Anda di halaman 1dari 18

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

III.1 Anatomi Hidung


III.1.1 Hidung Luar
Hidung terdiri atas hidung bagian luar dan dalam. Hidung luar menonjol pada garis
tengah diantara pipi dengan bibir atas, struktur hidung luar dapat dibedakan atas tiga bagian
yaitu:
1. Paling atas kubah tulang yang tak dapat digerakkan
2. Dibawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan
3. Paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan.
Bentuk hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah :
1. Pangkal hidung (bridge)
2. Batang hidung (dorsum nasi)
3. Puncak hidung (hip)
4. Ala nasi
5. Kolumela
6. Lubang hidung (nares anterior)

Gambar 1 Anatomi Hidung Luar

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari:
1. tulang hidung (os nasal)
2. procesus frontalis os maksila
3. prosesus nasalis os frontal
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di
bagian bawah hidung, yaitu
1. Sepasang kartilago nasalis lateralis superior
2. Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (ala mayor)
3. Sepasang kartilago ala minor
4. Kartilago septum

III.1.2 Hidung Dalam


Bagian kavum nasal dibagi menjadi atas struktur yang membentang dari os internum
disebelah anterior hingga koana di posterior. Rongga hidung atau kavum nasi dipisahkan oleh
septum nasi dibagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk
kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior
(koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.

Gambar 2 Anatomi Hidung Dalam


Kavum nasi terdiri dari:
1. Septum nasi
Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian posterior
dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh kartilago
septum (kuadrilateral) premaksila dan kolumela membranosa, bagian posterior dan
inferior oleh os vomer, krista maksila, krista palatine serta krista sfenoid.
2. Dinding
Terdapat 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. Dinding
medial hidung ialah septum nasi. Septum nasi dibentuk oleh tulang dan tulang rawan.
Dinding lateral terdapat konka superior, konka media dan konka inferior. Dasar
hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan prosesus horizontal os
palatum. Bagian superior terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal,
prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid, dan korpus os sphenoid. Sebagian
besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa.
3. Konka
Konka berbentuk berupa tonjolan seperti gulungan dan diantaranya terdapat meatus.
Konka inferior adalah yang terbesar dan letaknya paling bawah, kemudian yang lebih
kecil adalah konka media, yang lebih kecil dari konka media ialah konka superior,
sedangkan yang terkecil ialah konka suprema.
4. Meatus
Meatus merupakan tempat muara sinus. Meatus inferior terletak antara konka inferior
dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Terdapat muara ductus
nasolakrimalis. Meatus media terletak antara konka media dan inferior. Terdapat
muara sinus maksila, sinus frontal dan bagian anterior sinus etmoid. Meatus superior
terletak antara konka media dan superior dan terdapat muara sinus etmoid posterior
dan sinus sfenoid.
5. Vestibulum
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang nares anterior,
disebut dengan vestibulum.Vestibulum dilapisi oleh kulit yang banyak kelenjar
sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut dengan vibrise.
6. Koana
Koana atau nares posterior adalah pertemuan antara kavum nasi dengan nasofaring,
berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri septum. Tiap nares posterior
bagian bawahnya dibentuk oleh lamina horisontalis palatum, bagian dalam oleh os
vomer, bagian atas oleh prosesus vaginalis os sfenoid dan bagian luar oleh lamina
pterigoideus.
III.1.3 Vaskularisasi hidung
Secara garis besar perdarahan hidung berasal dari 3 sumber utama yaitu:
1. Arteri Etmoidalis anterior
2. Arteri Etmoidalis posterior cabang dari arteri oftalmika
3. Arteri Sfenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris interna yang berasal dari
arteri karotis eksterna.
Bagian atas hidung rongga hidung mendapat pendarahan dari a.etmoid anterior dan
posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika dari a.karotis interna. Bagian bawah
rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang arteri maksilaris interna, diantaranya ialah
ujung arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina
bersama nervus sfenopalatina dan memasuki rongga hidung dibelakang ujung posterior konka
media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang- arteri fasialis.

Gambar 3 Vaskularisasi Hidung


Bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang arteri sfenopalatina, arteri
etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina mayor, yang disebut pleksus
kieesselbach, letaknya superfisialis dan mudah cedera oleh trauma, sering menjadi sumber
epistaksis. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan
dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena oftalmika
yang berhubungan dengan sinus kavernesus. Vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga
merupakanfaktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi hingga ke intrakranial.

III.1.4 Persarafan hidung


Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n.etmoidalis anterior, merupakan cabang dari n.nasosiliaris, berasal dari n.oftalmikus (N.V-
1). Rongga hidung lannya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila
melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum juga memberikan persarafan
vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut
sensoris dari n.maksila (N.V-2), serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan
serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di
belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media. Fungsi penghidu berasal dari
nervus olfaktorius. Saraf ini turun dari lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus
olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di
daerah sepertiga atas hidung.

Gambar 4 Persarafan Hidung

III.1.5 Sinus Paranasal


Sinus paranasal merupakan salah salah satu organ tubuh manusia yang sulit
dideskripsikan karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Sinus paranasal
merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam
tulang. Ada empat pasang (delapan) sinus paranasal, empat buah pada masing-masing sisi
hidung. Semua rongga sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa
hidung, berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui ostium masing-masing.
Gambar 5 Sinus Paranasal

Secara klinis sinus paranasal dibagi menjadi dua kelompok yaitu bagian anterior dan
posterior. Kelompok anterior bermuara di bawah konka media, atau di dekat infundibulum,
terdiri dari sinus frontal, sinus maksila, dan sel-sel anterior sinus etmoid. Kelompok posterior
bermuara di berbagai tempat di atas konka media terdiri dari sel-sel posterior sinus etmoid
dan sinus sphenoid. Garis perlekatan konka media pada dinding lateral hidung merupakan
batas antara kedua kelompok. Salah satu fungsi penting sinus paranasal adalah sebagai
sumber lendir yang segar dan tak terkontaminasi yang dialirkan ke mukosa hidung.
Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang berisi udara yang
berkembang dari dasar tengkorak hingga bagian prosesus alveolaris dan bagian lateralnya
berasal dari rongga hidung hingga bagian inferomedial dari orbita dan zygomatikus. Sinus-
sinus tersebut terbentuk oleh pseudostratified columnar epithelium yang berhubungan
melalui ostium dengan lapisan epitel dari rongga hidung. Sel-sel epitelnya berisi sejumlah
mukus yang menghasilkan sel-sel goblet.

1. Sinus Maksila
Sinus maksila atau Antrum Highmore, merupakan sinus paranasal yang
terbesar. Saat lahir sinus maksila bervolume 6-8 ml, kemudian berkembang dan
mencapai ukuran maksimal yaitu 15 ml pada saat dewasa. Berbentuk piramid
ireguler dengan dasarnya menghadap ke fosa nasalis dan puncaknya ke arah apeks
prosesus zigomatikus os maksila. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os
maksila yang disebut fosa kanina,dinding posteriornya adalah permukaan infra-
temporal maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung. Dinding
superiornya adalah dasar orbita dan dinding nferiornya adalah prosesus alveolaris
dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus
dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid.
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah:
a. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu
premolar, molar, kadang-kadang juga gigi taring, bahkan akar-akar gigi tersebut
tumbuh ke dalam rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Proses supuratif
dan pencabutan gigi yang terjadi di sekitar gigi-gigi ini dapat menjalar ke mukosa
sinus melalui pembuluh darah atau limfe yang akan mengakibatkan sinusitis.
b. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita.
c. Os sinus maksila lebih tinggi letaknya dari dasar sinus, sehingga drainase hanya
tergantung dari gerak silia, dan drainase harus melalui infundibulum yang sempit.
Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat
radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan
menyebabkan sinusitis.

2. Sinus Frontalis
Sinus frontal terletak di os frontal, mulai berkembang saat usia 8-10 tahun dan
akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun. Bentuk dan ukuran sinus
frontal sangat bervariasi, ukuran rata-rata sinus frontal : tinggi 3 cm, lebar 2-2,5 cm,
dalam 1,5-2 cm, dan isi rata-rata 6-7 ml. Tidak adanya gambaran septum-septum
atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus.
Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri
anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus
frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di ressus frontal yang
berhubungan dengan infundibulum etmoid.
3. Sinus etmoid
Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di
bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm, dan
lebarnya 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior, volume sinus
kira-kira 14 ml. Sinus etmoid berongga – rongga terdiri dari sel-sel yang menyerupai
sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak
di antara konka media dan dinding medial orbita. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid
dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius, dan sinus
etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Di bagian terdepan sinus etmoid
anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan
sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid
anterior terdapat suatu penyempitan infundibulum, tempat bermuaranya ostium
sinus maksila. Peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan
peradangan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila. Atap sinus
etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribrosa. Dinding
lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid
dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan
sinus sphenoid.

4. Sinus Sfenoid
Sebelum anak berusia 3 tahun sinus sfenoid masih kecil, berkembang
sempurna pada usia 12 sampai 15 tahun. Letak sinus sfenoid adalah di dalam os
sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang
disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalah tinggi 2 cm, dalamnya 2,3 cm, dan
lebarnya 1,7 cm. Volumenya berkisar dari 5 sampai 7,5 ml. Saat sinus berkembang,
pembuluh darah dan nervus bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan
dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus sfenoid.
Batas-batasnya adalah : sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar
hipofisa, sebelah inferiornya adalah atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan
dengan sinus kavernosus dan a.karotis interna (sering tampak sebagai indentasi) dan
di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons.

Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain:
1. Pengatur kondisi udara (air conditioning )
Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur
kelembaban udara inspirasi. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang
lebih 1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa jam
untuk pertukaran udara total dalam sinus. Mukosa sinus tidak mempunyai
vaskularisasi dan kelenjar sebanyak mukosa hidung. Teori ini Sebagai penahan suhu
(thermal insulators). Sinus paranasal berfungsi sebagai buffer (penahan) panas ,
melindungi orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah.
2. Membantu keseimbangan kepala
Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka. Akan
tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang hanya akan memberikan
pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini dianggap tidak
bermakna.
3. Membantu resonansi suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi
kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat , posisi sinus dan ostiumnya tidak
memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif.
4. Sebagai peredam perubahan tekanan udara
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya
pada waktu bersin atau membuang ingus.
5. Membantu produksi mukus
Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan
dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang
turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus
medius,tempat yang paling strategis.

III.1.6 Kompleks Osteomeatal (KOM)


Kompleks osteomeatal (KOM) merupakan celah pada dinding lateral hidung yang
dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk
KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger
nasi dan ressus frontal. KOM merupakan unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi
dan drenase dari sinus yang letaknya di anterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior dan
frontal.
Gambar 6 Kompleks Osteomeatal (KOM)

III.2. Sinusitis
III.2.1 Definisi
Umumnya sinusitis didahului atau disertai dengan rhinitis sehingga sering disebut
rhinosinusitis. Rhinosinusitis pada dewasa dapat diartikan inflamasi hidung dan sinus
paranasal yang digolongkan menjadi dua gejala atau lebih gejala, salah satu harus terpenuhi
seperti hidung tersumbat/obstruksi/kongesti atau keluarnya cairan nasal baik anterior atau
post nasal drip. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila
mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis.

III.2.2 Etiologi dan faktor predisposisi


Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus, bermacam
rhinitis terutama rhinitis alergi, rhinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung, kelainan
anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks osteo-meatal,
infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia silia seperti pada sindroma
Kartegener, dan di luar negeri adalah penyakit fibrosis kistik. Pada anak, hipertrofi adenoid
merupakan faktor penting penyebab sinusitis sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk
menghilangkan sumbatan dan menyembuhkan rhinosinusitisnya. Hipertrofi adenoid dapat
didiagnosis dengan foto polos leher posisi lateral. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah
lingkungan yang berpolusi, udara dingin dan kering, serta kebiasaan merokok. Keadaan ini
lama-lama menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia.

III.2.3 Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens
mukosiliar di dalam kompleks osteo-meatal. Mukus juga mengandung substansi
antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap
kuman yang masuk bersama dengan udara pernapasan. Organ-organ yang membentuk
kompleks osteo-meatal letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan
akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya
terjadi tekanan negatif di dalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi, mula-
mula serous. Kondisi ini bisa dianggap rhinosinusitis non-bakterial dan biasanya sembuh
dalam beberapa hari tanpa pengobatan.
Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan media yang
baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen. Keadaan ini disebut
dengan rhinosinusitis akut bakterial dan memerlukan terapi antibiotik. Jika terapi tidak
berhasil (karena ada faktor predisposisi), inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri
anaerob berkembang. Mukosa makin membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang
terus berputar sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid
atau pembentukan polip dan kista. Keadaan ini mungkin diperlukan tindakan operasi.
III.2.4 Klasifikasi dan Manifestasi Klinik
Klasifikasi secara klinis dapat dibedakan menjadi akut dan kronis.
Rhinosinusitis akut (RSA), jika memenuhi kriteria sebagai berikut:
Gejala berlangsung <12 minggu, dengan minimal dua gejala berikut:
1. Hidung tersumbat
2. Keluar sekret pada hidung
3. Adanya nyeri tekan pada wajah
4. Menurunnya fungsi penghidu
Penyebab rhinosinusitis akut dibedakan menjadi virus dan bakteri.
1. Rhinosinusitis viral akut (common cold), durasi gejala < 10 hari.
2. Rhinosinusitis post viral akut apabila perburukan gejala setelah 5 hari atau
gejala menetap lebih dari 10 hari dengan lama sakit < 12 minggu
3. Rhinosinusiti bakteri, secara klinis dapat ditegakkan apabila ditemukan minimal
tiga gejala atau lebih tanda berikut:
a) Ingus purulen (umumnya unilateral)
b) Nyeri berat lokal (biasanya unilateral)
c) Demam >380
d) Peningkatan laju endap darah (LED) atau C-reactive protein (CRP)
e) Adanya perburukan gejala setelah 5 hari
Rhinosinusitis Kronik, jika memenuhi kriteria sebagai berikut:
Gejala >12 minggu dengan terdapat minimal dua gejala, salah satunya hidung
tersumbat atau pilek (sekret anterior/posterior)
± Adanya nyeri tekan pada wajah
± Menurunnya fungsi penghidu
Termasuk dengan gejala alergi, seperti bersin, ingus encer seperti air, hidung gatal,
mata gatal serta berair.

Selain itu, terdapat juga sinusitis jenis lain:


Sinusitis dentogen
Sinusitis dentogen merupakan salah satu penyebab penting sinusitis kronis. Dasar
sinus maksila adalah prosesus alveolaris tempat akar gigi rahang atas, sehingga rongga sinus
maksila hanya terpisahkan oleh tulang tipis dengan akar gigi. Bahkan kadang-kadang tanpa
tulang pembatas. Infeksi gigi rahang atas seperti infeksi apikal akar gigi atau inflamasi
jaringan periodontal mudah menyebar secara langsung ke sinus, atau melalui pembuluh darah
dan limfe.
Harus curiga adanya sinusitis dentogen pada sinusitis maksila kronik yang mengenai satu sisi
dengan ingus purulen dan napas berbau busuk. Untuk mengobati sinusitisnya, gigi yang
terinfeksi harus dicabut atau dirawat, dan pemberian antibiotik yang mencakup bakteri
anaerob. Seringkali juga perlu dilakukan irigasi sinus maksila.
Sinusitis jamur
Sinusitis jamur adalah infeksi jamur pada sinus paranasal, suatu keadaan yang tidak
jarang ditemukan. Angka kejadiannya meningkat dengan meningkatnya pemakaian
antibiotik, kortikosteroid, obat-obat imunosupresan dan radioterapi. Kondisi yang merupakan
predisposisi antara lain diabetes melitus, neutropenia, penyakit AIDS, dan perawatan yang
lama di rumah sakit. Jenis jamur yang sering menyebabkan infeksi sinus paranasal ialah
spesies Aspergilus dan Candida. Perlu diwaspadai adanya sinusitis jamur pada kasus sebagai
berikut: sinusitis unilateral, yang sukar disembuhkan dengan terapi antibiotik. Adanya
gambaran kerusakan tulang dinding sinus, atau bila ada membran berwarna putih keabu-
abuan pada irigasi antrum. Para ahli membagi sinusitis jamur sebagai bentuk invasif dan non-
invasif. Sinusitis jamur invasif terbagi menjadi invasif akut fulminan dan invasif kronik
indolen.
Sinusitis jamur invasif akut, ada invasi jamur ke jaringan dan vaskular. Sering terjadi
pada pasien diabetes yang tidak terkontrol, imunosupresi seperti leukemia dan neutropenia,
pemakaian steroid lama. Imunitas yang rendah dan invasi pembuluh darah menyebabkan
penyebaran jamur sangat cepat dan dapat merusak dinding sinus, jaringan orbita, dan sinus
kavernosus. Di kavum nasi, mukosa berwarna biru kehitaman dan ada mukosa konka atau
septum yang nekrotik. Sering berakhir dengan kematian. Sinusitis jamur invasif kronik
biasanya terjadi pada pasien dengan gangguan imunologik atau metabolik seperti diabetes.
Bersifat kronik progresif dan bisa menginvasi sampai ke orbita atau intrakranial, gambaran
kliniknya tidak sehebat yang akut karena perjalanan yang lebih lambat. Gejalanya seperti
sinusitis bakterial, tetapi sekretnya kental dengan bercak-bercak kehitaman, bila dilihat
dengan mikroskop merupakan koloni jamur.
Sinusitis jamur non-invasif, atau misetoma, merupakan kumpulan jamur di dalam
rongga sinus tanpa invasi ke dalam mukosa dan tidak sampai mendestruksi tulang. Sering
mengenai sinus maksila. Gejala klinis sering menyerupai sinusitis kronis berupa rinore
purulen, post nasal drip, dan napas bau. Kadang-kadang ada massa jamur juga di kavum nasi.
Pada operasi bisa ditemukan materi jamur berwarna cokelat kehitaman dengan atau tanpa pus
di dalam sinus.
Terapi untuk sinusitis jamur invasif ialah pembedahan, debridemen, anti jamur
sistemik, dan pengobatan terhadap penyakit dasarnya. Obat standar ialah amfoterisin B, bisa
ditambah dengan rifampisin atau flusitosin agar lebih efektif. Pada misetoma hanya perlu
terapi bedah untuk membersihkan massa jamur, menjaga ventilasi dan drainase sinus. Tidak
diperlukan anti jamur sistemik.

III.2.5 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Dalam anamnesa, selain ditanyakan keluhan, ditanyakan pula apakah keparahan
penyakitnya mengganggu aktivitas sehari hari atau tidak, dengan skala teringan sampai
terberat diukur dengan angka 0 – 10. Penyakit ini dapat dibagi menjadi ringan, sedang dan
berat berdasarkan skor total visual analogue scale (VAS) dengan intepretasi ringan 0-3,
sedang 3-7, berat 7-10. Nilai VAS >5 artinya mempengaruhi kualitas hidup pasien.
Pemeriksaan fisik dengan rhinoskopi anterior, dan posterior, pemeriksaan naso-
endoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Naso-endoskopi dapat
ditemukan nasal polip. Tanda khas ialah adanya pus di meatus medius (pada sinusitis maksila
dan ethmoid anterior dan frontal) atau di meatus superior (pada sinusitis ethmoidalis posterior
dan sfenoid). Pada rinosinusitis akut, mukosa edema dan hiperemis.
Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos atau CT-Scan. Foto polos
posisi Waters, PA, lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus-sinus besar seperti
sinus maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat perselubungan, air-fluid level, atau
penebalan mukosa. CT-Scan sinus merupakan gold standard diagnosis sinusitis karena
mampu menilai secara anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus
secara keseluruhan dan perluasannya. Namun karena mahal hanya dikerjakan sebagai
penunjang diagnosis sinusitis kronis yang tidak membaik dengan pengobatan atau pra-operasi
sebagai panduan operator saat melakukan operasi sinus.
Pada pemeriksaan transiluminasi sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap.
Pemeriksaan ini sudah jarang dilakukan karena sangat terbatas kegunaannya. Pemeriksaan
mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan mengambil sekret dari meatus
medius/superior, untuk mendapatkan antibiotik yang tepat guna. Lebih baik lagi bila diambil
sekret yang keluar dari pungsi sinus maksila.
III.2.6 Terapi
Tujuan terapi sinusitis ialah mempercepat penyembuhan, mencegah komplikasi, dan
mencegah perubahan menjadi kronis. Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan di
kompleks osteo-meatal sehingga drainase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami.
Penatalaksanaan dilakukan tergantung penyebabnya. Adapun algoritme pendekatan yang
disarankan dalam melakukan tatalaksana dari rinosinusitis dapat dijelaskan pada gambar
berikut.

Gambar 7. Algoritme pendekatan dalam tatalaksana rinosinusitis akut


Gambar 8. Algoritme tatalaksana rinosinusitis akut dokter spesialis THT

Gambar 9. Algoritme tatalaksana rinosinusitis kronik pelayanan primer


Gambar 10. Algoritme tatalaksana rinosinusitis kronik non polip dokter spesialis THT

Gambar 11. Algoritme tatalaksana rinosinusitis kronik dengan polip dokter spesialis
THT
Tindakan operasi
Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) merupakan operasi terkini untuk
sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Tindakan ini telah menggantikan hampir semua
jenis bedah sinus terdahulu karena memberikan hasil yang lebih memuaskan dan tindakan
lebih ringan dan tidak radikal. Indikasinya berupa: sinusitis kronik yang tidak membaik
setelah terapi adekuat, sinusitis kronik disertai kista atau kelainan yang ireversibel, polip
ekstensif, adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur.
Konsep FESS adalah menghilangkan jaringan yang menghalangi KOM agar drainase
sinus berjalan seperti semula. Tindakan menggunakan naso endoskopi sehingga operasi dapat
lebih mudah.
III.2.8 Komplikasi
Komplikasi sinusitis yang berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis
kronis dengan eksarsebasi akut, berupa komplikasi orbita atau intrakranial.
Kelainan orbita, disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata, yaitu
sinus ethmoid, kemudian frontal dan maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui
tromboflebitis dan perikontinuitatum. Kelainan yang dapat timbul ialah edema palpebra,
selulitis orbita, abses periosteal, abses orbita, dan selanjutnya dapat terjadi trombosis sinus
kavernosus. Kelainan intrakranial dapat berupa meningitis, abses ekstradural/subdural, abses
otak dan trombosis sinus kavernosus.
Komplikasi juga dapat terjadi pada sinusitis kronis, berupa: Osteomielitis dan abses
periosteal. Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-
anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral atau fistula pada pipi.
Kelainan paru seperti bronkhitis kronik dan bronkiektasis. Adanya kelainan sinus paranasal
disertai dengan kelainan paru ini disebut sino-bronkhitis. Selain itu, dapat juga menyebabkan
kambuhnya asma bronkhial yang sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan.

Anda mungkin juga menyukai