Anda di halaman 1dari 42

Laporan Kasus Bedah Digestif

PERITONITIS

Disusun Oleh:

Garry P.H Sianturi 130100432


Monica Nadya Sinambela 130100289
Raudah Putri Syari 130100126
Lailatul Fitri Beru Karo 130100099
Zikari Putra Lan Lubis 130100052
Aldi Nurcahyo 130100130
Bella Kesita Sihotang 130100301
Kristian Sembiring 130100115
Priyangkha Selva Selvarasu130100438
Rizka Annisa Harahap 130100277
Erwin Togatorop 130100317
Hendri Yudistira Yanis 130100394
Heerashene Sithasivam 130100453

Pembimbing:
dr. Adi Muradi Muhar, SpB-KBD

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


RUMAH SAKIT UMUM PUSAT RUJUKAN HAJI ADAM MALIK
DEPARTEMEN ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018
i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan kasus yang berjudul “Peritonitis” Penulisan laporan kasus ini adalah salah
satu syarat menyelesaikan kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi
Dokter di Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Adi Muradi
Muhar, SpB-KBD selaku supervisor pembimbing yang telah meluangkan waktu
dan memberikan masukan dalam penyusunan laporan kasus ini sehingga penulis
dapat menyelesaikannya dengan baik.

Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan.Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca demi perbaikan dalam penulisan laporan kasus selanjutnya.Semoga
laporan kasus ini bermanfaat.Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, Maret 2018

Penulis
ii

DAFTAR ISI
Halaman

KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii

BAB1 PENDAHULUAN.............................................................................. 1
1.1.Latar Belakang.............................................................................. 1
1.2. Tujuan.......................................................................................... 2
1.3. Manfaat........................................................................................ 2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA..................................................................... 3


2.1. Anatomi Lapisan Peritonium....................................................... 3
2.2. Peritonitis..................................................................................... 7
2.2.1 Definisi.............................................................................. 7
2.2.2 Klasifikasi.......................................................................... 7
2.2.3 Patofisiologi....................................................................... 9
2.2.4 Manifestasi Klinis.............................................................. 10
2.2.5 Diagnosis........................................................................... 12
2.2.6 Tatalaksana......................................................................... 16
2.2.7 Komplikasi......................................................................... 19
2.2.8 Prognosis ........................................................................... 20

BAB 3 STATUS PASIEN............................................................................. 21


BAB 4 DISKUSI............................................................................................ 33
BAB 5 KESIMPULAN................................................................................. 38
DAFTAR PUSTAKA
1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perforasi dari saluran gastrointestinal adalah salah satu penyebab mematikan
dari akut abdomen yang ditandai dengan nyeri abdomen akut dan penderitaan berat
bagi pasien. Sepertiga dari pasien mengalami keterlambatan dalam diagnosis
peritonitis. Peritonitis oleh karena perforasi dari saluran cerna adalah
kegawatdaruratan bedah yang umum di seluruh dunia, terjadi sekitar 2 - 14 % pasien
dengan penyakit ulkus yang aktif. Penatalaksanaan operasi pada pasien dengan
peritonitis perforasi sangat direkomendasikan dan termasuk kombinasi dengan teknik
bedah, antimikroba, dan penunjang terapi yang baik dapat meningkatkan hasil terapi.1

Perforasi artinya adalah segala kerusakan dalam kontinuitas dari organ


berongga yang menyebabkan kontaminasi pada rongga peritoneum dengan isi
intraluminal dan peritonitis adalah inflamasi pada peritoneum oleh perforasi yang
disebabkan kontaminasi bakterial. Pemeriksaan yang ditemukan biasanya nyeri perut,
perut rigid, distensi perut, suara usus melemah, demam, takikardia, takipneu, oliguria
dan syok. Peritonitis dapat primer maupun sekunder ataupun tersier. Primer
disebabkan oleh infeksi dari organisme sedangkan sekunder oleh karena lesi atau luka
pada saluran cerna, saluran kemih atau sistem bilier seperti asam lambung dari
perforasi lambung, cairan empedu dari perforasi kandung empedu serta laserasi hepar
akibat trauma.2,3 Peritonitis tersier merupakan peritonitis yang disebabkan oleh iritan
langsung yang sering terjadi pada pasien immunocompromised dan orang-orang
dengan kondisi komorbid.2

Di Indonesia, pada tahun 2008 jumlah penderita peritonitis berjumlah sekitar


7% dari jumlah penduduk atau sekitar 179.000 orang. Di jawa tengah tahun 2009
2

jumlah kasus peritonitis dilaporkan sebanyak 5.980 dan 177 diantaranya mengalami
kematian.4

Perforasi peritonitis merupakan kondisi yang berbahaya dan berhubungan


dengan risiko tinggi untuk morbiditas dan mortalitas. Mayoritas pasien datang
terlambat, dengan peritonitis purulenta dan septikemia. Deteksi awal dan pengobatan
dini memiliki peran dalam menurunkan mortalitas.3 Oleh karena hal tersebut, kita
sebaiknya mampu mendeteksi awal penyakit ini dan menentukan terapi yang tepat.

1.2. Tujuan

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk menyampaikan laporan


kasus mengenai peritonitis perforasi.Penyusunan laporan kasus ini sekaligus untuk
memenuhi persyaratan kegiatan Program Profesi Dokter (P3D) di Departemen Ilmu
Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

1.3. Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat meningkatkan dan mengembangkan
kemampuan penulis maupun pembaca khususnya peserta P3D untuk
mengintegrasikan teori yang telah ada dengan aplikasi pada kasus yang akan dijumpai
di lapangan.
3

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Lapisan Peritoneum


Peritoneum ialah membran serosa rangkap yang terbesar di dalam tubuh.
Peritoneum terdiri atas dua bagian utama yaitu peritoneum parietal, yang melapisi
dinding rongga abdominal dan peritoneum viseral yang menyelaputi semua organ
yang berada di dalam rongga itu. Ruang yang biasa terdapat di antara dua lapis ini
disebut rongga peritoneum atau cavum peritoneum. Normalnya terdapat 50 mL cairan
bebas dalam rongga peritoneum, yang memelihara permukaan peritoneum tetap licin.
Pada laki-laki peritoneum berupa kantong tertutup sedangkan pada perempuan
saluran telur (tuba Fallopi) membuka masuk ke dalam rongga.
Pada laki-laki berupa kantong tertutup dan pada perempuan merupakan
saluran telur yang terbuka masuk ke dalam rongga peritoneum, di dalam peritoneum
banyak terdapat lipatan atau kantong.5

Gambar 2.1. Bagian melintang inferior


4

Dilihat secara embriologi peritoneum adalah mesoderm lamina lateralis yang


tetap bersifat epitelial.Pada permulaan, mesoderm merupakan dinding dari sepasang
rongga yaitu coelom.Di antara kedua rongga terdapat entoderm yang merupakan
dinding enteron.Enteron didaerah abdomen menjadi usus.Kedua rongga mesoderm,
dorsal dan ventral usus saling mendekat, sehingga mesodermtersebut kemudian
menjadi peritonium.

Lipatan besar (omentum mayor) banyak terdapat lemak yang terdapat di


sebelah depan lambung. Lipatan kecil (omentum minor) meliputi hati, kurvatura
minor, dan lambung berjalan ke atasdinding abdomen dan membentuk mesenterium
usus halus.

Fungsi peritonium :
a. Menutupi sebagian dari organ abdomen dan pelvis
b. Membentuk pembatas yang halus sehinggan organ yang ada
dalam rongga peritoneumtidak saling bergesekan
c. Menjaga kedudukan dan mempertahankan hubungan organ terhadap dinding
posterior abdomen
d. Tempat kelenjar limfe dan pembuluh darah yang membantu melindungi terhadap
infeksi

Lapisan peritonium dibagi menjadi 3, yaitu:


a. Lapisan yang menutupi dinding usus, disebut lamina visceralis (tunika serosa).
b. Lapisan yang melapisi dinding dalam abdomen disebut lamina parietalis.
c. Lapisan yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis
Pada beberapa tempat peritoneum visceral dan mesenterium dorsal
mendekatiperitoneum dorsal dan terjadi perlekatan. Akibat perlekatan ini, ada bagian-
bagian usus yang tidak mempunyai alat-alat penggantung, dan akhirnya berada
disebelah dorsal peritonium sehingga disebut retroperitoneal. Bagian-bagian yang
masih mempunyai alat penggantung terletak di dalam rongga yang dindingnya
dibentuk oleh peritoneum parietal, dengan demikian:

a. Duodenum terletak retroperitoneal


5

b. Jejenum dan ileum terletak intraperitoneal dengan alat penggantung


mesenterium;
c. Colon ascendens dan colon descendens terletak retroperitoneal;
d. Colon transversum terletak intraperitoneal dan mempunyai alat penggantung
disebut mesocolon transversum;
e. Colon sigmoideum terletak intraperitoneal dengan alat penggatung
mesosigmoideum; cecum terletak intraperitoneal;

Peritoneum parietal disarafi oleh saraf aferen somatik dan visceral yang cukup
sensitif terutama pada peritoneum parietal bagian anterior, sedangkan pada bagian
pelvis agak kurang sensitif.Peritoneum visceral disarafi oleh cabang aferen sistem
otonom yang kurang sensitif. Saraf ini terutama memberikan respon terhadap tarikan
dan distensi, tetapi kurang respon terhadap tekanan dan tidak dapat menyalurkan rasa
nyeri dan temperature.5

Processus vermiformis terletak intraperitoneal dengan alat penggantung


mesenterium.Lapisan yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis
kanan kirisaling menempel dan membentuk suatu lembar rangkap yang disebut
duplikatura.Dengan demikian baik di ventral maupun dorsal usus terdapat suatu
duplikatura.Duplikatura ini menghubungkan usus dengan dinding ventral dan dinding
dorsal perut dan dapat dipandang sebagai suatu alat penggantung usus yang disebut
5
mesenterium.

Mesenterium dibedakan menjadi mesenterium ventrale danmesenterium


dorsale.Mesenterium ventrale yang terdapat pada sebelah kaudal parssuperior
duodeni kemudian menghilang. Lapisan kiri dan kanan mesenterium ventrale yang
masih tetap ada, bersatu pada tepi kaudalnya.Mesenterium setinggiventrikulus disebut
mesogastrium ventrale dan mesogastrium dorsale.Pada waktu perkembangan dan
pertumbuhan, ventriculus dan usus mengalami pemutaran. Usus atau enteron pada
suatu tempat berhubungan dengan umbilicus dan saccus vitellinus.Hubungan ini
5
membentuk pipa yang disebut ductus omphaloentericus.
6

Gambar 2.2. Bagian anterior dan lateral


7

2.2. Peritonitis
2.2.1 Definisi
Peritonitis didefinisikan sebagai suatu inflamasi pada membrane serosa yang
membatasi rongga abdomen dan organ-organ didalamnya. Peritoneum, yang
merupakan lingkungan steril, berreaksi terhadap berbagai stimulus patologis dengan
respon yang sama. Bergantung terhadap patologi penyebab, peritonitis dapat bersifat
infeksius atau steril (seperti kimia atau mekanik). Sepsis intra abdomen merupakan
suatu inflamasi pada peritoneum yang disebabkan oleh mikoorganisme patogen dan
produknya. Proses inflamasi dapat bersifat lokal (membentuk abses) ataupun luas.6

2.2.2 Klasifikasi 7
Peritonitis bacterial, dapatdiklasifikasikan menjadi peritonitis primer,
sekunder, dantersier.
 Peritonitis primeratau yang dikenaljugadenganspontaneous bacterial peritonitis,
merupakanhasildaritranslokasibakterimelaluidindingusus yang intak.7,8 Penyebab
infeksi ini umumnya monomikrobial, danorganisme penyebab infeksinya
bergantung terhadap demografik. Contohnya, anak perempuan yang sehat lebih
sering terinfeksioleh streptococcus, bakteri gram negative dan enterococcus,
sedangkan pada pasien-pasien dengan dialisis peritoneal lebih sering terinfeksi
Staphylococcus aureus. Diagnosis daripenyebab peritonitis primer ini
membutuhkan aspirasi cairan. Karakteristik dari infeksi ini salah satunya adalah
analisa cairan peritoneum dimana hitung leukosit>500 sel/mm3, laktat yang
meningkat, dankadarguladarah yang rendah. Kulturcairan peritoneal yang positif
bersifat definitif, dan perbaikan dari infeksi ditandai dengan hasilanalisa cairan
peritoneal dengan penurunan hitung leukosit<250 sel/mm3.7
 Peritonitis sekunder merupakan infeksi peritoneum akut yang disebabkan oleh
kontaminasi mikroba melalui dinding sel yang sudah tidak intak,
bisadisebabkanolehperforasi, laserasi, atausegmentraktus gastrointestinal yang
8

nekrotik.7,8 Infeksi yang berhubungandengan peritonitis sekunder umumnya


polimikrobial dan organis mepenyebab infeksi umumnya yang
seringberhubungan dengan sumber kontaminasi. Penyebab yang paling
seringialah Eschericia coli dan Bacterioidesfragilis. Diagnosis terhadap
peritonitis sekunder dapat ditentukan berdasarkan anamnesa danpemeriksaan
klinis serta pemeriksaan radiologis. Bila pasien cukup stabil untuk ditransport,
CT Scan dengan penggunaankontras merupakan metode yang standar untuk
mengevaluasi berbagai kelainan intra-abdomen, seperti appendicitis,
diverticulitis, dan colitis.7
 Peritonitis tersier menggambarkan suatu infeksi yqang perstisten atau rekuren
setidaknya selama 48 jam setelah tatalaksana terhadap peritonitis primer maupun
sekunder. Peritonitis sekunder lebih sering terhadi pada pasien-pasien dengan
penyakit kritis ataupun pasien immunokompromis. Karena pertahanan host yang
rendah, penyebab infeksi umumnya lebih sering organisme dengan virulensi
rendah, seperti Enterococcus, Candida, Staphylococcus epidermidis dan
Enterobacter. 7

Bakteri dapat menginvasi rongga peritoneal dengan empat cara: 8


o Invasi secara langsung dari lingkungan eksternal (contoh: luka abdomen
penetrasi, infeksi pada laparatomi)
o Translokasi dari visera intraoabdomen (contoh:perforasi ulkus duodenal,
trauma, kebocoran anastomosis)
o Melalui sikrulasi ataupun translokasi usus (contoh:pada peritonitis primer,
peritonitis bakterial spontan tanpa sumber infeksi yang jelas)
o Melalui traktus genital pada wanita (contoh: salpingitis akut, perforasi uterus
akibat AKDR)
9

Peritonitis kimia (steril): dapat disebabkan oleh iritan seperti empedu, darah,
barium, maupun substansi lain atau karena inflamasi transmural dari organ visceral
(contoh pada penyakit Crohn) tanpa adanya inokulasi bakteri pada rongga
peritoneum. Tanda dan gejala klinis pada peritonitis steril tidak dapat dibedakan dari
peritonitis sekunder. Peritonitis yang steril ini dapat berkembang menjadi peritonitis
bakterial setelah transmigrasi mikro-organisme.8,9

2.2.3 Patofisiologi Peritonitis

Peritonitis merupakan inflamasi pada peritoneum. Peritoneum, dimana


merupakan lingkungan yang steril, akan bereaksi terhadap beberapa stimulus
patologis. Tergantung pada patologis yang mendasarinya, peritonitis dapat infeksius
maupun steril ( seperti kimiawi atau meekanikal). Sepsis intra-abdominal merupakan
inflamasi peritoneum yang disebabkan olehmikroorganisme pathogen ataupun
produknya. Reaksi awal peritoneum akibat inflamasi maupun infeksi bakteri adalah
keluarnya eksudat fibrosa. Abses akan terbentuk dianntara perlekatan fibrinosa, yang
menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi.
Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap
sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat menyebabkan obstruksi usus.10

Peritonitis akibat perforasi organ berongga ( peritonitis sekunder ataupun


supuratif peritonitis) merupakan hasil dari tumpahanlangsung dari kandungan
luminalkedalam peritoneum ( sperti perporasi ulkus peptikum, deivertikulitis,
apendisitis, perforasi iatrogenic). Dengan adanya tumpahan konten tersebut, bakteri
gram negative dan bakteri anaerob, termasuk flora normal usus yaitu E.coli dan
Klebsiella pneumonia, akan masuk ke kavitas peritoneal. Endotoksin yang dihasilkan
oleh bakteri gram negative akan menyebabkan pelepasan sitokin yang menginduksi
kaskade selular maupun humoral, menyebabkan kerusakan selular, shick sepsis dan
Multiple Organ Dysfunction Syndrome (MODS).10
10

Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membrane


mengalami kebocoran. Pelepasan berbagai mediator, seperti interleukin, dapat
memulai respon hiperinflamatorius, sehingga selanjutnya akan berkembang menjadi
kegagalan multi organ. Tubuh akan mencoba melakukan kompensasi dengan cara
retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga akan ikut menumpuk.
Untuk meningkatkan curah jantung, takikardia akan terjadi, tetapi hal ini akan segera
gagal begitu terjadi hipovolemia.11

Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila
infeksi menyebar, timbullah peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis
umum,aktivitas peristaltic berkurang hingga munculnya ileus paralitik. Usus
kemudian akan menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam
lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasidan oliguria.
Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat
mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.11

Berdasarkan penelitian, peritonitis cenderung mengarah ke sepsis sehingga


memiliki angka mortalitas yang tinggi. Sel efektor awal yang terkena merupakan sel
local dari peritoneum, seperti sel mesotelial, sel mast, makrofag dan limfosit. Melalui
sekresi chemokins, akan terjadi peningkatan chemokins yang diikuti oleh monosit.
Kemudian dapat berdiferensiasi menjadi makrofag inflamasi. Aktifitas tidak langsung
dari netrofil granulosit dibatasi oleh induksi dari proses apoptosis. Masuknya sitokin,
produk- produk dari bakeri dan agen microbial kedalam sirkulasi akan menimbulkan
respon SIRS(systemic inflammatory response syndrome) atau munculnya sepsis.12

2.2.4 MANIFESTASI KLINIS


Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan tanda-
tanda rangsangan peritonium. Rangsangan peritonium menimbulkan nyeri tekan dan
11

defans muskular, pekak hati bisa menghilang akibat udara bebas di bawah diafragma.
13,14
Peristaltik usus menurun sampai hilang akibat kelumpuhan sementara usus.

Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan naik dan
terjadi takikardia, hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok. Rangsangan ini
menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang menyebabkan pergeseran peritonium
dengan peritonium. Nyeri subjektif berupa nyeri waktu penderita bergerak seperti
jalan, bernafas, batuk, atau mengejan.Nyeri objektif berupa nyeri jika digerakkan
13,14
seperti palpasi, nyeri tekan lepas, tes psoas, atau tes lainnya.

Diagnosis peritonitis ditegakkan secara klinis dengan adanya nyeri abdomen (akut
abdomen) dengan nyeri yang tumpul dan tidak terlalu jelas lokasinya (peritoneum
visceral) yang makin lama makin jelas lokasinya (peritoneum parietal).Nyeri
abdomen yang hebat biasanya memiliki punctum maximum ditempat tertentu sebagai
sumber infeksi. Dinding perut akan terasa tegang karena mekanisme antisipasi
penderita secara tidak sadar untuk menghindari palpasinya yang menyakinkan atau
tegang karena iritasi peritoneum. Pada wanita dilakukan pemeriksaan vagina
bimanual untuk membedakan nyeri akibat pelvic inflammatorium disease.
Pemeriksaan-pemeriksaan klinis ini bisa jadi positif palsu pada penderita dalam
keadaan imunosupresi (misalnya diabetes berat, penggunaan steroid,
pascatransplantasi, atau HIV), penderita dengan penurunan kesadaran (misalnya
trauma cranial,ensefalopati toksik, syok sepsis, atau penggunaan analgesic), penderita
13,14
dengan paraplegia dan penderita geriatric.

Gejala Klinis dari peritonitis :

a. Nyeri abdomen akut dan nyeri tekan

b. Badan lemas
12

c. Peristaltik dan suara usus menghilang

d. Hipotensi

e. Tachicardi

f. Oligouria

g. Nafas dangkal

h. Leukositosis

i. Terdapat dehidrasi.

2.2.5 PENEGAKAN DIAGNOSA

A. Anamnesa
Sekitar 30% pasien dengan peritonitis cenderung asimtomatik, dan pada pasien-pasien
simtomatik maka dapat dijumpai beberapa gejala seperti berikut:
- Demam dan menggigil (dialami ≥80% pasien)
- Nyeri perut atau rasa tidak nyaman pada perut (dialami 70% pasien)
- Diare
- Asites yang tidak membaik dengan pemberian diuretik
- Ileus
Nyeri perut merupakan keluhan utama yang paling sering dijumpai pada pasien
peritonitis. Nyeri perut yang dirasakan bersifat tumpul dan sulit dilokalisir (peritoneum
viseral); lama-kelamaan nyeri semakin memberat dan semakin terlokalisir (parietal
peritoneum). Nyeri perut pada peritonitis akan semakin memberat terutama saat pasien batuk,
meregangkan pinggul dan penekanan lokal pada daerah abdomen. 15

B. Pemeriksaan Fisik
13

Perlu diperhatikan kondisi umum, wajah, denyut nadi, pernapasan, suhu badan dan sikap
baring pasien, sebelum melakukan pemeriksaan abdomen. Gejala dan tanda dehidrasi,
perdarahan, syok dan infeksi atau sepsis perlu diperhatikan juga.
Pada pemeriksaan abdomen, pemeriksaan yang dilakukan akan sangat menimbulkan
ketidaknyamanan bagi pasien, namun pemeriksaan abdomen ini harus dilakukan untuk
menegakkan diagnosis dan terapi yang akan dilakukan.
1. Pada Inspeksi pemeriksa mengamati adakah jaringan parut bekas operasi yang
menunjukkan kemungkinan adanya adhesi, perut membuncit dengan gambaran
usus atau gerakan usus yang disebabkan oleh gangguan pasase. Pada peritonitis
biasanya akan ditemukan perut yang membuncit dan tegang atau distensi..
2. Pada Auskultasi pemeriksa memulai dari arah yang berlawanan dari daerah yang
terasa paling sakit pada abdomen. Auskultasi dilakukan untuk menilai apakah
terjadi penurunan suara bising usus. Pasien dengan peritonitis umum, bising usus
akan melemah atau menghilang sama sekali, hal ini disebabkan karena peritoneal
yang lumpuh sehingga menyebabkan usus ikut lumpuh / tidak bergerak.
3. Pada Palpasi pemeriksaan dilakukan mulai dari sisi abdomen yang tidak
dikeluhkan adanya nyeri. Hal ini dilakukan sebagai pembanding antara bagian
yang tidak nyeri dengan bagian yang nyeri. Nyeri tekan dan kekakuan otot
abdomen menunjukkan adanya proses inflamasi yang mengenai peritoneum
parietale (nyeri somatik). Rigidity yang murni adalah proses refleks otot yang akan
dirasakan pada inspirasi dan ekspirasi berupa reaksi kontraksi otot terhadap
rangsangan tekananan.
4. Pada Perkusi, nyeri ketok menunjukkan adanya iritasi pada peritoneum. Adanya
udara bebas atau cairan bebas juga dapat ditentukan dengan perkusi melalui
pemeriksaan pekak hati dan shifting dullness. Pada pasien dengan peritonitis,
pekak hepar akan menghilang, dan perkusi abdomen hipertimpani karena adanya
udara bebas tadi. 15,16

C. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya leukositosis, hematokrit yang
meningkat dan asidosis metabolik. Gambaran darah pada pasein peritonitis menunjukkan
14

dehidrasi. Pada peritonitis tuberkulosa cairan peritoneal mengandung banyak protein (> 3
gram/100mL) dan banyak limfosit, basil tuberkel diidentifikasi dengan kultir. Biopsi
peritoneum perkutan atau secara laparoskopi memperlihatkan granuloma tuberkuloma
yang khas, dan merupakan dasar diagnosa sebelum hasil pembiakan didapat. 15

D. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk pertimbangan dalam
memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pemeriksaan Radiologi yang umumnya
dilakukan harus cepat, noninvasive, murah, mudah diakses serta akurat; seperti Foto Polos
Radiologi, laparoskopi, Ultrasonografi (USG), dan Computed Tomography (CT).
1. Pemeriksaan Foto Polos
Pada peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi, yaitu :
a. Tiduran terlentang (supine), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi
anteroposterior.
b. Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar
dari arah horizontal proyeksi anteroposterior.
c. Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar horizontal
proyeksi anteroposterior.

Sebaiknya pemotretan dibuat dengan memakai kaset film yang dapat mencakup
seluruh abdomen beserta dindingnya. Perlu disiapkan ukuran kaset dan fil ukuran 35 x 43 cm.
Sebelum terjadi peritonitis, jika penyebabnya adanya gangguan pasase usus (ileus) obstruktif
maka pada foto polos abdomen 3 posisi didapatkan gambaran radiologis antara lain :

a. Posisi tidur, untuk melihat distribusi usus, preperitonial fat, ada tidaknya
penjalaran. Gambaran yang diperoleh yaitu pelebaran usus di proksimal
daerah obstruksi, penebalan dinding usus, gambaran seperti duri ikan
(Herring bone appearance).
b. Posisi LLD, untuk melihat air fluid level dan kemungkinan perforasi usus.
Dari air fluid level dapat diduga gangguan pasase usus. Bila air fluid level
pendek berarti ada ileus letak tinggi, sedang jika panjang-panjang
15

kemungkinan gangguan di kolon.Gambaran yang diperoleh adalah adanya


udara bebas infra diafragma dan air fluid level.
c. Posisi setengah duduk atau berdiri. Gambaran radiologis diperoleh adanya air
fluid level dan step ladder appearance.
Pada pasien peritonitis yang dilakukan pemeriksaan foto thoraks, maka dapat juga
dijumpai gambaran udara bebas subdiafragma. 15,16

Gambar.2.3 Udara bebas subdiafragma


16

Gambar 2.4 Gambaran udara bebas pada posisi lateral decubitus.

2. Pemeriksaan Ultrasonography

Ultrasonography Abdomen telah menjadi prosedur diagnostik yang semakin sering


digunakan pada pasien dengan akut abdomen. Beberapa penelitian telah menunjukkan
kelebihannya dalam menegakkan diagnosis dengan cepat pada operasi emergensi.
Bagaimanapun, terkadang pemeriksaan USG terbatas dilakukan karena rasa tidak nyaman,
distensi abdomen dan adanya gangguan gas pada usus.

Ultrasonography dapat mendeteksi peningkatan jumlah cairan peritoneal (asites),


namun kemampuan untuk mendeteksi kuantitas cairan peritoneum kuran dari 100ml
terbatas.

Tujuan dilakukannya USG abdominal pada pasien dengan peritonitis meliputi:


1. Mengidentifikasi kelainan abdominal seperti apendisitis perforasi, acute cholecystitis,
asites, ataupun pneumoperitoneum.
2. Mencegah tatalaksana ataupun pemeriksaan yang tidak dibutuhkan.
3. Memberikan informasi yang dibutuhkan dalam inisiasi untuk pengobatan
4. Mengevaluasi penyakit apakah membaik ataupun memburuk. 15

3. CT Scanning
CT-Scan diindikasikan pada kasus yang yang tidak dapat ditegakkan secara klinis
dan foto polos abdomen. Hasil CT Scan akan semakin lebih baik jika diberikan kontras
enteral dan intravena. CT Scan dapat mendeteksi kuantitas cairan yang sendiri, area
inflamasi, dan patologi saluran cerna lainnya dengan sensitivitas hampir 100%. 15

2.2.6 TATALAKSANA PERITONITIS

Prinsip umum terapi adalah:


17

1. Pemberian Cairan Intravena

Penggantian cairan dilakukan untuk mengganti elektrolit yang hilang dan


memperbaiki kekurangan cairan di intravaskular. Resusitasi dengan larutan saline
isotonik sangat penting karena pengembalian volume intravaskular dapat
memperbaiki perfusi jaringan dan pengantaran oksigen, nutrisi, dan mekanisme
pertahanan. Pengeluaran urine, tekanan vena sentral, dan tekanan darah harus
dipantau untuk menilai keadekuatan resusitasi.17,18,19

2. Dekompresi saluran cerna.

Pemasangan nasogastrik tube dapat membantu mengurangi distensi abdomen


dan mengurangi resiko terjadinya aspirasi pada pasien. Pemasangan kateter juga
dapat dilakukan untuk monitoring urin.17,18,19

3. Pemberian antibiotika yang sesuai.

Pemberian antibiotik dilakukan untuk mencegah penyebaran infeksi lokal


maupun hematogen serta mengurangi komplikasi lebih lanjut. Terapi antibiotika
harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis bakteri dibuat. Antibiotik berspektrum
luas dapat diberikan secara empirik, dan kemudian diubah jenisnya setelah hasil
kultur keluar. Pilihan antibiotika didasarkan pada organisme mana yang dicurigai
menjadi penyebab. Antibiotika berspektrum luas juga merupakan tambahan drainase
bedah. Harus tersedia dosis yang cukup pada saat pembedahan, karena bakteremia
akan berkembang selama operasi. Terdapat beberapa regimen antibiotik yang tersedia
untuk pengobatan infeksi intraabdominal antara lain single agent broad spectrum
therapy dan terapi kombinasi meskipun tidak ada terapi spesifik yang superior
terhadap yang lain. Pasien yang telah dikontrol sumber infeksinya dan diintervensi
bedah dengan cepat antiboitika dapat diberikan selama 5-7 hari, meskipun tetap dapat
18

diperpanjang sesuai dengan klinis pasien dan antibiotik dapat diberhentikan apabila
gejala klinis telah hilang. 17,18,19

4. Pemberian analgetik

Dilakukan untuk menghilangkan nyeri baik sebelum maupun sesudah operasi.


Penggunaan pure agonis opioid dapat diberikan secara intravena. Benzodiazepin
intravena, ketamin dosis rendah, dan lidocain dapat memperkuat efek dari opioid.
penggunaan analgesik secara intravena setelah bolus dapat dipertimbangkan sesuai
kebutuhan pasien. Analgesik NSAID dapat diberikan apabila fungsi ginjal dan
integritas gastrointestinal baik.17,18,19
19

5. Operasi

 Pembuangan fokus septik (apendiks, dsb) atau penyebab radang lainnya, dan bila
mungkin mengalirkan nanah keluar. Pembuangan fokus septik atau penyebab
radang lain dilakukan dengan operasi laparotomi. Insisi yang dipilih adalah insisi
vertikal digaris tengah yang menghasilkan jalan masuk ke seluruh abdomen dan
mudah dibuka serta ditutup. Jika peritonitis terlokalisasi, insisi ditujukan diatas
tempat inflamasi. Teknik operasi yang digunakan untuk mengendalikan
kontaminasi tergantung pada lokasi dan sifat patologis dari saluran
gastrointestinal. Pada umumnya, kontaminasi peritoneum yang terus menerus
dapat dicegah dengan menutup, mengeksklusi, atau mereseksi viskus yang
perforasi. 17,18,19
 Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu dengan cara
mencuci seluruh kavum abdomen dengan menggunakan larutan kristaloid (saline
NaCl 0,9%). Agar tidak terjadi penyebaran infeksi ketempat yang tidak
terkontaminasi maka dapat diberikan antibiotika (misal: sefalosporin ) atau
antiseptik (misal: povidoniodine) pada cairan irigasi. Bila peritonitisnya
terlokalisasi, sebaiknya tidak dilakukan lavase peritoneum, karena tindakan ini
akan dapat menyebabkan bakteria menyebar ketempat lain. 17,18,19
 Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena pipa drain
itu dengan segera akan terisolasi/terpisah dari cavum peritoneum, dan dapat
menjadi tempat masuk bagi kontaminan eksogen. Drainase berguna pada
keadaan dimana terjadi kontaminasi yang terus – menerus (misalnya fistula) dan
diindikasikan untuk peritonitis terlokalisasi yang tidak dapat direseksi.17,18,19

2.2.7 Komplikasi
Syok septik, abses intraabdomen, dan adhesi merupakan komplikasi yang dapat
terjadi pada peritonitis. Pasien dengan syok septik membutuhkan perawatan di ICU.
Sepsis abdomen membawa mortalitas 30-60%. Keluaran dari sepsis abdomen
20

biasanya buruk meskipun telah dirawat di ICU. Faktor-faktor yang berhubungan


dengan risiko mortalitas antara lain usia, skor APACHE II (skor prognostik), syok
septik, penyakit kronik, jenis kelamin wanita, sepsis yang berasal dari saluran cerna
atas, dan kegagalan mengatasi sumber sepsis. Adhesi dapat menyebabkan obstruksi
saluran cerna atau volvulus.20

2.2. 8 Prognosis

 Prognosis dari peritonitis tergantung dari berapa lamanya proses peritonitis sudah
terjadi. Semakin lama orang dalam keadaan peritonitis akan mempunyai
prognosis yang makin buruk. Pembagian prognosis dapat dibagi menjadi tiga,
tergantung lamanya peritonitis: (1) kurang dari 24 jam: prognosisnya > 90 %; (2)
24 – 48 jam: prognosisnya 60 %; dan (3) lebih dari 48 jam: prognosisnya 20 %.
 Belum ada suatu tes laboratorium yang mudah dan tersedia untuk memprediksi
keparahan dan prognosis pasien peritonitis. Konsentrasi interleukin-18
intraperitoneum dan kultur jamur berhubungan dengan prognosis yang buruk,
namun tes laboratorium ini memiliki aplikabilitas klinis yang kecil.20
21

BAB 3
STATUS PASIEN

Identitas Pasien
Nama : Janter Nainggolan
No RM : 73.52.35
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal lahir/Usia : 05/01/1982/ - 36 tahun :
Alamat : Dusun Pandan B Sennah, Labuhan Batu
Agama : Kristen Protestan
Status Pernikahan : Belum menikah
Pendidikan Terakhir : Tamat SMA
Pekerjaan : Petani
Tanggal Masuk : 27 Februari 2018

Anamnesa
Keluhan Utama : Nyeri perut
Telaah : Hal ini sudah dialami pasien sejak 3 minggu yang lalu, dan
memberat dalam 1 minggu terakhir sebelum masuk RSUP HAM. Nyeri perut
dirasakan di seluruh area perut. Nyeri tidak menjalar, dan bersifat terus menerus.
Nyeri memberat ketika pasien menggerakkan anggota gerak bawah. Sebelumnya
pasien mengalami kecelakaan lalu lintas saat pasien mengendari sepeda motor 3
minggu yang lalu, dengan mekanisme kecelakaan yang tidak jelas. Riwayat mual
dijumpai. Riwayat muntah dijumpai sejak 1 minggu yang lalu, isi muntahan apa yang
dimakan oleh pasien dan berwarna kecoklatan. Riwayat BAB berwarna hitam
dijumpai. Riwayat BAK kesan dalam batas normal. Pasien sebelumnya sudah dibawa
22

kerumah sakit daerah dan disarankan untuk dilakukan pembedahan namun pasien
menolak dengan alasan belum mengurus asuransi kesehatan.

Riwayat Penyakit Terdahulu : Tidak jelas


Riwayat Penggunaan Obat : Tidak jelas

Pemeriksaan Fsik
Status Present
Sensorium : Compos Mentis
Tekanan Darah : 90/70 mmHg
Nadi : 118x/menit
Frekuensi Nafas : 30x/menit
Temperatur : 36,9°C

Primary Survey
A : Clear
B : Spontan, RR : 30x/menit
C : TD: 90/70 mmHg, Nadi : 118x/menit
D : GCS: 15, pupil isokor (3mm/3mm), reflek cahaya (+/+)
E : Log roll, undressed

Secondary Survey
Luka robek tidak dijumpai
Darah tidak dijumpai
Gerakan dinding dada simetris
23

Status Generalisata
Kepala
Mata : Reflek cahaya (+/+), pupil isokor ( 3mm/3mm), konjungtiva
palpebra pucat (+/+), sklera ikterik (-/-), edema preorbital (-/-)
Telinga : Dalam batas normal
Hidung : Dalam batas normal
Mulut : Dalam batas normal

Leher : Pembesaran KGB (-), Pembesaran tiroid (-), TVJ R+2 cmH2O

Thoraks
Inspeksi : Simestris fusiformis, ketinggalan bernapas tidak dijumpai
Palpasi : Stem fremitus kanan=kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : Suara Pernapasan : Vesikuler
Suara tambahan : Ronkhi (-), wheezing (-)
Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis teraba 1 cm ICS V/VI LMCS
Perkusi : Atas : ICS II LMCS, Bawah : diafragma
Kanan : ICS IV LPSD, Kiri : 1cm medial ICS V/VI LMCS
Auskultasi : S1 (+) normal, S2 (+) normal, murmur (-)

Abdomen
Inspeksi : Simetris, distensi (+)
Auskultasi : Peristaltik (+) lemah
Perkusi : Hipertimpani
Palpasi : Soepel, nyeri tekan (+)

Genitalia : Laki-laki
24

Inguinal
Inspeksi : Dalam batas normal
Palpasi : Tidak ada pembesaran KGB
Ekstremitas
Superior : Akral hangat, oedema (-)
Inferior : Akral hangat, oedema (-)

Diagnosa Kerja : Diffuse Peritonitis d/t hollow organ perforation d/t blunt
abdominal injury + Anemia
Terapi
- IVFD Ringer laktat 20gtt/i
- Inj. Ceftriaxon 1gr/24jam
- Inj. Ranitidine 50mg/12jam
- Inj. Ketorolac 30mg/8jam
- Tranfusi darah 750cc

Rencana
- Cek Darah lengkap, elektrolit, RFT
- Foto Thorak PA erect
- Konsul Anestesi
- Eksploratory Laparotomy di KBE

KLINIS PASIEN
25

Pemeriksaan Labortaorium
27 Februari 2018 sebelum operasi

Laboratorium Hasil Rujukan

HEMATOLOGI
Hemoglobin (HGB) 6.6 g/dL 12 – 16 g/dL
Eritrosit 2.22 jt/ µL 4,50-6,50 jt/ µL
Leukosit (WBC) 14,850 /µL 4,0 – 11,0 x 103/µL
Hematokrit 21% 36 – 47 %
Trombosit (PLT) 298,000 150 – 450 x 103/µL

ELEKTROLIT
Natrium (Na) 135 mEq/L 135 – 155 mEq/L
Kalium (K) 4.1 mEq/L 3,6 – 5,5 mEq/L
Klorida (Cl) 101 mEq/L 96 – 106 mEq/L

METABOLISME KARBOHIDRAT
Gula Darah (Sewaktu) 113 mg/dl <200mg/dl
GINJAL
BUN 29 mg/dL 7– 19 mg/dL
Ureum 62 mg/ dL 15 – 40 mg/dL
Kreatinin 0,6 – 1,1 mg/dL
0.53 mg/dL
ANALISA GAS DARAH
PH 7.54 7.35-7.45
PCO2 26.0 38-42
PO2 174.0 85-100
HCO3 22.2 22-26
Total CO2 23.0 19-25
BE 0.8 (-2)-(+2)
Sat O2 100 95-100
26

Pemeriksaan Radiologi
27 Februari 2018

Kesimpulan:
Tidak tampak kelainan pada cor dan pulmo
Pneumoperitoneum
Perforasi
27

LAPORAN OPERASI

Diagnosis pra bedah : Diffuse Peritonitis d/t hollow organ perforation d/t
blunt abdominal injury + Anemia
Diagnosis pasca bedah : Post eksplorasi laparotomy + yeyestomy +
primary suture d/t doudeni pars II
Indikasi operasi : Terapeutik
Tindakan operasi : Eksplorasi laparotomy, yeyestomy

 Posisi pasien supine


 Tindakan anestesi GA-ETT
 Perdarahan : 500 cc
 Lama operasi : 5 jam

Intruksi pasca bedah :


- Diet Sonde MI
- IVFD Asering 20gtt/i
- IVFD Kabiven 1fl/24jam
- Inj. Ceftriaxon 1gr/24jam
- Inj. Meropenem 1gr/8jam
- Inj. Metronidazol 500mg/8jam
- Inj. Omeprazole 40mg/12jam
- Inj. Paracetamol 1gr/8jam
28

DURANTE OPERASI
29

Hasil Laboratorium
27 Februari 2018 setelah operasi

Laboratorium Hasil Rujukan

HEMATOLOGI
Hemoglobin (HGB) 6.6 g/Dl 12 – 16 g/Dl
Eritrosit 2.22 jt/ µL 4,50-6,50 jt/ µL
Leukosit (WBC) 14,850 /µL 4,0 – 11,0 x 103/µL
Hematokrit 21% 36 – 47 %
Trombosit (PLT) 298,000 150 – 450 x 103/µL

ELEKTROLIT
Natrium (Na) 135 mEq/L 135 – 155 mEq/L
Kalium (K) 4.1 mEq/L 3,6 – 5,5 mEq/L
Klorida (Cl) 101 mEq/L 96 – 106 mEq/L

METABOLISME KARBOHIDRAT
Gula Darah (Sewaktu) 113 mg/dl <200mg/dl
GINJAL
BUN 29 mg/ dL 7– 19 mg/ dL
Ureum 62 mg/ dL 15 – 40 mg/ dL
Kreatinin 0,6 – 1,1 mg/ dL3
0.53 mg/ dL
ANALISA GAS DARAH
PH 7.54 7.35-7.45
PCO2 26.0 38-42
PO2 174.0 85-100
HCO3 22.2 22-26
Total CO2 23.0 19-25
BE 0.8 (-2)-(+2)
Sat O2 100 95-100
30

FOLLOW UP RUANGAN HCU

27 Februari 2018
S Sesak napas (+), Demam (-)
O Status presens : DPO
TD : 100/50 mmHg
HR : 118x/menit
RR : 24x/menit dengan
T : 37,0°C
UOP : 200cc
Thoraks : SP : vesikuler, ST : ronkhi (-), wheezing (-)
Abdomen
Inspeksi : simetris, luka operasi dijumpai
Auskultasi : peristaltik (+) lemah
Perkusi : hipertimpani
Palpasi : soepel
Drain terpasang
A Post eksplorasi laparotomy + yeyestomy + primary suture d/t
doudeni pars II
P - Diet Sonde MI
- IVFD Asering 20gtt/i
- IVFD Kabiven 1fl/24jam
- Inj. Ceftriaxon 1gr/24jam
- Inj. Meropenem 1gr/8jam
- Inj. Metronidazol 500mg/8jam
- Inj. Omeprazole 40mg/12jam
- Inj. Paracetamol 1gr/8jam

28 Februari 2018
S Sesak napas (+), Demam (+)
O Status presens : DPO
31

TD : 120/70 mmHg
HR : 110x/menit
RR : 20x/menit dengan NRM 6-7lpm
T : 37,5°C, Saturasi 02 : 99%
UOP : 250cc
Thoraks : SP : vesikuler, ST : ronkhi (-), wheezing (-)
Abdomen
Inspeksi : simetris, luka operasi kering
Auskultasi : peristaltik (+) lemah
Perkusi : timpani
Palpasi : soepel
Drain terpasang
A Post eksplorasi laparotomy + yeyestomy + primary suture d/t
doudeni pars II
P - Diet Sonde MI via NGT
- IVFD RL 30gtt/i
- IVFD Kabiven 1fl/24jam
- Inj. Ceftriaxon 1gr/24jam
- Inj. Meropenem 1gr/8jam
- Inj. Metronidazol 500mg/8jam
- Inj. Omeprazole 40mg/12jam
- Inj. Paracetamol 1gr/8jam
- Tranfusi PRC 2 bag
- Koreksi albumin : 0,8 x 80kg x (2,5-1,5) = 64 gram (25%)
Hasil Hb/Ht/Leu/PLT : 8.5/26/17,350/146,000 ; Albumin : 1,5
Pemeriksaa BUN/U/Cr : 36/77/0.57
n Na/K/Cl : 143/4.1/106

1 Maret 2018
S Sesak napas (-), Demam (+)
O Status presens : CM
TD : 120/66 mmHg
HR : 122x/menit
32

RR : 21x/menit dengan NRM 8lpm


T : 37,7°C, Saturasi 02 : 99%
UOP : 200cc
Thoraks : SP : vesikuler, ST : ronkhi (-), wheezing (-)
Abdomen
Inspeksi : simetris, luka operasi kering, stoma viabel
Auskultasi : peristaltik (+) lemah
Perkusi : timpani
Palpasi : soepel
Drain terpasang 50 cc (hemorrhagic)
A Post eksplorasi laparotomy + yeyestomy + primary suture d/t
doudeni pars II
P - Diet Sonde MI via NGT
- IVFD RL 30gtt/i
- IVFD Kabiven 1fl/24jam
- Inj. Ceftriaxon 1gr/24jam
- Inj. Meropenem 1gr/8jam
- Inj. Metronidazol 500mg/8jam
- Inj. Omeprazole 40mg/12jam
- Inj. Paracetamol 1gr/8jam
R/ cek lab post tranfusi , AGDA, koreksi albumin
Hasil Hb/Ht/Leu/PLT : 6.5/20/15,570/153,000 ; Albumin : 1,9
Pemeriksaa BUN/U/Cr : 43/92/0.77 ; KGDS : 261
n Na/K/Cl : 141/4.0/106
PH/PCO2/PO2/HCO3/BE: 7.42/30/219/19.5/-4.0

BAB 4

DISKUSI KASUS

NO TEORI KASUS
33

1 Definisi
Pria, 36 tahun datang ke IGD dengan
Peritonitis didefinisikan sebagai suatu keluhan nyeri perut yang sudah dialami
inflamasi pada membrane serosa yang pasien sejak 3 minggu yang lalu, dan
membatasi rongga abdomen dan organ-organ memberat dalam 1 minggu terakhir.
didalamnya. Peritonitis dapat Sebelumnya pasien mengalami
diklasifikasikan menjadi peritonitis primer, kecelakaan lalu lintas saat pasien
sekunder, dan tersier. Peritonitis sekunder mengendari sepeda motor 3 minggu
merupakan infeksi peritonium akut yang yang lalu, dengan mekanisme
disebabkan oleh kontaminasi mikroba kecelakaan yang tidak jelas.
melalui dinding sel yang sudah tidak intak,
bisa disebabkan oleh perforasi, laserasi, atau
segmen traktus gastrointestinal yang nekrotik

2 Manifestasi Klinis Pada pasien dijumpai nyeri di


seluruh area perut. Nyeri terjadi
Diagnosis peritonitis ditegakkan secara
secara terus-menerus, namun tidak
klinis dengan adanya nyeri abdomen (akut
menjalar.
abdomen) dengan nyeri yang tumpul dan
Pada pemeriksaan fisik abdomen
tidak terlalu jelas lokasinya (peritoneum
yang dilakukan pada pasein
visceral) yang makin lama makin jelas
dijumpai:
lokasinya (peritoneum parietal). Nyeri
Inspeksi : Simetris, distensi (+)
abdomen yang hebat biasanya memiliki
punctum maximum ditempat tertentu Auskultasi : Peristaltik (+) lemah
sebagai sumber infeksi. Dinding perut
akan terasa tegang karena mekanisme Perkusi : Hipertimpani

antisipasi penderita secara tidak sadar


Palpasi : Soepel, nyeri
untuk menghindari palpasinya yang
tekan (+)
menyakinkan atau tegang karena iritasi
peritoneum. Pada wanita dilakukan
pemeriksaan vagina bimanual untuk Vital Sign:
membedakan nyeri akibat pelvic Sensorium : Compos
34

inflammatorium disease. Mentis

Gejala Klinis menurut Ahmad H. Asdie, Tekanan Darah : 90/70 mmHg

1995: 1612 Nadi : 118x/menit

a. Nyeri abdomen akut dan nyeri Frekuensi Nafas : 30x/menit


tekan
b. Badan lemas Temperatur : 36,9°C

c. Peristaltik dan suara usus


menghilang
d. Hipotensi
e. Tachicardi
f. Oligouria
g. Nafas dangkal
h. Leukositosis
i. Terdapat dehidrasi.
35

3 Pemeriksaan Penunjang Hasil laboratorium pada pasien


Pada pemeriksaan laboratorium
dijumpai:
ditemukan adanya leukositosis.
Hb/ Eri/ Leu/ Ht/ PLT: 6.6/ 2.22
Gambaran Radiologi
/14,850 / 21/ 298,000
1. Foto thorax
Kesan: anemia + leukositosis

Gambaran Radiologi
1. Foto thorax

Gambaran udara bebas subdiafragma

Kesimpulan:

- Tidak tampak kelainan pada cor dan


pulmo

- Pneumoperitoneum

- Perforasi
36

4 Penatalaksanaan Pada pasien telah diberikan


tatalaksana farmakologi:
a. Penggantian cairan dan elektrolit
yang hilang secara intravena. - IVFD Ringer laktat 20gtt/i
Resusitasi dengan larutan saline - Inj. Ceftriaxon 1gr/24jam
isotonik sangat penting.
- Inj. Ranitidine 50mg/12jam
b. Antibiotik spektrum luas diberikan
secara empirik dan kemudian - Inj. Ketorolac 30mg/8jam
diubah jenisnya setelah hasil kultur - Tranfusi darah 750cc
keluar. Dilakukan laparotomi explorasi.
c. Pemberian analgetik.
d. Dekompresi saluran cerna dengan
pemasangan nasogastrik tube.
Membantu mengurangi distensi
abdomen dan mengurangi resiko
aspirasi pada pasien.
e. Pembuangan fokus septik atau
penyebab radang lain dilakukan
dengan operasi laparotomi.
f. Lavase peritoneum dilakukan pada
peritonitis yang difus, yaitu dengan
menggunakan larutan kristaloid
(saline).
37

BAB 5
KESIMPULAN

Seorang pasien Laki-laki umur 36 tahun didiagnosa dengan Diffuse Peritonitis


d/t Hollow Organ Perforation d/t Blunt Abdominal Injury + Anemia dan
ditatalaksana dengan:
 IVFD Asering 20 gtt/i
 Inj. Ceftriaxon 1 gr/24 jam
 Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam
 Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam
 Transfusi darah 750 cc
 Eksploratory Laparatomy di KBE
38

DAFTAR PUSTAKA

1. Heidari S. Peritonitis following pre-pyloric ulcer perforation : A case Report.


Ann Clin Lab.2017; 5(2): 178.
2. Japanesa A, Zahari A, Rusjdi SR. Pola kasus dan penatalaksanaan
peritonitis akut di bangsal bedah RSUP. Dr. M. Djamil Padang. J Kes And.
2016; 5 (1) : 209-14.
3. Masud M, khan A, Adil M, et al. Etiological spectrum of perforation
peritonitis. Pak Armed Forces Med J. 2016 ; 66(5) : 756-60.
4. Depkes RI, 2008. Millenium Development Goals. 2015. Jakarta.
5. 3. Menicheti F, Sganga G. Definition and Classification of intra-abdominal
Infections. J Chemother. 2009;21(supI) :3-4.
6. Pavlidis TE. Cellular changes in association with defense mechanisms in
intra-abdominal sepsis. Minerva Chir. 2003 Dec. 58(6):777-81.
7. Lopez N, Kobayashi L, Coimbra R. A Comprehensive review of abdominal
infections. World J Emerg Surg. 2011: 6:7
8. Skipworth RJE, Fearon KCH. Surgery: Acute abdomen: peritonitis. Elsevier.
2007: 98-101.
9. Nouri-Mahjalan N, Najafi I, Sanadgol H, et al. Description of an outbreak of
acute sterile peritonitis in Iran. Perit Dial Int. 2010 Jan-Feb. 30(1): 19-22.
10. Dalley BJ. Peritonitis and abdominal sepsis. Medscape [internet] . 2017 jan
[cited 2018 Mar 01]. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/180234-overview#a2
11. Hadley GP. Intra-abdominal sepsis: Epidemiology, aetiology, and
management. Semin Pediatr Surg. 2014;12(10) :357-362.
12. Beyer K, Menges P, Kebler W, Heidecke CD. Pathophysiology of peritonitis.
PubMed. 2016 Jan : 87(1):5-12.

13. Baue AE, Faist E. Multiple organ failure. Pathophysiology, Prevention and
therapy VOL.366 , Langenbecks Archiv fur chirurgie. New York:
Springer:2010.397-401p
14. Mazuki. Intra Abdomen infections. Surg Clin North Am. 2013;89(2):421-37
15. Dalley BJ. Peritonitis dan abdominal spesis. Medscape [internet]. 2017 Januari
[cited 2018 Mar 01]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/180234overview#a2.
39

16. Hadley GP. Intra-abdominal sepis: Epidemiology, aetiology, and


management. Semin Pediatr Surg. 2014;12(10): 357-62.
17. Shekelle PG, Woolf SH. Developpingclinicalguidelines. West J Med

1999;170(6);348-51
18. Montraver P, BlotS,etal.Theraupeuticmanagementof peritonitis :a
comprehensiveguideforintensivist. IntensiveCareMedd. 2016

19. Sartelli M, Catena F, Coccolini F. Anti microbalmanagement


offintraabdominalinfections:LiteratureguidlinesWorld J Gastroenterol:2012;18(9)

20. WH Cordell, KK Keene, BK Giles, et al. The high prevalence of pain in


emergency medical care. Am J Emerg Med 20:165-169, 2002.

Anda mungkin juga menyukai