TINJAUAN PUSTAKA
4. Etiologi
Menurut Cahyono 2014 etiologi Kolelitiasis yaitu:
1. Supersaturasi kolesterol secara umum komposisi Komposisi
cairan empedu yang berpengaruh terhadap terbentuknya batu tergantung
keseimbangan kadar garam empedu, kolesterol dan lesitin. Semakin
tinggi kadar kolesterol atau semakin rendah kandungan garam empedu
akan membuat keadaan didalam kandung empedu menjadi jenuh akan
kolesterol (Supersaturasi kolesterol).
2. Pembentukan inti kolesterol
Kolesterol diangkut oleh misel (gumpalan yang berisi fosfolipid, garam
empedu dan kolesterol). Apabila saturasi, Kolesterol lebih tinggi maka ia
akan diangkut oleh vesikel yang mana vesikel dapat digambarkan sebagai
sebuah lingkarandua lapis. Apabila konsentrasi kolesterol banyak dan
dapat diangkut, vesikel memperbanyak lapisan lingkarannya, pada
akhirnya dalam kandung empedu, pengangkut kolesterol, baik misel
maupun vesikel bergabung menjadi satu dan dengan adanya protein
musin akan membentuk kristal kolesterol, kristal kolesterol
terfragmentasi pada akhirnya akan dilem atau disatukan.
3. Penurunan fungsi kandung empedu
Menurunnya kemampuan menyemprot dan kerusakan dinding kandung
empedu memudahkan seseorang menderota batu empedu, kontraksi yang
melemah akan menyebabkan statis empedu dan akan membuat musin
yang diproduksi dikandung empedu terakumulasi seiring dengan lamanya
cairan empedu tertampung dalam kandung empedu. Musin tersebut akan
semakin kental dan semakin pekat sehingga semakin menyukitkan proses
pengosongan cairan empedu. Beberapa keadaan yang dapat mengganggu
daya kontraksnteril kandung empedu, yaitu : hipomotilitas empedu,
parenteral total (menyebabkan cairan asam empedu menjadi lambat),
kehamilan, cedera medula spinalis, penyakit kencing manis.
4. Infeksi
Adanya infeksi dapat menyebabkan krusakan dinding kandung empedu,
sehingga menyebabkan terjadinya stasis dan dengan demikian menaikan
pembentukan batu.
5. Patofisiologi
Ada dua tipe utama batu empedu yaitu batu yang terutama tersusun
dari pigmen dan tersusun dari kolesterol. Batu pigmen, akan terbentuk bila
pigmen yang terkonjugasi dalam empedu mengalami presipitasi atau
pengendapan, sehingga terjadi batu. Risiko terbentuknya batu semacam ini
semakin besar pada pasien serosis, hemolysis dan infeksi percabangan
bilier. Batu ini tidak dapat dilarutkan dan hanya dikeluarkan dengan jalan
operasi. Batu kolesterol, merupakan unsur normal pembentuk empedu
bersifat tidak larut dalam air. Kelarutannya bergantung pada asam empedu
dan lesitin (fosfo lipid) dalam empedu. Pada pasien yang cenderung
menderita batu empedu akan terjadi penurunan sintesis asam empedu dan
peningkatan sintesis kolesterol dalam hati, mengakibatkan supersaturasi
getah empedu oleh kolesterol dan keluar dari getah empedu mengendap
membentuk batu. Getah empedu yang jenuh oleh kolesterol merupakan
predisposisi untuk timbulnya batu empedu yang berperan sebagai iritan
yang menyebabkan peradangan dalam kandung empedu (Nanda, 2020).
Wanita yang menderita batu kolesterol dan penyakit kandung empedu
4 kali lebih banyak dari pada laki-laki. Biasanya terjadi pada wanita berusia
> 40 tahun, multipara, obesitas. Penderita batu empedu meningkat pada
pengguna kontrasepsi pil, estrogen dan klofibrat yang diketahui
meningkatkan saturasi kolesterol bilier. Insiden pembentukanbatu
meningkat bersamaan dengan penambahan umur, karena bertambahnya
sekresi kolesterol oleh hati dan menurunnya sintesis asam empedu juga
meningkat akibat mal absorbs garam empedu pada pasien dengan penyakit
gastrointestinal, pernah operasi resesi usus, dan DM. (Ferreira Junior et al.,
2019).
6. Manifestasi Klinis
Menurut ((Nurarif & Kusuma, 2013) tanda dan gejala kolelitiasis adalah :
a. Sebagian bersifat asimtomatik
b. Nyeri tekan kuadran kanan atas atau midepigastrik samar yang menjalar
ke punggung atau region bahu kanan
c. Sebagian klien rasa nyeri bukan bersifay kolik melainkan persisten
d. Mual dan muntah serta demam
e. Icterus obstruksi pengaliran getah empedu ke dalam duodenum akan
menimbulkan gejala yang khas, yaitu: getah empedu yang tidak lagi
dibawa ke dalam duodenum akan diserap oleh darah dan penyerapan
empedu ini membuat kulit dan membrane mukosa berwarna kuning.
Keadaan ini sering disertai dengan gejala gatal-gatal pada kulit
f. Perubahan warna urine dan feses. Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal
akan membuat urine berwarna sangat gelap. Feses yang tidak lagi
diwarnai oleh pigmen empedu akan tampak kelabu, dan biasanya pekat
yang disebut “clay colored”
g. Regurgitas gas: flatus dan sendawa
h. Defisiensi vitamin obstruksi aliran empedu juga akan membantu absorbsi
vitamin A, D, E, K yang larut lemak. Karena itu klien dapat
memperlihatkan gejala defisiensi vitamin-vitamin ini jika obstruksi atau
sumbatan bilier berlangsumg lama. Penurunan jumlah vitamin K dapat
mengganggu pembekuan darah yang normal.
7. Komplikasi
Komplikasi yang umum dijumpai adalah kolesistisis, kolangitis, hidrops dan
emfiema.
a. Kolangitis adalah peradangan pada saluran empedu yang terjadi karena
adanya infeksi yang menyebar akibat obstruksi pada saluran empedu.
b. Hidrops merupakan obstruksi kronik dari kandung empedu yang biasa
terjadi di duktus sistikus sehingga kandung empedu tidak dapat diisi
lagi oleh empedu.
c. Emfiema adalah kandung empedu yang berisi nanah. Komplikasi pada
pasien yang mengalami emfiema membutuhkan penanganan segera
karena dapat mengancam jiwa
d. Kolesistisis merupakan peradangan pada kandung empedu, dimana
terdapat obstruksi atau sumbatan pada leher kandung empedu atau
saluran kandung empedu, yang menyebakan infeksi dan peradangan
pada kandung empedu (Baloyi, Rose, & Morare, 2020).
8. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada pasien Cholelithiasis adalah
(Bini et al., 2020) :
a. Pemeriksaan Sinar-X Abdomen
Dapat dilakukan jika terdapat kecurigaan akan penyakit kandung empedu
dan untuk menyingkirkan penyebab gejala yang lain. Namun, hanya 15-
20% batu empedu yang mengalami cukup kalsifikasi untuk dapat tampak
melalui pemeriksaan sinar-x.
b. Ultrasonografi
Pemeriksaan USG telah menggantikan pemeriksaan kolesistografi oral
karena dapat dilakukan secara cepat dan akurat, dan dapat dilakukan pada
penderita disfungsi hati dan ikterus. Pemeriksaan USG dapat mendeteksi
kalkuli dalam kandung empedu atau duktus koledokus yang mengalami
dilatasi.
c. Pemeriksaan pencitraan Radionuklida atau koleskintografi
Koleskintografi menggunakan preparat radioaktif yang disuntikkan
secara intravena. Preparat ini kemudian diambil oleh hepatosit dan
dengan cepat diekskresikan ke dalam sistem bilier. Selanjutnya dilakukan
pemindaian saluran empedu untuk mendapatkan gambar kandung
empedu dan percabangan bilier.
d. ERCP (Endoscopic Retrograde CholangioPancreatography)
Pemeriksaan ini meliputi insersi endoskop serat-optik yang fleksibel ke
dalam esofagus hingga mencapai duodenum pars desendens. Sebuah
kanul dimasukkan ke dalam duktus koledokus serta duktus pankreatikus,
kemudian bahan kontras disuntikkan ke dalam duktus tersebut untuk
memungkinkan visualisasi serta evaluasi percabangan bilier.
e. Kolangiografi Transhepatik Perkutan
Pemeriksaan dengan cara menyuntikkan bahan kontras langsung ke
dalam percabangan bilier. Karena konsentrasi bahan kontras yang
disuntikkan itu relatif besar, maka semua komponen pada sistem bilier
(duktus hepatikus, duktus koledokus, duktus sistikus dan kandung
f. MRCP (Magnetic Resonance Cholangiopancreatography)
Merupakan teknik pencitraan dengan gema magnet tanpa menggunakan
zat kontras, instrumen, dan radiasi ion. Pada MRCP saluran empedu akan
terlihat sebagai struktur yang terang karena mempunyai intensitas sinyal
tinggi, sedangkan batu saluran empedu akan terlihat sebagai intensitas
sinyal rendah yang dikrelilingi empedu dengan intensitas sinyal tinngi,
sehingga metode ini cocok untuk mendiagnosis batu saluran empedu .
9. Penatalaksanaan
a. Kolesistektomi terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien denga
kolelitiasis simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat
terjadi adalah cedera duktus biliaris yang terjadi pada 0,2% pasien.
Angka mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur ini kurang dari 0,5%.
Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris
rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.
b. Kolesistektomi laparaskopi
Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990 dan
sekarang ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara laparoskopi.
80-90% batu empedu di Inggris dibuang dengan cara ini karena
memperkecil resiko kematian dibanding operasi normal (0,1-0,5% untuk
operasi normal) dengan mengurangi komplikasi pada jantung dan paru.
Kandung empedu diangkat melalui selang yang dimasukkan lewat
sayatan kecil di dinding perut.
Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa adanya
kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli
bedah mulai melakukan prosedur ini pada pasien dengan kolesistitis akut
dan pasien dengan batu duktus koledokus. Secara teoritis keuntungan
tindakan ini dibandingkan prosedur konvensional adalah dapat
mengurangi perawatan di rumah sakit dan biaya yang dikeluarkan, pasien
dapat cepat kembali bekerja, nyeri menurun dan perbaikan kosmetik.
Masalah yang belum terpecahkan adalah keamanan dari prosedur ini,
berhubungan dengan insiden komplikasi seperti cedera duktus biliaris
yang mungkin dapat terjadi lebih sering selama kolesistektomi
laparoskopi.
2. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan Agen pencederaan fisik ditandai dengan
mengeluh nyeri
2. Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit (mis. Infeksi, kanker)
ditandai dengan suhu tubuh diatas nilai normal
3. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan mencerna makanan
ditandai dengan Infeksi
3. Intervensi
No Diagnosa Luaran (Tujuan dan Intervensi
kriteria hasil)
1. Nyeri akut Setelah dilakukan Observasi :
berhubungan tindakan keperawatan Identifikasi lokasi,
dengan Agen 1 x 24 jam diharapkan karekteria, durasi,
pencederaan fisik hipertermi membaik, frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri
ditandai dengan dengan kriteria hasil :
mengeluh nyeri Keluhan nyeri Identifikasi skala nyeri
membaik Teraupetik :
Pola nafas
Berikan teknik non
membaik farmakologi untuk
Tekanan darah mengurangi rasa nyeri
membaik Control lingkungan yang
Nafsu makan memperberat rasa nyeri
membaik Fasilitasi istirahat dan
Pola tidur tidur
membaik Edukasi :
Jelaskan penyebab,
periode, dan pemicu
nyeri
Jelaskan strategi
meredahkan nyeri
anjurkan menggunakan
analgesic secara tepat
Ajarkan teknik
nonfarmakologi untuk
mengurangi nyeri
Kolaborasi :
Kolaborasi dengan
dokter pemberian
analgesic
mengalami
hyperhidrosis
( keringat berlebihan
Lakukan pendinginan
eksternal ( mis. Seliput
hipotermia atau
kompres dingin di
dahi, leher, dada,
abdomen, aksila )
Hindari pemberian
antipiretik atau aspirin
Berikan oksigen jika
perlu
Edukasi :
anjurkan tirah baring
Kolaborasi
kolaborasi pemberian
cairan elektrolit
3. Defisit nutrisi Setelah dilakuan Observasi
tindakan Identifikasi status nutrisi
berhubungan
keperawatan 1 x 24 Identifikasi alergi dan
dengan intoleransi makanan
jam diharapkan
ketidakmampuan ketidakseimbangan Identifikasi makanan
nutrisi kurang dari yang disukai
mencerna makanan
kebutuhan tubuh Identifikasi kebutuhan
ditandai dengan kalori dan jenis nutrient
terpenuhi.
Infeksi Kriteria Hasil : Identifikasi perlunya
Status Nutrisi penggunaan selang
Porsi makanan nasogastric
yang dihabiskan Monitor asupan makanan
sedang Monitor berat badan
Frekuensi makan Monitor hasil
pemeriksaan labor
Nafsu makan
cukup membaik Terapeutik :
Membran Lakukan oral hygiene,
mukosa membaik jika perlu
Fasilitasi menentukan
pedoman dier.
Sajikan makanan secara
menarik dan suhu yang
sesuai
Berikan makanan tinggi
serat untuk menjegah
konstipasi
Berikan makanan tinggi
kalori dan tinggi protein
Berikan suplemen
makanan, jika perlu
Hentikan pemberian
makan melalui selang
nasogatrik jika asupan
oral dapat ditoleransi
Berikan makanan tinggi
serat untuk mencegah
konstipasi
Edukasi :
Anjurkan posisi duduk
jika mampu
Anjurkan diet yang
diprogramkan
Kolaborasi :
Kolaborasi pemberian
medikasi sebelum
makan ( mis. Pereda
nyeri, antiemetic ), jika
perlu
kolaborasi dengan ahli
gizi untuk menentukan
jumlah kalori dan jenis
nutrienyang dibutuhkan
4. Implementasi
Kegiatan pelaksanaan tindakan dari perencanaan untuk memenuhi
kebutuhan fisik dan emosional. Tindakan keperawatan dibedakan
berdasarkan kewenangan dan tanggung jawab secara profesional
sebagaimana terdapat dalam standar praktek keperawatan meliputi:
a. Independent
Tindakan keperawatan independent adalah suatu tindakan yang
dilaksanakan oleh perawat tanpa petunjuk dan perintah dari dokter atau
tenaga kesehatan lainnya.
b. Interdependent
Interdependen tindakan keperawatan menjelaskan suatu kegiatan yang
memerlukan suatu kerja sama dengan tenaga kesehatan lainnya, misalnya
: tenaga sosial, ahli gizi fisioterapi dan dokter.
c. Dependent
Tindakan dependent berhubungan dengan pelaksanaan rencana medis.
5. Evaluasi
Perawat dalam mengevaluasi untuk melihat sejauh mana tujuan yang telah
di capai oleh klien setelah mendapatkan tindakan atau asuhan keperawatan.
Evaluasi yang dapat di gunakan yaitu evaluasi sumatif. Evaluasi sumatif,
evaluasi yang di lakukan pada akhir dari seluruh proses asuhan keperawatan
yang di berikan dan dilakukan secara terus menerus dengan menilai respon
terhadap tindakan yang di lakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Ferreira Junior, E. G., Apolinario Costa, P., Freire Golveia Silveira, L. M., Valois
Vieira, R., Lima Martins Soares, H. A., Menon Loureiro, B., … Coelho
Ferreira Rocha, J. R. (2019). Localized pancreatic Castleman disease
presenting with extrahepatic dilatation of bile ducts: A case report and
review of published cases. International Journal of Surgery Case Reports,
54, 28–33. http://doi.org/10.1016/j.ijscr.2018.11.006
Musbahi, A., Abdulhannan, P., Bhatti, J., Dhar, R., Rao, M., & Gopinath, B.
(2019). Outcomes and risk factors of cholecystectomy in high risk
patients: A CASE SERIES. Annals of Medicine and Surgery.
http://doi.org/10.1016/j.amsu.2019.12.003
Nanda, D. (2020). Asuhan Keperawatan Aplikasi NANDA, (6), 1–7.
(Nurarif & Kusuma, 2016). (2013). Journal of Chemical Information and
Modeling. https://doi.org/10.1017/CB09781107415324.004
PPNI. 2016. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan : DPP
PPNI
PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan : DPP PPNI
PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan : DPP
PPNI