas jantung bawah SIC V midclavicula sinistra
Batas jantung kanan SIC IV parasternal dextra
Auskultasi : BJ I/II murni reguler
Abdomen:
Inspeks : Tampak datar, ikut gerak napas
28
Auskultasi : Peristaltik (+), kesan menurun
Perkusi : Timpani seluruh abdomen
Palpasi : Nyeri tekan 4 kuadran abdomen (+), nyeri tekan Mcburney
(+), Rovsing sign (+), Obturator sign(+), Defans Muscular (+).
Ekstremitas:
Superior : akral hangat, sianosis (-),edema (-).
Inferior : akral hangat, sianosis (-),edema (-).
b. Urinalisis : (24/02/2019)
29
Selinder : (-) Negatif
Epitel : (-) Negatif
Crystal : (-) Negatif
IV. RESUME
Pasien anak laki-laki umur 7 tahun masuk rumah sakit dengan abdominal pain
kuadran kanan bawah yang dirasakan secara tiba – tiba sejak malam hari
sebelum masuk rumah sakit. Nyeri dirasakan seperti tertusuk-tusuk yang terus
menerus, referal pain ke fossa iliaka (+). Nausea (+), vomit (+) lebih dari 5 kali
berisi makanan dan cairan. Febris (+) sejak malam hari sebelum masuk rumah
sakit. BAK (+) dan BAB (+) biasa. Pemeriksaan fisik kesadaran komposmentis,
TD = 100/70 mmHg, N= 122 x.menit, S = 38,2 derajat celcius. pemeriksaan
abdomen inskpeksi tampak datar, peristaltik (+) kesan menurun, hipertimpani
(+), nyeri tekan suprapubik (+), nyeri tekanMcburney (+), Rovsing sign(+),
Pasoas sign (+), defans muscular (+). Pemeriksaan laboratorium di dapatkan
WBc=29,95 ul, hb = 10,9 mg/dl, PLT = 393 ul.
V. DIAGNOSIS
Appendisitis Perforasi
VI. PENATALAKSANAAN
MEDIKA MENTOSA
1. IVFD RL 500 ml 20 tpm
2. Cefotaxime 500 gr/12jam
3. Ranitidin 25 mg/12 jam
Operatif
Pro Laparatomi appendectomy
Laporan Operasi
1. Pasien baring dalam posisi supinasi di bawah pengaruh spinal anestasi
2. Desinfeksi dengan prosedur aseptik
3. Identifikasi insisi midline infraumbilical perdalam insisi peritoneum
4. Buka peritoneum (Tampak pus ± 100 cc)
5. Identifikasi caecum tampak appendix kesan perforasi
6. Lakukan pemotangan appendix, lanjut jahit tabac sac
7. Bebaskan appendix
30
8. Kontrol perdarahan dan cuci rongga abdomen
9. Pasang selang drains
10. Jahit luka operasi lapis demi lapis
11. Operasi selesai
VII. PROGNOSIS
Ad vitam : Dubia
Ad sanationam : Dubia
Ad functionam : Dubia
VIII. Follow Up
1. Tanggal 25 februari 2019
S: Nyeri perut bekas operasi (+), flatus (+), demam (-), mual (-), muntah
(-) BAB (-).
O:
Tekanan Darah: 90/60 mmHg
Nadi : 112 x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 36 ºC
Drain : ±75 cc
A: Post Op Laparotomy appendektomy H+1
P: IVFD RL = dextrose 5 % 1:1 1000cc / 24 jam
cefotaxim 1 gr/12 jam
Ketorolak 15 mg/8 jam/iv
Metronidazole 250 mg/8 jam/iv
Ranitidin 25 mg/ 12 jam/iv
Rawat Luka
Ganti botol drain
Diet lunak
31
Nadi : 70 x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 37 ºC
Drain : ±50 cc
A: Post Op Apendisitis Perforasi H+2
P: IVFD RL = dextrose 5 % 1:1 1000cc / 24 jam
cefotaxim 1 gr/12 jam
Ketorolak 15 mg/8 jam/iv
Metronidazole 250 mg/8 jam/iv
Ranitidin 25 mg/ 12 jam/iv
Diet lunak
Rawat Luka
32
Ketorolak 15 mg/8 jam/iv
Metronidazole 250 mg/8 jam/iv
Ranitidin 25 mg/ 12 jam/iv
Rawat Luka
Diet Lunak
33
Nadi : 84 x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 37 ºC
Luka : Keadaan luka kering
BAB IV
DISKUSI
Pasien anak laki-laki umur 7 tahun masuk rumah sakit dengan abdominal pain
kuadran kanan bawah yang dirasakan secara tiba – tiba sejak malam hari sebelum
masuk rumah sakit. Nyeri dirasakan seperti tertusuk-tusuk yang terus menerus,
referal pain ke fossa iliaka (+). Nausea (+), vomit (+) lebih dari 5 kali berisi makanan
dan cairan. Febris (+) sejak malam hari sebelum masuk rumah sakit..
Nyeri merupakan gejala yang pertama kali muncul pada appendicitis. Nyeri
sering dirasakan sebagai nyeri tumpul, nyeri di periumbilikal yang samar-samar, tapi
seiring dengan waktu akan berlokasi di abdomen kanan bawah. Variasi lokasi
anatomis appendiks dapat mengubah gejala nyeri yang terjadi. Pada anak-anak
dengan letak appendiks yang tetrocaecal atau pelvis, nyeri dapat mulai terjadi di
kuadran kanan bawah tanpa diawali nyeri pada periumbilikus. Nyeri pada flank,
nyeri punggung dan nyeri alih pada testis juga merupakan gejala umum.1
Suhu tubuh merupakan salah satu pemeriksaan yang dilakukan pada kasus-
kasus dengan kecurigaan apendisitis. Kenaikan suhu tubuh melebihi suhu normal
terjadi sebagai tanda adanya infeksi seperti pada apendisitis. Agen-agen infeksi akan
menghasilkan pirogen, kemudian memasuki sirkulasi sistemik dan meningkatkan
PGE2 yang akan menghasilkan c-AMP sehingga terjadi peningkatan set poin
termoregulator di hipotalamus dan bermanifestasi pada peningkatan suhu tubuh.
Suhu tubuh yang lebih tinggi pada apendisitis perforasi berkaitan dengan proses
peradangan semakin parah melibatkan area peradangan yang lebih luas. Semakin luas
34
area peradangan maka massa serta eksudat peradangan yang dihasilkan akan lebih
banyak.3
Pemeriksaan fisik kesadaran komposmentis, TD = 100/70 mmHg, N= 122
x.menit, S = 38 derajat celcius. pemeriksaan abdomen inskpeksi tampak datar,
peristaltik (+) kesan menurun, hipertimpani (+), nyeri tekan suprapubik (+), nyeri
tekan Mcburney (+), Rovsing sign(+), Obturator sign (+), defans muscular (+).
Pada pemeriksaan fisik, pemeriksaan dapat menilai nyeri dengan melakukan
penekanan pada beberapa area spesifik abdomen. Rovsing sign dilakukan dengan
memberikan tekanan tangan ke sisi kiri bawah perut, nyeri akan terasa di sisi kanan
bawah perut. Psoas sign dilakukan dengan melanturkan otot ini akan menyebabkan
sakit perut jika apendiks meradang. Ini terjadi karena otot psoas kanan menabrak
pelvis dekat apendiks. Obturator sign dilakukan dengan meminta pasien berbaring
dengan kaki kanan ditekuk di lutut. Menggerakkan lutut yang ditekuk ke kiri dank e
kanan membutuhkan penekukan otot obturator dan akan menyebabkan nyeri perut
karena otot obturator berjalan dekat dengan apendiks.6
Dasar anatomis terjadinya psoas sign adalah appendiks yang terinflamasi
yang terletak retroperitoneal akan kontak dengan otot psoas pada saat dilakukan
manuver ini. Obturator sign: dilakukan dengan posisi pasien terlentang, kemudian
gerakan endorotasi tungkai kanan dari lateral ke medial. Nyeri pada cara ini
menunjukkan peradangan pada M. obturatorius di rongga pelvis. Perlu diketahui
bahwa masing-masing tanda ini untuk menegakkan lokasi Appendix yang telah
mengalami radang atau perforasi. Dasar anatomis terjadinya Obturator sign,
Blumberg’s sign: nyeri lepas kontralateral (tekan di LLQ kemudian lepas dan nyeri di
RLQ). Wahl’s sign: nyeri perkusi di RLQ di segitiga Scherren menurun. Baldwin
test: nyeri di flank bila tungkai kanan ditekuk. Defence musculare: bersifat lokal,
lokasi bervariasi sesuai letak Appendix. Nyeri pada daerah cavum Douglas bila ada
abscess di rongga abdomen atau Appendix letak pelvis. Nyeri pada pemeriksaan
rectal tooucher. Dunphy sign: nyeri ketika batuk.5
Pada Pemeriksaan laboratorium di dapatkan leukosit 29,95 ul. Kadar leukosit
secara signifikan lebih tinggi pada kasus perforasi dibandingkan dengan appendisitis
tanpa perforasi. Leukositosis pada pasien appendisitis akut dapat mencapai 10.000-
35
18.000 sel/mm3 dan jika >18.000 sel/mm3 maka umumnya terjadi peritonitis akibat
perforasi.3
Pada pasien ini, laparatomi appendiktomi dilakukan sebagai penanganan
utama. Pada apendisitis, penanganan yang biasa dilakukan adalah tindakan operasi
untuk mengangkat apendiks. Tindakan dilakukan terutama pada pasien yang
memiliki sakit perut dan demam yang persisten, atau tanda-tanda usus buntu yang
pecah dan infeksi, operasi tanpa melakukan tes diagnostik. Operasi segera
mengurangi kemungkinan usus buntu yang curiga perforasi. Pada kasus usus buntu
yang sudah pecah/ mengalami perforasi sayatan luka operasi biasanya agak cukup
lebar (bisa di samping/kanan bawah perut atau di bagian tengah perut-tegak lurus)
dan umumnya disertai pemasangan drain (selang) di perut kanan bawah.6
Pemasangan drain mempunyai risiko lebih rendah terjadinya komplikasi
dibandingkan dengan yang tidak dipasang drain, sehingga proses penyembuhan luka
pasien yang dipasang drain lebih cepat dibandingkan dengan yang tidak dipasang .
Drain/selang ini fungsinya adalah untuk mengeluarkan/mengalirkan sisa bekuan
36
BAB V
KESIMPULAN
37
DAFTAR PUSTAKA
38
Appendicitis.https://ejournal.unisba.ac.id/index.php/gmhc/article/viewFile/18
44/pdf
39