Anda di halaman 1dari 29

Laporan Kasus

ABSES COLLI

Oleh:
Pratiwi Karolina, S.Ked 04052822022023
Mita Al Maida, S.Ked 04054822022194
Rifka Purnama Sari, S.Ked 04054822022122

Pembimbing:
dr. Harun Hudari, SpPD,K-PTI

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RUMAH SAKIT DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah S.W.T. atas karunia-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul ”Abses Colli”.
Laporan kasus ini merupakan salah satu syarat Kepaniteraan Klinik di
Bagian/Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUP DR. Moh. Hoesin Palembang
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Harun Hudari, SpPD, K-PTI,
selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penulisan dan
penyusunan laporan kasus ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan
kasus ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat penulis
harapkan. Semoga laporan ini dapat memberi manfaat bagi pembaca.

Palembang, April 2021

Penulis

2
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

ABSES COLLI

Oleh :

Pratiwi Karolina
Mita Al Maida
Rifka Purnama Sari

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Bagian/Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang.

Palembang, April 2021

dr.Harun Hudari, SpPD, K-PTI

3
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
HALAMAN PENGESAHAN iii
DAFTAR ISI iv
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II LAPORAN KASUS 2
BAB III TINJAUAN PUSTAKA 15
BAB IV ANALISIS KASUS................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA 25

4
1

BAB I
PENDAHULUAN

Abses leher dalam didefinisikan sebagai kumpulan nanah setempat yang


terbentuk dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam akibat dari kerusakan
jaringan yang merupakan penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi,
mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher. Pada saat ini infeksi
tonsil merupakan penyebab utama pada anak-anak, sedangkan pada orang dewasa
infeksi terutama bersumber dari gigi atau odontogenik.1
Abses di ruang submandibula adalah salah satu abses leher dalam yang
sering ditemukan. Ruang submandibula merupakan suatu ruang potensial pada
leher yang terdiri dari ruang sublingual dan submaksila yang dipisahkan oleh otot
milohioid. Selain disebabkan oleh infeksi gigi, infeksi di ruang submandibula bisa
disebabkan oleh sialadenitis kelenjar submandibula, limfadenitis, trauma atau
pembedahan dan bisa juga sebagai kelanjutan infeksi ruang leher dalam lain.
Penyebab infeksi dapat disebabkan oleh kuman aerob, anaerob atau campuran.
Infeksi di ruang submandibula biasanya ditandai dengan pembengkakan di bawah
rahang, baik unilateral atau bilateral.2
Dalam beberapa abad terakhir, diagnosis dan pengobatan infeksi leher
dalam merupakan suatu tantangan baik bagi dokter maupun ahli bedah.
Disamping struktur yang kompleks dan lokasi yang dalam pada region leher,
menyebabkan diagnosis dan pengobatan cukup sulit. Infeksi ini merupakan
masalah kesehatan dengan morbiditas dan mortalitas yang cukup signifikan.
Meskipun penggunaan antibiotik telah menurunkan angka kematian akibat abses
leher dalam namun abses leher dalam masih merupakan masalah yang serius dan
menimbulkan komplikasi yang dapat mengancam nyawa. Diagnosis yang
terlambat atau misdiagnosis dapat mengakibatkan keterlambatan
penatalaksanaan yang dapat menimbulkan kematian.3
2

BAB II
STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
a. Nama : Ny. SBS
b Tanggal Lahir : 25 Mei 1960
c Umur : 60 tahun
d Jenis Kelamin : Perempuan
e Alamat : Desa Sumber Mufakat, Sumut
f Pekerjaan : Petani
g Agama : Islam
h Bangsa : Indonesia
i Suku Bangsa : Sumatera
j MRS : 6 April 2021
k No. RM : 00011xx

A. ANAMNESIS (Autoanamnesis dan Alloanamnesis pada tanggal 21 April


2021)
Keluhan utama: Pasien datang dengan keluhan benjolan leher sebelah kiri yang
semakin nyeri sejak 1 hari SMRS

Riwayat penyakit sekarang:


± 1 bulan SMRS, pasien mengatakan muncul benjolan pada leher sebelah
kiri sebesar ujung jari jempol dengan konsistensi kenyal, dapat digerakkan, nyeri
tidak ada, tidak berbau dan berwarna sama dengan kulit sekitar, demam tidak ada,
batuk tidak ada, sakit tenggorokan tidak ada, sakit pada gigi (-), gigi bolong(+),
sakit telinga dan keluar cairan dari telinga tidak ada. Batuk, pilek tidak ada,
pasien belum berobat.
±2 minggu SMRS benjolan semakin membesar, dengan ukuran jempol jari
kaki berbentuk lonjong, konsistensi kenyal, dapat digerakkan, warna sama dengan
3

kulit sekitar dan mulai terasa nyeri. Demam ada, batuk tidak ada, sakit
tenggorokan tidak ada, riwayat gigitan serangga sebelumnya tidak ada, alergi
tidak ada.
±4 hari SMSR, benjolan seukuran ibu jari jempol kaki dirasakan semakin
nyeri, demam ada, hilang timbul, pasien tidak mengukur suhu tubuh sebelumnya.
Mual ada, muntah tidak ada, badan dirasakan lemas, nafsu makan menurun ada,
penurunan berat badan ada. Pasien datang berobat ke RS Bhayangkara dan
dirawat inap selama 3 hari dan dilakukan pemeriksaan (pasien lupa nama
pemeriksaannya), diduga mengalami tumor jinak, lalu pasien kemudian dirujuk ke
RSMH untuk dilakukan tindak lanjut.

Riwayat penyakit dahulu:


Riwayat kencing manis disangkal
Riwayat keganasan disangkal
Riwayat tekanan darah tinggi disangkal
Riwayat alergi disangkal
Riwayat asma disangkal
Riwayat batuk lama disangkal
Riwayat infeksi telinga disangkal
Riwayat gigi berlobang ada

Riwayat pengobatan:
Pasien belum berobat sebelumnya
Pasien diberi obat dari RS Bahyangkara namun lupa nama obatnya

Riwayat penyakit dalam keluarga:


Riwayat keluhan yang sama dalam keluarga disangkal.
Riwayat darah tinggi dan kencing manis dalam keluarga disangkal.
Riwayat keganasan dalam keluarga disangkal.
Riwayat benjolan dalam keluarga disangkal.
4

Riwayat sosial ekonomi dan kebiasaan:


Riwayat sosial ekonomi menengah kebawah
Riwayat sering makan sayur mentah ada
Riwayat perokok pasif ada dari menantu sejak 1 tahun SMRS
Riwayat minum minuman keras disangkal
Higienitas dan perawatan diri kurang

B. PEMERIKSAAN FISIK (Tanggal 21 April 2021)


1. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
a. Sensorium : Compos mentis
b. Tekanan darah : 110/80mmHg
c. Heart rate : 80 kali/menit
d. Respiratory rate : 20 kali/menit
e. Temperature : 36,8oC
f. Berat badan : 53 kg
g. Tinggi badan : 150 cm
h. IMT : 23, 5 kg/m2
i. Status gizi : Normoweight
j. VAS : 8 / 10

2. Keadaan Spesifik
a. Kepala
Normosefali, deformitas (-), warna rambut hitam dan sebagian beruban
, tidak mudah dicabut, alopesia (-)

b. Mata
Edema palpebra (-), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil
bulat isokor, refleks cahaya (+/+), penurunan ketajaman penglihatan
(-), lensa keruh (-)
c. Hidung
5

Tampak luar tidak ada kelainan, septum deviasi (-), sekret (-),
epistaksis (-)
d. Mulut
Bibir pucat (-), kering (-), sianosis (-), sariawan (-), glositis (-), gusi
berdarah (-), lidah berselaput (-), atrofi papil lidah (-), tonsil T1/T1,
faring hiperemis (-)
e. Telinga
Tampak luar tidak ada kelainan, keluar cairan telinga (-), sekret (-),
nyeri tekan mastoid (-)
f. Leher
JVP (5-2) cmH2O, pembesaran KGB region colli sinistra, belum dapat
dinilai (-), KGB region colli dextra (-), pembesaran kelenjar tiroid (-)
Tampak abses soliter di regio colli sinistra, berbentuk lonjong dengan
ukuran numular berbatas tegas, dengan isi pus berwarna putih
kekuningan berbau.

g. Thoraks : Simetris, venektasi (-), retraksi (-), scar (-)


Paru
● Inspeksi : Statis dan dinamis simetris kanan = kiri
● Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri, nyeri tekan (-)
● Perkusi : Sonor di kedua lapang paru, nyeri ketok (-)
● Auskultasi : Vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Jantung
● Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
● Palpasi : Iktus cordis tidak teraba
● Perkusi : Batas jantung atas ICS II linea strenalis sinistra
Batas jantung kanan ICS IV linea sternalis dekstra
Batas jantung kiri ICS V linea midclavikula
sinistra
● Auskultasi : HR = 80 x/menit, reguler, BJ I-II normal, murmur
(-), gallop (-)
6

h. Abdomen
Inspeksi : Datar, lemas
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani (+), shifting dullness (-),nyeri ketok CVA
(-/-)
Palpasi : Lemas, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba,
ballotement test (-/-)
Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan
i. Ekstremitas : Akral hangat, pucat (-), edema pretibial (-), CRT
<2 detik, nyeri (-), pitting edema (-).

3. Pemeriksaan Laboratorium
Hasil Pemeriksaan Laboratorium (4 Januari 2021)
Jenis Pemeriksaan Hasil Unit Nilai Normal
Hematologi
Hemoglobin 11,7 g/dL 11,40-15,00
Leukosit (WBC) 11,7 103/mm3 4,73 – 10,89
Eritrosit (RBC) 4,53 106/mm3 4,00 – 5,70
Hematokrit 35 % 35-45
Trombosit (PLT) 458 103/uL 189-436
MCV 76,4 fL 85-95
MCH 26 Pg 28-32
MCHC 34 g/dL 33-35
RDW 17,8 % 11-15
Hitung Jenis: 0/1/76/12/11 % 0-1/1-6/50-
Basofil/Eosinofil/Netr 70/20-40/2-8
ofil/Limfosit/Monosit
Metabolisme Karbohidrat
Glukosa Sewaktu 86 mg/dL <200
Hati
AST/SGOT 28 U/L 0-32
ALT/SGPT 27 U/L 0-31
Kimia Klinik
Kalsium (Ca) 8,3 Mg/dL 8,4 – 9,7
Ginjal
Ureum 43 Mg/dL 16,6 - 48,5
7

Kreatinin 1,91 Mg/dL 0,50 - 0,90


Elektrolit
Natrium (Na) 140 mEq/L 135 - 155
Kalium (K) 3,7 mEq/L 3,5-5,5

4. Pemeriksaan Radiologis
Foto thoraks (9-03-2021)
8

Kesan: tidak terdapat kelainan pada foto thoraks.

CT Scan Nasofaring (17-03-2021)

Kesan: Massa/pembesaran KGB regio colli sinistra dan dextra, disertai


area central necroric suspek limfoma

Pemeriksaan Kultur dan Resistensi MO PUS


Kesan : terdapat kuman gram (+) Klebsiella penumoniae
9

Resistensi : Cephazolin, ampisilin, ceftriaxone, ampsiilin/sulbactam

5. Diagnosis Kerja
- Abses Regio Colli Sinistra ec suspect bakteri

6. Diagnosis Banding
Abses Regio Colli Sinistra ec suspect jamur actinomysces??
Neopalsama regio colli
Limfadenitis

7. Tatalaksana
- Non-Farmakologi
- Tirah baring
- Edukasi mengenai penyakit, tatalaksana dan prognosis kepada
pasien dan keluarga
- Edukasi perawatan luka dan diet
- Perawatan Luka
- Farmakologi
- Rehidrasi cairan NaCl 0,9% gtt XX/ menit
- Meropenem 3x1gr
- Paracetamol 500mg (jika demam)

8. Rencana Pemeriksaan
- Biopsi

9. Prognosis
a. Quo ad vitam : bonam
b. Quo ad functionam : bonam
c. Quo ad sanationam : bonam
10

10. Follow Up
FU (20 April 2021)
S: Nyeri di leher (+)
O:
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Sensorium : Compos mentis
Tekanan darah : 120/80mmHg
Heart rate : 80 kali/menit
Respiratory rate : 20 kali/menit, reguler
Temperature : 36,5oC
Berat badan : kg
Tinggi badan : cm
IMT : kg/m2
Status gizi :
VAS : 5 / 10
Status Lokalis
Kepala
Normosefali, deformitas (-), warna rambut hitam, tidak mudah dicabut,
alopesia (-)
Mata
Edema palpebra (-), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil
bulat isokor, refleks cahaya (+/+), penurunan ketajaman penglihatan (-),
lensa keruh (-)
Hidung
Tampak luar tidak ada kelainan, septum deviasi (-), sekret (-), epistaksis
(-)
Mulut
Bibir pucat (-), kering (-), sianosis (-), sariawan (-), glositis (-), gusi
berdarah (-), lidah berselaput (-), atrofi papil lidah (-), tonsil T1/T1, faring
11

hiperemis (-)
Telinga
Tampak luar tidak ada kelainan, keluar cairan telinga (-), sekret (-), nyeri
tekan mastoid (-)
Leher
JVP (5-2) cmH2O
Thoraks : Simetris, venektasi (-), retraksi (-), scar (-)
Paru
Inspeksi : Statis dan dinamis simetris kanan = kiri
Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri, nyeri tekan (-)
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru, nyeri ketok (-)
Auskultasi : Vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung atas ICS II sinistra
Batas jantung kanan linea sternalis dekstra
Batas jantung kiri ICS V linea midclavikula sinistra
Auskultasi : HR = 86 x/menit, reguler, BJ I-II normal, murmur (-),
gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani (+), shifting dullness (-), nyeri ketok CVA (-/-)
Palpasi : Lemas, lien tidak teraba, nyeri tekan (-), ballotement test (-/-)
Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas : Akral hangat, pucat (-), edema pretibial (-), CRT <2 detik,
nyeri (-), pitting edema (-).

A:
- Abses regio colli sinistra
12

P:
Non-Farmakologi
- Edukasi mengenai penyakit, tatalaksana dan prognosis
kepada pasien dan keluarga
- FU hasil kultur pus
Farmakologi
- Meropenem 3 x 1 mg
- Antibiotik optional

FU (21 April 2021)


S: Nyeri di leher (+)
O:
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Sensorium : Compos mentis
Tekanan darah : 120/80mmHg
Heart rate : 80 kali/menit
Respiratory rate : 20 kali/menit, reguler
Temperature : 36,5oC
Berat badan : kg
Tinggi badan : cm
IMT : kg/m2
Status gizi :
VAS : 5 / 10
Status Lokalis
Kepala
Normosefali, deformitas (-), warna rambut hitam, tidak mudah dicabut,
alopesia (-)
Mata
Edema palpebra (-), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil
bulat isokor, refleks cahaya (+/+), penurunan ketajaman penglihatan (-),
lensa keruh (-)
13

Hidung
Tampak luar tidak ada kelainan, septum deviasi (-), sekret (-), epistaksis
(-)
Mulut
Bibir pucat (-), kering (-), sianosis (-), sariawan (-), glositis (-), gusi
berdarah (-), lidah berselaput (-), atrofi papil lidah (-), tonsil T1/T1, faring
hiperemis (-)
Telinga
Tampak luar tidak ada kelainan, keluar cairan telinga (-), sekret (-), nyeri
tekan mastoid (-)
Leher
JVP (5-2) cmH2O
Thoraks : Simetris, venektasi (-), retraksi (-), scar (-)
Paru
Inspeksi : Statis dan dinamis simetris kanan = kiri
Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri, nyeri tekan (-)
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru, nyeri ketok (-)
Auskultasi : Vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas jantung atas ICS II sinistra
Batas jantung kanan linea sternalis dekstra
Batas jantung kiri ICS V linea midclavikula sinistra
Auskultasi : HR = 86 x/menit, reguler, BJ I-II normal, murmur (-),
gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani (+), shifting dullness (-), nyeri ketok CVA (-/-)
Palpasi : Lemas, nyeri (+) hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-),
14

ballotement test (-/-)


Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas : Akral hangat, pucat (-), edema pretibial (-), CRT <2 detik,
nyeri (-), pitting edema (-).

A:
- Abses regio colli sinistra
P:
Non-Farmakologi
- Edukasi mengenai penyakit, tatalaksana dan prognosis
kepada pasien dan keluarga
- FU hasil kultur pus
Farmakologi
- Meropenem 3 x 1 mg
- Antibiotik optional
- Konsul hematoonkologi
15

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Abses leher dalam adalah kumpulan nanah yang terkumpul di dalam satu
atau lebih ruang yang dibentuk oleh fasia leher. Abses leher dalam dapat
disebabkan oleh kerusakan jaringan akibat infeksi pada gigi, mulut, tenggorok,
hidung, dan struktur lain disekitarnya. 1 Berbagai ruang dapat menjadi tempat
terjadinya abses leher dalam diantaranya ruang submandibula, peritonsil,
parafaring, retrofaring, submental, parotid, viseral anterior, karotid, dan masseter.

3.2 Etiologi
Sebelum ditemukannya antibiotik, tonsilitis dan faringitis adalah penyebab
paling sering dari infeksi rongga leher dalam. Tonsilitis tetap menjadi penyebab
paling umum dari infeksi ruang leher dalam pada anak-anak, tetapi pada orang
dewasa, asal odontogenik adalah yang paling umum. Penyebab lain termasuk
prosedur bedah mulut, infeksi atau obstruksi kelenjar ludah, trauma pada rongga
mulut atau faring, instrumentasi, aspirasi benda asing, penggunaan obat intravena,
limfadenitis serviks / nanah kelenjar getah bening atau massa ganas, kelainan
celah cabang, kista saluran tiroglosus, dan lain-lain.2

3.3 Epidemiologi
Abses leher dalam terjadi oleh karena bermacam penyebab dan dalam
karakteristik pasien tertentu angka kejadian abses leher dalam lebih tinggi.
Penelitian mengenai prevalensi abses leher dalam yang dilakukan di RSUP dr.
Mohammad Hoesin periode 1 Januari 2012 – 31 Desember 2015. Dari hasil
penelitian ini, didapatkan dari 26 kasus yang diteliti, pasien abses leher dalam
paling banyak (65,4%) adalah laki-laki, (26,9%) 20-29 tahun, dengan tiga gejala
klinik terbanyak (80,8%)adalah bengkak, (73,1%)odinofagia, dan(69,2%) demam.
Abses leher dalam paling banyak(46,2%) terjadi di ruang submandibula
dan (69,2%)disebabkan oleh infeksi odontogenik. Jarang dilakukan (15,3%)kultur
pada abses leher dalam dengan hasil kultur paling banyak(75%) adalah Klabsiella
16

pneumoniae. 23,1% kasus terdapat penyakit diabetes melitus dan tidak ada yang
memiliki penyakit immunodefisiensi.Abses leher dalam paling banyak ditemukan
pada laki-laki, usia 20-29 tahun, dengan gejala bengkak, demam, dan odinofagia,
terjadi di ruang submandibula dan disebabkan oleh infeksi odontogenik.
Parhischar dkk mendapatkan dari 210 abses leher dalam, 175 (83,3%)
kasus dapat diidentifikasi penyebabnya. Penyebab terbanyak infeksi gigi 43%. 3

3.4 Patogenesis
Ada berbagai jalur infeksi potensial di leher. Infeksi rongga mulut /
wajah / leher superfisial dapat menyebar melalui sistem limfatik ke jaringan dalam
leher. Limfadenopati dapat menyebabkan supurasi dan kemudian pembentukan
abses fokal. Komunikasi langsung antar jaringan di leher dapat terjadi. Akhirnya,
trauma tembus dapat menyebabkan infeksi pada jaringan dalam. Setelah
penyebaran infeksi, baik peradangan lokal atau phlegmon dapat berkembang, atau
abses fulminan dapat terbentuk dengan kumpulan cairan bernanah. Tanda-tanda
abses leher pada jaringan dalam dapat diakibatkan oleh efek massa jaringan yang
meradang atau abses pada struktur sekitarnya atau dari keterlibatan langsung
struktur tersebut dengan infeksi. Contoh berbagai jenis penyebaran termasuk yang
berikut:
1. Infeksi ruang faring lateral dapat menyebar ke selubung karotis,
menyebabkan trombosis vena jugularis internal, yang dapat menyebabkan
endokarditis bakteri subakut atau penyakit tromboemboli lainnya.
2. Infeksi ruang faring lateral dapat menyebabkan edema yang luas yang
menyebabkan gangguan pernapasan
3. Tonsilitis dapat menyebabkan abses peritonsillar, yang dapat
menyebabkan infeksi faring lateral / posterior yang kemudian dapat
menyebar ke dada jika tidak diobati.
Ini dapat menyebabkan mediastinitis atau empiema. Abses leher dapat
berupa infeksi peritonsillar, infeksi retropharyngeal, infeksi submandibular,
infeksi bukal, infeksi parapharyngeal space, dan infeksi canine space.
Mediastinum retropharyngeal, retroesophageal, dan posterior semuanya
17

merupakan ruang kontinyu untuk penyebaran infeksi. Organisme yang terlibat


dalam infeksi leher dalam termasuk aerob dan anaerob, seringkali dengan
dominasi flora mulut. Organisme yang sering dibudidayakan termasuk
Streptococcus, Bacteroides, Staphylococcus, Peptostreptococcis, Pseudomonas, E
coli dan H. influenzae.4

3.5 Patofisiologi

Abses adalah kumpulan kumpulan cairan purulent atau pus yang terletak
dalam satu kantung yang terbentuk dalam jaringan yang disebabkan oleh suatu
proses infeksi oleh bakteri, parasit atau benda asing lainnya. Abses merupakan
reaksi pertahanan yang bertujuan mencegah agen-agen infeksi menyebar ke
bagian tubuh lainnya. Pus itu sendiri merupakan suatu kumpulan sel-sel jaringan
lokal yang mati, sel-sel darah putih, organisme penyebab infeksi atau benda-benda
asing dan racun yang dihasilkan oleh organisme dan sel-sel darah.1,2

Proses terbentuknya abses dimulai di sekitar fokus bakteri. Asal agen yang
dapat menginfeksi sangat bervariasi misalnya luka tusuk pada kulit, penyebaran
hematogen dari infeksi primer, perforasi saluran gastrointestinal dll. Saat adanya
agen inflmasi maka akan terbentuk respon inflamasi. 1

Gambar 1. Respon inflamasi akut dan kronik


18

Saat terjadinya inflamasi maka neutrophil akan bergerak ke area infeksi


oleh agen kemotaktik yang merupakan pertahanan tubuh dalam melawan infeksi.
Terjadi perlawanan terhadap agen infeksi atau benda asing yang dapat
menyebabkan kematian neutrophil sehingga terjadinya pelepasan produk enzim
proteolitik.2,3.

Sebagian sel yang mati dan hancur, meninggalkan rongga yang berisi
jaringan dan sel-sel yang terinfeksi. Sel-sel darah putih yang merupakan
pertahanan tubuh dalam melawan infeksi, bergerak kedalam rongga tersebut dan
setelah melakukan fagositosis terhadap bakteri maka sel darah putih akan mati.
Sel darah putih yang mati inilah yang membentuk pus dan mengisi rongga
tersebut. Di dalam rongga abses, kerusakan sel dan proteolisis produk
menyebabkan produksi lebih banyak faktor kemotaktik. Akibatnya, lebih banyak
neutrofil dan makrofag yang masuk ke pusat abses di mana nekrosis liquefaktif
terjadi. Setelah bakteri mencapai konsentrasi maksimal di dalam nanah -
bergantung pada bakteri individu - mereka tidak lagi berkembang biak.2,3

Trombosit diaktifkan dan akan merangsang fibroblas dan pembuluh darah.


Fibrin dan kolagen diletakkan di pinggiran dan terjadi angiogensis; lapisan
berserat vaskular ini, kaya akan sel-sel seperti polimorf dan monosit, disebut
membran piogenik. Membran piogenik secara fisik menghambat perkembangan
bakteri.1,3,4

3.6 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan


pemeriksaan penunjang. Gejala yang paling umum adalah demam, nyeri dan
pembengkakan di leher pada satu atau kedua sisi yang dirasakan nyeri. Gejala lain
yang dapat timbul adalah perubahan suara, odinofagia dan disfagia. Pada
anamnesis perlu ditanyakan riwayat sakit gigi, faktor predisposisi seperti diabetes
melitus, higiene orodental, imunodefisiensi,trauma, riwayat penyalahgunaan obat
dan terapi yang telah diberikan kepada pasien. Gejala dapat bervariasi tergantung
dari progresivitas penyakit. 5,6
19

Abses leher dalam yang berat dapat menimbulkan gejala lain yang
merupakan manifestasi dari komplikasi abses leher dalam seperti gangguan jalan
napas, syok septik dan mediastinitis. 4

Pada pemeriksaan fisik infeksi di leher biasanya ditandai dengan


pembengkakan pada leher, atau adanya benjolan baik unilateral atau bilateral yang
nyeri tekan, hiperemi dan berfluktuasi. Saat dilakukan aspirasi terhadap benjolan
atau pembengkakan akan terdapat adanya pus. . 4,5

Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan lekositosis. Pemeriksaan


glukosa darah diperlukan untuk mencari faktor predisposisi. Pemeriksaan
elektrolit darah diperlukan untuk menilai keseimbangan elektrolit yang mungkin
terjadi akibat gangguan asupan cairan dan nutrisi. Pada abses leher dalam harus
dilakukan pemeriksaan kultur bakteri dan uji sensitivitas terhadap antibiotika.
Aspirasi pus untuk kultur dan uji sensitivitas harus dilakukan sebelum pemberian
antibiotika secara empiris. Sedapat mungkin dilakukan kultur aerob dan anaerob.
4,6

Pemeriksaan foto polos jaringan lunak leher posisi anteroposterior dan


lateral dapat digunakan untuk mendiagnosa adanya proses infeksi di ruang leher
dalam dengan adanya udara di daerah subkutan, adanya pembengkakan, gambaran
cairan di daerah jaringan lunak serta adanya penyempitan di saluran nafas akibat
pendorongan trakea. Jika hasil pemeriksaan foto polos jaringan lunak
menunjukkan kecurigaan abses leher dalam, maka idealnya dilakukan
pemeriksaan Computed Tomography scan atau CT scan dengan kontras yang
merupakan standar untuk evaluasi infeksi leher dalam. Pemeriksaan ini dapat
menentukan lokasi dan perluasan abses, adanya pelebaran mediastinum akibat
mediastinitis, adanya edema paru serta pneumomediastinum akibat
komplikasi.Pada CT scan dengan kontras akan terlihat abses berupa daerah
hipodens yang berkapsul, dapat disertai udara di dalamnya, dan edema jaringan
sekitarnya. CT scan memiliki sensitifitas 90% dan spesifisitas 60%.5,6,7
20

Pemeriksaan penunjang lainnya adalah Magnetic Resonance Imaging atau


MRI yang dapat mengetahui lokasi abses, perluasan dan sumber infeksi,
sedangkan Ultrasonografi atau USG adalah pemeriksaan penunjang diagnostik
yang tidak invasif dan relatif lebih murah dibandingkan CT scan serta dapat
menilai lokasi dan perluasan abses.5,7

3.7 Diagnosis Banding4,7

 Limfadenitis
 Abses submaseter
 Abses bukal
 Sialodenitis
 Neoplasma di daerah leher

3.8 Tatalaksana
Penilaian keadaan umum pasien penting dalam penatalaksanaan abses leher
dalam. Prioritas utama adalah stabilisasi jalan napas, pernafasan dan sirkulasi.
Karena abses leher dalam memiliki potensi untuk mengancam nyawa maka pasien
harus dirawat di rumah sakit. 8,11
Penatalaksanaan abses leher dapat dilakukan dengan memberikan terapi
antibiotik yang adekuat dan drainase abses. Drainase abses dapat dilakukan
dengan aspirasi abses yang kemudian dilanjutkan dengan insisi dan eksplorasi,
tergantung pada luasnya abses dan komplikasi yang ditimbulkannya. Perlu
diperhatikan, dalam 4 sampai 8 jam pertama sebaiknya dilakukan observasi dan
penatalaksanaan awal dengan pemberian antibiotik intravena dan hidrasi. Hal ini
dilakukan sambil mengawasi perkembangan keadaan pasien jika diperlukan
sebaiknya dilakukan drainase. Perkembangan gejala yang menunjukkan
perlunya dilakukan drainase adalah apabila terjadi demam persisten, nyeri,
bengkak dan peningkatan WBC (white blood cell). Indikasi lainnya untuk
dilakukan drainase meliputi potensi kompromi jalan napas, kondisi kritis karena
komplikasi atau septikemia, dan melibatkan beberapa ruang. Drainase dapat
21

dilakukan melalui berbagai pendekatan termasuk drainase transoral, dan aspirasi


jarum. Setelah mengakses rongga , sampel pus atau jaringan debridement harus
dikumpulkan untuk kultur dan sensitivitas. 8,9,11
Pilihan antibiotika ini tergantung pada bakteri penyebabnya yang didasarkan
atas hasil kultur dan uji sensitivitas terhadap antibiotika. Namun demikian
antibiotika empiris intravena harus diberikan segera setelah mengambil spesimen
kultur tanpa menunggu hasil kultur tersebut. Umumnya sebelum didapatkan hasil
kultur, pasien diberikan antibiotik intravena dosis tinggi untuk kuman aerob dan
anaerob. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan antibiotika adalah
efektifitas obat terhadap kuman target, risiko peningkatan resistensi kuman
minimal, toksisitas obat rendah, stabilitas tinggi dan masa kerja yang lebih lama.
Bakteri penyebab abses leher dalam umumnya adalah polimikroba termasuk
bakteri aerob dan anaerob. Oleh karena itu terapi antibiotik empiris yang harus
diberikan sebaiknya yang dapat bekerja pada bakteri aerob dan anaerob. Lebih
dari dua pertiga infeksi leher dalam disebabkan oleh bakteri yang menghasilkan
beta laktamase. 9,10,11
Antimikroba yang paling efektif adalah kombinasi dari penisilin dan
antibiotik yang resisten terhadap beta laktamase inhibitor (amoksisilin/klavulanat,
tikarsilin/klavulanat, piperacillin/Tazobactam), cefoxitin, carbapenem, atau
klindamisin. 11,11

3.9 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah obstruksi jalan nafas, osteomielitis
mandibula, penyebaran infeksi ke ruang leher dalam di dekatnya, mediastinitis
serta sepsis yang menyebabkan semakin sulitnya penanganan dan bahkan dapat
menyebabkan terjadinya kematian.4,5

3.10 Prognosis

Sejak ditemukan antibiotik, kejadian komplikasi terkait dengan abses leher


dalam telah menurun selama dekade terakhir. Diagnosis dini , manajemen agresif
22

dengan bedah intervensi dan manajemen jalan napas yang tepat dapat mengurangi
komplikasi dan kematian yang terkait dengan abses leher. 1,2
23

BAB IV
ANALISIS KASUS

Tn. SBS datang ke rumah sakit dengan keluhan benjolan seukuran ibu jari
jempol kaki dirasakan semakin nyeri sejak kurang lebih 4 hari SMRS. Demam
ada, hilang timbul, pasien tidak mengukur suhu tubuh sebelumnya. Mual ada,
muntah tidak ada, badan dirasakan lemas, nafsu makan menurun ada, penurunan
berat badan ada. Pasien datang berobat ke RS Bhayangkara dan dirawat inap
selama 3 hari dan dilakukan pemeriksaan (pasien lupa nama pemeriksaannya),
diduga mengalami tumor jinak, lalu pasien kemudian dirujuk ke RSMH untuk
dilakukan tindak lanjut.
Pada anamnesis didapatkan bahwa pasien mengeluh timbulnya benjolan
pada leher yang menetap sejak 1 bulan SMRS. Benjolan seukuran ibu jari jempol
kaki dirasakan semakin nyeri. Berdasarkan keluhan tersebut pasien di curigai
adanya abses pada regio colli. Pasien juga mengalami demam yang merupakan
respon tubuh terhadap rangsangan pirogenik. Mual ada, muntah tidak ada, badan
dirasakan lemas, nafsu makan menurun ada, penurunan berat badan ada.
Berdasarkan pemeriksaan fisik, didapatkan keadaan umum baik dan tanda
vital dalam batas normal. Pada pemeriksaan spesifik leher terdapat tampak ulkus
soliter di regio colli sinistra, berbentuk lonjong dengan ukuran numular berbatas
tegas, dengan isi pus berwarna putih kekuningan berbau.
Pada pemeriksaan laboratorium hematologi didapatkan leukositosis yaitu
11,7/mm3. Peningkatan leukosit ini terjadi karena respon imun tubuh terhadap
adanya infeksi dan pembentukan abses yang ada di leher. Trombosit dengan
jumlah 458.000/uL memiliki interpretasi terjadi peningkatan trombosit
(trombositosis) disebabkan oleh terjadinya infeksi. Terjadi penurunan nilai MCV
yaitu 76,4 fL dan MCH 26 Pg. Pada pemeriksaan kultur dan resistensi MO PUS
didaoatkan kesan terdapat kuman gram (+) Klebsiella penumoniae dan resistensi
terhadap Cephazolin, ampisilin, ceftriaxone, ampsiilin/sulbactam
24

Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang dapat


disimpulkan pasien menderita abses leher.
Tatalaksana non farmokologi pasien dilakukan tirah baring, edukasi
mengenai penyakit, tatalaksana dan prognosis kepada pasien dan keluarga,
edukasi perawatan luka dan diet. Tatalaksana farmakologi diberikan rehidrasi
cairan NaCl 0,9% gtt XX/ menit dan gentamicin 500 mg IV (3x1)

DAFTAR PUSTAKA
25

1. Bailey BJ. Tonsillitis, Tonsillectomy and adenoidectomy in head and neck surgery
otolaryngology. Edisi ke-4. Philadelphia: Lippincolt Williams & wilkins. 2006.
hlm.1183- 97.
2. Rosen EJ. Deep neck spaces and infections. Grand rounds resentation, UTMB, Dept.
Of Otolaryngology.2002.
3. Oliver ER, Gillespie MB. Deep Neck Space Infections. In: Flint PW, Haughey BH,
Lund VJ, Niparko JK, Richardson MA, Robbins KT, et al., editors. Cummings
Otolaryngology Head and Neck Surgery. 5th ed. Philadelphia: Mosby, Inc.; 2010. p. 201-
8.
4. Rahardjo P. Infeksi Leher Dalam. Makasar: Graha Ilmu.2013. p.2-16.
5. Fragiskos FD. Odontogenic Infections. In: Fragiskos FD, editor. Oral Surgery.
Berlin:Springer-Verlag; 2007. p. 232-4
6. Hesley I, Lumintang N, Limpeleh H. Profil Abses Submandibula Di Bagian Bedah Rs
Prof. Dr. R. D. Kando Manado Periode Juni 2009 Sampai Juli 2012. Bagian Bedah BLU
RSU Prof. dr. R.D. Kandou Manado.2013.p.3-4.
7. Parhiscar A, Har-El G. Deep Neck Abscess: A Retrospective Review of 210 Cases.
Ann Otol Rhinol Laryngol. 2001;110:1051-4.
8. Lawson W, Reino AJ, Westreich RW. Odontogenic Infections. In: Bailey BJ, Johnson
JT, Newlands SD, editors. Head & Neck Surgery - Otolaryngology. 4th ed.
Philadelphia:Lippincott
9. Williams & Wilkins; 2006. p. 616-28. 16. Parhiscar A, Har-El G. Deep Neck Abscess:
A Retrospective Review of 210 Cases. Ann Otol Rhinol Laryngol. 2001;110:1051-4. 17.
10. Lee YQ, Kanagalingam J. Bacteriology of deep neck abscesses: a retrospective
review of 96 consecutive cases. Singapore Med J 2011; 52(5) : 351-5. 20.
11. Yang W, Lee H,See C, Huang H. Deep Neck Abscess: An Analysis Of Microbial
Etiology And The Effectiveness Of Antibiotics. Infection and Drug Resistance. 2008:1 :
1–8

Anda mungkin juga menyukai