Anda di halaman 1dari 28

Laporan kasus

KOLELITIASIS

Disusun oleh:
Faradini
NIM. 1608437742

Pembimbing
Dr. Suindra, SpB-KBD

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RUMAH SAKIT UMUM ARIFIN ACHMAD
PROVINSI RIAU
2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Penyakit batu empedu (kolelitiasis) adalah salah satu penyakit gastrointestinal


sering terjadi, meliputi 10 sampai 20% dari populasi dunia. Penyakit ini dapat terjadi
sendiri saja atau dengan komplikasi. Etiologi penyakit batu empedu masih belum
diketahui dengan jelas. Beberapa faktor risiko yang sering ditemui pada kejadian
kolelitiasis dikenal dengan “6F” (Fat, Female, Forty, Fair, Fertile, Family history).
Penyakit batu empedu dapat terjadi simtomatik dan asimtomatik.1,2
Prevalensi penyakit batu empedu pada suku Indian di Amerika Serikat
mencapai tingkat yang tinggi yaitu sekitar 40–70%. Di Amerika Serikat, insiden batu
empedu diperkirakan 20 juta orang, dengan 70% diantaranya didominasi oleh batu
kolesterol dan 30% sisanya terdiri dari batu pigmen dan komposisi yang bervariasi
sedangkan di Asia, prevalensinya berkisar antara 3-15%, tetapi di Afrika prevalensi
rendah yaitu <5%. Angka kejadian penyakit batu kandung empedu di Indonesia
diduga tidak berbeda jauh dengan angka negara lain yang ada di Asia Tenggara,
hanya saja baru mendapatkan perhatian secara klinis, sementara penelitian batu
empedu masih terbatas. Hasil penelitian mengatakan bahwa di negara Barat 80 %
batu empedu adalah batu kolesterol. Berdasarkan penelitian di RSCM Jakarta dari 51
pasien di bagian Hepatologi ditemukan 73% pasien yang menderita penyakit batu
empedu pigmen dan batu kolesterol pada 27% pasien.3
Prevalensi bervariasi tergantung pada usia, jenis kelamin, dan etnis. Beberapa
studi menunjukkan bahwa prevalensi meningkat sering bertambahnya usia.
Perempuan memiliki risiko lebih besar daripada laki-laki, dimana didapatkan angka
kejadian yang lebih tinggi pada perempuan. Faktor risiko lain adalah obesitas,
diabetes, riwayat keluarga, paritas, merokok, dan alcohol. Keluhan klinis yang sering
ditemukan adalah nyeri pada perut kanan atas, nyeri epigastrium, demam, ikterus,

2
mual, muntah. Komplikasi yang dapat terjadi adalah kolesistitis, hidrops vesika felea,
ikterus obstruktif, pankreatitis batu empedu, sirosis biliaris, dan keganasan.4

1.2 Batasan Masalah


Laporan kasus ini membahas tentang anatomi dan fisiologi kandung empedu,
definisi, epidemiologi, etiologi, klasifikasi, diagnosis, penatalaksanaan dari
kolelitiasis beserta contoh kasus.

1.3 Tujuan Penulisan


1. Memahami dan menambah wawasan mengenai kolelitiasis.
2. Meningkatkan kemampuan menulis ilmiah di bidang kedokteran,
khususnya di bagian ilmu bedah.
3. Memenuhi salah satu syarat kelulusan kepaniteraan klinik di bagian Bedah
Fakultas Kedokteran Universitas Riau RSUD Arifin Achmad Pekanbaru.

1.4 Metode Penulisan


Penulisan laporan kasus ini menggunakan metode tinjauan pustaka dengan
mengacu dari beberapa literatur dan ilustrasi kasus.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi vesica biliaris


Vesica biliaris adalah sebuah kantong berbentuk buah pir yang terletak pada
permukaan bawah (facies visceralis) hepar. Vesica biliaris mempunyai kemampuan
menampung empedu sebanyak 30-50 ml dan menyimpannya serta memekatkan
empedu dengan cara mengabsorbsi air. Vesica biliaris dibagi menjadi fundus, corpus
dan collum. Fundus berbentuk bulat dan biasanya menonjol dibawah margo inferior
hepar, penonjolan ini merupakan tempat fundus bersentuhan dengan dinding anterior
abdomen setinggi ujung cartilage costalis IX dextra. Corpus terletak dan berhubungan
dengan facies visceralis hepar dan arahnya ke atas, belakang dan kiri. Collum
melanjutkan diri sebagai ductus cysticus yang berbelok ke dalam omentum minus dan
bergabung dengan sisi kanan ductus hepaticus communis untuk membentuk ductus
choledokus.5
Peritoneum meliputi seluruh bagian fundus dan menghubungkan corpus dan
collum dengan facies visceralis hepar. Hubungan anterior adalah dinding anterior
abdomen dan facies visceralis hepar. Hubungan posterior adalah dengan colon
transversum serta pars superior dan descendes duodenum. Vesica biliaris diperdarahi
oleh arteri cystica, cabang arteri hepatica dextra. Serta memiliki vena cystica yang
mengalirkan darah langsung ke vena porta. Persarafan yaitu saraf simpatis dan
parasimpatis membentuk plexus coeliacus. Vesica biliaris berkontraksi sebagai respon
terhadap hormone kolesistokinin yang dihasilkan oleh tunica mukosa duodenum
karena masuknya makanan berlemak dari gaster.5

4
Gambar 1. Anatomi kandung empedu

2.2 Fisiologi
Empedu dihasilkan oleh sel hepatosit yang akan diangkut melalui duktus
biliaris yang membentuk duktus biliaris komunis hingga nantinya akan sampai ke
duodenum. Lubang duktus biliaris ke dalam duodenum di jaga oleh sfingter Oddi
yang mencegah empedu masuk ke dalam duodenum kecuali sewaktu pencernaan
makanan. Ketika sfingter ini tertutup, sebagian besar empedu yang disekresikan hati
dialihkan balik kedalam kandung empedu. Karena itu, empedu tidak diangkut
langsung dari hati ke kandung empedu. Empedu kemudian disimpan dan dipekatkan
dikandung empedu diantara waktu makan. Setelah makan, empedu masuk kedalam
duodenum akibat efek kombinasi pengosongan kandung empedu dan peningkatan
sekresi empedu oleh hati. Jumlah empdeu yang disekresikan per hari sekitar 250 ml
sampai 1 liter, bergantung pada derajat perangsangan. Jika sekresi kolesterol oleh hati
berbeda jauh dengan sekresi garam empedu dan lesitin (terlalu banyak kolesterol atau
terlalu sedikit garam empedu dan lesitin) maka kelebihan kolesterol dalam empdeu
mengendap menjadi mikrokristal yang dapat menggumpal menjadi batu empedu.6
Vesica biliaris memiliki kemampuan untuk memekatkan empedu dan untuk
membantu proses ini mukosa vesica biliaris memiliki lipatan-lipatan permanen yang
saling berhubungan, sehingga permukaanya tampak seperti sarang tawon. Sel- sel
thorak yang terletak pada permukaan mukosa juga mempunyai banyak mikrovilli
yang mempermudah pemekatan. Empedu dialirkan ke duodenum sebagai akibat

5
kontraksi dan pengosongan parsial vesica biliaris. Mekanisme ini diawali dengan
masuknya makanan berlemak ke dalam duodenum. Lemak menyebabkan
pengeluaran hormone kolesistokinin dari tunica mukosa duodenum. Lalu hormone
masuk kedalam darah dan menimbulkan kontraksi vesica biliaris. Pada saat yang
bersamaan otot polos yang terletak diujung distal ductus koledokus dan ampula
relaksasi, sehingga memungkinkan masuknya empedu yang pekat ke dalam
duodenum. Garam-garam empedu di cairan empedu penting untuk mengelmusikan
lemak didalam usus serta membantu pencernaan dan absorpsi lemak.5

2.3 Definisi kolelitiasis


Kolelitiasis adalah penyakit batu empedu yang dapat ditemukan didalam
kandung empedu atau didalam duktus koledokus atau pada keduanya. Sebagian besar
batu empedu terbentuk didalam kandung empedu.7

2.4 Epidemiologi
Prevalensi penyakit batu empedu pada suku Indian di Amerika Serikat
mencapai tingkat yang tinggi yaitu sekitar 40–70%. Di Amerika Serikat, insiden batu
empedu diperkirakan 20 juta orang, dengan 70% diantaranya didominasi oleh batu
kolesterol dan 30% sisanya terdiri dari batu pigmen dan komposisi yang bervariasi
sedangkan di Asia, prevalensinya berkisar antara 3-15%, tetapi di Afrika prevalensi
rendah yaitu <5%. Angka kejadian penyakit batu kandung empedu di Indonesia
diduga tidak berbeda jauh dengan angka negara lain yang ada di Asia Tenggara,
hanya saja baru mendapatkan perhatian secara klinis, sementara penelitian batu
empedu masih terbatas. Hasil penelitian mengatakan bahwa di negara Barat 80 %
batu empedu adalah batu kolesterol.3
Berdasarkan penelitian di RSCM Jakarta dari 51 pasien di bagian Hepatologi
ditemukan 73% pasien yang menderita penyakit batu empedu pigmen dan batu
kolesterol pada 27% pasien. Prevalensi bervariasi tergantung pada usia, jenis kelamin,
dan etnis. Beberapa studi menunjukkan bahwa prevalensi meningkat sering
bertambahnya usia. Perempuan memiliki risiko lebih besar daripada laki-laki, dimana
didapatkan angka kejadian yang lebih tinggi pada perempuan.4

6
2.5 Etiologi
1. Batu kolesterol
Batu kolesterol mengandung sekitar 70% kristal kolesterol dan sisanya
kalsium karbonat, kalsium palmitat dan kalsium bilirubinat. Batu kolesterol
terbentuk hampir selalu terbentuk di dalam kandung empedu. Proses
pembentukannya melalui empat tahap, yaitu penjenuhan empedu oleh kolesterol,
pembentukan nidus, kristalisasi, dan pertumbuhan batu. Penjenuhan empedu
disebabkan oleh bertambahnya sekresi kolesterol pada keadaan obesitas, diet
tinggi kolesterol, dan pemakaian obat yang mengandung estrogen atau terjadi
penurunan relatif asam empedu karena gangguan absorbsi di ileum atau gangguan
daya penggosongan primer kandung empedu. Penjenuhan kolesterol yang
berlebihan tidak akan membentuk batu, kecuali jika ada nidus dan proses lain yang
menimbulkan kristalisasi. Nidus berasal dari pigmen empedu, mukoprotein, lendir,
bakteri atau benda asing lain. Setelah kristalisasi meliputi suatu nidus, akan
terbentuklah batu. Pertumbuhan batu terjadi karena pengendapan kristal kolesterol
di atas matriks inorganik dan kecepatannya ditentukan oleh kecepatan relatif
pelarutan dan pengendapan. Statis kandung empedu juga berperan dalam
pertumbuhan batu.7
2. Batu bilirubin (pigmen cokelat)
Batu bilirubin sering juga disebut batu pigmen mengandung kalsium
bilirubinat dan kadar kolesterol kurang dari 25%. Umumnya batu pigmen coklat
ini terbentuk di saluran empedu dalam empedu yang terinfeksi. Batu pigmen
coklat biasanya ditemukan dengan ukuran diameter kurang dari 1 cm, berwarna
coklat kekuningan, lembut dan sering dijumpai di daerah Asia. Batu ini terbentuk
akibat faktor stasis dan infeksi saluran empedu. Stasis dapat disebabkan karena
disfungsi sfingter Oddi, striktur duktus, operasi bilier, dan parasit. Pada infeksi
empedu, kelebihan aktivitas β-glucuronidase bakteri memegang peran kunci dalam
patogenesis batu pigmen. Hidrolisis bilirubin oleh enzim tersebut akan membentuk
bilirubin tak terkonjugasi yang akan mengendap sebagai calcium bilirubinate.
Enzim β-glucuronidase bakteri berasal dari kuman E.coli dan kuman lainnya di

7
saluran empedu. Biasanya pada pasien batu bilirubin, tidak ditemukan empedu
yang jenuh dengan kolesterol, namun ditemukan konsentrasi bilirubin tak
terkonjugasi yang tinggi.7
3. Batu pigmen hitam
Batu tipe ini banyak dijumpai pada pasien dengan anemia hemolisis kronik
atau sirosis hati. Batu pigmen ini terutama terdiri dari derivat polymerized
bilirubin. Patogenesis terbentuknya batu pigmen ini belum jelas. Umumnya batu
pigmen hitam terbentuk dalam kandung empedu dengan empedu yang steril. Batu
empedu jenis ini umumnya berukuran kecil, hitam dengan permukaan yang kasar.
Biasanya batu pigmen ini mengandung kurang dari 10% kolesterol.

2.6 Faktor resiko


Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko. Semakin banyak
faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya
kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain:8
a. Jenis Kelamin
Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan
dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap
peningkatan eksresi kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang
meningkatkan kadar esterogen juga meningkatkan resiko terkena kolelitiasis.
Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon (esterogen) dapat
meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan aktivitas
pengosongan kandung empedu.
b. Usia
Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya
usia. Orang dengan usia >60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis
dibandingkan dengan orang dengan usia yang lebih muda.
c. Berat badan
Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi
untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar

8
kolesterol dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurangi produksi
garam empedu serta mengurangi kontraksi/pengosongan kandung empedu.
d. Makanan
Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah
operasi gatrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari
empedu dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.
e. Riwayat keluarga
Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar
dibandingkan dengan tanpa riwayat keluarga.
f. Aktifitas fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya
kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit
berkontraksi.

2.7 Diagnosis
a. Anamnesis
Dua pertiga penderita batu kandung empedu merupakan asimtomatik.
Kolelitiasis asimtomatik biasanya diketahui secara kebetulan, ketika melakukan
pemeriksaan ultrasonografi, foto polos abdomen atau perabaan saat operasi. Keluhan
yang mungkin timbul berupa dispepsia yang kadang disertai intolerans terhadap
makanan berlemak.
Pada penderita simtomatik, keluhan utamanya berupa nyeri di daerah
epigastrium, kuadran kanan atas atau prekordium. Rasa nyeri adalah kolik belier yang
berlangsung sekitar 15 menit dan menghilang setelah beberapa jam kemudian.
Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan, dan dapat menyebar ke punggung
bangian tengah, skapula, atau ke puncak bahu, disertai mual dan muntah. Jika terjadi
kolesistitis, keluhan nyeri menetap dan bertambah saat menarik napas dalam dan saat
kandung empedu tersentuh ujung jari tangan sehingga pasien berhenti menarik napas
yang merupakan tanda perangsangan peritoneum lokal (Murphy’ sign).

9
Jika batu terdapat di duktus koledokus, riwayat nyeri atau kolik di epigastrium
dan perut kanan atas akan disertai tanda sepsis seperti demam dan menggigil bila
terjadi kolangitis. Biasanya terdapat ikterus dan urin yang berwarna gelap yang hilang
timbul. Pruritus ditemukan pada ikterus obstruktif kronis di daerah tungkai.7

b. Pemeriksaan fisik
1. Batu kandung empedu
Biasanya tidak ditemukan kelainan, jika ada hal ini berhubungan dengan
komplikasi seperti kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrops
kandung empedu, empiema kandung empedu. Pada pemeriksaan fisik ditemukan
nyeri tekan pada punktum maksimum di lokasi kandung empedu. Tanda murphy
positif apabila nyeri tekan bertambah saat penderita menarik napas panjang karena
kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksan dan pasien
berhenti menarik napas.7
2. Batu saluran empedu
Batu saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang. Kadang
teraba hati agak membesar dan sklera ikterik. Apabila timbul serangan kolangitis
yang disertai obstruksi, akan ditemukan gejala klinis sesuai dengan beratnya
kolangitis tersebut. Kolangitis akut ringan sampai sedang biasanya ditandai tengan
trias Charcot, yaitu demam mengigil, nyeri didaerah hati dan ikterus. Apabila
bertambah berat akan timbul lima gejala pentade Reynold berupa tiga gejala tria
Charcot ditambah syok dan gangguan mental atau penurunan kesadaran.7

c. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan
kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut dapat
terjadi leukositosis, biasanya akan diikuti kenaikan ringan bilirubin serum akibat
penekanan duktus koledokus oleh batu. Kadar bilirubin serum yang yang tinggi
mungkin disebabkan oleh batu di dalam duktus koledokus. Kadar fosfatase alkali

10
serum dan mungkin kadar amylase serum biasanya meningkat sedang setiap kali
terjadi serangan akut.7
2. Pemeriksaan Radiologis8
a. Foto polos abdomen
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena
hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang
kandung empedu yang mengandung empedu berkalsium tinggi dapat dilihat dengan
foto polos abdomen. Foto polos abdomen posisi upright dan supine dapat membantu
dalam menegakkan diagnosis penyakit batu empedu. Pigmen hitam atau batu empedu
campuran mengandung kalsium yang dapat dilihat pada foto polos abdomen. Temuan
udara di saluran empedu pada foto polos dapat mengindikasikan perkembangan
fistula choledochoenteric atau cholangitis dengan organisme pembentuk gas.
Kalsifikasi di dinding kantong empedu (yang disebut kantong empedu porselen)
adalah menandakani kolesistitis kronis yang berat. Peran utama foto polos adalah
untuk mengevaluasi pasien dengan dugaan penyakit batu empedu dan menyingkirkan
penyebab lain dari nyeri perut akut, seperti obstruksi usus, perforasi viseral, batu
ginjal, atau pankreatitis kalsifikasi kronis.

Gambar 2. Foto polos abdomen (kolelitiasis)


b. Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi adalah prosedur pilihan pada dugaan kandung empedu atau
penyakit empedu; Pemeriksaan ini paling sensitif, spesifik, tidak invasif, dan murah

11
untuk mendeteksi batu empedu. Selain itu, sangat sederhana, cepat, dan aman dalam
kehamilan, dan tidak mengekspos pasien terhadap radiasi berbahaya atau kontras
intravena. Sensitivitas bervariasi dan bergantung pada kemampuan operator, namun
secara umum sangat sensitif dan spesifik untuk batu empedu lebih besar dari 2 mm.
Namun kurang sensitif untuk mikrolitiasis. Ultrasonografi sangat berguna untuk
mendiagnosis kolesistitis akut tanpa komplikasi. Gambaran sonografi kolesistitis akut
meliputi penebalan dinding kandung empedu (> 5 mm), cairan pericholecystic,
distensi kandung empedu (> 5 cm). Batu empedu bersifat echogenic di kantong
empedu dan bisa bergerak bebas dengan perubahan posisi. Bila kantong empedu
benar-benar penuh dengan batu empedu, batu-batu itu mungkin tidak terlihat pada
ultrasound. Namun, garis ekogenik ganda (satu dari dinding kandung empedu dan
satu dari batu) dengan bayangan akustik dapat terlihat jelas. Batu yang terdapat di
duktus koledokus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara di dalam
usus.

Gambar 3. USG kandung empedu (kolelitiasis)

c. Endoscopic ultrasound (EUS)


Endoscopic ultrasound merupakan pemeriksaan yang akurat dan teknik
noninvasive untuk mengidentifikasi batu di distal CBD. Sensitivitas dan spesitifitas
mendeteksi batu CBD dilaporkan 85-100%.

12
d. CT Scan
CT scan kurang sensitif dibanding ultrasonografi untuk mendeteksi batu
empedu dan lebih mahal. Pemeriksaan CT scan lebih unggul dari ultrasonografi untuk
melihat batu empedu di distal CBD. Batu empedu sering ditemukan secara kebetulan
pada pemeriksaan CT scan. Meskipun pemeriksaan pilihan pada kolik empedu, CT
dapat digunakan untuk lebih mengkarakteristik komplikasi penyakit kandung
empedu.

Gambar 4. CT scan abdomen (kolelitiasis)

e. Magnetic Resonance Cholangiopancreatography (MRCP)


Magnetic Resonance Imaging (MRI) dengan magnetic resonance
cholangiopancreatography (MRCP) pemeriksaan pencitraan yang sangat baik dan
tidak invasif untuk mengidentifikasi batu empedu di saluran empedu, termasuk di
CBD. Pedoman ACR 2010 merekomendasikan MRI sebagai pemeriksaan pencitraan
sekunder jika gambar ultrasound tidak memberikan gambaran yang jelas pada
kolelitiasis.

13
Gambar 5. MRCP (kolelitiasis)

f. Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)


ERCP memberikan gambaran pada saluran empedu. Pemeriksaan ini
dilakukan dengan memasukkan endoskop ke dalam duodenum dan papil Vateri.
Kemudian larutan kontras radioopak di masukkan ke dalam duktus biliaris. Batu
terlihat sebagai filling defect. ERCP biasanya digunakan bersamaan dengan
Endoscopic Retrograde Sphincterotomy dan ekstraksi batu kandung empedu.

Gambar 6. ERCP Batu Koledokus (bayangan radiolusen)

14
2.8 Diagnosis banding
Kolesistitis, Kolangitis, Pankreatitis, Hepatitis

2.9 Tatalaksana
1. Non operatif
a. Disolusi Kolesterol
Asam uroksoksikolat (ursodiol) dosis 8-10 mg / kg / hari PO adalah agen
pelarutan batu empedu. Pemberian asam ursodeoksikol jangka panjang mengurangi
kejenuhan kolesterol empedu, baik dengan mengurangi sekresi kolesterol hati dan
dengan mengurangi efek deterjen dari garam empedu di kantong empedu. Desaturasi
empedu mencegah kristal terbentuk dan memungkinkan ekstraksi kolesterol secara
bertahap dari batu yang ada. Intervensi ini biasanya memerlukan waktu 6-18 bulan
dan hanya berhasil dengan batu-batu kecil yang murni kolesterol. Pasien tetap
berisiko mengalami komplikasi batu empedu sampai pemecahan selesai. Tingkat
kekambuhannya adalah 50% dalam waktu 5 tahun. Selain itu, setelah penghentian
pengobatan, sebagian besar pasien membentuk batu empedu baru selama 5-10 tahun
ke depan.
b. Extracorporal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)
ESWL merupakan litotripsi untuk batu empedu dimana dasar terapinya adalah
disintegrasi batu dengan gelombang kejut sehingga menjadi partikel yang lebih kecil.
Pemecahan batu menjadi partikel kecil bertujuan agar kelarutannya dalam asam
empedu menjadi meningkat serta pengeluarannya melalui duktus sistikus dengan
kontraksi kandung empedu juga menjadi lebih mudah.

2. Operatif.
Tatalaksana operatif yang sering digunakan adalah kolesistektomi. Indikasi
dilakukannya kolesistektomi adalah: (1) batu besar (diameter > 2 cm), karena dapat
menyebabkan kolesistitis akut dan (2) kalsifikasi dari kandung empedu, karena sering
berhubungan dengan karsinoma.
1. Kolesistektomi Terbuka

15
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien dengan
kolelitiasis simptomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi
adalah cedera duktus biliaris yang terjadi pada 0,2 % pasien. Angka mortalitas
yang dilaporkan untuk prosedur ini < 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk
kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut

2. Kolesistektomi Laparoskopi
Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasisi simtomatik tanpa adanya
kolesistisis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah
mulai melakukan operasi ini pada pasien dengan kolesistitis akut dan pasien
dengan batu duktus koledokus. Keuntungan tindakan ini dibandingkan prosedur
konvensional adalah dapat mengurangi masa perawatan di RS, pasien dapat cepat
bekerja, rasa nyeri kurang dan perbaikan kosmetik. Masalah adalah keamanan,
yaitu insiden komplikasi seperti cedera duktus biliaris yang lebih sering.

2.10 Komplikasi
Kompilikasi yang dapat terjadi pada penderita kolelitiasis: 3,4,10

a. Di dalam kandung empedu:


 Asimptomatik
 Kolesistitis kronis
 Kolesistitis akut
 Gangren
 Empiema
 Perforasi
 Mukokel
 Karsinoma
b. Di dalam duktus

 Ikterus obstruksi

16
 Kolangitis
 Pankreatitis akut
c. Di intestinal
 Obstruksi intestinal akut (ileus batu empedu)

2.11 Prognosis
Adanya obstruksi dan infeksi didalam saluran bilier dapat menyebabkan
kematian. Akan tetapi dengan diagnosis dini dan penatalaksanaan yang tepat,
prognosis umumnya baik.

17
BAB III
LAPORAN KASUS

Nama : Ny. Esy herlina


Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 32 tahun
Alamat : Jln. Rajawali sakti Pekanbaru
No RM : 576419
Tanggal masuk : 18 September 2017

ANAMNESIS
Autoanamnesa

Keluhan utama

 Nyeri perut kanan atas sejak 1 minggu SMRS

Riwayat penyakit sekarang:


 5 bulan SMRS pasien mengeluhkan nyeri ulu hati. Nyeri dirasakan tidak menentu
waktunya tapi lebih sering malam hari. Perut terasa cepat penuh dan sering
bersendawa terutama ketika habis makan makanan belemak. Riwayat maag (-),
mual (+), muntah (-). Pasien berobat ke dokter dan diberikan obat maag namun
keluhan tidak hilang.
 3 bulan SMRS pasien mengeluhkan nyeri ulu hati yang menjalar sampai ke
punggung kanan. Nyeri seperti tertusuk jarum dan dirasakan hilang timbul.
 1 minggu SMRS pasien mengeluhkan nyeri di perut kanan atas, ulu hati dan
menjalar kepunggung kanan. Nyeri seperti tertusuk jarum dan dirasakan hilang
timbul dengan durasi setiap nyeri ± 20 menit. Nyeri tidak berkurang dengan
perubahan posisi. Pasien mengatakan bahwa 1 hari sebelumnya pasien makan
bakso, lemak sapi dan mie instan. Nyeri disertai mual (+), muntah ± 4 kali berisi

18
makanan, warna kuning, darah (-), BAK pasien berwarna seperti teh pekat, darah
(-), nyeri (-), berpasir/batu (-). BAB berwarna sedikit pucat, darah (-).
 3 hari SMRS pasien dibawa ke RS Awal bros karena keluhan nyeri perut kanan
atas yang tidak bisa ditahan lagi. Namun ketika sampai di IGD nyeri perut hilang
sehingga pasien dipulangkan. Sorenya, pasien mengeluhkan nyeri perut kanan atas
muncul lagi sehingga pasien dibawa ke RS Awal bros dan dirawat.
 1 hari SMRS pasien mengeluhkan kulit dan mata berwarna kuning, gatal-gatal (-).

Riwayat penyakit dahulu


 Pasien belum pernah merasakan keluhan seperti ini sebelumnya
 Riwayat hepatitis B tahun 2012 (+)
 Kolestrol tinggi (-)
 Darah tinggi (-)
 Diabetes mellitus tipe 2 (-)
 Riwayat sakit jantung (-)

Riwayat penyakit keluarga:


• Ibu pasien pernah menderita batu empedu  sudah dioperasi
• Riwayat sakit kuning (-)
• Kolestrol tinggi (-)
• Darah tinggi (+)
• Diabetes mellitus tipe 2 (+)

Riwayat kebiasaan, sosial dan ekonomi


 Pasien bekerja sebagai wiraswasta
 Tidak merokok
 Alkoholik (-)
 Suka makan makanan berlemak (+)
 Jarang berolahraga (+)
 Konsumsi jamu-jamuan (-)

19
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Komposmentis kooperatif
Tekanan darah : 130/90 mmHg
Nadi : 75x/menit, regular, isi dan tegangan cukup
Nafas : 20x/menit
Suhu : 37ºC
TB : 155 cm
BB : 73 kg
BMI : 30,4 (Overweight)

Kepala dan leher


Mata  konjungtiva anemis (-/-), sklera subikterik (+/+)
Hidung  keluar cairan (-), epistaksis (-)
Telinga  keluar cairan (-), darah (-)
Mulut  pucat (-), sianosis (-), gusi berdarah (-)
Leher  pembesaran KGB dan tiroid (-), JVP 5-2 cmH20

Gambar 7. Foto sclera subikterik

20
Toraks
Paru :
Inspeksi  bentuk dan pergerakan simetris kiri dan kanan
Palpasi  vocal fremitus simetris kanan dan kiri
Perkusi  sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi  vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung :
Inspeksi  Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi  Ictus cordis teraba linea midklavikula sinistra ICS V
Perkusi  batas kanan jantung : linea sternalis dextra
batas kiri jantung : linea midklavikula sinistra
Auskultasi  S1 dan S2 normal regular, murmur(-), gallop (-)

Abdomen
• Inspeksi : Perut datar simetris, strie (-), caput medusa (-), dilatasi vena
(-), kulit subikterik
• Auskultasi : BU (+) 10x/menit, bruit (-)
• Perkusi : Timpani seluruh lapangan perut
• Palpasi : Nyeri tekan regio epigastrium, hipokondrik dextra (+),
murphy sign (+), hepar dan lien tidak teraba

Gambar 8. Kulit subikterik

21
Ekstremitas
Superior dan Inferior : edema (-), nyeri tekan(-), CRT < 2 detik, sianosis (-), akral
hangat

Diagnosis kerja
Suspek kolelitiasis

Diagnosis banding
Koledokolitiasis, kolesistitis, pankreatitis

Usulan pemeriksaan penunjang


- Bilirubin serum
- HBsAg
Hasil pemeriksaan penunjang
Darah rutin
Hb : 11,1 gr/dl
Leukosit : 11.100/uL
Hematokrit : 32,7 %
Trombosit : 488.000/uL
Kimia darah
SGOT : 479,0 U/L
SGPT : 424,0 U/L
Ureum : 12,6 mg/dl
Kreatinin : 0,48 mg/dl
GDS : 113 mg/dl
LDL : 96 mg/dl
TGL : 57 mg/dl

22
USG abdomen

Kesan : Cholelithiasis, cholesistitis, biliariektasis ringan

DIAGNOSIS
Kolelitiasis disertai kolesistitis

Tatalaksana
Non farmakologi :

23
• Bed rest
• IVFD Ringer Laktat 20 tpm
Farmakologi :
• Tramadol inj 3 x 10 mg
• Ceftriaxone inj 2 x 1 gr
• Omeprazole inj 2 x 40 mg
Operatif
Kolesistektomi

BAB IV
PEMBAHASAN

Pada kasus dilaporkan wanita usia 32 tahun datang dengan keluhan nyeri
perut kanan atas sejak 1 minggu SMRS. Pasien memiliki BMI overweight yaitu 30,4.
Dari riwayat penyakit keluarga didapatkan bahwa ibu pasien pernah menderita
penyakit batu empedu dan pasien juga jarang berolahraga. Dari kasus ini didapatkan
bahwa pasien memiliki 4 faktor resiko yaitu jenis kelamin wanita, BMI overweight,
memiliki riwayat keluarga dengan batu empedu dan jarang melakukan aktivitas fisik
seperti berolahraga.
Beberapa faktor resiko kolelitiasis adalah jenis kelamin dimana insidensi lebih
tinggi pada perempuan dan beresiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis
dibandingkan dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh
terhadap peningkatan eksresi kolesterol oleh kandung empedu. Selain itu faktor
resiko lainnya adalah orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai
resiko lebih tinggi untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI
maka kadar kolesterol dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurangi
produksi garam empedu serta mengurangi kontraksi/pengosongan kandung empedu.
Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar

24
dibandingkan dengan tanpa riwayat keluarga. Kurangnya aktifitas fisik berhubungan
dengan peningkatan resiko terjadinya kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh
kandung empedu lebih sedikit berkontraksi.
Pada kasus, dari anamnesis didapatkan sejak 5 bulan SMRS pasien
mengeluhkan nyeri ulu hati. Nyeri dirasakan tidak menentu waktunya dan disertai
mual. Pasien berobat ke dokter dan diberikan obat maag namun keluhan tidak hilang.
3 bulan SMRS pasien mengeluhkan nyeri ulu hati yang menjalar sampai ke punggung
kanan. Nyeri seperti tertusuk jarum dan dirasakan hilang timbul, tidak berkurang
dengan perubahan posisi. 1 minggu SMRS pasien mengeluhkan nyeri di perut kanan
atas, ulu hati dan menjalar kepunggung kanan. Nyeri seperti tertusuk jarum dan
dirasakan hilang timbul dengan durasi setiap nyeri ± 20 menit. Pasien mengatakan
bahwa 1 hari sebelumnya pasien makan bakso, lemak sapi dan mie instan. Keluhan
diserta mual dan muntah ± 4 kali berisi makanan, BAK pasien berwarna seperti teh
pekat. 1 hari SMRS pasien mengeluhkan kulit dan mata berwarna kuning.
Kolelitiasis asimtomatik biasanya memiliki keluhan berupa dispepsia yang
kadang disertai intolerans terhadap makanan berlemak. Pada kasus simtomatik,
keluhan utamanya berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas atau
prekordium. Rasa nyeri adalah kolik belier yang berlangsung sekitar 15 menit dan
menghilang setelah beberapa jam kemudian. Nyeri dapat menjalar ke punggung
bangian tengah, skapula, atau ke puncak bahu, disertai mual dan muntah. Jika batu
terdapat di duktus koledokus, biasanya terdapat ikterus dan urin yang berwarna gelap
yang hilang timbul. Pruritus ditemukan pada ikterus obstruktif kronis di daerah
tungkai.
Pada kasus, ditemukan terdapat nyeri tekan pada region epigastrium dan
hipokondrium dextra serta murphy sign (+). Selain itu pada inspeksi di dapatkan
sklera dan kulit pasien ikterik.
Pemeriksaan fisik kolelitiasis akan ditemukan nyeri tekan pada punktum
maksimum di lokasi kandung empedu. Tanda murphy positif apabila nyeri tekan
bertambah saat penderita menarik napas panjang karena kandung empedu yang
meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksan dan pasien berhenti menarik napas.

25
Pada kasus didapatkan diagnosis kerja ikterik suspek kolelitiasis. Untuk dapat
menegakkan dan memastikan diagnosis maka dapat diusulkan pemeriksaan
penunjang seperti darah rutin, total bilirubin dan bilirubin 1, profil lemak, faal hati
dan USG abdomen. Dari pemeriksan penunjang didapatkan peningkatan SGPT dan
SGOT yaitu 424 U/L dan 479 U/L serta pada USG abdomen didapatkan kesan
cholelithiasis, cholesistitis, biliariektasis ringan. Ultrasonografi adalah prosedur
pilihan pada dugaan kandung empedu atau penyakit empedu; Pemeriksaan ini paling
sensitif, spesifik, tidak invasif, dan murah untuk mendeteksi batu empedu. Selain itu,
sangat sederhana, cepat, dan aman dalam kehamilan, dan tidak mengekspos pasien
terhadap radiasi berbahaya atau kontras intravena. Sensitivitas bervariasi dan
bergantung pada kemampuan operator, namun secara umum sangat sensitif dan
spesifik untuk batu empedu lebih besar dari 2 mm. Namun kurang sensitif untuk
mikrolitiasis. Prinsip tatalaksana : Pasien dengan batu asimptomatik tidak
memerlukan terapi bedah, Kolesistektomi laparoskopi jika bergejala. Prinsip
tatalaksana farmakologi : Fungsi kandung empedu : Hasil normal untuk USG
fungsional , karakteristik batu : radiolusen pada radiografi, isodens atau hipodens
pada USG, tidak ada kalsifikasi pada CT scan, single, diameter <6 mm

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Selvi RT, Sinha P, Subramaniam PM, Konapur PG, Prabha CV. A


Clinicopathological study of cholecystitis with special reference to analysis of
cholelithiasis. International Journal of Basic Medicine 2011;2(2):68-72.
2. Bass G, Gilani SNS, Walsh TN. Symptomatic cholelithiasis has six Fs a
validation of epidemiologically-derived historical predictors. Proceedings of
21st Waterford Surgical October Meeting 2011; 2011 Oct; Dublin, Ireland.
Dublin: Elsevier; 2011.
3. Ginting, Setiamenda.A description characteristicrisk factor of the kolelitiasis
disease in Colombia Asian Medan hospital 2011.
4. Pradhan SB, Joshi MR, Vaidya A. Prevalence of different types of gallstone in
the patients with cholelithiasis at Kathmandu Medical College, Nepal.
Kathmandu University Medical Journal 2009;7(3):268-71
5. Snell RS. Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran. Ed. 6. Jakarta: EGC;
2006
6. Sherwood. Lauralee. 2011. Fisiologi manusia. Jakarta : EGC
7. Sjamsuhidayat R, de Jong W. Kolelitiasis. Dalam : Buku Ajar Ilmu Bedah.
Edisi 1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2007;

27
8. Heuman, DM. Cholelithiasis. 2010 [Diakses tanggal 1 oktober 2017]
http://www.emedicine.com/

28

Anda mungkin juga menyukai