Anda di halaman 1dari 33

Dosen Pengampu : Isla

Mata Kuliah : Keperawatan Anak II

TUGAS INDIVIDU

“Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Masalah


Atresia Ductus Hepatikus”

Di Susun Oleh:

Nama : Astari Nasar


Nim : P202102001
Kelas : T1 Keperawatan (Nonreg)

PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS
MANDALA WALUYA KENDARI
T. 2021/2021
A. Konsep Dasar Penyakit
1. Definisi
Atresia bilier (biliary atresia) adalah suatu penghambatan di dalam
pipa/ saluran-saluran yang membawa cairan empedu (bile) dari liver menuju
ke kantung empedu (gallbladder). Ini merupakan kondisi congenital, yang
berarti terjadi saat kelahiran (Lavanilate.2010. Askep Atresia Bilier).
Atresia Bilier adalah suatu defek kongenital yang merupakan hasil dari
tidak adanya atau obstruksi satu atau lebih saluran empedu pada ekstrahepatik
atau intrahepatik (Suriadi dan Rita Yulianni, 2006).
Atresia biliary merupakan obliterasi atau hipoplasi satu komponen
atau lebih dari duktus biliaris akibat terhentinya perkembangan janin,
menyebabkan ikterus persisten dan kerusakan hati yang bervariasi dari statis
empedu sampai sirosis biliaris, dengan splenomegali bila berlanjut menjadi
hipertensi porta (Kamus Kedokteran Dorland, 2006).
Atresia bilier merupakan kegagalan perkembangan lumen pada korda
epitel yang akhirnya menjadi duktus biliaris, kegagalan ini bisa menyeluruh
atau sebagian (Chandrasoma & Taylor,2005).
2. Anatomi Fisiologi
a. Anatomi dan Fungsi Sistem Biliaris
1) Anatomi Sistem Biliary
Hati terletak di belakang tulang-tulang iga (kosta) dalam
rongga abdomen daerah kanan atas. Hati memiliki berat sekitar 1500
gr, dan di bagi menjadi empat lobus. Setiap lobus hati terbungkus oleh
lapisan tipis jaringan ikat yang membentang ke dalam lobus itu sendiri
dan membagi massa hati menjadi unit-unit yang lebih kecil, yang
disebut lobulus. Sirkulasi darah ke dalam dan ke luar hati sangat
penting dalam penyelenggaran fungsi hati.Saluran empedu terkecil
yang disebut kanalikulus terletak di antara lobulus hati. Kanalikulus
menerima hasil sekresi dari hepatosit yang membawanya ke saluran
empedu yang lebih besar yang akhirnya akan membentuk duktus
hepatikus.
Duktus hepatikus dari hati dan duktus sistikus dari kandung
empedu bergabung untuk membentuk duktus koledokus (commom
bile duct) yang akan mengosongkan isinya ke dalam intestinum.
Aliran empedu ke dalam intestinum di kendalikan oleh sfingter Oddi
yang terletak pada tempat sambungan (junction) di mana duktus
koledokus memasuki duodenum. Kandung empedu (vesika felea),
yang merupakan organ berbentuk sebuah pear, berongga dan
menyerupai kantong dengan panjang 7,5 hingga 10 cm, terletak dalam
suatu cekungan yang dangkal pada permukaan inferior hati dimana
organ tersebut terikat pada hati oleh jaringan ikat yang longgar.
Kapasitas kandung empedu 30-50 ml empedu. Dindingnya terutama
tersusun dari otot polos. Kandung empedu dihubungkan dengan
duktus koledokus lewat duktus sistikus.
a) Kandung Empedu
Kandung empedu adalah sebuah kantung berbentuk seperti
buah pear,memiliki panjang 7-10 cm dengan kapasitas 30-50 ml
namun saat terdistensi dapat mencapai 300 ml. Kandung empedu
berlokasi di sebuah lekukan pada permukaaan bawah hepar yang
secara anatomi membagi hepar menjadi lobus kanan dan lobus kiri.
Kandung empedu dibagi menjadi 4 area secara anatomi yaitu
fundus, leher, corpus, dan infundibulum. Fundus berbentuk bulat
dan ujungnya 1-2 cm melebihi batas hepar, strukturnya
kebanyakan berupa otot polos, kontras dengan korpus yang
kebanyakan terdiri dari jaringan elastis.
Leher biasanya membentuk sebuah lengkungan, yang
mencembung dan membesar membentuk Hartmann’s pouch.
Kandung empedu terdiri dari epitel silindris yang mengandung
kolesterol dan tetesan lemak. Mukus disekresi ke dalam kandung
empedu dalam kelenjar tubule alveolar yang ditemukan dalam
mukosa infundibulum dan leher kandung empedu, tetapi tidak
pada fundus dan korpus.
Epitel yang berada sepanjang kandung empedu ditunjang
oleh lamina propria. Lapisan ototnya adalah serat longitudinal
sirkuler dan oblik, tetapi tanpa lapisan yang berkembang
sempurna. Perimuskular subserosa mengandung jaringan
penyambung, saraf, pembuluh darah, limfe dan adiposa. Kandung
empedu ditutupi oleh lapisan serosa kecuali bagian kandung
empedu yang menempel pada hepar. Kandung empedu dibedakan
secara histologis dari organ-organ gastrointestinal lainnya dari
lapisan muskularis mukosa dan submukosa yang sedikit.
b) Pembentukan empedu
Empedu dibentuk secara terus menerus oleh hepatosit dan
dikumpulkan dalam kanalikulus serta saluran empedu. Empedu
terutama tersusun dari air dan elektrolit, seperti natrium, kalium,
kalsium, klorida serta bikarbonat, dan juga mengandung dalam
jumlah yang berati beberapa substansi seperti lesitin, kolesterol,
billirubin serta garam-garam empedu. Empedu dikumpulkan dan
disimpan dalam kandung empedu untuk kemudian dialirkan ke
dalam intestinum bila diperlukan bagi pencernaan. Fungsi empedu
adalah ekskretorik seperti ekskresi bilirubin dan sebagai pembantu
proses pencernaan melalui emulsifikasi lemak oleh garam-garam
empedu.
c) Ekskresi Bilirubin
Bilirubin adalah pigmen yang berasal dari pemecahan
hemoglobin oleh sel-sel pada sistem retikulo endotelial yang
mencakup se-sel Kupffer dari hati. Hepatosit mengeluarkan
bilirubin dari dalam darah dan melalui reaksi kimia mengubahnya
lewat konjugasi menjadi asamglukoronat yang membuat bilirubin
lebih dapat larut di dalam larutan yang encer. Bilirubin
terkonjugasi diekskresikan oleh hepatosit ke dalam kanalikulus
empedu di dekatnya dan akhirnya dibawa dalm empedu ke
duodenum. Dalam usus halus, bilirubin dikonversikan menjadi
urobilinogen yang sebagian akan diekskresikan ke dalam feses dan
sebagian lagi diabsorbsi lewat mukosa intestinal ke dalam daerah
portal.
d) Fungsi Kandung Empedu
Empedu Kandung empedu berfungsi sebagai depot
penyimpanan bagi empedu. Di antara saat-saat makan, ketika
sfingter Oddi tertutup, empedu yang diproduksi oleh hepatosit
akan memasuki kandung empedu. Selama penyimpanan, sebagian
besar air dalam empedu diserap melalui dinding kandung empedu
sehingga empedu dalam kandung empedu lebih pekat lima hingga
sepuluh kali dari konsentrasi saat diekskresikan pertama kalinya
oleh hati. Ketika makanan masuk ke dalam duodenum akan terjadi
kontraksi kandung empedu dan relaksasi sfingter Oddi yang
memungkinkan empedu mengalir masuk ke dalam intestinum.
2) Sistem Bilier terbagi atas :
a) Intrahepatik Sistem biliaris
Intrahepatik terdiri atas kanalikuli biliaris dan duktuli biliaris
intralobular. Duktus biliaris intrahepatik terdiri atas sel kuboid atau
sel epitel kolumnar. Bersama dengan bertambahnya jaringan
konektif fibroelastis di sekitar epitel, maka duktus semakin besar.
Duktus yang terbesar mempunyai otot polos pada dindingnya.
Kanalikuli biliaris sebenarnya bukan merupakan suatu duktus
melainkan suatu dilatasi ruang interseluler antara hepatosit yang
berdekatan. Diameter lumen kanalikuli ini rata-rata 0,7 mm.
b) Ekstrahepatik Sistem biliaris
Ekstrahepatik merupakan suatu saluran yang berada di dalam
ligamentum hepatoduodenale dan secara histologis terdiri atas sel
epitel kolumnar tinggi yang mensekresi mukus, selain itu juga
terdapat jaringan konektif di bawah epitel yang terdiri atas
sejumlah serabut elastis, kelenjar mukus, pembuluh darah dan
saraf. Sistem biliaris extrahepatik terdiri dari :
 Duktus Hepatikus Kiri dan Kanan
Duktus hepatikus kiri dan kanan muncul pada porta
hepatika dari kanan dan kiri lobus hepar dan berbentuk huruf
V. Panjang dari duktus hepatis kiri dan kanan bervariasi
antara 0,5-2,5 cm. Biasanya duktus hepatis kiri lebih panjang
dari kanan dan lebih mudah dilatasi bila terjadi obstruksi di
bagian distal.
 Duktus Hepatikus Komunis
Duktus Hepatikus komunis merupakan gabungan antara
duktus hepatikus kiri dan kanan dengan panjang sekitar 4 cm.
Pada 95 % kasus, gabungan ini berada di luar hepar, tepat di
bawah dari porta hepatis. Pada 5% kasus, bergabung di dalam
hepar.
 Duktus sistikus
Duktus sistikus timbul di bagian leher vesika fellea dan
bergabung dengan duktus hepatika komunis. Panjang duktus
sistikus bervariasi antara 0,5-0,8 cm dengan diameter rata-rata
1-3 mm. Dalam duktus sistikus, mukosa membentuk 5-10
lipatan seperti bulan sabit yang dikenal sebagai spiral valves
of Heister. Valvula ini berfungsi untuk menahan distensi yang
berlebihan atau kolaps dari vesika fellea dengan mengubah
tekanan dalam duktus sistikus dan berfungsi dalam
menghambat masuknya batu empedu ke dalam duktus
koledokus.
 Duktus Koledokus
Duktus koledokus terbentuk dari gabungan duktus
sistikus dengan duktus hepatikus komunis. Panjang duktus ini
sekitar 7,5 cm, namun juga dapat bervariasi tergantung dari
panjang duktus sistikus dan duktus hepatikus komunis dengan
diameter sekitar 6 mm. Duktus koledokus dibagi dalam 4
segmen :
 Supraduodenal
Segmen supraduodenal mempunyai panjang 2,5 cm dan
berada di batas kanan dari ligamentum hepatoduodenal,
yaitu pada bagian anterior dari vena porta dan sebelah
kanan dari arteri hepatika komunis ascendens.
 Retroduodenal
Segmen retroduodenal berada di posterior dari bagian
pertama duodenum dengan panjang sekitar 2,5 - 4 cm.
Segmen ini berjalan sepanjang permukaan inferior
duodenum, kemudian berpindah dari kanan ke kiri dan
berada tepat di kanan dari arteri gastroduodenal.
 Pankreatika
Segmen pankreatika dari duktus koledokus memanjang
dari batas bawah dari bagian awal duodenum ke dinding
posteromedial dari bagian kedua duodenum, dimana
duktus masuk ke dalam dinding duodenum.
 Intraduodenal
segmen intraduodenal mempunyai panjang 2 cm dan
berjalan miring sepanjang dinding duodenum bersama
dengan duktus pankreatikus.
 Ampula vateri
Ampula vateri terbentuk dari pertemuan antara duktus
koledokus dengan duktus pankreatikus. Panjang ampula ini
bervariasi, ditemukan panjangnya lebih dari 2 mm pada 46 %
kasus, sedangkan kurang dari 2 mm pada 32 % kasus dan
tidak ada pertemuan antara duktus pankreatika dengan duktus
koledokus pada 29 % kasus.
 Sphingter Oddi
Pada segmen intraduodenal dari duktus koledokus dan
ampula dikelilingi oleh lapisan serabut otot polos yang
dikenal sebagai Sphingter of Oddi. Sfingter ini merupakan
kelompok serabut otot yang berada pada dinding duktus
koledokus. Pengaturan dari aliran empedu utamanya dikontrol
oleh sfingter ini dan terjadi relaksasi sfingter akibat stimulasi
kolesistokinin dan parasimpatis.
c) Sistem Vaskularisasi Duktus biliaris ekstrahepatik mendapat
vaskularisasi dari beberapa tempat, diantaranya; Duktus hepatis
dan segmen supraduodenal dari duktus koledokus mendapat aliran
darah dari cabang kecil arteri sistikus. Bagian retroduodenal dari
duktus koledokus disuplai oleh cabang retroduodenal dan
posterosuperior dari arteri pankreatikoduodenal. Segmen
pankreatika dan intraduodenal divaskularisasi oleh arteri
pankreatikoduodenal bagian anterior dan posterosuperior.
3. Etiologi
Etiologi atresia bilier masih belum diketahui dengan pasti. Sebagian
ahli menyatakan bahwa faktor genetik ikut berperan, yang dikaitkan dengan
adanya kelainan kromosom trisomi17, 18 dan 21, serta terdapatnya anomali
organ pada 30% kasus atresia bilier. Namun, sebagian besar penulis
berpendapat bahwa atresia bilier adalah akibat proses inflamasi yang merusak
duktus bilier, bisa karena infeksi atau iskemi. Beberapa anak, terutama
mereka dengan bentuk janin atresia bilier, seringkali memiliki cacat lahir
lainnya di jantung, limpa, atau usus.
Sebuah fakta penting adalah bahwa atresia bilier bukan merupakan
penyakit keturunan. Kasus dari atresia bilier pernah terjadi pada bayi kembar
identik, dimana hanya 1 anak yang menderita penyakit tersebut. Atresia bilier
kemungkinan besar disebabkan oleh sebuah peristiwa yang terjadi selama
hidup janin atau sekitar saat kelahiran.
Kemungkinan yang "memicu" dapat mencakup satu atau kombinasi
dari faktor-faktor predisposisi berikut:
a. Infeksi virus atau bakteri
b. Masalah dengan sistem kekebalan tubuh
c. Komponen yang abnormal empedu
d. Kesalahan dalam pengembangan saluran hati dan empedu
e. Hepatocelluler dysfunction
4. Patofisiologi
Penyebabnya sebenarnya atresia bilier tidak diketahui sekalipun
mekanisme imun atau viral injurio bertanggung jawab atas progresif yang
menimbulkan obstruksi saluran empedu. Berbagai laporan menunjukkan
bahwa atresia bilier tidak terlihat pada janin, bayi yang baru lahir (Halamek
dan Stefien Soen, 1997).
Keadaan ini menunjukan bahwa atresia bilier terjadi pada akhir
kehamilan atau pada periode perinatal dan bermanisfestasi dalam waktu
beberapa minggu sesudah dilahirkan. Inflamasi terjadi secara progresif
dengan menimbulkan obstruksi dan fibrosis pada saluran empedu intrahepatik
atau ekstrahepatik (Wong, 2008).
Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan obstruksi
aliran normal empedu keluar hati, kantung empedu dan usus akhirnya akan
menyebabkan peradangan, edema, degenerasi hati, bahkan hati menjadi
fibrosis dan sirosis. Obstruksi melibatkan dua duktus hepatic yaitu duktus
biliaris yang menimbulkan ikterus dan duktus didalam lobus hati yang
meningkatkan ekskresi bilirubin.
Obstruksi yang terjadi mencegah terjadi bilirubin ke dalam usus
menimbulkan tinja berwarna pucat seperti kapur. Obstruksi bilier
menyebabkan akumulasi garam empedu di dalam darah sehingga
menimbulkan gejala pruritus pada kulit. Karena tidak adanya empedu dalam
usus, lemak dan vitamin A, D, E, K tidak dapat di absorbsi sehingga
mengalami kekurangan vitamin yang menyebabkan gagal tumbuh pada anak
(Parakrama, 2005).
5. Manifestasi Klinis
Bayi mengalami ikterus segera setelah lahir, feses pucat dan gambaran
serupa dengan hepatitis neonates. Jika kondisi ini tidak diobati, maka hepar
akan membesar, jantung menjadi tidak terlibat dan ada tanda malabsorbsi
lemak. Gejala yang biasanya timbul dalam waktu 2 minggu setelah lahir,
yaitu berupa:
a. Air kemih bayi berwarna gelap (karena tingkat bilirubin dalam darah
dengan konsentrasi tinggi masuk ke dalam urin)
b. tinja berwarna pucat / acholic (karena kurangnya bilirubin yang diserap),
kulit berwarna kuning
c. berat badan tidak bertambah atau penambahan berat badan berlangsung
lambat, hati membesar.
Pada saat usia bayi mencapai 2-3 bulan, akan timbul gejala berikut:
a. Gangguan pertumbuhan
b. gatal-gatal
c. rewel
d. tekanan darah tinggi pada vena porta (pembuluh darah yang mengangkut
darah dari lambung, usus dan limpa ke hati).
Tanda pertama dari atresia bilier adalah penyakit kuning, yang
menyebabkan warna kuning pada kulit dan bagian putih mata. Jaundice
disebabkan oleh hati tidak mengeluarkan bilirubin, pigmen kuning dari darah.
Biasanya, bilirubin diambil oleh hati dan dilepaskan ke dalam empedu.
Namun, penyumbatan saluran empedu menyebabkan bilirubin dan elemen
lain dari empedu terakumulasi dalam darah.
Bayi akan menunjukan kondisi normal pada saat lahir tetapi dalam
perkembangannya menunjukan jaundice yaitu sebagai berikut:
a. kulit dan sclera mata berubah menjadi kuning
b. warna aurin yang pekat
c. warna feses yang cerah dalam minggu pertama kehidupan
Setiap bayi dengan jaundice, setelah berumur 1 bulan dapat dipastikan
terkena atresia biliaris dengan pemeriksaan darah (diantaranya: tipe bilirubin,
bilirubin konjugasi dan bilirubin tak terkonjugasi). Peningkatan bilirubin
pada bayi dikarenakan kekurangan drainase , abdomen menjadi sangat
tegang, dan perbesaran dikarenakan peningkatan ukuran hati. Jika hal ini
terjadi, bayi akan menjadi rentan dan kehilangan berat badan (meskipun
pertambahan cairan akan menutupinya ).
6. Klasifikasi
Tipe- tipe atresia biliary, secara empiris dapat dikelompokkan dalam 2 tipe:
a. Tipe yang dapat dioperasi / Operable/ correctable
Jika kelainan/sumbatan terdapat dibagian distalnya. Sebagian besar dari
saluran-saluran ekstrahepatik empedu paten.
b. Tipe yang tidak dapat dioperasi / Inoperable/ incorrectable
Jika kelainan / sumbatan terdapat dibagian atas porta hepatic, tetapi akhir-
akhir ini dapat dipertimbangakan untuk suatu operasi porto enterostoma
hati radikal. Tidak bersifat paten seperti pada tipe operatif.
Menurut anatomis atresia billier ada 3 tipe:
1) Tipe I Atresia sebagian atau totalis yang disebut duktus hepatikus
komunis, segmen proksimal paten
2) Tipe IIa Obliterasi duktus hepatikus komunis (duktus billiaris
komunis, duktus sistikus, dan kandung empedu semuanya)
3) Tipe IIb Obliterasi duktus bilierkomunis, duktus hepatikus komunis,
duktus sistikus, kandung empedu normal
4) Tipe III Obliterasi pada semua system duktus billier ekstrahepatik
sampai ke hilus Tipe I dan II merupakan jenis atresia yang dapat di
operasi (correctable) sedangkan tipe III adalah bentuk atresia yang
tidak dapat di Operasi (non correctable), bila telah terjadi sirosis maka
dilakukan transpalantasi hati.
7. Pemeriksaan Diagnostik
Belum ada satu pun pemeriksaan penunjang yang dapat sepenuhnya
diandalkan untuk membedakan antara kolestasis intrahepatik dan
ekstrahepatik. Secara garis besar, pemeriksaan dapat dibagi menjadi 3
kelompok, yaitu pemeriksaan :
a. Laboratorium rutin dan khusus untuk menentukan etiologi dan
mengetahui fungsi hati (darah,urin,tinja).
b. Pencitraan, untuk menentukan patensi saluran empedu dan menilai
parenkim hati.
c. Biopsi hati, terutama bila pemeriksaan lain belum dapat menunjang
diagnosis atresia bilier.
1) Pemeriksaan laboratorium
a) Pemeriksaan rutin Pada setiap kasus kolestasis harus dilakukan
pemeriksaan kadar komponen bilirubin untuk membedakannya dari
hiperbilirubinemia fisiologis. Selain itu dilakukan pemeriksaan darah
tepi lengkap, uji fungsi hati, dan gamma-GT. Kadar bilirubin direk <
4 mg/dl tidak sesuaidengan obstruksi total. Peningkatan kadar
SGOT/SGPT > 10 kali dengan pcningkatan gamma-GT < 5 kali, lebih
mengarah ke suatu kelainan hepatoseluler. Sebaliknya, peningkatan
SGOT < 5kali dengan peningkatan gamma-GT > 5 kali, lebih
mengarah ke kolestasis ekstrahepatik. Menurut Fitzgerald, kadar
gamma-GT yang rendah tidak menyingkirkan kemungkinan atresia
bilier. Kombinasi peningkatan gamma-GT, bilirubin serum total atau
bilirubin direk, dan alkalifosfatase mempunyai spesifisitas 92,9%
dalam menentukan atresia bilier.
 Pemeriksaan urine :
pemeriksaan urobilinogen penting artinya pada pasien yang
mengalami ikterus. Tetapi urobilin dalam urine negatif. Hal ini
menunjukkan adanya bendungan saluran empedu total.
 Pemeriksaan feces :
warna tinja pucat karena yang memberi warna pada tinja /
stercobilin dalam tinja berkurang karena adanya sumbatan.
 Fungsi hati :
bilirubin, aminotranferase dan faktor pembekuan : protombin
time, partial thromboplastin time.
b) Pemeriksaan khusus Pemeriksaan aspirasi duodenum (DAT)
merupakan upaya diagnostik yang cukup sensitif, tetapi penulis lain
menyatakan bahwa pemeriksaan ini tidak lebih baik dari pemeriksaan
visualisasi tinja. Pawlawska menyatakan bahwa karena kadar bilirubin
dalam empedu hanya10%, sedangkan kadar asam empedu di dalam
empedu adalah 60%, maka tidak adanya asam empedu di dalam
cairan duodenum dapat menentukan adanya atresia bilier.
2) Pencitraan
a) Pemeriksaan ultrasonografi
Theoni mengemukakan bahwa akurasi diagnostic USG 77%
dan dapat ditingkatkan bila pemeriksaan dilakukan dalam 3 fase, yaitu
pada keadaan puasa, saat minum dan sesudah minum. Bila pada saat
atau sesudah minum kandung empedu berkontraksi, maka atresia
bilier kemungkinan besar (90%) dapat disingkirkan.
Dilatasi abnormal duktus bilier, tidak ditemukannya kandung
empedu, dan meningkatnya ekogenitas hati, sangat mendukung
diagnosis atresia bilier. Namun demikian, adanya kandung empedu
tidak menyingkirkan kemungkinan atresia bilier, yaitu atresia bilier
tipe I / distal.
b) Sintigrafi hati
Pemeriksaan sintigrafi sistem hepatobilier dengan isotop
Technetium 99m mempunyai akurasi diagnostik sebesar 98,4%.
Sebelum pemeriksaan dilakukan, kepada pasien diberikan
fenobarbital 5 mg/kgBB/hari per oral, dibagi dalam 2 dosis selama 5
hari. Pada kolestasis intrahepatik pengambilan isotop oleh hepatosit
berlangsung lambat tetapi ekskresinya ke usus normal, sedangkan
pada atresia bilier proses pengambilan isotop normal tetapi
ekskresinya keusus lambat atau tidak terjadi sama sekali.
Di lain pihak, pada kolestasis intrahepatik yang beratjuga tidak
akan ditemukan ekskresi isotop ke duodenum. Untuk meningkatkan
sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan sintigrafi, dilakukan
penghitungan indeks hepatik (penyebaran isotop dihati dan jantung),
pada menit ke-10. Indeks hepatik > 5 dapat menyingkirkan
kemungkinan atresia bilier, sedangkan indeks hepatik < 4,3
merupakan petunjuk kuat adanya atresia bilier. Teknik sintigrafi dapat
digabung dengan pemeriksaan DAT, dengan akurasi diagnosis sebesar
98,4%. Torrisi mengemukakan bahwa dalam mendetcksi atresia bilier,
yang terbaik adalah menggabungkan basil pemeriksaan USG dan
sintigrafi.
c) Liver Scan Scan
pada liver dengan menggunakan metode HIDA (Hepatobiliary
Iminodeacetic Acid). Hida melakukan pemotretan pada jalur dari
empedu dalam tubuh, sehingga dapat menunjukan bilamana ada
blokade pada aliran empedu.
d) Pemeriksaan kolangiografi
Pemeriksaan ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio
Pancreaticography). Merupakan upaya diagnostik dini yang berguna
untuk membedakan antara atresia bilier dengan kolestasis
intrahepatik. Bila diagnosis atresia bilier masih meragukan, dapat
dilakukan pemeriksaan kolangiografi durante operasionam. Sampai
saat ini pemeriksaan kolangiografi dianggap sebagai baku emas untuk
membedakan kolestasis intrahepatik dengan atresia bilier.
3) Biopsi hati
Gambaran histopatologik hati adalah alat diagnostik yang paling
dapat diandalkan. Ditangan seorang ahli patologi yang berpengalaman,
akurasi diagnostiknya mencapai 95%, sehingga dapat membantu
pengambilan keputusan untuk melakukan laparatomi eksplorasi,
danbahkan berperan untuk penentuan operasi Kasai. Keberhasilan aliran
empedu pasca operasi Kasai di 6 tukan oleh diameter duktus bilier yang
paten di daerah hilus hati. Bila diameter duktus100 200 u atau 150 400 u
maka aliran empedu dapat terjadi.
Desmet dan Ohya menganjurkan agar dilakukan frozen section
pada saat laparatomi eksplorasi, untuk menentukan apakah
portoenterostomi dapat dikerjakan. Gambaran histopatologik hati yang
mengarah ke atresia bilier mengharuskan intervensi bedah secara dini.
Yang menjadi pertanyaan adalah waktu yang paling optimal untuk
melakukan biopsi hati. Harus disadari, terjadinya proliferasi duktuler
(gambaran histopatologik yang menyokong diagnosis atresia bilier tetapi
tidak patognomonik) memerlukan waktu. Oleh karena itu tidak
dianjurkan untuk melakukan biopsi pada usia < 6 minggu
8. Penatalaksaan
a. Terapi medikamentosa
1) Memperbaiki aliran bahan-bahan yang dihasilkan oleh hati terutama
asam empedu (asamlitokolat), dengan memberikan :
a) Fenobarbital 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis, per oral.
b) Fenobarbital akan merangsang enzim glukuronil transferase
(untuk mengubah bilirubin indirek menjadi bilirubin direk);
enzimsitokrom P-450 (untuk oksigenisasi toksin), enzim Na+ K+
ATP ase (menginduksi aliranempedu). Kolestiramin 1 gram/
kgBB/ hari dibagi 6 dosis atau sesuai jadwal pemberian susu.
Kolestiramin memotong siklus enterohepatik asam empedu
sekunder
2) Melindungi hati dari zat toksik, dengan memberikan :
Asam ursodeoksikolat, 310 mg/kgBB/hari, dibagi 3 dosis per oral.
Asam ursodeoksikolat mempunyai daya ikat kompetitif terhadap asam
litokolat yang hepatotoksik.
b. Terapi nutrisi Terapi yang bertujuan untuk memungkinkan anak tumbuh
dan berkembang seoptimal mungkin, yaitu :
1) Pemberian makanan yang mengandung medium chain triglycerides
(MCT) untuk mengatasi malabsorpsi lemak dan mempercepat
metabolisme. Disamping itu, metabolisme yang dipercepat akan secara
efisien segera dikonversi menjadi energy untuk secepatnya dipakai
oleh organ dan otot, ketimbang digunakan sebagai lemak dalam tubuh.
Makanan yang mengandung MCT antara lain seperti lemak mentega,
minyak kelapa, dan lainnya.
2) Penatalaksanaan defisiensi vitamin yang larut dalam lemak. Seperti
vitamin A, D, E, K
B. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Keperawatan
a. Pengumpulan data
Identitas Meliputi Nama,Umur, Jenis Kelamin dan data-data umum
lainnya. Hal ini dilakukan sebagai standar prosedur yang harus dilakukan
untuk mengkaji keadaan pasien. Umumnya Atresia billiaris lebih banyak
terjadi pada perempuan. Atresia bilier dtemukan pada 1 dari 15.000
kelahiran. Rasio atresia bilier pada anak perempuan dan anak laki-laki
adalah 2:1.
b. Keluhan Utama
Keluhan utama dalam penyakit Atresia Biliaris adalah Jaundice dalam
2 minggu sampai 2 bulan Jaundice adalah perubahan warna kuning pada
kulit dan mata bayi yang baru lahir. Jaundice terjadi karena darah bayi
mengandung kelebihan bilirubin, pigmen berwarna kuning pada sel darah
merah.
c. Riwayat Penyakit Sekarang Anak dengan Atresia Biliaris mengalami
Jaundice yang terjadi dalam 2 minggu atau 2 bulan lebih, apabila anak
buang air besar tinja atau feses berwarna pucat. Anak juga mengalami
distensi abdomen, hepatomegali, lemah, pruritus. Anak tidak mau minum
dan kadang disertai letargi (kelemahan).
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Adanya suatu infeksi pada saat Infeksi virus atau bakteri masalah
dengan kekebalan tubuh. Selain itu dapat juga terjadi obstruksi empedu
ektrahepatik. yang akhirnya menimbulkan masalah dan menjadi factor
penyebab terjadinya Atresia Biliaris ini.
Riwayat Imunisasi:
imunisasi yang biasa diberikan yaitu BCG, DPT, Hepatitis, dan Polio.
e. Riwayat Kesehatan Keluarga
Anak dengan atresia biliaris diduga dalam keluarganya, khususnya
pada ibu pernah menderita penyakit terkait dengan imunitas HIV/AIDS,
kanker, diabetes mellitus, dan infeksi virus rubella. Akibat dari penyakit
yang di derita ibu ini, maka tubuh anak dapat menjadi lebih rentan
terhadap penyakit atresia biliaris. Selain itu terdapat kemungkinan adanya
kelainan kongenital yang memicu terjadinya penyakit atresia biliaris ini.
f. Riwayat Perinatal
1) Antenatal:
Pada anak dengan atresia biliaris, diduga ibu dari anak pernah
menderita infeksi penyakit, seperti HIV/AIDS, kanker, diabetes
mellitus, dan infeksi virus rubella
2) Intra natal:
Pada anak dengan atresia biliaris diduga saat proses kelahiran bayi
terinfeksi virus atau bakteri selama proses persalinan.
3) Post natal:
Pada anak dengan atresia diduga orang tua kurang memperhatikan
personal hygiene saat merawat atau bayinya. Selain itu kebersihan
peralatan makan dan peralatan bayi lainnya juga kurang diperhatikan
oleh orang tua ibu.
g. Pemeriksaan Tingkat Perkembangan
Pemeriksaan tingkat perkembangan terdiri dari adaptasi sosial,
motorik kasar, motorik halus, dan bahasa. Tingkat perkembangan pada
pasien atresia biliaris dapat dikaji melalui tingkah laku pasien maupun
informasi dari keluarga. Selain itu, pada anak dengan atresia biliaris,
kebutuhan akan asupan nutrisinya menjadi kurang optimal karena terjadi
kelainan pada organ hati dan empedunya sehingga akan berpengaruh
terhadap proses tumbuh kembangnya.
h. Keadaan Lingkungan yang mempengaruhi timbulnya penyakit
i. Kedaan lingkungan yang mempengaruhi timbulnya atresia pada anak
yaitu pola kebersihan yang cenderung kurang. Orang tua jarang mencuci
tangan saat merawat atau menetekkan bayinya. Selain itu, kebersihan
botol atau putting ketika menyusui bayi juga kurang diperhatikan.
j. Pola Fungsi Kesehatan
1) Pola Aktivitas/Istirahat :
Pola aktivitas dan istirahat anak dengan atresia biliaris terjadi
gangguan yaitu ditandai dengan anak gelisah dan rewel yang
gejalanya berupa letargi atau kelemahan
2) Pola Sirkulasi :
Pola sirkulasi pada anak dengan atresia biliaris adalah ditandai dengan
takikardia, berkeringat yang berlebih, ikterik pada sklera kulit dan
membrane mukosa.
3) Pola Eliminasi :
Pola eliminasi pada anak dengan atresia biliaris yaitu terdapat distensi
abdomen dan asites yang ditandai dengan urine yang berwarna gelap
dan pekat. Feses berwarna dempul, steatorea. Diare dan konstipasi
pada anak dengan atresia biliaris dapat terjadi.
4) Pola Nutrisi :
Pola nutrisi pada anak dengan atresia biliaris ditandai dengan
anoreksia,nafsu makan berkurang, mual-muntah, tidak toleran
terhadap lemak dan makanan pembentuk gas dan biasanya disertai
regurgitasi berulang.
5) Pola kognitif dan persepsi sensori:
pola ini mengenai pengetahuan orang tua terhadap penyakit yang
diderita klien
6) Pola konsep diri :
bagaimana persepsi orang tua dan/atau anak terhadap pengobatan dan
perawatan yang akan dilakukan.
7) Pola hubungan-peran :
biasanya peran orang tua sangat dibutuhkan dalam merawat dan
mengobati anak dengan atresia biliaris.
8) Pola seksual-seksualitas :
apakah selama sakit terdapat gangguan atau tidak yang berhubungan
dengan reproduksi sosial. Pada anak yang menderita atresia biliaris
biasanya tidak ada gangguan dalam reproduksi.
9) Pola mekanisme koping :
keluarga perlu memeberikan dukungan dan semangat sembuh bagi
anak.
10) Pola nilai dan kepercayaan :
orang tua selalu optimis dan berdoa agar penyakit pada anaknya dapat
sembuh dengan cepat.
k. Pemeriksaan Fisik
Gejala biasanya timbul dalam waktu 2 minggu setelah lahir, yaitu berupa:
1) Air kemih bayi berwarna gelap
2) Tinja berwarna pucat
3) Kulit berwarna kuning
4) Berat badan tidak bertambah atau penambahan berat badan
berlangsung lambat
5) Hati membesar.
6) Pada saat usia bayi mencapai 2-3 bulan, akan timbul gejala berikut:
a) Gangguan pertumbuhan
b) Gatal-gatal
c) Rewel
d) Tekanan darah tinggi pada vena porta (pembuluh darah yang
mengangkut darah dari lambung, usus dan limpa ke hati).
7) Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan umum : lemah.
TTV :
Tekanan Darah : Terjadi peningkatan terutama pada vena
porta Suhu : Suhu tubuh dalam batas normal
Nadi : Takikardi
RR : Terjadi peningkatan RR akibat
diafragma yang tertekan (takipnea)
b) Kepala dan leher
Inspeksi :
Wajah : simetris
Rambut : lurus/keriting, distribusi merata/tidak
Mata : pupil miosis, konjungtiva anemis
Hidung : kemungkinan terdapat pernafasan
cuping hidung
Telinga : bersih
Bibir dan mulut : mukosa biibir kemungkinan terdapat
ikterik Lidah : normal
Palpasi : tidak ada pembesaran kelenjar thyroid
dan limfe pada leher
c) Dada
Inspeksi : asimetris, terdapat tarikan otot bantu
pernafasan dan tekanan pada otot
diafragma akibat pembesaran hati
(hepatomegali).
Palpasi : denyutan jantung teraba cepat, terdapat
nyeri tekan(-)
Perkusi : Jantung : dullness Paru : sonor
Auskultasi : tidak terdengar suara ronchi
kemungkinan terdengar bunyi wheezing
d) Abdomen
Inspeksi : terdapat distensi abdomen
Palpasi : dapat terjadi nyeri tekan ketika dipalpasi
Perkusi : sonor
Auskultasi : kemungkinan terjadi pada bising usus
e) Kulit
Turgor kurang, pucat, kulit berwarna kuning (jaundice)
f) Ekstremitas
Tidak terdapat odem pada pada extremitas
g) Pemeriksaan Penunjang
 Laboratorium
 Bilirubin direk dalam serum meninggi (nilai normal
bilirubin total < 12 mg/dl) karena kerusakan parenkim hati
akibat bendungan empedu yang luas.
 Tidak ada urobilinogen dalam urine.
 Pada bayi yang sakit berat terdapat peningkatan
transaminase alkalifosfatase (5-20 kali lipat nilai normal)
serta traksi-traksi lipid (kolesterol fosfolipid trigiliserol).
 Pemeriksaan diagnostik
 USG
yaitu untuk mengetahui kelainan congenital penyebab
kolestasis ekstra hepatic (dapat berupa dilatasi kristik
saluran empedu)
 Memasukkan pipa lambung cairan sampai duodenum lalu
cairan duodenum di aspirasi. Jika tidak ditemukan cairan
empedu dapat berarti atresia empedu terjadi
 Sintigrafi radio kolop hepatobilier
untuk mengetahui kemampuan hati memproduksi empedu
dan mengekskresikan ke saluran empedu sampai tercurah
ke duodenum. Jika tidak ditemukan empedu di duodenum,
maka dapat berarti terjadi katresia intra hepatik
 Biopsy hati perkutan ditemukan hati berwarna coklat
kehijauan dan noduler. Kandung empedu mengecil karena
kolaps. 75% penderita tidak ditemukan lumen yang jelas
2. Diagnosa Keperawatan
Adapun Diagnosa Menurut Standart Diangnosa Kepererawatan
Indonesia [ CITATION DPP17 \l 1057 ].
a. Pola Napas Tidak Efektif D.0005
1) Definisi
Inspirasi dan atau ekspirasi yang tidak memberikan ventilasi adekuat.
2) Penyebab ( Faktor yang berhubungan)
Depresi pusat pernapasan, hambatan upaya napas ( misal,nyeri saat
bernapas, kelemahan otot saat bernapas). Deformitas dinding dada,
deformitas tulang dada, gangguan neuromuskular, gangguan
neurologis, imaturitas neurologis, penurunan energi, obesitas, posisi
tubuh yang menghambat ekpansi paru, sindrom hipoventilasi,
kerusakan inervasi diafragma, cedera medula spinalis, efek agen
farmakologis, kecemasan.
3) Gejala dan tanda ( Batasan Karakteristik )
Obyektif :
Penggunaan otot bantu pernapasan, fase ekspirasi memenjang, pola
napas abnormal (misal: takipnea, bradipnea, hipervenstilasi,
kussmaul, cheyne-stokes). Pernapasan purse lip, pernapasan cuping
hidung, diameter toraks anterior-posterior meningkta, ventilasi
semenit, kapasitas vital menurun, tekanan ekspirasi dan inspirasi
menurun dan ekskursi dada berubah.
Subyektif :
Dispnea dan ortopnea
b. Defisit Nutrisi D.0019
1) Definisi
Asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme
2) Penyebab ( Faktor yang berhubungan)
Ketidakmampuan mencerna makanan, ketidakmampuan menelan
makanan, ketidakmampuan mengabsorpsi nutrient, peningkatan
kebutuhan metabolisme, faktor ekonomi dan faktor psikologis.
3) Gejala dan tanda ( Batasan Karakteristik )
Obyektif :
Berat badan menurun minimal 10% di bawah rentang ideal, bising
usus hiperaktif, otot pengunyah lemah, otot menelan lemah,
membran mukosa pucat, sariawan, serum albumin turun, rambut
rontok berlebihan dan diare.
Subyektif :
Cepat kenyang setelah makan, kram/nyeri abdomen dan nafsu
makan menurun.
c. Hipertemia D.0130
1) Definisi
Suhu tubuh meningkat di atas rentang normal tubuh.
2) Penyebab ( Faktor yang berhubungan)
Dehidrasi, terpapar lingkungan panas, proses penyakit (misal, infeksi
dan kanker). Ketidaksesuaian pakaian dan lingkungan, peningkatan
laju metabolisme, respon trauma, aktivitas berlebihan dan
penggunaan inkubator
3) Gejala dan tanda ( Batasan Karakteristik )
Obyektif :
Suhu tubuh di atas rentang normal, kulit merah, kejang, takikardia,
takipnea dan kulit terasa hangat.
Subyektif : -
d. Hipovolemia D.0023
1) Definisi
Penurunan volume cairan intravaskular, intertistial dan atau
intraselular
2) Penyebab ( Faktor yang berhubungan)
Kehilangan cairan aktif, kegagalan mekanisme regulasi, peningkatan
permeabilitas kapiler, kekurangan intake cairan dan evaporasi.
3) Gejala dan tanda ( Batasan Karakteristik )
Obyektif :
Frekuensi nadi meningkat, nadi teraba lemah, tekanan darah
menurun, tekanan nadi menyempit, turgor kulit menurun, membran
mukosa kering, volume urin menurun hematokrit meningkat,
pengisian vena menurun, status mental berubah, suhu tubuh
meningkat, konsenyrasi urin meningkat dan berat badan menurun
tiba-tiba.
Subyektif : Merasa lemah dan mengeluh haus.
3. Intervensi Keperawatan
Adapun menurut Standar Intervensi Keperawatan Indonesia [ CITATION
DPP18 \l 1057 ], mengatakan bahwa adalah sebagai berikut:
a. Pola napas tidak efektif
1) Tujuan
Tujuan keperawatan pola napas tidak efektif. Menurut [ CITATION
PPN182 \l 1057 ] ( L.01004 Hal 95). Mengatakan bahwa setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama ... jam, di harapkan inspirasi
dan atau ekspirasi yang memberikan ventilasi adekuat dengan
Kriteria Hasil :
Kapasitas vital : meningkat 5
Pernapasan cuping hidung : menurun 5
Ekskursi dada : membaik 5
2) Intervensi Keperawatan
Manajemen jalan napas [ CITATION DPP18 \l 1057 ] (I.01011 Hal. 186)
Observasi :
a) Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas).
b) Monitor bunyi napas tambahan (misal gurgling, mengi, wheezing,
ronkhi kering).
c) Monitor sputum (jumlah, warna, aroma).
Terapeutik :
a) Posisikan semi fowler atau fowler
b) Berikan minum hangat
c) Lakukan fisioterapi dada
d) Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
e) Berikan oksigen
Edukasi :
Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak kontraindikasi
Kolaborasi :
Kolaborasikan pemberian bronkodilator, ekspektron, mukolitik, jika
perlu.
b. Defisit Nutrisi
1) Tujuan
Tujuan keperawatan defisit nutrisi. Menurut [ CITATION PPN182 \l
1057 ]
(L.03030 Hal 121) mengatakan bahwa, setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama ... jam, di harapkan keadekuatan asupan nutrisi
untuk memenuhi kebutuhan metabolisme.
Frekuensi makan : membaik 5
Nafsu makan : membaik 5
Membran mukosa : membaik 5

2) Intervensi Keperawatan
Defisit Nutrisi [ CITATION DPP18 \l 1057 ] (I.03120 Hal. 200)
Observasi :
a) Identifikasi indikasi pemberian nutrisi parinteral (misal. Gangguan
absorpsi makanan, mengistirahatkan usus, gangguan motilitas
usus, jalur enteral tidak memungkinkan).
b) Identifikasi jenis akses parenteral yang di berikan (misal. Perifer,
sentral).
c) Monitor reaksi alergi pemberian nutrisi
d) Monitor kepatenan intravena
e) Monitor asupan nutrisi
f) Monitor komplikasi (misal. Mekanik, septik, metabolik)
Terapeutik :
a) Hitung kebutuhan kalori
b) Berikan nutrisi parenteral sesuai indikasi
c) Atur kecepatan pemberian infus yang tepat
d) Gunakan infusion pumb, jika tersedia
Edukasi :
Jelaskan tujuan dan prosedur pemberian nutrisi parenteral
Kolaborasi :
Kolaborasi pemasangan vena sentral , jika perlu
c. Hipertemia
1) Tujuan
Tujuan keperawatan hipertemia. Menurut [ CITATION PPN182 \l 1057 ]
(L.14134 Hal 129) mengatakan bahwa, setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama ... jam, di harapkan pengaturan suhu tubuh agar
tetap dalam rentang normal.
Kriteria Hasil :
Mengigil : menurun 5
Kulit merah : menurun 5
Suhu tubuh : membaik 5
Pengisian kapiler : membaik 5
2) Intervensi Keperawatan
Manajemen hipertemia [ CITATION DPP18 \l 1057 ] (I.15506 Hal. 181)
Observasi :
a) Identifikasi penyebab hipertemia (misal. Dehidrasi, terpapar
lingkungan panas, inkubator).
b) Monitor suhu
c) Monitor kadar elektrolit
d) Monitor haluaran urin
e) Monitor komplikasi akibat hipertemia
Terapeutik :
a) Sediakan lingkungan yang dingin
b) Longgarkan atau lepaskan pakaian
c) Berikan cairan oral
d) Ganti linen setiap hari atau lebih sering jika mengalami
hiperhidrosis (keringat berlebihan).
e) Berikan oksigen
f) Hindari pemberian antipiretik atau aspirin

Edukasi :
Anjurkan tirah baring
Kolaborasi :
Kolaborasi pemberian carian atau elektrolit intravena
d. Hipovolemia
1) Tujuan
Tujuan keperawatan hipovolemia. Menurut [ CITATION PPN182 \l 1057 ]
(L.03028 Hal 107) mengatakan bahwa setelah dilakukan tindakan
keprawatan selama ... jam, di harapkan kondisi volume cairan
intravaskular, interstisiel atau intraseluler membaik dengan
Kriteria Hasil :
Turgor kulit : meningkat 5
Pengisian vena : meningkat 5
Keluhan haus : menurun 5
2) Intervensi Keperawatan
Manajemen hipovolemia [ CITATION DPP18 \l 1057 ] (I.03116 Hal.
184)
Observasi :
a) Periksa tanda dan gejala hipovolemia (mis. Frekuensi nadi
meningkat, nadi teraba lemah, tekanan nadi menurun, tekanan
nadi menyempit, turgor kulit menurun, membran mukosa kering,
volume urin menurun, hematokrit meningkat, haus dan lemah).
b) Monitor intake dan output cairan
Terapeutik :
a) Hitung kebutuhan cairan
b) Berikan posisi midified trendelenburg
c) Berikan asupan cairan oral

Edukasi :
a) Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral
b) Anjurkan menghindari posisi mendadak
Kolaborasi :
a) Kolaborasikan pemberian cairan IV istonis (mis. NaCl, RL)
b) Kolaborasikan pemberian cairan hipotonis (mis. glukosa 2.5%
NaCl 0,4 %).
c) Kolaborasikan pemberian cairan koloid (mis. Albumin,
plasmanate).
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan merupakan suatu tindakan atau pelaksanaaan
dari sebuah rencana yang sudah di susun secara matang dan terperinci,
implementasi biasanya di lakukan setelah perencaan di anggap sempurna.
Menurut Nurdin Usman mengatakan bahwa, implementasi adalah bermuara
pada aktivitas, aksi, tindakan atau adanya mekanisme suatu sistem.
Implementasi bukan sekedar aktivitas tetapi suatu kegiatan yang terencana
untuk mencapai tujuan kegiatan.
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan merupakan tahap akhir yang bertujuan untuk menilai
apakah tindakan keperawatan yang di lakukan tercapai atau tidak untuk
mengatasi suatu masalah (Meirisa, 2013).
DAFTAR PUSTAKA

U. Cahya Ladyane. W.P,Annisa Della. 2016. Asuhan Keperawatan Pada Atresia


Billiaris. Program Studi Ilmu Keperawatan: Universitas Jember. Jember.
Serena, Kurnia Agustina dkk. 2019. Makalah Keperawatan Anak: Atreasia Ductus.
Sekolah Tinggi Kesehatan Wira Husada . Yogyakarta.
PPNI, S. D. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. In Definisi Dan
Tindakan Keperawatan. jakarta.
PPNI, T. P. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia. In Definisi Dan Kriteria
Hasil Keperawatan.
PPNI, T. P. (2017). Standart Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi Dan
Indikator Diagnostik. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai