Anda di halaman 1dari 47

A.

ANTIARITMIA

Aritmia merupakan gangguan irama jantung yang merujuk pada setiap

gangguan frekuensi, regularitas, lokasi asal atau konduksi impuls listrik

jantung. Insidensi aritmia sebanding dengan pertambahan usia, 70% aritmia

terjadi pada usia 65-85 tahun dan 84% terjadi pada usia di atas 85 tahun.

Obat-obatan antiaritmia dibagi dalam 4 kelas oleh Singh dan Vaughan menjadi:

1. Kelas I : A. Memperpanjang masa refrakter dan memperlambat

konduksi.

B. Memperpendek masa refrakter dan memperlambat

konduksi.

C. Hanya berefek ringan terhadap masa refrakter dan

memperlambat konduksi.

2. Kelas II : Merupakan beta bloker yang bersifat antiadrenergik.

3. Kelas III : Merupakan obat yang memperpanjang masa refrakter atau

memperlebar masa potensial aksi.

4. Kelas IV : Merupakan penghambat kanal Ca2+ melalui penekanan

potensial aksi Ca2+ dependent dan perlambatan konduksi

di nodus AV.

5. Lainnya

 Kelas IA

i) Kuinidin

Farmakokinetik

Kuinidin sulfat mencapai kadar puncak setelah 60-90 menit pemberian per

oral, sementara kuinidin glukonat mencapai kadar puncak 3-4 jam setelah
pemberian per oral. Keduanya memiliki waktu paruh sekitar 6 jam. Hampir 90

% kuinidin berikatan dengan protein. Kuinidin dimetabolisme di hati dan

diekskresikan melalui ginjal. Klirens kuinidin berkurang dan kadarnya

meningkat dalam plasma bila bersamaan dengan pemberian natrium bikarbonat

atau asetazolamid. Pemberian bersamaan dengan digitalis akan memunculkan

efek toksik. Sementara fenobarbital dan fenitoin dapat memperpendek masa

kerja kuinidin.

Dosis

Kuinidin diberikan per oral dalam rentang dosis 200-300 mg, 3-4 kali sehari.

Diindikasikan untuk kontraksi atrium dan ventikel prematur, terapi

pemeliharaan dan dosis yang lebih tinggi untuk takikardia ventrikel

paroksismal.

Efek Samping

Pada kardiovaskular, kuinidin dosis tinggi dapat menyebabkan henti SA,

blokade AV derajat tinggi, aritmia ventrikel dan asistol. Selain itu, bizzare

arrhythmias, takikardia ventrikel polimorfik, sinkop, aritmia torsades de

pointes, takikardia paradoksal dan hipotensi dapat pula terjadi pada pasien

yang diterapi dengan kuinidin. Efek samping non-kardiovaskular berupa

tinitus, tuli, penglihatan kabur, keluhan saluran cerna, sakit kepala, diplopia,

fotofobia, perubahan persepsi warna, bingung, delirium, psikosis, kulit panas

dan merah, mual, muntah, diare, nyeri abdomen, hipersensitivitas, reaksi

anafilaktik dan trombositopenia.

ii) Prokainamid
Farmakokinetik

Kadar puncak prokainamid dapat tercapai setelah 45-70 menit pemberian per

oral. Sekitar 20% proikainamid terikat dengan protein plasma. Prokainamid

dimetabolisme di hati dan diekskresikan melalui ginjal. Dalam minggu pertama

pasca infark miokard akut, abrobsi prokainamid secara oral tidak maksimal.

Distribusi prokainamid juga dapat memburuk pada keadaan gagal jantung atau

pun syok. Sementara obat ini akan meningkat kadarnya bila diberikan pada

pasien dengan penurunan fungsi ginjal atau peningkatan ureum darah.

Dosis

Prokainamid tersedia dalam bentuk kapsul 250-500 mg atau tablet lepas lambat

250-1000 mg untuk pemberian per oral. Sementara pemberian melalui injeksi

intramuskular atau pun intravena dapat diberikan sediaan 100 atau 500 mg/mL.

Pada aritmia akut atau tidak stabil, disarankan pemberian secara intravena 100

mg selama 2-4 menit, tiap 5 menit, sampai aritmia terkontrol, efek samping

terlihat atau pada pemberian dosis total sebesar 1000 mg sudah dilakukan

namun tidak membaik. Untuk terapi jangka panjang, dapat diresepkan

prokainamid per oral 3-6 g/hari setiap 6-8 jam.

Efek Samping

Pada kardiovaskular, pemberian prokainamid dapat menyebabkan takikardia

paradoksal ventrikel, hipotensi, perikarditis dan gangguan perikardial lainnya.

Sementara efek samping lain berupa gejala saluran cerna, pusing, psikosis,

halusinasi, depresi, agranulositosis yang diikuti infeksi fatal, mialgia,


angioedema, rash, vaskulitis jari, fenomena Reynaud, atralgia, gangguan

pleura, demam, hepatomegali dan SLE karena obat.

iii) Disopiramid

Farmakokinetik

Disopiramid mencapai kadar puncak dalam 1-2 jam setelah pemberian secara

oral. Kira-kira 70% obat ini berikatan dengan protein plasma. Sebagian kecil

dari disopiramid mengalami metabolisme lintas pertama di hati. Ekskresi

disopiramid dapat dalam bentuk utuh atau pun metabolit melalui ginjal, pada

keadaan gagal ginjal, dibutuhkan waktu yang panjang untuk mengeliminasi

disopiramid dari tubuh.

Dosis

Dosis harian disopiramid adalah 400-800 mg yang tebagi dalam 4 kali

pemberian, dengan sediaan berupa tablet 100 mg atau 150 mg.

Efek Samping

Efek samping kardiovaskuler dari disopiramid berupa peningkatan tekanan

darah sementara, efek ini akan terlihat lebih nyata daripada obat kelas IA

lainnya. Efek samping non-kardiovaskuler berupa mulut kering, penglihtan

kabur, gangguan miksi dan keluhan saluran cerna.

 Kelas IB

i) Lidokain

Farmakokinetik

Pada pemberian secara intramuskular, kadar puncak tercapai dalam 15 menit

pertama. Sekitar 70% lidokain berikatan dengan protein plasma. Lidokain


mengalami metabolisme ekstensif saat melewati hati. Pada gangguan hati,

kecepatan metabolisme ini akan menurun. Lidokain diekskresikan dalam

bentuk metabolit. Pada pasien payah jantung atau syok, kadar lidokain dalam

plasma dapat meningkat 2x lipat.

Dosis

Pada pemberian secara intravena, dibutuhkan dosis efektif sejumlah 0,7-1,4

mg/kgBB. Dapat diberikan kembali 5 menit kemudian dengan dosis yang tidak

lebih dari 200-300 mg/jam. Pasien dengan gagal jantung harus diberikan dosis

secara intravena yang lebih kecil. Sementara secara intramuskular, obat ini

dapat bertahan selama 90 menit dengan dosis 4-5 mg/kgBB. Lidokain hanya

diindikasikan pada pasien rawatan intensif yang mengalami aritmia akibat

infark miokard akut, bedah jantung terbuka atau pun obat-obatan digitalis.

Efek Samping

Efek samping kardiovaskuler dari lidokain sangat minimal, yang lebih terlihat

jelas adalah efek samping berupa disosiasi, parestesia perioral, mengantuk,

agitasi, penurunan fungsi pendengaran, disorientasi, kedutan otot, kejang dan

henti nafas.

ii) Fenitoin

Farmakokinetik

Sekitar 90% fenitoin berikatan dengan protein plasma. Fenitoin mengalami

metabolisme yang lambat dan dieliminasi melalui hidroksilasi di hati. Pada


keadaan uremia, fenitoin yang berikatan dengan protein plasma akan berkurang

jumlahnya.

Dosis

Dapat diberikan melalui oral atau pun intravena intermiten. Pemberian per oral

dimulai dengan dosis 15 mg/kgBB pada hari pertama, dilanjutkan 7,5

mg/kgBB pada hari kedua dan dosis pemeliharaan 4,5-6 mg/kgBB. Sementara

melalui intravena intermiten diberikan dengan dosis 100 mg tiap 5 menit

sampai aritmia terkendali atau sampai muncul efek samping. Kecepatan

pemberian tidak melebihi 50 mg/menit. Fenitoin diindikasikan pada keadaan

yang sama dengan penggunaan lidokain, namun pemberian fenitoin bersamaan

dengan penyekat adrenoreseptor-β juga efektif dalam mengobati takikardia

ventrikel yang menetap pada pasien penyakit jantung koroner dan takiaritmia

yang menyertai sindrom Q-T panjang.

Efek Samping

Efek samping yang menonjol pada pemberian fenitoin adalah mengantuk,

nistagmus, vertigo, ataksia dan mual.

iii) Tokainid

Farmakokinetik

Pada pemberian per oral, tokainid mencapai kadar puncak dalam 1-2 jam

dengan waktu paruh 11-15 jam. Tokainid diekskresikan ke urin melalui ginjal

dalam bentuk utuh atau pun metabolit. Tokainid akan lebih lama di dalam

plasma pada pasien gagal ginjal atau pun gagal hati.


Dosis

Sediaan per oral tokainid adalah tablet 400 mg dan 600 mg yang dapat

diberikan tiap 8 jam. Dosis maksimal dari obat ini adalah 2.400 mg/hari,

sementara pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau hati hanya 1.200

mg/hari. Penggunaan tokainid juga diindikasikan pada keadaan yang sama

dengan penggunaan lidokain.

Efek Samping

Efek samping yang menonjol dari penggunaan tokainid adalah pusing, tremor,

gejala saluran cerna, agranulositosis, depresi sumsum tulang, trombositopenia

dan granulositopenia yang diikuti infeksi, sepsis sampai kematian.

iv) Meksiletin

Farmakokinetik

Meksiletin memiliki waktu paruh 10 jam. Bioavailabilitas meksiletin mencapai

90%. Obat ini dieliminasi melalui metabolisme hati dan juga ditemui dalam

dentuk utuh di urin.

Dosis

Diberikan per oral melalui kapsul 150 mg, 200 mg atau 250 mg dengan dosis

awal dan dosis maksimal sekali minum 400 mg. Obat ini dapat diberikan tiap 8

jam. Perlu penurunan dosis pada pasien dengan gangguan hati. Meksiletin

diindikasikan pada keadaan yang sama dengan penggunaan lidokain, namun


meksilten masih efektif untuk menangani takikardia ventrikel yang tidak

berespon terhadap antiaritmia kelas IA.

Efek Samping

Efek samping penggunaan meksiletin sama dengan efek samping penggunan

tokainid.

 Kelas IC

i) Flekainid

Farmakokinetik

Mencapai kadar puncak setelah 3 jam pasca pemberian per oral dengan waktu

paruh 11 jam. Flekainid dimetabolisme di hati dan diekskresikan melalui ginjal

dalam bentuk utuh atau pun metabolit. Pada pasien gagal ginjal, kadar flekainid

akan berakumulasi di plasma. Pemberian bersama simetidin akan mengurangi

klirens dan memperpanjang waktu paruh flekainid. Sementara pemberian

besama digoksin akan meningkatkan kadar digoksin plasma. Diminum

bersaam dengan propranolol akan meningkatkan konsentrasi kedua obat ini.

Dosis

Flekainid diberikan per oral dengan sediaan tablet 50 mg, 100 mg, dan 150 mg

dapat diberikan dalam 2-3 kali/hari. Flekainid diindikasikan untuk keadaan

aritmia ventrikel yang mengancam jiwa.

Efek Samping
Efek kardiovaskular yang ditimbuklkan dapat berupa efek pro aritmia pada

kondisi aritmia ventrikel maligna dan dapat menimbulkan henti jantung sampai

kematian mendadak jika diberikan pada pasien yang pernah mengalami infark

miokard dan aritmia ventrikel asimptomatik. Obat ini dapat memperberat

keadaan gagal jantung. Efek lain yang ditimbulkannya antara lain disfungsi

sinus dan gangguan penglihatan.

ii) Enkainid

Farmakokinetik

Dapat mencapai kadar puncak setelah 30-90 menit pasca pemberian per oral

dengan waktu paruh 2-3 jam. Enkainid mengalami metabolisme lintas pertama

cukup banyak di hati oleh sitokrom P450 dan diekskresikan melalui ginjal.

Pada pasien dengan defisiensi sitokrom P450 akan menjadikan waktu paruh

enkainid memanjang. Sementara pasien gagal ginjal akan terdapat akumulasi

enkainid dalam plasmanya.

Dosis

Diberikan per oral dengan sediaan kapsul 25 mg, 35 mg dan 50 mg. Dosis

maksimal enkainid adalah 200 mg/hari. Indikasi penggunaan enkainid sama

dengan penggunaan flekainid.

Efek Samping

Efek samping kardiovaskular atau pun non-kardiovaskular dari enkainid sama

dengan efek samping flekainid.


 Kelas II

i) Propranolol

Farmakokinetik

Propranolol memiliki waktu paruh 4 jam. Obat ini mengalami metabolisme

ekstensif di hati. Pemberian propranolol pada pasien gagal jantung kiri akan

mengurangi eliminasinya. Sementara pemberian pada gagal jantung akan

menyebabkan hipotensi dan gagal ventrikel kiri.

Dosis

Propranolol dapat diadministrasikan secara intravena atau pun per oral. Dosis

propranolol secara intravena adalah 1-3 mg, sedangkan per oral dapat diberikan

mulai dari rentang 30 mg sampai 320 mg untuk 3-4 kali/hari. Obat ini

diindikasikan untuk mengobati aritmia jangka lama, fibrilasi atrium, flutter

atrium, takikardia supraventrikel paroksismal dan aritmia ventrikel.

Efek Samping

Efek samping yang muncul pada obat-obatan kelas II adalah efek samping

kardiovaskular berupa blok AV sampai asistol.

ii) Asebutolol

Farmakokinetik

Sekitar 50% asebutolol berikatan dengan protein plasma. Obat ini memiliki

waktu paruh 3 jam. Asebutolol diekskresikan ke urin melalui ginjal. Pada

pasien gagal ginjal, akan terjadi akumulasi asebutolol.


Dosis

Asebutolol diberikan secara oral dengan dosis awal 200 mg dan dapat

ditingkatkan menjadi 600-1200 mg dalam 2 kali pemberian.

Efek Samping

Efek samping penggunaan asebutolol sama dengan efek samping penggunaan

propranolol.

iii) Esmolol

Farmakokinetik

Obat ini memiliki waktu paruh 2 menit.

Dosis

Esmolol diberikan secara intravena 0,5 mg/kgBB sebagai pengobatan jangka

pendek atau kegawatan takikardia supraventrikel, fibrilasi atau flutter atrium

pasca bedah.

Efek Samping

Efek samping penggunaan esmolol sama dengan efek samping penggunaan

propranolol.

 Kelas III

i) Bretilium

Farmakokinetik
Waktu paruh bretilium sekitar 9 jam. Bretilium hampir semuanya dieliminasi

melalui ginjal dan tidak dimetabolisme. Pada pasien gagal ginjal, akan terjadi

pemanjangan waktu paruh. Pemberian bersamaan dengan antidepresan trisiklik

dapat mencegah ambilan bretilium oleh ujung saraf adrenoseptor.

Dosis

Bretilium tersedia dalam bentuk larutan 50 mg/mL, diencerkan kemudian

diberikan per infus 5-10 mg/kgBB selama 10-30 menit. Dapat diberikan lagi

pada 1-2 jam kemudian bila aritmia belum teratasi dan tiap 6 jam untuk dosis

pemeliharaan. Obat ini diberikan untuk mengatasi aritmia ventrikel yang

mengancam jiwa, fibrilasi ventrikel dan takikardia ventrikel.

Efek Samping

Efek samping kardiovaskular dari bretilium adalah hipotensi dan efek lainnya

berupa mual dan muntah.

ii) Amiodaron

Farmakokinetik

Bioavailabilitas amiodaron sekitar 30%. Pada pemberian per oral, obat ini

mencapai kadar puncak 5-6 jam dengan waktu paruh 25-60 hari. Obat ini

dimetabolisme di hati. Pemberian bersamaan dengan digoksin, warfarin,

kuinidin, prokainamid, fenitoin, enkainid, flekainid, diltiazem akan

meningkatkan kadar obat tersebut. Sementara pemberian bersama β–bloker

atau penghambat kanal Ca2+ dapat berakibat bradikardia, henti sinus dan AV

blok.
Dosis

Sediaan amiodaron berupa tablet 200 mg, dengan dosis pemberian awal 600-

800 mg/hari, selanjutnya diberikan dosis pemeliharaan 400-800 mg/hari. Obat

ini diindikasikan untuk fibrilasi atrium berulang dan takikardia ventrikel tak

stabil.

Efek Samping

Efek samping kardiovaskular dari amiodaron adalah bertambahberatnya

aritmia. Sementara efek samping lain berupa gangguan fungsi hati,

mikrodeposit kornea yang asimptomatik, fotosensitivitas kulit, sianosis, gejala

hipotiroid dan hipertiroid.

iii) Sotalol

Farmakokinetik

Bioavailabilitas obat ini mencapai 100%. Kadar maksimum tercapai dalam 2-3

jam dengan waktu paruh 10-11 jam. Sotalol dieliminasikan ke urin melalui

ginjal. Pada pasien gagal ginjal, harus dilakukan penyesuaian dosis.

Dosis

Sotalol diberikan 2 kali dengan dosis 80-320 mg untuk aritmia ventrikel. Obat

ini diindikasikan untuk aritmia ventrikel maligna, takikardia supraventrikel

paroksismal atau fibrilasi atrium.

Efek Samping
Efek samping kardiovaskular lebih menonjol pada penggunaan obat ini berupa

gagal jantung, proaritmia, bradikardia dan torsades de pointes.

 Kelas IV

i) Verapamil

Farmakokinetik

Bioavailabilitas verapamil berkisar 20-35%. Kadar puncak verapamil tercapai

dalam 1-2 jam setelah pemberian oral atau 1-5 menit setelah injeksi intravena.

Verapamil akan dimetabolisme oleh hati melalui sitokrom P450 dan

diekskresikan ke urin dan feses. Obat ini akan terakumulasi pada pasien dengan

gangguan hati.

Dosis

Verapamil dapat diadministrasikan melalui intravena dengan dosis 2,5-5 mg

dan per oral dengan dosis 240-480 mg/hari terbagi dalam 3-4 kali pemberian.

Verapamil diindikasikan untuk supraventrikular aritmia, fibrilasi atau flutter

atrium dan paroksismal supraventrikular takikardia.

Efek Samping

Efek samping kardiovaskular yang menonjol berupa hipotensi. Sementara efek

samping non-kardiovaskular berupa sakit kepala, pembesaran gusi, konstipasi,

pusing, dispepsia, mual, edema, kemerahan, peningkatan enzim hati, gangguan

tidur dan dispnea.

ii) Diltiazem
Farmakokinetik

Pada pemberian per oral bioavailabilitas diltiazem 40%. Diltiazem mencapai

kadar puncak 3 menit setelah pemberian intravena, 30-60 menit setelah

pemberian intrarektal. Diltiazem dimetabolisme di hati dan diekskresikan ke

urin dan feses.

Dosis

Sediaan per oral diltiazem dalam bentuk tablet atau pun kapsul 120-420 mg.

Diltiazem dapat diberikan secara intravena dengan dosis 0,25 mg/kgBB. Obat

ini diindikasikan untuk paroksismal supraventrikular takikardia, fibrilasi atau

flutter atrium.

Efek Samping

Efek samping kardioveskular berupa AV blok, bradiaritmia, hipotensi,

vasodilatasi dan ekstrasistol. Efek lainnya berupa edema, sakit kepala, pusing,

mual, muntah, mialgia, diare, konstipasi, bronkitis dan dispnea.

 Kelas V

i) Digitalis

Digitalis akan menyebabkan hambatan aliran kalsium di nodus AV dan aktivasi

aliran kalium yang diperantarai asetilkolin di atrium. Secara tak langsung akan

menyebabkan hiperpolarisasi, pemendekan aksi potensial atrium dan

peningkatan masa refrakter. Efek inilah yang dimanfaatkan untuk

mengendalikan denyut ventrikel pada fibrilasi atrium.


ii) Adenosin

Adenosin mengaktifasi aliran ion kalium yang sensitif asetilkolin di atrium,

sinus dan nodus AV, yang menghasilkan pemendekan lama aksi potensial,

hiperpolarisasi dan perlambatan automatisitas normal. Efek adenosin juga

berupa penurunan aliran ion kalsium yang akan memperpanjang masa refrakter

nodus AV dan menghambat timbulnya delayed after depolarization akibat

perangsangan saraf simpatis. Hal tersebut di ataslah yang merupakan efek

antiaritmia dari adenosin.

iii) Magnesium

Magnesium berefek langsung terhadap homeostasis kalium dan kalsium.

Magnesium memperpanjang masa refrakter efektif atrium, nodus AV dan

ventrikel. Efek antiaritmia magnesium bermanfaat terhadap intoksikasi

digitalis, torsades de pointes.

B. OBAT GAGAL JANTUNG

 Pengertian Gagal Jantung

Gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung untuk memompakan darah

dalam jumlah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh atau

kemampuan tersebut hanya dapat terjadi dengan tekanan pengisian jantung

yang tinggi atau kedua-duanya.

 Klasifikasi Gagal Jantung

The New York Heart Association mengklasifikasikan gagal jantung sebagai

berikut:
 Patofisiologi Gagal Jantung

Terjadi kelainan disfungsi sistolik atau diastolik pada keadaan gagal jantung.

Terjadi gangguan kontraksi miokardium pada disfungsi sistolik yang

menyebabkan ventrikel tidak mampu memompa darah sehingga stroke volume

akan berkurang. Kontraktilitas miokardium berkurang akibat destruksi pada

miosit, fungsi miosit yang abnormal maupun fibrosis. Ketidaksempurnaan

pengisian ventrikel akan dikompensasi dengan penambahan aliran vena

pulmonalis untuk meningkatkan volume akhir sistolik.

Gagal jantung dengan disfungsi diastolik akan terdapat gangguan relaksasi di

fase awal diastolik, kakunya dinding ventrikel atau keduanya. Tekanan

ventrikel kiri meningkat secara persisten pada fase diastolik yang akan

ditransmisikan ke atrium kiri melalui katup mitral ke vena serta kapiler

pulmonalis. Hal ini akan membuat peningkatan tekanan hidrostatik dari kapiler

pulmonal hingga cairan berpindah ke interstisium dan menyebabkan kongesti

pulmonal.
 Pengobatan Gagal Jantung

Terapi farmakologis gagal jantung terdiri dari ACE inhibitor, antagonis

angiotensin II, diuretik, antagonis aldosteron, β-bloker dan digoksin seperti

yang dijelaskan di subbab obat anti hipertensi.

C. OBAT HIPOLIPIDEMIK

Obat hipolipidemik digunakan untuk menurunkan kadar lipid plasma dan untuk

menurunkan resiko penyulit aterosklerosis.

i) Asam Fibrat

Farmakokinetik

Sekitar 95% asam fibrat terikat pada protein plasma. Obat golongan asam fibrat

mencapai kadar puncak dalam 1-4 jam dengan waktu paruh yang bervariasi

1,1-20 jam. Golongan asam fibrat diekskresikan dalam urin dan tinja.

Dosis

Klofibrat memiliki sediaan kapsul 500 mg dan diberikan dalam 2-4 kali

pemberian. Fenofibrat diberikan dalam dosis tunggal 200-400 mg/hari.

Bezafibrat diberikan 1-3 kali dengan tiap kalinya 200 mg sehari. Gemfibrozil

diberikan 600 mg dalam 2 kali/hari. Obat golongan asam fibrat diindikasikan

untuk hiperlipoproteinemia tipe III dan hipertrigliserida berat. Kontraindikasi

pemberian asam fibrat adalah gangguan hati dan ginjal, wanita hamil dan

menyusui.

Efek Samping
Efek samping kardiovaskular yang menonjol berupa gangguan irama jantung

dan efek lain berupa gangguan saluran cerna, ruam kulit, alopesia, impotensi,

leukopenia, anemia, pertambahan berat badan dan miositis.

ii) Resin

Farmakokinetik

Pemberian resin bersamaan dengan klorotiazid, furosemide, propranolol, statin,

tiroksin, digitalis, besi, fenilbutazon dan warfarin akan menggganggu absorpsi

obat-obatan tersebut.

Dosis

Pemberian preparat kolestiramin dan kolestipol dapat diberikan 12-16 g/hari

dibagi dalam 2-4 bagian, sementara colesevelam diberikan 1.875 mg dalam 2

kali/hari.

Efek Samping

Efek samping non-kardiovaskular lebih menonjol pada pemberian resin seperti

mual, muntah, konstipasi, asidosis hiperkloremik dan gangguan absorpsi

vitamin.

iii) Statin

Farmakokinetik

Sebagian besar statin berikatan dengan protein plasma. Waktu paruh statin

berkisar 1-3 jam. Statin mengalami metabolisme lintas pertama di hati dan

diekskresikan ke cairan empedu melalui hati dan sebagian melalui ginjal. Bila
diadministrasikan bersamaan dengan ketokonazol, metronidazol,

sulfinipirazon, amiodaron dan simetidin akan meningkatkan kadar plasma obat

golongan ini.

Dosis

Lovastatin diberikan dengan dosis 20-80 mg/hari, pravastatin 10-80 mg/hari,

simvastatin 5-80 mg/hari, fluvastatin 20-80 mg/hari, atorvastatin 10-80 mg/hari

dan rosuvastatin 10-40 mg/hari. Obat ini diindikasikan untuk keadaan

hiperkolesterolemia dan hipertrigilseridemia.

Efek Samping

Efek samping non-kardiovaskular lebih dominan pada penggunaan obat ini

seperti peningkatan kadar transaminase, miopati, rabdomiolisis, gangguan

saluran cerna, sakit kepala, rash, neuropati perifer dan sindrom lupus.

iv) Asam Nikotinat

Farmakokinetik

Asam nikotinat memiliki waktu paruh 20-45 menit. Obat ini diekskresikan

melalui ginjal dalam bentuk utuh.

Dosis

Obat ini diberikan per oral 2-6 g/hari yang dibagi dalam 3 dosis. Asam

nikotinat diindikasikan untuk pengobatan hipertrigliseridemia,

hiperkolesterolemia dan hiperlipoproteinemia.

Efek Samping
Efek samping non-kardiovaskular lebih dominan pada pemakaian obat ini

seperti gatal, kemerahan pada kulit, gangguan fungsi hati, gangguan saluran

cerna, pandangn kabur, hiperuresemia dan hiperglikemia.

D. Obat Anti Hipertensi


Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik 140 mmHg atau
lebih, atau tekanan darah diastolik 90 mmHg atau lebih, atau memakai obat
antihipertensi. Berdasarkan The Seventh Report of The Joint National Committee
on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure
(JNC 7), tekanan darah dapat dikelompokkan sebagai berikut :

Table 1. Klasifikasi Tekanan Darah menurut JNC 7


Klasifikasi Tekanan TDS (mmHg) TDD (mmHg)
Darah
Normal <120 <80
Prahipertensi 120-139 80-89
Hipertensi derajat 1 140-159 90-99
Hipertensi derajat 2 ≥160 ≥100

Sedangkan berdasarkan JNC 8 tekanan darah dikelompokkan seperti


berikut ini :

Obat antihipertensi dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

A. Diuretik
Diuretik bekerja meningkatkan ekskresi natrium, air dan klorida
sehingga menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler. Selain mekanisme
tersebut, beberapa diuretik juga menurunkan resistensi perifer sehingga
menambah efek hipotensinya. Efek ini diduga akibat penurunan natrium di
ruang interstisial dan di dalam sel otot polos pembuluh darah.
a. Golongan Tiazid
 Hidroklorotiazid
 Indapamide
 Klortalidon
 Mekanisme kerja : menghambat transport bersama (symport) Na-Cl di
tubulus distal ginjal, sehingga ekskresi Na+, Air dan Cl- meningkat.
 Hidroklorotiazid (HCT) merupakan prototipe golongan tiazid dan
dianjurkan untuk sebagian besar kasus hipertensi ringan dan sedang
dalam kombinasi dengan berbagai antihipertensi lain. Indapamid
memiliki kelebihan karena efektif pada pasien gangguan fungsi ginjal,
bersifat netral pada metabolisme lemak dan efektif meregresi
hipertrofi ventrikel.
 Masa kerja : klortalidon memiliki waktu paruh 40-60 jam,
hidroklorotiazid 10-12 jam dan indapamid 15-16 jam.
 Kontraindikasi : gangguan fungsi ginjal
 Efek samping :
- pada dosis tinggi dapat menyebabkan hipokalemia dan dapat
berbahaya pada pasien yang mendapat digitalis.
- hiponatremi dan hipomagnesemia
- menghambat ekskresi asam urat dari ginjal, dan pd pasien
hiperurisemia dapat mencetuskan serangan gout akut
- hiperlipidemia (peningkatan kolesterol, LDL dan trigliserida)
- pada penderita DM menyebabkan hiperglikemi karena mengurangi
sekresi insulin
 Titrasi dosis tiazid harus dilakukan degan interval waktu tidak kurang
dari 4 minggu
 Tiazid efektif untuk pasien hipertensi dengan kadar renin yang rendah,
misalnya orang tua. Efek antihipertensi terlihat pada dosis 12,5
mg/hari. Bila digunakan monoterapi dosis tidak boleh dari 25 mg/hari
b. Diuretik Kuat (Loop)
 Furosemid
 Torasemid
 Bumetanid
 Mekanisme kerja : diuretik kuat bekerja di ansa Henle asenden bagian
epitel tebal dengan cara menghambat ko transport Na+ , K+ , Cl- dan
menghambat resorpsi air dan elektrolit.
 Farmakodinamik : waktu paruh diuretik kuat umumnya pendek
sehingga diperlukan pemberian 2 atau 3 kali sehari
 Indikasi : pasien hipertensi dengan gangguan fungsi ginjal (kreatinin
serum >2,5 mg/dL) atau gagal jantung
 Efek samping :
- menimbulkan hiperkalsiura
- menurunkan kalsium darah
c. Diuretik Hemat Kalium (Potassium-Sparring)
Amilorid, triamteren dan spironolakton merupakan diuretik lemah,
penggunaan dikombinasikan dengan diuretik lain untuk mencegah
hipokalemi.
• Indikasi :
- Pada pasien dengan hiperaldosteronisme primer (sindrom conn) terutama
spironolakton
- Hiperurisemia
- Hipokalemia dengan intoleransi glukosa
• Kontra indikasi :
- penggunaan harus dihindarkan bila kreatinin serum lebih dari 2,5 mg/dL
- gagal ginjal
• Efek samping :
- menimbulkan hiperkalemia pada pasien gagal ginjal atau bila
dikombinasi dengan penghambat ACE, ARB, B-blocker, AINS atau
dengan suplemen kalium
- penggunaan harus dihindarkan bila kreatinin serum lebih dari 2,5 mg/dL
- spironolakton menyebabkan ginekomastia, mastodinia, gangguan
menstruasi dan penurunan libido pada pria
• Interaksi:
- pemberian kortikosteroid,agonis β-2, da amfoterisin B memperkuat efek
hipokalemia diuretik
- diuretik + kuinidin aritmia ventrikel polimorfik
- AINS mengurangi efek hipertensi diuretik karena menghambat sintesis
prostaglandin di ginjal
- AINS penghambat ACE dan β-blocker dapat meningkatkan risiko
hiperkalemia bila diberikan bersama diuretik hemat kalium.

Tabel 2.2 Dosis obat anti hipertensi golongan diuretik


Obat Dosis (mg) Pemberian Sediaan
a. Diuretik tiazid
- Hidroklorotiazid 12,5-25 1x/hr Tab 25 dan 50 mg
- Bendrofulumeriazid 12,5-25 1x/hr Tab 50 mg
- Klorotalidon 1,25-2,5 1x/hr Tab 2,5 mg
b. Diuretik kuat Tab 40 mg,amp
Furosemid 20-80 2-3x/hr 20mg
c. Diuretik hemat
kalium 5-10 1-2x/hr Tab 25 dan 100
- Amilorid 25 – 100 1 x sehari mg
- Spironolakton 25 – 300 1 x sehari Tab 50 dan 100
- Triamteren mg

B. Adrenoreseptor antagonis
1. β Bloker
 Obat – obat yang termasuk β Bloker diantaranya propranolol yaitu
generasi pertama atau non selektif karena memblokade adrenoseptor-
β1 dijantung maupun adrenoseptor- β2 organ lain.
 Farmakodinamik : Obat – obat teresebut berfungsi dalam menurunkan
frekuensi denyut jantung dan kontraktilitas miokard sehingga terjadi
penurunan curah jantung, menurunkan produksi angiotensin II dan
mempengaruhi aktivitas saraf simpatis, perubahan pada sensitivitas
baroreseptor, dan perubahan aktivitas neuron adrenergik perifer dan
menurunkan resistensi perifer. Efek anti hipertensi mulai terihat dalam
24 jam hingga 1 minggu.
 Indikasi : hipertensi ringan sampai sedang terutama pada pasien
dengan penyakit jantung koroner (khususnya sesudah infark miokard
akut), pasien dengan takiaritmia seperti atrial fibrilasi dan gagal
jantung stabil, pada pasien muda dengan sirkulasi hiperdinamik, dan
pada pasien yang memerlukan antidepresan trisiklik atau antipsikotik
 Farmakokinetik : semua β Bloker dapat diberikan per oral dan
diabsorbsi dengan baik melalui saluran cerna. Labetalol, metoprolol
dan esmolol tersedia dalam bentukparenteral. Metabolisme obat ini di
hati
 Efek samping : bronkospasme, bradikardia, blokade AV, hambatan
nodus SA dan menurunkan kakuatan kontraksi miokard
 Kontraindikasi : pada keadaan bradikardia, blokade AV derajat 2 dan
3, sick sinus syndrome dan gagal jantung yang belum stabil.
 β Bloker generasi baru seperti bisoprolol, metroprolol, Labelatol,
karvedilol.
 β Bloker generasi ketiga yaitu cardiverol, bucindolol,
labetalol,bevantolol dan nipradilol efek anti hipertensi yang lebih kuat
dan memperbaiki fungsi ventrikel pada pasien gagal jantung
 Pemberian β bloker secara oral memiliki biovaibilitas dan arbsorbsi
yang bagus.
2. Penghambat Adrenoreseptor Alfa (α-Bloker)
 Farmakodinamik : hambatan reseptor α1 menyebabkan vasodilatasi di
arteriol dan venula sehingga menurunkan resistensi perifer.
Venodilatasi menyebabkan aliran balik vena berkurang yang
selanjutnya menurunkan curah jantung. Venodilatasi α hipotensi
ortostatik α refleks takikardia dan peningkatan aktivitas renin plasma
 α1blocker dibagi 2 menjadi short acting yaitu prazosin dan long
acting yaitu doxazosin, trimazosin,alfuzosin dan terazosin.
 Indikasi :
- hipertensi dengan dislipidemia/diabetes melitus
- hipertrofi prostat
 Efek samping : hipotensi ortostatik sering terjadi pada pemberian
dosis awal atau pada peningkatan dosis (fenomena dosis pertama).
Gejala, pusing sampai sinkop. Sakit kepala, palpitasi, edema perifer,
hidung tersumbat, mual dan lain-lain dapat ditemukan dalam beberapa
kasus.
3. Adrenolitik Sentral
1. Metildopa
 Mekanisme kerja : dalam ssp menggantikan kedudukan dopa dalam
sintesis katekolamin dengan hasil akhir α-metilnorepinefrin. Stimulasi
reseptor α-2 di sentral mengurangi sinyal simpatis ke perifer.
Metildopa mengurangi sintesis nor adrenalin sehingga aktivitas saraf
simpatis berkurang.
 Indikasi : obat antihipertensi tahap kedua, efektif bila dikombinasikan
dengan diuretik. Dapat digunakan untuk pengobatan hipertensi pada
kehamilan.
 Farmakokinetik : absorpsi melalui saluran cerna bervariasi dan tidak
lengkap. Bioavailabilitas oral rata-rata 20-50% diekskresi melalui urim
dalam konjugasi dengan sulfat dan 25% dalam bentuk utuh. Pada
insufisiensi ginjal terjadi akumulasi obat dan metabolitnya. Waktu
paruh obat sekitar 2 jam, tapi efek puncak tercapai setelah 6-8 jam
pemberian oral atau i.v., dan efektifitas berlangsung sampai 24 jam.
Perlambatan efek ini nampaknya berkaitan dengan proses transport ke
ssp, konversinya menjadi metabolit aktif dan eliminasi yang lambat
dari jaringan otak.
 Efek samping : yang paling sering sedasi, hipotensi postural, pusing,
mulut kering dan sakit kepala. Depresi, gangguan tidur, impotensi,
kecemasan, penglihatan kabur, dan hidung tersumbat. Jarang –jarang
terjadi anemia, hemolitik autoimun, trombositopenia, leukopenia,
demam obat (drug fever) dan sindrom seperti lupus (lupus-like
syndrome), parkinson. Pemberhentian mendadak dapat menimbulkan
peningkatan TD mendadak (fenomena rebound).
2. Klonidin
 Farmakodinamik : Bekerja pada reseptor α-2 di susunan saraf pusat
dengan efek penurunan simpathetic outflow sehingga menurunkan
resistensi perifer dan curah jantung.
 Farmakokinetik : absorpsi oral berlangsung cepat dan lengkap dengan
bioavailabilitas mencapai 95%. Farmakokinetiknya bersifat non linier
dengan waktu paru 6 jam sampai 13 jam. Kira-kira 50% klonidin
dieleminasi dalam bentuk utuh melalui urin. Kadar plasma meningkat
pada gangguan fungsi ginjal atau pada usia lanjut.
 Indikasi : sebagai obat ke-2 atau ke-3 bila penurunan diuretik belum
optimal. Untuk beberapa hipertensi darurat. Untuk diagnosik
feokromositoma.
 Efek samping :
- Mulut kering dan sedasi setelah beberapa minggu pengobatan.
Kira-kira 10% pasien menghentikan pengobatan karena
menetapnya gejala sedasi, pusing, mulut kering, mual atau
impotensi. Gejala ortosatatik kadang-kadang terjadi terutama bila
ada deplesi cairan. Efek central berupa mimpi buruk, insomnia,
cemas dan depresi.
- Reaksi putus obat sering terjadi pada penghentian mendadak.
Ditandai dengan rasa gugup, tremor, sakit kepala, nyeri abdomen,
takikardia, berkeringat, akibat aktivasi simpatis yang berlebihan.
C. Vasodilator
1. Hidralazin
 Mekanisme kerja : bekerja langsung merelaksasi otot polos arteriol.
Sedangkan otot polos vena hampir tidak dipengaruhi. Vasodilatasi yang
kuat berupa peningkatan kekuatan dan frekuensi denyut jantung,
peningkatan renin dan noreprinefrin plasma.
 Indikasi : untuk hipertensi darurat seperti pada glomerulonefritis akut dan
eklampsia
 Farmakokinetik : diabsorpsi baik melalui saluran cerna, tapi
bioavailabilitasnya relatif rendah karena adanya metabolisme lintas
pertama yang besar. Pada asetilator lambat dicapai kadar plasma yang
lebih tinggi, dengan efek hipotensi berlebihan dan efek samping yang
lebih sering.
 Kontraindikasi : hipertensi dengan pjk dan tidak dianjurkan pada pasien
diatas 40 tahun.
 Efek samping : sakit kepala, mual, flushing, hipotensi, takikardia,
palpitasi angina pektoris, dan edema. Iskemik miokard dapat terjadi pada
pasien pjk. Pemberhentian obat dapat terjadi setelah terapi lama (6 bulan
lebih) berupa demam, artralgia, splenomegali, sel e positif di darah
perifer. Efek samping lain neuritis perifer, diskrasia darah,
hepatotoksisitas dan kolangitis akut
2. Monoksidil
 Mekanisme kerja : bekerja dengan membuka kanal kalium sensitif ATP
(ATP-dependent potassium channel) dengan akibat terjadinya refluks
kalium dan hiperporalisasi membran yang diikuti oleh relaksasi otot
polos pembuluh darah dan vasodilatasi. Efeknya lebih kuat pada arteriol
daripada vena. Obat ini menurunkan tekanan sistol dan diastol yang
sebanding dengan tingginya tekanan darah awal. Efek hipotensifnya
minimal pada subjek yang normotensif.
 Farmakokinetik : diserap baik pad pemberian oral. Bioavailabilitas
mencapai 90% dan kadar puncak plasma tercapai dalam 1 jam. Obat ini
merupakan prodrug yang harus mengalami penambahan gugus sulfat
sebelum aktif sebagai vasolidator. Kadar plasma tidak berkolerasi
langsung dengan efek terapi. Waktu paruh 3-4 jam, tapi efek terapi
bertahan sampai 24 jam atau lebih. Metabolisme terjadi di hati dengan
cara konjugasi dengan glukuronida. Ekskersi melalui urin, 20% terutama
tidak berubah.
 Indikasi : hipertensi berat akselerasi atau maligna dan pada pasien dengan
gagal ginjal lanjut.
 Efek samping : retensi cairan dan garam, efek samping kardiovaskular
karena refleks simpatis dan hipertrikosis. Selain itu terjadi gangguan
toleransi glukosa dengan tendensi hiperglikemi; sakit kepala, mual,
erupsi obat, rasa leleh dan rasa nyeri tekan di dada.
3. Diasokzid
Obat ini merupakan derivat benzotiadiazid dengan struktur mirip
tiazid, tapi tidak memiliki efek diuresis. Mekanisme kerja,
farmakodinamik dan efek samping diasokzid mirip dengan minoksidil.
 Indikasi : diberikan secara intravena untuk mengatasi hipertensi
darurat. Hipertensi maligna, hipertensi ensefalopati, hipertensi berat
pada glomerulonefritis akut dan kronik.
 Efek samping : retensi cairan dan hiperglikemi. Relaksasi uterus
sehingga dapat menggangu proses kelahiran bila digunakan pada
eklampsia. Jangka panjang juga dapat terjadi hipertrikosis.
D. Penghambat angiotensin-converting enzyme (ACE-inhibitor) dan
Penghambat reseptor angiotensin (angiotensin-reseptor blocker, ARB)
1. Penghambat Angiotensin-Converting Enzyme (Ace-Inhibitor)
 Mekanisme : ACE-Inhibitor menghambat perubahan AI menjadi AII
sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosteron.
Menghambat degradasi bradikinin sehingga kadar bradikinin dalam
darah meningkat dan berperan dalam efek vasodilatasi ACE-
Inhinitor. Vasodilatasi seacara langsung akan menurunkan tekanan
darah, dan bekurangnya aldosteron akan menyebabkan sekresi air
dan natrium dan retensi kalium.
 Farmakokinetik : kaptopril. Diabsorpsi dengan baik pada pemberian
oral dengan bioavailabilitas 70-75%. Pemberian bersama makanan
akan mengurangi absorpsi sekitar 30%, maka dari itu obat ini harus
diberikan 1 jam sebelum makan. Sebagian besar ACE-Inhibitor
mengalami metabolisme di hati, kecuali lisinopril yang tidak
dimetabolisme, eliminasi umunya melalui ginjal, kecuali fosinopril
yang mengalami eliminasi di ginjal dan bilier.
 Indikasi : efektif untuk hipertens ringan, sedang maupun berat.
Hipertensi dengan gagal jantung kongestif, pasca infak miokard,
penyakit ginjal dan hipertensi dengan diabetes, disiplidemia dan
obesitas.
 Efek samping : hipotensi, batuk kering, hiperkalemia, skin rush,
edema angioneurotik, gagal ginjal akut, proteinuria dan efek
teratogenik.
 Kontraindikasi : wanita hamil karena bersifat teratogenik. Ibu
menyusui karena diekskresikan melalui ASI sehingga berakibat
buruk pada fungsi ginjal bayi. Stenosis arteri renalis bilateral atau
unilateral.
 Dosis
Kaptopril: 12,5-50 mg dua atau tiga kali sehari
Enalapril: 5-20 mg sekali atau dua kali sehari
Lisinopril: 5-20 mg sekali sehari
2. Antagonis Reseptor Angiotensin II (Angiotensin receptor blocker, ARB)
Reseptor Angiotensin II dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu
reseptor AT1 dan AT2. Reseptor AT1 terutama otot polos pembuluh darah
dan di otot jantung. Selain itu terdapat juga di otak, ginjal dan kelenjar
adrenal. Reseptor AT1 memperantai semua efek fisiologis AngII terutama
yang berperan dengan homeostasis kardiovaskular. Reseptor AT2 terdapat
dimedula adrenal dan mungkin juga di SSP, tapi sampai sekarang
fungsinya belum jelas.
 Mekanisme kerja : losartan merupakan prototipe obat golongan ARB
yang selektif pada reseptor AT1. Obat ini menghambat semua efek
AngII, seperti: vasokontriksi, sekresi aldosteron, rangsangan saraf
simpatis, efek sentral AngII (sekresi vasoperin, rangsangan haus),
stimulasi jantung, efek renal dan efek jangka panjang berupa hipertrofi
otot polos pembuluh darah dan miokard.
 Farmakokinetik: losartan diabsorpsi dengan baik melalui saluran cerna
dengan bioavailabilitas sekitar 33%. Absorpsinya tidak dipengaruhi
oleh adanya makanan di lambung. Waktu paruh eliminasi (t1/2α) ± 1-2
jam, tapi obat ini cuku diberikan satu atau dua kali sehari, karena kira-
kira 15% losartan dalam tubuh diubah menjadi metabolit (5-carboxylic
acid) dengan potensi 10 sampai 40 kali losartan dan masa paruh yang
jauh lebih panjang (t1/2β: 6-9 jam). Losartan dan metabolitnya tidak
dapat menembus sawar darah otak. Sebagian besar diekskresi melalui
feses.
 Indikasi : hipertensi renovaskular dan hipertensi genetik
 Kontraindikasi: kehamilan pada trimester 2 dan 3, wanita menyusui
dan stenosis arteri renalis bilateral atau stenosis pada satu-satunya
ginjal yang masih berfungsi.
 Efek samping: hipotensi, hiperkalemia, fetotoksik
E. Antagonis kalsium
 Farmakodinamik : Angiotensin kalsium ini berfungsi dalam menghambat
influx kalsium pada sel otot polos pembuluh darah dan miokard.
Menimbulkan relaksasi arteriol.Indikasi penggunaan adalah hipertensi
dengan kadar renin yang rendah seperti pada usia lanjut.
 Farmakokinetik : Kadar puncak tercapai dengan cepat. Hal ini
menyebabkan TD turun dengan cepat, dan ini dapat mencetuskan iskemia
miokard atau serebral. Waktu paruh umumnya pendek/sedang sehingga
harus diberikan 2 atau 3 kali sehari. Amlodipin memiliki waktu paruh
yang panjang sehingga cukup diberikan sehari sekali. Kadarnya pada jam
ke 24 masih 2/3 dari kadar puncak.
Semua antagonis kalsium di metabolisme di hati. Penggunaannya
pada pasien sirosis hati dan usia lanjut harus dilakukan dengan sangat hati-
hati.Antagonis kalsium sangat sedikit sekali yang diekskresi dalam bentuk
utuh lewat ginjal sehingga tidak perlu penyesuaian dosis pada hangguan
fungsi ginjal.
 Tiga golongan CCB yaitu : dihidropiridin, fenilalkilamin, dan
bensotiazepin.
Termasuk dihidropiridin seperti nifedipin, amlodipin, felodipin,
nicardipin,lercadinipin.
Nifedipin memiliki duration of action pendek. Amlodipin bersifat long
acting, menurunkan tekanan darah perlahan-lahan. Efek samping nya
udem pretibial. Nicardipin dapat diberikan pada hipertensi emergency.
 Dosis :
 Nifedipin: 10-60 mg dua kali sehari
 Verapamil: 80-480 mg sekali atau dua kali sehari dalam dosis
terbagi. Biasnaya diberikan pada pasien kontraindikasi Beta
blocker.
 Diltiazem: 60-180 mg dua kali sehari dalam dosis terbagi. Obat ini
golongan CCB non dihidropiridin yang menyebabkan dilatasi vasa
aferen dan eferen glumerolus, sehingga efek lebih baik melindungi
pasien diabetik nefropati yang diukur dari proteinuria.

Dosis Obat Hipertensi JNC 8

Inisial Dosis Target Jumlah


Obat Antihipertensi
Dosis Harian, mg RCT, mg Obat / Hari
ACE inhibitors
1. Captopril 50 150-200 2
2. Enalapril 5 20 1-2
3. Lisinopril 10 40 1
Angiostensi receptor blockers (ARB)
1. Eprosartan 400 600-800 1-2
2. Candesartan 4 12-32 1
3. Losartan 50 100 1-2
4. Valsartan 40-80 160-320 1
5. Irbesartan 75 300 1
Β-Blockers
1. Atenolol 25-50 100 1
2. Metoprolol 50 100-200 1-2
Calcium Channel Blockers
1. Amlodipine 2,5 10 1
2. Diltiazem extended 120-180 360 1
release
3. Nitredipine 10 20 1-2
Thiazide-type diuretics
1. Bendroflumethiazide 5 10 1
2. Chlorthalidone 12,5 12,5-25 1
3. Hydrochlorothiazide 12,5-25 25-100 1-2
4. Indapamide 1,25 1,25-2,5 1

Terapi hipertensi dengan kormobid menurut JNC VIII

E. Obat Antiangina
Angina adalah gejala yang dialami bila aliran darah koroner
tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan energi miokardium. Obat-obat
yang dapat meningkatkan suplai darah atau oksigen ke miokard seperti
nitrat, antiplatelet, atau obat-obat yang mampu menurunkan kebutuhan
darah atau oksigen ke miokard seperti B-Blocker dan Calsium channel

E.Obat Antiangina
Angina adalah gejala yang dialami bila aliran darah koroner
tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan energi miokardium. Obat-obat
yang dapat meningkatkan suplai darah atau oksigen ke miokard seperti
nitrat, antiplatelet, atau obat-obat yang mampu menurunkan kebutuhan
darah atau oksigen ke miokard seperti B-Blocker dan Calsium channel
blocker (kalsium antagonis) dimasukkan ke dalam obat angina.

A. Nitrat Organik
 Mekanisme Kerja
Nitrat organik merupakan pro drug yaitu menjadi aktif setelah
dimetabolisme dan mengeluarkan nitrogen monoksida (NO).
Biotransformasi nitrat organik yang berlangsung intraseluler
dipengaruhi oleh adanya reduktase ekstrasel dan reduced tiol
(glutation) intrasel. NO akan membentuk kompleks nitrosoheme
dengan guanilat siklase dan menstimulasi enzim ini sehingga kadar
cGMP meningkat. Selanjutnya cGMP akan menyebabkan defosforilasi
miosin, sehingga terjadi relaksasi otot polos. Efek vasodilatasi pertama
ini bersifat non-endothelium-dependent.
Mekanisme kedua nitrat organik adalah sifat endothelium-
dependent, dimana akibat pemberian obat ini akan dilepaskan
prostasiklin (PGI2) dari endothelium yang bersifat vasodilator. Pada
keeadaan dimana endothelium mengalami kerusakan seperti
aterosklerosis dan iskemia, efek inni hilang. Atas dasar kedua hal ini,
nitrat organik dapat menimbulkan vasodilatasi dan mempunyai efek
antiagregasi trombosit.
 Farmakokinetik
Nitrat organik diabsorpsi dengan baik lewat kulit, mukosa
sublingual dan oral. Metabolisme obat dilakukan oleh nitrat reduktase
dalam hati yang mengubah nitrat organik larut lemak menjadi
metabolitnya yang larut air yang tidak aktif atau memiliki efek
vasodilatasi lemah. Efek lintas pertama dalam hati ini menyebabkan
bioavailabilitas nitrat organik oral sangat kecil (nitrogliserin dan
isosorbid dinitrat <20%). Oleh karena itu, untuk meningkatkan kadar
obat dalam darah secara cepat, serangan akut angina diatasi dengan
preparat sublingual. Pada pemberian sublingual, kadar puncak plasma
nitrogliserin tercapai dalam 4 menit, waktu paruh 1-3 menit. Metabolit
dinitrat nya yang mempunyai efek vasodilatasi 10x kurang kuat,
mempunyai waktu paruh kira-kira 40 menit. Pemberian preparat
inhalasi diabsoprsi lebih cepat dan seperti preparat sublingual
menghindari efek metabolisme lintas pertama di hati.

 Farmakodinamik
Efek Kardiovaskular: nitrat organik menurunkan kebutuhan
dan meningkatkan suplai oksigen dengan cara mempengaruhi tonus
vaskular. Nitrat organik menimbulkan vasodilatasi semua sistem
vaskular. Pada dosis rendah nitrat menimbulkan venodilatasi sehingga
terjadi pengumpulan darah pada vena perifer dan dalam splanknikus.
Venous pooling ini meyebabkan berkurangnya alir balik darah ke
dalam jantung, sehingga tekanan pengisian ventrikel kiri dan kanan
(preload) menurun. Dengan cara ini, maka kebutuhan oksigen miokard
akan menurun.
Tekanan vaskular paru menurun dan ukuran jantung mengecil.
Karena kapasitas vena meningkat, maka dapat terjadi hipotensi
ortostatik, dan sinkop. Dilatasi arteriol temporal dan meningeal
menimbulkan kemerahan di muka (flushing) dan sakit kepala
berdenyut. Pada dosis yang lebih tinggi, selain vena, nitrat organik
jugan menimbulkan dilatasi arteriol perifer sehingga tekanan darah
sistolik dan diastolik menurun (afterload). Nitrat organik menyebabkan
dilatasi pembuluh darah koroner yang besar di daerah epikardial maka
redistribusi aliran darah pada daerah iskemik mejadi lebih baik
dibandingkan dengan sebelumnya. Dengan cara ini, nitrat oksigen
menurunkan kebutuhan oksigen otot jantung melalui venodilatasi,
menurunnya volume ventrikel dan curah jantung sehingga beban hulu
(preload) dan beban hilir (afterload) berkurang. Suplai oksigen
meningkat karena perbaikan aliran darah miokard ke daerah iskemik
dan karena berkurangnya beban hulu sehingga perfusi subendokard
membaik.
Efek lain: Nitrovasodilator menimbulkan relaksasi otot polos
bronkus, saluran empedu, saluran cerna dan saluran kemih. Tetapi
karena efeknya hanya selintas, maka tidak bermakna secara klinis.
Peningkatan cGMP oleh nitrat organik dapat menurunkan agregasi
trombosit tetapi jumlah studi prospektif tidak menunjukkan manfaat
dalam meningkatkan survival pasien dengan infark jantung akut.
 Indikasi: Angina pektoris stabil dan tak stabil, infark miokard akut.
 Kontraindikasi : hipotensi
 Dosis
Sediaan Dosis Interval Lama Kerja
1. nitrat kerja singkat
a) amilnitrit inhalasi 0.18-0.3 ml Inhalasi 3-5 menit
b) preparat sublingual
sesuai
Nitrogliserin 0.15-0.6 mg keperluan 10-30 menit
isosorbid dinitrat 2.5-5 mg sesuai 10-60 menit
keperluan
sesuai
eritril tetranitrat 5-10 mg keperluan
2. nitrat kerja lama
a) preparat oral
isosorbid dinitrat biasa 10-60 mg 4-6 jam 4-6 jam
isosorbid dinitrat lepas lambat 20-80 mg 12-24 jam
isosorbid mononitrat biasa 20 mg 12 jam 6-10 jam
isosorbid mononitrat lepas lambat 30-240 mg 24 jam
nitrogliserin lepas lambat 6.5-13 mg 6-8 jam 6-8 jam
eritritol tetranitrat 10 mg
pentaeritritol tetranitrat 10-20 mg 4-6 jam
b) preparat salep
nitrogliserin 2% 4-8 jam 4-6 jam
c) preparat transdermal nitrogliserin
lepas lambat (disc/path) 10-25 mg 24 jam 8-10 jam
d) preparat lepas lambat, bukal
nitrogliserin 1-2 mg 4 jam 3-6 jam
5-10
e) intravena nitrogliserin mcg/menit
 Efek Samping
Umumnya berhubungan dengan efek vasodilatasinya. Pada
awal terapi sering ditemukan sakit kepala, flushing karena dilatasi
arteri serebral. Dapat pula terjadi hipotensi postural. Bila hipotensi
berat terjadi bersama refleks takikardi, hal ini dapat memperburuk
angina. Nirtat organik terutama pentaeritrol tetranitrat dapat
menimbulkan rash.
B. Penghambat Adrenoreseptor Beta (β-Bloker)
 Mekanisme Kerja
β-bloker menurunkan kebutuhan oksigen otot jantung dengan cara
menurunkan frekuensi denyut jantung, tekanan darah dan
kontraktilitas. Suplai oksigen meningkat karena penurunan frekuensi
denyut jantung sehingga perfusi koroner mambaik saat diastol. Efek
yang kurang menguntungkan β-bloker ialah peningkatan volume
diastolik akhir yang meningkatkan kebutuhan oksigen.
 Farmakokinetik, Farmakodinamik dan Dosis
Kelaruta Kardioselek Aktivita
Obat Eliminasi Dosis
n -tivitas s
dalam Simpato
(reseptor) Antiangina
lemak mimetik
Intrinsik
200-600 mg 2x
Asebutolol Rendah Hati + +
sehari
Atenolol Rendah Ginjal + - 50-100 mg
10-2- mg 1x
Bisoprolol
sehari
100-600
Labetalol Rendah Hati - -
mg/hari
Metoprolo 50-100 mg 3x
Sedang Hati + -
l sehari
Nadolol Rendah Ginjal - - 40-80 mg/hari
Penbutolol Tinggi Hati - + 20mg/hari
ginjal&hat 5-20 mg 3x
Pindolol Sedang - +
i sehari
60 mg 4x
Propanolol Tinggi Hati - -
sehari

 Indikasi
- Pengobatan serangan angina tidak stabil
- Infark jantung
- Angina stabil kronik
 Kontraindikasi
- Hipotensi
- Bradikardia simptomatik
- Blok AV derajat 2-3
- Gagal janntung kongestif
- Eksaserbasi seranngan asma
- Diabetes melitus dengan episode hipoglikemi
 Efek Samping
- Terhadap sistem saraf otonom: menurunkan konduksi dan kontraksi
jantung sehingga dapat terjadi bradikardia dan blok AV.
- β-bloker dapat memperburuk penyakir Raynaud.
- β-bloker dapat mencetuskan bronkospasme peda pasien dengan
penyakit paru.
- β-bloker dapat menurunkan kadar HDL dan meningkatkan trigliserida.
C. Penghambat Kanal Ca++
 Mekanisme Kerja dan Farmakodinamik
Pada otot jantung dan otot polos vaskular, Ca++ terutama
berperan dalam peristiwa kontraksi. Meningkatnya Ca++ dalam sitosol
akan meningkatkan kontraksi. Pada otot rangka relatif tidak
memerlukan Ca++ ekstrasel karena sistem sarkoplasmik retikulum
yang telah berkembang baik. Penghambat kanal Ca++ menghambat
masuknya Ca++ ke dalam sel, sehingga terjadi relaksasi otot polos
vaskular, menurunnya kontraksi otot jantung dan menurunnya
kecepatan nodua SA serta konduksi AV. Semua penghambat kanal
Ca++ menyebabkan relaksasi otot polos arterial, tetapi efek hambatan
ini kurang terhadap pembuluh darah vena, sehingga kurang
mempengaruhu beban preload. Penghambat kanal Ca++ meningkatkan
suplai oksigen otot jantung dengan cara: dilatasi koroner dan
penurunan tekanan darah dan denyut jantung yang mengakibatkan
perfusi endokard membaik.
 Farmakokinetik
Walaupun absorpsi per oral hampir sempurna, tetapi
bioavailabilitasnya berkurang karena metabolisme lintas pertama
dalam hati. Efek obat tampak setelah 30-60 menit pemberian, kecuali
pada derivat yang mempunyai waktu paruh panjang. Pemberian
berulang meningkatkan bioavailabilitas obat karena enzim
metabolisme di hati menjadi jenuh.
 Indikasi
- Angina varian
- Angina stabil kronik
- Angina tidak stabil
- Aritmia
- Hipertensi
- Kardiomiopati hipertrofik
- Penyakit Raynaud
 Kontraindikasi
Aritmia karena konduksi antegrad seperti sindrom Wolff-Parkinson-
White atau fibrilasi atrium.
 Dosis
Obat dosis (mg) frekuensi/hari
Nifedipin 10 mg 3-4x
nifedipin (long
acting) 30-60 1x
Amlodipin 2.5-10 1x
Felodipin 2.5-20 1x
Isradipin 2.5-10 2x
Nicardipin 20-30 mg 1x
nicardipin SR 60-120mg 2x
Verapamil 80-320 mg 2-3x
Diltiazem 90-180 3x
diltiazem SR 120-540 1x
verapamil SR 240-480 1-2x

 Efek Samping
Efek samping yang ditimbulkan salah satu nya adalah vasodilatasi
berlebihan. Gejala yang tampak berupa pusing, sakit kepala, hipotensi,
reflex takikardia, flushing, mual, muntah, edema perifer, batuk, edema
paru, dll. Verapamil lebih sering menimbulkan konstipasi dan hiperplasia
gingiva. Kadang terjadi rash, somnolen dan kenaikan enzim hati.
F. Anti koagulan, antitrombotik dan trombolitik
1. Antikoagulan
Penggunaan utama anti koagulan adalah untuk mencegah pembentukan
trombus dengan jalan menghambat pembentukan fungsi beberapa faktor
pembekuan darah. Anti koagulan dapat dibagi menjadi 3 kelompok: 1.
Heparin; 2. Anti koagulan oral; 3. Anti koagulan mengikat ion kalsium,
salah satu faktor pembekuan darah.
a. Heparin
Heparin endogen merupakan suatu mukopolisakarida yang
mengandung sulfat. Zat ini disintesis dalam sel mast dan banyak
terdapat di paru. Heparin dibutuhkan untuk menyimpan histamin dan
protease tertentu dalam granul sel mast. Bila dilepaskan dari sel mast
heparin dengan cepat dihancurkan oleh makrofag.
Farmakodinamik:
Mekanisme kerja: efek antikoagulan heparin timbul karena ikatannya
dengan AT-III. AT-III berfungsi menghambat protease faktor
pembekuan termasuk faktor IIa (trombin), Xa dan IXa, dengan cara
membentuk ikatan baru dengan antitrombin. Hanya sekitar 1/3 molekul
heparin yang dapat terikat kuat dengan AT-III. Heparin berat molekul
tinggi (5000-30.000) memiliki afinitas kuat dengan antitrombin dan
menghambat dengan nyata pembekuan darah. Terhadap lemak darah,
heparin bersifat lipotropik yaitu memperlancar transfer lemak darah ke
dalam depot lemak, karena heparin membebaskan enzim-enzim yang
menghidrolisis lemak, salah satunya adalah lipase-lipoprotein ke dalam
sirkulasi serta menstabilkan aktivitasnya.
Efek lain: heparin dapat menekan kecepatan sekresi aldosteron,
menghambat penyembuhan luka, menekan imunitas seluler.
Farmakokinetik:
Heparin tidak bisa diarbsorbsikan secara oral, karena itu diberikan SK
atau IV. Heparin cepat dimetabolisme terutama di hati. Masa paruhnya
tergantung dari dosis yang digunakan, suntikan IV 100, 400 atau 800
unit/kgBB memperlihatkan masa paruh masing masing 1, 2 ½ dan 5
jam. Masa paruh mungkin memendek pada pasien emboli paru dan
memanjang pada pasien sirosis hepatis atau penyakit gagal ginjal berat.
Heparin ridak dapat melewati plasenta dan tidak terdapat dalam air susu
ibu.
Indikasi: pencegahan dan pengobata trombosis vena karena kerjanya
cepat. Heparin juga digunakan untuk pengelolaan awal pasien angina
tidak stabil atau infark miokard akut, selama dan sesudah angioplasti
koroner atau pemasangan stent.
Kontraindikasi: hemofilia, permeabilitas kapiler yang meningkat,
endokarditis bakterialis sub aku, perdarahan intrakranial, hipertensi
berat, syok.
Dosis: pada trombosis vena dalam secara injeksi IV dosis muatan 5000
unit diikuti dengan infus 12-25 unit/kgBB/jam atau secara injeksi SK
15.000 unit setiap 12 jam. Pada infark miokard untuk mencegah
reoklusi setelah trombosis, heparin digunakan dengan regimen yang
bervariasi. Untuk pencegahan trombosis mural heparin dianggap efektif
bila diberikan lewat injeksi SK 12.500 unit setiap 12 jam selama 10
hari.
b. Antikoagulan oral
Golongan ini dikenal dengan derivat 4-hidroksikumarin dan derivat
indan-1,3-dion. Perbedaan utama pada kedua derivat terletak pada
dosis, mula kerja, masa kerja, dan efek sampingnya, sedangkan
mekanisme kerjanya sama.
Mekanisme kerja:
Antikoagulan oral merupakan antagonis vitamin K. Vitamin K adalah
kofaktor yang berperan dalam aktivasi faktor pembekuan darah
II,VII,IX, X yaitu dalam mengubah residu asam glutamat menjadi
residu asam gama-karboksiglutamat. Untuk berfungsi vitamin K
mengalami siklus oksidasi dan reduksi di hati. Antikoagulan oral
mencegah reduksi vitamin K teroksidasi sehingga aktivitas faktor faktor
pembekuan darah tidak terjadi.
Farmakokinetik:
Semua derivat derivat 4-hidroksikumarin dan derivat indan-1,3-dion
dapat diiberikan peroral, warfarin dapat juga diberikan IM dan IV.
Absorb dikumarol dari daluran cerna lambat dan tidak sempurna,
sedangkan warfarin diarbsorbsikan lebih cepat dan hampir sempurna.
Masa paruh warfarin 48 jam, sedangkan dikumarol 10-30 jam, masa
paruh dikumarol sangat bergantung pada dosis dan berdasarkan faktor
genetik berbeda pada masing masing individu. Efek terapi baru tercapai
12-24 jam setelah puncak obat dalam plasma, karena diperlukan
waktuuntuk mengosongkan faktor faktor pembekuan drah dalam
sirkulasi.
Efek samping: Perdarahan dapat terjadi oleh karena itu pemberian
antikoagulan oral harus disertai pemeriksaan waktu protombin dan
pengawasan terhadap terjadinya perdarahan. Perdarahan sering terjadi
pada selaput lendir, kulit, saluran cerna, dan saluran kemih. Mual,
muntah, anoreksia, lesi kulit berupa prpura dan urtikaria.
Dosis
Natrium warfarin: oral, IV. Dimulai pada dosis kecil 5-10 mg/hari,
selanjutnya disesuaikan pada masa protrombin. Dosis pemeliharaan
umumnya 5-7 mg/hari
Dikumarol: oral. Dosis dewasa 200-300 mg pada hari pertama,
selanjtnya 25-100 mg/hari tergantung hasil pemeriksaan waktu
protrombin. Dosis pemeliharaan 25-150 mg/hari
Anisindion: oral. Dosis dewasa 200 mg/hari pada hari pertama, 200 mg
pada hari kedua dan 100 mg pada hari ketiga. Dosis pemeliharaan 25-
250 mg/hari.
c. Antigoagulan pengikat ion kalsium
Natrium sitrat dalam darah akan mengikat kalsium menjadi kompleks
kalsium sitrat. Bahan ini banyak digunakan dalam darah untuk transfusi
karena tidak toksik. Tetapi dosis yang terlalu tinggi, misalnya pada
transfusi darah sampai ± 1.400 mL dapat menyebabkan depresi jantung.

Asam oksalat dan senyawa oksalat lainnya digunakan untuk anti


koagulan in vitro, sebab terlalu toksik dalam penggunaan in vitro.

Natrium edetat mengikat kalsium mejadi suatu kompeks dan bersifat


sebagai antikoagulan.
2. Antritrombotik
Antitrombotik adalah obat yang dapat menghambat agregasi trombosis
sehingga menyebabkan terhambatnya pembentukan trombus yang
terutama sering ditemukan pada arteri.
Aspirin
Aspirin menghambat sintesis tromboksan A2 (TXA2) didalam
trombosit dan prostasiklin (PGI2) di pembuluh darah dengan menhambat
secara ireversibel enzim siklooksigenase terjadi karena aspirin
mengasetilasi enzim tersebut. Sebagai anti trombotik dosis efektif aspirin
80-32- mg per hari. Dosis lebih tinggi selain meningkatakan toksisitas
(terutama perdarahan), juga menjadi kurang efektif karena selain
menghambat TXA2 juga menghambat pembentukan prostasiklin. Pada
infark miokard akut aspirin bermanfaat untuk mencegah kambuhnya
infark miokard yang fatal maupun non fatal. Pada pasien TIA
penggunaan aspirin jangka panjang juga bermanfaat unuk mengurangi
kekambuhan TIA.
Efek samping aspirin adanya rasa tidak enak diperut, mual, dan
perdarahan saluran cerna biasanya dapat dihindari bila dosis perhari
tidak lebih dari 325 mg.
Dipiridamol
Dipiridamol menghambat ambilan dan metabolisme adenosin oleh
eritrosit dan sel endotel pembuluh darah, dengan demikian
meningkatkan kadar dalam plasma. Adenosin menghambat fungsi
trombosit dengan merangsang adenilat siklase dan merupakan
vasodilator.
Efek samping paling sering terjadi yaitu sakit kepala. Bila digunakan
untuk pasien angina pektoris, dipiridamol kadang kadang memperberat
gejala karena terjadinya fenomena coronary steal. Efek samping lain
adalah pusing, sinkop, dan gangguan saluran pencernaan. Dosis
profilaksis jangka panjang pada pasien katup jantung buatan 400 mg/hari
bersama dengan warfarin. Untuk mencegah aktivasi trombosit selama
operasi by-pass dosisnya 400 mg dimulai 2 hari sebelum operasi.
Tiklopidin
Tiklopidin menghambat agregasi trombosit yang diinduksi oleh ADP.
Inhibisi maksimal agregasi tromosit baru terlihat setelah 8-11 hari terapi.
Berbeda dengan aspirin, tiklopidin tidak mempenagruhi metabolisme
prostaglandin.
Efek samping yang sering mual, muntah, dan diare. Dapat terjadi
perdarahan dan yang paling berbahaya adalah leukopenia. Dosis
tiklopidin umumnya 250 mg 2 kali sehari.
Klopidogrel
Obat ini mirip dengan tiklopidin dan lebih jarang menyebabkan
trombositopenia dan leukopenia. Klopidogrel merupakan prodrug
dengan mula kerja lambat. Dosis umum 75 mg/hari dengan atau tanpa
dosis muat 300 mg.
3. Trombolitik
Berbeda dengan antikoagulan yang mencegah terbentuk dan
meluasnya tromboemboli, trombolitik melarukan trombus yang sudah
terbentuk. Agar efektif trombolitik harus diberikan sedini mungkin.
Indikasi golongan obat ini ialah untuk infark miokard akut, trombosis
vena dan emboli paru, tromboemboli arteri, melarutkan bekuan darah
pada katup jantung buatan dan kateter intravena.
Pada pasien infark miokard akut agar reperfusi tercapai obat harus
diberikan dalam 3-4 jam setelah timbulnya gejala.
Obat obat yang termasuk kedalam golongan trombolitik ialah
streptokinase, urokinase, aktivator plasminogen, rt-PA (Recombinant
Human Tissye-type Plasminogen Activator).
Monitoring terapi
Sebelum pengobatan dimulai heparin harus dihentikan (keculi pada
pasien infark miokard akut yang memerlukan pengobata segera) dan
selanjutnya dilakukan pemeriksaan laboratorium TT, PT, aPTT,
hematokrit, kadar fibrinogen, dan hitung trombosit, untuk menentukan
ada tidaknya perdarahan. TT dan aPTT haus kuarang dari 2x nilai
normal pada awal terapi.
Efek samping
Trombolitik dapat menyebabkan perdarahan. Meskipun rt-PA
menyebabkan fibrinogenolisis yang lebih sedikit dibandingkan dengan
streptokinase dan urokinase. Bila perdarahan hebat obat harus dihentikan
dan mungkinperlu transfusi darah. Untuk mrngatasi fibrinolisis dengan
cepat dapat diberikan asam aminokaproat, suatu inhibitor fibrinolisis,
secara IV. Efek samping lain mual dan muntah.
Kontra indikasi
Pasien dengan perdarahan internal, hipertensi, gangguan
hemostatik, kehamilan dan operasi besar.
a. Streptokinase
Berasal dari Steptococcus C. Hemlolyticu, dan berguna untuk
pengobatan fase dini emboli paru akut dan infark miokakrd
aku. Streptokinase mengaktivasi plasminogen dengan cara
tidak langsung yaitu dengan bergabung terlebih dahulu dengan
plasminogen untuk membentuk kompleks aktivator.
Selanjutnya kompleks aktivator tersebut mengkatalisis
perubahan plasminogen bebas menjadi plasmin.
Farmakokinetik: masa paruhnya bifasik. Fase cepat ± 11-13
menit dan fase lambatnya 23 menit.
Dosis: dosis dewasa untuk infark miokard akut dianjurkan
dosis total 1,5 juta IU secara infus selama 1 jam. Untuk
trombosis vena akut emboli paru, trombosis arteri akut atau
emboli dapat diberikan dosis muat 250.000 IU secara infus
selama 30 menit diikuti dengan 100.000 IU/ jam.
b. Urokinase
Urokinase diisolasi dari urin manusia. Urokinase langsung
mengaktifkan plasminogen. Penggunaan urokinase bersama
heparin menyebabkan insiden perdarahan lebih besar.
Sebaiknya tidak diberikan pada pasien emboli paru yang
berumur >50 tahun, pasien dengan sejarah penyakit
kardiopulmonal atau gangguan hemostasis berat.
Farmakokinetik: bila diberikan infus intravena urokinase
mengalami clearence yang cepat oleh hati. Masa paruh sekitar
20 menit. Sejumlah kecil obat dieksresi dalam empedu dan
urin.
Dosis: dosis yang dianjurkan adalah dosis muat 1000-4500
IU/kgBB secara IV dilanjutkan dengan infus IV 4400
IU/kgBB/jam.
c. Tissue Plasminogen Activator (t-PA)
Plasminogen secara endogen juga diaktifkan oleh aktivator
plasminogen jaringan alteplae dan reteplase yang merupakan
aktivator plasminogen jaringan manusia dan diproduksi dengan
teknik rekayasa DNA. Alteplase merupakan hasil rekayasa
aktivator plasminogen jaringan manusia yang tidak
dimodifikasi, sedangkan pada retplase beberapa asam amino
dihilangkan.
Farmakokinetik: masa paruh t-PA ± 5-10 menit, mengalami
metabolism di hati dan kadar plasma bervariasi karena aliran
darah ke hati yang bervariasi.
Dosis: alteplase diberikan secara infus IV sejumlah 60 mg
diberikan dengan kecepatan 20 mg/jam. Dosis reteplase 2 kali
10 unit diberikan sebagai suntikan bolus IV dengan interval
pemberian 30 menit. Efek samping diantaranya adalah
perdarahan
DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen farmakologi dan terapeutik fakultas kedokteran universitas


indonesia edisi 5. 2011. Farmakologi dan terapi. Jakarta : universitas
Indonesia.

2. Marulam. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Ketiga


Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia.2010. EGC : Jakarta

3. Alexander MR, et al. Hypertension Medication. Medscape. 2018. Tersedia


di: https://emedicine.medscape.com/article/241381-overview

4. Soenarta AA, dkk. Pedoman tatalaksana hipertensi pada penyakit


kardiovaskular.Perhimpunan dokter spesialis kardiovaskular indonesia.
Edisi pertama. 2015

5. James PA, Ortiz E, et al. 2014 evidence-based guideline for the


management of high blood pressure in adults: (JNC8). JAMA. 2014 Feb
5;311(5):507-20

6. Mancia G, Fagard R, Narkiewicz K, et al.; Task Force for the Management


of Arterial Hypertension of the European Society of Hypertension (ESH)
and of the European Society of Cardiology (ESC). 2013 ESH/ESC
guidelines for the management of arterial hypertension. Eur Heart J.
2013;34(28):2159-2219.

Anda mungkin juga menyukai