Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Batu empedu atau gallstones adalah timbunan kristal di dalam kandung empedu,
di dalam saluran empedu atau keduanya. Batu yang ditemukan di dalam kandung empedu
disebut kolelitiasis, sedangkan batu di dalam saluran empedu disebut koledokolitiasis
(Lesmana, 2009).
Kejadian batu empedu atau cholelithiasis di negara - negara industri antara 10 - 15
%. Sedangkan penelitian di Jakarta pada 51 pasien pasien didapatkan batu pigmen pada
73% pasien dan batu kolesterol pada 27% pasien (Lesmana, 2009). Prevalensi tergantung
usia, jenis kelamin, dan etnis. Kasus batu empedu lebih umum ditemukan pada wanita.
Faktor risiko batu empedu memang dikenal dengan singkatan 4-F, yakni Fatty (gemuk),
Fourty (40 tahun), Fertile (subur), dan Female (wanita). Wanita lebih berisiko mengalami
batu empedu karena pengaruh hormon estrogen. Meski wanita dan usia 40 tahun tercatat
sebagai faktor risiko batu empedu, itu tidak berarti bahwa wanita di bawah 40 tahun dan
pria tidak mungkin terkena. Penderita diabetes mellitus, baik wanita maupun pria,
berisiko mengalami komplikasi batu empedu akibat kolesterol tinggi. Bahkan, anak -
anak pun bisa mengalaminya, terutama anak dengan penyakit kolesterol herediter
(Brunner and Suddart, 2001).
Batu empedu biasanya baru menimbulkan gejala dan keluhan bila batu
menyumbat duktus sistikus atau duktus koledokus. Oleh karena itu gambaran klinis
penderita batu empedu bervariasi dari yang berat atau jelas sampai yang ringan atau
samar bahkan seringkali tanpa gejala (silent stone). Dikenal tiga jenis batu empedu yaitu,
batu kolesterol, batu pigmen atau batu bilirubin yang terdiri dari kalsium bilirubinat, serta
batu campuran. Patofisiologi dari terjadinya batu tersebut berbeda-beda. Pengobatan pada
kolelitiasis tergantung pada tingkat dari penyakitnya. Jika tidak ada gejala maka tidak
diperlukan kolesistektomi. Tapi terjadi gejala, maka diperlukan kolesistektomi (Doherty,
2010).

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI

Vesica Fellea
Kandung empedu (Vesica fellea) adalah kantong berbentuk buah advokat yang
terletak pada permukaan visceral hepar dengan panjang sekitar 4-6 cm dan berisi 30-60 ml
empedu. Kandung empedu tertutup seluruhnya oleh peritoneum visceral, tetapi
infundibulum kandung empedu tidak terfiksasi ke permukaan hati oleh lapisan
peritoneum. Apabila kandung empedu mengalami distensi akibat bendungan oleh batu,
bagian infundibulum menonjol seperti kantong yang disebut kantong Hartmann
(Sjamsuhidayat, 2011).
Vesica fellea dibagi menjadi fundus, corpus dan collum. Fundus berbentuk bulat
dan biasanya menonjol dibawah pinggir inferior hepar, dimana fundus berhubungan
dengan dinding anterior abdomen setinggi ujung rawan costa IX kanan. Corpus
bersentuhan dengan permukaan visceral hati dan arahnya keatas, belakang dan kiri.
Collum dilanjutkan sebagai duktus sistikus yang berjalan dalam omentum minus untuk
bersatu dengan sisi kanan duktus hepatikus komunis membentuk duktus koledokus (Snell,
2006).

Duktus
Duktus sistikus panjangnya 1-2 cm dengan diameter 2-3 mm. Dinding lumennya
mengandung katup berbentuk spiral disebut katup spiral Heister, yang memudahkan cairan
empedu masuk kedalam kandung empedu, tetapi menahan aliran keluarnya. Saluran
empedu ekstrahepatik terletak didalam ligamentum hepatoduodenale yang batas atasnya
porta hepatis, sedangkan batas bawahnya distal papilla Vater. Bagian hulu saluran empedu
intrahepatik berpangkal dari saluran paling kecil yang disebut kanalikulus empedu yang
meneruskan curahan sekresi empedu melalui duktus interlobaris ke duktus lobaris dan
selanjutnya ke duktus hepatikus di hilus (Sjamsuhidayat, 2011).
Panjang duktus hepatikus kanan dan kiri masing-masing antara 1-4 cm. Panjang
duktus hepatikus komunis sangat bervariasi, bergantung pada letak muara duktus sistikus.
Duktus koledokus berjalan di belakang duodenum menembus jaringan pankreas dan
dinding duodenum membentuk papilla Vater yang terletak di sebelah medial dinding
2
duodenum. Ujung distalnya dikelilingi oleh otot sfingter Oddi, yang mengatur aliran
empedu ke dalam duodenum. Duktus pankreatikus umumnya bermuara ditempat yang
sama oleh duktus koledokus di dalam papilla Vater, tetapi dapat juga terpisah
(Sjamsuhidayat, 2011).

Pendarahan
Pembuluh arteri kandung empedu adalah a.cystica, cabang a.hepatica kanan. V.
cystica mengalirkan darah langsung ke dalam vena porta. Sejumlah arteri yang sangat
kecil dan vena – vena juga berjalan antara hati dan kandung empedu (Snell, 2006).

Pembuluh limfe dan persarafan


Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang terletak dekat
collum vesica fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan melalui nodi lymphatici
hepaticum sepanjang perjalanan a. hepatica menuju ke nodi lymphatici coeliacus. Saraf
yang menuju ke kandung empedu berasal dari plexus coeliacus (Snell, 2006).

Gambar 1. Gambaran anatomi kandung empedu

B. FISIOLOGI
3
Sekresi Empedu
Empedu dibentuk oleh sel-sel hati ditampung di dalam kanalikuli. Kemudian
disalurkan ke duktus biliaris terminalis yang terletak di dalam septum interlobaris. Saluran
ini kemudian keluar dari hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri. Kemudian
keduanya membentuk duktus biliaris komunis. Pada saluran ini sebelum mencapai
doudenum terdapat cabang ke kandung empedu yaitu duktus sistikus yang berfungsi
sebagai tempat penyimpanan empedu sebelum disalurkan ke duodenum (Snell, 2006).

Empedu melakukan dua fungsi penting yaitu :


a. Empedu memainkan peranan penting dalam pencernaan dan absorpsi lemak karena
asam empedu yang melakukan dua hal antara lain: asam empedu membantu
mengemulsikan partikel-partikel lemak yang besar menjadi partikel yang lebih kecil
dengan bantuan enzim lipase yang disekresikan dalam getah pancreas. Asam empedu
membantu transpor dan absorpsi produk akhir lemak yang dicerna menuju dan melalui
membran mukosa intestinal.
b. Empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa produk buangan
yang penting dari darah, antara lain bilirubin, suatu produk akhir dari penghancuran
hemoglobin, dan kelebihan kolesterol yang di bentuk oleh sel- sel hati (Guyton and
Hall, 2007).

Penyimpanan dan Pemekatan Empedu


Empedu diproduksi oleh sel hepatosit sebanyak 500-1500 ml per hari. Empedu
yang disekresikan secara terus-menerus oleh sel-sel hati disimpan dalam kandung empedu
sampai diperlukan di duodenum. Volume maksimal kandung empedu hanya 30-60 ml.
Meskipun demikian, sekresi empedu selama 12 jam (biasanya sekitar 450 ml) dapat
disimpan dalam kandung empedu karena air, natrium, klorida, dan kebanyakan elektrolit
kecil lainnya secara terus menerus diabsorbsi oleh mukosa kandung empedu, memekatkan
zat-zat empedu lainnya, termasuk garam empedu, kolesterol, lesitin, dan bilirubin.
Kebanyakan absorpsi ini disebabkan oleh transpor aktif natrium melalui epitel kandung
empedu, dan keadaan ini diikuti oleh absorpsi sekunder ion klorida, air, dan kebanyakan
zat-zat terlarut lainnya. Empedu secara normal dipekatkan sebanyak 5 kali lipat dengan
cara ini, sampai maksimal 20 kali lipat (Guyton and Hall, 2007).

4
Pengosongan Kandung Empedu
Pengaliran cairan empedu diatur oleh tiga faktor, yaitu sekresi empedu oleh hati,
kontraksi kandung empedu, dan tahanan sfingter koledokus. Empedu dialirkan sebagai
akibat kontraksi dan pengosongan parsial kandung empedu. Mekanisme ini diawali
dengan masuknya makanan berlemak ke dalam duodenum. Lemak menyebabkan
pengeluaran hormon kolesistokinin dari mukosa duodenum, kemudian masuk kedalam
darah dan menyebabkan kandung empedu berkontraksi. Pada saat yang sama, otot polos
yang terletak pada ujung distal duktus koledokus dan sfingter Oddi mengalami relaksasi,
sehingga memungkinkan masuknya empedu yang kental ke dalam duodenum (Guyton and
Hall, 2007).

Proses koordinasi aktifitas ini disebabkan oleh dua hal yaitu :


1) Hormonal :
Zat lemak yang terdapat pada makanan setelah sampai duodenum akan merangsang
mukosa sehingga hormon kolesistokinin akan terlepas. Hormon ini yang paling besar
peranannya dalam kontraksi kandung empedu.
2) Neurogen :
 Stimulasi vagal yang berhubungan dengan fase cephalik dari sekresi cairan
lambung atau dengan refleks intestino-intestinal akan menyebabkan kontraksi dari
kandung empedu.
 Rangsangan langsung dari makanan yang masuk sampai ke duodenum dan
mengenai sfingter Oddi. Sehingga pada keadaan dimana kandung empedu
lumpuh, cairan empedu akan tetap keluar walaupun sedikit.
Secara normal pengosongan kandung empedu secara menyeluruh berlangsung
selama sekitar 1 jam. Pengosongan empedu yang lambat akibat gangguan neurologis
maupun hormonal memegang peran penting dalam perkembangan inti batu (Guyton and
Hall, 2007) .

5
Gambar 2. a. Kontraksi sfingter Oddi dan pengisian empedu ke kandung empedu. 2b.
Relaksasi sfingter Oddi dan pengosongan kandung empedu.

Komposisi Cairan Empedu

Empedu Empedu
Komponen
Hati Kandung Empedu
Air 97,5 gr/dl 92 gr/dl
Garam Empedu 1,1 gr/dl 6 gr/dl
Bilirubin 0,04 gr/dl 0,3 gr/dl
Kolesterol 0,1 gr/dl 0,3 – 0,9 gr/dl
Asam Lemak 0,12 gr/dl 0,3 – 1,2 gr/dl
Lecithin 0,04 gr/dl 0,3 gr/dl
Na+ 145 mEq/L  130 mEq/L 
K+ 5 mEq/L  12 mEq/L 
Ca+ 5 mEq/L  23 mEq/L 
Cl- 100 mEq/L  25 mEq/L 
HCO3- 28 mEq/L  10 mEq/L 
 
Garam empedu, lesitin, dan kolesterol merupakan komponen terbesar (90%) cairan
empedu. Sisanya adalah bilirubin, asam lemak, dan garam anorganik (Sjamsuhidayat,
2011).

6
Garam Empedu
Fungsi garam empedu adalah :
 Menurunkan tegangan permukaan dari partikel lemak yang terdapat dalam makanan,
sehingga partikel lemak yang besar dapat dipecah menjadi partikel-partikel kecil
untuk dapat dicerna lebih lanjut.
 Membantu absorbsi asam lemak, monoglycerid, kolesterol dan vitamin yang larut
dalam lemak (Guyton and Hall, 2007).
Prekursor dari garam empedu adalah kolesterol. Garam empedu yang masuk ke
dalam lumen usus oleh kerja kuman-kuman usus dirubah menjadi deoxycholat dan
lithocholat. Sebagian besar (90%) garam empedu dalam lumen usus akan diabsorbsi
kembali oleh mukosa usus sedangkan sisanya akan dikeluarkan bersama feses dalam
bentuk lithocholat. Absorbsi garam empedu tersebut terjadi disegmen distal dari ilium.
Sehingga bila ada gangguan pada daerah tersebut misalnya oleh karena radang atau
reseksi maka absorbsi garam empedu akan terganggu (Guyton and Hall, 2007).

Bilirubin
Hemoglobin yang terlepas dari eritrosit akan pecah menjadi heme dan globin.
Heme bersatu membentuk rantai dengan empat inti pyrole menjadi biliverdin yang segera
berubah menjadi bilirubin bebas. Zat ini di dalam plasma terikat erat oleh albumin.
Sebagian bilirubin bebas diikat oleh zat lain (konjugasi) yaitu 80 % oleh glukuronide.
Bila terjadi pemecahan sel darah merah berlebihan misalnya pada malaria maka bilirubin
yang terbentuk sangat banyak (Guyton and Hall, 2007).

C. DEFINISI

Kolelitiasis adalah batu empedu, gallstones, biliary calculus. Batu empedu


merupakan gabungan dari beberapa unsur yang membentuk suatu material mirip batu
yang dapat ditemukan dalam kandung empedu (kolelitiasis) atau di dalam saluran
empedu (koledokolitiasis) atau pada kedua-duanya (Doherty, 2010).

7
Gambar 3. Batu dalam kandung empedu

D. EPIDEMIOLOGI

Insiden kolelitiasis di negara barat adalah 20% sedangkan angka kejadian di


Indonesia tidak berbeda jauh dengan negara lain di Asia Tenggara. Peningkatan insiden
batu empedu dapat dilihat dalam kelompok resiko tinggi yang disebut ”4 F” : female
(wanita), fertile (subur), khususnya selama kehamilan, fat (gemuk), dan forty (empat
puluh tahun) (Sjamsuhidayat, 2011).
Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun,
semakin banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan
untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain :

1. Jenis Kelamin.
Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan
pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap peningkatan
ekskresi kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang menigkatkan kadar
esterogen juga meningkatkan resiko terkena kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi
dan terapi hormon (esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu
dan penurunan aktivitas pengosongan kandung empedu.

8
2. Usia.
Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Orang
dengan usia > 40 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan
dengan orang degan usia yang lebih muda.
3. Berat badan (BMI).
Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi untuk
terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol dalam
kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurangi garam empedu serta mengurangi
kontraksi/ pengosongan kandung empedu.
4. Makanan.
Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah operasi
gatrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan
dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.
5. Riwayat keluarga.
Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar dibanding
dengan tanpa riwayat keluarga.
6. Aktifitas fisik.
Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya kolelitiasis.
Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi.
7. Penyakit usus halus.
Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan kolelitiasis adalah crohn disease,
trauma, dan ileus paralitik.
8. Nutrisi intravena jangka lama.
Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi
untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan / nutrisi yang melewati intestinal.
Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung empedu
(Sjamsuhidayat, 2011).

E. ETIOLOGI
Etiologi batu empedu dan saluran empedu masih belum diketahui dengan
sempurna, akan tetapi faktor predisposisi yang paling penting tampaknya adalah
gangguan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis empedu
dan infeksi kandung empedu (Price and Wilson, 2006).

9
a. Perubahan komposisi empedu kemungkinan merupakan faktor terpenting dalam
pembentukan batu empedu karena hati penderita batu empedu kolesterol, mengekresi
empedu yang sangat jenuh dengan kolesterol. Kolesterol yang berlebihan ini
mengendap dalam kandung empedu (dengan cara yang belum diketahui sepenuhnya)
untuk membentuk batu empedu (Price and Wilson, 2006). Sedangkan perubahan
komposisi lainnya yaitu yang menyebabkan batu pigmen adalah terjadi pada
penderita dengan high heme turnover. Penyakit hemolisis yang berkaitan dengan batu
pigmen adalah sickle cell anemia, hereditary spherocytosis, dan beta-thalasemia
(Sjamsuhidayat, 2011). Selain itu terdapat juga batu campuran, batu ini merupakan
campuran dari kolesterol dan kalsium bilirubinat. Batu ini sering ditemukan hampir
sekitar 90% pada penderita kolelitiasis (Townsend, Beauchamp, 2004).
b. Stasis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan supersaturasi progresif,
perubahan komposisi kimia, dan pengendapan unsur-unsur tersebut. Gangguan
kontraksi kandung empedu atau spasme spingter Oddi, atau keduanya dapat
menyebabkan stasis. Faktor hormonal (hormon kolesistokinin dan sekretin) dapat
dikaitkan dengan keterlambatan pengosongan kandung empedu (Price and Wilson,
2006).
c. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan dalam pembentukan batu.
Mukus meningkatakn viskositas empedu dan unsur sel atau bakteri dapat berperan
sebagai pusat presipitasi/pengendapan. Infeksi lebih timbul akibat dari terbentuknya
batu dibanding panyebab terbentuknya batu (Price and Wilson, 2006).

F. PATOFISIOLOGI
Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang pada
saluran empedu lainnya dan diklasifikasikan berdasarkan bahan pembentuknya. Etiologi
batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna, akan tetapi, faktor predisposisi
yang paling penting tampaknya adalah gangguan metabolisme yang disebabkan oleh
perubahan susunan empedu, stasis empedu dan infeksi kandung empedu. Perubahan
susunan empedu mungkin merupakan yang paling penting pada pembentukan batu
empedu, karena terjadi pengendapan kolesterol dalam kandung empedu. Stasis empedu
dalam kandung empedu dapat meningkatkan supersaturasi progesif, perubahan susunan
kimia, dan pengendapan unsur tersebut. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat

10
berperan sebagian dalam pembentukan batu, melalui peningkatan dan deskuamasi sel dan
pembentukan mukus (Townsend, Beauchamp, 2004).
Sekresi kolesterol berhubungan dengan pembentukan batu empedu. Pada kondisi
yang abnormal, kolesterol dapat mengendap, menyebabkan pembentukan batu empedu.
Berbagai kondisi yang dapat menyebabkan pengendapan kolesterol adalah : terlalu
banyak absorbsi air dari empedu, terlalu banyak absorbsi garam-garam empedu dan
lesitin dari empedu, terlalu banyak sekresi kolesterol dalam empedu. Jumlah kolesterol
dalam empedu sebagian ditentukan oleh jumlah lemak yang dimakan karena sel-sel
hepatik mensintesis kolesterol sebagai salah satu produk metabolisme lemak dalam
tubuh. Untuk alasan inilah, orang yang mendapat diet tinggi lemak dalam waktu beberapa
tahun, akan mudah mengalami perkembangan batu empedu (Townsend, Beauchamp,
2004).
Batu kandung empedu dapat berpindah kedalam duktus koledokus melalui duktus
sistikus. Didalam perjalanannya melalui duktus sistikus, batu tersebut dapat
menimbulkan sumbatan aliran empedu secara parsial atau komplet sehingga
menimbulkan gejalah kolik empedu. Kalau batu terhenti di dalam duktus sistikus karena
diameternya terlalu besar atau tertahan oleh striktur, batu akan tetap berada disana
sebagai batu duktus sistikus (Townsend, Beauchamp, 2004).

G. MANIFESTASI KLINIS
a. Asimtomatik
Batu yang terdapat dalam kandung empedu sering tidak memberikan gejala
(asimtomatik). Dapat memberikan gejala nyeri akut akibat kolesistitis, nyeri bilier, nyeri
abdomen kronik berulang ataupun dispepsia, mual. Studi perjalanan penyakit sampai
50% dari semua pasien dengan batu kandung empedu, tanpa mempertimbangkan
jenisnya, adalah asimtomatik. Kurang dari 25 % dari pasien yang benar-benar
mempunyai batu empedu asimtomatik akan merasakan gejalanya yang membutuhkan
intervensi setelah periode waktu 5 tahun. Tidak ada data yang merekomendasikan
kolesistektomi rutin dalam semua pasien dengan batu empedu asimtomatik (Silbernagl,
Lang, 2000).

11
b. Simtomatik
Keluhan utamanya berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas. Rasa
nyeri lainnya adalah kolik bilier yang berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru
menghilang beberapa jam kemudian. Kolik biliaris, nyeri pascaprandial kuadran kanan
atas, biasanya dipresipitasi oleh makanan berlemak, terjadi 30-60 menit setelah makan,
berakhir setelah beberapa jam dan kemudian pulih, disebabkan oleh batu empedu, dirujuk
sebagai kolik biliaris. Mual dan muntah sering kali berkaitan dengan serangan kolik
biliaris (Sjamsuhidayat, 2011).

H. DIAGNOSIS
a. Anamnesis
Setengah sampai dua pertiga penderita kolelitiasis adalah asimtomatis. Keluhan
yang mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang disertai intoleran terhadap makanan
berlemak. Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa nyeri di daerah epigastrium,
kuadran kanan atas atau perikomdrium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang
mungkin berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam
kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan tetapi pada 30% kasus timbul
tiba-tiba.
Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak bahu,
disertai mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri
berkurang setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri
menetap dan bertambah pada waktu menarik nafas dalam (Heuman, 2011).

b. Pemeriksaan Fisik
Batu kandung empedu
Apabila ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan komplikasi, seperti
kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrop kandung empedu, empiema
kandung empedu, atau pankretitis. Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan
punktum maksimum didaerah letak anatomis kandung empedu. Tanda Murphy positif
apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik nafas panjang karena kandung
empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti
menarik nafas (Heuman, 2011).

12
Batu saluran empedu
Batu saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang. Kadang teraba
hati dan sklera ikterik. Perlu diktahui bahwa bila kadar bilirubin darah kurang dari 3
mg/dl, gejal ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan saluran empedu bertambah berat, akan
timbul ikterus klinis (Heuman, 2011).

c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan kelainan
pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi
leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi yaitu apabila terdapatnya batu pada duktus
sistikus menyebabkan inflamasi dan fibrosis disekitar duktus koledokus sehingga
menekan duktus koledokus akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum (Beltran,
2012). Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di dalam duktus
koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya
meningkat sedang setiap setiap kali terjadi serangan akut (Doherty, 2010).
Alanin aminotransferase ( SGOT = Serum Glutamat – Oksalat Transaminase )
dan aspartat aminotransferase ( SGPT = Serum Glutamat – Piruvat Transaminase )
merupakan enzym yang disintesis dalam konsentrasi tinggi di dalam hepatosit.
Peningkatan serum sering menunjukkan kelainan sel hati, tapi bisa timbul bersamaan
dengan penyakit saluran empedu terutama obstruksi saluran empedu (Doherty, 2010).
Fosfatase alkali disintesis dalam sel epitel saluran empedu. Kadar yang sangat
tinggi, sangat menggambarkan obstruksi saluran empedu karena sel ductus meningkatkan
sintesis enzym ini.
Pemeriksaan fungsi hepar menunjukkan tanda-tanda obstruksi. Ikterik dan alkali
fosfatase pada umumnya meningkat dan bertahan lebih lama dibandingkan dengan
peningkatan kadar bilirubin.
Waktu protombin biasanya akan memanjang karena absorbsi vitamin K
tergantung dari cairan empedu yang masuk ke usus halus, akan tetapi hal ini dapat diatasi
dengan pemberian vitamin K secara parenteral (Doherty, 2010).

Pemeriksaan radiologis
13
1. Foto polos Abdomen
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena
hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung
empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan
foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops,
kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas
yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di fleksura hepatica (Heuman, 2011).

Gambar 4. Foto rongent pada kolelitiasis.

2. Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk
mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun
ekstrahepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal
karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu
yang terdapat pada duktus koledokus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh
udara di dalam usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung
empedu yang ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi biasa (Heuman, 2011).

14
Gambar 5. Kolelitiasis pada USG

3. Kolesistografi
Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif
murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat
dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus
paralitik, muntah, kadar bilirubun serum diatas 2 mg/dl, okstruksi pilorus, dan hepatitis
karena pada keadaan-keadaan tersebut kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan
kolesitografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung empedu (Heuman,
2011).

4. Kolangiografi transhepatik perkutan


Merupakan cara yang baik untuk mengetahui adanya obstruksi dibagian atas kalau
salurannya melebar, meskipun saluran yang ukurannya normal dapat dimasuki oleh jarum
baru yang "kecil sekali". Gangguan pembekuan, asites dan kolangitis merupakan
kontraindikasi (Heuman, 2011).

5. Kolangiopankreatografi endoskopi retrograde (ERCP = Endoscopic retrograde


kolangiopankreatograft)
Kanulasi duktus koledokus dan/atau duktus pankreatikus melalui ampula Vater
dapat diselesaikan secara endoskopis. Lesi obstruksi bagian bawah dapat diperagakan.
Pada beberapa kasus tertentu dapat diperoleh informasi tambahan yang berharga,
misalnya tumor ampula, erosis batu melalu ampula, karsinoma yang menembus
duodenum dan sebagainya) Tehnik ini lebih sulit dan lebih mahal dibandingkan
kolangiografi transhepatik. Kolangitis dan pankreatitis merupakan komplikasi yang
mungkin terjadi. Pasien yang salurannya tak melebar atau mempunyai kontraindikasi
sebaiknya dilakukan kolangiografi transhepatik, ERCP semakin menarik karena adanya
potensi yang baik untuk mengobati penyebab penyumbatan tersebut (misalnya:
sfingterotomi untuk jenis batu duktus koledokus yang tertinggal) (Heuman, 2011).

6. CT scan
CT scan dapat memperlihatkan saluran empedu yang melebar, massa hepatik dan
massa retroperitoneal (misalnya, massa pankreatik). Bila hasil ultrasound masih
meragukan, maka biasanya dilakukan CT scan. (Heuman, 2011).
15
I. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan dari batu empedu tergantung dari stadium penyakit. Saat batu
tersebut menjadi simptomatik maka intervensi operatif diperlukan. Biasanya yang dipakai
ialah kolesistektomi. Akan tetapi, pengobatan batu dapat dimulai dari obat-obatan yang
digunakan tunggal atau kombinasi yaitu terapi oral garam empedu (asam
ursodeoksikolat), dilusi kontak dan ESWL. Terapi tersebut akan berprognosis baik
apabila batu kecil < 1 cm dengan tinggi kandungan kolesterol.

a. Konservatif
Penanganan operasi pada batu empedu asimptomatik tanpa komplikasi tidak
dianjurkan. Indikasi kolesistektomi pada batu empedu asimptomatik ialah
- Pasien dengan batu empedu > 2cm
- Pasien dengan kandung empedu yang kalsifikasi yang resikko tinggi
keganasan
- Pasien dengan cedera medula spinalis yang berefek ke perut (Heuman,
2011).
Disolusi batu empedu
Agen disolusi yang digunakan ialah asam ursodioksikolat. Pada manusia,
penggunaan jangka panjang dari agen ini akan mengurangi saturasi kolesterol pada
empedu yaitu dengan mengurangi sekresi kolesterol dan efek deterjen dari asam empedu
pada kandung empedu. Desaturasi dari empedu mencegah kristalisasi.
Dosis lazim yang digunakan ialah 8-10 mg/kgBB terbagi dalam 2-3 dosis harian
akan mempercepat disolusi. Intervensi ini membutuhkan waktu 6-18 bulan dan berhasil
bila batu yang terdapat ialah kecil dan murni batu kolesterol (Klingensmith, Chen, 2008).

Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)


Litotripsi gelombang elektrosyok meskipun sangat populer beberapa tahun yang
lalu, analisis biaya-manfaat pada saat ini hanya terbatas untuk pasien yang benar-benar
telah dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini. Efektifitas ESWL memerlukan terapi
adjuvant asam ursodeoksilat (Klingensmith, Chen, 2008).

b. Operatif

16
Open kolesistektomi
Operasi ini merupakan standar untuk penanganan pasien dengan batu empedu
simtomatik. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris
rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut. Komplikasi yang berat jarang terjadi, meliputi
trauma duktus empedu, perdarahan, dan infeksi. Data baru-baru ini menunjukkan
mortalitas pada pasien yang menjalani kolesistektomi terbuka pada tahun 1989, angka
kematian secara keseluruhan 0,17 %, pada pasien kurang dari 65 tahun angka kematian
0,03 % sedangkan pada penderita diatas 65 tahun angka kematian mencapai 0,5 %
(Doherty, 2010).

Kolesistektomi laparoskopik
Kelebihan tindakan ini meliputi nyeri pasca operasi lebih minimal, pemulihan
lebih cepat, hasil kosmetik lebih baik, menyingkatkan perawatan di rumah sakit dan biaya
yang lebih murah. Indikasi pembedahan batu kandung empedu adalah bila simptomatik,
adanya keluhan bilier yang mengganggu atau semakin sering atau berat. Indikasi lain
adalah yang menandakan stadium lanjut, atau kandung empedu dengan batu besar,
berdiameter lebih dari 2 cm, sebab lebih sering menimbulkan kolesistitis akut dibanding
dengan batu yang lebih kecil. Kontra indikasi absolut serupa dengan tindakan terbuka
yaitu tidak dapat mentoleransi tindakan anestesi umum dan koagulopati yang tidak dapat
dikoreksi. Komplikasi yang terjadi berupa perdarahan, pankreatitis, bocor stump duktus
sistikus dan trauma duktus biliaris. Resiko trauma duktus biliaris sering dibicarakan,
namun umumnya berkisar antara 0,5–1%. Dengan menggunakan teknik laparoskopi
kualitas pemulihan lebih baik, tidak terdapat nyeri, kembali menjalankan aktifitas normal
dalam 10 hari, cepat bekerja kembali, dan semua otot abdomen utuh sehingga dapat
digunakan untuk aktifitas olahraga (Hunter, 2007).
Beberapa pasien dapat mengalami gejala sindrom pasca kolesistektomi seperti
dispepsia, diare yang kemungkinan disebabkan oleh sekresi berlebihan dari garam
empedu, nyeri bilier yang disebabkan oleh spasme sfingter oddi (Engram, 2009).

c. Diet

17
Prinsip perawatan dietetik pada penderita batu kandung empedu adalah memberi
istirahat pada kandung empedu dan mengurangi rasa sakit, juga untuk memperkecil
kemungkinan batu memasuki duktus sistikus. Di samping itu untuk memberi makanan
secukupnya untuk memelihara berat badan dan keseimbangan cairan tubuh. Pembatasan
kalori juga perlu dilakukan karena pada umumnya batu kandung empedu tergolong juga
ke dalam penderita obesitas. Bahan makanan yang dapat menyebabkan gangguan
pencernaan makanan juga harus dihindarkan (Lesmana, 2009).
Kadang-kadang penderita batu kandung empedu sering menderita konstipasi,
maka diet dengan menggunakan buah-buahan dan sayuran yang tidak mengeluarkan gas
akan sangat membantu.
Syarat-syarat diet pada penyakit kandung empedu yaitu :
- Rendah lemak dan lemak diberikan dalam bentuk yang mudah dicerna.
- Cukup kalori, protein dan hidrat arang. Bila terlalu gemuk jumlah kalori dikurangi.
- Cukup mineral dan vitamin, terutama vitamin yang larut dalam lemak.
- Tinggi cairan untuk mencegah dehidrasi (Lesmana, 2009).

d. Penatalaksanaan pada Cholecystitis, Cholecystolithiasis,


Choledocholithiasis, dan Cholangitis
1. Cholecystitis
Cholecystitis adalah peradangan kandung empedu. Penatalaksanaan cholecystitis
bergantung pada beratnya kondisi dan ada atau tidaknya komplikasi. Kasus yang tidak
berat sering kali tidak memerlukan tindakan operasi, namun pada kasus yang berat
memerlukan pendekatan pembedahan. Pada pasien yang kondisinya tidak stabil,
percutaneous transhepatic cholecystostomy drainage sangat sesuai. Antibiotik dapat
diberikan untuk mengatasi infeksi. Terapi definitif melibatkan cholecystectomy atau
penempatan perangkat drainase; oleh karena itu diperlukan konsultasi dengan ahli bedah.
Konsultasi dengan ahli gastroenterologi untuk mempertimbangkan terapi ERCP yang
sesuai jika ditemukan juga choledocholithiasis.
Pasien yang menderita cholecystitis tidak diperkenankan menerima pengobatan
dan diet apapun melalui oral. Tetapi pada cholecystitis yang tidak berat, cairan dan diet
rendah lemak dapat diberikan sampai tiba waktu untuk dilakukannya operasi (Bloom,
2011).

18
Terapi Initial dan Antibiotik
Pada cholecystitis akut terapi initial termasuk penggunaan kateter, rehidrasi
melalui intravena, koreksi elektrolit, analgesik, dan pemberian antibiotik melalui
intravena. Untuk kasus yang sedang, terapi antibiotik dosis tunggal spectrum luas cukup
adekuat. Beberapa pendapat lain pemberiannya juga dapat diikuti dengan:
 The Sanford Guide merekomendasikan penggunaan piperacillin/tazobactam (3.375 g
IV setiap 6 jam atau 4.5 g IV setiap 8 jam), ampicillin/sulbactam (3 g IV setiap 6
jam), atau meropenem (1 g IV setiap 8 jam). Untuk kasus yang berat, the Sanford
Guide merekomendasikan imipenem/cilastatin (500 mg IV setiap 6 jam).
 Regimen alternatif menggunakan cephalosporin generasi ketiga ditambah
metronidazole (1 g IV loading dosis diikuti 500 mg IV setiap 6 jam).
 Bakteri yang sering pada cholecystitis yaitu Escherichia coli, Bacteroides fragilis,
Klebsiella, Enterococcus, dan Pseudomonas sp.
 Gejala muntah dapat diatasi dengan pemberian antiemetic dan nasogastric suction
 Oleh karena proses yang cepat pada akut acalculous cholecystitis menjadi ganggren
dan perforasi, pengenalan dan intervensi dini sangat diperlukan.
 Pengobatan secara suportif harus diberikan termasuk restorasi dari stabilitas
hemodinamik dan antibiotik untuk gram negatif flora enteric dan anaerob jika
terdapat kecurigaan adanya infeksi pada saluran empedu.
 Stimulasi untuk kontraksi kandung empedu dapat digunakan kolesistokinin secara
intravena (Bloom, 2011).

Konservatif

Pengobatan rawat jalan sesuai untuk pasien dengan kasus cholecystitis yang tidak
berat. Pengobatan dengan antibiotik, analgetik, dan terapi definitif dengan pengawasan.
Medikasi yang dapat diberikan yaitu:

 Antibiotik profilaksis dengan levofloxacin (500 mg peroral setiap hari) dan


metronidazole (500 mg peroral dua kali sehari).
 Antiemetik, seperti oral/rectal promethazine atau prochlorperazine, untuk kontrol rasa
mual and untuk mencegah kekurangan cairan dan elektrolit.

19
 Analgetik, seperti oral oxycodone/acetaminophen (Bloom, 2011).

2. Cholecystolithiasis
Cholecystolithiasis adalah batu pada duktus sistikus. Pengangkatan batu pada
duktus sistikus dilakukan dengan menggunakan single-incision laparoscopic surgery
(SILS) untuk kolesistektomi melalui insisi trans-umbilical, dengan menarik duktus
sistikus keluar sepanjang vena cavernous, kemudian mengamankan duktus sistikus dari
Calot’s triangle dan melakukan ligasi arteri sistikus (Shirasu, 2013).

3. Choledocolithiasis
Choledocolithiasis adalah batu saluran empedu terletak pada duktus koledokus.
Operatif dan Non Operatif
Modalitas yang dapat digunakan dalam terapi non-surgical adalah ERCP dan
prosedurnya bernama sphincterotomy, dimana operasinya adalah untuk memotong otot
pada duktus komunis agar batu dapat dialirkan atau dapat dilakukan pengangkatan batu
(Vorvick, 2011), percutaneous extraction, dan ESWL (Extracorporeal Shock Wave
Litotripsy). Sedangkan terapi surgical adalah open choledochotomy, transcystic
exploration, drainage procedures, cholecystectomy (Dandan, 2007).

Medikamentosa
1. Antibiotik—sebagai profilaksis ataupun terapi bila terbukti terdapat infeksi
2. Agen H-2 antagonist, sukralfat, dan proton pump inhibitor—profilaksis terhadap stress
ulcer (Dandan, 2007).

4. Cholangitis
Kolangitis akut merupakan superimposa infeksi bakteri yang terjadi pada
obstruksi saluran bilier, terutama yang ditimbulkan oleh batu empedu, namun dapat pula
ditimbulkan oleh neoplasma ataupun striktur. Tindakan utama adalah melancarkan aliran
bilier untuk mengatasi infeksi serta untuk memperbaiki fungsi hati, dan pemberian
antibiotika yang adekuat.

Operatif dan Non Operatif

20
Melancarkan aliran bilier bisa dilakukan secara operatif atau non operatif yakni
per endoskopi atau perkutan bilamana memiliki fasilitas tersebut. Ekstraksi batu dengan
endoskopi sesudah dilakukan sphincterotomy dilakukan langsung sesudah dilakukan
kolangiografi. Bilamana usaha pengeluaran batu empedu gagal, mutlak pula dipasang
pipa nasobilier untuk sementara sambil menunggu tindakan yang definitif (Nurman,
1999).

Antibiotika
Pemilihan antibiotika, mikroorganisme yang paling sering sebagai penyebab
adalah E. Coli dan Klebsiella, diikuti oleh Streptococcus faecalis. Pseudomonas
aeroginosa lebih jarang ditemukan kecuali pada infeksi iatrogenik, walaupun demikian
antibiotika yang dipilih perlu yang dapat mencakup kuman ini. Walaupun kuman anaerob
lebih jarang, kemungkinan bahwa kuman ini bertindak sinergis dengan kuman aerob
menyebabkan bahwa pada pasien yang sakitnya sangat berat, perlu diikutsertakan
antibiotika yang efektif terhadapnya. Tidak ada antibiotika tunggal yang mampu
mencakup semua mikroorganisme, walaupun beberapa antibiotika seperti sefalosporin
dan kuinolon memiliki spectrum luas. Kombinasi aminoglikosida dan ampisilin pada
waktu yang lalu telah direkomendasikan karena dapat mencakup kuman tersebut di atas
selain harganya tidak mahal. Kerugian kombinasi adalah bahwa aminoglikosida bersifat
nefrotoksik. Generasi ketiga sefalosporin telah dipakai dengan berhasil pada kolangitis
akut karena dieksresikan melalui empedu. Terapi tunggal dengan cefoperazon telah
terbukti lebih baik daripada kombinasi ampisilin dan tobramisin, juga septasidin.
Golongan karbapenem yang baru yakni imipenem yang memiliki spektrum luas juga
berpotensi baik. Obat ini diberikan bersama dengan silastatin. Siprofloksasin dari
golongan kuinolon telah digunakan pada sepsis bilier dan memiliki spectrum yang luas;
obat ini diekskresi melalui ginjal dan juga penetrasi ke empedu. Bilamana dikombinasi
dengan metronidasol untuk mencakup flora anaerob, akan sangat efektif. Untuk
pencegahan secara oral terhadap kolangitis rekuren dapat dipilih terapi tunggal dengan
ampisilin, trimetoprin atau sefalosporin oral seperti sefaleksin (Nurman, 1999).

21
J. KOMPLIKASI
a) Kolesistitis Akut
Kolesistitis akut adalah reaksi inflamasi akut dinding kandung empedu disertai
keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan, dan demam (Lesmana, 2009). Hampir semua
kolesistitis akut terjadi akibat sumbatan duktus sistikus oleh batu yang terjebak dalam
kantong Hartmann. Komplikasi ini terdapat pada lima persen penderita kolesistitis.
Kolesistitis akut tanpa batu empedu disebut kolesistitis akalkulosa, dapat ditemukan
pasca bedah.
Pada kolesistitis akut, faktor trauma mukosa kandung empedu oleh batu dapat
menyebabkan pelepasan fosfolipase yang mengubah lesitin di dalam empedu menjadi
lisolesitin, yaitu senyawa toksik yang memperberat proses peradangan. Pada awal
penyakit, peran bakteria agaknya kecil saja meskipun kemudian dapat terjadi supurasi
(nanah/pernanahan). Komplikasi kolesistitis akut adalah empiema, gangrene, dan
perforasi.
Perjalanan kolesistitis akut bergantung pada apakah obstruksi dapat hilang sendiri
atau tidak, derajat infeksi sekunder, usia penderita, dan penyakit lain yang memperberat
keadaan, seperti diabetes mellitus.
Perubahan patologik di dalam kandung empedu mengikuti pola yang khas. Proses
awal berupa udem subserosa, lalu perdarahan mukosa dan bercak-bercak nekrosis dan
akhirnya fibrosis. Gangren dan perforasi dapat terjadi pada hari ketiga setelah serangan
penyakit, tetapi kebanyakan pada minggu kedua. Pada penderita yang mengalami resolusi
spontan, tanda radang akut baru menghilang setelah empat minggu, tetapi sampai
berbulan-bulan kemudian sisa peradangan dan nanah masih tetap ada. Hampir 90%
kandung empedu yang diangkat dengan kolesistektomi menunjukan jaringan parut lama,
yang berarti pada masa lalu pernah menderita kolesistitis, tetapi umumnya penderita
menyangkal tidak pernah merasa ada keluhan (Sjamsuhidajat, 2011).

b) Kolesistitis Kronik
Kolesistitis kronik adalah peradangan menahun dari dinding kandung empedu,
yang ditandai dengan serangan berulang dari nyeri perut yang tajam dan hebat.
Kolesistitis kronik merupakan kelainan kandung empedu yang paling umum ditemukan.
Penyebabnya hampir selalu batu empedu. Penentu penting untuk membuat diagnosa
adalah kolik bilier, dispepsia, dan ditemukannya batu empedu pada pemeriksaan

22
ultrasonografi atau kolesistografi oral. Keluhan dispepsia dicetuskan oleh makanan
“berat” seperti gorengan, yang mengandung banyak lemak, tetapi dapat juga timbul
setelah makan bermacam jenis kol. Kolik bilier yang khas dapat juga dicetuskan oleh
makanan berlemak dan khas kolik bilier dirasakan di perut kanan atas (Sjamsuhidajat,
2011).

c) Kolangitis Akut
Kolangitis akut adalah infeksi bakterial yang akut dari saluran empedu yang
tersumbat baik secara parsial atau total; sumbatan dapat disebabkan oleh penyebab dari
dalam lumen saluran empedu misalnya batu koledokus, askaris yang memasuki duktus
koledokus atau dari luar lumen misalnya karsinoma caput pankreas yang menekan duktus
koledokus, atau dari dinding saluran empedu misalnya kolangio-karsinoma atau striktur
saluran empedu.
Kolangitis akut dapat terjadi pada pasien dengan batu saluran empedu karena
adanya obstruksi dan invasi bakteri empedu. Gambaran klinis kolangitis akut yang klasik
adalah trias charcot yang meliputi nyeri abdomen kuadran kanan atas, ikterus dan demam
yang didapatkan pada 50% kasus. Kolangitis akut supuratif adalah trias charcot yang
disertai hipotensi, oliguria, dan gangguan kesadaran.
Spektrum dari kolangitis akut mulai dari yang ringan, yang akan membaik sendiri,
sampai dengan keadaan yang membahayakan jiwa di mana dibutuhkan drainase darurat.
Penatalaksanaan kolangitis akut ditujukan untuk: a) Memperbaiki keadaan umum pasien
dengan pemberian cairan dan elektrolit serta koreksi gangguan elektrolit, b) Terapi
antibiotic parenteral, dan c) Drainase empedu yang tersumbat. Beberapa studi acak
tersamar memperlihatkan keunggulan drainase endoskopik dengan angka kematian yang
jauh lebih rendah dan bersihan saluran empedu yang lebih baik dibandingkan operasi
terbuka. Studi dengan control memperkuat kesimpulan bahwa angka kematian dengan
ERCP hanya sepertiga dibandingkan dengan operasi terbuka pada pasien dengan
kolangitis yang berat. Oleh karenanya, ERCP merupakan terapi pilihan pertama untuk
dekompresi bilier mendesak pada kolangitis akut yang tidak respon terhadap terapi
konservatif (Lesmana, 2009).

d) Pankreatitis bilier akut atau pankreatitis batu empedu

23
Pankreatitis adalah reaksi peradangan pancreas. Pankreatitis bilier akut atau
pancreatitis batu empedu baru akan terjadi bila ada obtruksi transien atau persisten di
papilla Vater oleh sebuah batu. Batu empedu yang terjepit dapat menyebabkan sepsis
bilier atau menambah beratnya pankreatitis.
Sejumlah studi memperlihatkan pasien dengan pankreatitis bilier akut yang ringan
menyalurkan batunya secara spontan dari saluran empedu ke dalam duodenum pada lebih
dari 80% dan sebagian besar pasien akan sembuh hanya dengan terapi suportif
kolangiografi. Sesudah sembuh pada pasien ini didapatkan insidensi yang rendah
kejadian batu saluran empedu sehingga tidak dibenarkan untuk dilakukan ERCP rutin.
Sebaliknya, sejumlah studi menunjukan bahwa pasien dengan pancreatitis bilier akut
yang berat akan mempunyai resiko yang tinggi untuk mempunyai batu saluran empedu
yang tertinggal bila kolangiografi dilakukan pada tahap dini sesudah serangan. Beberapa
studi terbuka tanpa kontrol memperlihatkan sfingterektomi endoskopik pada keadan ini
tampaknya aman dan disertai penurunan angka kesakitan dan kematian (Lesmana, 2009).

K. PROGNOSIS
Prognosis nya adalah tergantung dari besar atau kecilnya ukuran batu empedu,
karena akan menentukan penatalaksanaannya, serta ada atau tidak dan berat atau
ringannya komplikasi. Namun, adanya infeksi dan halangan disebabkan oleh batu yang
berada di dalam saluran biliaris sehingga dapat mengancam jiwa. Walaupun demikian,
dengan diagnosis dan pengobatan yang cepat serta tepat, hasil yang didapatkan biasanya
baik.

BAB III
LAPORAN KASUSnew
A. IDENTIFIKASI
Nama : Nn. A
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 22 Th (03-12-2000)
Alamat : Jln. Kahayan 2/2 Kedopok

24
Rekam Medis : 670516
MRS : 22-11-2022 (18.00) IGD
B. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Nyeri perut kanan atas
Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang ke IGD RSUD Moh Saleh Probolinggo
rujukan dari Poli Bedah Umum RSU Wonolangan. Dengan
keluhan nyeri perut kanan atas sudah sejak ± 1 bln yang
lalu . Nyeri perut dirasakan hilang timbul seperti diremas-
remas. Nyeri dirasakan sampai ke pinggang sebelah kanan.
Nyeri dirasakan Ketika perut ditekan dan terkadang muncul
bila melakukan aktifitas. Demam (-), mual (+) dan Muntah
(+) hilang timbul, muncul saat nyeri perut kambuh. Perut
kembung terkadang dirasakan pasien. Nyeri perut kadang
dirasa muncul pada malam hari, BAK normal, BAB
Normal. Nafsu makan menurun. Pasien mengatakan nyeri
berkurang setelah meminum obat dari poli bedah umum
dan selanjutnya dirujuk untuk MRS untuk dilakukan
tindakan.
Riwayat Penyakit Dahulu :Pasien tidak pernah merasakan sakit seperti ini
sebelumnya. Riwayat hipertensi (-), Riwayat diabetes
mellitus, asma, trauma, tumor, dan keganasan disangkal
pasien.

Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada keluarga pasien yang mengalami hal serupa.
Riwayat Hipertensi, Diabetes, asma, tumor, dan keganasan
tidak pernah dialami keluarga pasien.

Riwayat Medikasi : Berobat di Poli Bedah RSU Wonolangan (24/11/2022)

Riwayat Alergi : Pasien menyangkal adanya riwayat alergi terhadap obat,


makanan, ataupun substansi lain.

Riwayat Kebiasaan : Pasien mengaku tidak merokok, jarang mengkonsumsi


sayur dan buah. Kebiasaan makan gorengan dan makanan
berlemak (+). Pasien juga jarang berolahraga.
25
C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : cukup
Kesadaran : composmentis
GCS : 456
BB : 55 kg
Tanda-tanda vital :
a) Tekanan Darah : 105 / 80 mmHg
b) Nadi : 84x / menit
c) RR : 20x / menit
d) Suhu : 36,5 ℃
e) SpO2 : 100%

Status Generalis
1. Kepala
- A/I/C/D: -/+/-/-
- Normocephali, ubun-ubun besar cekung (-)
2. Mata
- Bentuk : Normal, bola mata simetris, mata cowong (-)
- Palpebra : Normal, tidak terdapat ptosis, lagoftalmus,
oedema, perdarahan, blepharitis
- Gerakan : Normal, tidak terdapat strabismus, nistagmus
- Pupil : Bulat, isokor
- Konjungtiva : Anemis (-)
- Sklera : Ikterus (+)

3. Telinga
 Bentuk : Normotia
 Liang telinga : Lapang
 Nyeri tarik auricular : Tidak ada nyeri tarik pada auricular kanan
maupun kiri
 Nyeri tekan tragus : Tidak ada nyeri tekan pada tragus kanan
maupun kir

26
4. Hidung
Bagian luar : Normal, tidak terdapat deformitas, tidak hiperemis, tidak
ada sekret, tidak ada nyeri tekan
Septum : Simetris, tidak ada deviasi
Mukosa hidung : Tidak hiperemis, konka nasalis tidak edema
5. Mulut dan tenggorok
Bibir : Normal, tidak pucat, tidak sianosis
Gigi-geligi : Hygiene baik, tidak ada gigi yang tanggal, gigi geraham
belakang belum tumbuh
Mukosa mulut : Normal, tidak hiperemis, tidak halitosis
Lidah : Normoglosia, tidak tremor, tidak kotor
Tonsil : Ukuran T1/T1, tenang, tidak hiperemis
Faring : Tidak hiperemis, arcus faring simetris, uvula di tengah
6. Leher
Bendungan vena : Tidak ada bendungan vena
Kelenjar tiroid : Tidak membesar, mengikuti gerakan saat menelan
Trakea : Di tengah
Kelenjar Getah Bening
Leher : Tidak terdapat pembesaran di KGB leher
Aksila : Tidak terdapat pembesaran di KGB aksila
Inguinal : Tidak terdapat pembesaran di KGB inguinal

7. Thorax
Sela iga tidak melebar, tidak ada efloresensi yang bermakna
8. Paru-paru
Inspeksi : Simetris, tidak ada hemithoraks yang tertinggal pada saat
inspirasi, tipe pernapasan abdomino-thorakal
Palpasi : Vocal fremitus sama kuat pada kedua hemithoraks
Perkusi : Sonor pada kedua hemithoraks
Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-) wheezing (-/-)
9. Jantung
Inspeksi : Tidak tampak pulsasi ictus cordis
Palpasi : Terdapat pulsasi ictus cordis pada ICS V, + 1 cm lateral dari linea

27
midklavikularis sinistra
Perkusi : Batas jantung dbn
Auskultasi : Bunyi jantung S I & SII tunggal regular, gallop (-) murmur (-)
10. Abdomen
Inspeksi : Supel, ikut gerak nafas, tidak ada kelainan kulit, tidak
terdapat pelebaran vena, darm contour (-), darm steifung (-)
Auskultasi : Bising usus positif 3 x/menit (peristaltik +)
Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba, massa tumor (-). Nyeri
tekan di Regio hypokondrium dekstra
Perkusi : Timpani
11. Ekstremitas
Inspeksi : Tidak tampak deformitas
Palpasi : Akral hangat merah pada keempat ekstremitas, tidak terdapat
oedema pada keempat ekstremitas, CRT < 2
Status Lokalis
Abdomen
Inspeksi : Supel, ikut gerak nafas, tidak ada kelainan kulit, tidak
terdapat pelebaran vena, darm contour (-), darm steifung (-)
Auskultasi : Bising usus positif 3 x/menit (peristaltik +)
Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba, massa tumor (-). Nyeri
tekan di Regio hypokondrium dekstra
Perkusi : Timpani
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Laboratorium

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

ALC 4.330
Swab-Ant Covid-19 Negatif Negatif

HIV test Negatif Negatif

Gula Darah Stick 99 mg/dL <200 mg/dL

28
NLR 1,52
Darah Lengkap (DL)

Hemoglobin 11,6g/dL ♂: 13-18 g/dL ↓


♀: 12-16 g/dL
Lekosit 12.040/ cmm 4000-11000/ cmm
Trombosit 275.000/ cmm 150000-450000/ cmm
 Tanggal 22 November 2022 Jam : 18.57 WIB

2) Pencitraan
- Tanggal 23 November 2022 (Foto Thorax PA)

Kesimpulan : Thoraks Dalam Batas Normal

- Tanggal 23 november 2022 (USG Abdomen)

29
Kesimpulan :
1. Organ Solid Intra Abdomen Normal
2. Batu Gall Bladder Multiple, Tidak Ada Obstruksi Sistem Bilier
3. Buli-buli, Uterus, Adnexa Dextra/Sinistra Normal

D. RESUME
Pasien datang ke IGD RSUD Moh Saleh Probolinggo rujukan dari Poli Bedah Umum
RSU Wonolangan. Dengan keluhan nyeri perut kanan atas sudah sejak ± 1 bln yang
lalu .Nyeri perut dirasakan hilang timbul seperti diremas-remas. Nyeri dirasakan sampai ke
pinggang sebelah kanan. Nyeri dirasakan Ketika perut ditekan dan terkadang muncul bila
melakukan aktifitas. Demam (-), mual (+) dan Muntah (+) hilang timbul, muncul saat nyeri
perut kambuh. Perut kembung terkadang dirasakan pasien. Nyeri perut kadang dirasa muncul
pada malam hari, BAK normal, BAB Normal. Nafsu makan menurun. Pasien mengatakan
30
nyeri berkurang setelah meminum obat dari poli bedah umum dan selanjutnya dirujuk untuk
MRS untuk dilakukan tindakan.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan:


Didapatkan Ikterus (+)
Abdomen
Inspeksi : Supel, ikut gerak nafas, tidak ada kelainan kulit, tidak
terdapat pelebaran vena, darm contour (-), darm steifung (-)
Auskultasi : Bising usus positif 3 x/menit (peristaltik +)
Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba, massa tumor (-). Nyeri
tekan di Regio hypokondrium dekstra
Perkusi : Timpani

Pemeriksaan penunjang:
1. Laboratorium : Dalam Batas Normal
2. Foto Thorax / USG : Dalam batas normal / multiple colelithiasis

E. DIAGNOSIS KERJA
Diagnosa : Kolelithiasis

F. RENCANA TINDAKAN
Planning Terapi
 Pemberian cairan kristaloid
 Pemberian analgesic
 Pemberian antiemetic
 Konsul Sp, B

G. PROGNOSIS
- Ad Vitam : ad Bonam
- Ad Fungsionam : ad Bonam
- Ad Sanationam : ad Bonam

31
32
BAB IV
PEMBAHASAN

A. Analisis Kasus
Pasien Nn. A Perempuan 22 tahun datang dengan keluhan Nyeri perut kanan atas
sudah sejak 2 bulan yang lalu. Nyeri hilang timbul dan dirasakan sampai ke pinggang
sebelah kanan. Nyeri memberat Ketika perut ditekan dan terkadang muncul saat aktifitas.
Demam (-), mual (+), dan Muntah (+). Nafsu makan turun. Dan keluhan sudah berkurang
sejak berobat di Poli.
Kolelitiasis adalah batu empedu, gallstones, biliary calculus. Batu empedu
merupakan gabungan dari beberapa unsur yang membentuk suatu material mirip batu
yang dapat ditemukan dalam kandung empedu (kolelitiasis) atau di dalam saluran
empedu (koledokolitiasis) atau pada kedua-duanya (Doherty, 2010).
Setengah sampai dua pertiga penderita kolelitiasis adalah asimtomatis.
Keluhan yang mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang disertai intoleran terhadap
makanan berlemak. Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa nyeri di daerah
epigastrium, kuadran kanan atas atau perikomdrium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik
bilier yang mungkin berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang
beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan tetapi pada 30%
kasus timbul tiba-tiba.
Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak bahu,
disertai mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri
berkurang setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri
menetap dan bertambah pada waktu menarik nafas dalam (Heuman, 2011).
Kemudian pada riwayat penyakit dahulu, riwayat kencing manis dan riwayat
pernah trauma disangkal.
Berdasarkan pemeriksaan fisik pada status generalis didapatkan vital sign dalam
batas normal, konjungtiva tidak pucat dan sklera ikterik. Pada inspeksi regio CVA dan
regio supra pubik didapatkan dalam keadaan soefl dan nyeri tekan pada regio
hypocondrium dekstra. Dan didapatkan tanda murhphy sign (+).
Dimana menurut teori apabila ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan
komplikasi, seperti kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrop kandung
empedu, empiema kandung empedu, atau pankretitis. Pada pemeriksaan ditemukan
nyeri tekan dengan punktum maksimum didaerah letak anatomis kandung empedu.
Tanda Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik nafas
panjang karena kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa
dan pasien berhenti menarik nafas (Heuman, 2011).
Pada pemeriksaan USG didapatkan dengan kesimpulan multipel kolelithiasis.
Dimana ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi
untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik
maupun ekstrahepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang
menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain.
Batu yang terdapat pada duktus koledokus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang
oleh udara di dalam usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu
kandung empedu yang ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi biasa (Heuman,
2011).

BAB V
KESIMPULAN

Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut:


Kejadian batu empedu di negara - negara industri antara 10 - 15 %. Sedangkan penelitian
di Jakarta pada 51 pasien pasien didapatkan batu pigmen pada 73% pasien dan batu kolesterol
pada 27% pasien. Prevalensi tergantung usia, jenis kelamin, dan etnis. Kasus batu empedu lebih
umum ditemukan pada wanita. Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis
dibandingkan dengan pria.
Etiologi batu empedu dan saluran empedu masih belum diketahui dengan sempurna, akan
tetapi faktor predisposisi yang paling penting tampaknya adalah gangguan metabolisme yang
disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis empedu dan infeksi kandung empedu.
Dikenal tiga jenis batu empedu yaitu, batu kolesterol, batu pigmen atau batu bilirubin yang
terdiri dari kalsium bilirubinat, serta batu campuran.
Ultrasonografi merupakan modalitas yang terpilih jika terdapat kecurigaan penyakit
kandung empedu dan saluran empedu.
Pengobatan pada kolelitiasis tergantung pada tingkat dari penyakitnya. Jika tidak ada
gejala maka tidak diperlukan kolesistektomi. Tapi jika satu kali saja terjadi gejala, maka
diperlukan kolesistektomi. Selain itu juga dapat dilakukan penanganan non operatif dengan cara
konservatif yaitu melalui obat (ursodioksilat) dan ESWL.

BAB VI
DAFTAR PUSTAKA
Beltran MA. 2012. Mirizzi Syndrome. World J Gastroenterol. 18: 4639-4648.
Bloom A. 2001. Cholecystitis Treatment & Management. 2011. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/171886-treatment#aw2aab6b6b1aa.
Brunner & Suddart. Keperawatan Medical Bedah Vol 2. Jakarta: EGC
Dandan I. 2007. Choledocholithiasis. Available at:
http://www.eglobalmed.com/opt/MedicalStudentdotcom/www.emedicine.com/
med/topic350.htm.
Doherty, GM. 2010. Biliary Tract. In : Current Diagnosis & Treatment Surgery 13th
edition. US : McGraw-Hill Companies
Engram Barbara. 2009. Cholesistectomy. In: Medical Surgical Nursing Care Plans.
Delmar: A Division of Wadsworth Inc
Guyton, Arthur C. Hall, John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 11th edition.
Jakarta: EGC
Heuman DM. 2011. Cholelithiasis. Available at: http://emedicine.medscape.
com/article/175667-overview.
Hunter JG. 2007. Gallstones Diseases. In : Schwart’s Principles of Surgery. 8 th edition.
US : McGraw-Hill Companies.
Klingensmith ME, Chen LE, Glasgow SC, Goers TA, Spencer J. 2008. Biliary Surgery.
In : Washington Manual of Surgery. 5th edition. Washington : Lippincott Williams
& Wilkins.
Lesmana, L. 2009. Penyakit Batu Empedu. In : Sudoyo B, Alwi I, Simadibrata MK,
Setiati S Editors. Ilmu Penyakit Dalam. 5th edition. Jakarta: Interna Publishing.
721-26.
Nurman A. 1999. Kolangitis Akut Dipandang dari Sudut Penyakit Dalam. J Kedokter
Trisakti. 18(3): 123-9.
Price SA, Wilson LM. 2006. Kolelitiasis dan Kolesistisis. Dalam : Patofisiologi. Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit. 6th edition. Jakarta : EGC
Shirasu T. 2013. Case report: Single-incision laparoscopic cholecystectomy for
cholecystolithiasis coinciding with cavernous transformation of the portal vein:
report of a case. Available at:
http://www.biomedcentral.com/1471-2482/13/10/abstract.
Silbernagl S, Lang F. 2000. Gallstones Diseases. In : Color Atlas of Pathophysiology.
New York : Thieme
Sjamsuhidajat R, de Jong W. 2011. Kolelitiasis. In: Buku Ajar Ilmu Bedah. 3rd edition.
Jakarta: EGC
Snell, RS. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. 6th Edition. Jakarta: EGC
Vorvick L. 2013. Choledocholithiasis. Available at:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000274.htm.

Anda mungkin juga menyukai