PENDAHULUAN
Ada tiga kategori utama anestesi yaitu anestesi umum, anestesi regional dan
anestesi lokal. Seorang ahli anestesi akan menentukan jenis anestesi yang
menurutnya terbaik dengan mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dari
masing-masing tindakannya tersebut. Anestesi umum ialah suatu keadaan yang
ditandai dengan hilangnya persepsi terhadap semua sensasi akibat induksi obat.
Dalam hal ini, selain hilangnya rasa nyeri, kesadaran juga hilang. Obat anestesi
umum terdiri atas golongan senyawa kimia yang heterogen, yang mendepresi SSP
secara reversibel dengan spektrum yang hampir sama dan dapat dikontrol. Obat
anastesi umum dapat diberikan secara inhalasi dan secara intravena.2
1
Kolelithiasis adalah istilah medis yang digunakan pada penyakit batu
empedu. Batu empedu (gallstones) adalah massa padat yang terbentuk dari
endapan mineral pada saluran empedu. Batu empedu terbentuk secara perlahan
dan terkadang asimtomatik selama beberapa dekade. Migrasi batu empedu ke
ductus cysticus dapat menghalangi aliran pada kandung empedu selama terjadinya
kontraksi pada proses sekresi. Akibat dari peningkatan tegangan dinding kandung
empedu memberi sensasi nyeri (kolik bilier).3
Anestesi pada geriatri atau pasien tua berbeda dengan anastesi pada dewasa
muda pada umumnya. Penurunan faal tubuh dan perubahan degeneratif yang
mempengaruhi banyak sistem organ membuat respon pasien usia tua terhadap
agen-agen anestesi menjadi berbeda. Usia lanjut bukan merupakan kontraindiksi
untuk anestesi umum maupun regional. Penyakit yang umumnya ditemukan pada
usia lanjut memiliki dampak yang signifikan terhadap tindakan anestesi dan
memerlukan perawatan khusus, sehingga penting untuk menentukan status fisik
pasien dan memperkirakan cadangan fisiologis dalam evaluasi preanestesi.1,5
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. KOLELITHIASIS
1.1 Anatomi
Vesica Fellea6
Kandung empedu (Vesica fellea) adalah kantong berbentuk buah
advokat yang terletak pada permukaan visceral hepar dengan panjang
sekitar 4-6 cm dan berisi 30-60 ml empedu. Kandung empedu tertutup
seluruhnya oleh peritoneum visceral, tetapi infundibulum kandung empedu
tidak terfiksasi ke permukaan hati oleh lapisan peritoneum. Apabila
kandung empedu mengalami distensi akibat bendungan oleh batu, bagian
infundibulum menonjol seperti kantong yang disebut kantong Hartmann.1
Vesica fellea dibagi menjadi fundus, corpus dan collum. Fundus
berbentuk bulat dan biasanya menonjol dibawah pinggir inferior hepar,
dimana fundus berhubungan dengan dinding anterior abdomen setinggi
ujung rawan costa IX kanan. Corpus bersentuhan dengan permukaan
visceral hati dan arahnya keatas, belakang dan kiri. Collum dilanjutkan
sebagai duktus sistikus yang berjalan dalam omentum minus untuk bersatu
dengan sisi kanan duktus hepatikus komunis membentuk duktus
koledokus.3,6
Ductus
Duktus sistikus panjangnya 1-2 cm dengan diameter 2-3 mm.
Dinding lumennya mengandung katup berbentuk spiral disebut katup spiral
Heister, yang memudahkan cairan empedu masuk kedalam kandung
empedu, tetapi menahan aliran keluarnya. Saluran empedu ekstrahepatik
terletak didalam ligamentum hepatoduodenale yang batas atasnya porta
hepatis, sedangkan batas bawahnya distal papilla Vater. Bagian hulu saluran
empedu intrahepatik berpangkal dari saluran paling kecil yang disebut
kanalikulus empedu yang meneruskan curahan sekresi empedu melalui
duktus interlobaris ke duktus lobaris dan selanjutnya ke duktus hepatikus di
hilus.3,6
Panjang duktus hepatikus kanan dan kiri masing-masing antara 1-4
cm. Panjang duktus hepatikus komunis sangat bervariasi, bergantung pada
3
letak muara duktus sistikus. Duktus koledokus berjalan di belakang
duodenum menembus jaringan pankreas dan dinding duodenum membentuk
papilla Vater yang terletak di sebelah medial dinding duodenum. Ujung
distalnya dikelilingi oleh otot sfingter Oddi, yang mengatur aliran empedu
ke dalam duodenum. Duktus pankreatikus umumnya bermuara ditempat
yang sama oleh duktus koledokus di dalam papilla Vater, tetapi dapat juga
terpisah.
Vaskularisasi
Pembuluh arteri kandung empedu adalah a.cystica, cabang a.hepatica
kanan. V. cystica mengalirkan darah langsung ke dalam vena porta.
Sejumlah arteri yang sangat kecil dan vena – vena juga berjalan antara hati
dan kandung empedu.6
Pembuluh limfe dan persarafan
Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang
terletak dekat collum vesica fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan
melalui nodi lymphatici hepaticum sepanjang perjalanan a. hepatica menuju
ke nodi lymphatici coeliacus. Saraf yang menuju ke kandung empedu
berasal dari plexus coeliacus. 6
4
1.2 Fisiologi
1.2.1 Sekresi Empedu
Empedu dibentuk oleh sel-sel hati ditampung di dalam kanalikuli.
Kemudian disalurkan ke duktus biliaris terminalis yang terletak di dalam
septum interlobaris. Saluran ini kemudian keluar dari hati sebagai duktus
hepatikus kanan dan kiri. Kemudian keduanya membentuk duktus biliaris
komunis. Pada saluran ini sebelum mencapai doudenum terdapat cabang ke
kandung empedu yaitu duktus sistikus yang berfungsi sebagai tempat
penyimpanan empedu sebelum disalurkan ke duodenum. 6
Empedu melakukan dua fungsi penting yaitu :
a. Empedu memainkan peranan penting dalam pencernaan dan absorpsi
lemak karena asam empedu yang melakukan dua hal antara lain: asam
empedu membantu mengemulsikan partikel-partikel lemak yang besar
menjadi partikel yang lebih kecil dengan bantuan enzim lipase yang
disekresikan dalam getah pankreas. Asam empedu membantu transpor
dan absorpsi produk akhir lemak yang dicerna menuju dan melalui
membran mukosa intestinal.
b. Empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa
produk buangan yang penting dari darah, antara lain bilirubin, suatu
produk akhir dari penghancuran hemoglobin, dan kelebihan kolesterol
yang di bentuk oleh sel- sel hati. 3
5
memekatkan zat-zat empedu lainnya, termasuk garam empedu, kolesterol,
lesitin, dan bilirubin. Kebanyakan absorpsi ini disebabkan oleh transpor
aktif natrium melalui epitel kandung empedu, dan keadaan ini diikuti oleh
absorpsi sekunder ion klorida, air, dan kebanyakan zat-zat terlarut lainnya.
Empedu secara normal dipekatkan sebanyak 5 kali lipat dengan cara ini,
sampai maksimal 20 kali lipat. 3,6
6
Secara normal pengosongan kandung empedu secara
menyeluruh berlangsung selama sekitar 1 jam. Pengosongan empedu
yang lambat akibat gangguan neurologis maupun hormonal
memegang peran penting dalam perkembangan inti batu.3
Gambar 2a. Kontraksi sfingter Oddi dan pengisian empedu ke kandung empedu. 2b.
Relaksasi sfingter Oddi dan pengosongan kandung empedu.
7
a. Menurunkan tegangan permukaan dari partikel lemak yang terdapat
dalam makanan, sehingga partikel lemak yang besar dapat dipecah
menjadi partikel-partikel kecil untuk dapat dicerna lebih lanjut.
b. Membantu absorbsi asam lemak, monoglycerid, kolesterol dan vitamin
yang larut dalam lemak. 3
Prekursor dari garam empedu adalah kolesterol. Garam empedu yang
masuk ke dalam lumen usus oleh kerja kuman-kuman usus dirubah menjadi
deoxycholat dan lithocholat. Sebagian besar (90%) garam empedu dalam
lumen usus akan diabsorbsi kembali oleh mukosa usus sedangkan sisanya
akan dikeluarkan bersama feses dalam bentuk lithocholat. Absorbsi garam
empedu tersebut terjadi disegmen distal dari ilium. Sehingga bila ada
gangguan pada daerah tersebut misalnya oleh karena radang atau reseksi
maka absorbsi garam empedu akan terganggu. 3
1.2.6 Bilirubin
Hemoglobin yang terlepas dari eritrosit akan pecah menjadi heme dan
globin. Heme bersatu membentuk rantai dengan empat inti pyrole menjadi
biliverdin yang segera berubah menjadi bilirubin bebas. Zat ini di dalam
plasma terikat erat oleh albumin. Sebagian bilirubin bebas diikat oleh zat
lain (konjugasi) yaitu 80 % oleh glukuronide. Bila terjadi pemecahan sel
darah merah berlebihan misalnya pada malaria maka bilirubin yang
terbentuk sangat banyak. 3
1.3 Kolelithiasis
1.3.1 Definisi
Kolelithiasis adalah istilah medis yang digunakan pada penyakit batu
empedu. Batu empedu (gallstones) adalah massa padat yang terbentuk dari
endapan mineral pada saluran empedu. 6
Batu empedu terbentuk secara perlahan dan terkadang asimtomatik
selama beberapa dekade. Migrasi batu empedu ke ductus cysticus dapat
menghalangi aliran pada kandung empedu selama terjadinya kontraksi pada
proses sekresi. Akibat dari peningkatan tegangan dinding kandung empedu
memberi sensasi nyeri (kolik bilier). Tersumbatnya ductus cysticus dalam
8
jangka waktu lebih dari beberapa jam, dapat menyebabkan peradangan
kandung empedu akut (kolesistitis akut). 6
Batu empedu di saluran empedu dapat mempengaruhi bagian distal
pada ampula Vater, titik di mana saluran empedu dan saluran pankreas
bergabung sebelum keluar ke duodenum. Obstruksi aliran empedu oleh batu
di titik ini dapat menyebabkan sakit perut dan sakit kuning. Cairan empedu
akan stagnan di atas sebuah batu yang mengahalangi saluran empedu akan
sering mengalami infeksi, dan bakteri dapat menyebar dengan cepat ke hati
melalui saluran empedu yang dapat mengancam jiwa, disebut ascending
cholangitis. Obstruksi saluran pankreas dapat memicu aktivasi enzim
pencernaan pankreas itu sendiri, mengarah ke pankreatitis akut. 6
Dalam waktu yang lama, batu empedu di kandung empedu dapat
menyebabkan fibrosis progresif dan hilangnya fungsi kandung empedu,
suatu kondisi yang dikenal sebagai kolesistitis kronis. Kolesistitis kronis
predisposisi kanker kandung empedu. 3,6
Ultrasonografi merupakan prosedur diagnostik pilihan pertama pada
kebanyakan kasus dengan dugaan adanya gangguan pada saluran empedu. 3
Pengobatan batu empedu bergantung pada tahapan penyakit. Batu
empedu asimtomatik dapat diobati lebih awal. Setelah batu empedu
menunjukkan gejala, intervensi bedah definitif dengan eksisi kandung
empedu (kolesistektomi). Kolesistektomi adalah salah satu prosedur bedah
abdomen yang paling sering dilakukan. Komplikasi penyakit batu empedu
mungkin memerlukan manajemen khusus untuk meringankan obstruksi dan
infeksi.3
9
batu makroskopik. Oklusi saluran oleh lumpur dan / atau batu akan
menyebabkan komplikasi dari penyakit batu empedu.3
2 zat utama yang terlibat dalam pembentukan batu empedu adalah
kolesterol dan kalsium birubinate.6
a. Batu Empedu Kolesterol
10
Dibandingkan dengan vesikel (yang dapat menimpan hingga 1
molekul kolesterol untuk setiap molekul lesitin), mixed micelles
memiliki daya dukung rendah kolesterol (sekitar 1 molekul kolesterol
untuk setiap 3 molekul lesitin). Jika cairan empedu mengandung
proporsi yang relatif tinggi kolesterol, akan membentuk empedu
terkonsentrasi, pemisahan vesikel secara progresif dapat menyebabkan
keadaan di mana vesikel residual terlampaui. Pada tahap ini, empedu
jenuh dengan kolesterol, dan akan terbentuknya kristal kolesterol
monohidrat.
Dengan demikian, faktor utama yang menentukan apakah batu
empedu kolesterol akan membentuk adalah (1) jumlah kolesterol yang
disekresikan oleh sel-sel hati, relatif terhadap lecithin dan garam
empedu, dan (2) tingkat konsentrasi dan tingkat stasis empedu di
kandung empedu.
b. Kalsium, bilirubin, dan pigmen batu empedu
Bilirubin, pigmen kuning yang berasal dari pemecahan heme,
secara aktif disekresi ke empedu oleh sel-sel hati. Sebagian besar
bilirubin dalam empedu berupa konjugat glukuronida, yang cukup larut
air dan stabil, tetapi sebagian kecil terdiri dari bilirubin tak
terkonjugasi. Bilirubin tak terkonjugasi, seperti asam lemak, fosfat,
karbonat, dan anion lainnya, cenderung membentuk endapan tidak larut
dengan kalsium. Kalsium akan memasuki empedu secara pasif bersama
dengan elektrolit lain. 3,6
Dalam situasi tinggi kadar heme, seperti hemolisis kronis atau
sirosis, bilirubin tak terkonjugasi dapat hadir dalam empedu dengan
konsentrasi lebih tinggi dari normalnya. Kalsium bilirubinate kemudian
dapat membentuk kristal dari larutan dan akhirnya akan menjadi batu.
Seiring waktu, berbagai oksidasi menyebabkan bilirubin akan
membentuk pigmen berwarna hitam pekat, disebut dengan batu empedu
pigmen hitam. 3
1.3.3 Tanda dan Gejala
Penyakit batu empedu dapat diketahui melalui 4 tahap:
11
a. Keadaan litogenik, di mana kondisi yang memungkinkan untuk
terjadinya pembentukan batu empedu.
b. Batu empedu asimtomatik (silent stones).
c. Batu empedu simtomatik, dengan karakteristik adanya kolik bilier
episodik.
d. Komplikasi kolelitiasis.
Tanda dan gejala dari komplikasi batu empedu akibat dari efek yang
terjadi di dalam kandung empedu atau dari batu yang keluar dari kandung
empedu.
Batu Empedu Asimtomatik
Batu empedu mungkin dapat ditemukan didalam kantung empedu
selama beberapa dekade tanpa disertai tanda dan gejala dari komplikasinya
sendiri. Pada kebanyakan kasus, batu empedu asimtomatik tidak
membutuhkan terapi. 6
Dispepsia yang terjadi ketika megkonsumsi makanan berlemak sering
disalah artikan dengan batu empedu, ketika iritasi lambung atau
gastroesophageal reflux merupakan tanda dan gejala utama. 6
Colic Bilier
Nyeri yang disebut kolik bilier terjadi bila batu empedu atau lumpur
berada di duktus sistikus selama kontraksi kandung empedu, meningkatkan
ketegangan dinding kandung empedu. Dalam kebanyakan kasus, nyeri
berlangsung selama 30 sampai 90 menit akibat dari relaksasi. 6
Kolik bilier episodik, pasien akan melokalisir nyeri pada epigastrium
atau kuadran kanan atas dan mungkin menjalar hingga ke ujung skapula
kanan. Rasa sakit mulai postprandially (biasanya dalam waktu satu jam
setelah mengkonsumsi makanan berlemak), biasnaya berlangsung selama 1-
5 jam. Rasa sakit yang dialami konstan dan tidak berkurang dengan
pemberian terapi emesis, antasid, buang air besar, kentut, ataupun perubahan
posisi. Biasanya disertai dengan diaforesis, mual, dan muntah.6
1.3.4 Pemeriksaan Penunjang
12
Pasien dengan kolelitiasis tanpa komplikasi atau kolik bilier sederhana
biasanya memiliki hasil uji laboratorium normal. Pengujian laboratorium
umumnya tidak dilakukan kecuali kolesistitis menjadi acuan. 6
Batu empedu asimtomatik sering ditemukan secara kebetulan melalui
foto polos, sonogram abdomen, atau CT-Scan untuk pemeriksaan dari proses
lainnya. Foto polos ambdomen memiliki sedikit peran dalam mendiagnosis
batu empedu. Kolesterol dan pigmen batu yang radiopak akan terlihat pada
radiografi hanya 10 – 30 % dari kasus, tergantung sejauh mana proses
kalsifikasinya. 6
Pemeriksaan Darah
Pada pasien suspek batu empedu komplikasi, darah rutin dapat
dilakukan untuk menentukan diagnosis banding, fungsi hati, amilase, dan
lipase. Pada kasus koledokolitiasis obstruksi bisanya menghasilkan
peningkatan SGOT dan SGPT, diikuti dengan peningkatan serum bilirubin
setiap jamnya. Beningkatan bilirubin mengindikasikan adanya obstruksi.
Hal ini di dapatkan pada 60% pasien dengan peningkatan serum bilirubin >
3 mg/dL. Bila obstruksi menetap akan mengalami penurunan vitamin K
akibat dari absorbsi empedu. Obstruksi pada ampula Vater akan memberikan
hasil peningkatan serum lipase dan amilase.6
Ultrasonography (USG)
USG merupakan pemeriksaan utama pada kasus batu empedu;
snsitivitas, spesifisitas, noninvasif, dan murah dapat mendeteksi adanya batu
empedu. USG sangat berguna untuk mendiagnosis kolesistitis akut tanpa
komplikasi. Fitus sonografi kolesistitis akut termasuk penebalan kandung
empedu (> 5 mm), cairan pericholecystic, kandung empedu distensi (> 5
cm), dan Murphy sign sonografi. Batu empedu dapat dilihat dengan tampak
masa echogenic. Dapat bergerak bebas dengan perubahan posisi dan
membentuk bayangan akustik.6
13
Gambar 4 Garis hyperechoic merupakan tepi batu empedu berkumpul. Acoustic Shadow
yang mudah terlihat. Saluran empedu dapat dilihat di atas vena porta
1.3.5 Penatalaksanaan
Non Medikamentosa
Pada pasien dengan batu empedu simtomaik, dapat dilakukan dengan
terapi intervensi bedah dan non-bedah.
Penanganan operasi pada batu empedu asimptomatik tanpa komplikasi
tidak dianjurkan. Indikasi kolesistektomi pada batu empedu asimptomatik
ialah:6
- Pasien dengan batu empedu > 2cm
- Pasien dengan kandung empedu yang kalsifikasi yang resikko tinggi
keganasan
- Pasien dengan cedera medula spinalis yang berefek ke perut.
Cholecystectomy
Pengangkatan kandung empedu (kolesistektomi) umumnya
diindikasikan pada pasien yang mengalami gejala atau komplikasi batu
empedu, kecuali usia pasien dan mahalnya biaya operasi. Pada beberapa
kasus ahli bedah dapat membuat fistula antara saluran empedu distal dan
duodenum sehingga berdekatan (choledochoduodenostomy), sehingga
memungkinkan batu empedu dengan mudah keluar ke dalam usus. 6
Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)
Litotripsi gelombang elektrosyok meskipun sangat populer beberapa
tahun yang lalu, analisis biaya-manfaat pada saat ini hanya terbatas untuk
14
pasien yang benar-benar telah dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini.
Efektifitas ESWL memerlukan terapi adjuvant asam ursodeoksilat.6
Diet
Prinsip perawatan dietetik pada penderita batu kandung empedu adalah
memberi istirahat pada kandung empedu dan mengurangi rasa sakit, juga
untuk memperkecil kemungkinan batu memasuki duktus sistikus. Di
samping itu untuk memberi makanan secukupnya untuk memelihara berat
badan dan keseimbangan cairan tubuh.6
Pembatasan kalori juga perlu dilakukan karena pada umumnya batu
kandung empedu tergolong juga ke dalam penderita obesitas. Bahan
makanan yang dapat menyebabkan gangguan pencernaan makanan juga
harus dihindarkan.6
Medikamentosa
Obat disolusi batu empedu dapat dicoba dengan pemberia ursodiol.
Agen ini menekan sekresi kolesterol pada hati dan menghambat penyerapan
kolesterol pada usus. Ursodiol adalah obat yang paling umum digunakan.
Kolesterol ini dilarutkan dalam michel dan bertindak mendispersikan
kolesterol ke dalam media air.
1.3.6 Prognosis
Sekita 10 – 15 % pasien mengalami choledocholithiasis. Prognosis
bergantung pada kehadiran dan tingkat keparahan komplikasi. Namun,
adanya infeksi dan halangan disebabkan oleh batu yang berada di dalam
saluran biliaris sehingga dapat mengancam jiwa. Walaupun demikian,
dengan diagnosis dan pengobatan yang cepat serta tepat, hasil yang
didapatkan biasanya baik. 6
2. ANASTESI UMUM
2.1 Definisi1,2
Anestesi berarti suatu keadaan dengan tidak ada rasa nyeri. Anestesi
umum ialah suatu keadaan yang ditandai dengan hilangnya persepsi
terhadap semua sensasi akibat induksi obat. Dalam hal ini, selain hilangnya
rasa nyeri, kesadaran juga hilang. Obat anestesi umum terdiri atas golongan
15
senyawa kimia yang heterogen, yang mendepresi SSP secara reversibel
dengan spektrum yang hampir sama dan dapat dikontrol. Obat anastesi
umum dapat diberikan secara inhalasi dan secara intravena. Obat anastesi
umum yang diberikan secara inhalasi (gas dan cairan yang mudah menguap)
yang terpenting di antaranya adalah N2O, halotan, enfluran, metoksifluran,
dan isofluran. Obat anastesi umum yang digunakan secara intravena, yaitu
tiobarbiturat, narkotik-analgesik, senyawa alkaloid lain dan molekul sejenis,
dan beberapa obat khusus seperti ketamin.1
Untuk menentukan prognosis ASA (American Society of
Anesthesiologists) membuat klasifikasi berdasarkan status fisik pasien pra
anestesi yang membagi pasien kedalam 5 kelompok atau kategori sebagai
berikut: ASA 1, yaitu pasien dalam keadaan sehat yang memerlukan
operasi.1
ASA 2, yaitu pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang
baik karena penyakit bedah maupun penyakit lainnya. Contohnya pasien
batu ureter dengan hipertensi sedang terkontrol, atau pasien apendisitis akut
dengan lekositosis dan febris.
ASA 3, yaitu pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat
yang diaktibatkan karena berbagai penyebab. Contohnya pasien apendisitis
perforasi dengan septi semia, atau pasien ileus obstruksi dengan iskemia
miokardium.
ASA 4, yaitu pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara
langsung mengancam kehiduannya. ASA 5, yaitu pasien tidak diharapkan
hidup setelah 24 jam walaupun dioperasi atau tidak. Contohnya pasien tua
dengan perdarahan basis krani dan syok hemoragik karena ruptura hepatik.
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan
mencantumkan tanda darurat (E = emergency), misalnya ASA 1 E atau III
E.1
Anastesi seimbang, suatu kombinasi obat-obatan, sering dipakai
dalam anastesi umum. Anestesi seimbang terdiri dari:1
1. Hipnotik diberikan semalam sebelumnya
16
2. Premedikasi, seperti analgesik narkotik atau benzodiazepin (misalnya,
midazolam dan antikolinergik (contoh, atropin) untuk mengurangi
sekresi diberikan kira-kira 1 jam sebelum pembedahan
3. Barbiturat dengan masa kerja singkat, seperti natrium tiopental
(Pentothal)
4. Gas inhalan, seperti nitrous oksida dan oksigen
5. Pelemas otot jika diperlukan.
17
midriasis, refleks cahaya mulai menurun, relaksasi otot sedang, dan refleks
laring hilang sehingga dapat dikerjakan intubasi.
Plana 3: Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal mulai paralisis,
lakrimasi tidak ada, pupil midriasis dan sentral, refleks laring dan peritoneum
tidak ada, relaksasi otot lurik hampir sempurna (tonus otot semakin
menurun).
Plana 4: Pernapasan tidat teratur oleh perut karena otot interkostal paralisis
total, pupil sangat midriasis; refleks cahaya hilang, refleks sfingter ani dan
kelenjar air mata tidak ada, relaksasi otot lurik sempurna (tonus otot sangat
menurun).
Stadium IV (paralisis medulla oblongata atau overdosis),ditandai dengan
paralisis otot dada, pulsus cepat dan pupil dilatasi. Bola mata menunjukkan
gambaran seperti mata ikan karena terhentinya sekresi lakrima
Tabel 3. Tahap Anestesi
Tahap Nama Keterangan
1 Analgesia Dimulai dengan keadaan
sadar dan diakhiri dengan
hilangnya kesadaran. Sulit
untuk bicara; indra
penciuman dan rasa nyeri
hilang. Mimpi serta
halusinasi pendengaran dan
penglihatan mungkin
terjadi. Tahap ini dikenal
juga sebagai tahap induksi
2 Eksitasi atau delirium Terjadi kehilangan
kesadaran akibat
penekananan korteks
serebri. Kekacauan mental,
eksitasi, atau delirium dapat
terjadi. Waktu induksi
singkat.
3 Surgical Prosedur pembedahan
18
biasanya dilakukan pada
tahap ini
4 Paralisis medular Tahap toksik dari anestesi.
Pernapasan hilang dan
terjadi kolaps sirkular. Perlu
diberikan bantuan ventilasi
19
jangan digunakan ulang dalam waktu 3 bulan atau suksinilkolin yang
menimbulkan apnea berkepanjangan juga jangan diulang. Kebiasaan
merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya.
2) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, atau lidah relatif
besar sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan
tindakan laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan
menyulitkan laringoskopi intubasi. Pemeriksaan rutin secara sistemik
tentang keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi,
palpasi, perkusi, dan auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.
3) Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium dilakukan atas indikasi yang tepat sesuai
dengan dugaan penyakit. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi
pemeriksaan darah (Hb, leukosit, masa perdarahan, dan masa
pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien di atas 50 tahun ada
anjuran pemeriksaan EKG dan foto thoraks.
4) Kebugaran untuk anestesi
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk
menyiapkan agar pasien dalam keadaan bugar. Sebaliknya pada
operasi sito, penundaan yang tidak perlu harus dihindari. Klasifikasi
yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang
adalah yang berasal dari The American Society of Anesthesiologists
(ASA). Klasifikasi fisik ini bukan alat perkiraan risiko anestesi
karena efek samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek
samping pembedahan.
Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat sehingga aktivitas
rutin terbatas.
20
Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tidak dapat
melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman
kehidupannya setiap saat.
Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa
pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
Pada bedah cito atau emergency biasanya dicantumkan huruf E.
5) Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesi.
Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas
merupakan risiko utama pada pasien yang menjalani anestesi. Untuk
meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk
operasi elektif dengan anestesi harus dipantangkan dari masukan oral
(puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesi. Pada
pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam, dan
pada bayi 3-4 jam. Makanan tidak berlemak diperbolehkan 5 jam
sebelum induksi anestesi. Minuman air putih, teh manis sampai 3
jam, dan untuk keperluan minum obat air putih dalam jumlah
terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anestesi.
b) Premedikasi
Sebelum pasien diberi obat anestesi, langkah selanjutnya
adalah dilakukan premedikasi yaitu pemberian obat sebelum induksi
anestesi diberi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan,
dan bangun dari anestesi di antaranya:
1) Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien
a) Menghilangkan rasa khawatir melalui:
a. Kunjungan pre-anestesi.
b. Pengertian masalah yang dihadapi.
c. Keyakinan akan keberhasilan operasi.
b) Memberikan ketenangan (sedatif).
c) Membuat amnesia.
d) Mengurangi rasa sakit (analgesik non-narkotik atau
narkotik).
21
e) Mencegah mual dan muntah.
2) Memudahkan atau memperlancar induksi
Pemberian hipnotik sedatif atau narkotik.
3) Mengurangi jumlah obat-obat anestesi
Pemberian hipnotik sedatif atau narkotik.
4) Menekan refleks-refleks yang tidak diinginkan (muntah atau
liur)
5) Mengurangi sekresi kelenjar saliva dan lambung
Pemberian antikolinergik atropin, primperan, rantin, atau H2
antagonis.
Pemberian obat secara subkutan tidak akan efektif dalam 1
jam, secara intramuskuler minimum harus ditunggu 40 menit.
Pada kasus yang sangat darurat dengan waktu tindakan
pembedahan yang tidak pasti obat-obat dapat diberikan secara
intravena. Obat akan sangat efektif sebelum induksi. Jika
pembedahan belum dimulai dalam waktu 1 jam dianjurkan
pemberian premedikasi intramuskuler, subkutan tidak
dianjurkan. Semua obat premedikasi jika diberikan secara
intravena dapat menyebabkan sedikit hipotensi kecuali atropin
dan hiosin. Hal ini dapat dikurangi dengan pemberian secara
perlahan-lahan dan diencerkan.
Obat-obat yang sering digunakan:
1) Analgesik narkotik
a) Petidin (amp 2cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
b) Morfin (amp 2cc = 10 mg), dosis 0,1 mg/kgBB
c) Fentanyl (fl 10cc = 500 mg), dosis 1-3μgr/kgBB
2) Hipnotik
a) Ketamin (fl 10cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
b) Pentotal (amp 1cc = 1000 mg), dosis 4-6 mg/kgBB
3) Sedatif
a) Diazepam/valium/stesolid (amp 2cc = 10mg), dosis 0,1
mg/kgBB
22
b) Midazolam/dormicum (amp 5cc/3cc = 15 mg), dosis
0,1mg/kgBB
c) Propofol/recofol/diprivan (amp 20cc = 200 mg), dosis 2,5
mg/kgBB
d) Dehydrobenzperidon/DBP (amp 2cc = 5 mg), dosis 0,1
mg/kgBB
4) Antikolinergik
a) Sulfas atropin (antikolinergik) (amp 1cc = 0,25 mg), dosis
0,001 mg/kgBB
5) Neuroleptik
a) Droperidol, dosis 0,1 mg/kgBB
a. Induksi anestesi1,2,7
Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar
menjadi tidak sadar sehingga memungkinkan dimulainya anestesi
dan pembedahan. Induksi dapat dikerjakan secara intravena,
inhalasi, intramuskuler, atau rektal. Setelah pasien tidur akibat
induksi anestesi langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesi
sampai tindakan pembedahan selesai.
Untuk persiapan induksi anestesi diperlukan ‘STATICS’:
S: Scope - Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
Laringoskop pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia
pasien. Lampu harus cukup terang.
T: Tube - Pipa trakea pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon
(cuffed) dan > 5 tahun dengan balon (cuffed).
A: Airway - Pipa mulut faring (guedel, oro-tracheal airway) atau pipa
hidung-faring (naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan
lidah saat pasien tidak sadar untuk menjaga supaya lidah tidak
menyumbat jalan napas.
T: Tape - Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau
tercabut.
23
I: Introducer - Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastik
(kabel)yang mudah dibengkokan untuk pemandu supaya pipa
trakea mudah dimasukkan.
C : Connector - Penyambung antara pipa dan peralatan anestesi.
S : Suction - penyedot lendir, ludah, dan lain-lainnya.
24
3) Gangguan pernafasan: asthma, sesak nafas, infeksi
mulut dan saluran nafas
4) Penyakit jantung
5) Penyakit hati
6) Penderita yang terlalu gemuk sehingga sukar untuk
menemukan vena yang baik.
25
untuk mengurangi salivasi diberikan sulfas atropin 0,01
mg/kg. Dosis bolus 1-2 mg/kg dan untuk intramuskuler 3-
10 mg. Ketamin dikemas dalam cairan bening kepekatan
1% (1 ml = 10 mg), 5% (1 ml = 50 mg), 10% (1 ml = 100
mg)
Opioid (morfin, petidin, fentanyl, sufentanyl)
Diberikan dosis tinggi. Tidak menggaggu
kardiovaskuler sehingga banyak digunakan untuk induksi
pasien dengan kelainan jantung. Untuk anestesi opioid
digunakan fentanyl dosis 20-50 mg/kg dilanjutkan dosis
rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.
b. Induksi intramuskuler
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat
diberikan secara intramuskuler dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan
setelah 3-5 menit pasien tidur.
c. Induksi inhalasi
N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen
monoksida)
Berbentuk gas, tidak berwarna, bau manis, tidak iritasi,
tidak terbakar, dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian
harus disertai O2 minimal 25%. Bersifat anastetik lemah dan
analgesi kuat sehingga sering digunakan untuk mengurangi
nyeri menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi jarang
digunakan tunggal, sering dikombinasi dengan salah satu
cairan anastetik lain seperti halotan.
Halotan (fluotan)
Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan
anestesinya cukup dalam, stabil, dan sebelum tindakan
diberikan analgesik semprot lidokain 4% atau 10% sekitar
faring-laring. Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2
atau campuran N2O dan O2. Induksi dimulai dengan aliran O2
> 4 ltr/mnt atau campuran N2O:O2 = 3:1. Aliran > 4 ltr/mnt.
26
Kalau pasien batuk konsentrasi halotan diturunkan, untuk
kemudian kalau sudah tenang dinaikan lagi sampai konsentrasi
yang diperlukan. Kelebihan dosis dapat menyebabkan depresi
napas, menurunnya tonus simpatis, terjadi hipotensi,
bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi
miokard, dan inhibisi refleks baroreseptor. Merupakan
analgesik lemah tetapi anestesi kuat. Halotan menghambat
pelepasan insulin sehingga mininggikan kadar gula darah.
Enfluran
Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan
enfluran lebih iritatif disbanding halotan. Depresi sirkulasi
lebih kuat dibanding halotan tetapi lebih jarang menimbulkan
aritmia. Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih baik dibanding
halotan.
Isofluran (foran, aeran)
Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intrakranial.
Peninggian aliran darah otak dan tekanan intrakranial dapat
dikurangi dengan teknik anestesi hiperventilasi sehingga
isofluran banyak digunakan untuk bedah otak. Efek terhadap
depresi jantung dan curah jantung minimal sehingga digemari
untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak digunakan pada
pasien dengan gangguan koroner.
Desfluran (suprane)
Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%)
bersifat simpatomimetik menyebabkan takikardi dan
hipertensi. Efek depresi napas seperti isofluran dan etran.
Merangsang jalan napas atas sehingga tidak digunakan untuk
induksi anestesi.
Sevofluran (ultane)
Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien
jarang batuk walaupun langsung diberikan dengan konsentrasi
tinggi sampai 8 vol %. Induksi dan pulih dari anestesi lebih
27
cepat dibandingkan isofluran. Baunya tidak menyengat dan
tidak merangsang jalan napas sehingga digemari untuk induksi
anestesi inhalasi di samping halotan.
d. Induksi per rektal
Obat anestesi diserap lewat mukosa rectum kedalam darah
dan selanjutnya sampai ke otak. Dipergunakan untuk tindakan
diagnostic (katerisasi jantung, roentgen foto, pemeriksaan mata,
telinga, oesophagoscopi, penyinaran dsb) terutama pada bayi-bayi
dan anak kecil. Juga dipakai sebagai induksi narkose dengan
inhalasi pada bayi dan anak-anak.
Syaratnya adalah:
1.Rectum betul-betul kosong
2.Tak ada infeksi di dalam rectum. Lama narkose 20-30 menit.
Obat-obat yang digunakan:
- Pentothal 10% dosis 40 mg/kgBB
- Tribromentothal (avertin) 80 mg/kgBB
a. Pembuluh Darah
Kesalahan teknik dalam venapunksi dapat menyebabkan
memar, eksavasasi obat yang dapat menyebabkan ulserasi kulit
di atasnya, infeksi lokal, tromboflebitis serta kerusakan struktur
28
berdekatan, terutama arteri dan saraf. Beberapa obat yang
mencakup Benzodiazepin dan Propanidid menyebabkan
tromboflebitis. Kanulasi vena yang lama lebih mungkin
menyebabkan tromboflebitis dan infeksi.2
b. Intubasi
Kerusakan sering terjadi pada bibir dan gusi akibat
intubasi trachea oleh orang yang tidak berpengalaman.
Kerusakan gigi geligi akan terjadi lebih serius jika disertai
kemungkinan inhalasi fragmen yang diikuti oleh abses paru. Jika
dibiarkan tidak terdeteksi, intubasi nasotrachea dapat
menyebabkan epistaksis yang tak menyenangkan dan kadang–
kadang sonde dapat membentuk saluran di bawah mukosa
hidung, intubasi hidung sering memfraktura concha. Kerusakan
pada struktur tonsila dan larynx (terutama pita suara) untungnya
sering terjadi, tetapi penanganan mulut posterior struktur yang
kasar menyokong sakit tenggorokan pasca bedah.
c. Saraf Superfisialis
Tekanan langsung terus menerus akan merusak saraf,
seperti poplitea lateralis sewaktu mengelilingi caput fibulae,
yang menyebabkan “foot drop”, fasialis sewaktu ia menyilang
mandibula, yang menyebabkan paralisis otot wajah, ulnaris
sewaktu ia menyilang epicondylus medialis, yang menyebabkan
paralisis dan kehilangan sensasi dalam tangan serta nervus
radialis sewaktu ia mengelilingi humerus di posterior, yang
menyebabkan “wrist drop”. Pleksus brachialis dapat dirusak
dengan meregangnya di atas caput humeri, jika lengan diabduksi
atau rotasi eksternal terlalu jauh.2
2. Pernapasan
Komplikasi pernapasan yang mungkin timbul termasuk
hipoksemia yang tidak terdeteksi, atelektasis, bronkhitis,
bronkhopneumonia, pneumonia lobaris, kongesti pulmonal
hipostatik, plurisi, dan superinfeksi. 2
29
Yang paling ditakuti oleh para pekerja anestesi adalah
obstruksi saluran pernapasan akut selama atau segera setelah
induksi anestesi. Spasme Larynx dan penahanan napas dapat
sulit dibedakan serta dapat timbul sebagai respon terhadap
anestesi yang ringan, terutama jika saluran pernapasan
dirangsang oleh uap anestesi iritan atau materi asing yang
mencakup sekresi dan kandungan asam lambung. Intubasi yang
gagal dapat menjadi mimpi buruk, bila mungkin terjadi aspirasi
lambung, seperti pasien obstetri dan kedaruratan yang tak
dipersiapkan.2
Gagal pernapasan terutama merupakan fenomena pasca
bedah, biasanya karena kombinasi kejadian. Kelamahan otot
setelah pemulihan dari relaksan yang tidak adekuat, depresi
sentral dengan opioid dan zat anestesi, hambatan batuk dan
ventilasi alveolus yang tak adekuat sekunder terhadap nyeri luka
bergabung untuk menimbulkan gagal pernapasan restriktif
dengan retensi CO2 serta kemudian narcosis CO2, terutama jika
PO2 dipertahankan dengan pemberian oksigen.2
3. Kardiovaskuler
Komplikasi kardiovaskuler yang dapat terjadi antara lain
hipotensi, hipertensi, aritmia jantung, dan payah jantung.
Hipotensi didefinisikan sebagai tekanan darah systole kurang
dari 70 mmHg atau turun lebih dari 25% dari nilai sebelumnya.
Hipotensi dapat disebabkan oleh hipovolemia yang diakibatkan
oleh perdarahan, overdosis obat anestetika, penyakit
kardiovaskuler seperti infark miokard, aritmia, hipertensi, dan
reaksihipersensivitas obat induksi, obat pelumpuh otot, dan
reaksi transfusi.2
Hipertensi dapat meningkat pada periode induksi dan
pemulihan anestesi. Komplikasi hipertensi disebabkan oleh
analgesa dan hipnosis yang tidak adekuat, batuk, penyakit
30
hipertensi yang tidak diterapi, dan ventilasi yang tidak adekuat.
Sementara faktor-faktor yang mencetuskan aritmia adalah
hipoksia, hiperkapnia, tindakan intubasi, gangguan elektrolit,
dan pengaruh beberapa obat tertentu.2
4. Hepar
Penyebab hepatitis pasca bedah dapat disebabkan oleh
halotan. Insidens virus Hepatitis A aktif dalam populasi umum
mungkin jauh lebih lazim, yang diperkirakan sekitar 100–400
per sejuta pada suatu waktu. Mungkin bahwa zat anestesi
mengurangi kemanjuran susunan kekebalan dan membuat
pasien lebih cenderung ke infeksi yang mencakup hepatitis
virus. Anestesi Halotan berulang dalam interval 6 minggu
mungkin harus dihalangi. 2
5. Suhu tubuh
Akibat venodilatasi perifer yang tetap ditimbulkan
anestesi menyebabkan penurunan suhu inti tubuh. Selama
pembedahan yang lama, terutama dengan pemaparan vesera,
bisa timbul hipotermi yang parah, yang menyebabkan
pengembalian kesadaran tertunda, pernapasan dan perfusi
perifer tidak adekuat. Masalah pernapasan akan dirumitkan, jika
kebutuhan oksigen meningkat sebagai akibat menggigil selama
masa pasca bedah.2
2.6. Bahaya Anestesi
Bahaya utama anestesi dapat disebabkan banyak penyebab.
Sebagian penyebab pada mulanya tidak berarti, tetapi jika bahaya
tersebut tidak diperhatikan sama sekali, atau tidak diatasi dengan
baik, maka bencana dapat terjadi. Bahaya lain mungkin tidak
berbahaya tetapi merupakan sumber utama ketidaknyamanan,
nyeri, atau iritasi terhadap penderita. Bahaya anestesi yang
mungkin dapat terjadi antara lain:2
a. Bahaya anestesi yang dapat mematikan
31
Kematian akibat anestesi mungkin disebabkan oleh
hipoksia dan henti jantung yang saling terkait, pada kedua kasus
kematian dapat disebabkan oleh gangguan penyediaan oksigen otak
dan /atau jantung baik primer (yang disebabkan oleh hipoksia
respiratorik) maupun sekunder (sebagai akibat terhentinya sirkulasi
setelah henti jantung). Bahaya lain akibat anestesi yang dapat
mematikan karena anestesi adalah anafilaksis akut karena obat
yang digunakan pada anestesi, dan hipertermia yang ganas.2
b. Hipoksia atau anoksia respiratorik selama anestesi
Hipoksia atau anoksia terjadi selama anestesi akibat c.
Keadaan seperti ini dapat terjadi pada semua titik mulai dari
sumber penyediaan oksigen, mesin anestesi, saluran pernapasan
atas dan bawah, paru–paru, pembuluh darah utama sampai kapiler,
dan akhirnya sampai kepada pemindahan oksigen ke dan dalam sel.
Sebagian sel akan pulih dari hipoksia atau bahkan anoksia yang
berlangsung dalam beberapa menit, tetapi pada otak akan terjadi
kerusakan yang irreversibel setelah 4–6 menit kekurangan oksigen,
demikian juga yang terjadi jika jantung berhenti dengan efektif
(henti jantung).2
32
- Old/lansia (75-90 th)
- Very Old/sangat tua (>90 th)
Seseorang dikatakan lanjut usia, jika telah mencapai usia diatas 60
tahun. Untuk menangani penyakit geriatri pada lansia dibutuhkan
pendekatan holistik yaitu, perhatian total terhadap pasien secara terpadu
dengan mempertimbangkan keadaan lingkungan, sosial ekonomi, gaya
hidup, diagnosis dan terapi penyakit dalam merawat penderita. 5,8
Sedangkan pasien geriatri adalah pasien berusia lanjut (untuk
Indonesia saat ini adalah mereka yang berusia 60 tahun ke atas) dengan
beberapa masalah kesehatan (multipatologi) akibat gangguan fungsi jasmani
dan rohani, dan atau kondisi social yang bermasalah. 5
Lansia banyak yang mengidap salah satu penyakit yang dapat
menyebabkan komplikasi, jika tidak ditangani dengan baik seperti fraktur
pada tulang yang dapat menyebabkan osteoporosis atau jika seseorang
memiliki angka kolesterol yang tinggi saat lanjut usia dapat menjadi
Penyakit Jantung Koroner (PJK), hipertensi, gagal jantung dan infark serta
gangguan ritme jantung, diabetes mellitus, gangguan fungsi ginjal dan
hati.2,5
Sifat penyakit pada lansia perlu untuk dikenali supaya tidak salah
ataupun lambat dalam menegakkan diagnosis, sehingga terapi dan tindakan
lain yang mengikutinya dengan segera dapat dilaksanakan. Hal ini akan
menyangkut beberapa aspek yaitu etiologi, diagnosis dan perjalanan
penyakit. 1,2,5
Secara etiologi, penyakit pada lansia lebih bersifat endogen daripada
eksogen. Hal ini disebabkan oleh menurunnya berbagai fungsi tubuh karena
proses menua, etiologi sering kali tersembunyi (occult), dan sebab penyakit
dapat bersifat ganda (multiple) dan kumulatif (penimbunan), terlepas satu
sama lain ataupun saling mempengaruhi. 5
Sedangkan secara diagnosis, penyakit pada lansia umumnya lebih sulit
dideteksi dari pada remaja atau dewasa, karena gejala dan keluhan sering
tidak jelas. Perjalanan penyakit pada umumnya adalah kronik (menahun)
diselingi dengan eksaserbasi akut, penyakit bersifat progresif (bertahap),
dan sering menyebabkan kecacatan (invalide). 5
33
3.2. Ciri-Ciri Geriatri 8,9
Dilihat dari segi kemunduran biologis, ciri-ciri geriatri adalah :
a. Kulit mulai mengendur dan wajah mulai keriput serta garis-garis yang
menetap
b. Rambut kepala mulai memutih atau beruban
c. Gigi mulai lepas (ompong)
d. Penglihatan dan pendengaran berkurang
e. Mudah lelah dan mudah jatuh
f. Gerakan menjadi lamban dan kurang lincah
Sedangkan dilihat dari segi kemunduran kognitif, ciri-ciri geriatri
adalah :
a. Mudah lupa (ingatan tidak berfungsi dengan baik)
b. Ingatan pada hal-hal di masa muda lebih baik dari hal-hal yang baru
terjadi
c. Sering adanya disorientasi terhadap waktu, tempat, dan orang
d. Sulit menerima ide-ide baru
e. Keseimbangan antara badan, penglihatan, dan pendengaran berkurang
3.3. Perubahan Fisiologis pada Geriatri
Menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan
kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti diri dan
mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat
betahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan
yang diderita.Dengan begitu manusia secara progresif akan kehilangan
daya tahan terhadap infeksi dan akan menumpuk semakin banyak
distorsi metabolik dan struktural yang disebut penyakit degeneratif
(hipertensi, aterosklerosis, DM, dan kanker). Perubahan fisiologis
penuaan dapat mempengaruhi hasil operasi tetapi penyakit penyerta
lebih berperan sebagai faktor risiko. Secara umum pada usia lanjut
terjadi penurunan cairan tubuh total dan lean body mass dan juga
menurunnya respons regulasi termal, dengan akibat mudah terjadi
intoksikasi obat dan juga mudah terjadi hipotermia.5
34
Gambar 1 Fungsi Organ Berdasarkan Umur
a. Sistem Kardiovaskuler 5
Pada jantung terjadi proses degeneratif pada sistem hantaran,
sehingga dapat menyebabkan gangguan irama jantung. Katup mitral
menebal, compliance ventrikel berkurang, relaksasi isovolumik
memanjang, sehingga menyebabkan gangguan pengisian ventrikel
pada fase diastolik dini sehingga terjadi hipotensi bila dehidrasi,
takiaritmia atau vasodilatasi. Compliance arteri berkurang, sehingga
mudah terjadi hipertensi sistolik. Sensitivitas baroreseptor berkurang
sehinga menurunkan respons heart rate terhadap stres dan menurunnya
kadar renin, angiotensin, aldosteron sehingga mudah terjadi hipotensi.
b. Sistem Respirasi 2,5
Elastisitas jaringan paru berkurang, kontraktilitas dinding dada
menurun, meningkatnya ketidakserasian antara ventilasi dan perfusi,
sehingga mengganggu mekanisme ventilasi, dengan akibat
menurunnya kapasitas vital dan cadangan paru, meningkatnya
pernafasan diafragma, jalan nafas menyempit dan terjadilah
hipoksemia. Menurunnya respons terhadap hiperkapnia dapat
menyebabkan terjadinya gagal nafas. Proteksi jalan nafas yaitu batuk
dan pembersihan mucociliary berkurang sehingga berisiko terjadi
infeksi dan aspirasi.
35
progresif kemampuan tubuh untuk mengatur beban glukosa. Respon
neuroendokrin terhadap stres cenderung stabil atau sedikit menurun
pada kebanyakan pasien tua yang sehat.
d. Sistem renalis 5
Pada ginjal jumlah nefron berkurang, sehingga laju filtrasi
glomerulus (LFG) menurun, dengan akibat mudah terjadi
intoksikasi obat. Hal ini disebabkan karena glomerulus dan tubular di
ginjal di gantikan oleh lemak dan jaringan fibrotik. Respon terhadap
hormon diuretik dan hormon aldosteron berkurang. Respons terhadap
kekurangan Na juga menurun, sehingga berisiko terjadi dehidrasi.
Kemampuan mengeluarkan garam dan air berkurang, dapat terjadi
overload cairan dan juga menyebabkan hiponatremia. Ambang
rangsang glukosuria meninggi, sehingga glukosa urin tidak dapat
dipercaya. Produksi kreatinin menurun karena berkurangnya massa
otot, sehingga meskipun kreatinin serum normal, tetapi LFG telah
menurun. Perubahan-perubahan diatas menurunkan kemampuan
cadangan ginjal, sehingga manula tidak dapat mentoleransi
kekurangan cairan dan kelebihan beban zat terlarut. Pasien-pasien
ini lebih mudah mengalami peningkatan kadar kalium dalam
darahnya, apalagi bila diberikan larutan garam kalium secara
intravena. Kemampuan untuk mengekskresi obat menurun dan
pasien manula ini lebih mudah jatuh ke dalam asidosis metabolik.
Kemungkinan terjadi gagal ginjal juga meningkat.
e. Sistem Hepatobilier dan Gastrointestinal 5
Massa hepar berkurang seiring dengan penuaan, dengan diikuti
oleh penurunan hepatic blood flow. Fungsi hepar menurun sesuai
dengan berkurangnya massa hepar. Dengan demikian laju
biotransformasi dan produksi albumin berkurang. Level plasma
colinesterase pada pria tua juga berkurang. Pasien manula mungkin
sekali lebih mudah mengalami cedera hati akibat obat-obat, hipoksia
dan transfusi darah. Terjadi pemanjangan waktu paruh obat-obat
yang diekskresi melalui hati.
Tingkat keasaman lambung cenderung meningkat, meski masa
pengosongan lambung diperpanjang. Akibat menurunnya fungsi
36
persarafan sistem gastrointestinal, sfingter gastro-esofageal tidak
begitu baik lagi, disamping waktu pengosongan lambung yang
memanjang sehingga mudah terjadi regurgitasi.
f. Sistem Saraf Pusat5
Pada sistem saraf pusat, terjadi perubahan-perubahan fungsi
kognitif, sensoris, motoris, dan otonom. Kecepatan konduksi saraf
sensoris berangsur menurun. Perfusi otak dan konsumsi oksigen otak
menurun sampai 10%-20%. Berat otak menurun karena berkurangnya
jumlah sel neuron, terutama di korteks otak maupun otak kecil. Berat
otak pada orang dewasa muda rata-rata 1400 g, akan menurun
menjadi 1150 g pada usia 80 tahun. Dikatakan, terdapat korelasi
positif antara berat otak dan harapan hidup. Ukuran neuron
berkurang, dan neuron kehilangan kompleksitas pohon dendrit, dan
jumlah sinaps juga berkurang. Terdapat juga penurunan fungsi
neurotransmiter. Sintesis dari beberapa neurotransmiter seperti
domapin, dan jumlah dari reseptor mereka berkurang. Serotonic,
adrenergic, danγ-aminobutyric acid (GABA) binding site juga
berkurang. Sedangkan jumlah astrosit dan sel microglial bertambah.
Degenerasi sel saraf perifer mengakibatkan kecepatan konduksi yang
memanjang dan atropi otot skeletal.
Perubahan-perubahan tersebut mengakibatkan manula lebih
mudah dipengaruhi oleh efek samping obat terhadap sistem saraf.
Pasien tua sering memerlukan lebih banyak waktu untuk sembuh total
dari efek CNS yang diakibatkan oleh anastesi umum. Umumnya
mereka mengalami kebingungan atau disorientasi preoperatif. Banyak
pasien tua mengalami berbagai derajat dari acute confusional state,
delirium atau cognitive disfungsi postoperatif. Etiologi dari cognitif
disfungsi postoperatif (POCD) biasanya multifaktorial, termasuk efek
samping obat, nyeri, demensia, hipotermia dan gangguan metabolik.
Pasien tua juga biasanya sensitif terhadap agen kolinergic yang
bekerja sentral, seperti scopolamin dan atropin.
g. Sistem Muskuloskeletal 5
Pada penuaan terjadi pengurangan massa otot. Pada tingkat
mikroskopis,neuromuscular junction menebal. Receptor
37
acethylcholine tampaknya juga tersebar dibeberapa
extrajunctional.Kulit mengalami atropi sesuai dengan umur dan
mudah untuk terjadinya trauma dari plester, alas dari elektrocauter,
electroda dari EKG.Vena sering lemah dan mudah terjadi ruptur oleh
karena IVFD. Adanya arthritis sendi mengganggu terhadap pengaturan
posisi (spt. Lithotomi) atau anesthesi regional (spt. Subarachnoid
block / Spinal anesthesi).Adanya penyakit degenaratif pada tulang
servikal dapat membatasi ekstensi leher yang berpotensial
menyebabkan kesulitan dilakukannya intubasi. Pada kulitjuga terjadi
reepitelisasi yang melambat dan juga vaskularisasi berkurang
sehingga penyembuhan luka lebih lama.
38
tubuh dapat menyebabkan membesarnya volume distribusi,
dengan potensial memanjangnya efek klinis obat yang diberikan. 5
3. Metabolisme obat
Seperti yang telah didiskusikan sebelumnya, gangguan
hepar dan klirens ginjal dapat terjadi sesuai dengan penambahan
usia. Tergantung pada jalur degradasi, penurunan reversi hepar
dan ginjal dapat mempengaruhi profil farmakokinetik obat.5
4. Farmakodinamik.
Respons klinis terhadap obat anestesi pada pasien usia lanjut
mungkin disebabkan karena adanya gangguan sensitivitas pada
target organ ( farmakodinamik). Bentuk sediaan obat yang
diberikan dan gangguan jumlah reseptor atau sensitvitas
menentukan pengaruh gangguan farmakodinamik efek anestesi
pada pasien usia lanjut. Umumnya, pasien berusia lanjut akan
lebih sensitif terhadap obat anestesi. Jumlah obat yang diperlukan
lebih sedikit dan efek obat yang diberikan bisa lebih lama.5
Respons hemodinamik terhadap anestesi intravena bisa
menjadi berat karena adanya interaksi dengan jantung dan
vaskuler yang telah mengalami penuaan. Kompensasi yang
diharapkan sering tidak terjadi karena perubahan fisiologis
berhubungan dengan proses penuaan normal dan penyakit yang
berhubungan dengan usia. Apapun penyebab efek farmakologik yang
terganggu, pasien berusia lanjut biasanya memerlukan penurunan
dosis pengobatan yang secukupnya.5
Anestesi Inhalasi
Konsentrasi alveolar minimum ( minimum alveolar concentration=
MAC) mengalami penurunan kurang lebih 4% per dekade pada mayoritas
anestesi inhalasi. Mekanisme kerja anestesi inhalasi berhubungan dengan
gangguan pada aktivitas kanal ion neuronal terhadap nikotinik, asetilkolin,
GABA dan reseptor glutamat. Mungkin adanya gangguan karena penuaan
pada kanal ion, aktivitas sinaptik, atau sensitivitas reseptor ikut bertanggung
jawab terhadap perubahan farmakodinamik tersebut.2,5
39
Konsentrasi minimum alveolar (MAC) dari semua obat-obatan inhalasi
berkurang sekitar 4-5% per dekade di atas usia 40 tahun. Oleh karena itu pasien
usia lanjut membutuhkan volume anestesi inhalasi yang lebih rendah untuk
mencapai efek yang sama dengan pasien yang lebih muda. Isoflurane adalah yang
paling sesuai, karena relatif stabil dalam sistem kardiovaskuler, memiliki onset
dan durasi kerja yang singkat dan hanya 0,2% dari dosis diberikan yang
dimetabolisme. Terdapat efek depresi miokard dari anestesi volatile yang
berlebihan pada pasien usia lanjut, sedangkan isoflurane dan desflurane jarang
menimbulkan efek takikardi. Dengan demikian isoflurane dapat mengurangi curah
jantung dan denyut jantung pada pasien usia lanjut.
40
pasien berusia lanjut. Otak menjadi lebih sensitif ter hadap efek propofol, pada
usia lanjut. Selain itu, klirens propofol juga mengalami penurunan. Efek
penambahan ini berhubungan dengan peningkatan
sensitivitas terhadap propofol sebesar 30-50% pada pasien dengan usia
lanjut.
Dosis yang diperlukan midazolam untuk menghasilkan efek sedasi selama
endoskopi gastrointestinal atas mengalami penur unan sebesar 75% pada
pasien berusia lanjut. Perubahan ini berhubungan dengan peningkatan
sensitivitas otak dan penurunan klirens obat.2
Opiat
Usia merupakan prediktor penting perlu tidaknya penggunaan morfin post
operatif, pasien berusia lanjut hanya memer lukan sedikit obat untuk
menghilangkan rasa nyeri. Morfin dan metabolitnya morphine-6-
glucuronide mempunyai sifat analgetik. Klirens morfin akan menurun pada
pasien berusia lanjut. Morphine-6-glucuronide tergantung pada eksresi
renal. Pasien dengan insufisiensi ginjal mungkin menderita gangguan
eliminasi morfin glucuronides, dan hal ini bertanggung jawab terhadap
peningkatan analgesia dari dosis morfin yang diberikan pada pasien berusia
lanjut.5
Sufentanil, alfentanil, dan fentanil kurang lebih dua kali lebih poten pada pasien
berusia lanjut. Penemuan ini berhubungan dengan peningkatan sensitivitas otak
terhadap opioid sejalan dengan usia, bukan karena gangguan farmakokinetik.
Penambahan usia berhubungan dengan perubahan farmakokinetik dan
farmakodinamik dari remifentanil. Pada usia lanjut terjadi peningkatan
sensitivitas otak terhadap remifentanil. Remifentanil kurang lebih dua kali
lebih poten pada pasien usia lanjut, dan dosis yang diperlukan adalah satu
setengah kali bolus. Akibat volume kompar temen pusat, VI, dan penurunan
klirens pada usia lanjut, maka diperlukan kurang lebih sepertiga jumlah infus.5
Pelumpuh Otot
Umumnya, usia tidak mempengaruhi farmakodinamik pelumpuh otot.
Durasi kerja mungkin akan memanjang, bila obat tersebut tergantung pada
metabolisme ginjal atau hati. Diperkirakan terjadi penurunan pancuronium pada
pasien berusia lanjut, karena ketergantungan pancuronium terhadap eksresi
41
ginjal. Perubahan klirens pancuronium pada usia lanjut masih kontroversial.
Atracurium bergantung pada sebagian kecil metabolisme hati dan ekskresi, dan
waktu paruh eliminasinya akan memanjang pada pasien usia lanjut. Tidak terjadi
perubahan klirens dengan bertambahnya usia, yang menunjukkan adanya jalur
eliminasi alternatif (hidrolisis eter dan eliminasi Hoffmann) penting pada
pasien berusia lanjut. Klirens vecuronium plasma lebih rendah pada pasien
berusia lanjut. Durasi memanjang yang berhubungan dengan usia terhadap
kerja vecuronium menggambarkan penurunan reversi ginjal atau hepar.5
42
atracurium atau vecuronium. Penggunaan sugammadex sebagai obat reversal
untuk rocuronium akan meningkatkan penggunaan pelumpuh otot pada
pasien berusia lanjut. Bila dibandingkan dengan anestesi inhalasi, tidak
ditemukan perbedaan yang bermakna pada pemulihan profil fungsi kognitif.5
2. Evaluasi dan Manajemen Preoperatif
Terdapat dua prinsip yang harus diingat pada saat melakukan evaluasi pre-
operatif pasien geriatri :
1. Pasien harus selalu dianggap mempunyai risiko tinggi menderita penyakit
yang berhubungan dengan penuaan. Penyakit- penyakit biasa pada
pasien dengan usia lanjut mempunyai pengaruh yang besar terhadap
penanganan anestesi dan memerlukan perawatan khusus serta diagnosis.
Penyakit kardiovaskuler dan diabetes umumnya sering ditemukan pada
populasi ini. Komplikasi pulmoner mempunyai insidens sebesar 5,5% dan
merupakan penyebab morbiditas ketiga tertinggi pada pasien usia lanjut yang
akan menjalani pembedahan non cardiac.5
2. Harus dilakukan pemeriksaan derajat fungsional sistem organ yang spesifik
dan pasien secara keseluruhan sebelum pembedahan. Pemeriksaan
laboratorium dan diagnostik, riwayat, pemeriksaan fisik, dan
determinasi kapasitas fungsional harus dilakukan untuk mengevaluasi
fisiologis pasien. Pemeriksaan laboratorium harus disesuaikan dengan
riwayat pasien, pemeriksaan fisik, dan prosedur pembedahan yang akan
dilakukan, dan bukan hanya berdasarkan atas usia pasien saja.5
3.5 Evaluasi Praoperatif
Penilaian pra operasi memainkan bagian penting dalam mengurangi
komplikasi pasca operasi. Pemahaman tentang status fisik pasien akan
memberikan panduan terhadap penilaian jenis penyakit komorbid dan tingkat
keparahannya, jenis monitoring yang diperlukan, optimasi pra operasi dan
prediksi akan timbulnya komplikasi pasca operasi. Pemahaman riwayat penyakit
yang mendetail, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan penilaian
risiko tindakan pembedahan harus difokuskan selama evaluasi pra operasi.5
a) Informed Consent
Pasien, anggota keluarga atau wali pasien harus diberitahu tentang intervensi
bedah dan kemungkinan komplikasi yang dapat timbul. Kapasitas putusan
43
merupakan prasyarat untuk suatu informed consent yang sesuai dengan hukum
dan moral. Pasien usia lanjut mungkin tidak sepenuhnya memahami intervensi
yang direncanakan, sehingga kerabat terdekat harus terlibat untuk memperoleh
informed consent yang terperinci. Status mental dan kognitif pasien harus
dipertimbangkan dan didokumentasikan. 5
Riwayat kondisi medis lengkap dan operasi sebelumnya harus dicatat karena
pasien usia lanjut biasanya sedang menjalani banyak terapi obat-obatan.
Defisiensi nutrisi yang sering dialami oleh pada usia lanjut harus dinilai secara
akurat. Hitung darah lengkap yang menunjukkan anemia, kadar albumin serum
yang kurang dari 3.2g/dl dan kolesterol kurang dari 160mg/dl telah terbukti
sebagai penanda risiko outcome pasca operasi yang merugikan. Indeks massa
tubuh yang kurang dari 20 kg/m2 pada pasien usia lanjut mungkin mengarahkan
peningkatan morbiditas karena penyembuhan luka yang tertunda, sehingga
suplemen gizi pra operatif harus dipertimbangkan.
c) Pemeriksaan fisik
Meskipun pasien usia lanjut memiliki riwayat medis yang panjang, mereka
biasanya tidak memberikan rincian penyakit mereka, ini merupakan konsekuensi
yang tidak dapat dihindari akibat usia tua. Pemeriksaan fisik harus mencakup
informasi yang mendetail tentang status hidrasi, gizi, tekanan darah, nadi dan
kondisi sistemik.5
44
Pasien usia lanjut harus menjalani berbagai tes yang akan membantu
menentukan parameter kesehatan pasien, bahkan pada mereka yang sehat dan
termasuk diantaranya:
Gula darah dan kolesterol harus diperiksa karena tingginya insiden diabetes
mellitus dan ateroskleorsis.
Rontgen dada dan tes fungsi paru pada pasien dengan penyakit paru
obstruktif kronis.
Pemeriksaan jantung.
45
sebelum operasi, maka operasi dapat dilakukan tanpa penundaan. Penundaan
operasi yang lama dapat meningkatkan morbiditas. Diabetes mellitus dan
penyakit kardiovaskular adalah penyakit yang paling sering dialami oleh pasien
geriatri. Komplikasi paru adalah salah satu penyebab utama morbiditas
pascabedah pada pasien usia lanjut. Untuk pasien ini diperlukan optimasi paru-
paru. Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan laboratorium
dan diagnostik sangat penting. Masalah yang yang harus selalu dipikirkan pada
pasien geriatri adalah kemungkinan terjadinya depresi, malnutrisi, imobilitas dan
dehidrasi. Sehingga penting untuk menentukan status kognitif seorang pasien
usia lanjut. Defisit kognitif berkaitan dengan outcome yang buruk dan morbiditas
perioperatif yang lebih tinggi. Namun masih kontroversial apakah anestesi
umum dapat mempercepat perkembangan demensia senilis. 5,10
Walaupun masih terdapat banyak pertanyaan, bukti-bukti yang ada
menunjukkan bahwa risiko kardiovaskuler dapat dicegah dengan mencari
ada tidaknya β-blockade perioperatif pada pasien dengan penyakit arteri koroner
yang diketahui, terutama bila muncul beberapa minggu terakhir sebelum operasi.
Pada pasien usia lanjut yang menggunakan terapi β-blocker jangka panjang,
tampaknya β-blocker long-acting akan lebih efektif dibandingkan dengan β-
blocker short-acting dalam mengurangi resiko infark miokard perioperatif.
Protokol yang menyertakan pemberian β-blocker pada pagi hari sebelum operasi
dilakukan dan diteruskan selama operasi berhubungan dengan peningkatan
insidens stroke dan semua penyebab mortalitas.
3. Manajemen Intraoperatif
3. 7. Induksi Anestesi:
Pada pasien usia lanjut, preoksigenasi agresif yang setara untuk anestesi
inhalasi menurun secara linear dengan pertambahan usia, oleh karena itu dosis
obat yang mempengaruhi SSP perlu dikurangi untuk mengantisipasi efek sinergi
46
obat. Penggunaan bersama propofol, midazolam, opioid dapat meningkatkan
kedalaman anestesi. Hipotensi adalah kejadian yang umum didapatkan sehingga
dosis obat-obatan ini harus dititrasi. Dipilih obat yang bekerja singkat. Stimulasi
intubasi trakea tidak memberikan efek hipotensi pada pasien usia lanjut. 10
Efek puncak obat mengalami penundaan, diantaranya: midazolam 5 menit,
fentanil 6-8 menit, dan propofol 10 menit. Untuk meminimalkan kedalaman dan
durasi hipotensi, dosis propofol tanpa suplementasi opioid disesuaikan dengan
cara dikurangi 1,0-1,5 mg / kg lean body weight (LBW)dan 0.5-1.0mg/kg jika
diberikan opioid secara bersamaan khususnya jika disertai juga dengan pemberian
ketamin dosis rendah dan midazolam.8
Penggunaan profilaksis aspirasi dan rapid sequence intubation (RSI) harus
dilakukan secara rutin, khususnya pada pasien dengan diabetes mellitus atau
penyakit refluks dan prosedur darurat. Antisipasi pemanjangan durasi obat
neuromuskuler yang bersifat organ based klirens. Seiring pertambahan usia, obat-
obatan intermediate acting bekerja lebih lama (kecuali atrakurium dan
cisatrakurium), dapat menurunkan suhu tubuh, menyebabkan diabetes dan
obesitas (jika dosisnya dihitung berdasarkan berat badan total) dan peningkatan
blok neuromuskuler. Dosis antikolinesterase inhibitor juga harus dikurangi dan
pasien dipantau dengan ketat di unit perawatan pasca-anestesi (PACU) untuk
tanda-tanda rekurarisasi.10
Obat-obatan non-steroid anti-inflammatory drug (NSAID) untuk
menghilangkan rasa sakit pasca operasi harus diberikan dengan dosis dikurangi
untuk menghindari komplikasi seperti gastritis, gagal ginjal akut. NSAID harus
dihindari pada pasien usia lanjut dengan gangguan fungsi ginjal preoperatif
(peningkatan kadar urea / kreatinin) atau jika pasien mengalami hipovolemia.10
3. 8. Manajemen cairan
Mengelola volume intravaskular yang tepat sangat penting dengan
menghindari kelebihan dan kekurangan pemberian cairan. Karena adanya
peningkatan afterload, penurunan respon inotropik atau chronotoropic serta
gangguan respon vasokonstriksi menyebabkan pasien usia lanjut sangat
tergantung pada preload yang memadai. Pasien usia lanjut juga rentan terhadap
dehidrasi karena penyakit, penggunaan diuretik, puasa pra operasi dan penurunan
47
respon haus. Asupan cairan oral hingga 2 - 3 jam sebelum operasi, dan terapi
pemeliharaan cairan yang cukup serta menghindari terapi diuretik sebelum operasi
dapat menghindarkan kejadian hipotensi mendadak segera setelah induksi
anestesia. Hidrasi yang berlebihan juga harus dihindari pada usia lanjut dengan
ganggaun jantung karena mereka lebih rentan untuk terjadinya kegagalan sistolik,
perfusi organ yang jelek dan penurunan GFR.10
Penting pula untuk melakukan pemantauan kateter vena sentralis atau arteri
pulmonalis intraoperatif untuk mengukur volume darah sentral khusus pada
pasien usia lanjut yang cenderung memiliki penurunan volume darah dalam
jumlah besar atau pergeseran cairan. Penting untuk menaga tekanan vena sentral
pada kisaran 8 - 10 mmHg dan tekanan arteri pulmonalis14 - 18 mm Hg untuk
mempertahankan output jantung yang memadai.10
48
2. Manajemen Nyeri
Manajemen nyeri akut sangat penting pada pasien bedah berusia lanjut,
dimana nyeri pasca operasi dapat menghasilkan efek yang berbahaya. Kontrol
nyeri yang kurang optimal dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada
usia lanjut karena komorbiditas terkait seperti penyakit jantung iskemik,
penurunan cadangan ventilasi, perubahan metabolisme. 10
Pertimbangkan pemberian analgetik sederhana seperti parasetamol, dan
NSAID dengan hati-hati. Titrasi morfin IV menggunakan protokol usia lanjut (>
70 tahun) yang sama dengan pasien yang lebih muda tampaknya aman. Dua
sampai tiga miligram morfin IV setiap 5 menit untuk skor analog visual lebih dari
30 dilaporkan dapat memberikan kontrol nyeri yang memadai. Opioid kerja
singkat seperti fentanil atau sufentanil dan satrategi manajemen nyeri intensif
dengan bolus intermiten atau patient controlled analgesia (PCA) secara parenteral
atau dengan blok neuraxial dilaporkan paling bermanfaat untuk pasien usia lanjut
beresiko tinggi atau pasien usia lanjut dengan risiko rendah yang menjalani
operasi berisiko tinggi dengan mengurangi respon stres terhadap pembedahan dan
ambulasi dini.10,12
49
kognitif jangka pendek setelah pembedahan dapat disebabkan karena
berbagai etiologi, termasuk mikroemboli (terutama pada pembedahan
jantung), hipoperfusi, respons inflamasi sistemik (bypass
kardiopulmoner), anestesia, depresi, dan faktor- faktor genetik (alel E4).2
Ada tidaknya kontribusi anestesi terhadap disfungsi kognitif postoperatif
jangka panjang masih kontroversi dan memerlukan penelitian yang
intensif. Pada prosedur non-cardiac, anestesia mempunyai pengaruh yang
paling ringan terhadap terjadinya penurunan kognitif jangka panjang,
walaupun efek ini mungkin akan meningkat sejalan dengan
bertambahnya usia. Penurunan kognitif post-operatif setelah
pembedahan non-cardiac akan kembali nor mal pada kebanyakan
kasus, tetapi bisa juga menetap pada kurang lebih 1% pasien.2
50
1997, Laparoscopic Cholecystectomy menjadi prosedur baku untuk
penyakit-penyakit kantung empedu di beberapa rumah sakit besar di
Jakarta dan beberapa kota besar di Indonesia. 8
51
melalui trocar. Selain itu, ada pula klip-klip dari titanium, yang aman dan
bisa digunakan sebagai ganti jahitan. Klip itu berfungsi menyambungkan
dua bagian yang terpisah. Klip dari titanium akan dipasang dalam tubuh
secara permanen, seumur hidup. Sebelumnya, dokter harus mengatakan
kepada pasien dan keluarganya kalau ada benda asing yang akan
ditinggalkan di dalam tubuh pasien.8
Posisi peralatan juga penting untuk diperhatikan agar mudah
untuk dilihat oleh semua operator karena menggunakan berbagai
peralatan penunjang. Operator harus melihat jelas video monitor dan
pengaliran insuflasi CO2 sehingga dia bisa memonitor tekanan intra
abdomen dan laju gas. 3
4.1.3 Penggunaan Gas CO2 dalam Laparoskopi
CO2 adalah gas pilihan untuk insuflasi karena tidak mudah terbakar,
tidak membantu pembakaran, mudah berdifusi melewati membrane, mudah
keluar dari paru-paru, mudah larut dalam darah dan risiko embolisasi CO 2
kecil. Level CO2 dalam darah mudah diukur, dan pengeluarannya dapat
ditambah dengan memperbanyak ventilasi. Selama persediaan O 2 cukup,
konsentrasi CO2 darah dapat ditolelir.7
Kerugian utamanya adalah fakta bahwa CO 2 lembam. Hal ini
menyebabkan iritasi peritoneal langsung dan rasa sakit selama laparoskopi
karena CO2 membentuk asam karbonat saat kontak dengan permukaan
peritoneum. CO2 tidak terlalu larut pada darah bila terjadi kekurangan sel darah
merah, oleh karena itu CO2 bisa tersisa di intraperitoneum dalam bentuk gas
setelah laparoskopi, sehingga menyebabkan sakit pada bahu. Hiperkarbia dan
respiratory acidosis terjadi saat kapasitas CO2 dalam darah melampaui batas.
Selain itu, CO2 dapat menimbulkan efek lokal maupun sistemik, sehingga dapat
terjadi hipertensi, takikardi, vasodilatasi pembuluh darah serebral, peningkatan
CO, hiperkarbi, dan respiratory acidosis.10
52
setelah prosedur laparoskopi. Setelah operasi fungsi pencernaan pasien pulih
lebih cepat, masa rawat inap rumah sakit pendek, serta lebih cepat kembali
beraktivitas. Keuntungan ini bervariasi tergantung pasien dan tipe prosedur.9
53
bisa merubah respon ini. Pada saat posisi tredelenburg penurunan preload dan
peningkatan afterload tidak terlalu mencolok dibandingkan posisi anti
tredelenburg.9
Selama prosedur Laparoskopi, efek respirasi yang disebabkan oleh
insuflasi CO2 memegang peranan utama. Setelah insiflasi CO 2 terjadi hiperkapnia
selama beberapa menit dimana kenaikan CO 2 biasanya mencapai 30%, namun
keadaan ini akan menjadi stabil kembali selama satu jam sewaktu operasi.
Hiperkapnia ini dapat menimbulkan stimulasi simpatis dan berpotensi untuk
terjadi disritmia dan respiratori asidosis. Hal ini dapat dikoreksi dengan
meningkatkan ventilasi. Pengaruh tambahan dari pneumoperitoneum adalah efek
mekanik dari peningkatan tekanan intra abdomen yang menyebabkan penurunan
pulmonary compliance dan kapasitas residu fungsional serta peningkatan dead
space.9
54
tanda-tanda perforasi seperti abses, peritonitis, fistula; batu kandung empedu yang
besar atau curiga keganasan kandung empedu; dan hernia diafragma yang besar.3
4.3. Manajemen Anestesi pada Laparoskopi
Pemilihan jenis anestesi memperhatikan beberapa faktor, antara lain :
umur, jenis kelamin, status fisik, jenis operasi, ketrampilan operator dan peralatan
yang dipakai, ketrampilan/kemampuan pelaksana anestesi dan sarananya, status
rumah sakit, dan permintaan pasien. Saat ini sekitar 70-75 % operasi pada rumah
sakit, dilakukan di bawah anestesi umum (general anesthesia). Operasi sekitar
kepala, leher, dada, dan abdomen sangat baik dilakukan dengan anestesi umum
inhalasi dengan pemasangan pipa endotrakheal, sejak diketahui bahwa dengan
metode ini jalan nafas dapat dikontrol dengan baik sepanjang waktu.5
Anestesi regional tidak digunakan rutin pada prosedur laparoskopi, karena
iritasi yang mengenai diafragma dari insuflasi CO2. bisa menyebabkan sakit pada
pundak, ditambah lagi waktu penyembuhan untuk pengembalian fungsi yang
lengkap bisa lama. Dengan lidocaine dosis rendah dan teknik spinal opioid, salah
satu studi menemukan bahwa nyeri pasca operasi setelah laparoskopi ginekologi
lebih sedikit dibandingkan dengan general anestesi dengan desflurane.5
55
monitor tekanan arteri secara invasif antara lain: penyakit paru berat, end tidal
CO2. arteri yang sangat tinggi, dan fungsi ventrikel yang menurun. Sama halnya
dengan monitor pengukuran tekanan vena sentral, pemasangan kateter arteri paru
atau transesofageal echocardiografi bisa berguna untuk pasien dengan gangguan
fungsi jantung atau hipertensi paru.1
Akses untuk memasukkan obat secara intravena harus memadai pada
prosedur laparoskopi, seperti pada keadaan kehilangan darah. Akses untuk
memasukkan obat secara intravena yang adekuat adalah kunci dari resusitasi
cairan yang tepat untuk keadaan pendarahan yang tidak terkontrol atau emboli
gas. Akses ke vena sentral harus dipertimbangkan pada pasien dengan gangguan
vena perifer.1
Untuk mencegah aspirasi paru dan menjaga jalan nafas, perlu pemasangan
pipa endotrakeal. Pemasangan sebuah pipa orogastrik atau nasogastrik setelah
jalan nafas dikuasai dapat mengurangi tekanan udara lambung, menurunkan
resiko kerusakan gaster, dan memperbaiki visualisasi selama operasi. Pada saat
tekanan intraabdomen meningkat karena pneumoperitoneum, pipa endotracheal
dapat digunakan untuk memberikan tekanan ventilasi yang positif untuk
mencegah hipoksemia dan untuk mengekskresikan kelebihan CO 2 yang
diabsorbsi. Pneumoperitoneum dapat menyebabkan perubahan posisi pipa
endotrakeal pada pasien dengan trakea yang pendek, dimana ketika carina
bergerak ke atas pipa endotrakeal bisa masuk ke salah satu bronkus, sehingga
memasang pipa endotrakeal sebaiknya pada pertengahan trakea dan disarankan
untuk lebih sering mengecek posisi pipa endotrakeal pada pasien.1
56
bisa meningkat dengan perubahan posisi dan ventilasi, biasanya butuh
penyesuaian.1
57
opioid dan mempertimbangkan pemberian propofol untuk anestesi. Karena
banyak prosedur laparoskopi direncanakan pada pasien rawat jalan, evaluasi pada
saat pasien akan pulang juga diperlukan.11
Penggunaan analgetik setelah prosedur laparoskopi umumnya lebih sedikit
dibandingkan dengan sesudah bedah terbuka. Modalitas penggunaan analgesik
harus menghilangkan nyeri yang bisa terjadi karena insisi, visceral, atau akibat gas
residu dan pneumoperitoneum. Manajemen nyeri diawali sebelum atau selama
prosedure pembedahan. Pemberian opioid intravena (fentanyl, morfine) dalam
kombinasi dengan NSAID intravena membantu agar pasien nyaman pada akhir
dari prosedur. Infiltrasi dari anestesi lokal, seperti bupivacaine pada port sites
kulit dan peritoneum memblock nyeri somatik dan visceral
BAB III
LAPORAN KASUS
1.1. IDENTITAS
1. Nama Lengkap : Tn. R.A
2. Umur : 80 tahun
3. Jenis Kelamin : laki-laki
4. Agama : Kristen Protestan
5. Suku/Bangsa : Wamena, Papua
6. Pendidikan : SD
7. Alamat : APO Gunung/ Desa Idadagi, Dogiyai
8. Pekerjaan : Pendeta
9. Tanggal MRS : 08 Februari 2019
10. Tanggal Operasi : 18 Februari 2019
11. No. Rekam Medik : 440873
1.2. ANAMNESA
Keluhan Utama : badan terasa lemas sejak ±1 minggu.
Riwayat Penyakit Sekarang :
58
mual (+), muntah (+), dan nyeri perut kanan atas, serta terasa tidak enak
sejak 4 bulan yang lalu. Nyeri dirasakan seperti tertusuk-tusuk, hilang
timbul, tidak tembus ke belakang dan tidak menjalar ke tempat lain. Nyeri
tidak dipengaruhi oleh makanan saat makan. Demam tidak ada, batuk tidak
ada. BAB/BAK normal. Warna urin kuning seperti teh, BAB warna
kecoklatan. Warna dempul (-).
Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat keluhan yang sama sebelumnya tidak ada
- Riwayat batu ginjal : disangkal
- Riwayat hipertensi : disangkal
- Riwayat sakit jantung : disangkal
- Riwayat diabetes mellitus : disangkal
- Riwayat asma : disangkal
- Riwayat sakit maag : disangkal
- Riwayat operasi sebelumnya :disangkal
- Riwayat PPOK : ada
Riwayat Penyakit Keluarga
- Dalam keluarga tidak ada yang mempunyai keluhan serupa dengan
pasien
- Riwayat hipertensi : disangkal
- Riwayat diabetes mellitus : disangkal
- Riwayat asma : disangkal
- Riwayat sakit jantung : disangkal
- Riwayat sakit maag : disangkal
Riwayat Alergi
- Riwayat alergi makanan : disangkal
- Riwayat alergi obat : disangkal
59
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor (Ø
= 2 mm), refleks cahaya (+/+)
Telinga : Deformitas (-), sekret (-), lesi (-)
Hidung : Deformitas (-), sekret (-), lesi (-), perdarahan (-)
Mulut : Oral candidiasis (-), lidah kotor (-), faring hiperemis (-),
tonsil (T1=T1), karies (-), malampati skor II.
Leher :Trakea letaknya di tengah, pembesaran kelenjar getah bening
(-), peningkatan vena jugularis (-), pembesaran kelenjar tiroid (-)
5. Thoraks-Pulmo
Inspeksi : Simetris, statis dinamis, ikut gerak napas, jejas (-)
Palpasi : Vocal fremitus (Dextra = Sinistra)
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Suara napas vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
Thoraks-Cor
Inspeksi : Ictus Cordis tidak terlihat, thrill (-)
Palpasi : Ictus Cordis teraba pada ICS V Midline Clavicula Sinistra
Perkusi : Pekak (Batas Jantung dalam batas normal)
Auskultasi : Bunyi Jantung I-II Reguler, Murmur (-), Gallop (-)
6. Abdomen
Inspeksi : Tampak cembung, jejas (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal 3x/menit
Palpasi : Supel, nyeri tekan hipokondrium dextra (+), hepar: teraba
4 jari bawa arcus costae, lien : scuffner IV
Perkusi : Timpani, nyeri ketok CVA (-/-)
7. Ekstremitas : Akaral teraba hangat, kering dan merah (HKM), Udem
(-/-), CRT <2”
8. Genitalia : Tidak dievaluasi
60
P : 11,0-14,7
WBC 17.950 (10^3/µL)↑ 4,8-10,8
PLT 530 (10^3/µL) 150-450
Kalium 3,34 mEq/L ↓ 3,5-5,3
Natrium 139,9 mEq/L 135-148
Klorida 106,1 mEq/L ↑ 98-106
BUN 19,5 7,0 – 18,0 mg/dL
CREA 1,18 mg/dL ↑ <0,95 mg/dL
PT 9,8 10,2 – 12,1
APTT 22,8 24,8 – 34,4
GDS 176 74 - 109
SGOT 14,0 < 40,0 U/L
SGPT 13,6 < 40,0 U/L
b. USG ABDOMEN
61
- Sedia darah 2- 3 bag
62
Teknik Anestesi
Premedikasi
Preoksigenasi ±5menit
Induksi
Medikasi
Pernapasan Control Respirasi
Penyulit pembedahan -
63
Diagnosis Pre : Multiple Kolelithiasis
Operatif
Diagnosis Post : Kolelithiasis + Kolesistitis
Operatif
Jaringan yang di : Kantung Empedu (Gall Bladder)
Eksis/Insisi
Tanggal Operasi / : 18-02-2019 jam 09.30- 14.30 WIT (lama operasi: 5 jam)
Jam mulai
Laporan Operasi:
1. SIO diisi
2. Pasien terlentang posisi supine di meja operasi dalam pengaruh General
anastesi
3. Asepsis dan antisepsis lapangan operasi dan sekitarnya
4. Pasang duck steril
5. Dilakukan insisi daerah umbilical menggunakan trokar untuk port I,
masukkan gas CO2 dan kamera identifikasi tampak adhesi + walling of
omentum ke vesica velea
6. Masukkan Trokar untuk port II: di hipokondriaka Dextra, port III: di
Epigastrium,Port IV: antara port I dan Port III
7. Colesystectomi ductus cysticus, ligase ductus cysticus + a. Cystica.
8. Kontrol Perdarahan
9. Jahit Luka operasi
10. Operasi selesai
64
160
140
120
100
Nadi
80 Diast
60 ol
Sistol
40
20
0
65
1170 – 1460 cc / 10 jam
Durante - Kebutuhan cairan durante operasi 5 jam:
Operasi Input:
- Maintanmance RL 500 cc
Kebutuhan cairan per jam 117-146 cc Gelafusal 500 cc
Operasi 5 jam: 5x 117-146 =585-730 cc
NaCl 0,9% 500cc
- Replacement PRC 250cc
EBV = 70 cc x BB = 70 cc x 70 kg = 4900 cc
EBL = 10% = 490 cc Output:
20% = 980 cc DC Urin (+), produksi
100 cc
30% = 1470 cc
IWL: 700 cc
Perdarahan 250 cc (<10%),dapat diganti Perdarahan: ± 250 cc
dengan :
a. Cairan kristaloid :
(2 – 4)× EBL = (2 –4) ×490 cc
= 980-1960 cc
b. Cairan koloid
1 x EBL = 1 x 490 cc = 490 cc
(6 -8cc/KgBB/jam) x 70 Kg x 1 jam
= 420-560cc/jam
= 420-560 cc
Balance Cairan: Input - Ouput Selama Pre Operasi hingga Durante Operasi:
- Input: Pre Operasi (Ringer Laktat 500 cc) + Durante Operasi (RL+ NaCl
0,9%, Gelafusal+ PRC=1750 cc) total 2250 cc
- Output: Pre Operasi (IWL 700 cc) + Durante Operasi (Perdarahan 250 cc
+ IWL 700 cc + Urin 100 cc)=1750
66
- Kebutuhan cairan per jam:
= 2800 cc : 24 jam = 117 cc / jam
3500 cc : 24 jam = 146 cc / jam
67
Injeksi Ciprofloxacin 2 x 400 mg (IV)
Inj. Metronidazole 3x500mg (iv)
Drip Paracetamol 4x 500mg (iv)
Injeksi Antrain 3 x 1 gr (IV)
Inj. Ranitidine 2x 50mg (iv)
Target TD ≥ 110mmHg atau MAP ≥ 65 mmHg, Urine ≥ 30 cc/ jam
Hari/ Follow Up
Tanggal
20/02/2019 S : Nyeri daerah post opp (+), muntah (-), perdarahan (-)
O : KU: tampak lemah, kes: composmentis
TD 110/80 mmHg, N: 84 x/menit, RR 20 x/menit, SB 36,8 C
B1: Airway bebas, napas spontan, tidak terpasang O2, RR: 20 x/m
B2:Perfusi hangat, kering, merah, anemis (-), CRT<2”, TD:120/80 mmHg, Nadi 82x/m
B3: Kesadaran : Compos Mentis, Pupil bulat, Isokor 3 mm, refleks cahaya (+/+)
B4 : Buang air kecil spontan (+)
B5 : Simetris, Supel, Cembung, Bu 3x/15 Detik ; Hepar/Lien/Renal: Tidak Teraba Tesar;
Nyeri Ketok (-), Nyeri Tekan
B6 : Deformitas (-) Fraktur (-) Edema (-)
A: Post laparoskopi colesystectomy (H1)
P: IVFD RL 20 tpm makro
68
BAB IV
PEMBAHASAN
Teori Kasus
Kelas I : Pasien sehat PS ASA III
Pada kasus ini pasien tergolong PS ASA III
69
organik, fisiologik, karena pasien merupakan pasien geriatric
psikiatrik, biokimia. usia 80 tahun dengan low itake dan
Kelas II: Pasien Kolelithiasis Multiple yang memerlukan
dengan penyakit sistemik tindakan pembedahan dalam waktu lama.
Kolelithiasis adalah istilah medis yang
ringan atau sedang.
Kelas III : digunakan pada penyakit batu empedu. Batu
Pasien dengan empedu (gallstones) adalah massa padat
penyakit sistemik berat, yang terbentuk dari endapan mineral pada
sehingga aktivitas rutin saluran empedu.
terbatas.
Kelas IV :
Pasien dengan
penyakit sitemik berat, tidak
dapat melakukan aktivitas
rutin dan
penyakitnya merupakan
ancaman kehidupannya
setiap saat.
Kelas V :
Pasien sekarat yang
diperkirakan dengan atau
tanpa pembedahan hidupnya
tidak akan lebih dari 24 jam.
70
4.2. Penentuan Jenis Anestesi, Mengapa General Anestesi?
Teori Kasus
Penatalaksanaan anestesi Pada kasus ini teknik anestesi yang dipakai
pada kasus ini, dapat general anestesi inhalasi karena pada kasus
dikerjakan dengan general bedah abdomen laparaskopi yang
anestesi (anestesi umum). membutuhkan waktu lama dan efek
Anestesi umum dipilih pada anastesia pada daerah yang bisa dijangkau
pasien ini mengingat dengan pemberian anestesi general / umum.
beberapa alasan, yaitu sulit Jika yang dipilih adalah anestesi regional
dilakukan pada saat pasien atau lokal, maka tidak sesuai dengan area
sadar karena menimbulkan yang akan dilakukan pembedahan.
ketidaknyamanan dan
kecemasan pada pasien, pada
anestesi umum juga pasien
tidak sadar sehingga
mencegah ansietas selama
prosedur medis berlangsung,
efek amnesia meniadakan
memori buruk pasien yang
didapat dari ansietas dan
berbagai kejadian
intraoperative yang mungkin
memberikan trauma
psikologis, serta
memungkinkan dilakukannya
prosedur yang memakan
waktu lama.
Hasil : Sudah tepat
71
anastesi yang dipilih yakni anestesi inhalasi menggunakan Sevofluran.
Sevofluran merupakan halogenasi eter yang memiliki kelebihan dibanding
obat inhalasi lainnya, sedangkan dibandingkan dengan halotan yang 20%
dimetabolisme dihepar, sehingga penggunaan halotan dikontraindikasikan
pada penderita dengan gangguan hepar seperti pada kasus ini.
Pada teknik general anastesi dilakukan premedikasi, yakni pasien
diberikan obat – obatan pendahulu untuk pelaksanaan anastesia berupa
midazolam, petidine, dan fentanyl dihydrogenum citrate. Hal ini sesuai
dengan teori yang menyatakan bahwa pemberian midazolam untuk
meredakan kecemasan, sedangkan pemberian petidin dan fentanyl untuk
meredakan rasa sakit. Pemberian premedikasi (pemberian obat sebelum
induksi anestesi) selama 1-2 jam dengan tujuan untuk melancarkan induksi,
rumatan dan bangun dari anestesia, yaitu diantaranya meredakan kecemasan
dan ketakutan, memperlancar induksi anestesi, mengurangi sekresi kelenjar
ludah dan bronkus, meminimalkan jumlah obat anestetik, mengurangi mual-
muntah pasca bedah, menciptakan amnesia, mengurangi isi cairan lambung,
mengurangi refleks yang membahayakan.
Midazolam (sedacum) merupakan golongan benzodiazepin memiliki
efek yang berguna untuk premedikasi meredakan ansietas, sedasi dan
amnesia. Amnesia yang ditimbulkan akan mengurangi memori buruk yang
dialami pasien akibat suatu tindakan karena obat ini bekerja pada sistem
limbik dan menimbulkan amnesia antero grade. Dengan reseptor spesifik
GABA akan meningkatkan afinitas neurotransmiter inhibisi dengan reseptor
GABA. Ikatan ini akan membuka kanal Cl¯ yang menyebabkan
meningkatnya konduksi ion Cl¯ sehingga menghasilkan hiperpolarisasi pada
membran sel pasca sinap dan saraf pasca sinap menjadi resisten untuk
dirangsang. Pada pasien ini diberikan midazolam 5 mg secara intravena, hal
ini dikarenakan pada pemberian intramuskular dapat menimbulkan rasa nyeri
pada daerah suntikan. Dosis midazolam 1-2,5 mg IV, (mula kerja 30-60
detik, dengan efek puncak 2-3 menit, lama kerja 15-80 menit).
Selain itu pada kasus ini, pasien diberikan petidin dan fentanyl yang
merupakan analgesik opioid. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan
72
bahwa indikasi pemberian petidin dan fentanyl yaitu untuk analgesia
perioperatif, premedikasi. Petidin bersifat seperti atropin menyebabkan
kekeringan mulut, kekaburan pandangan, dan takikardia. Dosis yang besar
menimbulkan depresi napas dan hipotensi. Sebagai analgetik, obat ini bekerja
pada talamus dan substansia gelatinosa medula spinalis. Dosis petidin
intramuskular 1-2 mg/kgBB (morfin 10 x lebih kuat) dapat diulang tiap 3-4
jam. Dosis intravena 0,2-0,5 mg/kgBB. Dosis fentanil 1-2mcg/ kg BB.
73
Deksamethasone adalah glukokortikoid sintetik dengan aktivitas
imunosupresan dan anti-inflamasi. Sebagai imunosupresan deksamethasone
bekerja dengan menurunkan respon imun tubuh terhadap stimulasi rangsang.
Aktivitas anti-inflamasi deksamethasone dengan jalan mengurangi inflamasi
dengan menekan migrasi neutrofil, mengurangi produksi mediator inflamasi,
dan menurunkan permeabilitas kapiler yang semula tinggi dan menekan
respon imun.
4.4 Critical Point pada kasus: apa saja yang harus diperhatikan selama
perioperatif
74
fraktur (-), deformitas (-) pasien dengan
tepat
75
post operasi tersebut dapat terpenuhi dengan pemberian cairan post operatif
adalah NaCl 2000cc.
BAB V
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang,
pasien didiagnosis dengan Multiple Kolelithiasis. Klasifikasi status
anestesi digolongkan dalam PS ASA III.
Pasien akhirnya menjalani operasi Laparaskopi Colecystectomy dan
dipilih anestesi General Inhalasi dengan menggunakan Sevofluran+ O2
dengan dosis 20 %
1.2 Saran
76
Pada pasien Geriatri yang akan melakukan operasi sebaiknya
informed consent harus selalu dilakukan dokter di setiap langkah
pemeriksaan dan tindakan. Harus disampaikan terlebih dahulu semua
informasi yang dapat dipahami oleh pasien dan keluarga, termasuk
menyampaikan kondisi terburuk yang mungkin terjadi, seperti prognosis
penyakit, kondisi penyembuhan pascapembedahan atau rencana home care
bila pasien memasuki kondisi terminal.
Penatalaksanaan anestesi perlu dilakukan dengan baik mulai dari
persiapan pre anestesi, tindakan anestesi hingga observasi post operasi,
terutama menyangkut resusitasi cairan yang akan sangat mempengaruhi
kestabilan hemodinamik perioperative.
77
DAFTAR PUSTAKA
78