PERITONITIS
Disusun oleh:
Pembimbing:
dr. Chrismas Gideon Bangun, Sp.An
Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
berkah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini
dengan judul “Peritonitis”.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dokter
pembimbing, dr. Asmin Lubis, Sp.An yang telah meluangkan waktunya dan
memberikan masukan dan bimbingan dalam penyusunan laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik isi maupun susunan bahasanya, untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sebagai masukan dalam penulisan
laporan kasus selanjutnya. Semoga laporan kasus ini bermanfaat, akhir kata
penulis mengucapkan terima kasih.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
1.2. Tujuan
1. Memahami alur penanganan kegawatdaruratan di Instalasi Gawat Darurat
khususnya pada kasus peritonitis
2. Memahami peran anestesi pada operasi emergensi khususnya pada kasus
peritonitis
3. Meningkatkan kemampuan penulis dalam penulisan karya ilmiah di bidang
kedokteran.
4. Memenuhi salah satu persyaratan kelulusan Kepaniteraan Klinik Senior
(KKS) di Departemen Anestesi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
1.3. Manfaat
Manfaat penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan pemahaman
mengenai aspek anestesi pada peritonitis yang berlandaskan teori sehingga
peritonitis dapat dikenali dan ditatalaksana sedini mungkin sesuai kompetensinya
pada tingkat pelayanan primer.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
3
100 cc berwarna kuning jernih. Jika terjadi cedera peritoneum, daerah defek
mesotelium akan segera ditutupi oleh mesotelium sekitarnya dan sembuh dalam
waktu 3-5 hari. Jika cedera cukup luas dan membran basalis terpapar cairan
peritoneum maka akan memacu timbulnya jaringan fibrosis sehingga timbul
adhesi yang akan mencapai maksimal 2-3 minggu setelah cedera.6
2.2. Peritonitis
2.2.1. Definisi
Peritonitis adalah radang peritoneum dengan eksudasi serum, fibrin, sel-
sel, dan pus; biasanya disertai dengan gejala nyeri abdomen dan nyeri tekan pada
abdomen, konstipasi, muntah, dan demam karena peradangan yang biasanya
disebabkan oleh infeksi pada peritoneum.1,3,7
Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri (secara
inokulasi kecil-kecilan), namun apabila terjadi kontaminasi yang terus menerus,
bakteri yang virulen, resistensi yang menurun, dan adanya benda asing atau enzim
pencerna aktif, hal tersebut merupakan faktor-faktor yang memudahkan terjadinya
peritonitis.7
2.2.2. Etiologi
Peritonitis umumnya disebabkan oleh bakteri, namun dapat juga
disebabkan oleh zat kimia (aseptik), empedu, tuberkulosis, klamidia, diinduksi
obat atau diinduksi oleh penyebab lainnya yang jarang. Peritonitis bakterial dapat
diklasifikasikan primer atau sekunder, bergantung pada apakah integritas saluran
gastrointestinal telah terganggu atau tidak.4
Peritonitis bakterial primer (Spontaneous Bacterial Peritonitis/SBP)
merupakan infeksi bakteri yang luas pada peritoneum tanpa hilangnya integritas
saluran gastrointestinal. Hal ini jarang terjadi, tetapi umumnya muncul wanita usia
remaja. 90% kasus SBP terjadi akibat infeksi monomikroba. Streptococcus
pneumoniae biasanya merupakan organisme penyebabnya. Faktor risiko yang
berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi, keganasan intra abdomen,
imunosupresi, dan splenektomi. Kelompok risiko tinggi adalah pasien dengan
4
sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus sistemik, dan sirosis
hepatis dengan asites.3,4,6,7
Peritonitis bakterial sekunder merupakan infeksi peritoneum akut yang
terjadi akibat hilangnya integritas saluran gastrointestinal. Kuman aerob dan
anaerob sering terlibat, dan kuman tersering adalah Escherichia coli dan
Bacteroides fragilis.4
Bakteri dapat menginvasi kavum peritoneum melalui empat cara: (1)
invasi langsung dari lingkungan eksternal (misalnya pada luka tusuk abdomen,
infeksi saat laparatomi); (2) translokasi dari organ dalam intra abdomen yang
rusak (misalnya pada perforasi ulkus duodenum, gangren usus yakni pada
apendisitis, trauma, atau iatrogenik pada bocornya anastomosis); (3) melalui
aliran darah dan/atau translokasi usus, misalnya pada peritonitis primer dimana
terjadi tanpa sumber infeksi yang jelas (sebagai contoh peritonitis Streptococcus
β-hemolyticus primer dan pasien post splenektomi, SBP pada pasien dengan gagal
hati dan asites); dan (4) melalui saluran reproduksi wanita (misalnya penyebaran
langsung dari lingkungan eksternal, peritonitis pneumkokus primer, salpingitis
akut, perforasi uterus akibat alat intra uterus).4
Peritonitis akibat zat kimia (aseptik) terjadi sekitar 20% dari seluruh kasus
peritonitis, dan biasanya sekunder dari perforasi ulkus duodenum atau gaster.
Peritonitis steril akan berlanjut menjadi peritonitis bakterial dalam waktu
beberapa jam akibat transmigrasi mikroorganisme (misalnya dari usus).4
Peritonitis biliaris merupakan bentuk yang jarang dari peritonitis steril dan
dapat terjadi berbagai sumber penyebab: iatrogenik (misalnya kelicinan saat
penyatuan duktus sistikus saat kolesistektomi), kolesistitis akut, trauma, dan
idiopatik.4
Bentuk peritonitis lainnya yang dapat terjadi adalah peritonitis
tuberkulosis, peritonitis klamidia, dan peritonitis akibat obat dan benda asing.4
5
2.2.3. Klasifikasi
Berdasarkan patogenesis peritonitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:17
6
- Komplikasi dari proses inflamasi organ-organ intra abdominal,
misalnya appendicitis.
3. Peritonitis tersier
- Peritonitis yang disebabkan oleh jamur
- Peritonitis yang sumber kumannya tidak dapat ditemukan.
Merupakan peritonitis yang disebabkan oleh iritan langsung, sepertii
misalnya empedu, getah lambung, getah pankreas, dan urine.
4. Peritonitis bentuk lain dari peritonitis, yaitu :
- Aseptik/steril peritonitis
- Granulomatous peritonitis
- Hiperlipidemik peritonitis
- Talkum peritonitis
2.2.4. Patofisiologi
7
Tidak seperti perikardium dan pleura yang melindungi jantung dan paru,
peritoneum mengandung lipatan-lipatan besar yang melingkupi visera. Lipatan-
lipatan tersebut mengikat organ-organ satu sama lain dan juga mengikat dinding
kavum abdomen. Lipatan-lipatan tersebut juga mengandung pembuluh darah,
saluran limfe, dan saraf-saraf yang menyuplai organ-organ pada abdomen. Ada
lima lipatan peritoneum utama, yakni omentum besar, ligamentum falsiformis,
omentum kecil, mesenterium, dan mesokolon.15
Bakteri dapat menginvasi kavum peritoneum melalui empat cara: (1) invasi
langsung dari lingkungan eksternal (misalnya pada luka tusuk abdomen, infeksi
saat laparatomi); (2) translokasi dari organ dalam intra abdomen yang rusak
(misalnya pada perforasi ulkus duodenum, gangren usus yakni pada apendisitis,
trauma, atau iatrogenik pada bocornya anastomosis); (3) melalui aliran darah
dan/atau translokasi usus, misalnya pada peritonitis primer dimana terjadi tanpa
sumber infeksi yang jelas (sebagai contoh peritonitis Streptococcus β-hemolyticus
primer dan pasien post splenektomi, SBP pada pasien dengan gagal hati dan
asites); dan (4) melalui saluran reproduksi wanita (misalnya penyebaran langsung
dari lingkungan eksternal, peritonitis pneumkokus primer, salpingitis akut,
perforasi uterus akibat alat intra uterus).4
8
anaerob dimana mereka akan menghadapi sel-sel fagosit dan komplemen pejamu.
Aktivasi komplemen merupakan kejadian awal pada peritonitis dan melibatkan
imunitas bawaan dan didapat. Aktivasi tersebut muncul terutama melalui jalur
klasik, dengan jalur alternatif dan lektin yang membantu. Surfaktan fosfolipid
yang diproduksi oleh sel mesotel peritoneum bekerja secara sinergis dengan
komplemen untuk meningkatkan opsonisasi dan fagositosis. Sel mesotel
peritoneum juga merupakan sekretor poten mediator pro-inflamasi, termasuk
interleukin-6, interleukin-8, monocyte chemoattractant protein-1, macrophage
inflammatory protein-1α, dan tumor necrosis factor-α. Oleh karena itu, sel
mesotel peritoneum memegang peranan penting pada jalur pensinyalan sel untuk
memanggil sel-sel fagosit ke kavum peritoneum dan upregulation sel mast dan
fibroblas pada submesotelium. Pada fase ketiga terjadi usaha sistem pertahanan
tubuh untuk melokalisasi infeksi, terutama melalui produksi eksudat fibrin yang
mengurung mikroba di dalam matriksnya dan mempromosikan mekanisme
efektor fagositik lokal. Eksudat fibrin tersebut juga mempromosikan
perkembangan abses. Pengaturan pembentukan dan degradasi fibrin merupakan
hal vital pada proses ini. Aktivitas pengaktifan plasminogen yang dibuat oleh sel
mesotel peritoneum menentukan apakah fibrin yang terbentuk setelah cedera
peritoneum dilisiskan atau dibentuk menjadi adhesi fibrin. Secara khusus, tumor
necrosis factor-α menstimulasi produksi plasminogen activator-inhibitor-1 oleh
sel mesotel peritoneum, yang menghambat degradasi fibrin.16
Terdapat beberapa faktor yang dapat mengakibatkan inflamasi peritoneum
yang awalnya bersifat local kemudian menjadi difus. Cepat atau lambatnya
kontaminasi peritoneum merupakan faktor utama. Jika suatu inflamasi apendiks
atau bagian usu lainnya terjadi sebelum lokalisasi muncul, maka akan terjadi
pengeluaran (efluks) isi usus ke rongga peritoneum yang pada akhirnya akan
menyebabkan penyebaran radang ke lokasi yang lebih luas. Begitu juga halnya
dengan perforasi, terputusnya anastomose antar bagian usus menyebabkan
kontaminasi rongga peritoneum yang lebih luas. Stimulasi peristaltik, misalnya
oleh karena penggunaan enema, justru akan memfasilitasi penyebaran radang.
Faktor dari individu juga terlibat, anak anak memiliki omentum yang lebih kecil,
9
memudahkan penyebaran radang, sedangkan orang tua dan pasien dengan supresi
sistem imun, justru tidak mampu menghambat penyebaran infeksi.4
10
2.2.6. Diagnosis
Diagnosis peritonitis biasanya secara klinis. Anamnesis sebaiknya
termasuk operasi abdomen yang baru saja, peristiwa sebelum peritonitis,
perjalanan anamnesis, penggunaan agen immunosuppresif, dan adanya penyakit
(contoh: inflammatory bowel disease, diverticulitis, peptic ulcer disease) yang
mungkin menjadi predisposisi untuk infeksi intra abdomen.3
Pada pemeriksaan fisik, banyak dari pasien yang mempunyai suhu tubuh
lebih dari 38oC, meskipun pasien dengan sepsis berat bisa menjadi hipotermi.
Takikardia bisa ada, sebagai hasil dari pelepasan mediator inflamasi, dan
hipovolemia intravaskular akibat muntah dan demam. Dengan dehidrasi progresif,
pasien bisa menjadi hipotensif (5-14% pasien), juga oliguria atau anuria. Dengan
peritonitis berat, akan tampak jelas syok sepsis. Syok hipovolemik dan gagal
organ multipel pun dapat terjadi.3,4
Ketika melakukan pemeriksaan abdomen pasien yang dicurigai peritonitis,
posisi pasien harus supinasi. Bantal dibawah lutut pasien bisa membuat dinding
abdominal relaksasi.3
Pada pemeriksaan abdomen, hampir semua pasien menunjukkan
tenderness pada palpasi, juga menunjukkan kekakuan dinding abdomen.
Peningkatan tonus muskular dinding abdomen mungkin volunter, respons
involunter sebab iritasi peritoneum. Abdomen sering mengembung dengan suara
usus hipoaktif atau tidak ada. Tanda gagal hepatik (contoh: jaundice, angiomata)
bisa terjadi. Pemeriksaan rektal sering meningkatkan nyeri abdomen, terutama
dengan inflamasi organ pelvik, tetapi jarang mengindikasikan diagnosis spesifik.
Massa inflamasi kenyal di kanan bawah mengindikasikan appendisitis, dan
fluktuasi dan penuh bagian anterior bisa mengindikasikan cul de sac abscess.3,7
Pada pasien wanita, penemuan pemeriksaan bimanual dan vaginal bisa
dengan penyakit inflamasi pelvik (contoh: endometriosis, salpingo-ooforitis, abses
tubo-ovarian), tetapi pada pemeriksaan sulit untuk menginterpretasikan peritonitis
berat.3
Pemeriksaan fisik lengkap penting untuk menghindari adanya gejala yang
mirip dengan peritonitis. Masalah toraks dengan iritasi diafragma (contoh:
11
empiema), ekstraperitoneal (pielonefritis, sistitis, retensi urin akut), dan dinding
abdomen (contoh: infeksi, hematoma rektus) bisa meniru tanda dan gejala pasti
dari peritonitis.3
Jadi keluhan pokok pada peritonitis adalah nyeri abdomen dan lemah.
Sedangkan tanda penting yang dapat dijumpai pada pasien peritonitis antara lain
pasien tampak ketakutan, diam atau tidak mau bergerak, perut kembung, nyeri
tekan abdomen, defans muskular, bunyi usus berkurang atau menghilang, dan
pekak hati menghilang.3
Hasil pemeriksaan laboratorium yang dapat ditemukan pada pasien
peritonitis antara lain leukositosis, peningkatan hematokrit, dan asidosis
metabolik.6
Prediktor tunggal paling baik dari SBP adalah jumlah neutrofil cairan
asites ≥ 500 sel/µL, dengan sensitivitas 86% dan spesifisitas 98%. Cairan
peritoneum seharusnya dievaluasi untuk glukosa, protein, Laktat Dehidrogenase
(LDH), jumlah sel, pewarnaan gram, dan kultur aerobik dan anaerobik. Cairan
peritoneum pada peritonitis bakterial umumnya menunjukkan pH rendah dan level
glukosa munurun dengan level LDH dan protein meningkat. Biasanya, pH cairan
asites < 7,34 adalah diagnosis SBP. SBP ditegakkan ketika jumlah PMN ≥ 250
sel/µL dengan hasil kultur bakterial positif. Keraguan menegakkan SBP jika hasil
kultur cairan asites negatif tetapi jumlah PMN ≥ 250 sel/µL.3
Pada peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior,
lateral). Pada dugaan perforasi apakah karena ulkus peptikum, pecahnya usus
buntu (apendiks) atau karena sebab lain, tanda utama radiologi: (1) posisi
supinasi, didapatkan preperitonial fat menghilang, psoas line menghilang, dan
kekaburan pada kavum abdomen; (2) posisi duduk atau berdiri, didapatkan free
air subdiafragma berbentuk bulan sabit (semilunar shadow); dan (3) posisi Left
Lateral Decubitus (LLD), didapatkan free air intra peritoneal pada daerah perut
yang paling tinggi. Letaknya antara hati dengan dinding abdomen atau antara
pelvis dengan dinding abdomen.Jadi gambaran radiologis pada peritonitis yaitu
adanya kekaburan pada kavum abdomen, preperitonial fat dan psoas line
menghilang, dan adanya udara bebas subdiafragma atau intra peritoneal.6,8
12
2.2.7. Diagnosis Banding
Pneumonia basal, infark miokardium, gastroenteritis, hepatitis, dan infeksi
saluran kemih mungkin sering salah didiagnosis dengan peritonitis. Penyebab lain
nyeri abdomen yang hebat adalah obstruksi saluran cerna, kolik ureter, dan kolik
bilier.4
2.2.8. Penatalaksanaan
Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang
yang dilakukan secara intravena, pemberian antibiotik yang sesuai, dekompresi
saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus
septik (apendiks, dsb) atau penyebab radang lainnya, bila mungkin mengalirkan
nanah keluar, dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri.
13
berkurang, apatis, gelisah, dan kadang-kadang disertai kejang. Akhirnya timbul
gejala asidosis dan renjatan dengan nadi dan jantung yang berdenyut cepat dan
lemah, tekanan darah menurun, kesadaran menurun, dan pernapasan
Kussmaul.12,13
Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan fisik, dehidrasi dapat dibagi
menjadi dehidrasi ringan, sedang, dan berat.2,12,13,14
Tabel 2.1. Klasifikasi Dehidrasi Berdasarkan Kriteria Pierce
Gejala Ringan Sedang Berat
(Def: 3-5 % BB) (Def: 6-8% BB) (Def: > 10 %BB)
Turgor Kulit Berkurang Turun Sangat Turun
Rasa Haus + + +
14
Selanjutnya diberikan terapi cairan tahap lambat yang dibagi menjadi 2 bagian,
yaitu 8 jam pertama dan 16 jam berikutnya. Pada 8 jam pertama, diberikan
setengah dari kekurangan cairan yang telah dihitung sebelumnya dikurangi cairan
yang diberikan pada tahap cepat, ditambah dengan cairan rumatan untuk 8 jam.
Untuk 16 jam berikutnya, diberikan setengah dari kekurangan cairan yang telah
dihitung sebelumnya dikurangi cairan yang diberikan pada tahap cepat, ditambah
dengan cairan rumatan untuk 16 jam. Terapi cairan pada dehidrasi derajat ringan
atau sedang langsung dimulai dengan tahap lambat seperti yang telah disebutkan
sebelumnya. Jenis cairan yang dipilih untuk terapi cairan pada pasien dengan
dehidrasi adalah kristaloid seperti Ringer Laktat, Ringer Asetat, atau NaCl 0,9%.
Kristaloid juga dipilih untuk memberikan cairan rumatan; (5) Melakukan
penilaian dari respon pasien terhadap terapi cairan yang diberikan. Apabila pasien
berespon dengan baik, diteruskan pemberian cairan rumatan. Apabila pasien tidak
berespon terhadap terapi cairan yang diberikan, dilakukan pemeriksaan lebih
lanjut untuk menemukan penyebab lain dari dehidrasi. Selain itu, kondisi ini dapat
pula diakibatkan oleh terapi cairan yang kurang adekuat, sehingga perlu dilakukan
penilaian ulang terhadap derajat dehidrasi pasien dan kebutuhan cairannya.12,13,14
15
1. Pada mulanya, langkah pertama, hendaknya menggunakan obat
analgesik non opiat.
2. Apabila masih tetap nyeri naik ke tangga/langkah kedua, yaitu
ditambahkan obat opioid lemah misalnya kodein.
3. Apabila ternyata masih belum reda atau menetap maka, sebagai langkah
ketiga, disarankan untuk menggunakan opioid keras yaitu morfin.
16
Antibiotik yang diberikan harus spektrum luas, dapat menjangkau bakteri
aerob dan anaerob, dan diberikan secara intravena. Sefalosporin generasi ketiga
dan metronidazole merupakan terapi antibiotik utama yang sering diberikan.
Untuk pasien yang menderita peritonitis yang didapat di rumah sakit (misalnya
kebocoran anastomosis) atau yang membutuhkan terapi intensif, terapi garis
kedua dengan meropenem atau kombinasi piperacilin dan tazobactam
direkomendasikan. Terapi antijamur juga sebaiknya dipertimbangkan untuk
menjangkau spesies Candida yang mungkin menginfeksi. Penggunaan antibiotik
lebih awal dan sesuai merupakan kunci untuk mengurangi mortalitas pada pasien
dengan syok septik yang berhubungan dengan peritonitis. Selain untuk
dekompresi saluran cerna, penggunaan pipa nasogastrik juga berfungsi untuk
mengurangi risiko pneumonia aspirasi.1,4
17
kolon, namun angka konversi ke laparotomi tinggi. Syok atau ileus merupakan
kontraindikasi laparoskopi.4
Penggunaan drain cenderung efektif untuk mendrainase ruang yang
terlokalisasi, namun kurang efektif bila digunakan untuk mendrainase seluruh
kavum peritoneum. Hanya sedikit bukti yang mendukung penggunaan drain
profilaksis setelah laparotomi.4
2.2.9. Prognosis
Prognosis dari peritonitis tergantung dari berapa lamanya proses peritonitis
sudah terjadi. Semakin lama orang dalam keadaan peritonitis akan mempunyai
prognosis yang makin buruk. Pembagian prognosis dapat dibagi menjadi tiga,
tergantung lamanya peritonitis: (1) kurang dari 24 jam: prognosisnya > 90 %; (2)
24 – 48 jam: prognosisnya 60 %; dan (3) lebih dari 48 jam: prognosisnya 20 %.1
Belum ada suatu tes laboratorium yang mudah dan tersedia untuk
memprediksi keparahan dan prognosis pasien peritonitis. Konsentrasi interleukin-
18 intraperitoneum dan kultur jamur berhubungan dengan prognosis yang buruk,
namun tes laboratorium ini memiliki aplikabilitas klinis yang kecil.4
2.2.10. Komplikasi
Syok septik, abses intraabdomen, dan adhesi merupakan komplikasi yang
dapat terjadi pada peritonitis. Pasien dengan syok septik membutuhkan perawatan
di ICU. Sepsis abdomen membawa mortalitas 30-60%. Keluaran dari sepsis
abdomen biasanya buruk meskipun telah dirawat di ICU. Faktor-faktor yang
berhubungan dengan risiko mortalitas antara lain usia, skor APACHE II (skor
prognostik), syok septik, penyakit kronik, jenis kelamin wanita, sepsis yang
berasal dari saluran cerna atas, dan kegagalan mengatasi sumber sepsis. Adhesi
dapat menyebabkan obstruksi saluran cerna atau volvulus.4
18
BAB 3
STATUS PASIEN
3.2 Anamnesis
KU : Nyeri seluruh lapangan perut
Telaah : Hal ini dialami sejak ± 7 hari sebelum masuk rumah sakit dan
memberat dalam 1 hari ini. Awalnya nyeri dirasakan di daerah ulu hati
kemudian berpindah ke perut kanan bawah, dan kemudian nyeri dirasakan
di seluruh lapangan perut. Nyeri dirasakan terus menerus dan memberat
dengan perubahan posisi. Nyeri terasa seperti di tusuk-tusuk. Nyeri tekan
dijumpai. Demam dijumpai sejak ± 7 hari sebelum masuk rumah sakit dan
demam semakin tinggi 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Riwayat mual
dijumpai. Riwayat muntah tidak dijumpai. BAB tidak dijumpai sejak 3
hari sebelum masuk rumah sakit. BAK (+) normal. Riwayat trauma
abdomen tidak dijumpai. Pasien sudah pernah berobat ke RS. G.L. Tobing
dan didiagnosis dengan peritonitis kemudian dirujuk ke RSUP H.Adam
Malik Medan.
RPT : Tidak jelas
RPO : Tidak jelas
19
Kronologis Waktu Kejadian (Time Sequence)
20
3.3 Pemeriksaan Fisik di IGD RSUP HAM (08 Agustus 2017)
Primary Survey
A (Airway)
Clear
Snoring (-) / Gargling (-) / Crowing (-)
C-Spine stabil
B (Breathing)
Inspeksi
Nafas spontan, pergerakan thoraks kiri dan kanan simetris, tidak terlihat
ketinggalan bernafas, retraksi (-)
Palpasi
Stem fremitus kanan = kiri
Perkusi
Sonor pada lapangan paru
Auskultasi
SP: vesikuler pada kedua lapangan paru; ST: -
RR: 24 x/menit
SaO2: 99%
C (Circulation)
TD: 110/70 mmHg
HR: 88x/menit, reguler, t/v: lemah
Akral Hangat/Merah/Kering, CRT < 2 detik
Perdarahan: tidak ada
D (Disability)
Kesadaran: CM
AVPU: Pain
Pupil:isokor, Ø: 3 mm / 3 mm, RC (+/+)
E (Exposure)
Temperatur: 38ºC
Fraktur (-)
Edema (-)
Deformitas (-)
21
Secondary Survey
B1 : Airway clear, RR: 20 x/i, SP: vesikuler/vesikuler, ST: -/- , S/G/C :
-/-/-, Riwayat asma/sesak/batuk/alergi : -/-/-/-, SpO2 : 99%
B2 : Akral: Hangat/Merah/Kering, TD: 110/70 mmHg, HR: 90
x/menit, reg, T/V: cukup, CRT: < 2 detik, temp: 38,2°C
B3 : Sens: Compos Mentis, GCS: E4V5M6, pupil isokor, ø
3mm/3mm, RC +/+
B4 : UOP (+) vol: ± 60cc/jam, warna: kuning jernih, terpasang kateter
urine
B5 : Abdomen: distensi (+), peristaltik (+) lemah, defens muscular (+)
B6 : Edema (-), fraktur (-)
3.4 Riwayat
Allergies : Tidak ada
Medication : Tidak ada
Past Illness : Tidak ada
Last Meal : 12.30 WIB (08/08/2017)
Event : Pasien mengalami nyeri di seluruh lapangan perut disertai
demam tinggi
22
3.6 Tata Laksana di IGD
Bed rest
Beri oksigen 2-4 L/i via nasal canul
Pasang NGT
Pasang kateter urine untuk memantau urine output
Memasang IV line ukuran 18 G dan threeway serta pastikan lancar
Loading RL 20 gtt/i
Injeksi Ceftriaxone 1 gr/12 jam/iv (skin test dahulu)
Drip Metronidazole 500 mg/8 jam/iv
Drip Paracetamol 1000 mg/8 jam/iv
Injeksi Ranitidin 50 mg/12 jam/iv
Pemeriksaan laboratorium (DL, GD ad random, RFT, Elektrolit), Foto
Thorax, Foto Abdomen
Informed consent untuk operasi
Pasien dipuasakan
HITUNG JENIS
Neutrofil 91,30% 50 – 70%
Limfosit 4,90% 20 – 40%
Monosit 3,60% 2 – 8%
Eosinofil 0,00% 1 – 3%
23
Basofil 0,20% 0 – 1%
ELEKTROLIT
Natrium (Na) 131 mEq/L 135 – 155 mEq/L
Kalium (K) 4,4 mEq/L 3,6 – 5,5 mEq/L
Klorida (Cl) 102 mEq/L 96 – 106 mEq/L
METABOLISME KARBOHIDRAT
GINJAL
BUN 10 mg/dL 8 – 26mg/dL
Ureum 21 mg/ dL 18 – 56mg/dL
Kreatinin 0,70 mg/dL 0,7 – 1,3mg/Dl
24
3.7.2 Foto thorax (08/08/2017)
Kesimpulan Radiologis:
Tidak tampak kelainan pada cor dan pulmo
25
3.8 Diagnosis: Diffuse peritonitis d/t hollow organ perforation
Tindakan : Laparatomi explorasi
PS-ASA : 3E
Teknik anestesi : GA-ETT
Posisi : Supine
3.9 Rencana
Laparatomi explorasi di Kamar Bedah Emergensi IGD
26
3.12 Durante Operasi
Lama operasi: 2 jam 30 menit (150 menit)
TD: 108-122 / 66-81 mmHg
HR: 62 – 84 x/menit
SpO2: 99 – 100%
Pendarahan: 150 mL
Penguapan = 6 cc x 70kg = 420 cc/jam
UOP: 50 cc/jam, warna urin kuning jernih
Cairan:
o Pre-op: RL 500 mL
o Durante op: RL1.500 mL
27
• Rencana pemeriksaan Darah Rutin, KGD ad random, Elektrolit, RFT post
operasi
• Monitoring kesadaran, RR, HR, TD, SpO2, UOP post operasi
28
BAB 4
DISKUSI KASUS
No Teori Kasus
29
dirujuk ke RSUP H.Adam Malik
Medan.
30
posisi) - Tampak pelebaran usus.
Pada dugaan perforasi tanda - Tidak tampak air fluid level.
utama radiologi yaitu: Kesimpulan Radiologis :Perforasi
1. posisi supinasi,
didapatkan
preperitonial fat
menghilang, psoas
line menghilang, dan
kekaburan pada
kavum abdomen
2. posisi duduk atau
berdiri, didapatkan
free air subdiafragma
berbentuk bulan sabit
(semilunar shadow)
3. Posisi Left Lateral
Decubitus (LLD),
didapatkan free air
intra peritoneal pada
daerah perut yang
paling tinggi.
4 Penatalaksanaan Bed rest
Prinsip umum terapi adalah Beri oksigen 2-4 L/i via nasal
penggantian cairan dan canul
elektrolit yang hilang yang Pasang NGT
dilakukan secara intravena, Pasang kateter urine untuk
pemberian antibiotik yang memantau urine output
sesuai, dekompresi saluran Memasang IV line ukuran 18
cerna dengan penghisapan G dan threeway serta pastikan
nasogastrik dan intestinal, lancar
pembuangan fokus septik
31
(apendiks, dsb) atau Loading IVFD NaCl 0,9% 8
penyebab radang lainnya, flash (rehidrasi untuk 8 jam
bila mungkin mengalirkan pertama)
nanah keluar, dan tindakan- Injeksi Ceftriaxone 1 gr/12
tindakan menghilangkan jam/iv (skin test dahulu)
nyeri. Drip Metronidazole 500 mg/8
jam/iv
Drip Paracetamol 1000 mg/8
jam/iv
Injeksi Ranitidin 50 mg/12
jam/iv
Pemeriksaan laboratorium,
Foto Thorax, Foto Abdomen
Informed consent untuk
operasi
Pasien dipuasakan
32
BAB 5
KESIMPULAN
33
34
DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsuhidajat, R., Dahlan, Murnizal, dan Jusi, Djang. Buku Ajar Ilmu Bedah
Edisi 3. Jakarta: EGC, 2011; Gawat Abdomen.
2. James, David. Anaesthetic Assessment of Patients with Gastrointestinal
Problems. Anaesthesia and Intensive Care Medicine 2009; 10 (7): 318-322.
3. Arief, M., Suprohaita, Wahyu, I.K., and Wieiek, S. Kapita Selekta Kedokteran
Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius FKUI, 2000; Bedah Digestif.
4. William S Norman, et al. Bailey and Love’s Short Practice of Surgery. 26th Edition.
2013. UK: CRC Press.
35
15. Tortora, Gerard J and Derrickson, Bryan. Principles of Anatomy and Physiology 12 th
Edition. USA: John Wiley & Sons, 2009, Chapter 24; The Digestive System
16. Skipworth, R.J.E and Fearon, K.C.H. Acute Abdomen: Peritonitis. Surgery 2007; 26
(3): 98-101.
17. Schrock. TR. 2000. Peritonitis dan Massa Abdominal dalam Ilmu Bedah,
Ed.7. alih bahasa dr. Petrus Lukmato, Jakarta: EGC.
36