Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

Cholelithiasis dimaksudkan untuk penyakit batu empedu yang dapat


ditemukan didalam kandung empedu atau didalam ductus choleaductus, atau pada
keduanya. Sebagian besar batu empedu terutama batu kolesterol terbentuk di
dalam kandung empedu (kolesistolitiasis). Batu kandung empedu berpindah ke
dalam saluran empedu ekstrahepatik disebut batu saluran empedu sekunder atau
koledokolitiasis.1
Kebanyakan batu duktus koledokus berasal dari batu kandung empedu,
tetapi ada juga terbentuk primer di dalam saluran empedu ekstrahepatik maupun
intrahepatik. Batu primer dari saluran empedu, harus memenuhi kriteria sebagai
berikut: ada masa asimptomatik setelah kolesistektomi, morfologi cocok dengan
batu empedu primer, tidak ada sisa duktus sistikus yang panjang.1
Sekitar 16 juta orang di Amerika Serikat menderita batu empedu, yang
mengharuskan dilakukannya sekitar 500.000 kolesistektomi setahun. Batu
empedu bertanggung jawab secara langsung bagi sekitar 10.000 kematian setahun.
Prevalensi batu empedu bervariasi sesuai dengan usia dan jenis kelamin. Wanita
dengan batu empedu melebihi jumlah pria dengan perbandingan 4:1. Wanita yang
minum estrogen mempunyai peningkatan resiko, yang melibatkan lebih lanjut
dasar hormon. Batu empedu tidak biasa ditemukan pada orang yang berusia
kurang dari 20 tahun (1 %), lebih sering pada usia 40-60 tahun (11 %) dan
ditemukan sekitar 30% pada orang yang berusia diatas 80 tahun.2

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI


2.1.1 Anatomi
Kandung empedu adalah kantong berbentuk buah pir, panjang
sekitar 7-10 cm, dengan kapasitas rata-rata 30-50 ml. Ketika obstruksi,
kandung empedu dapat distensi dan berisi hingga 300 ml. 3
Kandung empedu terletak di fossa pada permukaan inferior hati.
Sebuah garis dari fossa ini ke vena cava inferior membagi hati menjadi
lobus hati kanan dan kiri. Kantong empedu dibagi menjadi empat bidang
anatomi; fundus, corpus, infundibulum, dan leher. Fundus adalah bulat,
akhirnya yang biasanya meluas 1-2 cm diatas margin hati. Berisi sebagian
besar otot polos organ, berbeda dengan corpus, yang merupakan tempat
penyimpanan utama dan berisi sebagian besar jaringan elastis. Tubuh
memanjang dari fundus dan mengecil ke leher, daerah berbentuk corong
yang menghubungkan dengan ductus sistikus. Leher biasanya mengikuti
kurva lembut, konveksitas yang dapat diperbesar untuk membentuk
infundibulum atau kantong Hartmann. Leher terletak dibagian terdalam dari
fossa kandung empedu dan meluas ke bagian bebas dari ligamen
hepatoduodenal. 3
Lapisan peritoneum yang sama yang meliputi hati meliputi fundus
dan permukaan inferior kantong empedu. Kadang-kadang, kandung empedu
memiliki penutup peritoneal lengkap dan ditangguhkan dalam mesenterium
dari permukaan rendah pada hepar, dan jarang tertanam jauh di dalam
parenkim hati (sebuah kandung empedu intrahepatik).3
Kantong empedu dilapisi oleh epitel kolumnar tinggi yang
mengandung kolesterol dan lemak gelembung-gelembung. Lendir
disekresikan ke kandung empedu berasal dari kelenjar tubuloalveolar
ditemukan di mukosa yang melapisi infundibulum dan leher kandung
empedu. Lapisan epitel kandung empedu didukung oleh lamina propria.
Lapisan otot memiliki serat longitudinal dan melingkar miring, tapi tanpa
lapisan berkembang dengan baik. Subserosa perimuskular mengandung

40
jaringan ikat, saraf, pembuluh darah, limfatik, dan adiposit. Hal ini ditutupi
oleh serosa kecuali kantong empedu tertanam dalam hati. Kantong empedu
berbeda histologis dari saluran pencernaan dalam hal ini tidak memiliki
mukosa muskularis dan submukosa. 6

Gambar 1. Anatomi Hepar. 8

Gambar 2. Anatomi Hepar dan Kandung Empedu.8

40
Empedu di sekresi oleh sel hepar ke dalam ductulus biliaris yang
bersatu menjadi ductulus biliaris interlobularis yang bergabung untuk
membentuk ductus hepatitus dexter dan ductus hepaticus sinister. Ductus
hepaticus dexter menyalurkan empedu dari lobus hepatis dexter, dan ductus
hepaticus sinister menyalurkan empedu dari lobus hepatis sinister, termasuk
lobus caudatus dan hampir seluruh lobus quadratus. Setelah melewati porta
hepatis, kedua ductus hepaticus bersatu untuk membentuk ductus hepaticus
communis. Dari sebelah kanan ductus cysticus bersatu dengan ductus
hepaticus communis untukmembentuk ductus choledochus (biliaris) yang
membawa empedu kedalam duodenum. 4
Ductus choledochus berawal di sisi bebas omentum minus dari
persatuan ductus cysticus dan ductus hepaticus communis. Ductus
choledochus melintas ke kaudal di sebelah dorsal pars superior duodenum
dan menempati alur pada permukaan dorsal caput pancreatic. Disebelah kiri
bagian duodenum yang menurun, ductus choledochus bersentuhan dengan
ductus pancreaticus. Kedua ductus ini melintas miring melalui dinding
bagian kedua duodenum, lalu bersatu membentuk ampulla
hepatopancreatica. Ujung distal ampulla hepatopancreatica bermuara ke
dalam duodenum melalui papilla duodeni major. Otot yang terdapat pada
ujung distal ductus choledochus menebal untuk membentuk musculus
sphinter ductus choledochi. Jika musculus sphinter ductus choledochi
mengkerut, empedu tidak dapat memasuki ampula hepatopancreatica dan
atau duodenum, maka empedu terbentdung dan memasuki ductus cysticus
ke dalam vesica biliaris untuk dipekatkan dan disimpan. 4

40
Gambar 3. Anatomi Kandung Empedu, Vesica Biliaris (fellea), saluran
empedu.8

2.1.2 Fisiologi

Fungsi kandung empedu, yaitu:

a. Tempat menyimpan cairan empedu dan memekatkan cairan empedu


yang ada didalamnya dengan cara mengabsorpsi air dan elektrolit.
Cairan empedu ini adalah cairan elektrolit yang dihasilkan oleh sel
hati.
b. Garam empedu menyebabkan meningkatkan kelarutan kolesterol,
lemak dan vitamin yang larut dalam lemak, sehingga membantu
penyerapannya dari usus. Hemoglobin yang berasal dari penghancuran
sel darah merah diubah menjadi bilirubin (pigmen utama dalam
empedu) dan dibuang ke dalam empedu. 3,5

40
Kandung empedu mampu menyimpan 40-60 ml empedu. Diluar
waktu makan, empedu disimpan sementara didalam kandung empedu.
Empedu hati tidak dapat segera masuk ke dalam duodenum, akan
tetapi memasuki ductus hepaticus, empedu masuk ke ductus sisticus
dan ke kandung empedu. Dalam kandung empedu, pembuluh limfe
dan pembuluh darah mengabsorpsi air dari garam-garam anorganik,
sehingga empedu dalam kandung empedu kira-kira 5 kali lebih pekat
dibandingkan empedu hati.
Empedu disimpan didalam kandung empedu selama periode
interdigestif dan diantarkan ke duodenum setelah rangsangan
makanan. Pengaliran cairan empedu diatur oleh 3 faktor, yaitu:
1. Sekresi empedu oleh sel hati
2. Kontraksi kandung empedu
3. Tahanan sphincter koledokus.
Dalam keadaan puasa, empedu yang diproduksi akan dialirkan
ke dalam kandung empedu. Setelah makan, kandung empedu
berkontraksi, sphincter relaksasi dan empedu mengalir ke duodenum.
Memakan makanan akan menimbulkan pelepasan hormon
duodenum, yaitu kolesistokinin (CGK) yang merupakan stimulus yang
lebih kuat. Reseptor CGK telah dikenal terletak dalam otot polos dari
dinding kandung empedu. Pengosongan maksimum terjadi dalam
waktu 90-120 menit setelah konsumsi makanan. Empedu secara
primer terdiri dari air, lemak, organik, dan elektrolit, yang normalnya
disekresikan oleh hepatosit. Zat terlarut organik adalah garam
empedu, kolesterol, dan fosfolipid. 1,3
Sebelum makan, garam-garam empedu menumpuk didalam
kandung empedu dan hanya sedikit garam yang mengalir dari hati.
Makanan didalam duodenum memicu serangkaian sinyal hormonal
dan sinyal saraf sehingga kandung empedu berkontraksi. Sebagai
akibatnya, empedu mengalir ke dalam duodenum dan bercampur
dengan makanan.
Empedu memiliki fungsi, yaitu membantu pencernaan dan
penyerapan lemak, berperan dalam pembuangan limbah tertentu dari
tubuh, terutama hemoglobin yang berasal dari penghahuran sel darah

40
merah dan kelebihan kolesterol, garam empedu merangsang pelepasan
air oleh usus besar untuk membantu menggerakkan isinya, bilirubin
(pigmen utama dari empedu) dibuang ke dalam empedu sebagai
limbah dari sel darah merah yang dihancurkan, serta obat dan limbah
lainnya dibuang dari empedu dan selanjutnya dibuang dari tubuh.
Garam empedu kembali diserap ke dalam usus, difiltrasi oleh
hati dan dialirkan kembali ke dalam empedu. Sirkulasi ini dikenal
sebagai sirkulasi enterohepatik. Seluruh garam empedu didalam tubuh
mengalami sirkulasi sebanyak 10-12 kali/hari. Dalam setiap sirkulasi,
sejumlah kecil garam empedu masuk ke dalam usus besar (kolon).Di
dalam kolon, bakteri memecah garam empedu menjadi berbagai unsur
pokok. Seberapa dari unsur pokok ini diserap kembali dan sisanya
dibuang bersama tinja. Hanya sekitar 5% dari asam empedu yang di
sekresi ke dalam feses. 1,3

2.2 DEFINISI

Istilah kolelithiasis dimaksudkan untuk penyakit batu empedu


yang dapat ditemukan di dalam kandung empedu atau di dalam duktus
koledokus, atau pada keduanya. Sebagian besar batu empedu, terutama
batu kolesterol, terbentuk di dalam kandung empedu (kolesistolitiasis).
Kalau batu kandung empedu ini berpindah ke dalam daluran empedu
ekstrahepatik disebut batu saluran empedu sekunder atau
koledokolithiasis sekunder.
Kolelitiasis disebut juga Sinonimnya adalah batu empedu,
gallstones, biliary calculus. Istilah kolelitiasis dimaksudkan untuk
pembentukan batu didalam kandung empedu. Batu kandung empedu
merupakan gabungan beberapa unsur yang membentuk suatu material
mirip batu yang berbentuk di dalam kandung empedu.

40
Gambar 4. Batu dalam Kandung Empedu.

Komposisi dari kolelitiasis adalah campuran dari kolesterol,


pigmen empedu, kalsium dan matriks inorganik. Lebih dari 70% batu
saluran empedu pada anak-anak adalah tipe batu pigmen, 15-20% tipe
batu kolesterol dan sisanya dengan komposisi yang tidak diketahui.
Batu empedu dapat bervariasi ukurannya dari sebesar pasir
hingga sebesar bola golf. Jumlah yang terbentuk juga mencapai
beberapa ribu. Bentuknya juga berbeda-beda tergantung dari jenis:
Kandungannya secara garis besar, batu empedu dapat dibedakan
menjadi 3 jenis, yaitu:
1. Batu Kolesterol
Batu kolesterol murni jarang terjadi dan memperhitungkan
<10% dari semua batu. Biasanya terjadi sebagai batu-batu besar
tunggal dengan permukaan yang halus. Sebagian besar batu
kolesterol lainnya mengandung jumlah variabel pigmen empedu
dan kalsium, tapi selalu >70% kolesterol. Batu-batu ini biasanya
banyak, dengan ukuran variabel, dan mungkin sulit dan faceted
atau tidak beraturan irreguller berbentuk seperti murbei, dan
lembut. Warna berkisar dari keputihan kuning dan hijau menjadi
hitam.

40
Kebanyakan batu kolesterol yang radiolusen; <10% yang
radiopak. Apakah murni atau alam campuran, secara utama umum
dalam pembentukan batu kolesterol jenuh empedu dengan
kolesterol. Oleh karena itu, kadar kolesterol empedu dan batu
empedu kolesterol tinggi dianggap sebagai salah satu penyakit.
Kolesterol sangat nonpolar dan tidak larut dalam air dan empedu.
Kelarutan kolesterol bergantung pada konsentrasi relatif dari
kolesterol, garam empedu, dan lesitin (fosfolipid utama dalam
empedu). Supersaturasi hampir selalu disebabkan oleh kolesterol
hipersekresi bukan oleh sekresi berkurang dari fosfolipid atau
garam empedu. 3
Jenis kolesterol ini merupakan 80% dari keseluruhan batu
empedu. Penampakannya biasanya berwarna hijau namun dapat
juga putih atau kuning. Batu kolesterol dapat terbentuk jika empedu
mengandung terlalu banyak kolesterol dibadingkan dengan garam
empedu. Selain itu, faktor yang berperan dalam pembentukan batu
kolesterol adalah seberapa baik kantung empedu kita berkontraksi
untuk mengeluarkan empedu dan adanya protein dalam hati yang
berperan untuk menghambat masuknya kolesterol kedalam batu
empedu.
Kenaikan hormon estrogen kehamilan mendapatkan terapi
hormon dan KB dapat meningkatkan kandungan kolesterol dalam
empedu dan mengurangi kontraksinya sehingga mempermudah
pembentukan batu empedu.

2. Batu Pigmen
Batu pigmen mengandung <20% kolesterol dan berwarna
gelap karena kandungan kalsium bilirubinate. Jika tidak, batu
pigmen berwarna hitam dan coklat memiliki sedikit dan harus
dianggap sebagai entitas yang terpisah.

40
Batu pigmen hitam biasanya ukuran kecil, rapuh, hitam,
dan kadang-kadang spiculated. Mereka dibentuk oleh jenuh
kalsium bilirubinate, karbonat, dan fosfat, paling sering sekunder
untuk gangguan hemolitik seperti sferositosis herediter dan
penyakit anemia sel sabit, dan pada penyakit sirosis. Seperti batu
kolesterol, mereka hampir selalu terbentuk di kandung empedu.
Bilirubin tidak terkonjugasi jauh lebih larut dari terkonjugasi
bilirubin dalam empedu. Deconjugation bilirubin terjadi biasanya
dalam empedu pada tingkat yang lambat. Tingkat berlebihan
bilirubin terkonjugasi, seperti di negara-negara hemolitik,
menyebabkan peningkatan laju produksi bilirubin tak terkonjugasi.
Sirosis dapat menyebabkan peningkatan sekresi bilirubin tak
terkonjugasi. Ketika kondisi berubah menyebabkan peningkatan
kadar bilirubin dalam empedu deconjugated, curah hujan dengan
kalsium terjadi. Di negara-negara Asia seperti Jepang, batu hitam
untuk persentase yang jauh lebih tinggi dari batu empedu
dibandingkan di belahan bumi Barat.
Batu coklat biasanya dengan ukuran <1 cm, berwarna
kuning kecoklatan, dan lunak. Dapat membentuk di dalam kantong
empedu atau di saluran empedu, biasanya sekunder terhadap
infeksi yang disebabkan oleh stasis empedu. Endapan kalsium
bilirubinate dan sel bakteri membentuk bagian utama dari batu.
Bakteri seperti Escherichia Coli mensekresikan β-
glucuronidase yang enzimatik membelah bilirubin glukuronida
untuk menghasilkan larut bilirubin tidak terkonjugasi. Endapan
dengan kalsium, dan bersama dengan badan sel bakteri mati,
membentuk coklat yang lembut batu di saluran empedu.
Batu coklat biasanya ditemukan di saluran empedu dari
populasi Asia dan berhubungan dengan statis sekunder untuk
parasit infeksi. Dalam populasi Barat, batu coklat terjadi sebagai
empedu utama batu saluran pada pasien dengan penyempitan

40
empedu atau batu empedu saluran lain yang menyebabkan statis
dan kontaminasi bakteri. 3

3. Batu Campuran
Batu campuran antara kolesterol dan pigmen dimana
mengandung 20-50% kolesterol.

Gambar 5. Klasifikasi batu dalam kandung empedu.

2.3 EPIDEMIOLOGI
Penyakit batu empedu merupakan salah satu mesalah yang paling
umum yang mempengaruhi saluran pencernaan. Laporan otopsi
menunjukkan prevalensi batu empedu dari 11% menjadi 36%.
Prevalensi batu empedu berhubungan dengan banyak faktor, termasuk
usia, jenis kelamin, dan latar belakang etnis. Kondisi tertentu
predisposisi yang pengembangan batu empedu. Obesitas, kehamilan,
faktor makanan, penyakit Crohn, reseksi ileum terminal, operasi
lambung, sferositosis herediter, penyakit sel sabit, dan thalasemia yang
semua berhubungan dengan peningkatan resiko mengembangan batu
empedu.
Wanita 3 kali lebih mungkin untuk mengembangkan batu empedu
dibandingkan laki-laki, dan kerabat tingkat pertama pasien dengan batu
empedu memiliki prevalensi 2 kali lipat lebih besar. 6
Penyakit batu empedu sudah merupakan masalah kesehatan yang
penting di negara barat sedangkan di Indonesia baru mendapatkan

40
perhatian diklinis, sementara publikasi penelitian batu empedu masih
terbatas.
Sekitar 5,5 juta penderita batu empedu ada di Inggris dan 50.000
kolesistektomi dilakukan setiap tahunnya. Kasus batu empedu sering
ditemukan di Amerika, yaitu pada 10 sampai 20% penduduk dewasa.
Setiap tahun beberapa ratus ribu penderita ini menjalani pembedahan.6
Dua per tiga dari batu empedu adalah asimptomatis dimana pasien tidak
mempunyai keluhan dan yang berkembang menjadi nyeri kolik tahunan
hanya 1-4%. Sementara pasien dengan gejala simptomatik batu empedu
mengalami komplikasi 12% dan 50% mengalami nyeri kolik pada
episode selanjutnya. Resiko penyandang batu empedu untuk mengalami
gejala dan komplikasi relatif kecil. Walaupun demikian, sekali batu
empedu menimbulkan masalah serangan nyeri kolik yang spesifik maka
resiko untuk mengalami masalah dan penyulit masalah dan penyulit
akan terus meningkat. 6
Dinegara Barat 10-15% pasien dengan batu kandung empedu juga
disertai batu saluran empedu. Pada beberapa keadaan, batu saluran
empedu dapat terbentuk primer di dalam saluran empedu intrahepatik
atau ekstrahepatik tanpa melibatkan kandung empedu. Batu saluran
empedu primer lebih banyak ditemukan pada pasien di wilayah Asia
dibandingkan dengan pasien di negara Barat. 6

2.4 ETIOLOGI
Empedu normal terdiri dari 70% garam empedu (terutama kolik
dan asam chenodeoxycholic), 22% fosfolipid (lesitin), 4% kolesterol,
3% protein dan 0,3% bilirubin.2 Etiologi batu empedu masih belum
diketahui dengan sempurna namun yang paling penting adalah
gangguan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan
empedu, stasis empedu dan infeksi kandung empedu.3 Sementara itu,
komponen utama dari batu empedu adalah kolesterol yang biasanya
tetap berbentuk cairan. Jika cairan empedu menjadi jenuh karena

40
kolesterol, maka kolesterol bisa menjadi tidak larut dan membentuk
endapan di luar empedu.

2.5 MANIFESTAS KLINIK


Pada anamnesis, didapatkan setengah sampai dua pertiga penderita
batu kandung empedu adalah asimtomatik. Keluhan yang mungkin
timbul berupa dyspepsia yang kadang disertai intoleransi terhadap
makanan berlemak.
Pada asimptomatik, keluhan berupa nyeri didaerah epigastrium,
kuadran kanan atau precordium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier
yang mungkin berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru
menghilang beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan
perlahan-lahan, tetapi pada sepertiga kasus timbul secara tiba-tiba.
Penyebaran nyeri dapat ke punggung bagian tengah, scapula, atau
puncak bahu, disertai mual dan muntah.
Lebih kurang seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri
menghilang setelah makan antacid. Kalau terjadi kolesistitis, keluhan
nyeri menetap dan bertambah pada waktu menarik nafas dalam dan
sewaktu kandung empedu tersentuh ujung jari tangan sehingga pasien
menarik nafas, yang merupakan tanda rangsangan peritoneum setempat
(Murphy sign). 1
Gejala empedu simtomatik utama yang terkait dengan batu adalah
nyeri. Rasa sakit adalah konstan dan peningkatan keparahan selama
setengah jam pertama atau lebih dan tipikal berlangsung selama 1
sampai 5 jam. Hal ini terletak di epigastrium atau kuadran kanan atas
dan sering menyebar ke punggung bagian atas kanan atau antara
scapula. Rasa sakit parah dan datang pada tiba-tiba, biasanya pada
malam hari atau setelah makan lemak. Hal ini sering dikaitkan dengan
mual dan muntah kadang-kadang. Rasa sakit adalah episodik. Pasien
menderita serangan diskrit nyeri. Pemeriksaan fisik dapat
mengungkapkan ringan kuadran kanan atas nyeri selama episode
nyeri. Nilai laboratorium, seperti jumlah dan fungsi hati WBC tes,
biasanya normal pada pasien dengan batu empedu. 3

40
2.6 PATOFISIOLOGI
Hepatolitiasis ialah batu empedu yang terdapat di dalam saluran
empedu dari awal percabangan duktus hepatikus dextra dan sinistra
meskipun percabangan tersebut mungkin terdapat diluar parenkrim
hati. Satu tersebut umumnya berupa batu pigmen yang berwarna
coklat, lunak, bentuk seperti lumpur dan rapuh. Hepatolitiasis akan
menimbulkan kolangitis piogenik rekurens atau kolangitis oriental
yang sering sulit penanganannya.
Batu kandung empedu dapat berpindah ke dalam duktus koledokus
melalui duktus sistikus. Didalam perjalanannya melalui duktus
sistikus, batu tersebut dapat menimbulkan sumbatan aliran empedu
secara parsial atau komplet sehingga menimbulkan gejala kolik
empedu. Pasase batu empedu berulang melalui duktus sistikus yang
sempit dan dapat menimbulkan iritasi dan perlukaan sehingga dapat
menimbulkan peradangan dinding duktus sistikus dan striktur. Kalau
batu terhenti di dalam duktus sistikus karena diameternya terlalu besar
atau tertahan oleh striktur, batu akan tetap berada di sana sebagai batu
duktus sistikus.
Kolelitiasis asimptomatik biasanya diketahui secara kebetulan,
sewaktu pemeriksaan ultrasonografi, pembuatan foto polos abdomen,
atau perabaan sewaktu operasi. Pada pemeriksaan fisik dan
laboratorium tidak ditemukan kelainan.

2.7 FAKTOR RESIKO


Faktor resiko untuk kolelithiasis, yaitu:
a. Usia
Resiko untuk terkena kolelithiasis meningkat sejalan
dengan bertambahnya usia. Orang dengan usia >40 tahun lebih
cenderung untuk terkena kolelithiasis dibandingkan dengan usia
yang lebih muda. Di Amerika Serikat 20% wanita lebih dari 40
tahun mengidap batu empedu. Semakin meningkat usia, prevalensi
batu empedu semakin tinggi. Hal ini disebabkan oleh:
1. Batu empedu sangat jarang mengalami disolusi spontan.

40
2. Meningkatnya sekresi kolesterol ke dalam empedu sesuai
dengan bertambahnya usia.
3. Empedu semakin itogenik bila usia semakin bertambah.
b. Jenis Kelamin
Wanita memiliki resiko dua kali lipat untuk terkena
kolelithiasis dibandingkan dengan pria, hal ini disebabkan karena
pada wanita dipengaruhi oleh hormon estrogen, yang berpengaruh
terhadap peningkatan ekskresi kolesterol oleh kandung empedu.
Hingga dekade ke-6, 20% pada wanita dan 10% pada pria
menderita batu empedu dan prevalensinya meningkat dengan
bertambahnya usia, walaupun umumnya selalu pada wanita.
c. Berat Badan (BMI)
Pada orang yang memiliki Body Mass Indeks (BMI) tinggi,
mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadi kolelithiasis, hal ini
dikarenakan dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol di dalam
kandung empedu tinggi dan mengurangi garam empedu serta
mengurangi kontraksi atau pengosongan kandung empedu.
d. Makanan
Konsumsi makanan yang mengandung lemak terutama
lemak hewani beresiko untuk menderita kolelithiasis. Kolesterol
merupakan komponen dari lemak. Jika kadar kolesterol yang
terdapat dalam cairan empedu melebihi batas normal, maka cairan
empedu dapat mengendap dan lama kelamaan menjadi batu. Intake
rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat mengakibatkan
gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat
menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.
e. Aktivitas Fisik
Kurangnya aktivitas fisik berhubungan dengan peningkatan
resiko terjadinya kolelithiasis. Ini mungkin disebabkan oleh
kandung empedu lebih sedikit berkontraksi.

2.8 DIAGNOSIS
Diagnosis batu empedu simtomatik atau kolesistitis kronis
tergantung pada kehadiran gejala-gejala yang khas dan demonstrasi
batu pada pencitraan diagnostik. USG abdomen adalah tes diagnostik

40
standar untuk batu empedu. Batu empedu kadang-kadang diidentifikasi
pada radiografi abdomen atau CT-scan. Dalam kasus ini, jika pasien
memiliki gejala yang khas, USG kantong empedu dan saluran bilier
harus ditambahkan sebelum intervensi bedah. Batu dapat diagnosis
kebetulan pada pasien tanpa gejala harus dibiarkan di tempat seperti
yang dibahas sebelumnya di anamnesa. Kadang-kadang, pasien dengan
serangan khas nyeri bilier tidak memiliki bukti batu pada
ultrasonografi. Kadang-kadang hanya lumpur di kantong empedu
ditunjukkan pada ultrasonografi. Jika pasien memiliki serangan nyeri
bilier yang khas dan lumpur terdeteksi pada dua atau tiga kali,
kolesistektomi dibenarkan. Selain sludge dan batu, cholesterolosis dan
adenomyomatosis dari kantong empedu dapat menyebabkan gejala
empedu yang khas dan dapat dideteksi pada ultrasonografi.
Cholesterolosis disebabkan oleh akumulasi kolesterol dalam makrofag
di mukosa kandung empedu, baik secara lokal atau polip. Ini
menghasilkan penampilan makroskopik klasik dari “Strawberry
kandung empedu”. Adenomyomatosis atau kolesistitis glandularis
proliferans adalah dikarakterisasikan pada mikroskop oleh hipertrofi
bundel otot polos dan dengan ingrowths dari kelenjar mukosa ke dalam
lapisan otot (pembentukan sinus epitel). Polip granulomatosa
berkembang di lumen di fundus, dan dinding kandung empedu menebal
dan septae atau striktur dapat dilihat dikantong empedu. Pada pasien
simptomatik, kolesistektomi adalah pengobatan pilihan untuk pasien
dengan kondisi ini.

2.9 PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Pemeriksaan Laboratorium
Batu kandung empedu yang asimptomatik umumnya tidak
menunjukkan kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila
terjadi peradangan akut, dapat terjadi leukositosis. Apabila terjadi
sindrom mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum
akibat penekanan ductus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin serum

40
yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di dalam ductus
koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar
amilase serum biasanya meningkat sedang setiap kali terjadi
serangan akut.1

2. Pemeriksaan Radiologi
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran
yang khas karena hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang
bersifat radiopak. Kadang kandung empedu yang mengandung
cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto
polos. Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang
membesar atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai
massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran
udara dalam usus besar, di fleksura hepatika.1

Gambar 6. Foto rontgen kolelithiasis.

3. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)


USG akan menunjukkan batu di kandung empedu dengan
sensitivitas dan spesifitas > 90%. Terdapat batu dengan bayangan
akustik dan mencerminkan gelombang ultrasound kembali ke
transduser ultrasonik. Karena batu memblokir bagian dari gelombang
suara ke daerah belakang dan menghasilkan bayangan akustik.3
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifitas dan sensitifitas yang
tinggi untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran

40
empedu intrahepatik maupun ekstrahepatik. Dengan USG punktum
maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang gangren lebih
jelas daripada dengan palpasi biasa.1

Gambar 7. USG kandung empedu normal.


Terlihat kontur, besar dan batas yang normal, dinding tidak menebal.
Terletak diantara parenkim hati lobus kanan pada fossa vesica felea.
Ekocairan homogen.

Gambar 8. Kolelitiasis terlihat hiperekoik dengan bayangan akuistik


dibawahnya.

4. Kolesistografi
Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras
cukup baik karena relatif murah, sederhana, dan cukup akurat untuk
melihat batu radiolusen sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran

40
batu. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik,
muntah, kadar bilirubin serum diatas 2 mg/dl, okstruksi pilorus, dan
hepatitis karena pada keadaan-keadaan tersebut kontras tidak dapat
mencapat hati. Pemeriksaan kolesitografi oral lebih bermakna pada
penilaian fungsi kandung empedu.1

2.10 KOMPLIKASI
Komplikasi kolelitiasis dapat berupa kolelitiasis akut yang
dapat menimbulkan perforasi dan peritonitis, kolesistitis kronik,
ikterus obstruktif, kolangitis, kolangiolitis piogenik, fisitel
bilienterik, ileus batu empedu, ankreatitis dan perubahan keganasan.
Batu empedu dari ductuc koledokus dapat masuk ke dapat
duodenum melalui papila Vater dan menimbulkan kolik, iritasi,
perlukaan mukosa, peradangan, udem, dan striktur papila Vater.
1. Kolesistitis Akut
Hampir semua kolesistitis akut terjadi akibat sumbatan
duktus sistikus oleh batu yang terjebak di dalam kantung Hartmann,
komplikasi ini terjadi pada penderita kolelitiasis 5%.
Gambaran klinis, berupa nyeri akut di perut kuadran kanan
atas, yang kadang-kadang menjalar ke belakang di daerah scapula.
Pada kolelitiasis, nyeri menetap dan disertai dengan tanda
rangsangan peritoneal berupa nyeri tekan, lepas dan defans muscular
otot dinding perut. Kandung empedu yang membesar dan dapat
diraba. Pada seluruh penderita dapat disertai mual dan muntah. Pada
pemeriksaan laboratorium didapatkan jumlah leukosit meningkat
dalam batas normal.
Pada pemeriksaan USG kolesistitis akut ialah sering
ditemukan batu, penebalan dinding kandung empedu, hidrops dan
kadang-kadang terlihat ekocairan di sekelilingnya yang menandakan
adanya perikolesistitis atau perforasi. Sering diikuti rasa nyeri pada
penekanan dengan transduser yang dikenal sebagai Morgan Sign
positif atau positif transducer sign.9

40
Gambar 9. Kolesistitis akut, ditandai dengan penebalan dinding dan
adanya ekocairan disekelilingnya (ciri khas) sebagai reaksi
perikolesistitis.

2. Kolesistitis Kronik
Kolesistitis kronik merupakan kelainan kandung empedu
yang paling umum ditemukan. Penyebabnya adalah hampir selalu
batu empedu. Diagnosis kolesistitis kronik adalah kolik bilier,
dyspepsia dan ditemukan batu kandung empedu pada pemeriksaan
ultrasonografi. Nyeri kolik bilier yang khas dapat dicetuskan oleh
makanan berlemak dan khas kolik bilier dirasakan diperut kanan
atas, dan nyeri alih ke titik biasa.
Kandung empedu sering tidak atau sukar terlihat. Dinding
menjadi sangat tebal dan ekocairan lebih terlihat hiperekoik. Sering
terdapat pada kolesistisis kronik lanjut dimana kandung empedu
sudah mengisut (contracted gallbladder). Kadang-kadang hanya eko
batunya saja yang terlihat pada fossa vesika felea.9

40
Gambar 10. USG kolelitiasis kronik, terlihat dinding yang menebal,
kandung empedu mengkisut dan batu yang disertai bayangan
akuistik.

3. Keganasan
Insiden tumor ganas primer saluran empedu pada penderita
dengan kolelitiasis dan tanpa kolelitiasis, pada perempuan dan laki-
laki tidak berbeda. Umur kejadian rata-rata pada 60 tahun, jarang
pada usia muda. Jenis tumor kebanyakan adenokarsinoma pada
duktus hepatikus atau duktus koledokus. Gambaran histologik tumor
dapat murni sebagai adenokarsinoma, yang juga disebut
kolangiokarsinoma.
Keganasan kandung empedu jarang ditemukan dan
biasanya terdapat pada usia lanjut. Kebanyakan berhubungan dengan
batu empedu. Resiko timbul keganasan sesuai dengan lamanya
menderita batu kandung empedu. Tumor ganas primer kandung
empedu adalah jenis adenokarsinoma dengan penyebaran invasive
langsung kedalam hati dan porta hati.
Gambaran klinis, keluhan biasanya ditentukan oleh
kolesistolitiasis. Sering ditemukan nyeri menetap di perut kuadran
kanan atas, mirip kolik bilier. Apabila terjadi obstruksi ductus

40
sistikus, akan timbul kolesistitis akut. Diagnosis, pada pemeriksaan
fisik didapatkan teraba massa didaerah kandung empedu. Massa ini
tidak akan disangka tumor apabila disertai tanda kolesistitis akut.
Pada pemeriksaan ultrasonografi terlihat sebagai massa dengan batas
tidak rata dan melebar sampai ke parenkim hati.9

Gambar 11. Keganasan: terlihat massa padat di dalam kandung


empedu dengan batas ireguler, tidak menimbulkan bayangan akustik,
kandung empedu membesar, sehingga batasnya dengan parenkim
hepat tidak tegas. Terlihat area anekoik sekeliling kandung empedu
(perikolesistitis).

4. Kolangitis
Kolangitis yang umumnya disertai dengan obstruksi akan
ditemukan gejala klinis yang sesuai dengan beratnya kolangitis
tersebut. Kolangitis akut yang ringan sampai sedang biasanya

40
kolangitis bacterial non piogenik yang ditandai dengan “Trias
Charcot” yaitu demam dan menggigil, nyeri didaerah hati dan
ikterus. Apabila terjadi kolangiolitis, biasanya berupa kolangitis
piogenik intrahepatik, akan timbul lima gejala pentade “Reynold”,
berupa tiga gejala trias Charcoat, ditambah syok, kekacauan mental
atau penurunan kesadaran sampai koma.

2.11 PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan pasien dengan batu empedu simtomatik


harus disarankan untuk memiliki elektif kolesistektomi laparoskopi.
Sambil menunggu operasi, atau jika operasi harus ditunda, pasien
harus disarankan untuk menghindari lemak makanan dan makanan
besar. Pasien diabetes dengan batu empedu simtomatik harus
memiliki cholecystectomy segera, karena lebih rentan untuk
mengembangkan cholesistitis akut yang sering parah. Wanita hamil
dengan batu empedu simtomatik yang tidak dapat dikelola harap
dengan diet modifikasi dapat dengan aman menjalani kolesistektomi
laparoskopi selama trimester kedua. Kolesistektomi laparoskopi
aman dan efektif pada anak-anak dan dewasa, kolesistektomi,
laparoskopi terbuka, untuk pasien dengan batu empedu yang
simptomatik. Sekitar 90% dari pasien dengan gejala khas empedu
dan batu tersebut diberikan bebas dari gejala setelah kolesistektomi.
Untuk pasien dengan gejala atypikal atau dispepsia (kembung,
bersendawa, dan intoleransi lemak dari makanan), hasilnya tidak
seperti yang menguntungkan.3
Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan
pengobatan. Nyeri yang hilang-timbul bisa dihindari atau dikurangi
dengan menghindari atau mengurangi makanan berlemak.1
Jika batu kandung empedu menyebabkan serangan nyeri
berulang meskipun telah dilakukan perubahan pola makan, maka
dianjurkan untuk menjalani pengangkatan kandung empedu

40
(kolesistektomi).Pengangkatan kandung empedu tidak menyebabkan
kekurangan zat gizi dan setelah pembedahan tidak perlu dilakukan
pembatasan makanan.1
Pilihan penatalaksanaan antara lain :
1. Kolesistektomi Terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan
pasien dengan kolelitiasis simtomatik. Komplikasi yang paling
bermakna yang dapat terjadi adalah cedera duktus biliaris yang
terjadi pada 0,2% pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk
prosedur ini kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk
kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh
kolesistitis akut.
2. Kolesistektomi Laparaskopi
Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada
tahun 1990 dan sekarang ini sekitar 90% kolesistektomi
dilakukan secara laparoskopi. 80-90% batu empedu di Inggris
dibuang dengan cara ini karena memperkecil resiko kematian
dibanding operasi normal (0,1-0,5% untuk operasi normal)
dengan mengurangi komplikasi pada jantung dan paru. 2
Kandung empedu diangkat melalui selang yang dimasukkan
lewat sayatan kecil di dinding perut. Indikasi awal hanya pasien
dengan kolelitiasis simtomatik tanpa adanya kolesistitis akut.
Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah
mulai melakukan prosedur ini pada pasien dengan kolesistitis akut
dan pasien dengan batu duktus koledokus. Secara teoritis
keuntungan tindakan ini dibandingkan prosedur konvensional
adalah dapat mengurangi perawatan di rumah sakit dan biaya
yang dikeluarkan, pasien dapat cepat kembali bekerja, nyeri
menurun dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum
terpecahkan adalah kemanan dari prosedur ini, berhubungan
dengan insiden komplikasi seperti cedera duktus biliaris yang

40
mungkin dapat terjadi lebih sering selama kolesistektomi
laparaskopi.

Gambar 12. Kolesistektomi laparaskopi.

3. Disolusi Medis
Masalah umum yang mengganggu semua zat yang pernah
digunakan adalah angka kekambuhan yang tinggi dan biaya yang
dikeluarkan. Zat disolusi hanya memperlihatkan manfaatnya
untuk batu empedu jenis kolesterol. Penelitian prospektif acak
dari asam xenodeoksikolat telah mengindikasikan bahwa disolusi
dan hilangnya batu secara lengkap terjadi sekitar 15%. Jika obat
ini dihentikan, kekambuhan batu tejadi pada 50% pasien. Kurang
dari 10% batu empedu dilakukan cara ini an sukses.2 Disolusi
medis sebelumnya harus memenuhi kriteria terapi non operatif
diantaranya batu kolesterol diameternya < 20 mm, batu kurang
dari 4 batu, fungsi kandung empedu baik dan duktus sistik paten.

4. Disolusi Kontak
Meskipun pengalaman masih terbatas, infus pelarut
kolesterol yang poten (Metil-Ter-Butil-Eter (MTBE)) ke dalam
kandung empedu melalui kateter yang diletakkan per kutan telah

40
terlihat efektif dalam melarutkan batu empedu pada pasien-pasien
tertentu. Prosedur ini invasif dan kerugian utamanya adalah angka
kekambuhan yang tinggi (50% dalam 5 tahun).

5. Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL)


Sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu,
analisis biaya manfaat pada saat ini memperlihatkan bahwa
prosedur ini hanya terbatas pada pasien yang telah benar-benar
dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini.

Gambar 13. Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL).

6. Kolesistotomi
Kolesistotomi yang dapat dilakukan dengan anestesia lokal
bahkan di samping tempat tidur pasien terus berlanjut sebagai
prosedur yang bermanfaat, terutama untuk pasien yang sakitnya
kritis.

7. Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)

40
Pada ERCP, suatu endoskop dimasukkan melalui mulut,
kerongkongan, lambung dan ke dalam usus halus. Zat kontras
radioopak masuk ke dalam saluran empedu melalui sebuah selang
di dalam sfingter oddi. Pada sfingterotomi, otot sfingter dibuka
agak lebar sehingga batu empedu yang menyumbat saluran akan
berpindah ke usus halus. ERCP dan sfingterotomi telah berhasil
dilakukan pada 90% kasus. Kurang dari 4 dari setiap 1.000
penderita yang meninggal dan 3-7% mengalami komplikasi,
sehingga prosedur ini lebih aman dibandingkan pembedahan
perut. ERCP saja biasanya efektif dilakukan pada penderita batu
saluran empedu yang lebih tua, yang kandung empedunya telah
diangkat.

Gambar 14. Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP).


2.12 PROGNOSIS
Untuk penderita dengan ukuran batu yang kecil,
pemeriksaan serial USG diperlukan untuk mengetahui perkembangan
dari batu tersebut. Batu bisa menghilang secara spontan. Untuk batu
besar masih merupakan masalah, karena resiko terbentuknya
karsinoma kandung empedu (ukuran batu >2 cm). Karena resiko
tersebut, dianjurkan untuk mengambil batu tersebut.

40
BAB III
LAPORAN KASUS

Identitas Pasien
Nama : Tn. I Made Nirtana
Umur : 46 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal masuk : 23 Juli 2019
Ruangan : Eboni
ANAMNESIS
Keluhan Utama : Nyeri perut sebelah kanan atas

40
Anamnesis Terpimpin :
Pasien laki-laki umur 46 tahun masuk Rumah Sakit dengan keluhan nyeri
perut sebelah kanan yang dirasakan sejak kurang lebih 6 hari yang lalu. Nyeri
dirasakan seperti tertusuk-tusuk, hilang timbul, tidak tembus ke belakang dan
tidak menjalar ke tempat lain. Nyeri tidak dipengaruhi oleh makanan saat makan.
Nyeri disertai dengan mual (+), muntah kadang-kadang, demam (-), batuk (-),
pusing (-), sakit kepala (-). BAK (+) lancar dan BAB (+) biasa.
Riwayat penyakit sebelumnya:
Tidak ada.
Riwayat penyakit dalam keluarga :
Tidak ada riwayat hipertensi, diabetes mellitus atau alergi dalam keluarga,
tidak ada anggota keluarga yang mengeluh hal serupa.

STATUS GENERALISATA
Keadaan umum : Sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 120/90 mmhg Pernafasan : 20x/menit
Nadi : 84x/menit Suhu : 36,8C
Skala nyeri :4

PEMERIKSAAN FISIK
Kepala : Normocephal
Konjungtiva Anemis -/-, sklera ikterik +/+
Pupil isokor +/+ diameter 3mm/3mm
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening -/-
Thoraks
Paru-paru : Inspeksi : pergerakan simetris bilateral, tidak ada jejas
Palpasi : vocal fremitus sama bilateral
Perkusi : sonor +/+
Auskultasi : bunyi nafas vesikuler +/+, Rh-/-, wh-/-
Jantung : Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat

40
Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V midclavicula sinistra
Perkusi : redup
Auskultasi : bunyi jantung S1/S2 reguler
Abdomen : Inspeksi : bentuk kesan cembung
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
Perkusi : timpani diseluruh kuadran abdomen
Palpasi : nyeri tekan (+) regio hypochondriac kanan, hepar teraba
dan lien tidak teraba.
Ekstremitas
Atas : akral hangat +/+, edema -/-
Bawah : akral hangat +/+, edema -/-

Pemeriksaan Murphy Sign (+), ketika nyeri tekan bertambah sewaktu pasien
menarik napas panjang karena kandung empedu yang meradang tersentuh ujung
jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti bernapas.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium : Tanggal 24/Juni/2019
PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN SATUAN
Hematologi :
Leukosit 5,80 4.00-11.00 103/ul

Neutrofil 3,50 2.00-7.00 103/ul

Limfosit 1,70 0.80-4.00 103/ul

Hemoglobin 15,5 12.0-18.0 g/dl


Hematokrit 46,1 35.0-55.0 %
Koagulasi :
PT 14.00 11-18 Detik
APTT 35,45 27-42 Detik
Imunoserologi :

40
HbsAg Non reaktif Non reaktif (<0,05) IU/mL
Kimia Klinik :
SGOT 23,9 < 35 u/L
SGPT 33,5 < 45 u/L
Bil. Total 0,39 < 1.1 mg/dL
Bil. Direk 0,11 < 0.3 mg/dL
Bil. Indirek 0,28 < 0.8 mg/dL
GDS 141 70-140 mg/dL
Urea 15,6 10-50 mg/dL
Kreatinin 1,22 < 1.3 mg/dL

USG Abdomen (24/Juni/2019)

40
Kesan :
- cholelith + sludge GB
- fatty liver
- nephrolith sinistra

Resume :
Pasien laki-laki umur 46 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan nyeri
perut sebelah kanan yang dirasakan sejak kurang lebih 6 hari yang lalu. Nyeri
dirasakan seperti tertusuk-tusuk, nyeri dirasakan hilang timbul. Nyeri disertai
dengan mual (+), muntah kadang-kadang, demam (-), batuk (-), pusing (-), sakit
kepala (-). BAK (+) lancar dan BAB (+) biasa.

40
Pada pemeriksaan fisik, palpasi abdomen didapatkan nyeri tekan (+)
hypochondriac kanan dan murphy sign (+).

Diagnosa : Cholelithiasis

Penatalaksanaan :

Medikamentosa :

- IVFD RL 20 tpm
- Inj. Omeprazole /24jam/IV
- Inj. Ketorolac 1 amp/8jam/IV
- Inj. Ondansentron 1 amp/12jam/IV

Non medikamentosa :

- Rencana Open Cholesistectomy

Operatif :

Diagnosis pra bedah : Calculus of gallblader

Diagnosis pasca bedah : Calculus of gallblader

Nama operasi : Open Cholesistectomy

Laporan operasi

1. Posisi pasien dalam posisi supinasi dalam posisi general anastesi.


2. Disinfeksi dan drops poviodin iodin.
3. Insisi midline mulai processus spondilosis supra umbilikal.
4. Peralihan hingga posterior, tampak dilatasi gallblader.
5. Lakukan proses open cholesistectomy, ligasi ductus cystitis, ligasi arteri
cysticus.
6. Kontrol perdarahan dan cuci rongga abdomen.
7. Jahit luka operasi lapis demi lapis.
8. Pasang sebuah drain.
9. Jahit luka operasi.
10. Operasi selesai.

Dokumentasi operasi

40
Follow up

Tanggal Subjektif Objektif Assesment Penanganan

23/6/ Nyeri perut kanan TD: 120/80 Abdominal -IVFD RL 20

40
atas N: 81x/m pain dd tpm
cholelitiasis
R: 20x/m -Inj. Ranitidin
50 mg/12jam
S: 36,8°C
-Inj.
Dexketoprofen

2019 1 amp/8 jam

- Spasmolit 1
amp/8 jam

- USG abdomen

- Cek lab
lengkap

Nyeri perut kanan TD: 110/70 Cholelitiasis -IVFD RL 20


atas dan tpm
N: 79x/m
nefrolitiasis
-Inj. Ranitidin
R: 22x/m sinistra
50 mg/12jam
S: 36,6 °C
24/6/ -Inj.
Dexketoprofen
2019 1 amp/8 jam

- Spasmolit 1
amp/8 jam

- cefotaxim 1
gr/8 jam

25/6/ Nyeri post operasi TD: 120/80 Post op Hari -IVFD RL 20


ke 1 tpm
2019 N: 81x/m
cholesistect
-Inj. cefotaxim
R: 20x/m omy

40
S: 36,9 °C 1 gr/12jam

-Inj.
Dexketoprofen
1 amp/8 jam

- Omeprazole
40 mg/24 jam

- Asam
tranexamat 1
amp/ 8 jam

- Tramadol 1
amp/ 8 jam

BAB IV
PEMBAHASAN

Pada kasus ini, diagnosis ditegakkan berdasarkan aloanamnesis dan


heteroanamnesis, serta dari pemeriksaan fisik yang dilakukan. Dari anamnesis
didapatkan bahwa pasien laki – laki 46 tahun masuk Rumah sakit dengan keluhan

40
nyeri perut sebelah kanan atas yang dirasakan sejak kurang lebih 6 hari yang lalu.
Nyeri dirasakan seperti tertusuk-tusuk, nyeri dirasakan hilang timbul. Nyeri
disertai dengan mual (+), muntah kadang-kadang, demam (-), batuk (-), pusing (-),
sakit kepala (-). BAK (+) lancar dan BAB (+) biasa.
Kolelitiasis disebut juga Sinonimnya adalah batu empedu, gallstones,
biliary calculus. Istilah kolelitiasis dimaksudkan untuk pembentukan batu didalam
kandung empedu. Batu kandung empedu merupakan gabungan beberapa unsur
yang membentuk suatu material mirip batu yang berbentuk di dalam kandung
empedu.
Pada asimptomatik, keluhan berupa nyeri didaerah epigastrium, kuadran
kanan atau precordium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang mungkin
berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam
kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan, tetapi pada sepertiga
kasus timbul secara tiba-tiba. Penyebaran nyeri dapat ke punggung bagian tengah,
scapula, atau puncak bahu, disertai mual dan muntah.
Terjadi kolesistitis, keluhan nyeri menetap dan bertambah pada waktu
menarik nafas dalam dan sewaktu kandung empedu tersentuh ujung jari tangan
sehingga pasien menarik nafas, yang merupakan tanda rangsangan peritoneum
setempat (Murphy sign).
Pada pemeriksaan tanda vital dalam batas normal. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan nyeri tekan (+) regio hypochondriac dextra dan pemeriksaan Murphy
sign (+).

Pada pasien ini didiagnosis dengan cholelitiasis, sehingga untuk


penatalaksanaannya yang direncanakan untuk dilakukan Open Cholesistectomy.
Kolesistektomi dilakukan secara laparoskopi. 80-90% batu empedu dibuang
dengan cara ini karena memperkecil resiko kematian dibanding operasi normal
(0,1-0,5% untuk operasi normal) dengan mengurangi komplikasi pada jantung dan
paru.

Kandung empedu diangkat melalui selang yang dimasukkan lewat sayatan


kecil di dinding perut. Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik

40
tanpa adanya kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman,
banyak ahli bedah mulai melakukan prosedur ini pada pasien dengan kolesistitis
akut dan pasien dengan batu duktus koledokus. Secara teoritis keuntungan
tindakan ini dibandingkan prosedur konvensional adalah dapat mengurangi
perawatan di rumah sakit dan biaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat kembali
bekerja, nyeri menurun dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan
adalah kemanan dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden komplikasi seperti
cedera duktus biliaris yang mungkin dapat terjadi lebih sering selama
kolesistektomi laparaskopi.

Untuk prognosis pada pasien cholelithiasis dengan ukuran batu yang kecil,
pemeriksaan USG diperlukan untuk mengetahui perkembangan dari batu tersebut.
Batu bisa menghilang secara spontan. Untuk batu besar masih merupakan
masalah, karena resiko terbentuknya karsinoma kandung empedu (ukuran batu >2
cm). Karena resiko tersebut, dianjurkan untuk mengambil batu tersebut.

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidajat R, De Jong W. Buku Ajar lmu Bedah. Edisi 2. Penerbit


Buku Kedokteran EGC. Jakarta ; 2005. Hal 570-579.
2. Coopeland III EM, MD Kirby I, Bland MD. Sabiston Buku Ajar Bedah.
Jakarta; 2001.
3. Burnicardi, CF. Anderson, D.K, Billiar RT, Dunn LD, dkk. Schwartz’s
Principles of Surgery. Tenth Edition. Book 2. Page 1309-1334.
4. Moore KL, Anne MR. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta : Hipokrates, 2007 :
Hal 122-123.
5. Price S, Lorraine M. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
Volume 1. Edisi 6. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta; 2009.
6. Lesmana L. Batu Empedu. Dalam : Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid I.
Edisi 3. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta: 2009. 380-384.
7. Robbins, dkk. Buku Ajar Patologi. Volume 2. Edisi 7. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta : 2009.
8. Putz RV, Pabst R. Atlas Anatomi Manusia SOBOTTA Batang Badan.
Panggul dan Ekstremitas Bawah Jilid I. Edisi 21. Edit or; Suyono YJ.
Jakarta: 2009. Hal 142-150.
9. Iljas, Mohammad. 2009. Ultrasonografi Hati. Dalam Radiologi Diagnostik
Edisi ke 2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

40

Anda mungkin juga menyukai