Anda di halaman 1dari 6

S.

Salbutamol
Spironolactone
Succinylcholine

Salbutamol
Mekanisme aksi
Salbutamol adalah simpatomimetik agonis reseptor β2-adrenergik short-acting selektif. Salbutamol
dapat membuat bronkodilatasi dan relaksasi uterus. Salbutamol biasa digunakan untuk asma dan
PPOK. Salbutamol juga digunakan untuk mengobati hiperkalemia akut karena merangsang
pengambilan kalium ke dalam sel sehingga menurunkan kalium dalam darah.

Farmakokinetik
• Hanya sekitar 10% salbutamol yang diinhalasi yang mencapai bronkhus, sisanya tertelan.
• Onsetnya dalam 15 menit dan efeknya dapat bertahan hingga 3-4 jam.
• Salbutamol sekitar 8-64% terikat protein plasma.
• Metabolisnya dilakukan di hepar.
• Waktu paruhnya 2,7-5 jam.
• Eksresi sekitar 30% melalui urin, sisanya melalui feses.

Indikasi
• Asma (untuk reliever)
• PPOK
• Preterm labor tanpa komplikasi

Administrasi
• Sediaan
- Tablet 2/4/8 mg
- Sirup 0,4 atau 2,5 mg/mL
- Aerosol 100 mcg/puff
- Dry powder inhalasi dalam kapsul 200 atau 400 mcg.
- Larutan untuk nebulisasi 2,5 atau 5 mg/mL
- Injeksi 1 mg/mL
• Nebuliser:
- 2.5–5 mg setiap 6 jam, tidak diencerkan (jika waktu pemberian ingin lebih lama, dapat
diencerkan dengan natrium klorida 0,9% saja).
- Jangan encerkan selain natrium klorida 0,9% (larutan hipotonik dapat menyebabkan
bronkospasme)
- Untuk penderita bronkitis kronis dan hiperkapnia, oksigen dalam konsentrasi tinggi bisa
berbahaya, dan nebulizer harus digerakkan oleh udara
• IV:
- 5 mg terdiri dari 50 ml dengan glukosa 5% (100 μg / ml)
- Kecepatan 200–1.200 μg / jam (2-12 ml / jam)

Efek Samping
• Tremor
• Takikardia
• Insomnia
• Anxietas
• Berkeringat
• Hipotensi postural
• Mual muntah
• Efek metabolik (ketosis, asidosis laktat, peningkatan glukosa dan insulin)
• Bronkospasme paradoks (segera hentikan jika dicurigai)
• Hipokalemia yang berpotensi serius (diperkuat oleh pengobatan bersamaan dengan
aminofilin, steroid, diuretik, dan hipoksia)
Perhatian
• Hati-hati pada pasien dengan penyakit kardiovaskular
• Tirotoksikosis : Pada pasien yang sudah menerima dosis besar obat simpatomimetik lain

Referensi
Barnes, P.J., 2018. ‘Chapter 40: Pulmonary Pharmacology’ in Brunton, L.L., Hilal-Dandan, R.,
Knollmann, B.C., Goodman & Gilman The Pharmacological Basis of Therapeutics, 13th ed.
McGraw-Hill, New York, pp. 731-732.
Paw, H., Shulman, R., 2019. Handbook of Drugs in Intensive Care, 6th ed. Cambridge University Press,
Cambridge, pp. 262-263.
Scarth, E., Smith, S., 2016. Drugs in Anaesthesia and Intensive Care, 5th ed. Oxford University Press,
Oxford, pp. 350-351.
Westfall, T.C., Macarthur, H., Westfall, D.P., 2018. ‘Chapter 12: Adrenergic Agonists and
Antagonists’ in Brunton, L.L., Hilal-Dandan, R., Knollmann, B.C., Goodman & Gilman The
Pharmacological Basis of Therapeutics, 13th ed. McGraw-Hill, New York, pp. 200.
Spironolactone
Mekanisme aksi
Spironolakton adalah diuretic hemat kalium, bekerja sebagai antagonis aldosterone. Spironolakton
dosis rendah memperlihatkan keuntungan pada pasien dengan penyakit CHF berat yang sudah
mendapatkan terapi ACE-I dan diuretic. Spironolakton juga dapat digunakan untuk terapi edema
dan asites pada penyakit sirosis hepatis.

Farmakokinetik
• Spironolakton diabsorbsi sebagian jika diadministrasikan per oral, bioavailabilitasnya
sekitar 70%
• 90% spironolakton terikat protein plasma.
• Spironolakton dimetabolisme di hepar.
• Ekskresi melalui urin dan sebagian kecil melalui bilier.
• Waktu paruhnya 1-2 jam namun bisa hingga 9 jam pada pasien dengan sirosis hepar.

Indikasi
• Congestive Heart Failure
• Edema dan Asites pada Sirosis Hepatis
• Edema refrakter
• Hipertensi
• Sindroma nefrotik
• Kombinasi dengan loop diuretic atau thiazid untuk mencegah hipokalemia dan
meningkatkan diuresis
• Diagnosis dan terapi Conn’s syndrome

Kontraindikasi
• Hiperkalemia
• Hiponatremia
• Gagal Ginjal Berat
• Addison’s Disease
• Ulkus peptik

Administrasi
• Sediaan:
- Tablet 25/50/100 mg
- Kombinasi dengan hidroflumethiazid atau furosemide
• Per oral:
- CHF : per oral 25-50mg 1x sehari
- Edema dan Asites pada sirosis hepatis : per oral 100-400mg sehari sekali
• Jika rute IV diperlukan, gunakan Potassium Canrenoate (obat yg belum ada lisensi)
- Konversi: potassium canrenoate 140mg ekuivalen dengan spironolakton 100mg
- Pemberian IV bolus via vena besar dengan rate maksimal 100mg/min atau via infus
dalam 250 ml glukosa 5% selama 90 menit
- Monitoring: serum Na, K, dan kreatinin
Adverse effect
• Penurunan Kesadaran
• Hiperkalemia (jarang terjadi pada dosis untuk CHF namun bisa terjadi pada gagal ginjal
kronis)
• Hiponatremia
• Fungsi hepar yang abnormal
• Efek terhadap progesteron dan androgen (ginekomastia, impotensi, menstruasi ireguler)
• Gejala saluran cerna (diare, gastritis, perdarahan lambung, ulkus peptik)
• Ruam

Perhatian
• Porphyria
• Gangguan ginjal (risiko hiperkalemia)
• Penggunaan bersamaan dengan obat-obatan seperti:
- ACE-I (risiko hiperkalemia)
- Angiotensin II antagonist (risiko hiperkalemia)
- Digoxin (peningkatan plasma konsentrasi dari digoxin)
- Ciclosporin (risiko hiperkalemia)
- Lithium (peningkatan plasma konsentrasi dari lithium)

Kegagalan Organ
• Renal : risiko hiperkalemia: gunakan dengan hati-hati pada gagal ginjal berat
• Hepar: mungkin dapat mempresipitasi encephalopathy.

Referensi
Jackson, E.K., 2018. ‘Chapter 25: Drugs Affecting Renal Excretory Function’ in Brunton, L.L., Hilal-
Dandan, R., Knollmann, B.C., Goodman & Gilman The Pharmacological Basis of Therapeutics, 13th
ed. McGraw-Hill, New York, pp. 456-458.
Paw, H., Shulman, R., 2019. Handbook of Drugs in Intensive Care, 6th ed. Cambridge University Press,
Cambridge, pp. 268-269.
Scarth, E., Smith, S., 2016. Drugs in Anaesthesia and Intensive Care, 5th ed. Oxford University Press,
Oxford, pp. 364-365.
Succinylcholine
Klinikal Farmakologi
Succinylcholine (SCh) memiliki struktur kimia menyerupai ACH. SCh menstimulasi reseptor
nikotinik dan muskarinik kolinergik dari sistem saraf simpatis dan parasimpatis. SCh juga
menyebabkan pelepasan histamin, namun efeknya kurang signifikan. Awalnya, depolarisasi dari
SCh mengakibatkan fasikulasi, namun hal ini diikuti dengan paralisis motorik. Onset, aktifitas,
dan durasi dari SCh bergantung pada hidrolisis cepat dari pesudocholinesterase (PCHE), enzim
dari hepar yang tidak terdapat di neuromuscular junction. Karena itu difusi keluar dari
neuromuscular junction motor endplate dan kembali ke kompartemen vaskular adalah jalur dari
metabolisme SCh. Hal ini sangat penting dalam memahami mengapa dosis IV inisial SCh tidak
pernah sampai pada motor endplate untuk menyebabkan paralisis. Oleh karena itu pada RSI
darurat digunakan dosis yang lebih besar.

Indikasi
• Digunakan pada kasus RSI darurat karena onsetnya cepat dan durasinya relatif
singkat.

Kontraindikasi
• Keadaan seperti adanya fasikulasi, hiperkalemia, bradikardi, hipertermi maligna,
defisiensi PCHE, dan trismus merupakan kontraindikasi absolut penggunaan SCh. Pada
pasien ini digunakan rokuronium.
• Kontraindikasi relatif bergantung pada kemampuan intubator dan keadaan klinis
pasien.

Dosis dan kegunaan klinis


• Dosis pada dewasa dengan berat normal untuk RSI darurat: 1.5 mg/Kg IV
Pada crash intubation direkomendasikan untuk meningkatkan dosis hingga 2.0 mg/ Kg
untuk kompensasi berkurangnya peredaran obat.
• Dosis SCh intramuscular (pada keadaan mengancam nyawa): 4 mg/ Kg IM
Administrasi intramuscular menyebabkan pasien lebih rentan untuk waktu yang lebih
lama dimana pernafasan terganggu namun relaksasi kurang untuk dapat dilakukan
intubasi. Pada keadaan ini digunakan ventilasi bag-mask aktif sebelum memasukan
laringoskop.
• Jika terdapat keraguan dalam menentukan berat badan pasien, maka gunakan dosis
yang lebih tinggi untuk memastikan paralisis pasien cukup. Half-life dari SCh kurang
dari 1 menit, maka dari itu menambahkan dua kali lipat dosis hanya akan
menambahkan durasi hingga 60 detik. SCh aman hingga dosis kumulasinya 6 mg/Kg
• Pada anak usia < 10 tahun, rekomendasi dosis sesuai berat badan adalah 2 mg/Kg
IV dan pada neonates (< 12 bulan) dosis yang digunakan 3 mg/ Kg IV.

Efek Samping
• Fasikulasi
Disebabkan oleh stimulasi dari reseptor nikotinik ACH. Terjadi bersamaan dengan
adanya peningkatan tekanan intracranial, peningkatan tekanan intraocular dan tekanan
intragastrik.
• Hiperkalemia
Dalam keadaan normal, serum kalium meningkat minimal saat SCh diberikan. Pada
kondisi tertentu kenaikan kalium ini bisa sangat drastis. Hal ini terjadi karena 2
mekanisme: peningkatan regulasi reseptor dan rhabdomyolysis.
Kondisi yang menyebabkan pasien beresiko mengalami SCh-Induced hyperkalemia yaitu
korban terbakar, mengalami denervasi, crush injury, infeksi berat, myopathy dan kondisi
hiperkalemia sebelumnya.
• Bradikardia
Setelah diberikan dosis ulangan SCh dapat terjadi bradycardia dan dibutuhkan
pemberian atropine untuk manajemennya.
• Blokade neuromuskular berkepanjangan
Hal ini dapat terjadi pada pasien dengan defisiensi PCHE, congenital absence of PCHE,
atau adanya bentuk atipikal dari PCHE.
• Malignant hyperthermia
Kondisi ini adalah sebuah myopati dengan abnormalitas genetic membrane otot skeletal.
Kondisi ini dapat di picu oleh anesthesia halogen, SCh, olah raga berat, dan stress
emosional.
• Trismus
SCh dapat menyebabkan trismus terutama pada anak-anak.

Anda mungkin juga menyukai