Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Fistula ani atau sering disebut dengan fistula perianal merupakan penyakit
yang bersifat kronis-residif. Penhyakit ini sering merupakan tahap lanjut dari proses
pernanahan di daerah perianal atau daerah sekitar anorektal. Abses anorektal yang
khas mulai sebagai suatu infeksi dalam kriptus-kriptus anus yang kemudia menyebar
dalam jaringan. Proses pernanahan bisa berasal dari infeksi kelenjar anus atau infeksi
lanjutan dari daerah sebelah atas, misalnya penyakit chrohn, kolitis ulserativa, dan
lainnya. Melihat dari nama penyakit ini yaitu fistula in ano, berarti ada fistula yang
menghubungkan 2 lubang. Baik fistulanya sendiri maupun kedua lubang yang
dihubungkannya, mempunyai gambaran satu peradangan menahun, yakni dengan
adanya jaringan granulasi. Untuk penyembuhannya, maka fistula dan kedua
lubangnya harus dilakukan eksisi, dengan kata lain harus dilakukan tindakan
pembedahan. Oleh karena itu, penyakit ini tidak bisa disembuhkan tanpa pembedahan.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Anatomi dan Fisiologi


Kanalis analis berasal dari proktoderm yang merupakan invaginasi
ektoderm, sedangkan rektum berasal dari endoderm. Karena perbedaan asal
anus dan rektum ini maka perdarahan, persarafan, serta penyaliran vena dan
limfenya berbeda juga, demikian pula epitel yang menutupinya.

Gambar I.1. Anatomi anorektum

Daerah batas rektum dan kanalis analis ditandai dengan perubahan jenis
epitel. Kanalis analis dan kulit luar disekitarnya kaya akan persyarafan sensoris

2
somatik dan peka terhadap rangsang nyeri, sedangkan mukosa rektum
mempunyai persarafan autonom dan tidak peka terhadap nyeri. Nyeri bukanlah
gejala awal pengidap karsinoma rektum, sementara fisura anus nyeri sekali.
Darah vena diatas garis anorektum mengalir melalui sistem porta, sedangkan
yang berasal dari anus dialirkan ke sistem kava melalui cabang v.iliaka.
Kanalis analis berukuran panjang kurang lebih 3cm. Batas antara
kanalis anus disebut garis anorektum, garis mukokutan, linea pektinata atau
linea dentata. linea pectinea / linea dentata yang terdiri dari sel-sel transisional.
Dari linea ini kearah rectum ada kolumna rectalis (Morgagni), dengan
diantaranya terdapat sinus rectalis yang berakhir di kaudal sebagai valvula
rectalis. Didaerah ini terdapat kripta anus dan muara kelenjar anus antara
kolumna rektum. infeksi yang terjadi disini dapat menimbulkan abses
anorektum yang dapat menimbulkan fistel. Lekukan antar sfingter sirkuler
dapat diraba didalam kanalis analis sewaktu melakukan colok dubur dan
menunjukkan batas antara sfingter interna dan sfingter eksterna (garis Hilton).
Cincin sfingter anus melingkari kanalis analis dan terdiri dari sfingter intern
dan sfingter ekstern. sisi posterior dan lateral cincin ini terbentuk dari fusi
sfingter intern, oto longitudinal, bagian tengah dari otot levator (puborektalis),
dan komponen m.sfingter eksternus.
Otot-otot yang berfungsi mengatur mekanisme kontinensia adalah :

1. Pubo-rektal merupakan bagian dari otot levator ani


2. Sfingter ani eksternus (otot lurik)
3. Sfingter ani internus (otot polos)

Muskulus yang menyangga adalah m. Puborectalis. Otot yang


memegang peranan terpenting dalam mengatur mekanisme kontinensia adalah
otot-otot puborektal. Bila m. pubo-rektal tersebut terputus, dapat
mengakibatkan terjadinya inkontinensia.

3
Batas-batas kanalis ani, ke kranial berbatasan dengan rectum disebut
ring anorektal, ke kaudal dengan permukaan kulit disebut garis anorektal, ke
lateral dengan fossa ischiorectalis, ke posterior dengan os koksigeus, ke
anterior pada laki-laki dengan sentral perineum, bulbus urethra dan batas
posterior diafragma urogenital (ligamentum triangulare) sedang pada wanita
korpus perineal, diafragma urogenitalis dan bagian paling bawah dari dinding
vagina posterior. Ring anorektal dibentuk oleh m.puborektalis yang merupakan
bagian serabut m. levator ani mengelilingi bagian bawah anus bersama m.
spincter ani ekternus.

II.1.1 Arteri
arteri hemoroidalis superior adalah kelanjutan langsung a.mesenterika inferior.
Arteri ini membagi diri menjadi dua cabang utama: kiri dan kanan. Cabang yang
kanan bercabang lagi. Letak ketiga cabang terakhir ini mungkin dapat menjelaskan
letak hemoroid dalam yang khas yaitu dua buah di setiap perempat sebelah kanan dan
sebuah diperempat lateral kiri. Arteri hemoroidalis medialis merupakan percabangan
anterior a.iliaka interna, sedangkan a.hemoroidalis inferior adalah cabang a.pudenda
interna. Anastomosis antara arkade pembuluh inferior dan superior merupakan
sirkulasi kolateral yang mempunyai makna penting pada tindak bedah atau sumbatan

4
aterosklerotik didaerah percabangan aorta dan a.iliaka. Anastomosis tersebut ke
pembuluh kolateral hemoroid inferior dapat menjamin perdarahan di kedua
ekstremitas bawah. Perdarahan di pleksus hemoroidalis merupakan kolateral luas dan
kaya sekali darah sehingga perdarahan dari hemoroid intern menghasilkan darah segar
yang berwarna merah dan bukan darah vena warna kebiruan.
II.1.2 Vena
Vena hemoroidalis superior berasal dari pleksus hemoroidalis internus dan
berjalan kearah kranial kedalam v.mesenterika inferior dan seterusnya melalui
v.lienalis ke vena porta. Vena ini tidak berkatup sehingga tekanan ronggga perut
menentukan tekanan di dalamnnya. Karsinoma rektum dapat menyebar sebagai
embolus vena didalam hati, sedangkan embolus septik dapat menyebabkan pileflebitis,
v.hemoroidalis inferior mengalirkan darah ke dalam v.pudenda interna dan v.
hemoroidalis dapat menimbulkan keluhan hemoroid.
II.1.3 Limfe
pembuluh limfe dari kanalis membentuk pleksus halus yang menyalirkan
isinya menuju ke kelenjar limfe inguinal, selanjutnya dari sini cairan limfe terus
mengalir sampai ke kelenjar limfe iliaka. Infeksi dan tumor ganas di daerah anus dapat
mengakibatkan limfadenopati inguinal. Pembuluh limfe dari rektum di atas garis
anorektum berjalan seiring dengan v.hemoroidalis superior dan melanjut ke kelenjar
limf mesenterika inferior dan aorta. Operasi radikal untuk eradikasi karsinoma rektum
dan anus didasarkan pada anatomi saluran limf ini.
II.1.4 Inervasi
Inervasi kanalis ani diatur oleh saraf somatik sehingga sangat sensitif terhadap
rasa sakit, sedang rektum oleh saraf viseral sehingga kurang sensitif terhadap rasa
sakit. Rektum diinervasi oleh saraf simpatis dari pleksus mesenterika inferior dan
n.presakralis (hipogastrica)  yang berasal dari L2,3,4 dan saraf parasimpatis dari
S2,3,4.

5
6
Kontinensia anus bergantung pada konsistensi feses, tekanan didalam anus,
tekanan didalam rektum, dan sudut anorektal. Makin encer feses, makin sukar untuk
menahannya didalam usus. Tekanan pada suasana istirahat didalam anus berkisar
antara 25-100mmHg dan didalam rektum antara 5-20mmHg. Jika sudut antara rektum
dan anus lebih dari 80 derajat, feses sukar dipertahankan.
Pada suasana normal, rektum kosong. Pemindahan feses dari kolon sigmoid
kedalam rektum kadang-kadang dicetuskan oleh makan, terutama pada bayi. Bola isi
sigmoid masuk kedalam rektum, dirasakan oleh rektum dan menimbulkan keinginan
untuk defekasi. Rektum mempunyai kemauan khas untuk mengenai dan memisahkan
bahan padat, cair dan gas. Sikap badan sewaktu defekasi yaitu sikap duduk atau
jongkok, memegang peranan yang berarti. Defekasi terjadi akibat refleks peristalsis
rektum, dibantu oleh mengedan dan relaksasi sfingter anus eksternal. Syarat untuk
defekasi normal ialah persarafan sfingter anus untuk kontraksi dan relaksasi yang utuh,
peristalsis kolon dan rektum tidak terganggu, dan struktur anatomi organ panggul yang
utuh. Keinginan berdefekasi muncul pertama kali saat tekanan rectum mencapai 18
mmHg dan apabila mencapai 55 mmHg, maka sfingter ani internus dan eksternus
melemas dan isi feses terdorong keluar. Satu dari refleks defekasi adalah refleks
intrinsic (diperantarai sistem saraf enteric dalam dinding rectum. Ketika feses masuk
rectum, distensi dinding rectum menimbulkan sinyal aferen menyebar melalui pleksus
mienterikus untuk menimbulkan gelombang peristaltic dalam kolon descendens,
sigmoid, rectum, mendorong feses ke arah anus. Ketika gelombang peristaltic
mendekati anus, sfingter ani interni direlaksasi oleh sinyal penghambat dari pleksus
mienterikus dan sfingter ani eksterni dalam keadaan sadar berelaksasi secara volunter
sehingga terjadi defekasi. Jadi sfingter melemas sewaktu rectum teregang Sebelum
tekanan yang melemaskan sfingter ani eksternus tercapai, defekasi volunter dapat
dicapai dengan secara volunter melemaskan sfingter eksternus dan mengontraksikan
otot-otot abdomen (mengejan). Dengan demikian defekasi merupakan suatu reflex
spinal yang dengan sadar dapat dihambat dengan menjaga agar sfingter eksternus tetap
berkontraksi atau melemaskan sfingter dan megontraksikan otot abdomen.

7
II.2 Fistula Anorektal
Fistula adalah hubungan yang abnormal antara suatu saluran dengan saluran
lain, atau antara suatu saluran dengan dunia luar melalui kulit. Fistula perianal
merupakan suatu saluran berongga yang berisi jaringan granulasi. Fistula ini
mempunyai muara (primer atau interna) di dalam kanalis ani dan satu atau dua muara
(sekunder atau eksterna) dalam kulit perianal.
Fistula adalah saluran dilapisi epitel/jaringan granulasi yang menghubugkan 2
ruangan. Sebagian besar fisula anorektgal berasal dari crypta ani pada anorectal
junction.
II.2.1 Etiologi
1. Teori kelenjar anus
Jika glandula analis terinfeksi, maka terbentuk abses pada daerah
intersfingterik, kemudiann abses pecah dan membentuk fistula kearah
perineal. Penyebab fistel biasanya infeksi piogenik (non-spesifik), tetapi
dapat juga infeksi yang spesifik. 90% kasus fistel perianal berhubungann
dengan abses pada daerah intersfingter yang disebabkan karena infeksi
glandula anal.

8
2. Kongenital
Fistel periannal pada neonatus kadang dijumpai, pada beberapa
kasus saluran fistel dilapisi oleh epitel kolumner dan transisional, hal ini
menunjukan adanya kelainan pertumbuhan atau kelainan bawaan.
3. Infeksi Pelvis
Infeksi daerah pelvis menyebabkan abses supralevator kronis, yang
meluas ke kaudal melalui spatium intermuskularis ke perineum menjadi
suatu fistula intersfingterik atau menembus m. Levator anis menjadi
abses ischiorectal yang berlanjut menjadi fistula ekstrasfingterik.
4. Trauma perineal
Fistel perianal bisa merupakan suatu komplikasi dari cedera parah
bagian perianal oleh karena trauma tumpul atau trauma taja,.
5. Penyakit-penyakit anus
a. Fissura ani, hemorroid
Fissura ani dapat mengalami komplikasi menjadi fistel superfisial
yang pendek dari dasar fisura sampai pada papilla anal, biasanya
fistel terletak pada jam 6 dan merupakan salah satu penyebab

9
fistel perianal. Hemorroid yang mengalami komplikasi infeksi
dapat berkembang menjadi fistel perianal.
b.Operasi daerah anus
Luka operasi yang mengalami infeksi kronis misalnya pasca
tindakan pada hemorroid dapat berkembang menjadi fistel.
c. Peradangan usus
i. Tuberkulosis
Penyakit ini dapat menimbulkan fistula perianal, dimana
baksil ruberkel di dalam sputum masuk jaringan perianal
melalui ekskoriasi dari kanal anal yang terkontaminasi
melalui kontak jari penderita yang mengandung baksil
tuberkel.

ii. Penyakit chron’s


Penyakit chron’s merupakan salah satu penyebab fistula
ani yang ditandai dengan adanya follikel giant cell yang
tampak pada jaringan granulasi dari abses anal sekunder
dan fistula.
6. Abses anorektal
Merupakan infeksi yang terlokalisasi dengan penumpukan nanah pada
daerah anorektal. Abses perianal biasanya nyata, tampak sebagai
pembengkakan yang berwarna merah, nyeri, panas, dan akhirnya
berfluktuasi. Penderita demam dan sulit duduk pada sisi bokong yang
sakit.
Fistula adalah jalur antara dua epitel. Pada chrohn dissease, fistula muncul
pada 50% pasien dan kebanyakan adalah perianal (54%), entero-enteric(24%), atau
retrovaginal (9%). Fistula perianal tidak spesifik pada penderita Crohn dissease,
penyebab lain termasuk infeksi, hidradenitis suppurativa, dan keganasan.
Tubercullosis juga dapat menyebabkan fistula meski tidak sebesar CD. (Britta et al,
2016)

10
II.2.2 Patogenesis
Lebih dari 95% dari semua abses anorektal disebabkan oleh infeksi yang tibul
di glandula anal yang berhubungan dengan anal crypt (penyakit cryptoglandular). Fase
akut infeksi menyebabkan abses anorektal, sedangkan fase kronik akan menyebabkan
fistula ana. Glandula anal terletak pada ruang intersfingterik antara sfingter anal dan
eksternal. Inflamasi dari glandula anal akan membentuk abses lokal pada lapang
intersfingterik.
Seiring pembesaran abses, abses akan menembus lapang intersfingterik dan
menyebar ke salah satu dari beberapa arah yang mungkin. Yang paling sering dari
semua abses anorektal adalah abses perianal, yang muncul sebagai benjolan
erotematosa nyeri pada pinggir anal. Abses ischiorectal terbentuk saat abses
intersfingterik menembus otot skeletal dari sfingter eksternal dibawah puborectalis dan
meluas ke jaringan lemak dari fossa ischiorectal. Abses ini bisa menjadi besar, karena
levator ani menekuk ke atas. Karenanya, abses ischiorectal bisa di palpasi sebagai
benjolan di atas puborectalis, meskipun dia ada di bawah otot lebator ani. Sebaliknya
dari abses perianal, absis ini jarang muncul sebagai benjolan yang terlihat karena
adanya ruang di fossa ischiorectal. Abses ini lebih sering meluas keatas dibanding ke
kulit. Pada kasus langka, abses intersfingterik bisa meluas ke atas diantara sfingter
internal sirkular dan sfingter eksternal, membentuk abses supralevator
II.2.3 Epidemiologi
Meskipun fistula ani bisa muncul pada umur berapapun, rata-rata umur
penderita adalah 39 tahun dan 65% dari semua pasien yang memiliki awal abses
perianal akan mendapatkan fistula kronik dan rekuren. Meskipun perkiraan insidensi
anal fistula dunia masih belum diketahui, insidensi di finlandia diperkirakan mencapai
5,5 per 100.000 perempuan, dan 12,1 per 100.000 laki-laki. 30% pasien dengan crohn
dissease akan memiliki fistula perianal. (Zubaidi M,2014)
II.2.3 Klasifikasi
1. Fistula intersfingterik
Fistula intersfingterik adalah fistula yang paling sering terjadi, dan
biasanya adalah hasil kelanjutan abses perianal. Letaknya berada diantara

11
sfingter interna dan sfingter eksterna, berjalan melalui sfingter internal distal
dan ruang intersfingterik ke pembukaan eksternal pada tepi anal. Jalurnya
bisa saja bertambah keatas dan membuat bukaan di rektum bawah, atau
berakhir di bagian intersfingterik. Pengamanan sfingter eksterna di fistula
jenis ini dapat meminimalisir resiko terjadinya inkontinensia dengan
fistulotomi

Fistula Intersfingterik
2. Fistula Transfingterik
Sekitar seperempat dari perianal fistula diklasifikasian sebagai
transsfingterik. Fistula transsfingterik sering merupakan hasil dari abses
ischiorectal dan meluas melalui sfingter internal dan eksternal dengan
buka luar di kulit ischiorectal. Bukaan luar di daerah pelvis bisa ditemukan
pada fistula jenis ini.
 

Fistula Transfingterik

3. Fistula Suprasfingterik

12
Tidak seperti intersfingterik dan transfingterik, fistula supra sfingterik
sangat jarang terjadi dan hanya 5% dari seluruh kasus. Berasal dari abses
supralevator, traktus berawal dari lapang intersfingterik lalu naik dan
berputar mengelilingi seluruh sfingter eksternal, lalu ruang ischiorectal dan
berakhir di kulit perianal.

4. Fistula ekstrasfingterik.
Lebih jarang dibandingkan fistula ekstrasfingterik. Berawal dari
dinding rektum dan berjalan mengelilingi kedua sfingter lalu keluar di lateral,
biasanya sekitar fossa ischiorectal. Meskipun fistula jenis ini tidak mengenai
kompleks sfingter, tetap saja sulit disembuhkan. Ekstrasfingterik fistula bisa
disebabkan karena inflamasi, keganasan atau efek samping dari drainase abses
supralevator.

Fistula Ekstrasfingterik

13
Menurut The Standards Committee for the American Society of Colon and
Rectal Surgeons (ASCRS), berdasarkan kerumitan dan bagian yang terkena, fistula
dibagi menjadi fistula simpel dan kompleks (Emily et.al, 2016)
1. Fistula Simpel
Fistula simpel adalah fistula yang berada di intersfingterik atau
transfingterik bawah yang melibatkan kurang dari 30% sfingter eksternal
2. Fistula Kompleks
Fistula kompleks adalah fistula yang melibatkan lebih banyak otot atau
fistula anterior pada pasien perempuan, juga fistula rekuren, dan fistula
yang berhubungan dengan inkontinensia fecal, inflammatory bowel disease
dan radiasi.
Menurut Akiba et al pada tahun 2016, fistula kompleks merupakan
fistula besar dan fistula yang berhubungan dengan Crohn dissease, radiasi,
inkontinensia, dan kegagalan berulang dalam usaha perbaikan.

II.2.4 Goodsall’s Rule


Hukum Goodsall menyatakan bahwa bila anus dibagi oleh garis di bidang
frontal (Transverse anal line), pembukaan eksternal dibagian anterior garis (dalam 2
cm dari tepi anal) akan berhubungan dengan bukaan internal melalui jalur yang
pendek dan langsung. Tetapi, bila bukaan luar terletak posterior dari garis ini, atau di
anterior tetapi lebih dari 2 cm dari tepi anal, jalur stula akan mengikuti garis lengkung
di posterior midline.

Goodsall’s Rule

14
II.2.5 Manifestasi Klinis
1. Anamnesa
a. Keluar discharge dari lubang sekitar anus, terus menerus atau intermiten
berupa pus atau cairan keruh.
b. Ada riwayat abses berulang, perlu juga ditanyakan riwayat operasi
sebelumnya maupun riwayat infeksi pada organ daerah pinggul atau
abdomen bawah.
c. Pada fistula karena kegasanan atau Chron’s dissease disertai perubahan
kebiasaan bab, feses berdarah dan berlendir, nyeri perut dan penurunan
berat badan
Pada dasarnya kondisi ini tidak menimbulkan rasa sakit, tetapi bila terbentuk
abses maka akan terasa nyeri dan akan berkurang bila abses pecah, keluhan
tersering adalah bengkak dan nyeri, juga keluar discharge
Menurut Akiba et.al pada tahun 2016, perlu juga ditanyakan adanya
riwayat sebagai berikut pada pasien wanita untuk mengetahui terjadinya
komplikasi retrovaginal fistula (RVF):
1. Fecaluria dan Pneumaturia
2. Mucopurulent vaginal dischare yang berbau busuk
3. Nyeri pada rectum dan vagina
4. Dyspareunia (nyeri saat hubungan sexual)
5. Infeksi urinaria dan vaginal yang berulang

II.2.4 Pemeriksaan Fisik


1. Inspeksi
Tampak lubang keluar fistel yang basah dan bau. Tampak muara eksternal,
kebanyakan lubang tunggal kadang disertai keluarnya discharge. Bentuk muara
eksternal yang irreguler kemungkinan sebagai proses tuberkulose, sedang
bentuk indurasi disertai warna indolen kemungkinan penyakit Chron’s. Muara
eksternal merupakan papula yang menonjol dan berwarna kemerah-merahan.
2. Palpasi

15
Teraba saluran seperti benang keras, dengan bidigital diketahui arah fistel,
teraba indurasi lubang sesuai hukum Salmon Goodsall. Pemeriksaan colok
dubur sangat sangat penting untuk menentukan abses di daerah intersfingterik,
supralevator, dan letak indurasi yang meruakan muara internal.
Colok dubur juga akan memberikan informasi tentang tonus sfingter dan
menemukan bukaan dalam fistula. Bukaan ukuran kecil mungkin saja sulit
ditemukan, khusunya pada fistula letak tinggi, terkadang hanya terasa sebagai
benjolan atau area irregular.
3. Anuskopi/protoskopi
Pemeriksaan ini diperlukan untuk melihat letak internal opening, melihat track
rectum-internal spingter high anal dan melihat mukosa rektum apakah ada
inflamasi atau kelainan lain yang kadang memerlukan tindakan biopsi.
Anestesi umum diperlukan bila pasien merasa nyeri.
4. Identifikasi fistula
Untuk mengetahui fistula dapat dilakukan dengan cara
- Irigasi salin
Dengan angiokateter dimasukan lewat eksternal opening dan disemprot
salin sehingga tampak cairan keluar dari internal opening anal kanal.
- Methylen blue
Methylen blue disemprotkan lewat eksternal opening maka tampak cairan
biru keluar lewat internal opening.
- Sondase (probe)
Menggunakan sondase dari eksternal opening dengan jari telunjuk dalam
anal kanal maka dapat ditentukan letak internal opening
Pemeriksaan dengan methylene blue sangat disarankan pada pasien dengan
komplikasi PVF atau RVF. Pasien memasukan tampon vagina dan diberikan fleet
enema yang dicampur metylen blue. Setelah berjalan selama 20 menit, tampon akan
diperiksa adanya noda biru, yang mengindikasikan adanya fistula.
II.2.5 Pemeriksaan Penunjang
1. Radiologi

16
a. Fistulografi
Dilakukan dengan memakai kontras, untuk mendeteksi perluasan dari
fistula perianal dan adanya muara internal. Pemeriksaan ini dilakukan
pada penderita yang tidak ditemukan muara internalnya atau penderita
yang mengalami operasi fistula perianal pertama tidak berhasil.
b. Foto toraks
Dilakukan untuk menentukan faktor predisposisi akibat tuberkulosis.
c. Intra anal USG
Menggunakan transducer dengan gelombang 7-10 Mhz intra anal.
Dengan bantuan injeksi hidrogen peroksida pada lubang luar dapat
membantu mengetahui arah dan letak saluran.

II.2.7 Diagnosis Banding


1. Sinus Pilonidal
Kelainan karena rambut di garis tengah bagian atas lipatan gluteal terutama
pada pria yang berambut banyak. Oleh gesekan, rambut masuk ke kulit.
Kelainan biasanya asimptomatik sampai terjadi infeksi. Radang
menunjukan gambaran infeksi akut sampai terjadi abses dan terbentuk fistel
setelah abses pecah.
2. Hidradenitis supurativa
Radang kelenjar keringat apokrin yang biasanya membentuk fistel multipel
subkutan yang kadang ditemukan di perineum dan perianal. Penyakit ini
biasanya ditemukan di ketiak dan umumnya tidak meluas ke struktur yang
lebih dalam.
3. Morbus Crohn
Merupakan penyakit radang kronis yang membentuk granulasi. Pada awal
penyakit ditemukan edema dinding usu disertai limfagiektasis. Pada
stadium lanjut mungkin terjadi obstruksi parsial yang dapat mengalami
penyulit berupa perforasi di dalam massa radang yang mengakibatkan fistel

17
intern antar kelok usus, maupun ekstern yang paling sering terjadi di
perianal.
4. Koloperineal fistel
Dengan fistulografi, kontras naik sampai kolon sigmoid
5. Urethroperineal fistel
Akibat instrumen kateter atau businasi.
II.2.7 Penatalaksanaan
Tujuan terapi adalah menghilangkan tempat yang terinfeksi dengan
mempertahankan fungsi anorektal. Tetapi untuk fistula ani hanyalah dengan
pembedahan. Dasar tindakan pembedahan adalah membuang/menghilangkan saluran
fistel beserta lubang penghubungnya.

Prinsip tindakan pada fistula perianal


a. Lubang masuk anorektum harus ditemukan dan di eksisi
b. Saluran harus diidentifikasi seluruhnya
c. Setelah saluran dibuka tidak boleh ditutup
d. Penyembuhan luka dari dalam ke luar.
e. Menghilangkan sepsis tanpa mengorbankan kontinensia dari sfingter anus
Beberapa teknik pembedahan pada fistula ani yaitu
1. Fistulotomi
Identifikasi muara eksternal dan internal dengan sonde, kemudian
saluran diinsisi dengan pisau atau cauter. Selanjutnya saluran dibuka dari
lubang asalnya sampai ke lubang kulit, dasar fistel dikerok dengan kuretase
untuk dikultur dan untuk membersihkan jaringan granulasi, tepi luka
dieksisi luas sampai lubang dalam kanal anal. Luka dibiarkan terbuka
sehingga penyembuhan dimulai dari dalam. Luka ditutup dengan kassa.
Menurut Zubaidi (2014), Fistulotomi adalah operasi untuk mengangkat
jaringan pembentuk jalur fistula dengan harapan terjadinya penyembuhan
sekunder. Pada dasarnya, prosedur ini mengubah terowongan menjadi luka

18
yang nantinya akan sembuh. Meskipun hal ini terindikasi untuk fistula
submukosal bawah, atau yang hanya melibatkan sedikit kompleks sfingter
(<30%), yang membawa kemungkinan kambuh rendah (0-2%). Tergantung
berapa banyak otot yang terpotong selama operasi, kebanyakan efek
sampingnya adalah inkontinensia. Kontra indikasinya adalah fistula
anterior, inkontinensia, IBD.
2. Penggunaan seton
Draining seton adalah drain yang diletakan melalui fistula untuk
mengatur drainasi dan/atau memulai fibrosis. Cutting setons adalah benang
jahit atau karet yang diletakan melalui fistula lalu secara berselang akan
dikencangkan. Pengencangan akan menghasilkan fibrosis yang akan
mengatasi fistula juga menjaga kontinuitas dari sfingter.
Indikasi utama dari penggunaan seton adalah fistula yang
dikontraindikasikan untuk fistulotomi karena resiko besar terjadinya
inkontinensia, fistula tinggi (melibatkan >30% sfingter anal), atau fistula
transfingterik. Insersi seton biasanya adalah langkah awal dari manajemen
penyembuha fistula, dan dirancang untuk menghilangkan inflamasi
sehingga dapat disembuhkan dengan metode lain. Draining seton
digunakan untuk manajemen fistula pada pasien dengan crohn’s dissease
untuk optimisasi pengobatan, termasuk memberikan waktu diberikannya
obat pemicu anti tumor alpha (TNF-a), menunjukan kemungkinan tinggi
penutupan fistula pada crohn’s dissease.
Cutting seton bekerja dengan pembelahan perlahan dari jaringan yang
bertujuan untuk pelukaan otot minimal yang memicu penyembuhan lanjut,
meskipun kemungkinan inkontinensia pada metode ini tetap ada (12%),
tergantung seberapa besar keterlibatan otot sfingter, meskipun begitu,
metode ini mengurangi kebutuhan pemotongan pada sfingter secara drastis.
(Zubaidi,2014)
3. Mucosal advancement flap

19
Eksisi seluruh saluran fistel disertai penutupan lubang dalam
menggunakan rectal mucosal advancement flap. Dilakukan pada fistula
anal di bagian anterior midline dikarenakan beresiko besar terjadinya
inkontinensia karena resiko rusaknya sfingter anal eksternal.
Ketegangan kulit, vaskularitas, dan pengalaman dokter adalah faktor
utama keberhasilan prosedur ini. Untuk fistula kompleks, tingkat
keberhasilan dari teknik ini sama dengan fistula plug, tapi memiliki resiko
lebih besar terjadinya komplikasi. Komplikasi termasuk terbelahnya rectum
dan area ano-rectal, yang harusnya di amankan saat metode lain tidak
berhasil. Belakangan ini, dilaporkan bahwa operasi endorectal
advancement flap multipel pada fistula rekuren memiliki tingkat
keberhasilan yang cukup tinggi

4. Fibrin glue
Fibrin glue adalah salah satu jenis sumbatan berbasis kolagen yang
sering digunakan dalam pengobatan fistula dengan hasil yang beragam.
Fibrin glue mengandung fibrinogen, trombin, dan kalsium yang cocok
untuk injeksi kedalam fistula yang bebas proses inflamasi. Suntikan akan
mengisi fistula dan biasanya tidak ada intervensi lanjut yang dibutuhkan.
Meski prosedur sederhana ini tidak merusak otot sfingter, tingkat
keberhasilannya bervariasi dari 33%-69% dengan pemberian berluang.
Tetapi, meskipun tingkat keberhasilannya bervariasi, prosedur ini
sederhana dan mudah digunakan sebagai pengobatan awal.
5. Anal Fistula Plug
Memiliki presentasi keberhasilan lebih besar dibandingkan fibrin glue
(92%). Metode ini lebih disukai karena simpel, tidak ada efek samping
inkontinensia, dan tidak menghalangi penyembuhan lanjut.
Fistula plug adalah gumpalan kolagen yang dimasukan dalam jalur
fistula. Diharapkan bahwa sumbatan akan bekerja sebagai kerangka untuk

20
penyembuhan dan penutupan jalur. Prosedur ini tidak memerlukan operasi
dan mengamankan otot sfingter juga tidak menyebabkan inkontinensia.
6. Ligation of the Intersphincteric Fistula Tract (LIFT)
Pada prosedur ini, fistula di identifikasi pada lapang intersfingterik,
dibagi dan kedua ujungnya di ligasi. Laporan awal menunjukan
keberhasilan teknik ini, tapi hasil jangka panjang masih belum diketahui.
7. Video Assisted Ablation of the Fistula Tract (VAAFT)
Diketahui sebagai pilihan penyembuhan fistula kompleks. Teknik ini
memiliki 2 fase, diagnostik dan operatif. Tujuan fase diagnostik adalah
mengetahui bukaan internal fistula dengan memasukan fistuloscope melalui
bukaan luar, dan bukaan dalam diidentifikasi saat mukosa rectal terlihat di
layar. Selanjutnua lokasi internal akan ditandai dengan beberapa jahitan.
Pada fase operatif, fistula dibersihkan, dan digunakan dengan elektroda
unipolar yang dipasang pada fistuloscope. Setelah melepaskan semua
material sampah, fistula akan ditutup menggunakan staples atau flap
mukosal. Keuntungan metode ini adalah tidak diperlukannya penambahan
lubang dan diketahuinya secara pasti bukaan dalam.
8. Laser Ablation
Mirip dengan VAAFT, ablasi laser digunakan untuk menutup dari
fistula anal rekuren. Singkatnya, setelah drainase dan teknik flap untuk
penutupan bukaan internal, alat pemancar laser dimasukan ke bukaan luar.
Selama memancarkan energi konstan, alat ini akan ditarik perlahan, dan
jalur fistula akan hancur. Teknik ini menghancurkan seluruh epitel fistula
yang mengurangi kemungkinan terjadinya rekurensi.
9. Stem Cell Injection
Belakangan ini, peneliti telah memulai menyelidiki kemungkinan
penyembuhan fistula anal dengan stem sel yang dimasukan secara langsung
melalui fistula. Laporan awal didapatkan tingkat penutupan total sebesar
30%, tapi teknik ini masih belum sempurna masih memerlukan percobaan
lebih banyak untuk benar-benar digunakan.

21
Technique Success rate
Fibrin glue 33-69% (with repeated
applications)
Fistula plug 24-92%
Endorectal advancement flap 55-98%
Ligation of the intersphincteric 61-94.4%
fistula tract
Stem cell injection 30%*
Video assisted ablation of the fistula approximately 82%
tract
Laser ablation 82%
Tabel 1. Perbandingan Kemungkinan Kesembuhan

II.2.9 Komplikasi
1. Inkontinensia
Keadaan dimana material dari anus keluar tanpa disadari oleh penderita
akibat kerusakan sfingter ani eksternal. Kerusakan bisa disebabkan dari
parahnya fistula atau terlukanya otot sfingter akibat tindakan tatalaksana yang
terlalu invasif
2. Rekurensi
Tatalaksana yang inadekuat akan menyebabkan kambuhnya fistula.
Kurangnya pengangkatan epitel fistula atau tersisanya jalur fistula yang belum
dibersihkan akan menghambat terjadinya penyembuhan sekunder dari tubuh
yang nantinya akan memicu terjadinya saluran fistula ulang.

22
DAFTAR PUSTAKA
1. Britta et al, 2016, Results of the Fifth Scientific Workshop of the ECCO (II):
Pathophysiology of Perianal Fistulizing Disease, J Crohn Collitis, Switzerland.
2. Charles F, Schwartz’s Principle of Surgery, 10th edition, 1229-1231
3. Emily et al, 2016, Management of Complex Anal Fistulas, Clin Colon Rectal
Surgery, Los Angeles, USA.
4. Akiba et al, 2016, Management of Complex Perineal Fistulas Dissease, Clin
Colon Rectal Surgery, Los Angeles, USA.
5. Ferdinand et al, 2015, Treatment of Fistula in Ano with Fistula Plug- a
Review Under Special Consideration of the Technique. Fontiers in surgery.
India
6. Michael J, Maingot Abdominal Operation, 12th edition, 824-829
7. Zubaidi A, Anal Fistula. Past and Present, Saudi Medical Journal, 2014.

23

Anda mungkin juga menyukai