Anda di halaman 1dari 40

Long Case

Kolelitiasis

Oleh
Maria Trisnawati Buntanus,S.Ked
1208017035

Pembimbing : dr. Stefanus Dhe Soka, SpB

SMF Ilmu Bedah


Fakultas Kedokteran Universitas Nusa Cendana Kupang
RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kandung empedu merupakan kantong berongga yang berbentuk buah pir yang
terletak dibawah lobus kanan hati. Fungsi utama kandung empedu adalah menyimpan dan
memekatkan empedu. Kandung empedu mampu menyimpan 40-60 ml empedu. Empedu
hati tidak dapat segera masuk ke dalam duodenum, akan tetapi harus melewati duktus
hepatikus, duktus sistikus, kandung empedu, duktus koledokus bersatu dengan duktus
pankreatikus dan bermuara pada duodenum. Garam empedu, lesitin dan kolesterol
merupakan komponen terbesar (90%) cairan empedu. Sisanya adalah bilirubin, asam
lemak, dan anorganik.
Kolelitiasis adalah penyakit batu empedu yang dapat ditemukan didalam
kandung empedu atau didalam duktus koledokus atau pada kedua-duanya. Batu empedu
pada hakekatnya merupakan endapan satu atau lebih komponen empedu; kolesterol,
bilirubin, garam empedu, kasium, protein, asam lemak, dan fosfolipid. Sebagian batu
empedu , terutama batu kolesterol, terbentuk didalam kandung empedu (kolesistlitiasi).
Kalau batu ini berpindah ke dalam saluran empedu ekstahepatik, disebut batu saluran
empedu sekunder atau koledokolitiasis sekunder. Terdapat tiga jenis batu empedu yaitu;
batu kolesterol, batu pigmen atau batu batu bilirubin yang terdiri dari kalsium bilirubinat
dan batu campuran.
Insiden kolelitiasis pada negara barat adalah 20% dan banyak menyerang orang
dewasa dan lanjut usia. Kebanyakan kolelitiasi tidak bergejala atau bertanda. Setiap
tahunnya, beberapa ratus ribu orang yang menderita penyakit ini menjalani pembedahan

saluran empedu. Batu empedu jarang terjadi pada usia dua dekade pertama. Angka
kejadiannya penyakit batu empedu dan penyakit saluran empedu di Indonesia diduga
tidak berbeda jauh dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Di negara barat , 80%
batu emepdu adalah batu kolesterol, tetapi angka kejadian batu pigmen meningkat akhirakhir ini. Di Indonesia sendiri batu yang umumnya didapatkan adalah batu kolesterol
namun jumlah kasus batu pigmen lebih tinggi daripada angka kejadian di negara barat.
Faktor ras dan familia tampaknya berkatan dengan semakin tingginya insiden
terbentunya batu empedu. Insiden sangat tinggi pada orang Amerika asli, diikuti oleh
orang kulit putih, dan akhirnya orang Afro-Amerika. Kondisi klinis yang dikaitkan
dengan semakkin meningkatnya insiden batu empedu adalah, diabetes, sirosi hati,
pankreatitis, kangker kandung empedu, dan penyakit reseksi ileum. Faktor resiko lain
yang berhubungan dengan timbulnya batu empedu adalah obesitas, multiparitas,
pertambahan usia, jenis kelamin permpuan, dan ingesti makanan yang mengandung kalori
rendah atau lemak rendah (puasa).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A Embriologi
Cikal bakal saluran empedu dan hati adalah sebuah penonjolan sebesar tiga milimeter
didaerah ventra usus depan. Bagian kranial tumbuh menjadi hati, bagian kaudal menjadi
pankreas, sedangkan bagian sisanya menjadi kandung empedu. Dari tonjolan berongga yang
bagian padatnya kelak jadi sel hati, diantara sel hati tersebut tumbuh saluran empedu yang
bercabang-cabang seperti pohon.
B Anatomi Kandung Empedu
Kandung empedu berbentuk bulat lonjong seperti buah pear/alpukat dengan panjang
sekitar 4-6 cm dan berisi 30-60 ml empedu . Apabila kandung empedu mengalami distensi
akibat bendungan oleh batu, maka infundibulum menonjol seperti kantong (kantong
Hartmann). Vesica fellea dibagi menjadi fundus, corpus dan collum. Fundus berbentuk bulat
dan biasanya menonjol dibawah pinggir inferior hepar, dimana fundus berhubungan dengan
dinding anterior abdomen setinggi costa IX dextra.

Corpus bersentuhan dengan permukaan visceral hati dan arahnya keatas, belakang
dan kiri. Collum dilanjutkan sebagai duktus cysticus yang berjalan dalam omentum minus
untuk bersatu dengan sisi kanan ductus hepaticus communis membentuk duktus koledokus
(CBD). Peritoneum mengelilingi fundus vesica fellea dengan sempurna menghubungkan
corpus dan collum dengan permukaan visceral hati.
Ductus cysticus berjalan dari hati ke arah kandung empedu, panjangnya 1-2 cm,
diameter 2-3 cm, diliputi permukaan dalam dengan mukosa yang banyak sekali membentuk
duplikasi (lipatan-lipatan) yang disebut Valve of Heister, yang mengatur pasase empedu ke
dalam kandung empedu dan menahan alirannya dari kandung empedu.
Saluran empedu ekstrahepatik terletak di dalam ligamentum hepatoduodenale dengan
batas atas porta hepatis sedangkan batas bawahnya distal papila Vateri. Bagian hulu saluran
empedu intrahepatik bermuara ke saluran yang paling kecil yang disebut kanikulus empedu
yang meneruskan curahan sekresi empedu melalui duktus interlobaris ke duktus lobaris dan
selanjutnya ke duktus hepatikus di hilus.
Panjang duktus hepatikus kanan dan kiri masing-masing antara 1-4 cm. Panjang
duktus hepatikus komunis sangat bervariasi bergantung pada letak muara duktus sistikus.
Ductus choledochus berjalan menuju duodenum dari sebelah belakang, akan menembus
pankreas dan bermuara di sebelah medial dari duodenum descendens. Pada pertemuan
(muara) ductus choledochus ke dalam duodenum, disebut choledochoduodenal junction.
Tempat muaranya ini disebut Papilla Vateri. Ujung distalnya dikelilingi oleh sfingter Oddi,
yang mengatur aliran empedu ke dalam duodenum.

Pembuluh arteri kandung empedu adalah a. cystica, cabang a. hepatica kanan. V.


cystica mengalirkan darah langsung kedalam vena porta. Sejumlah arteri yang sangat kecil
dan vena vena juga berjalan antara hati dan kandung empedu.
Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang terletak dekat
collum vesica fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan melalui nodi lymphatici hepaticum
sepanjang perjalanan a. hepatica menuju ke nodi lymphatici coeliacus. Saraf yang menuju
kekandung empedu berasal dari plexus coeliacus.

C Fisiologi
Salah satu dari berbagai fungsi hati adalah untuk mengeluarkan empedu, normalnya
antara 600 dan 1000 ml/hari. Empedu melakukan dua fungsi penting yaitu:

1. Empedu memainkan peranan penting dalam pencernaan dan absorpsi lemak, bukan
karena enzim dalam emepedu yang menyebabkan pencernaan lemak, tetapi karena
asam empedu melakukan hal:
a. Asam empedu empedu membantu mengemulsikan partikel-pertikel lemak yang
besar dalam makanan menjadi banyak partikel kecil, sehingga permukaan partikel
tersebut dapat diserang oleh enzim lipase yang disekresikan dalam getah
pancreas.
b. Asam empedu membantu absorpsi produk ahir lemak yang telah dicerna melalui
membrane mukosa intestinal
2. Empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa produk buangan
yang penting dari darah. Hal ini terutama meliputi bilirubin, yang merupakan produk
akhir dari penghancuran hemoglobin dan kelebihan kolesterol.
Empedu disekresikan dalam dua tahap oleh hati yaitu:
1. Bagian awal disekresikan oleh sel-sel fungsional utama hati, yaitu sel hepatosit.
Sekresi awal ini mengandung sejumlah besar asam empedu, kolesterol dan zat-zat
organic lainnya. Kemudian empedu disekresikan kedalam kanlikuli biliaris kecil yang
terletak di antara sel-sel hati
2. Kemudian empedu mengalir keluar di dalam kanalikuli menuju septa iterlobularis,
tempat kanalikuli mengeluarkan empedu kedalam ductus yang lebih besar, akhirnya
mencapai ductus hepatikus dan ductus biliaris komunis. Dari sini empedu langsung di
keluarkan ke dalam duodenum atau dialihkan dalam hitungan menit sampai beberapa
jam melalui ductus sistikus ke dalam kandung empedu.

Dalam perjalannya melalui ductus-duktus biliaris, bagian kedua dari sekresi hati
ditambahkan ke dalam sekresi empedu yang pertama. Sekresi tambahan ini berupa larutan
ion-ion natrium dan bikarbonat encer yang disekresikan oleh sel-sel epitel sekretorius yang
mengelilingi duktulus dan ductus. Sekresi kedua ini kadang meningkatkan jumlah empedu
total sampai 100%. Sekresi kedua ini dirangsang terutam oleh sekretin, yang memnyebabkan
pelepasan sejumlah ion bikarbonat dalam sekresi pancreas (untuk menetralkan asam yang
dikeluarkan dari lambung ke duodenum)
Empedu disekresikan secara terus-menerus oleh sel-sel hati, namun sebagian besar
normalnya disimpan dalam kandung empedu sampai siperlukan di dalam duodenum.
Volume maksimal yang dapat ditampung kandung empedu hanya 30 sampai 60 mililiter.
Meskipun demikian, sekresi empedu selama 12 jam (biasanya sekitar 450 mililiter) dapat
disimpan dalam kandung empedu karena air, natrium, klorida dan kebanyakan elektrolit
kecil lainnya secara terus menerus diabsorpsi melalui mukosa kandung empedu,
memekatkan sisa zat-zat empedu yang mengandung garam empedu, kolesterol, lesitin dan
bilirubin.
Kebanyakan abosrpsi kandung empedu ini disebabkan oleh transport aktif natrium
melalui epitel kandung empedu, dan keadaan ini diikuti oleh absorpsi sekunder ion klorida,
air dan kebanyakan zat-zat terdifusi lainnya. Empedu secara normal dipekatkan sebanyak 5
kali lipat dengan cara ini, tetapi dapat dipekatkan sampai maksimal 20 kali lipat.
a. Komposisi empedu
Tabel dibawah menunjukan komposisi empedu saat pertama kali disekresikan oleh
hati dan kemudian setelah empedu dipekatkan dalam kandung empedu. Table ini

menunujukan bahwa zat yang paling banyak disekresikan dalam kandung empedu adalah
garam empedu, yang banyakanya setengah dari total zat-zat yang juga terlarut dalam
empedu. Bilirubin, kolesterol, lesitin dan elektrolit yang biasa terdapat dalam plasma, juga
disekresikan atau diekskresikan dalam konsentrasi besar.
Dalam proses pemekatan di kandung empedu, air dan elektrolit dalam jumlah besar
(kecuali ion kalsium) direabsorbsi oleh mukosa kandung empedu.
Komposisi
Air
Garam empedu
Bilirubin
Kolesterol
Asam lemak
Lesitin
Na+
K+
Ca++
ClHCO3-

Empedu hati
97,5 g/dl
1,1 g/dl
0,04 g/dl
0,1 g/dl
0,12 g/dl
0,04 g/dl
145,04 mEq/L
5 mEq/L
5 mEq/L
100 mEq/L
28 mEq/L

Empedu pada kandung empedu


92 g/dl
6 g/dl
0,3 g/dl
0,3-0,9 g/dl
0,3-1,2 g/dl
0,3 g/dl
130 mEq/L
12 mEq/L
23 mEq/L
25 mEq/L
10 mEq/L

Pengosongan kandung empedu


Ketika makanan mulai dicerna di dalam traktus gastrointestinal bagian atas, kandung
empedu mulai dikosongkan, terutama sewaktu makanan berlemak mencapai duodenum
sekitar 30 menit setelah makan. Mekanisme pengosongan kandung empedu adalah kontraksi
ritmis dinding kandung empedu, tetapi pengosongan yang efektif juga membutuhkan
relaksasi yang bersamaan dari sfingter oddi, yang menjaga pintu keluar ductus biliaris
komunis ke dalam duodenum.
Sejauh ini rangsangan yang paling poten menyebabkan kontraksi kandung empedu
adalah hormone kolesistokinin. Hormon ini adalah hormone kolesistokinin yang telah

dibicarakan sebelumnya yang menyebabkan peningkatan sekresi enzim pencernaan oleh selsel asinar pancreas. Rangsangan untuk memasukan kolesistokinin ke dalam darah dari
mukosa duodenum terutama adalah kehadiran makanan berlemak dalam duodenum.
Selain kolsistokinin, kandung empedu juga dirangsang sacara kurang kuat oleh
serabut-serabut saraf yang mensekresikan asetilkolin dari sistem saraf vagus dan enteric
usus. Keduan adalah saraf yang sama yang meningkatkan motilitas dan sekresi dalam bagian
lain traktus gastrointestinal bagian atas.
Sebagai ringkasan, kandung empedu mengosongkan simpanan empedu pekatnya ke
dalam duodenum terutama sebagai respon terhadap perangsangan kolesistokinin yang
terutama di cetuskan oleh makanan berlemak. Saat lemak tidak terdapat dalam makanan,
pengosongan kandung empedu berlangsung buruk, tetapi bila terdapat lemak dalam jumlah
yang berarti dalam makanan, normalnya kandung empedu kosong secara menyeluruh dalam
waktu sekitar 1 jam.
Sebagai bahan sekresi, empedu mempunyai tiga fungsi utama. Yang pertama, garam
empedu, fosfolipid dan kolesterol beragregasi di dalam empedu untuk membentuk micelles
campuran. Dengan emulsifikasi, komple micelles ini memungkinkan absorpsi lemak dan
vitamin yang larut dalam lemak (A,D, E, K) yang ada di dalam usus. Absorpsi mineral
tertentu (kalsium, tembaga, besi) juga dipermudah. Kedua, empedu bertindak sebagai vehikel
untuk ekskresi usus bagi banyak senyawa yang dihasilkan secara endogen dan eksogen
(seperti bilirubin). Ketiga, sebagian dengan menetralisi asam lambung, empedu membantu
mempertahankan lingkungan alkali yang tepat di dalam duodenum, yang dengan adanya
garam empedu, memungkinkan aktivitas maksimum enzim pencernaan sesudah makan.

Normalnya hepatosit dan saluran empedu menghasilkan 500-1500 ml empedu tiap


harinya. Produksi empedu merupakan proses kontinyu yang hanya sebagian menjadi sasaran
regulasi saraf, hormon dan humoral. Masukan (input) vagus bekerja langsung pada sel saluran
empedu untuk meningkatkan seksresi air dan elektrolit, sedangkan aktivitas simpatis
splanknikus cenderung menghambat produksi empedu secara tidak langsung dengan
menurunkan aliran darah ke hati. Hormon gastrointestinal kolesistokinin (CCK), sekretin dan
gastrin memperkuat sekresi duktus dan aliran empedu dalam respon terhadap makanan.
Garam empedu sendiri bertindak sebagai koleretik kuat selama masa sirkulasi enterohepatik
yang dinaikkan.
Sekresi aktif garam empedu oleh hepatosit merupakan faktor utama yang meregulasi
volume empedu yang disekresi. Air dan elektrolit mengikuti secara pasif sepanjang perbedaan
osmolar untuk mempertahankan netralitas. Ekskresi lesitin dan kolesterol ke dalam kanalikuli
untuk membentuk micelles campuran, sulit dipahami dan bisa digabung dengan sekresi garam
empedu melintasi membrana kanalikulus. Sistem transpor aktif terpisah dan berbeda
menimbulkan sekresi bilirubin dan anion organik lain. Sel duktulus meningkatkan sekresi
empedu dengan memompakan natrium dan bikarbonat ke dalam lumen.
Empedu dieksresi secara kontinyu oleh hati kedalam saluran empedu. Selama puasa,
kontraksi tonik sfingter oddi menyebabkan empedu refluks kedalam vesika biliaris, tempat
dimana empedu disimpan dan dipekatkan. Disini garam empedu, pigmen empedu dan
kolesterol dipekatkan sebanyak sepuluh kali lipat oleh absorpsi air dan elektrolt. Sekitar 50%
kumpulan garam empedu dalam vesika biliaris selam puasa. Tunika mukosa vesika biliaris
juga mensekresi mukus yang bisa melakukan fungsi perlindungan. Dengan makan, CCK
dilepaskan oleh lemak dan dalam jumlah kecil oleh asam amino yang memasuki duodenum;

CCK merangsang kontraksi vesika biliaris dan relaksasi sfingter oddi. Bila tekanan dalam
duktus koledokus melebihi tahanan mekanisme sfingter (15 sampai 20 cm H 2O), maka
empedu memasuki lumen duodenum. Masukan (input) vagus memudahkan memudahkan
tonus dan kontraksi vesika biliaris; setelah vagotomi, bila timbul stasis relatif dan merupakan
predisposisi pembentukan batu empedu. Setelah kolesistektomi, aliran empedu ke dalam
duodenum diregulasi hanya oleh sfingter.
Metabolisme garam empedu/sirkulasi enterohepatik
Garam empedu terdiri dari inti steroid yang disintesis langsung dari kolesterol. Dua
garam empedu primer, kolat dan kenodeoksikolat, disintesis oleh hepatosit di bawah kendali
umpan balik yang belum dipahami. Garam empedu sekunder, deoksikolat dan litokolat
dibentuk di dalam kolon oleh degradasi bakteri atas garam empedu primer yang lolos
reabsorpsi di dalam ileum. Litokolat diekskresi ke dalam feses, tetapi deoksikolat direabsorpsi
ke dalam darah porta dan bersama dengan garam empedu primer yang direabsorpsi,
diekstraksi oleh hepatosit. Garam empedu ini dikonjugasikan dengan glisin atau taurin dan
disekresi secara aktif ke dalam kanalikuli biliaris sebagai 40% kolat, 40% kenodeoksikolat
dan 20% deoksikolat dalam konsentrasi total 10 sampai 20 mol. Karean mempunyai daerah
hidrofilik dan hidrofobik, maka garam empedu berfungsi sebagai deterjen. Garam empedu
beragregasi spontan dalam kelompok 8 sampai 10 molekul untuk membentuk micelles. Inti
hidrofobik dalam melarutkan lesitin yang sulit larut dalam air, yang dengan sendirinya lebih
memperkuat kelarutan kolesterol dengan memperluas daerah hidrofobik micelles. Kompleks
garam empedu-lesitin-kolesterol ini dinamakan micelles campuran. Garam empedu
dipekatkan lebih lanjut di dalam vesika biliaris sampai 200-300 mol. Jumlah total kolesterol

yang dilarutkan bervariasi sesuai rasio relatif garam empedu dan lesitin maupun konsentrasi
garam empedu total.
Setelah memasuki usus halus bagian atas, micelle campuran ini jelas mempotensiasi
absorpsi lemak dengan memberikan vehikel dan lingkungan yang sesuai bagi pelarutan,
hidrolisis enzimatik dan absorpsi. Sirkulasi enterohepatik garam empedu dilengkapi bila
garam empedu didekonjugasi secara enterik, direabsorpsi dalam ileum terminalis oleh sistem
transpor aktif dan akhirnya diekstraksi dari sirkulasi porta oleh hepatosit. Lima persen garam
empedu yang lolos reabsorpsi di dalam ileum diubah menjadi garam empedu sekunder di
dalam kolon serta direabsropsi sebagian sebagai deoksikolat. Kumpulan garam empedu total
2,5 sampai 5 g bersirkulasi enam sampai delapan kali sehari; 10 sampai 20% kumpulan total
yang hilang bersama feses setiap hari, diganti oleh sintesis baru oleh hati.
Lipid Empedu
Lesitin dan kolesterol membentuk sebagian besar lipid empedu. Lesitin merupakan
fosfolipid yang sebagian besar tak larut air. Kolesterol disintesis oleh hati dan diabsorpsi oleh
traktus gastrointestinal, dan selain itu digunakan juga dalam lintasan intrasel lain, diubah
menjadi garam empedu atau diekskresi langsung ke dalam empedu. Micelles garam empedu
jelas meningkatkan kelarutan lipid ini di dalam empedu. Tetapi mekanisme transpor lipid
intrasel ini ke dalam empedu belum dipahami dan bisa digabung dengan sekresi garam
empedu melintasi membrana kanalikuli. Di dalam usus, lesitin dihdrolisis menjadi kolin dan
asam lemak. Kolesterol direabsorpsi ke dalam sirkulasi enterohepatik dan bertindak sebagai
mekanisme umpan balik dalam kendali sintesis kolesterol di dalam hati.
Metabolisme bilirubin

Karena eritrosit yang sudah tidak berguna lagi di degradasi di dalam sistem
retikuloendotelial, maka hemoglobin dilepaskan dan diubah menjadi biliverdin. Pigmen ini
direduksi menjadi bilirubin yang tak larut air yang tak terkonjugasi (bilirubin indirect yang
diukur dengan reaksi van den bergh), diangkut ke dalam darah dan terikat pada albumin,
diekstraksi oleh hepatosit. Di dalam sitoplasma, bilirubin diangkut oleh protein Y dan Z ke
retikulum endoplasma. Dengan adanya glukoronil transferase, bilirubin dikonjugasikan
dengan asam glukoronat dan dalam jumlah lebih sedikit dengan sulfat, untuk membentuk
bilirubin glukoronida dan bilirubin sulfat. Bilirubin terkonjugasi yang larut dalam air ini
(bilirubin direct) kemudian disekresi ke dalam kanalikuli biliaris melalui mekanisme transpor
aktif yang sama dengan yang dimiliki oleh garam organik lain, tetapi berbeda dari sekresi
garam empedu. Beban bilirubin harian bagi sekresi sekitar 30 mg. Di dalam usus, bakteri usus
mengubah bilirubin ke kelas senyawa yang dikenal sebagai urobilinogen. Urobilinogen ini
terutama diekskresikan di dalam feses, tetapi sebagian di reabsorpsi dan di ekstraksi oleh
hepatosit untuk memasuki sirkulasi enterohepatik atau diekskresikan di dalam urin.

D Cholelitiasis
1

Definisi
Kolelitiasis dimaksudkan untuk penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di
dalam kandung empedu atau didalam ductus koledokus, atau pada kedua-duanya.
Sebagian besar batu empedu, terutama batu kolesterol, terbentuk di dalam kandung
empedu (kolesistolitiasis). Kalau batu kandung empedu ini berpindah kedalam saluran
empedu ekstrahepatik, disebut batu saluran empedu sekunder atau koledokolitiasis
sekunder.

Epidemiologi
Insiden kolelitiasis pada negara barat adalah 20% dan banyak menyerang orang

dewasa dan lanjut usia. Kebanyakan kolelitiasi tidak bergejala atau bertanda. Setiap
tahunnya, beberapa ratus ribu orang yang menderita penyakit ini menjalani pembedahan
saluran empedu. Batu empedu jarang terjadi pada usia dua dekade pertama. Angka
kejadiannya penyakit batu empedu dan penyakit saluran empedu di Indonesia diduga
tidak berbeda jauh dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Di negara barat , 80%
batu emepdu adalah batu kolesterol, tetapi angka kejadian batu pigmen meningkat akhirakhir ini. Di Indonesia sendiri batu yang umumnya didapatkan adalah batu kolesterol
namun jumlah kasus batu pigmen lebih tinggi daripada angka kejadian di negara barat.
Faktor ras dan familia tampaknya berkatan dengan semakin tingginya insiden
terbentunya batu empedu. Insiden sangat tinggi pada orang Amerika asli, diikuti oleh
orang kulit putih, dan akhirnya orang Afro-Amerika. Kondisi klinis yang dikaitkan
dengan semakkin meningkatnya insiden batu empedu adalah, diabetes, sirosi hati,
pankreatitis, kangker kandung empedu, dan penyakit reseksi ileum. Faktor resiko lain
yang berhubungan dengan timbulnya batu empedu adalah obesitas, multiparitas,
pertambahan usia, jenis kelamin perempuan, dan ingesti makanan yang mengandung
kalori rendah atau lemak rendah (puasa).

Etiologi

Etiologi batu empedu masih belum diketahui sepenuhnya; akan tetapi, tampaknya
faktor predisposisi terpenting adalah gangguan metabolisme yang menyebabkan
terjadinya perubahan komposisi empedu , statis empedu dan infeksi kandung empedu.
Perubahan komposisi empedu kemungkinan merupakan faktor terpenting dalam
pembentukan batu empedu. Sejumlah penyelidikan menunjukan bahwa hati penderita
batu empedu kolesterol mensekresi empedu yang sangat jenuh dan kolesterol. Kolesterol
yang berlebihan ini mengendap dalam kandung empedu (dengan

cara yang belum

dimengerti sepenuhnya) untuk membentuk batu emepedu.


Statis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan supersaturasi
progresif, perubahan komposis kimia, dan pengendapan unsur tersebut.

Gangguan

kontraksi kandung emepedu , atau spasme sfingter oddi, atau keduannya dapat
menyebabkan statis. Faktor hormonal (selama kehamilan) dapat dikaitkan dengan
perlambatan pengosongan kandung empedu dan menyebabnya tingginya insiden pada
kelompok ini.
Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan dalam pembentukan batu.
Mukus meningkatkan viskositas empedu, dan unsur sel atau bakteri dapat berperan
sebagai pusat presipitasi. Akan tetapi, infeksi mungkin lebih sering timbul sebaga akibat
dari terbentuknya batu empedu, dibandingkan sebagai penyebab batu empedu.

Patogenesis

Patogenesis terbentuknya batu telah diselidiki dalam beberapa tahun terakhir.


Walaupun beberapa aspek yang berperan sebagai penyebab belum diketahui sepenuhnya,
namun komposisi kimia dan adanya lipid dalam cairan empedu memegang peran penting
dalam proses terbentuknya batu. Kira-kira 8% dari lipid empedu dalam bentuk kolesterol
dan 15-20% dalam bentuk fosfolipid. Keduanya tidak larut dalam air, dalam cairan
empedu terikat dengan garam empedu dengan komposisi 70-80% dari lipid empedu.
Kolesterol normalnya tidak akan mengendap diempedu karena empedu
mengandung garam empedu terkonjugasi dan fosfatidikolin atau lesistin dalam jummlah
cukup agar kolesterol berada dalam larutan misel. Larutan misel adalah kumpulan lemak
yang mempunyai dinding yang hidrofilik (larut dalam air) dan inti yang hidrofobik (tidak
larut dalam air). Hubungan antara kolesterol, fosfolipid dan garam empedu digambarkan
dalam suatu segitiga yang sering disebut Triangular Coordinats yang menggambarkan
konsentrasi kelarutan kolesterol dalam suatu campuran dengan fosfolipid dan garam
empedu. Jika rasio konsentrasi kolesterol terhadap garam empedu dan lesitin meningkat,
kolesterol yang dalam kisaran kecil akan tetap berada dalam larutan misel yang sangat
jenuh. Kondisi yang sangat jenuh ini mungkin karena hati juga menyekresi kolesterol
dalam bentuk konsentrasi tinggi di dalam nukleus unilamelar vesikel dalam kandung
empedu dengan cara tertentu sehingga lesitin membuat larutan yang membantu menguliti
vesikel yang berdiameter 50-100 nm ini. Jka kandungan kolesterol relatif lebih
meningkat, akan dibentuk vesikel multimisel. Zat ini kurang stabil dan akan melepaskan
kolesterol yang kemudian akan diendapkan pada lingkungan cairan dalam bentuk kristal
kolesterol. Kristal ini merupakan prekusor batu empedu.

Penyebab peningkatan rasio kolesterol terhadap garam empedu dan lesitin yang
penting adalah peningkatan sekresi kolesterol, penurunan sekresi garam empedu, dan
penurunan sekresi fosfatidikolin. Peningkatan sekresi kolestrol terjadi karena peningkatan
sintesis kolesterol atau penghambatan esterifikasi kolesterol, misalnya oleh progesteron
selama masa kehamilan.
Penurunan sekresi garam empedu terjadi karena penurunan simpanan garam
empedu , seperti pada penyakit Chron atau setelah reseksi usus , atau karena sekustrasi
garam empedu yang memanjang dikandung empedu , seperti pada puasa atau pada
pemberian nutrisi paraenteral. Pemberian nutrisi paraenteral menurunkan sirkulasi
enterohepatik garam empedu sehingga sekresinya kedalam empedu berkurang. Karena
sekresi garam empedu tidak berhubungan secara linear dengan sekresi garam empedu
rasio kolesterol terhadap garam empedu dan lesitin akan meningkat jika sekresi garam
empedu rendah. Rasio ini semakin meningkat dibawah pengaruh estrogen karena
estrogen menyebabkan peningkatan rasio konsentrasi kolesterol dengan kenodeoksikolat
sehingga lebih banyak kolesterol yang akan disekresikan disetiap molekul garam
empedu.
Penurunan sekresi fosfatidikolin atau lesitin sebagai penyebab batu kolesterol telah
ditemukan pada perempuan chili yang hidupnya hanya dengan memakan sayur-sayuran.
Hepatolitiasi adalah batu empedu yang terdapat di dalam saluran empedu dari awal
percabangan duktus hepatikus kanan dan kiri meskipun percabangan tersebut mungkin
terdapat diluar parenkim hati. Batu tersebut umumnya berupa batu pigmen yang berwarna
cokelat, lunak, bentuknya seperti lumpur dan rapuh.

Hepatolitiasis akan mengakibatkan kolangitis piogenik rekurens atau kolangitis


oreiental yang sangat sulit penanganannya. Batu kandung empedu dapat berpindah
kedalam duktus koledokus melalu duktus sistikus. Didalam perjalananya melalui duktus
sistikus , batu tersebut dapat menimbulkan sumbatan aliran empedu parsial ataupun total
sehingga menimbulkan gejala kolik empedu. Pasase batu empedu yang berulang melalui
duktus sistikus yang sempit dapat menimbulkan iritasi dan perlukaan sehingga dapat
menimbulkan peradangan dinding duktus dan striktur. Kalau batu terhenti di dalam
duktus sistikus karena diameternya terlalu besar atau tertahan oleh striktur, batu akan
tetap ada disana sebagai batu duktus sistikus.
5

Jenis Batu
a

Batu Kolesterol

Gambar 3 Batu Kolesterol

Batu kolesterol mengandung paling sedikit 70% kolesterol dan sisanya adalah
kalsium karbonat, kalsium palmitif, dan kalsium bilirubinat. Bentuknya lebih bervariasi
dibandingkan dengan batu pigmen. Terbentuknya hampir selalu di dalam kandung
empedu, dapat berupa soliter atau multiple. Permukaanya mungkin licin atau multifaset,
bulat, berduri dan dan ada yang seperti buah murbei.

Proses pembentukan batu kolesterol melalui empat tahap, yaitu penjenuhan


empedu oleh kolesterol, pembentukan nidus, kristalisasi, dan pertumbuhan batu.
Derajat penjenuhan empedu oleh kolesterol dapat dihitung melalui kapasitas daya
larut. Penjenuhan ini dapat disebabkan oleh bertambahnya sekresi kolesterol atau
penurunan relatif asam empedu atau fosfolipid. Peningkatan ekskresi kolesterol empedu
antara lain terjadi misalnya pada keadaan obesitas, diet tinggi kalori dan kolesterol, dan
pemakaian obat yang mengandung estrogen atau klofibrat. Sekresi asam empedu akan
menurun pada penderita dengan gangguan absorbsi di ileum atau gangguan daya
pengosongan primer kandung empedu.
Penjenuhan kolesterol yang berlebihan tidak dapat membentuk batu, kecuali bila
ada nidus dan ada proses lain yang menimbulkan kristalisasi. Nidus dapat berasal dari
pigmen empedu, mukoprotein, lendir, protein lain, bakteri, atau benda asing lain.
Setelah kristalisasi meliputi suatu nidus, akan terjadi pembentukan batu. Pertumbuhan
batu terjadi karena pengendapan kristal kolesterol diatas matriks inorganik dan
kecepatannya ditentukan oleh kecepatan relatif pelarutan dan pengendapan. Struktur
matriks agaknya berupa endapan mineral yang mengandung garam kalsium.
Stasis kandung empedu juga berperan dalam pembentukan batu, selain faktor
yang telah disebut diatas.

Batu Bilirubin

Gambar 4. Batu Bilirubin

Penampilan batu bilirubin yang sebenarnya berisi kalsium bilirubinat dan disebut
juga batu lumpur atau batu pigmen, tidak banyak bervariasi. Batu ini sering ditemukan
berbentuk tidak teratur, kecil-kecil dan dapat berjumpal banyak, warnanya bervariasi
antara cokelat, kemerahan, sampai, hitam, dan berbentuk seperti lumpur atau tanah yang
rapuh. Batu ini sering bersatu membentuk batu yang lebih besar. Batu pigmen yang
sangat besar dapat ditemukan di dalam saluran empedu. Batu pigmen adalah batu empedu
yang kadar kolesterolnya kurang dari 25%. Batu pigmen hitam terbentuk di dalam
kandung empedu terutama terbentuk pada gangguan keseimbangan metabolik seperti
anemia hemolitik dan sirosis hati tanpa didahului infeksi.
Seperti pembentukan batu kolesterol, terjadinya batu bilirubin berhubungan
dengan bertambahnya usia. Infeksi, stasis, dekonyugasi bilirububin dan ekskresi kalsium
merupakan faktor kausal. Pada bakteribilia terdapat bakteri gram negatif, terutama
E.Colli. Pada batu kolesterolpun E.Colli yang tersering ditemukan dalam biakan
empedunya.

Batu Campuran
Batu ini adalah jenis paling banyak dijumpai dan terdiri atas kolesterol, pigmen

empedu, dan berbagai garam kalsium, biasanya berganda dan sedikit mengandung
kalsium sehingga bersifat radioopak.

Gambar 5 Batu Campuran

Penegakkan diagnosis
a. Anamnesis
Setengah sampai dua pertiga penderita batu kandung empedu adalah
asimptomatik. Keluhan yang mungkin timbul berupa dispepsia yang kadang disertai
intoleransi terhadap makanan berlemak.
Pada yang simptomatik, keluhan utamanya berupa nyeri di daerah epigastrium,
kuadran atas kanan atau prekordium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang
mungkin berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam
kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan, tetapi pada sepertiga kasus
timbul tiba-tiba.
Penyebaran nyeri dapat ke punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak
bahu, disertai mual dan muntah.

Lebih kurang seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri menghilang


setelah makan antasida. Kalau terjadi kolesistitis, keluhan nyeri menetap dan
bertambah pada waktu menarik napas dalam dan sewaktu kandung empedu tersentuh
ujung jari tangan sehingga pasien berhenti menarik napas, yang merupakan tanda
rangsangan peritoneum setempat (tanda Murphy).
Pada batu duktus koledokus, riwayat nyeri atau kolik di epigastrium dan perut
kanan atas akan disertai tanda sepsis, seperti demam dan menggigil bila terjadi
kolangitis. Biasanya terdapat ikterus dn urin berwarna gelap yang hilang timbul.
Pruritus ditemukan pada ikterus obstruktif yang berkepanjangan dan lebih
banyak ditemukan di daerah tungkai daripada di badan
Pada kolangitis dengan sepsis yang berat, dapat terjadi kegawatan disertai syok
dan gangguan kesadaran.
b. Pemeriksaan Fisik
Batu kandung empedu. Kalau ditemukan kelainan, biasanya berhubungan
dengan komplikasi, seperti kolesistisis akut dengan peritonitis lokal atau umum.
Hidrops kandung empedu, empiema kandung empedu atau pankreatitis.
Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum maksimum di
daerah letak anatomi kandung empedu. Tanda murphy positif bila nyeri tekan
bertambah sewaktu penderita menarik nafas panjang karena kandung empedu yang
meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas.
Batu saluran empedu. Batu saluran empedu tidak menimbulkan gejala atau
tanda dalam fase tenang. Kadang teraba hati agak membesar dan sklera ikterik. Perlu

diketahui bila kadar bilirubin darah kurang dari 3mg/dl, gejala ikterik tidak jelas.
Apabila sumbatan saluran empedu bertambah berat, baru akan timbul ikterik klinis.
Apabila timbul serangan kolangitis yang umumnya disertai dengan obstruksi,
akan ditemukan gejala klinis yang sesuai dengan beratnya kolangitis tersebut.
Kolangitis akut yang ringan sampai sedang biasanya kolangitis bakterial nonpiogenik
yang ditandai dengan trias Charcot, yaitu demam dan menggigil, nyeri di daerah hati
dan ikterus. Apabila terjadi kolangiolitis, biasanya berupa kolangiolitis piognik
intrahepatik, akan timbul lima gejala pentade reynold, berupa tiga gejala tria charcot,
ditambah shock dan kekacauan mental atau penurunan kesadaran sampai koma.
Kelainan batang saluran empedu sering bisa dicurigai atas dasar riwayat
penyakit saja. Nyeri kuadran kanan atas, intoleransi makanan berlemak, demam dan
kedinginan serta riwayat ikterus, urin berwarna gelap dan feses berwarna terang.
Semuanya menggambarkan penyakit saluran empedu. Di samping itu, gambaran fisis
ikterus, nyeri tekan kuadran kanan atas dan massa pada kuadan kanan atas sangat
bermanfaat dalam memusatkan diagnosis pada batang saluran empedu. Tetapi
gambaran ini tidak patognomonik bagi penyakit saluran empedu dan kadang-kadang
bisa timbul sekunder terhadap penyakit dalam sistem organ lain. Lebih lanjut karena
lokasi anatominya, maka batang saluran empedu tidak memberikan kemungkinan
dengan pemeriksaan palpasi luar (kecuali vesika biliaris yang berdistensi). Sehingga
berbeda dari banyak sistem tubuh lain, sebenarnya diagnosis pasti sebagian besar
kasus saluran empedu selalu memerlukan bantuan pemeriksaan laboratorium
dan/atau teknik pembuatan gambar radiografi, sonografi atau radionuklir. Tes
diagnostik ini telah dirancang secara primer untuk mendeteksi adanya batu empedu

dan/atau untuk menentukan adanya obstruksi atau halangan aliran empedu dengan
analisis kimia berbagai fungsi hati dan ekskresi empedu atau dengan visualisasi
langsung anatomi batang saluran empedu.

c. Pemeriksaan Penunjang
Batu empedu yang tidak bergejala biasanya ditemukan secara kebetulan
saat pasien melakukan pemeriksaan kesehatan berkala atau pemeriksaan karena
penyakit lain. Berapa pemeriksaan yang dapat mendeteksi adanya batu empedu
adalah:
1. Laboratorium
Batu empedu yang asimptomatik umumnya tidak menunjukkan kelainan
laboratorik. Apabila terhjadi peradangan akut, dapat terjadi leukositosis. Apabila ada
sindrom Mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan
duktus koledokus oleh batu, dinding yang udem di daerah kantong hartman, dan
penjalaran radang ke dinding yang tertekan tersebut. Kadar bilirubin serum yang
tinggi mungkin disebabkan oleh batu di dalam duktus koledokus. Kadar fosfatase
alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat sedang
setiap kali ada serangan akut.
2. Pencitraan
a. USG
USG mempunyai derajat spesifisitas dan sensitivitas yang tinggi untuk
mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik
maupun ekstrahepatik (de jong). USG merupakan pemindai yang paling baik untuk

batu kantong empedu dengan sensitivitas dan spesifisitas sekitar 95% untuk batu
dengan diameter >2mm dan yang membentuk acoustic shadows. Pada gambaran
USG batu tampak sebagai bayangan eksogenik yang menyengat dan membentuk
accoustic shadow. Adanya sludge atau lumpur empedu di kantung empedu atau batubatu kecil (microlithiasis) akan nampak sebagai lapisan yang ekogenik di dalam
kantung empedu tanpa acoustic shadow. USG juga dapat dipakai untuk menilai
kontraktilitas kantung empedu dan patnsi duktus sistikus, dengan melakukan
pemeriksaan USG saat puasa 8 jam, mengukur besaran kantung empedu kemudian
diulangi lagi setelah pasien diminta makan makanan berlemak (post fat meal).
Berkurangnya ung empedu yang signifikan pada USG post fat meal mengindikasikan
fungsi kontraktilitas dan patensi duktus sistikus baik.
Untuk batu saluran empedu (koledokolitiasis USG hanya mempunyai
sensitifitas 50%. Pelebaran > 6 mm dari duktus koledokus dapat divisualisasikan
dengan USG dengan atau tanpa batu yang nampak di dalamnya.

b. EUS
EUS adalah suatu pemeriksaan USG dimana probe diletakkan diujung
endoskop, sehingga probe tersebut dapat masuk ke dalam duodenum dan melakukan
seteksi USG melalui dinding duodenum atau gaster. Sangat akurat untuk
mendiagnosis batu duktus koledokus dan kelainan-kelainan lain di duktus koledokus
dengan spesifisitas 97%. Beberapa literatur menyatakan EUS sedikit lebih akurat
dibanding ERCP dalam mendiagnosis adanya batu koledokus.
c. Kolesistografi
Pemeriksaan ini mempergunakan kontras dalam bentuk kapsul yang
ditelan oleh pasien. Dapat memperlihatkan gambaran batu di kantung empedu
dengan sensitivitas pemeriksaan 90% dan mengindikasikan bahwa duktus sistikus
tiddak tersumbat. Bila duktus sistikus tersumbat kantung empedu tidak akan dapat
tervisualisasikan. Pemeriksaan ini sudah banyak ditinggalkan setelah ada pemerikaan
pencitraan lain yang lebih baik.

d. ERCP
Pemeriksaan dengan mempergunakan duodenoskop, kontras media
dan fluoroskopi dapat memvisualisasikan gambaran dalam duktus koledokus,
mendeteksi batu yang tampak sebagai bayangan radiolusen. ERCP merupakan

prosedur standar untuk diagnostik batu duktus koledokus dengan sensitivitas dan
spesifisitas 95%. Keuntungan dari prosedur ini dapat sekaligus melakukan drainage
dan pembersihan batu dari duktus koledokus
kolesistektomi tidak lagi

sehingga saat melakukan

diperlukan melakukan eksplorasi kedalam duktus

koledokus. Kerugiannya adalah prosedur ni merupakan tindakan invasif dengan


komplikasi mencapai 2-7% terjadi pankrreatitis, perdarahan, atau kolangitis, dan
keberhasilan prosedur sangat bergantung pada keterampilan operator dan fasilitas
peralatan.

e. MRCP
Merupakan pemeriksaan yang cepat, non invasif yang dapat
memperlihatkan gambaran duktus koledokus dan duktus pankreatikus, setara dengan

ERCP dengan sensitivitas dan spesifisitas 93%. Prosedur ini tidak operator
dependent. Tetapi kerugiannya hanya mampu untuk mendiagnosa, tidak dapat
melakukan tindakan terapeutik sekaligus.
f. CT-Scan Abdomen
Tidak terlalu dianjurkan untuk menegakkan diagnosa batu, tetapi sangat baik
untuk mendiagnosa komplikasi yang terjadi akibat batu atau tindakan mengatasi batu
empedu.

Misalnya

adanya

abses,

perforasi

kantung

empedu

atai

CBD,

pankreatitis,dll. Dengan Spiral CT lebih baik dalam mendiagnosa batu d. Koledokus.

Penatalaksanaan
Penanganan umum dengan istirahat total, diet rendah lemak, jika disertai infeksi
maka perlu diberi antibiotik.Penanganan kolelitiasis dibedakan menjadi dua
yaitupenatalaksanaan non bedah dan bedah. Ada juga yang membagi berdasarkan ada
tidaknya gejala yang menyertai kolelitiasis, yaitu penatalaksanaan pada kolelitiasis
simptomatik dan kolelitiasis yang asimptomatik.
Pada kolelitiasis asimptomatik, penelitian menunjukkan bahwa jarang terjadinya
komplikasi, sehingga pembedahan tidak dianjurkan pada pasien kecuali bila disertai
dengan penyakit diabetes mellitus, AIDS, kalsifikasi kandung empedu dan batu empedu
tunggal berukuran >2cm atau batu multiple dengan total ukuran >2 cm. Kalau ukuran
batu besar, kandung empedu harus cepat diangkat. Laparoskopik kolesistektomi tanpa
ditunda, sebaiknya dalam waktu 24-48 jam setelah diagnosis ditegakkan.

Pada kolelitiasis simptomatik dibagi menjadi dua :


1. Terapi non Pembedahan
Terapi ini efektivitasnya sekitar 50% namun tingkat rekurensinya juga sekitar
50%. Kriteria pemberian terapi ini jika batu diameternya <20mm dan batu <4 batu,
fungsi kandung empedu baik, dan duktus sistikus paten, gambaran batu terapung pada
kolesistografi oral, gambaran kalsifikasi minimal pada pemeriksaan CT Scan. Terapi
yang digunakan pada pasien ini adalah ursodeoxycholic acid 1-3 x 250mg tab.
Pada orang dewasa alternatif terapi non bedah meliputi penghancuran batu
dengan

obat-obatan

seperti

extracorporealshock-wave

chenodeoxycholicatau

lithotripsy

dengan

ursodeoxycholic

pemberian

kontinyu

acid,

obat-obatan,

penanaman obat secara langsung di kandung empedu.


Oral Dissolution Therapy adalah cara penghancuran batu dengan pemberian
obat-obatan oral. Ursodeoxycholicacid lebih dipilih dalam pengobatan daripada
chenodeoxycholickarena
chenodeoxycholic

efek

seperti

samping

terjadinya

yang

lebih

banyak

diare,peningkatan

padapenggunaan

aminotransfrase

dan

hiperkolesterolemia sedang. Pemberian obat-obatan ini dapat menghancurkan batu pada


60% pasien dengan kolelitiasis, terutama batu yang kecil. Angka kekambuhan mencapai
lebih kurang 10%, terjadi dalam 3-5 tahun setelah terapi. Pada anak-anak terapi ini
tidakdianjurkan, kecuali pada anak-anak dengan risiko tinggi untukmenjalani operasi.
Terapi contact dissolution adalah suatu cara untukmenghancurkan batu kolesterol
dengan memasukan suatucairan pelarut ke dalam kandung empedu melalui
kateterperkutaneus melalui hepar atau alternatif lain melalui kateternasobilier. Larutan
yang dipakai adalah methyl terbutyl eter.7

Larutan ini dimasukkan dengan suatu alat khusus ke dalamkandung empedu dan
biasanya mampu menghancurkan batukandung empedu dalam 24 jam. Kelemahan
teknik ini hanyamampu digunakan untuk kasus dengan batu yang kolesterolyang
radiolusen. Larutan yang digunakan dapat menyebabkaniritasi mukosa, sedasi ringan
dan adanya kekambuhanterbentuknya kembali batu kandung empedu.7
Extracorporeal Shock-Wave Lithotripsy (ESWL)menggunakan gelombang
suara dengan amplitudo tinggi untuk menghancurkan batu pada kandung empedu.
Pasien dengan batu yang soliter merupakan indikasi terbaik untukdilaskukan metode ini.
Namun pada anak-anak penggunaan metode ini tidak direkomendasikan, mungkin
karena angka kekambuhan yang tinggi.
2. Terapi Pembedahan
Cholecystectomy sampai saat ini masih merupakan baku emas dalam
penanganan kolelitiasis dengan gejala. Yang menjadi pertanyaan kapan sebaiknya
operasi dilakukan.Penelitian tentang ini didapatkan bahwa pasien dengan gejala nyeri
perut yang berulang merupakan indikasi segera dilakukan operasi karena dapat
menyebabkan komplikasi yang serius.
Prosedur

Cholecystectomy

terdiri

dari

beberapa

jenis

tindakan

yaitu

Laparoscopic Cholecystectomy, open Cholecystectomy, open Cholecystectomy dengan


eksplorasi saluran empedu, open Cholecystectomy dengan eksplorasisaluran empedu
dan

choledochoenterostomy

dan

choledochoenterostomyyang

diikuti

open

Cholecystectomy.
Laparoskopik Kolesistektomi merupakan standar terbaik untuk penanganan
pasien dengan kolelitiasis simtopatik. Indikasi paling umum untuk kolesistektomi

adalah kolik biliaris rekuren, diikuti kolesistitis akut. Operasi dengan prosedur minimal
ini dapat mengurangi nyeri postoperative, lamanya rawat inap, dan pasien dapat
beraktivitas kembali setelah operasi. Presentase mortalitas <0,2% dan hasilnya sama
dengan

open

kolesistektomi.

Presentase

morbiditas

>7%.Kontraindikasi

pada

laparoskopik kolesistektomi adalah adanya riwayat operasi dibagian atas abdomen,


severe obesitas, kehamilan, kolesistitis akut, kolesistektomi laparoskopik telah menjadi
prosedur baku untuk pengangkatan batu kandung empedu simtomatik.Kelebihan yang
diperoleh pasien dengan teknik ini meliputi luka operasi kecil (2-10 mm) sehingga nyeri
pasca bedah minimal.
Bila disertai kolesistitis akut yang baru berlangsung <48 jam kolesistektomi
terbuka atau laparoskopik dapat dilakukan. Kolesistitis yang telah berlangsung >48 jam
diterapi dengan antibiotic sefalosporin generasi ke III selama dua minggu.
Kolesistektomi dilakukan kemudian setelah 6-10 minggu.
Kemudian untuk mencegah terjadinya kolesistitis berulang dan mengurangi
resiko komplikasi maka perlu dikonsulkan ke bagian bedah untuk dilakukan
pengangkatan batu empedu. Dapat dilakukan dengan cara kolesistektomi. Dalam
beberapa kasus untuk menghindari resiko pembedahan maka disarankan menunggu
peradangannya berkurang baru dilakukan pembedahan.

Komplikasi
Komplikasi kolelitiasis dapat berupa kolesistitis akut, yang dapat menimbulkan

perforasi dan peritonitis, kolesistitis kronik, ikterus obstruktif, lolangitis, kolangiolitis


piogenik, fistel bilioenterik, ileus batu empedu, pankreatitis, dan perubahan keganasan.
Batu empedu dari duktus koledokus, dapat masuk ke dalam duodenum melalui
papila vater dan menimbulkan kolik, iritasi, perlukaan mukosa, peradangan, udem, dan
striktur pada papila vater.
9

Prognosis

Untuk penderita dengan ukuran batu yang kecil,pemeriksaan serial USG diperlukan
untuk mengetahui perkembangan dari batu tersebut. Batu bisa menghilang secara
spontan. Untuk batu besar masih merupakan masalah,karena merupakan risiko
terbentuknya karsinoma kandung empedu (ukuran lebih dari 2 cm). Karena risiko
tersebut,dianjurkan untuk mengambil batu tersebut. Pada anak yangmenderita penyakit

hemolitik, pembentukan batu pigmenakan semakin memburuk dengan bertambahnya


umurpenderita, dianjurkan untuk melakukan kolesistektomi.

LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama

: Ny.Samuel Moll

Jenis kelamin

: laki-laki

Umur

: 44 tahun

Pekerjaan

: Petani

Status pernikahan

: Nikah sah

Alamat

: Kalabahi-Alor

Status ekonomi

: JKN

Tanggal masuk RS

: 7 Agustus 2016

Dirawat di ruangan

: Asoka

II. ANAMNESIS
Keluhan utama:
Nyeri ulu hati
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien mengeluhkan nyeri perut sejak + 2 jam SMRS. Pada awalnya nyeri
perut dirasakan pada ulu hati namun lama kelamaan menjalar hingga ke
punggung belakang bagian kanan. Nyeri terasa berat dan seperti tertusuk.
Nyeri pada saat itu dirasakan setelah makan. Namun nyeri pasien berkurang
saat berbaring. 3 jam berikutnya nyeri timbul kembali dan pasien mengalami
mual dan muntah. Pasien tidak mengeluhkan demam, nyeri kepala, maupun
pusing.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien memilki riwayat appendektomi pada bulan Juli 2016 di RSUD Kalabahi dan
riwayat masuk rumah sakit di RSUD Johannes satu minggu yang lalu dengan
diagnosa kholelitiasis.
Riwayat Keluarga :
Tidak ada keluarga yang mempunyai gejala yang sama dengan pasien
Riwayat Pengobatan :
Pasien sedang dalam pengobatan kholelitiasis sebelumnya
Riwayat Kebiasaan :
Alkohol (-) merokok (-), makan makanan berlemak (+).
III. PEMERIKSAAN FISIK
Kesadaran

: Compos Mentis (E4V5M6)

Keadaan umum

: pasien tampak sakit sedang

Tekanan darah

: 120/90 mmHg

Suhu aksila

: 36,70C

Nadi

: 98 x/menit, reguler, kuat angkat

Laju pernapasan

: 19 x/menit

Status generalis

Kulit

: Hitam, tidak tampak ikterik dan sianosis

Kepala

: rambut didominasi warna hitam, keriting, tidak mudah tercabut

Mata

: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (+/+), pupil isokor (+)

Hidung

: tidak ada deformitas, sekret (-), pernapasan cuping hidung (-)

Telinga

: simetris, tidak ada kelainan anatomi, otore (-)

Mulut

: bibir tampak kering, mukosa mulut tampak kering

Leher

: tidak ada pembesaran kelenjar getah bening

Thorax

: bentuk dada normal, pengenbangan dada dekstra = sinistra,

penggunaan otot bantu napas (-).


Cor
Inspeksi

: ictus cordis tidak terlihat

Palpasi

: ictus cordis teraba

Perkusi

: redup

Auskultasi

: bunyi jantung I dan bunyi jantung II reguler, tunggal, murmur (-), gallop

(-)
Pulmo
Inspeksi : pengembangan dada saat inspirasi simetris, otot bantu napas (+)
Palpasi : taktil fremitus D=S
Perkusi : sonor di seluruh lanpangan paru
Auskultasi: suara napas vesikular (+), wheezing (-/-)ronki (-/-)

Abdomen
Inspeksi

: cembung (-), tidak terlihat pelebaran vena di daerah abdomen.

Auskultasi

: BU (+) normal

Palpasi

: supel, lien tidak teraba, hepar tidak diperiksa karena nyeri tekan regio

hipokondrium kanan (+), Murphy Sign (+)


Perkusi

: timpani, nyeri ketok CVA (-/-)

Ekstremitas :
Look : normal
Feel : edema (-/-) CRT < 3 detik, akral hangat.
Move : ROM normal

IV.PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil pemeriksaan DL ( 7 Agustus 2016) :

Bilirubin tanggal 7 Agustus 2016:

Bilirubin Total

: 3.64 mg/dL

Bilirubin Direk

: 2.55 mg/dL

Bilirubin Indirek

: 1.09 mg/dL

USG Abdomen 3 juni 2016:

Hepar : sistem bilier melebar. Terdapat batu pada gall blader dan CBD

Kesimpulan

: Batu CBD dan gallbladder + obstruksi bilier

V. RESUME
Anamnesis
Pasien mengeluhkan nyeri perut kanan atas sejak 5 tahun lalu nyeri seperti ditusuk jarum dan
makin hari makin memberat. Pada awalnya nyeri hanya dirasakan di daerah ulu hati namun lama
kelamaan menjalar hingga ke punggung belakang bagian kanan. Nyeri dirasakan terutama
setelah makan-makanan yang berat atau setelah makan besar. Keluhan ini dianggap hanya
sebagai sakit lambung biasa. Tapi karena semakin memberat pasien akhirnya berobat ke rumah
sakit. Tidak mengalami mual dan muntah.

VI. ASESSMENT
Cholelithiasis
VII TERAPI
Diet lunak rendah lemak
IVFD NaCL: Aminofluid : D5 1:1:1
Inj. Cefotaxime 2x 1 gr iv
Inj. Ketorolac 3% 3 x 30 mg iv
Inj. Ranitidin 2 x1 amp iv
Extra Ondancetron 4 mg bila muntah terus

DAFTAR PUSTAKA
1.

Sjamsuhidajat R D jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. 2nd ed. Jakarta: EGC; 2005.

2.

Guyton A, HAll J. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 11th ed. Rachman LY, Hartanto H,

Novrianti A, Wulandari N, editors. Jakarta: EGC; 2006.


3.

Sabiston D. Buku Ajar Bedah. 1st ed. Ronardy D, editor. Jakarta: EGC; 1994.

Anda mungkin juga menyukai