Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Atresia bilier terjadi karena proses inflamasi berkepanjangan yang


menyebabkan kerusakan progresif pada duktus bilier ekstrahepatik sehingga
menyebabkan hambatan aliran empedu. Jadi, atresia bilier adalah tidak
adanya atau kecilnya lumen pada sebagian atau keseluruhan traktus
bilierekstrahepatik yang menyebabkan hambatan aliran empedu. Akibatnya di
dalam hati dan darah terjadi penumpukan garam empedu dan peningkatan
bilirubin direk .

Etiologi atresia bilier masih belum diketahui dengan pasti. Sebagian ahli
mengatakan bahwa faktor genetic yang berperan, yang dikaitkan dengan
kelainan kromosom trisomi 17,18,dan 21 serta terdapat anomali pada organ.
Bayi dengan atresia bilier biasanya muncul sehat ketika lahir. Gejala penyakit
ini biasanya muncul dalam dua minggu pertama setelah lahir dengan gejala-
gejala jaundice, adanya ikterus, dan urine berwarna gelap. Tinja berwarna
pucat , dan penurunan berat badan .

Atresia bilier ditemukan pada 1 dalam 10.000 kelahiran hidup dan 1


dalam 25.000 kelahiran hidup. Tampaknya tidak terdapat predileksi rasial
atau genetik kendati ditemukan predominasi wanita sebesar 1,4:1 (McEvoy
dan Suchy, 1996; Whitington, 1996).

Di Belanda, dilaporkan kasus atresiabilier sebanyak 5 dari 100.000


kelahiran hidup, di Perancis 5,1 dari 100.000 kelahiran hidup, di Inggris
dilaporkan 6 dari 100.000 kelahiran hidup. Di Texas tercatat 6.5 dari 100.000
kelahiran hidup, 7 dari 100.000 kelahiran hidup di Australia, 7,4 dari 100.000
kelahiran hidup di USA dan dilaporkan terdapat 10,6 dari 100.000 kelahiran
hidup di Jepang menderita atresia bilier. Dari 904 kasus atresia bilier yang
terdaftar di lebih 100 institusi, atresiabilier di dapatkan pada ras Kaukasia

1
(62%), berkulit hitam (20%), Hispanik (11%), Asia (4,2%) dan Indian
amerika (1,5%). Walau jarang namun jumlah penderita atresiabilier yang
ditangani RS. Cipto Mangun Kusumo (RSCM) pada tahun 2002-2003 tercatat
mencapai 37-38 bayi atau 23% dari 163 bayi berpenyakit kuning akibat
kelainan fungsi hati. Sedangkan di RSU Dr.Soetomo Surabaya antara tahun
1999-2004 ditemukan dari 19.270 penderita rawatinap di Instalansi Rawat
Inap Anak, tercatat 96 penderita dengan penyakit kuning gangguan fungsi hati
didapatkan 9 (9,4%) menderita atresiabilier ( Widodo J, 2010)

Hanya tindakan bedah yang dapat mengatasi atresia bilier. Bila tindakan
bedah dilakukan pada usia 8 minggu, angka keberhasilannya adalah 86%,
tetapi bila pembedahan dilakukan pada usia > 8 minggu maka angka
keberhasilannya hanya 36%. Oleh karena itu diagnosis atresiabilier harus
ditegakkan sedini mungkin, sebelum usia 8 minggu (Parlin,1991).

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Atresia Bilier?


2. Bagaimana etiologi Atresia Bilier?
3. Bagaimana Patofisiologi Atresia Bilier?
4. Apa saja tanda dan gejala pada pasien Atresia Bilier?
5. Bagaimana pemeriksaan dan penatalaksanaan Atresia Bilier?
6. Bagaimana Asuhan Keperawatan pada pasien dengan riwayat Atresia
Bilier?
C. Tujuan

Agar mahasiswa mengetahui konsep penyakit dan mengetahui bagaimana


asuhan keperawatan pada pasien anak dengan Atresia Bilier.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Anatomy dan Fisiologi Sistem Bilier

Hati terletak di belakang tulang-tulang iga (kosta) dalam rongga


abdomen daerah kanan atas. Hati memiliki berat sekitar 1500 gr, dan di
bagi menjadi empat lobus. Setiap lobus hati terbungkus oleh lapisan tipis
jaringan ikat yang membentang ke dalam lobus itu sendiri dan membagi
massa hati menjadi unit-unit yang lebih kecil, yang disebut lobulus.
Sirkulasi darah ke dalam dan ke luar hati sangat penting dalam
penyelenggaran fungsi hati.

Saluran empedu terkecil yang disebut kanalikulus terletak di antara


lobulus hati. Kanalikulus menerima hasil sekresi dari hepatosit yang
membawanya ke saluran empedu yang lebih besar yang akhirnya akan
membentuk duktus hepatikus. Duktus hepatikus dari hati dan duktus
sistikus dari kandung empedu bergabung untuk membentuk duktus
koledokus (commom bile duct) yang akan mengosongkan isinya ke dalam

3
intestinum. Aliran empedu ke dalam intestinum di kendalikan oleh sfingter
Oddi yang terletak pada tempat sambungan (junction) di mana duktus
koledokus memasuki duodenum.

Kandung empedu (vesika felea), yang merupakan organ berbentuk


sebuah pear, berongga dan menyerupai kantong dengan panjang 7,5 hingga
10 cm, terletak dalam suatu cekungan yang dangkal pada permukaan
inferior hati dimana organ tersebut terikat pada hati oleh jaringan ikat yang
longgar. Kapasitas kandung empedu 30-50ml empedu. Dindingnya
terutama tersusun dari otot polos. Kandung empedu dihubungkan dengan
duktus koledokus lewat duktus sistikus.

1. Kandung Empedu

Kandung empedu adalah sebuah kantung berbentuk seperti buah


pear,memiliki panjang 7-10 cm dengan kapasitas 30-50 ml namun saat
terdistensi dapat mencapai 300 ml. Kandung empedu berlokasi di
sebuah lekukan pada permukaaan bawah hepar yang secara anatomi
membagi hepar menjadi lobus kanan dan lobus kiri. Kandung empedu
dibagi menjadi 4 area secara anatomi yaitu fundus, leher, corpus, dan
infundibulum. Fundus berbentuk bulat dan ujungnya 1-2 cm melebihi
batas hepar, strukturnya kebanyakan berupa otot polos, kontras dengan
korpus yang kebanyakan terdiri dari jaringan elastis. Leher biasanya
membentuk sebuah lengkungan, yang mencembung dan membesar
membentuk Hartmann’s pouch.

Kandung empedu terdiri dari epitel silindris yang mengandung


kolesterol dan tetesan lemak. Mukus disekresi ke dalam kandung
empedu dalam kelenjar tubuloalveolar yang ditemukan dalam mukosa
infundibulum dan leher kandung empedu, tetapi tidak pada fundus dan
korpus. Epitel yang berada sepanjang kandung empedu ditunjang oleh
lamina propria. Lapisan ototnya adalah serat longitudinal sirkuler dan
oblik, tetapi tanpa lapisan yang berkembang sempurna. Perimuskular

4
subserosa mengandung jaringan penyambung, saraf, pembuluh darah,
limfe dan adiposa. Kandung empedu ditutupi oleh lapisan serosa kecuali
bagian kandung empedu yang menempel pada hepar. Kandung empedu
dibedakan secara histologis dari organ-organ gastrointestinal lainnya
dari lapisan muskularis mukosa dan submukosa yang sedikit.

Arteri sistika yang mensuplai kandung empedu biasanya berasal


dari cabang arteri hepatika kanan. Lokasi Arteri sistika dapat bervariasi
namun hampir selalu di temukan di segitiga hepatosistica, yaitu area
yang dibatasi oleh Ductus sistikus, Ductus hepaticus komunis dan batas
hepar (segitiga Calot). Ketika arteri sistika mencapai bagian leher dari
kandung empedu, akan terbagi menjadi anterior dan posterior. Aliran
vena akan melalui vena kecil dan akan langsung memasuki hepar, atau
lebih jarang akan menuju vena besar sistika menuju vena porta. Aliran
limfe kandung empedu akan menuju kelenjar limfe pada bagian leher.

Persarafan kandung empedu berasal dari nervus vagus dan dari


cabang simpatis melewati pleksus celiaca. Tingkat preganglionik
simpatisnya adalah T8 dan T9. Rangsang dari hepar, kandung empedu,
dan duktus biliaris akan menuju serat aferen simpatis melewati nervus
splanchnic memediasi nyeri kolik bilier. Cabang hepatik dari nervus
vagus memberikan serat kolinergik pada kandung empedu, duktus
biliaris dan hepar.

2. Pembentukan empedu

Empedu dibentuk secara terus menerus oleh hepatosit dan


dikumpulkan dalam kanalikulus serta saluran empedu. Empedu
terutama tersusun dari air dan elektrolit, seperti natrium, kalium,
kalsium, klorida serta bikarbonat, dan juga mengandung dalam jumlah
yang berati beberapa substansi seperti lesitin, kolesterol, billirubin serta
garam-garam empedu. Empedu dikumpulkan dan disimpan dalam
kandung empedu untuk kemudian dialirkan ke dalam intestinum bila

5
diperlukan bagi pencernaan. Fungsi empedu adalah ekskretorik seperti
ekskresi bilirubin dan sebagai pembantu proses pencernaan melalui
emulsifikasi lemak oleh garam-garam empedu.

Garam-garam empedu disintesis oleh hepatosit dari kolesterol.


Setelah terjadi konjugasi atau pengikatan dengan asam-asam amino
(taurin dan glisin), garam empedu diekskresikan ke dalam empedu.
Bersama dengan kolesterol dan lesitin, garam empedu diperlukan untuk
emulsifikasi lemak dalam intestinum. Proses ini sangat penting untuk
proses pencernaan dan penyerapan yang efisien. Kemudian garam
empedu akan diserap kembali, terutama dalam ileum distal, ke dalam
darah portal untuk kembali ke hati dan sekali lagi diekskresikan ke
dalam empedu. Lintasan hepatosit empedu intestinum dan kembali lagi
kepada hepatosit dinamakan sirkulasi enterohepatik. Akibat adanya
sirkulasi enterohepatik, maka dari seluruh garam empedu yang masuk
ke dalam intestinum, hanya sebagian kecil yang akan diekskresikan ke
dalam feses. Keadaan ini menurunkan kebutuhan terhadap sintesis aktif
garam empedu oleh sel-sel hati.

3. Ekskresi Bilirubin

Bilirubin adalah pigmen yang berasal dari pemecahan hemoglobin


oleh sel-sel pada sistem retikuloendotelial yang mencakup se-sel
Kupffer dari hati. Hepatosit mengeluarkan bilirubin dari dalam darah
dan melalui reaksi kimia mengubahnya lewat konjugasi menjadi asam
glukoronat yang membuat bilirubin lebih dapat larut di dalam larutan
yang encer. Bilirubin terkonjugasi diekskresikan oleh hepatosit ke
dalam kanalikulus empedu di dekatnya dan akhirnya dibawa dalm
empedu ke duodenum.

Dalam usus halus, bilirubin dikonversikan menjadi urobilinogen


yang sebagian akan diekskresikan ke dalam feses dan sebagian lagi
diabsorbsi lewat mukosa intestinal ke dalam daerah portal. Sebagian

6
besar dari urobilinogen yang diserap kembali ini dikeluarkan oleh
hepatosit dan diekskresikan sekali lagi ke dalam empedu (sirkulasi
enterehepatik). Sebagian urobilinogen memasuki sirkulasi sistemik dan
diekskresikan oleh ginjal ke dalam urin. Eliminasi bilirubin dalam
empedu menggambarkan jalur utama ekskresi bagi senyawa ini.

Konsentrasi bilirubin dalam darah dapat meningkat jika terdapat


penyakit hati, bila aliran empedu terhalang (yaitu, oleh batu empedu
dalam saluran empedu) atau bila terjadi penghancuran sel-sel darah
merah yang berlebihan. Pada obstruksi saluran empedu, bilirubin tidak
memasuki intestinum dan sebagai akibatnya, urobilinogen tidak terdapat
dalam urin.

4. Fungsi Kandung Empedu

Kandung empedu berfungsi sebagai depot penyimpanan bagi


empedu. Di antara saat-saat makan, ketika sfingter Oddi tertutup,
empedu yang diproduksi oleh hepatosit akan memasuki kandung
empedu. Selama penyimpanan, sebagian besar air dalam empedu
diserap melalui dinding kandung empedu sehingga empedu dalam
kandung empedu lebih pekat lima hingga sepuluh kali dari konsentrasi
saat diekskresikan pertama kalinya oleh hati. Ketika makanan masuk ke
dalam duodenum akan terjadi kontraksi kandung empedu dan relaksasi
sfingter Oddi yang memungkinkan empedu mengalir masuk ke dalam
intestinum. Respon ini diantarai oleh sekresi hormon kolesitokinin-
pankreozimin (CCK-PZ) dari dinding usus

Sistem Bilier terbagi atas :

1. Intrahepatik

Sistem biliaris Intrahepatik terdiri atas kanalikuli biliaris dan


duktuli biliaris intralobular. Duktus biliaris intrahepatik terdiri atas sel
kuboid atau sel epitel kolumnar. Bersama dengan bertambahnya

7
jaringan konektif fibroelastis di sekitar epitel, maka duktus semakin
besar. Duktus yang terbesar mempunyai otot polos pada dindingnya.
Kanalikuli biliaris sebenarnya bukan merupakan suatu duktus
melainkan suatu dilatasi ruang interseluler antara hepatosit yang
berdekatan. Diameter lumen kanalikuli ini rata-rata 0,7 mm.

2. Ekstrahepatik

Sistem biliaris ekstrahepatik merupakan suatu saluran yang berada


di dalam ligamentum hepatoduodenale dan secara histologis terdiri atas
sel epitel kolumnar tinggi yang mensekresi mukus, selain itu juga
terdapat jaringan konektif di bawah epitel yang terdiri atas sejumlah
serabut elastis, kelenjar mukus, pembuluh darah dan saraf.

Sistem biliaris extrahepatik terdiri dari :

a. Duktus Hepatikus Kiri dan Kanan

Duktus hepatikus kiri dan kanan muncul pada porta hepatika


dari kanan dan kiri lobus hepar dan berbentuk huruf V. Panjang dari
duktus hepatis kiri dan kanan bervariasi antara 0,5-2,5 cm.
Biasanya duktus hepatis kiri lebih panjang dari kanan dan lebih
mudah dilatasi bila terjadi obstruksi di bagian distal.

b. Duktus Hepatikus Komunis

Duktus Hepatikus komunis merupakan gabungan antara duktus


hepatikus kiri dan kanan dengan panjang sekitar 4 cm. Pada 95 %
kasus, gabungan ini berada di luar hepar, tepat di bawah dari porta
hepatis. Pada 5% kasus, bergabung di dalam hepar.

c. Duktus sistikus

Duktus sistikus timbul di bagian leher vesika fellea dan


bergabung dengan duktus hepatika komunis. Panjang duktus
sistikus bervariasi antara 0,5-0,8 cm dengan diameter rata-rata 1-3

8
mm. Dalam duktus sistikus, mukosa membentuk 5-10 lipatan
seperti bulan sabit yang dikenal sebagai spiral valves of Heister.
Valvula ini berfungsi untuk menahan distensi yang berlebihan atau
kolaps dari vesika fellea dengan mengubah tekanan dalam duktus
sistikus dan berfungsi dalam menghambat masuknya batu empedu
ke dalam duktus koledokus.

d. Duktus Koledokus
Duktus koledokus terbentuk dari gabungan duktus sistikus
dengan duktus hepatikus komunis. Panjang duktus ini sekitar 7,5
cm, namun juga dapat bervariasi tergantung dari panjang duktus
sistikus dan duktus hepatikus komunis dengan diameter sekitar 6
mm. Duktus koledokus dibagi dalam 4 segmen : supraduodenal,
retroduodenal, pankreatika dan intraduodenal.

Segmen supraduodenal mempunyai panjang 2,5 cm dan


berada di batas kanan dari ligamentum hepatoduodenal, yaitu pada
bagian anterior dari vena porta dan sebelah kanan dari arteri
hepatika komunis ascendens.

Segmen retroduodenal berada di posterior dari bagian


pertama duodenum dengan panjang sekitar 2,5 - 4 cm. Segmen ini
berjalan sepanjang permukaan inferior duodenum, kemudian
berpindah dari kanan ke kiri dan berada tepat di kanan dari arteri
gastroduodenal.

Segmen pankreatika dari duktus koledokus memanjang dari


batas bawah dari bagian awal duodenum ke dinding posteromedial
dari bagian kedua duodenum, dimana duktus masuk ke dalam
dinding duodenum.

Segmen intraduodenal mempunyai panjang 2 cm dan berjalan


miring sepanjang dinding duodenum bersama dengan duktus
pankreatikus.

9
e. Ampula vateri

Ampula vateri terbentuk dari pertemuan antara duktus


koledokus dengan duktus pankreatikus. Panjang ampula ini
bervariasi, ditemukan panjangnya lebih dari 2 mm pada 46 %
kasus, sedangkan kurang dari 2 mm pada 32 % kasus dan tidak ada
pertemuan antara duktus pankreatika dengan duktus koledokus
pada 29 % kasus.

f. Sphingter Oddi

Pada segmen intraduodenal dari duktus koledokus dan ampula


dikelilingi oleh lapisan serabut otot polos yang dikenal sebagai
Sphingter of Oddi. Sfingter ini merupakan kelompok serabut otot
yang berada pada dinding duktus koledokus. Pengaturan dari aliran
empedu utamanya dikontrol oleh sfingter ini dan terjadi relaksasi
sfingter akibat stimulasi kolesistokinin dan parasimpatis.

3. Sistem Vaskularisasi

Duktus biliaris ekstrahepatik mendapat vaskularisasi dari beberapa


tempat, diantaranya; Duktus hepatis dan segmen supraduodenal dari
duktus koledokus mendapat aliran darah dari cabang kecil arteri
sistikus. Bagian retroduodenal dari duktus koledokus disuplai oleh
cabang retroduodenal dan posterosuperior dari arteri
pankreatikoduodenal. Segmen pankreatika dan intraduodenal
divaskularisasi oleh arteri pankreatikoduodenal bagian anterior dan
posterosuperior.

10
B. Pengertian Atresia Bilier

Atresia bilier (biliary atresia) adalah suatu penghambatan di dalam


pipa/saluran-saluran yang membawa cairan empedu (bile) dari liver
menuju ke kantung empedu (gallbladder). Ini merupakan kondisi
congenital, yang berarti terjadi saat kelahiran (Lavanilate.2010.Askep
Atresia Bilier).

Atresia Bilier adalah suatu defek kongenital yang merupakan hasil


dari tidak adanya atau obstruksi satu atau lebih saluran empedu pada
ekstrahepatik atau intrahepatik (Suriadi dan Rita Yulianni, 2006).

Atresia biliary merupakan obliterasi atau hipoplasi satu komponen


atau lebih dari duktus biliaris akibat terhentinya perkembangan janin,
menyebabkan ikterus persisten dan kerusakan hati yang bervariasi dari
statis empedu sampai sirosis biliaris, dengan splenomegali bila berlanjut
menjadi hipertensi porta. (Kamus Kedokteran Dorland, 2006).

Atresia Bilier (biliary atresia) adalah suatu penghambatan di dalam


pipa/ saluran-saluran yang membawa cairan empedu (bile) dari liver
menuju ke kantung empedu (gallbladder). Ini merupakan kondisi
kongenital, yang berarti terjadi saat kelahiran.

11
Atresia bilier merupakan kegagalan perkembangan lumen pada korda
epitel yang akhirnya menjadi duktus biliaris, kegagalan ini bisa
menyeluruh atau sebagian. ( Chandrasoma & Taylor,2005)

C. Etiologi

Etiologi atresia bilier masih belum diketahui dengan pasti. Sebagian


ahli menyatakan bahwa faktor genetik ikut berperan, yang dikaitkan
dengan adanya kelainan kromosom trisomi17, 18 dan 21, serta terdapatnya
anomali organ pada 30% kasus atresia bilier. Namun, sebagian besar
penulis berpendapat bahwa atresia bilier adalah akibat proses inflamasi
yang merusak duktus bilier, bisa karena infeksi atau iskemi. Beberapa
anak, terutama mereka dengan bentuk janin atresia bilier, seringkali
memiliki cacat lahir lainnya di jantung, limpa, atau usus.

Sebuah fakta penting adalah bahwa atresia bilier bukan merupakan


penyakit keturunan. Kasus dari atresia bilier pernah terjadi pada bayi
kembar identik, dimana hanya 1 anak yang menderita penyakit tersebut.
Atresia bilier kemungkinan besar disebabkan oleh sebuah peristiwa yang
terjadi selama hidup janin atau sekitar saat kelahiran. Kemungkinan yang
"memicu" dapat mencakup satu atau kombinasi dari faktor-faktor
predisposisi berikut:

1. Infeksi virus atau bakteri


2. Masalah dengan sistem kekebalan tubuh
3. Komponen yang abnormal empedu
4. Kesalahan dalam pengembangan saluran hati dan empedu
5. Hepatocelluler dysfunction

D. Klasifikasi

12
Menurut anatomis atresia billier ada 3 tipe:

1. Tipe I Atresia sebagian atau totalis yang disebut duktus hepatikus


komunis, segmen proksimal paten.
2. Tipe IIa Obliterasi duktus hepatikus komunis (duktus billiaris komunis,
duktus sistikus, dan kandung empedu semuanya).
3. Tipe IIb Obliterasi duktus bilierkomunis, duktus hepatikus komunis,
duktus sistikus, kandung empedu normal.
4. Tipe III Obliterasi pada semua system duktus billier ekstrahepatik sampai
ke hilus.

Tipe I dan II merupakan jenis atresia bilier yang dapat dioperasi


(correctable), sedangkan tipe III adalah bentuk yang tidak dapat dioperasi
(non-correctable). Sayangnya dari semua kasus atresia bilier, hanya 10% yang
tergolong tipe I dan II.

E. Manifestasi Klinis

Bayi mengalami ikterus segera setelah lahir, feses pucat dan gambaran
serupa dengan hepatitis neonates. Jika kondisi ini tidak diobati, maka hepar
akan membesar, jantung menjadi tidak terlibat dan ada tanda malabsorbsi
lemak. Gejala yang biasanya timbul dalam waktu 2 minggu setelah lahir,
yaitu berupa: Air kemih bayi berwarna gelap (karena tingkat bilirubin
dalam darah dengan konsentrasi tinggi masuk ke dalam urin), tinja

13
berwarna pucat / acholic (karena kurangnya bilirubin yang diserap), kulit
berwarna kuning, berat badan tidak bertambah atau penambahan berat
badan berlangsung lambat, hati membesar.

Pada saat usia bayi mencapai 2-3 bulan, akan timbul gejala berikut:
Gangguan pertumbuhan, gatal-gatal, rewel, tekanan darah tinggi pada vena
porta (pembuluh darah yang mengangkut darah dari lambung, usus dan
limpa ke hati).

Tanda pertama dari atresia bilier adalah penyakit kuning, yang


menyebabkan warna kuning pada kulit dan bagian putih mata.. Jaundice
disebabkan oleh hati tidak mengeluarkan bilirubin, pigmen kuning dari
darah. Biasanya, bilirubin diambil oleh hati dan dilepaskan ke dalam
empedu. Namun, penyumbatan saluran empedu menyebabkan bilirubin
dan elemen lain dari empedu terakumulasi dalam darah. Bayi akan
menunjukan kondisi normal pada saat lahir tetapi dalam perkembangannya
menunjukan jaundice (kulit dan sclera mata berubah menjadi kuning),
warna aurin yang pekat, dan warna feses yang cerah dalam minggu
pertama kehidupan. Setiap bayi dengan jaundice, setelah berumur 1 bulan
dapat dipastikan terkena atresia biliaris dengan pemeriksaan darah
(diantaranya: tipe bilirubin, bilirubin konjugasi dan bilirubin tak
terkonjugasi). Peningkatan bilirubin pada bayi dikarenakan kekurangan
drainase , abdomen menjadi sangat tegang, dan perbesaran dikarenakan
peningkatan ukuran hati. Jika hal ini terjadi, bayi akan menjadi rentan dan
kehilangan berat badan (meskipun pertambahan cairan akan menutupinya).

F. Patofisiologi

Penyebabnya sebenarnya atresiabilier tidak diketahui sekalipun


mekanisme imun atau viralinjurio bertanggung jawab atas progresif yang
menimbulkan obstruksi saluran empedu. Berbagai laporan menunjukkan
bahwa atresiabilier tidak terlihat pada janin, bayi yang baru lahir (Halamek
dan StefienSoen, 1997).

14
Keadaan ini menunjukan bahwa atresiabilier terjadi pada akhir kehamilan
atau pada periode perinatal dan bermanisfestasi dalam waktu beberapa
minggu sesudah dilahirkan. Inflamasi terjadi secara progresif dengan
menimbulkan obstruksi dan fibrosis pada saluran empedu intrahepatik atau
ekstrahepatik (Wong, 2008).

Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan obstruksi


aliran normal empedu keluar hati, kantung empedu dan usus akhirnya akan
menyebabkan peradangan, edema, degenerasi hati, bahkan hati menjadi
fibrosis dan sirosis. Obstruksi melibatkan dua duktushepatic yaitu
duktusbiliaris yang menimbulkan ikterus dan duktus di dalam lobus hati yang
meningkatkan ekskresi bilirubin. Obstruksi yang terjadi mencegah terjadi
bilirubin ke dalam usus menimbulkan tinja berwarna pucat seperti kapur.
Obstruksi bilier menyebabkan akumulasi garam empedu di dalam darah
sehingga menimbulkan gejala pruritus pada kulit. Karena tidak adanya
empedu dalam usus, lemak dan vitamin A, D, E, K tidak dapat di absorbsi
sehingga mengalami kekurangan vitamin yang menyebabkan gagal tumbuh
pada anak (Parakrama, 2005).

Vitamin A, D, E, K larut dalam lemak sehingga memerlukan lemak agar


dapat diserap oleh tubuh. Kelebihan vitamin-vitamin tersebut akan disimpan
dalam hati dan lemak didalam tubuh, kemudian digunakan saat diperlukan.
Tetapi mengkonsumsi berlebihan vitamin yang larut dalam lemak dapat
membuat anda keracunan sehingga menyebabkan efek samping seperti mual,
muntah, dan masalah hati dan jantung.

15
G. Pathway

Infeksi virus atau bakteri Organ yang abnormal Kesalaham dalam


pengembangan hsaluran hati
dan empedu

Inflamasi berkepanjangan Tidak adanya atau kecilnya


lumen pada traktus bilier
ekstrahepatik
Kerusakan progresif pada
duktus bilier ekstrahepatik

Obstruksi saluran bilier


ekstrahepatik

Obstruksi aliran normal empedu Gangguan penyerapan lemak Nutrisi kurang dari
dari hati ke kantong empedu dan dan vitamin larut lemak (A, D, E Kerusakan integritas kulit
kebutuhan
usus dan K)

Cairan asam empedu balik ke Tersebar ke dalam darah


Itching dan akumulasi dari toksis Pruiritis (gatal) pd kulit
hati dan kulit

Distensi Abdomen Mual muntah


Obstruksi total aliran getah Frekuensi nafas
empedu
Menekan Diafragma
Kekurangan volume cairan
Kurang informasi
Atresia bilier
Peningkatan komplain
paru
ansietas
Pembesaran hepar
Kebutuhan oksigen
meningkat Pola nafas tidak efektif
16
H. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada atresia biliaris adalah:

1. Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan obstruksi


aliran normal empedu keluar hati dan kantong empedu dan usus.
Akhirnya terbentuk sumbatan dan menyebabkan empedu balik ke hati
ini akan menyebabkan peradangan, edema, degenerasi hati. Bahkan hati
menjadi fibrosis dan cirrhosis. Dan hipertensi portal sehingga akan
mengakibatkan gagal hati.

2. Progresif serosis hepatis trjadi jika aliran hanya dapat dibuka sebagian
oleh prosedur pembedahan, permasalahan dengan pendarahan dan
penngumpalan.

3. Degerasi secara gradual pada hati menyebabkan joundice, ikterik dan


hepatomegaly.

4. Karena tidak ada empedu dalam usus, lemak dan vitamin larut lemak
tidak dapat diabsorbsi, kekurangan vitamin larut lemak dan gagal
tumbuh.

5. Hipertensi portal

6. Pendarahan yang mengancam nyawa dari pembesaran vena yang


lemah di esofaguc dan perut, dapat menyebabkan Varises Esophagus.

7. Asites merupakan akumulasi cairan dalam kapasitas abdomen yang


disebabkan penurunan produksi albumin dalam protein plasma.

8. Komplikasi Pasca Bedah: yakni “kolangitis menaik”. Tanda-tanda


kolangitis menaik adalah : badan panas, tampak iterik, perut
membuncit, leukositosis, anemia, peningkatan LED, GOT dan GPT,

17
serta bilirubin darah. Kolangitis menaik dibagi 2:Kolangitis menaik
dini (early ascending cholangitis). Hal ini bias berakibat fatal bila
terjadi.Kolangitis menaik lambat (late cholangitis). Hal ini tidak
bersifat fatal, tetapi hamper selalu terjadi pada pasca operasi.Cara
mencegah kolangitis menaik adalah dengan modifikasi kimura pada
tekhnik operasi Kasai I (Halimun, EM, 1983).

I. Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik

Pada pemeriksaan laboratorium ini menunjukkan adanya


hiperbilirubinemia direk, serta peningkatan kadar serum transaminase,
fosfatase alkali, dan gamma glutamil transpeptidase yang dapat membantu
diagnosis atresia bilier pada tahap awal.

1. Pemeriksaan urine
Pemeriksaan urobilinogen penting artinya pada pasien yang
mengalami ikterus, tetapi urobilin dalam urine negative, hal ini
menunjukkan adanya bendungan saluran empedu total.
2. Pemeriksaan feces
Warna tinja pucat karena yang memberi warna pada tinja/stercobilin
dalam tinja berkurang karena adanya sumbatan.
3. Biopsi hati
Untuk mengetahui seberapa besar sumbatan dari hati yang dilakukan
dengan pengambilan jaringan hati.

4. USG abdomen
Menunjukkan kandung empedu yang kecil atau tidak ada sama sekali,
adanya tanda Triangular cord sangat sensitive menunjukkan adanya atresia
bilier. Hal ini dapat digunakan untuk menilai sistem hepatobiliary neonatal
dan dapat tidak termasuk anomali anatomi lainnya.Ultrasonography juga
bisa digunakan untuk mengevaluasi parenkim hati. Ultrasonografi cepat,

18
aman dan non-invasif bermakna pada evaluasi bayi dengan ikterik. Pada
atresia bilier, kandung empedu kecil atau tidak terlihat. Duktus bilier tidak
terlihat dan hepar mungkin mengalami peningkatan echogenicity. Sebagai
tambahan, munculnya anomali polisplenia (limpa multipel, vena portapre-
duodenal, situs inversus, dan absensia vena cava infrahepatik) memberi
kesandiagnosis.

5. MRI
Temuan pada bayi dengan atresia bilier termasuk visualisasi lengkap
dari sistemextrahepatic empedu dan intensitas sinyal periportal tinggi pada
T2-tertimbang Magnetic Resonance Imaging (MRI) scan (yang mungkin
merupakan dilatasi kistik dari saluran empedu janin dengan sekitarnya
fibrosis). Visualisasi lengkap dari sistem bilier ekstrahepatik tidak
termasuk atresia bilier, tetapi tidak memperlihatkan gambaran yang
menunjukan penyakit saluransaluran empedu atau hati.
6. Pemeriksaan Fungsi hati
Bilirubin, aminotranferase dan faktor pembekuan : protombin time,
partial thromboplastin time.

J. Penatalaksanaan

1. Terapi medikamentosa
a. Memperbaiki aliran bahan-bahan yang dihasilkan oleh hati
terutama asam empedu (asamlitokolat), dengan memberikan :
1). Fenobarbital 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis, per oral.
2). Fenobarbital akan merangsang enzim glukuronil transferase
(untuk mengubah bilirubin indirek menjadi bilirubin direk);
enzimsitokrom P-450 (untuk oksigenisasi toksin), enzim Na+
K+ ATPase (menginduksi aliranempedu).
3). Kolestiramin 1 gram/kgBB/hari dibagi 6 dosis atau sesuai
jadwal pemberian susu. Kolestiramin memotong siklus
enterohepatik asam empedu sekunder

19
b. Melindungi hati dari zat toksik, dengan memberikan : Asam
ursodeoksikolat, 310 mg/kgBB/hari, dibagi 3 dosis per oral. Asam
ursodeoksikolat mempunyai daya ikat kompetitif terhadap asam
litokolat yang hepatotoksik.
2. Terapi nutrisi
Terapi yang bertujuan untuk memungkinkan anak tumbuh dan
berkembang seoptimal mungkin, yaitu :

a. Pemberian makanan yang mengandung medium chain triglycerides


(MCT) untuk mengatasi malabsorpsi lemak dan mempercepat
metabolisme. Disamping itu, metabolisme yang dipercepat akan
secara efisien segera dikonversi menjadi energy untuk secepatnya
dipakai oleh organ dan otot, ketimbang digunakan sebagai lemak
dalam tubuh. Makanan yang mengandung MCT antara lain seperti
lemak mentega, minyak kelapa, dan lainnya.
b. Penatalaksanaan defisiensi vitamin yang larut dalam lemak. Seperti
vitamin A, D, E, K

3. Terapi bedah
a. Kasai Prosedur

Prosedur yang terbaik adalah mengganti saluran empedu yang


mengalirkan empedu keusus. Tetapi prosedur ini hanya mungkin
dilakukan pada 5-10% penderita. Untuk melompati atresia bilier dan

20
langsung menghubungkan hati dengan usus halus, dilakukan
pembedahan yang disebut prosedur Kasai. Biasanya pembedahan ini
hanya merupakan pengobatan sementara dan pada akhirnya perlu
dilakukan pencangkokan hati.

b. Pencangkokan atau Transplantasi Hati

Transplantasi hati memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi


untuk atresia bilier dan kemampuan hidup setelah operasi
meningkat secara dramatis dalam beberapa tahun terakhir. Karena
hati adalah organ satu-satunya yang bisa bergenerasi secara alami
tanpa perlu obat dan fungsinya akan kembali normal dalam waktu 2
bulan. Anak-anak dengan atresia bilier sekarang dapat hidup hingga
dewasa, beberapa bahkan telah mempunyai anak.

Kemajuan dalam operasi transplantasi telah juga meningkatkan


kemungkianan untuk dilakukannya transplantasi pada anak-anak
dengan atresia bilier. Di masa lalu, hanya hati dari anak kecil yang
dapat digunakan untuk transplatasi karena ukuran hati harus cocok.
Baru-baru ini, telah dikembangkan untuk menggunakan bagian dari
hati orang dewasa, yang disebut"reduced size" atau "split liver"
transplantasi, untuk transplantasi pada anak dengan atresia bilier.
Berdasarkan treatment yang diberikan :

1). Palliative treatment

Dilakukan home care untuk meningkatkan drainase empedu


dengan mempertahankan fungsi hati dan mencegah komplikasi
kegagalan hati.

2). Supportive treatment

a). Managing the bleeding dengan pemberian vitamin K yang


berperan dalam pembekuan darah dan apabila kekurangan
vitamin K dapat menyebabkan perdarahan berlebihan dan

21
kesulitan dalam penyembuhan. Ini bisa ditemukan pada
selada, kubis, kol, bayam, kangkung, susu, dan sayuran
berdaun hijau tua adalah sumber terbaik vitamin ini.
b). Nutrisi support, terapi ini diberikan karena klien dengan
atresia bilier mengalami obstruksi aliran dari hati ke dalam
usus sehingga menyebabkan lemak dan vitamin larut lemak
tidak dapat diabsorbsi. Oleh karena itu diberikan makanan
yang mengandung medium chain triglycerides (MCT)
seperti minyak kelapa.
c). Perlindungan kulit bayi secara teratur akibat dari
akumulasi toksik yang menyebar ke dalam darah dan kulit
yang mengakibatkan gatal (pruiritis) pada kulit.
d). Pemberian health edukasi dan emosional support,
keluarga juga turut membantu dalam memberikan stimulasi
perkembangan dan pertumbuhan klien.
K. Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Atresia Bilier
1. Identitas

Berisi tentang identitas klien dan penanggung. Identitas meliputi nama


klien, usia, jenis kelamin.

2. Riwayat kesehatan

a. Riwayat kesehatan sekarang


Pada umumnya bayi masuk rumah sakit dengan keluhan jaundice
dalam 2 minggu sampai 2 bulan, ada rasa gatal-gatal dari tubuh bayi,
tinja warna pucat, distensi abdomen, lemah, bayi tidak mau minum,
letargi, dan sesak.
b. Keluhan utama

Jaundice dalam 2 minggu sampai 2 bulan.

c. Riwayat kesehatan dahulu

22
Apakah ibu pernah terinfeksi virus seperti rubella, apakah ibu
pernah mengkonsumsi obat-obatan yang dapat meningkatkan ikterus
pada bayi.
d. Riwayat kesehatan keluarga
Adanya riwayat keluarga yang menderita kolestasis, maka
kemungkinan besar merupakan suatu kelainan genetik/metabolik.
3. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan
Bagaimana status pertumbuhan pada anak dengan cara menanyakan
pada orang tuanya dan melihat catatan kesehatan tentang ukuran berat
badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar dada, dan lingkr kepala.
Pada riwayat perkembangan dapat diketahui melalui penggunaan
perkembangan DDST II (denver development screning test II)
4. Riwayat imunisasi
Perlu ditanyakan riwayat imunisasi dasar seperti BCG, DPT, Polio,
Hepatitis, Campak maupun imunisasi ulangan (booster)
5. Pemeriksaan Fisik
Pengkajian secara umum dilakukan dengan metode head to toe yang
meliputi:
a. Keadaan umum, kesadaran dan tanda-tanda vital :
Respirasi : meningkat, dan Nadi : takikardi.
b. Kepala : Dapat dinilai bentuk dan ukuran kepala, keadaan rambut dan
kulit kepala.
c. Mata : Dinilai keadaan palpebra, konjungtiva anemis atau tidak, sklera
ikterik, dan keadaan dan refleks pupil.
d. Telinga : Dapat dinilai pada daun telinga, liang telinga, membran
timpani, dan ketajaman pendengaran.
e. Hidung : Dapat dinilai ada tidaknya epitaksis.

23
f. Mulut : dinilai bagaimana keadaan lidah, ada tidaknya radang pada
gusi dan mukosa mulut, ikterik pada sclera kulit dan membrane
mukosa
g. Leher : Ada tidaknya kaku kuduk, nadi karotis teraba atau tidak.
h. Dada
Respirasi : adanya peningkatan frekuensi pernapasan, nampak sesak,
dan ada tidaknya suara napas tambahan.
Cardiovaskuler : iktus cordis nampak dan teraba atau tidak. Auskultasi
bunyi jantung.
i. Abdomen : Ada distensi abdomen, hepatomegali (+), dan asites.
j. Kulit : Pruiritis, jaundice.
6. Pola nutrisi dan eliminasi
a. Nutrisi : anoreksia, tidak toleran terhadap lemak dan makanan
pembentuk gas, dehidrasi
b. Eliminasi : Perubahan warna urin dan feses
Urine : warna gelap seperti teh, pekat
Feses : warna pucat seperti dempul
c. Aktivitas istirahat : Letargi atau kelemahan, Gelisah atau rewel
d. Sirkulasi : Takikardia, berkeringat, ikterik pada sklera kulit dan
membran mukosa.
e. Nyeri/kenyamanan : Otot tegang atau kaku bila kuadran kanan atas
ditekan.
f. Keamanan : Ikterik, kulit berkeringat dan gatal (pruritus),
kecenderungan perdarahan (kekurangan vitamin K), oedem perifer,
jaundice, kerusakan kulit.
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
1). Bilirubin direk dalam serum meninggi.
2). Nilai normal bilirubin total < 12 mg/dl.

24
3). Bilirubin indirek serum meninggi karena kerusakan parenkim hati
akibat bendungan empedu yang luas.
4). Tidak ada urobilinogen dalam urine.
5). Pada bayi yang sakit berat terdapat peningkatan transaminase
alkalifosfatase (5-20 kali lipat nilai normal) serta traksi-traksi lipid
(kolesterol fosfolipid trigiliserol)
b. Pemeriksaan diagnostik

1). USG yaitu untuk mengetahui kelainan congenital penyebab


kolestasis ekstra hepatic (dapat berupa dilatasi kristik saluran
empedu).
2). Memasukkan pipa lambung cairan sampai duodenum lalu cairan
duodenum di aspirasi. Jika tidak ditemukan cairan empedu dapat
berarti atresia empedu terjadi
3). Sintigrafi radio kolop hepatobilier untuk mengetahui
kemampuan hati memproduksi empedu dan mengekskresikan ke
saluran empedu sampai tercurah ke duodenum. Jika tidak
ditemukan empedu di duodenum, maka dapat berarti terjadi
katresia intra hepatic
4). Biopsy hati perkutan ditemukan hati berwarna coklat kehijauan
dan noduler. Kandung empedu mengecil karena kolaps. 75%
penderita tidak ditemukan lumen yang jelas.
8. Diagnosa Keperawatan
a. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan absorbsi nutrient
yang buruk, mual muntah.
b. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia, mual muntah.
c. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan akumulasi garam
empedu dalam jaringan dtandai dengan adanya pruritus.
d. Risiko perubahan pertumbuhan dan perkembangan (gagal tumbuh)
berhubungan dengan penyakit kronis.
e. Risiko ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan distensi
abdomen
9. Intervensi Keperawatan

25
DX
Tujuan Tindakan Rasional

I Bayi akan mempertahankan 1. Memantau asupan dan 1. Memungkinan evaluasi


keseimbangan cairan dan elektrolit cairan bayi perjam(cairan keseimbangan cairan bayi
yang ditandai dengan pengisian infuse, susu per NGT, atau dan tindakan lebih lanjut
kembali dengan kapiler kurang dari jumlah ASI yang diberikan,
3 detik, turgor kulit baik, produksi (timbang popok)
urine 1-2ml/kgBB/jam

2. Periksa feses tiap hari 2. Mengetahui kadar PH


feces untuk menentukan
absorbsi lemak dan
karbohidrat bayi. (PH
normal 7-7,5)

3. Memantau lingkar perut bayi 3. Untuk mendeteksi asites


setiap hari

4. Tanda dehidrasi
4. Observasi tanda-tanda mengindikasikan
dehidrasi (oliguria, kuilt intervensi segera dalam
kering, turgor kulit buruk, mengatasai kekurangan
ubun-ubun dan mata cekung cairan pada bayi

5. Kolaborasi untuk 5. Mengevaluasi


pemeriksaan elektrolit, keseimbangan dan
kadar protein total, albumin, elektrolit
nitrogen urea darah dan
kreatinin serta darah
lengkap

26
II Bayi akan menunjukkan 1. Ukur masukan diet harian 1. Memberikan informasi
peningkatan berat badan progresif (MCT) tentang kebutuhan
mencapai tujuan dengan nilai pemasukan/defisiensi
laboratorium normal

2. Mungkin sulit untuk


2. Timbang sesuai indikasi. menggunakan berat
Bandingkan perubahan badan sebagai indicator
status cairan, riwatyat berat langsung status nutrisi
badan karena ada gambaran
edema/asites

3. Pasien cenderung
3. Berikan perawatan mulut
mengalami
sering
luka/perdarahan gusi dan
rasa tak enak pada mulut
dimana menambah
anoreksia

III Bayi akan mempertahankan 1. Mandikan dengan air hangat 1. Mencegah kulit kering
kelembapan kulit yang ditandai sehari dua kali dan di olesi berlebihan dan
dengan kulit tidak kering, tidak ada baby cream. Pertahankan memberikan penghilang
pruritus, jaringan kulit utuh dan sprei kering dan bersih rasa gatal. Kelembapan
bebas lecet meningkatkan pruritus
dan resiko kerusakan kulit

2. Pengubahan posisi
menurunkan tekanan
2. Rubah posisi tidur sesuai
pada jaringan dan untuk
jadwal

27
memperbaiki sirkulasi

3. Gunting kuku jari hingga 3. Mencegah dari cidera


pendek, berikan sarung tambahan pada kulit
tangan bila memungkinkan khususnya bila tidur

4. Berikan obat sesuai indikasi 4. Antihistamin dapat


(antihistamin) mengurangi rasa gatal

IV Bayi akan bertumbuh dan 1. Berikan stimulus pada bayi 1. Stimulasi bayi yang
berkembang secara normal yang yang menekankan terencana membantu
ditandai dengan mencapai tahap pencapaian keterampilan tahap-tahap penting
pertumbuhan dan perkembangan motorik kasar dalam perkembangan
yang sesuai dan membantu orangtua
memiliki ikatan dengan
bayi

2. Dapat menghilangkan
2. Jelaskan pada orangtua
stress pada orangtua
bahwa bayi mereka dapat
yang menghadapi
saja tidak mencapai tahap-
masalah dan memberikan
tahap penting
informasi penting tentang
perkembangan dengan
cara-cara menstimulasi
kecepatan yang sama seperti
perkembangan
pada bayi sehat.
3. Mengelompokkan
intervensi memungkinkan
3. Sedapat mungkin lakukan bayi beristirahat tanpa
intervensi secara gangguan, istirahat
berkelompok diperlukan untuk tahap
tumbuh kembang bayi

28
BAB III

V Bayi akan mempertahankan pola 1. Awasi frekuensi, kedalaman, 1. Pernafasan dangkal,


nafas efektif, bebas dispneu dan dan upaya pernafasan cepat/dispneu mungkin
sianosis, dengan nilai GDA dan ada hubungan hipoksia
kapasitas vital dalam rentang atau akumulasi cairan
normal dalam abdomen

2. Menunjukan terjadinya
2. Auskultasi bunyi nafas
komplikasi (contoh
krekles, mengi dan ronchi
adanya bunyi tambahan
menunjukan akumulasi
cairan/sekresi)
meningkatkan resiko
infeksi

3. Perubahan mental dapat


3. Observasi perubahan menunjukkan hipoksia
tingkat kesadaran dan gagal nafas

4. Berikan posisi kepala bayi 4. Memudahkan pernafasan


lebih tinggi dengan menurunkan
tekanan pada diagfragma

5. Berikan tambahan O2 sesuai


indikasi 5. Untuk mencegah hipoksia

6. Kolaborasi untuk 6. Mengetahui perubahan


pemeriksaan GDA status pernafasan dan
terjadinya komplikasi
paru

PENUTUP

A. Kesimpulan

29
Atresia Bilier adalah suatu defek kongenital yang merupakan hasil dari
tidak adanya atau obstruksi satu atau lebih saluran empedu pada
ekstrahepatik atau intrahepatik (Suriadi dan Rita Yulianni, 2006).

Atresia biliary merupakan obliterasi atau hipoplasi satu komponen


atau lebih dari duktus biliaris akibat terhentinya perkembangan janin,
menyebabkan ikterus persisten dan kerusakan hati yang bervariasi dari
statis empedu sampai sirosis biliaris, dengan splenomegali bila berlanjut
menjadi hipertensi porta. (Kamus Kedokteran Dorland, 2006)

30
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. 2003. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta : EGC
R. Taylor, Clive dan Candrasuma Parakrama. 2005. Ringkasan Patologi
Anatomi Edisi 2. Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G. Bare. (2001). Keperawatan medikal bedah
2. (Ed 8). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC).
Sodikin. 2007. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistim Gastrointestinal Dan
Hepatobilier. Salemba Medika
Suddarth dan Brunner. 2001. Buku Ajar keperawatan Medikal Bedah Edisi 8
Volume 2. Jakarta : EGC
Suriadi dan Yulianni Rita. 2006. Asuhan Keperawatan Pada Anak Edisi 2.
Jakarta :Penebar Swadaya
Tjokronegoro dan Hendra Utama. (1996). Ilmu penyakit dalam jilid 1. Jakarta:
FKUI.
Widodo Judarwanto. 2010. Atresia Bilier, Waspadai Bila Kuning Bayi Baru
Lahir yang berkepanjangan.
Wong, D.L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong Edisi 6 Volume 2.
Jakarta : EGC
Price, Sylvia A dan Lorraine M. Wilson. (1994). Patofisiologi, konsep klinis
proses-proses penyakit. Jakarta: Penerbit EGC.
Soeparman. 1987. Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta : FKUI.
Hull, David. 2008. Dasar-Dasar Pediatri Ed. 3. Jakarta : EGC

31

Anda mungkin juga menyukai