Anda di halaman 1dari 13

II.B.

PEMILIHAN OBAT PADA TATALAKSANA JALAN


NAPAS EMERGENCY
A PENDAHULUAN

Insersi laringoskopi dan intubasi endotrakheal dapat memicu ketidaknyamanan dan


reflek muntah pada pasien yang sadar, yang dapat berakibat respon dari simpatis yang hebat
dan memperberat patologi seperti penyakit jalan napas reaktif atau pasien dengan problem
kardiovaskular. Direkomendasikan pemberian agent induksi untuk mengoptimalkan kondisi
intubasi. Agent dengan onset yang cepat dan efek yang singkat seperti, propofol, etomidate
dan benzodiasepin menjadi pilihan. Manipulasi jalan napas memicu nyeri dan
ketidaknyamanan. Penggunaan analgesia sangat diperlukan. Sebagian besar analgesia
memiliki efek depresi napas, sehingga obat dengan onset cepat dan durasi pendek seperti
remifentanily, alfentanil, fentanyl atau morfin direkomendasikan.
Relaksan otot dapat meningkatkan kemudahan intubasi, menumpulkan reflek laringeal,
otot menjadi rileks, dan menurunkan tahanan dari dinding dada untuk fasilitas bag valve mask
ventilasi. Agent relaksan otot akan menghentikan usaha napas, sehingga dapat berbahaya
pada pasien dengan kesulitan ventilasi dengan bag mask. Agent dengan onset cepat seperti
suksinilkholin atau rokuronium direkomendasikan, dan harus digunakan pada pasien dalam
keadaan tersedasi.
Rapid Sequence Intubation (RSI) merupakan teknik intubasi yang menggunakan agen
induksi dan Rapid Acting Neuromuscular Blocking Agent (NMBA) diawali dengan preoksigenasi
dan optimalisasi pasien untuk menginduksi ketidaksadaran dan paralisis pada intubasi. Teknik
ini dilakukan dengan asumsi pasien tidak berpuasa sebelum dilakukan intubasi, sehingga
pemberian ventilasi tekanan positif dapat beresiko menyebabkan aspirasi dan distensi
lambung. Intubasi kemudian dilakukan dengan pemberian obat-obatan untuk memicu
ketidaksadaran dan paralisis yang diawali dengan preoksigenasi dan optimalisasi, sehingga
tidak memerlukan penggunaan ventilasi tekanan positif saat proses intubasi. Agen yang
digunakan untuk induksi/sedasi pasien yang akan dilakukan intubasi pada Rapid Sequence
Intubasi (RSI) disebut sebagai Agen sedatif induksi, karena menginduksi general anesthesia
pada spektrum aksi sedatif yang ekstrim.
Agen induksi yang ideal menyebabkan ketidaksadaran dengan cepat, memberikan
efek analgesik, mempertahankan tekanan perfusi serebral yang stabil, mempertahankan
hemodinamik kardiovaskular yang stabil. Kebanyakan agen induksi yang ada memenuhi kriteria
yang pertama karena bersifat lipofilik, sehingga memiliki onset yang cepat. Semua agen induksi
memiliki potensi untuk menyebabkan depresi miokardial dan hipotensi. Semakin cepat obat
induksi dimasukkan ke dalam tubuh dengan rute IV, semakin besar pula konsentrasi obat yang
tersaturasi dalam organ dengan aliran darah yang besar (misal jantung dan otak), sehingga
efek yang ditimbulkan semakin besar. Pada RSI sendiri, dibutuhkan administrasi secara cepat
agen induksi, sehingga pilihan obat dan dosis agen induksi harus bersifat individual untuk
memanfaatkan efeknya dan meminimalisasi efek sampingnya. Pada kondisi tertentu dimana RSI
klasik tidak dapat dilakukan karena pasien mengalami instabilitas hemodinamik, maka prosedur
akan dimodifikasi dengan pemilihan obat induksi, pengurangan dosis dan titrasi obat induksi.

Agen induksi general anestesia bekerja melalui dua mekanisme utama:


1. Peningkatan inhibisi melalui aktivitas reseptor GABA (benzodiazepin, barbiturat,
propofol, etomidate, isofluerene, enflurane, halothane)
2. Penurunan eksitasi melalui NMDA reseptor (ketamine, NO, xenon)

▪ Agen induksi bersifat sangat lipofilik, dan karena otak merupakan organ yang memiliki
perfusi jaringan yang tinggi, serta padat jaringan lemak, dosis induksi standar dapat
menginduksi ketidaksadaran dalam 30 detik.
▪ Dosis dari agen induksi pada orang dewasa non obesitas harus berdasarkan berat
badan ideal. Pada orang dewasa dengan obesitas, dosis agen induksi yang baik jika
dihitung berdasarkan lean body weight. Hal ini karena pemberian agen induksi secara
bolus dalam jumlah besar dapat menyebabkan depresi kardiovaskular.
▪ Pada pasien lansia, massa tubuh tanpa lemak dan total air dalam tubuh berkurang, dan
total lemak tubuh meningkat, sehingga terjadi peningkatan volume distribusi, waktu paruh
dan durasi dari efek obat. Oleh karena itu, lansia sangat sensitif terhadap perubahan
hemodinamik dan depresi sistem pernapasan sebagai efek dari agen induksi, sehingga
dosisnya perlu dikurangi hingga ½ atau ⅔ dosis normal.

2 PILIHAN OBAT INDUKSI PADA TATALAKSANA JALAN NAPAS


A. ETOMIDATE
▪ Mekanisme: Etomidate merupakan derivatif imidazol yang utama nya bersifat hipnotik
dan tidak memiliki efek analgetik. Etomidate adalah agen induksi yang paling stabil
secara hemodinamik. Mekanisme kerjanya melalui peningkatan kerja GABA pada GABA
receptor kompleks. Receptor GABA akan menginhibisi saluran klorida yang akan
membuat neuron kurang tereksitasi. Etomidate dapat menurunkan tekanan intrakranial
yang tinggi dengan menurunkan aliran darah dan metabolisme otak. Etomidate bersifat
serebroprotektif dan merupakan pilihan utama pada pasien dengan peningkatan
tekanan intrakranial.
▪ Indikasi: Merupakan agen induksi pilihan utama pada RSI, karena onset nya yang cepat,
stabilitas hemodinamik, dan memiliki efek positif pada metabolisme serebral dan perfusi
serebral.
▪ Kontraindikasi: Penggunaan pada anak-anak belum terbukti aman.
▪ Efek samping: Nyeri pada tempat penyuntikan (terkait dengan substansi pengencer
yang digunakan merupakan propylene glycol), Gerakan myoclonik
▪ Dosis etomidate pada orang dewasa:
✓ Anestesi umum: iv awal 0.3 mg/kg (02 – 0.6 mg/kg) selama 30 – 60 detik untuk
induksi anestesi
✓ Sedasi prosedural: iv awal 0.1 – 0.2 mg/kg diikuti 0.05 mg/kg setiap 3 – 5 menit
jika diperlukan
✓ Induksi Rapid sequence intubation: iv awal 0.3 mg/kg, pada pasien hemodinamik
tidak stabil 0.2 mg/kg
▪ Dosis etomidate pada pediatrik:
✓ Induksi anestesi: bayi iv 0.2 – 0.3 mg/kg/dosis dosis tunggal, anak-anak < 10 tahun
iv 0.2 – 0.3 mg/kg/dosis dosis tunggal anak-anak > 10 tahun: iv 0.3 mg/kg/dosis
dosis tunggal
✓ Sedasi prosedural: dosis awal iv 0.2 mg/kg/dosis sebelum prosedur, dapat diulang
tergantung respon pasien dan durasi prosedur, dosis tambahan 0.1 – 0.2
mg/kg/dosis
✓ Rapid sequence intubation: iv, io 0.2 – 0.4 mg/kg/dosis dosis tunggal, dosis maksimum
20 mg/dosis

Gambar: Sediaan Etomidate

Etomidate

Dosis induksi Onset (detik) Waktu paruh Durasi (menit) Waktu paruh (jam)
emergensi (mg/kg) (menit)

0.3 15-45 2-4 3-12 2-5

B. KETAMINE
▪ Mekanisme: Ketamin merupakan derifat phencyclidine yang memiliki efek analgesia,
anesthesia, amnesia dan efek minimal pada laju respirasi. Ketamine berinteraksi dengan
reseptor NMDA pada GABA reseptor kompleks sehingga menyebabkan neuroinhibisi,
dan anestesia melalui aksinya pada reseptor opioid. Ketamin juga menstimulasi
pelepasan katekolamin, sehingga mengaktifkan sistem saraf simpatis dan meningkatkan
denyut nadi serta tekanan darah. Selain itu ketamin juga menyebabkan relaksasi otot
polos bronkial sehingga terjadi bronkodilatasi.
▪ Indikasi: Ketamin merupakan agen pilihan utama pada pasien dengan penyakit saluran
nafas reaktif, yang memerlukan intubasi. Selain itu ketamin baik digunakan sebagai agen
induksi pada pasien hipovolemik, hipotensi, tidak stabil secara hemodinamik, dan sepsis.
Pada pasien normotensi atau hipertensi dengan penyakit jantuk iskemik, penggunaan
ketamin dapat meningkatkan kebutuhan oksigen miokard. Efeknya pada saluran nafas
atas membuat ketamin sebagai agen pilihan untuk intubasi pada pasien dengan penyulit
jalan nafas. Ketamin juga dapat meningkatkan MAP dan juga CPP, sehingga mulai
banyak digunakan pada pasien dengan cedera kepala.

▪ Ketamin digunakan pada pasien dengan:


- Reactive airway disease yang memerlukan intubasi endotrakea
- Hipovolemik, hipotensi, hemodinamik tidak stabil, dan sepsis
- Ischemic Heart Disease pada kondisi normotensi maupun hipertensi
- Refleks upper airway yang intak ketika akan dilakukan awake laryngoscopy dan
intubasi pada pasien difficult airway dimana dosisnya dititrasi sampai memberi efek
- Efek ketamin terhadap peningkatan tekanan intrakranial terutama pada pasien
dengan trauma kepala banyak menarik perhatian. Namun, ketamin sudah banyak
digunakan pada pasien dengan trauma kepala dan tidak ada bukti yang menunjukkan
peningkatan mortalitas.
▪ Kontraindikasi: Belum ada bukti keamanan penggunaan ketamin pada ibu hamil.
▪ Dosis: Dosis induksi ketamin untuk RSI adalah 1,5 mg/kgBB secara intravena. Ketamin
dapat meningkatkan refleks laring dan meningkatkan sekresi faring dan bronkus,
sehingga kemungkinan dapat menyebabkan laryngospasm.
▪ Efek samping: Efek samping penggunaan ketamin, antara lain: halusinasi, pemanjangan
bangun dari anestesi, bradikardia, aritmia, hipotensi, peningkatan tekanan darah,
dependensi obat, hipertonia, eritema, ruam morbiliform, anorexia,
mual, sialorrhea, muntah, dan lain-lain.

Gambar: Sediaan Ketamin

Ketamine

Dosis induksi emergensi Onset (detik) Waktu paruh Durasi (menit) Waktu paruh (jam)
(mg/kg) (menit)

1.5 45-60 11-17 10-20 2-3


C. PROPOFOL
▪ Mekanisme: Propofol merupakan derivatif alkylphenol, yang larut lemak, dengan sifat
hypnotis. Propofol meningkatkan aktivitas GABA pada GABA reseptor kompleks.
Propofol menurunkan CMRO2 dan ICP, serta menyebabkan hipotensi melalui vasodilatasi
dan depresi miokardial. Pemberian propofol secara bolus cepat tidak direkomendasikan
pada pasien lansia atau pasien dengan ASA III atau IV, untuk meminimalisasi efek depresi
pada sistem kardiovaskular.
▪ Indikasi: Propofol merupakan agen induksi yang baik untuk pasien yang stabil dan
merupakan agen induksi pilihan utama pada pasien hamil. Propofol merupakan agen
induksi yang paling baik pada pasien stabil. Efek hipotensi dan penurunan CPP
membatasi propofol sebagai agen induksi utama pada kasus RSI, namun baik digunakan
untuk reactive airway disease.
▪ Dosis: Dosis induksi propofol adalah 1.5 mg/kg secara intravena. Pada pasien lansia
dan emergensi RSI, dosisnya dapat dikurangi hingga ½ dari dosis normalnya.
▪ Efek samping: Nyeri pada lokasi injeksi. Premedikasi dengan lidocain 1% 2-3 ml dapat
diberikan untuk meminimalisasi efek nyeri.

Gambar: Sediaan Propofol

Propofol

Dosis induksi emergensi Onset (detik) Waktu paruh Durasi (menit) Waktu paruh (jam)
(mg/kg) (menit)

1.5 15-45 1-3 5-10 1-3

D. BENZODIAZEPINE
▪ Mekanisme: Benzodiazepin berikatan dengan reseptor GABA kompleks yang spesifik
yang menginhibisi terbukanya kanal ion klorida sehingga menyebabkan depresi sistem
saraf pusat. Depresi sistem saraf pusat tergambarkan dalam kondisi amnesia, kecemasan,
relaksasi otot, sedasi, efek antikonvulsan, hipnosis. Golongan benzodiazepin memiliki efek
amnesia yang kuat, sehingga sangat bermanfaat pada kondisi emergensi. Obat
golongan benzodiazepin yang biasanya digunakan adalah midazolam, diazepam, dan
lorazepam. Midazolam merupakan agen yang paling larut lemak dan satu-satunya
golongan benzodiazepin yang sesuai untuk digunakan sebagai agen induksi untuk
emergensi RSI.
▪ Indikasi: Indikasi utama benzodiazepin adalah untuk memberikan efek anmesia dan
sedasi. Midazolam merupakan agen induksi yang buruk untuk emergensi RSI karena
onsetnya yang lambat dan efek hemodinamik yang banyak.
▪ Dosis: Dosis induksi pada pasien yang stabil secara hemodinamik yaitu 0.2-0.3 mg/kg
secara intravena. Dosis induksi rutin midazolam dalam RSI adalah 0.2 mg/kg. Dalam
dosis ini, midazolam menyebabkan hipotensi sedang dengan penurunan rata-rata dari
mean arterial blood pressure sekitar 10 – 25%. Kecenderungan untuk menginduksi
hipotensi membatasipenggunaan midazolam pada pasien dengan hipovolemia dan syok.
Apabila tetap harus diberikan pada kondisi tersebut, dosis induksi midazolam diturunkan
menjadi 0.1 mg/kg dengan tujuan untuk menunda kecepatan onset dan
menurunkankedalaman sedasi. Untuk pasien dengan syok, penggunaan agen iduksi yang
lebih disarankan adalah etomidate atau ketamin karena profil hemodinamiknya yang
lebih baik.
▪ Efek samping: Efek samping dari penggunaan midazolam antara lain: muntah, apnea,
bradypnea, penurunan volume tidal, lainnya (aritmia, bigemini, bradikardia, hipotensi,
takikardia, pruritus, lesi kulit, urticaria)

Gambar: Sediaan Midazolam

Benzodiazepin

Dosis induksi emergensi Onset (detik) Waktu paruh Durasi (menit) Waktu paruh (jam)
(mg/kg) (menit)

0.2-0.3 60-90 7-15 15-30 2-6


ANALGETIKA
OPIOID
▪ Penggunaan opioid sebagai analgetika akan melemahkan respon kardiovaskular
terhadap laringoskopi dan intubasi. Ini mungkin sangat berguna pada pasien dengan
peningkatan tekanan intracranial, pasien hipertensi atau menderita penyakit jantung
iskemik. Jika opioid digunakan, dosis yang diperlukan adalah agen induksi akan
berkurang.
▪ Depresi pernafasan yang disebabkan oleh opioid mungkin menyusahkan jika intubasi
gagal, karena pasien mungkin tetap apnea meskipun sudah pulih dari blokade
neuromuskular; jika perlu reverse opioid dengan nalokson akan memulihkan pernapasan
spontan pasien
▪ Fentanyl adalah opioid sintetik yang kuat, yang mempunyai onset yang relatif cepat (2–
5 menit) dan durasi kerja singkat (30–60 menit setelah dosis tunggal). Efeknya pada
sistem kardiovaskular minimal, walaupun dosis besar dapat menyebabkannya
bradikardia. Fentanyl (dosis biasa 1–3mcg kg1 IV) akan mengurangi hipertensi respons,
dan mengimbangi peningkatan tekanan intrakranial yang disebabkan oleh laringoskopi
dan intubasi, asalkan ada jeda dua sampai tiga menit antara pemberian obat dan
intubasi, namun apnea berkepanjangan juga akan terjadi.
Gambar: Sediaan Fentanyl (100 mcg/2cc)

RELAKSAN OTOT
SUCCINYLCHOLINE
a. Klinikal Farmakologi
Succinylcholine (SCh) memiliki struktur kimia menyerupai ACH. SCh menstimulasi reseptor
nikotinik dan muskarinik kolinergik dari sistem saraf simpatis dan parasimpatis. SCh juga
menyebabkan pelepasan histamin, namun efeknya kurang signifikan. Awalnya, depolarisasi
dari SCh mengakibatkan fasikulasi, namun hal ini diikuti dengan paralisis motorik. Onset,
aktifitas, dan durasi dari SCh bergantung pada hidrolisis cepat dari pesudocholinesterase
(PCHE), enzim dari hepar yang tidak terdapat di neuromuscular junction. Karena itu difusi
keluar dari neuromuscular junction motor endplate dan kembali ke kompartemen vaskular
adalah jalur dari metabolisme SCh. Hal ini sangat penting dalam memahami mengapa dosis
IV inisial SCh tidak pernah sampai pada motor endplate untuk menyebabkan paralisis. Oleh
karena itu pada RSI darurat digunakan dosis yang lebih besar.

Gambar: Succinylcholine
b. Indikasi dan Kontraindikasi
a. Indikasi
• Digunakan pada kasus RSI darurat karena onsetnya cepat dan durasinya relatif
singkat.
b. Kontraindikasi
• Keadaan seperti adanya fasikulasi, hiperkalemia, bradikardi, hipertermi maligna,
defisiensi PCHE, dan trismus merupakan kontraindikasi absolut penggunaan SCh.
Pada pasien ini digunakan rokuronium.
• Kontraindikasi relatif bergantung pada kemampuan intubator dan keadaan klinis
pasien.
c. Dosis dan kegunaan klinis
• Dosis pada dewasa dengan berat normal untuk RSI darurat: 1.5 mg/Kg IV
Pada crash intubation direkomendasikan untuk meningkatkan dosis hingga 2.0 mg/
Kg untuk kompensasi berkurangnya peredaran obat.
• Dosis SCh intramuscular (pada keadaan mengancam nyawa): 4 mg/ Kg IM
Administrasi intramuscular menyebabkan pasien lebih rentan untuk waktu yang lebih
lama dimana pernafasan terganggu namun relaksasi kurang untuk dapat dilakukan
intubasi. Pada keadaan ini digunakan ventilasi bag-mask aktif sebelum memasukan
laringoskop.
• Jika terdapat keraguan dalam menentukan berat badan pasien, maka gunakan dosis
yang lebih tinggi untuk memastikan paralisis pasien cukup. Half-life dari SCh kurang
dari 1 menit, maka dari itu menambahkan dua kali lipat dosis hanya akan
menambahkan durasi hingga 60 detik. SCh aman hingga dosis kumulasinya 6 mg/Kg
• Pada anak usia < 10 tahun, rekomendasi dosis sesuai berat badan adalah 2 mg/Kg
IV dan pada neonates (< 12 bulan) dosis yang digunakan 3 mg/ Kg IV.

d. Efek Samping
• Fasikulasi
Disebabkan oleh stimulasi dari reseptor nikotinik ACH. Terjadi bersamaan dengan
adanya peningkatan tekanan intracranial, peningkatan tekanan intraocular dan
tekanan intragastrik.
• Hiperkalemia
Dalam keadaan normal, serum kalium meningkat minimal saat SCh diberikan. Pada
kondisi tertentu kenaikan kalium ini bisa sangat drastis. Hal ini terjadi karena 2
mekanisme: peningkatan regulasi reseptor dan rhabdomyolysis.
Kondisi yang menyebabkan pasien beresiko mengalami SCh-Induced hyperkalemia
yaitu korban terbakar, mengalami denervasi, crush injury, infeksi berat, myopathy dan
kondisi hiperkalemia sebelumnya.
• Bradycardia
Setelah diberikan dosis ulangan SCh dapat terjadi bradycardia dan dibutuhkan
pemberian atropine untuk manajemennya.
• Blokade neuromuscular berkepanjangan
Hal ini dapat terjadi pada pasien dengan defisiensi PCHE, congenital absence of PCHE,
atau adanya bentuk atipikal dari PCHE.
• Malignant hyperthermia
Kondisi ini adalah sebuah myopati dengan abnormalitas genetic membrane otot
skeletal. Kondisi ini dapat di picu oleh anesthesia halogen, SCh, olah raga berat, dan
stress emosional.
• Trismus
SCh dapat menyebabkan trismus terutama pada anak-anak.

Competitive NMBA
a. Farmakalogi Klinis
• Competitive atau non depolarazing NMBA (Neuromuscular Blocking Agent) bekerja
dengan berkompetisi dan mengeblok ACH pada motor endplate’s postjunctional dari
reseptor kolinergik nikotinik. Obat akan mengeblok salah satu atau kedua subunit
alfa, sehingga mencegah akses ACH pada subunit alfa tersebut.
• Competitive NMBA kebanyakan diekskresi dengan degradasi Hoffman (atrakurium
dan cisatrakurium) atau dalam bentuk yang tidak diubah dalam empedu (Vekuronium
dan rokuronium).
• Competitive NMBA dikelompokkan menjadi golongan benzylisoquinoline (tubokurarin,
atrakurium, dan mivakurium) dan golongan aminosteroid (rokuronium dan
vekuronium). Golongan aminosteroid adalah yang paling sering digunakan dalam
kasus-kasus yang membutuhkan RSI darurat dan paralisis post-intubasi.
• Vekuronium dan rokuronium lebih lipofilik sehingga lebih mudah diabsorbsi dan
dieleminasi terutama melalui empedu. Sedangkan pankuronium dieksresi terutama
oleh ginjal. Durasi aksi pankuronium lebih panjang sehingga menjadi pilihan ketiga
untuk RSI.

Gambar: Rocuronium
Gambar: Vecuronium

b. Indikasi dan Kontraindikasi


a. Indikasi
• Rokuronium digunakan pada RSI darurat. Jika rokuronium tidak tersedia, dapat dipilih
vekuronium.
• Semua agen competitive NMBA dapat digunakan untuk maintenance paralisis setelah
intubasi.
b. Kontraindikasi
• Dikontraindikasikan bila terdapat alergi terhadap agen.
c. Dosis dan Penggunaan Klinis
• Penggunaan rokuronium dengan dosis 1-1,2 mg/kgBB IV akan mencapai intubation-
level paralysis dalam 60 detik, terutama jika dosis agen induksi yang diberikan
adekuat.
• Jika rokuronium tidak tersedia, vekuronium dapat diberikan dengan dosis awal 0,01
mg/kgBB, diikuti 3 menit kemudian dengan dosis intubasi 0,15/kgBB.
• Pankuronium tidak diindikasikan pada RSI darurat karena onsetnya yang lama.
• Untuk manajemen post-intubasi dimana blokade nerumoskular berkelanjutan masih
dibutuhkan, dapat diberikan vekuronium 0,1 mg/kgBB IV atau pankuronium 0,1
mg/kg BB IV dengan sedasi adekuat.

T ABEL 1 DOSIS OBAT PENGHAMBAT NEUROMUSKULAR


Obat Dosis intubasi Waktu untuk mencapai Durasi Kategori
(mg/kgBB) Intubation-Level (menit) Kehamilan
Paralysis (detik)
Rokuronium 1.0-1.2 60 40-60 B

Vekuronium 0.01 kemudian 75-90 60-75 C


0.15

d. Efek Samping
• Pankuronium dapat menimbulkan takikardi

T ABEL 2 ONSET DAN DURASI OBAT PENGHAMBAT NEUROMUSKULAR


Obat Dosis Waktu untuk mencapai blok Recovery Time
(mg/kgBB) maksimal (menit) (menit)
25% 75%
SCh 1,0 1,1 8 11(90%)
Pankuronium 0,1 2,9 86 -
Vekuronium 0,1 2,4 44 56
Rokuronium 0,6 1,0 43 66

PENYESUAIAN DOSIS OBAT PADA PASIEN OBESE


Obesitas akan mempengaruhi farmakodinamik dan farmakokinetik dari pengobatan,
termasuk absorbsi, onset, volume distribusi, protein pengikat, metabolisme, dan eliminasi.
Kebanyakan agen anestesi merupakan lipofilik, terdapat peningkatan pada V d dan dosis
yang ditentukan, tetapi tidak menunjukkan hasil konsisten pada penelitian farmakologis
karena beberapa faktor seperti klirens end-organ atau protein pengikat.
Dosis berdasar berat badan ideal terbukti adekuat untuk manajemen pasien obese pada
kondisi kamar operasi, tetapi pada kondisi emergency, hal ini dapat memperburuk keadaan
seperti intubasi sulit paralisis inkomplit. Pada emenrgensi RSI, disarankan menggunakan dosis
berdasar berat badan total (total body weight/TBW) untuk semua blok neuromuskular untuk
menghindari kurangnya dosis dan kondisi intubasi suboptimal. Untuk agen induksi (ketika
diberikan dengan dosis berlebih dapat menyebabkan depresi kardiovaskular), penghitungan
dosis ditujukan untuk menghindari kelebihan dosis, dan berdasarkan berat badan tanpa
lemak atau berat badan ideal pada pasien obese morbid.
Penetapan dosis obat untuk pasien obesitas menggunakan berat badan ideal. Total
berat badan, atau dosis obat berdasarkan berat badan pasien (dosing weight) untuk
menghindari terjadinya efek sistemik dan pemberian dosis yang kurang tepat pada pasien
dengan obesitas. Pemberian obat menggunakan perhitungan berat badan ideal dapat
dilakukan dengan menggunakan rumus Devine sebagai berikut:
- Laki-laki: 50.0 kg + 0,9 kg x (tinggi (dalam cm) - 152)
- Perempuan: 45.5 kg + 0,9 kg x (tinggi (dalam cm) - 152)

Pasien juga dapat diberikan dosis dengan berat badan yang disesuaikan atau dosing weight
pada beberapa jenis obat tertentu dengan perhitungan sebagai berikut 8:

Lean/Dosing weight: BB ideal + [0,4x (BB sebenarnya - BB ideal)]


Dapat dikatakan, setiap pon atau kilogram berat badan pasien overweight, 40%
berkontribusi pada massa tubuh tanpa lemak.
Tabel 2. Rangkuman Jenis Obat yang Sering Digunakan dalam Manajemen Jalan Napas
PERHITUNGAN DOSIS JENIS OBAT KETERANGAN
Berat badan ideal (ideal body Propofol, Midazolam Lipofilik
weight)
Berat badan sebenarnya (total Suksinilkolin, Vekuronium, Hidrofilik
body weight) Rokuronium
Berat badan yang disesuaikan Fentanil, Entomidat Obat akan mengalami peningkatan
(dosing/lean body weight) distribusi

Obat Dosis Keterangan


Propofol IBW Lipofilik, klirens sistemik dan Vd pada stadium tetap berkorelasi baik dengan TBW.
Berafinitas tinggi terhadap kelebihan lemak dan organ dengan perfusi baik yang
lain. Ekstraksi dan konjugasi hepar yang tinggi berkaitan dengan TBW. Depresi
kardiovaskular membatasi menjadi dosis IBW untuk induksi. Untuk dosis
maintenance dapat diawali dengan TBW tetapi kemudian dititrasi menggunakan
skala sedasi.
Midazolam IBW Lipofilik, peningkatan Vd, memperpanjang efek sedasi karena akumulasi jaringan
lemak dan inhibisi sitokrom P450 3A4 oleh obat lain atau obesitas itu sendiri.
Suksinilkolin TBW Hidrofilik, peningkatan aktivitas kolinesterase plasma seiring dengan peningkatan
proporsi terhadap berat badan.
Vekuronium TBW Hidrofilik, peningkatan Vd dan penurunan klirens; tetapi kondisi intubasi optimal
mendukung penggunaan dosis TBW.
Rokuronium TBW Hidrofilik, peningkatan Vd dan penurunan klirens; tetapi kondisi intubasi optimal
mendukung penggunaan dosis TBW.
Fentanil LBW Lipofilik, peningkatan Vd dan eliminasi waktu paruh, ekstensif distribusi massa
tubuh berlebih. Depresi respirasi membatasi dosis menjadi LBW. Dosis
maintenance diinisiasi dengan LBW kemudian dititrasi menggunakan skala sedasi.
Etomidate LBW Peningkatan Vd, dosis dapat diturunkan pada pasien dengan penyakit liver.

G REFERENSI

1. Mick, N., Brown, C. and Sakles, J., 2018. Walls Manual of Emergency Airway Management,
The. Lippincott, Williams & Wilkins.
2. King, A. and Bendetto, W., 2021. Induction of general anesthesia: Overview. [online]
Uptodate.com. Available at: <https://www.uptodate.com/contents/induction-of-
general-anesthesia-overview> [Accessed 30 December 2021].
3. Siddiqui, B. and Kim, P., 2021. Anesthesia Stages. [online] Ncbi.nlm.nih.gov. Available at:
<https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK557596/> [Accessed 30 December 2021].
4. Godoroja D, Rovsing M, Brodsky J. Chapter 24: Airway Management in Obesity. In: Cook
T, Kristensen MS, editors. Core Topics in Airway Management. 3rd ed. Singapore:
Cambridge University Press; 2021.
5. Tyler K, Bush S. The Geriatric Patient. In: Brown CA, Sakles JC, Mick NW, editors. The
Walls manual of emergency airway management. 5th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer;
2018

Anda mungkin juga menyukai