Anda di halaman 1dari 8

LAPORAN SKILL LAB FARMAKOLOGI:

DASAR TERAPI RASIONAL

DISUSUN OLEH :

Nama: Wira Veronica

NIM: 04011181722150

Kelas: Alpha 2017

PRORGAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

TAHUN AJARAN 2018/2019


1) Mengidentifikasi brosur obat
a. Nama Paten : Sanmol.

b. Nama Generik (sesuai zat aktif) : Parasetamol.

c. Komposisi Obat : Setiap tablet mengandung Parasetamol 500 mg.

d. Cara kerja obat


Sebagai analgesik, bekerja dengan meningkatkan ambang rangsang rasa sakit dan
sebagai antipiretik, diduga bekerja langsung pada pusat pengatur panas di
hipotalamus.

e. Indikasi
Untuk meringankan rasa sakit kepala, sakit gigi, dan menurunkan demam.

f. Dosis dan Cara Pemberian


Dewasa : 1 tablet, 3-4 kali sehari.
Anak 6-12 tahun : ½ - 1 tablet, 3-4 kali sehari.
Atau sesuai petunjuk dokter.

g. Kontraindikasi
Penderita dengan gangguan fungsi hati berat dan hipersensitif terhadap parasetamol.

h. Efek samping
- Penggunaan untuk jangka waktu lama dan dosis besar dapat menyebabkan
kerusakan fungsi hati.
- Reaksi hipersensitifitas.

i. Peringatan dan perhatian


Hati-hati penggunaan obat ini pada penderita penyakit ginjal.
Bila setelah 2 hari demam tidak menurun atau setelah 5 hari nyeri tidak menghilang
segera hubungi Unit Pelayanan Kesehatan.
Penggunaan obat ini pada penderita yang mengonsumsi alkohol, dapat meningkatkan
resiko gangguan fungsi hati.

j. Cara penyimpanan
Simpan pada suhu dibawah 30℃, terlindungi dari cahaya.

k. Kemasan
1 strip berisi 4 tablet.
2) Latihan pengkajian Informasi
Lakukan pengkajian terhadap peresepan obat dari skenario berikut.
Seorang laki-laki berusia 50 tahun datang ke puskesmas dengan sesak nafas sejak 1 hari
yang lalu. Pasien memiliki riwayat hipertensi sejak 4 tahun yang lalu. Dokter
mendiagnosis pasien dengan asma dan hipertensi derajat 2.
Dokter meresepkan obat berikut untuk dikonsumsi selama 7 hari:
- Captopril 2 x 25 mg
- Propranolol 1 x 20 mg
- Salbutamol 3 x 24 mg (jika sesak)
Pertanyaan:
a. Jelaskan farmakokinetik dan farmakodinamik dari masing-masing obat!
Jawab:
 Captopril
Farmakokinetik
Captopril diabsorpsi dengan baik pada pemberian oral dengan
bioavilabilitas 70-75%. Pemberian bersama makanan akan mengurangi absorpsi
kurang lebih 30%, oleh karena itu obat ini harus diberikan 1 jam sebelum makan.
Sebagian besar ACE-inhibitor termasuk captopril mengalami metabolisme
di hati, kecuali lisinopril yang tidak dimetabolisme. Eliminasi umumnya melalui
ginjal, kecuali fosinopril yang mengalami eliminasi di ginjal dan bilier.

Farmakodinamik
Captopril merupakan ACE-inhibitor yang pertama ditemukan dan banyak
digunakan di klinik untuk mengobati hipertensi dan gagal jantung. ACE-inhibitor
bekerja dengan menghambat angiotensin converting enzyme (ACE) sehingga
perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II terhambat. Hal itu akan
mengakibatkan terjadi vasodilatasi dan menurunkan sekresi aldosteron. Selain itu,
degradasi bradikinin juga dihambat sehingga kadar bradikinin dalam darah
meningkat dan berperan juga dalam efek vasodilatasi. Vasodilatasi secara
langsung akan menurunkan tekanan darah, sedangkan berkurangnya aldosteron
akan menyebabkan ekskresi air dan natrium serta retensi kalium.
Walaupun kadar angiotensin I dan renin meningkat, namun pemberian
ACE-inhibitor jangka panjang tidak menimbulkan toleransi dan penghentian obat
ini biasanya tidak menimbulkan hipertensi rebound. Selain itu, ACE-inhibitor
menurunkan reseistensi perifer tanpa diikuti refleks takikardia.
Pada ginjal ACE-inhibitor menyebabkan vasodilatasi arteri renalis
sehingga meningkatkan aliran darah ginjal dan secara umum akan memperbaiki
laju filtrasi glomerulus. Pada sirkulasi glomerulus, ACE-inhibitor menimbulkan
vasodilatasi lebih dominan pada arteriole eferen daripada aferen sehingga
menurunkan tekanan intraglomerular. Efek ini dapat dimanfaatkan untuk
mengurangi proteinuria pada nefropati diabetik dan sindrom nefrotik. Namun
penurunan tekanan filtrasi glomerulus pada keadaan stenosis arteri renalis dapat
menimbulkan kegagalan filtrasi.
 Propranolol
Farmakokinetik
Propranolol termasuk obat β-bloker yang mudah larut dalam lemak.
Semuanya diabsorpsi dengan baik (>90%) dari saluran cerna, tetapi
bioavailabilitasnya rendah (tidak lebih dari 50%) karena mengalami metabolisme
lintas pertama yang ekstensif di hati. Eliminasinya melalui metabolisme di hati
sangat ekstensif sehingga obat utuh yang diekskresi melalui ginjal sangat sedikit
(<10%). Obat yang termasuki kelompok yang larut dalam lemak ini mempunyai
waktu paruh eliminasi yang pendek, yakni 3-5 jam.
Distribusi ke dalam sistem saraf pusat sejajar dengan kelarutannya dalam
lemak. Propanolol dan alprenolol yang paling tinggi kelarutannya dalam lemak
paling mudah masuk ke dalam otak. Propranolol menimbulkan variasi kadar
plasma sampai 20 kali lipat setelah pemberian dosis oral yang sama pada pasien
karena terdapat perbedaan individual dalam kapasitas metabolisme hati.
Proses metabolisme presistemik untuk beberapa obat seperti propranolol
mengalami kejenuhan pada dosis terapi. Batas kejenuhan ini bervariasi antar
individu berdasarkan kapasitas metabolisme masing-masing pasien. Propranolol
mempunyai metabolit aktif yaitu 4-hidroksipropranolol yang mempunyai aktivitas
sebagai β-bloker.

Farmakodinamik
β-bloker menghambat secara kompetitif efek obat adrenergik, baik
norepinephrine dan epinephrin endogen maupun obat adrenergik eksogen, pada
adenoreseptor β. Sifat kardioselektif artinya mempunyai afinitas yang lebih tinggi
terhadap reseptor β1 daripada reseptor β2. Sedangkan nonselektif artinya
mempunyai afinitas yang sama terhadap kedua reseptor β1 dan β2. Tetapi sifat
kardioselektivitas ini bersifat relatif, artinya pada dosis lebih tinggi β-bloker yang
kardioselektif juga memblok reseptor β2.
Berbagai mekanisme penurunan tekanan darah akibat pemberian β-bloker
dapat dikaitkan dengan hambaran reseptor β1, antara lain:( (1) penurunan
frekuensi denyut jantung dan kontraktilitas miokard sehingga menurunkan curah
jantung, (2) hambatan sekresi renin di sel-sel jukstaglomeruler ginjal dengan
akibat penurunan produksi angiotensin II, (3) efek sentral yang mempengaruhi
aktivitas saraf simpatis, perubahan pada sensitivitas baroreseptor, perubahan
aktivitas neuron adrenergik perifer dan peningkatan biosintesis protasiklin.

 Salbutamol
Farmakokinetik
Salbutamol termasuk golongan β2 –agonis. Selain efektif pada pemberian
oral, juga diabsorpsi dengan baik dan cepat pada pemberian aerosol. Pemberian
aerosol biasanya memberikan respons yang sangat cepat, dalam waktu beberapa
menit. Injeksi subkutan juga memberikan bronkodilatasi segera, sedangkan
pemberian oral memberikan efek puncak setelah beberapa jam. Hanya sekitar
10% dari dosis inhalasi yang masuk paru, sisanya banyak yang terttelan dan
akhirnya diabsorpsi. Terapi aerosol ini berhasil jika pasien menguasai teknik
terapi inhalasi.

Farmakodinamik
Obat-obat β2 –agonis seperti salbutamol memiliki afinitas yang lebih besar
untuk reseptor β2 dibandingkan dengan reseptor β1. Akan tetapi selektivitas ini
relatif, tidak absolut, dan hilang pada kadar yang tinggi. Di samping itu, sampai
dengan 40% reseptor β dalam jantung manusia adalah reseptor β 2 yang
aktivitasnya dapat menyebabkan stimulasi jantung.
Untuk meningkatkan selektivitas pada reseptor β2 di paru, obat tersebut
diberikan secara inhalasi dosis rendah dalam aerosol. Cara ini menghasilkan
aktivasi efektif reseptor β2 di bronkus tetapi kadar obat sistemik yang sangat
rendah, sehingga aktivasi reseptor β1 dan β2 di jantung atau resptor β2 di otot skelet
yang menyebabkan tremor menjadi sangat rendah. Pada pengobatan asma, β2 –
agonis digunakan terutama sebagai bronkodilator, tetapi juga sebagai
antiinflamasi.

b. Jelaskan efek samping masing-masing obat!


Jawab:
 Captopril
1.) Hipotensi
Dapat terjadi selama awal pemberian ACE-inhibitor, terutama pada
hipertensi dengan aktivitas renin tinggi.
2.) Batuk kering
Merupakan efek samping yang paling sering terjadi, lebih sering pada
wanita, dan lebih sering pada malam hari. Diduga efek samping ini ada
kaitannya dengan peningkatan kadar bradikinin dan substansi P dan/atau
prostaglandin. Efek samping ini tergantung besarnya dosis obat dan bersifat
reversibel bila obat dihentikan.
3.) Hiperkalemia
Efek ini terjadi karena obat ini mengakibatkan berkurangnya sekresi
aldosteron sehingga mengakibatkan salah satunya retensi kalium. Dapat
terjadi pada pasiendengan gangguan fungsi ginjal atau yang mendapat diuretik
hemat kalium, AINS, suplemen kalium atau β bloker.
4.) Rash dan gangguan pengecapan
Diduga terjadi karena adanya gugus sulfhidril (SH) pada captopril.
Bersifat reversibel setelah obat dihentikan atau dengan pemberian
antihistamin.
5.) Edema angioneurotik
Efek ini terjadi dalam beberapa jam pertama setelah pemberian ACE-
inhibitor yang berupa pembengkakan hidung, bibir, tenggorokan, laring, dan
sumbatan jalan napas yang bisa berakibat fatal.
6.) Gagal ginjal akut
Hal ini disebabkan dominasi efek ACE-inhibitor pada arteriol eferen yang
menyebabkan tekanan filtrasi glomerulus semakin rendah dan filtrasi
glomerulus berkurang. Dapat terjadi pada pasien stenosis.
7.) Efek teratogenik
Terutama pada pemberian selama trimester 2 dan 3 kehamilan. Oleh
karena itu begitu ada kecurigaan kehamilan, pemberian obat ini harus segera
dihentikan.

 Propranolol
β-bloker dapat menyebabkan bradikardia, blokade AV, hambatan nodus
SA dan menurunkan kekuatan kontraksi miokard. Selain itu, penghentia β-bloker
pada pasien angina tidak boleh secara mendadak karena dapat emnimbulkan
kambuhnya serangan hipertensi ke tingkat yang lebih tinggi, kambuhnya serangan
angina bahkan infark miokard pada pasien angina pektoris.
Bronkospasme merupakan efeksamping yang penting pada pasien dengan
riwayat asma bronkial atau penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), sehingga
pemakaian β-bloker termasuk yang kardioselektif merupakan kontraindikasi
untuk keadaan ini.
Gangguan fungsi seksual sering terjadi akibat pemakaian β-bloker
terutama yang tidak selektif. Pemakaian β-bloker pada pasien DM yang mendapat
insulin atau obat hipoglikemik oral juga sebaiknya dihindari karena β-bloker
dapat menutupi gejala hipoglikemia.

 Salbutamol
Pemakaian obat simpatomimetik melalui inhalasi mula-mula
menimbulkan kekhawatiran akan kemungkinan aritmia jantung dan hipoksemia
secara akut dan takifilaksis atau toleransi jika diberikan berulang. Memang efek
vasodilatasi pemberian agonis β2 dapat meningkatkan perfusi bagian-bagian paru
yang kurang mendapat ventilasi dan secara transien menurunkan tegangan
oksigen arteri (PaO2). Namun, efek ini biasanya kecil dan dapat terjadi pada
pemberian setiap obat bronkodilator; makna efek ini bergantung pada PaO2 awal
pasien. Pemberian suplemen oksigen, yang dilakukan rutin pada serangan asma
akut berat, menghilangkan semua kekhawatiran tentang efek ini. Kekhawatiran
lain, bahwa dosis biasa agonis β dapat menyebabkan aritmia jantung yang
mematikan, tampaknya tidak memiliki dasar. Pada pasien yang datang untuk
penanganan darurat asma berat, ketidakteraturan irama jantung membaik dengan
membaiknya pertukaran gas yang dihasilkan oleh terapi bronkodilator dan
pemberian oksigen.
Konsep bahwa obat agonis β memperburuk asma klinis dengan memicu
takifilaksis terhadap kerjanya sendiri belum terbukti. Sebagian besar penelitian
hanya menunjukkan perubahan kecil dalam respons bronkodilator terhadap
stimulasi β setelah pemberian jangka-panjang agonis β, tetapi sebagian penelitian
memperlihatkan adanya penurunan dalam kemampuan terapi agonis β untuk
menghambat respons terhadap rangsangan selanjutnya dengan olahraga,
metakolin, atau antigen (disebut sebagai hilangnya efek bronkoprotektif).
Meskipun agonis adrenoseptor β2 adalah bronkodilator yang tampaknya
memang aman dan efektif jika digunakan "sesuai kebutuhan" untuk
menghilangkan gejala, ada bukti bahwa pemberian agonis β kerja-lama jangka-
panjang berisiko menim-bulkan efek samping. Risiko-risiko ini dicurigai lebih
besar pada orang yang memiliki varian genetik untuk reseptor β, khususnya di
lokus B-16 reseptor β. Analisis retrospektif studi-studi terapi reguler dengan
agonis β inhalan menyarankan bahwa kontrol asma memburuk pada pasien yang
homozigot untuk arginin di lokus ini, suatu genotipe yang ditemukan pada 16%
orang Kau- kasus dan lebih sering pada orang Amerika Afrika di AS. Karena itu
muncul spekulasi bahwa varian genetik mungkin mendasari laporan peningkatan
angka kematian asma akibat pemakaian reguler agonis β kerja-lama dalam
penelitian-penelitian yang melibatkan pasien dalam jumlah sangat besar (lihat
bawah), tetapi perlu dicatat bahwa hanya sedikit perbedaan dijumpai dalam
berbagai parameter kontrol asma pada sebuah studi yang membandingkan pasien
dengan genotipe Arg/Arg atau Gly/Gly yang diterapi dengan salmeterol dalam
kombinasi dengan kortikosteroid inhalan. Sementara studi-studi sejauh ini gagal
membuktikan bahwa variasi genetik di bagian khusus dari gen untuk reseptor β itu
berkaitan dengan penyimpangan respons terhadap pemberian agonis β
jangkapanjang, studi-studi farmakologik tentang terapi asma akan terns menjadi
fokus aktif penelitian, sebagai suatu pendekatan kepada
pengembangan "terapi pribadi" untuk asma dan penyakit lain.

c. Apakah kombinasi obat tersebut sudah tepat? Jelaskan! Apa saran Anda?
Jawab:
Menurut saya, kombinasi obat tersebut kurang tepat karena propranolol termasuk
golongan β-bloker yang kontraindikasi dengan pasien asma. Golongan ini dapat
menyebabkan bronkospasme dan memperparah sesak pada pasien. Sebaiknya
golongan β-bloker tidak dipakai pada pasien asma. Obat antihipertensi yang dapat
dipakai pada pasien asma bisa dengan golongan diuretik atau ACE-inhibitor seperti
dalam kasus ini yaitu captopril.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2010. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi. Edisi 9. 2009/2010. Jakarta:
Penerbit Asli (MIMS Pharmacy Guide).
Gunawan, Sulistia Gan, dkk. 2016. Farmakologi dan Terapi. Jakarta : Badan Penerbit
FKUI.
Katzung, Bertram G. 2016. Farmakologi Dasar & Klinis Edisi 12 Volume 1. Jakarta :
EGC
Katzung, Bertram G. 2016. Farmakologi Dasar & Klinis Edisi 12 Volume 2. Jakarta :
EGC

Anda mungkin juga menyukai