Anda di halaman 1dari 78

BAB I

PENDAHULUAN

Anestesi (pembiusan) berasal dari bahasa Yunani. An-“tidak, tanpa” dan


aesthesos, “persepsi, kemampuan untuk merasa”. Secara umum, anestesi berarti
suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan
berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah
Anestesia digunakan pertama kali oleh Oliver Wendell Holmes pada tahun 1948
yang menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena
anestesi adalah pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri
pembedahan. Sedangkan Analgesia adalah tindakan pemberian obat untuk
menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran pasien.1

Ada tiga kategori utama anestesi yaitu anestesi umum, anestesi regional dan
anestesi lokal. Seorang ahli anestesi akan menentukan jenis anestesi yang
menurutnya terbaik dengan mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dari
masing-masing tindakannya tersebut. Anestesi umum ialah suatu keadaan yang
ditandai dengan hilangnya persepsi terhadap semua sensasi akibat induksi obat.
Dalam hal ini, selain hilangnya rasa nyeri, kesadaran juga hilang. Obat anestesi
umum terdiri atas golongan senyawa kimia yang heterogen, yang mendepresi SSP
secara reversibel dengan spektrum yang hampir sama dan dapat dikontrol. Obat
anastesi umum dapat diberikan secara inhalasi dan secara intravena.2

Anestesi umum biasanya dimanfaatkan untuk tindakan operasi besar yang


memerlukan ketenangan pasien dan waktu pengerjaan lebih panjang, misalnya
pada kasus bedah jantung, pengangkatan batu empedu, bedah rekonstruksi tulang,
dan lain-lain.2 Cara kerja anestesi umum selain menghilangkan rasa nyeri,
menghilangkan kesadaran, dan membuat amnesia, juga merelaksasi seluruh otot.
Maka, selama penggunaan anestesi juga diperlukan alat bantu nafas, selain deteksi
jantung untuk meminimalisasi kegagalan organ vital melakukan fungsinya selama
operasi dilakukan.1,2

1
Kolelithiasis adalah istilah medis yang digunakan pada penyakit batu
empedu. Batu empedu (gallstones) adalah massa padat yang terbentuk dari
endapan mineral pada saluran empedu. Batu empedu terbentuk secara perlahan
dan terkadang asimtomatik selama beberapa dekade. Migrasi batu empedu ke
ductus cysticus dapat menghalangi aliran pada kandung empedu selama terjadinya
kontraksi pada proses sekresi. Akibat dari peningkatan tegangan dinding kandung
empedu memberi sensasi nyeri (kolik bilier).3

Menua adalah suatu proses menghilangnya kemampuan jaringan untuk


memperbaiki diri/mengganti diri dan mempertahankan struktur serta fungsi
normalnya secara perlahan-lahan sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas
(termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Perubahan
fisiologis penuaan dapat mempengaruhi hasil operasi tetapi penyakit penyerta
lebih berperan sebagai faktor risiko. Secara umum pada usila terjadi
penurunan cairan tubuh total dan lean body mass dan juga menurunnya
respons regulasi termal, dengan akibat mudah terjadi intoksikasi obat dan juga
mudah terjadi hipotermia. 4

Anestesi pada geriatri atau pasien tua berbeda dengan anastesi pada dewasa
muda pada umumnya. Penurunan faal tubuh dan perubahan degeneratif yang
mempengaruhi banyak sistem organ membuat respon pasien usia tua terhadap
agen-agen anestesi menjadi berbeda. Usia lanjut bukan merupakan kontraindiksi
untuk anestesi umum maupun regional. Penyakit yang umumnya ditemukan pada
usia lanjut memiliki dampak yang signifikan terhadap tindakan anestesi dan
memerlukan perawatan khusus, sehingga penting untuk menentukan status fisik
pasien dan memperkirakan cadangan fisiologis dalam evaluasi preanestesi.1,5

Oleh karena itu, meminimalkan risiko perioperatif pada pasien geriatri


memerlukan suatu penilaian preoperatif yang bijaksana terhadap fungsi organ,
manajemen intraoperatif yang teliti untuk gangguan yang menyertai, dan kontrol
nyeri pasca operasi yang optimal. Laporan kasus berikut akan membahas tentang
general anastesi pada geriatri dengan Multipel Kolelithiasis.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. KOLELITHIASIS
1.1 Anatomi
Vesica Fellea6
Kandung empedu (Vesica fellea) adalah kantong berbentuk buah
advokat yang terletak pada permukaan visceral hepar dengan panjang
sekitar 4-6 cm dan berisi 30-60 ml empedu. Kandung empedu tertutup
seluruhnya oleh peritoneum visceral, tetapi infundibulum kandung empedu
tidak terfiksasi ke permukaan hati oleh lapisan peritoneum. Apabila
kandung empedu mengalami distensi akibat bendungan oleh batu, bagian
infundibulum menonjol seperti kantong yang disebut kantong Hartmann.1
Vesica fellea dibagi menjadi fundus, corpus dan collum. Fundus
berbentuk bulat dan biasanya menonjol dibawah pinggir inferior hepar,
dimana fundus berhubungan dengan dinding anterior abdomen setinggi
ujung rawan costa IX kanan. Corpus bersentuhan dengan permukaan
visceral hati dan arahnya keatas, belakang dan kiri. Collum dilanjutkan
sebagai duktus sistikus yang berjalan dalam omentum minus untuk bersatu
dengan sisi kanan duktus hepatikus komunis membentuk duktus
koledokus.3,6

Ductus
Duktus sistikus panjangnya 1-2 cm dengan diameter 2-3 mm.
Dinding lumennya mengandung katup berbentuk spiral disebut katup spiral
Heister, yang memudahkan cairan empedu masuk kedalam kandung
empedu, tetapi menahan aliran keluarnya. Saluran empedu ekstrahepatik
terletak didalam ligamentum hepatoduodenale yang batas atasnya porta
hepatis, sedangkan batas bawahnya distal papilla Vater. Bagian hulu saluran
empedu intrahepatik berpangkal dari saluran paling kecil yang disebut
kanalikulus empedu yang meneruskan curahan sekresi empedu melalui
duktus interlobaris ke duktus lobaris dan selanjutnya ke duktus hepatikus di
hilus.3,6
Panjang duktus hepatikus kanan dan kiri masing-masing antara 1-4
cm. Panjang duktus hepatikus komunis sangat bervariasi, bergantung pada

3
letak muara duktus sistikus. Duktus koledokus berjalan di belakang
duodenum menembus jaringan pankreas dan dinding duodenum membentuk
papilla Vater yang terletak di sebelah medial dinding duodenum. Ujung
distalnya dikelilingi oleh otot sfingter Oddi, yang mengatur aliran empedu
ke dalam duodenum. Duktus pankreatikus umumnya bermuara ditempat
yang sama oleh duktus koledokus di dalam papilla Vater, tetapi dapat juga
terpisah.
Vaskularisasi
Pembuluh arteri kandung empedu adalah a.cystica, cabang a.hepatica
kanan. V. cystica mengalirkan darah langsung ke dalam vena porta.
Sejumlah arteri yang sangat kecil dan vena – vena juga berjalan antara hati
dan kandung empedu.6
Pembuluh limfe dan persarafan
Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang
terletak dekat collum vesica fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan
melalui nodi lymphatici hepaticum sepanjang perjalanan a. hepatica menuju
ke nodi lymphatici coeliacus. Saraf yang menuju ke kandung empedu
berasal dari plexus coeliacus. 6

Gambar 1. Gambaran anatomi kandung empedu

4
1.2 Fisiologi
1.2.1 Sekresi Empedu
Empedu dibentuk oleh sel-sel hati ditampung di dalam kanalikuli.
Kemudian disalurkan ke duktus biliaris terminalis yang terletak di dalam
septum interlobaris. Saluran ini kemudian keluar dari hati sebagai duktus
hepatikus kanan dan kiri. Kemudian keduanya membentuk duktus biliaris
komunis. Pada saluran ini sebelum mencapai doudenum terdapat cabang ke
kandung empedu yaitu duktus sistikus yang berfungsi sebagai tempat
penyimpanan empedu sebelum disalurkan ke duodenum. 6
Empedu melakukan dua fungsi penting yaitu :
a. Empedu memainkan peranan penting dalam pencernaan dan absorpsi
lemak karena asam empedu yang melakukan dua hal antara lain: asam
empedu membantu mengemulsikan partikel-partikel lemak yang besar
menjadi partikel yang lebih kecil dengan bantuan enzim lipase yang
disekresikan dalam getah pankreas. Asam empedu membantu transpor
dan absorpsi produk akhir lemak yang dicerna menuju dan melalui
membran mukosa intestinal.
b. Empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa
produk buangan yang penting dari darah, antara lain bilirubin, suatu
produk akhir dari penghancuran hemoglobin, dan kelebihan kolesterol
yang di bentuk oleh sel- sel hati. 3

1.2.2 Penyimpanan dan Pemekatan Empedu6


Empedu diproduksi oleh sel hepatosit sebanyak 500-1500 ml per hari.
Empedu yang disekresikan secara terus-menerus oleh sel-sel hati disimpan
dalam kandung empedu sampai diperlukan di duodenum. Volume maksimal
kandung empedu hanya 30-60 ml. Meskipun demikian, sekresi empedu
selama 12 jam (biasanya sekitar 450 ml) dapat disimpan dalam kandung
empedu karena air, natrium, klorida, dan kebanyakan elektrolit kecil lainnya
secara terus menerus diabsorbsi oleh mukosa kandung empedu,

5
memekatkan zat-zat empedu lainnya, termasuk garam empedu, kolesterol,
lesitin, dan bilirubin. Kebanyakan absorpsi ini disebabkan oleh transpor
aktif natrium melalui epitel kandung empedu, dan keadaan ini diikuti oleh
absorpsi sekunder ion klorida, air, dan kebanyakan zat-zat terlarut lainnya.
Empedu secara normal dipekatkan sebanyak 5 kali lipat dengan cara ini,
sampai maksimal 20 kali lipat. 3,6

1.2.3 Pengosongan Kandung Empedu


Pengaliran cairan empedu diatur oleh tiga faktor, yaitu sekresi empedu
oleh hati, kontraksi kandung empedu, dan tahanan sfingter koledokus.
Empedu dialirkan sebagai akibat kontraksi dan pengosongan parsial
kandung empedu. Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan
berlemak ke dalam duodenum. Lemak menyebabkan pengeluaran hormon
kolesistokinin dari mukosa duodenum, kemudian masuk kedalam darah dan
menyebabkan kandung empedu berkontraksi. Pada saat yang sama, otot
polos yang terletak pada ujung distal duktus koledokus dan sfingter Oddi
mengalami relaksasi, sehingga memungkinkan masuknya empedu yang
kental ke dalam duodenum. 3
Proses koordinasi aktifitas ini disebabkan oleh dua hal yaitu :
a. Hormonal :
Zat lemak yang terdapat pada makanan setelah sampai duodenum akan
merangsang mukosa sehingga hormon kolesistokinin akan terlepas.
Hormon ini yang paling besar peranannya dalam kontraksi kandung
empedu.
b. Neurogen :
o Stimulasi vagal yang berhubungan dengan fase cephalik dari sekresi
cairan lambung atau dengan refleks intestino-intestinal akan
menyebabkan kontraksi dari kandung empedu.
o Rangsangan langsung dari makanan yang masuk sampai ke
duodenum dan mengenai sfingter Oddi. Sehingga pada keadaan
dimana kandung empedu lumpuh, cairan empedu akan tetap keluar
walaupun sedikit.

6
Secara normal pengosongan kandung empedu secara
menyeluruh berlangsung selama sekitar 1 jam. Pengosongan empedu
yang lambat akibat gangguan neurologis maupun hormonal
memegang peran penting dalam perkembangan inti batu.3

Gambar 2a. Kontraksi sfingter Oddi dan pengisian empedu ke kandung empedu. 2b.
Relaksasi sfingter Oddi dan pengosongan kandung empedu.

1.2.4 Komposisi Cairan Empedu


Tabel 1. Komposisi Empedu
Empedu Empedu
Komponen
Hati Kandung Empedu
Air 97,5 gr/dl 92 gr/dl
Garam Empedu 1,1 gr/dl 6 gr/dl
Bilirubin 0,04 gr/dl 0,3 gr/dl
Kolesterol 0,1 gr/dl 0,3 – 0,9 gr/dl
Asam Lemak 0,12 gr/dl 0,3 – 1,2 gr/dl
Lecithin 0,04 gr/dl 0,3 gr/dl
Na+ 145 mEq/L 130 mEq/L
K+ 5 mEq/L 12 mEq/L
Ca++ 5 mEq/L 23 mEq/L
-
Cl 100 mEq/L 25 mEq/L
HCO3- 28 mEq/L 10 mEq/L
Garam empedu, lesitin, dan kolesterol merupakan komponen terbesar
(90%) cairan empedu. Sisanya adalah bilirubin, asam lemak, dan garam
anorganik. 3,6

1.2.5 Garam Empedu


Fungsi garam empedu adalah:

7
a. Menurunkan tegangan permukaan dari partikel lemak yang terdapat
dalam makanan, sehingga partikel lemak yang besar dapat dipecah
menjadi partikel-partikel kecil untuk dapat dicerna lebih lanjut.
b. Membantu absorbsi asam lemak, monoglycerid, kolesterol dan vitamin
yang larut dalam lemak. 3
Prekursor dari garam empedu adalah kolesterol. Garam empedu yang
masuk ke dalam lumen usus oleh kerja kuman-kuman usus dirubah menjadi
deoxycholat dan lithocholat. Sebagian besar (90%) garam empedu dalam
lumen usus akan diabsorbsi kembali oleh mukosa usus sedangkan sisanya
akan dikeluarkan bersama feses dalam bentuk lithocholat. Absorbsi garam
empedu tersebut terjadi disegmen distal dari ilium. Sehingga bila ada
gangguan pada daerah tersebut misalnya oleh karena radang atau reseksi
maka absorbsi garam empedu akan terganggu. 3

1.2.6 Bilirubin
Hemoglobin yang terlepas dari eritrosit akan pecah menjadi heme dan
globin. Heme bersatu membentuk rantai dengan empat inti pyrole menjadi
biliverdin yang segera berubah menjadi bilirubin bebas. Zat ini di dalam
plasma terikat erat oleh albumin. Sebagian bilirubin bebas diikat oleh zat
lain (konjugasi) yaitu 80 % oleh glukuronide. Bila terjadi pemecahan sel
darah merah berlebihan misalnya pada malaria maka bilirubin yang
terbentuk sangat banyak. 3

1.3 Kolelithiasis
1.3.1 Definisi
Kolelithiasis adalah istilah medis yang digunakan pada penyakit batu
empedu. Batu empedu (gallstones) adalah massa padat yang terbentuk dari
endapan mineral pada saluran empedu. 6
Batu empedu terbentuk secara perlahan dan terkadang asimtomatik
selama beberapa dekade. Migrasi batu empedu ke ductus cysticus dapat
menghalangi aliran pada kandung empedu selama terjadinya kontraksi pada
proses sekresi. Akibat dari peningkatan tegangan dinding kandung empedu
memberi sensasi nyeri (kolik bilier). Tersumbatnya ductus cysticus dalam

8
jangka waktu lebih dari beberapa jam, dapat menyebabkan peradangan
kandung empedu akut (kolesistitis akut). 6
Batu empedu di saluran empedu dapat mempengaruhi bagian distal
pada ampula Vater, titik di mana saluran empedu dan saluran pankreas
bergabung sebelum keluar ke duodenum. Obstruksi aliran empedu oleh batu
di titik ini dapat menyebabkan sakit perut dan sakit kuning. Cairan empedu
akan stagnan di atas sebuah batu yang mengahalangi saluran empedu akan
sering mengalami infeksi, dan bakteri dapat menyebar dengan cepat ke hati
melalui saluran empedu yang dapat mengancam jiwa, disebut ascending
cholangitis. Obstruksi saluran pankreas dapat memicu aktivasi enzim
pencernaan pankreas itu sendiri, mengarah ke pankreatitis akut. 6
Dalam waktu yang lama, batu empedu di kandung empedu dapat
menyebabkan fibrosis progresif dan hilangnya fungsi kandung empedu,
suatu kondisi yang dikenal sebagai kolesistitis kronis. Kolesistitis kronis
predisposisi kanker kandung empedu. 3,6
Ultrasonografi merupakan prosedur diagnostik pilihan pertama pada
kebanyakan kasus dengan dugaan adanya gangguan pada saluran empedu. 3
Pengobatan batu empedu bergantung pada tahapan penyakit. Batu
empedu asimtomatik dapat diobati lebih awal. Setelah batu empedu
menunjukkan gejala, intervensi bedah definitif dengan eksisi kandung
empedu (kolesistektomi). Kolesistektomi adalah salah satu prosedur bedah
abdomen yang paling sering dilakukan. Komplikasi penyakit batu empedu
mungkin memerlukan manajemen khusus untuk meringankan obstruksi dan
infeksi.3

1.3.2 Etiologi dan Patofisiologi


Pembentukan batu empedu terjadi akibat adanya zat tertentu dalam
empedu yang mengalami peningkatan konsentrasi hingga mendekati batas
kelarutannya. Ketika empedu terkonsentrasi di kandung empedu, kelarutan
empedu akan menjadi jenuh dengan zat ini, yang kemudian akan
mengendap menjadi larutan kristal mikroskopis. Kristal terjebak dalam
larutan kandung empedu, kandung empedu akan memproduksi lumpur.
Seiring waktu, kristal tumbuh dan membentuk agregasi dan akhirnya berupa

9
batu makroskopik. Oklusi saluran oleh lumpur dan / atau batu akan
menyebabkan komplikasi dari penyakit batu empedu.3
2 zat utama yang terlibat dalam pembentukan batu empedu adalah
kolesterol dan kalsium birubinate.6
a. Batu Empedu Kolesterol

Gambar 3. Skema menunjukkan patogenesis


pembentukan batu empedu.

Sel-sel hati mensekresi kolesterol ke dalam empedu bersama


dengan fosfolipid (lesitin) dalam bentuk gelembung membran kecil
bulat, disebut vesikel unilamellar. Sel-sel hati juga mengeluarkan garam
empedu, yang bersifat emulsi kuat yang nantinya diperlukan untuk
pencernaan dan penyerapan lemak makanan.
Garam empedu dalam empedu memisahkan vesikel unilamelar
untuk membentuk agregat larut disebut mixed micelles. Hal ini terjadi
terutama di kandung empedu, di mana empedu terkonsentrasi oleh
reasorpsi elektrolit dan air.

10
Dibandingkan dengan vesikel (yang dapat menimpan hingga 1
molekul kolesterol untuk setiap molekul lesitin), mixed micelles
memiliki daya dukung rendah kolesterol (sekitar 1 molekul kolesterol
untuk setiap 3 molekul lesitin). Jika cairan empedu mengandung
proporsi yang relatif tinggi kolesterol, akan membentuk empedu
terkonsentrasi, pemisahan vesikel secara progresif dapat menyebabkan
keadaan di mana vesikel residual terlampaui. Pada tahap ini, empedu
jenuh dengan kolesterol, dan akan terbentuknya kristal kolesterol
monohidrat.
Dengan demikian, faktor utama yang menentukan apakah batu
empedu kolesterol akan membentuk adalah (1) jumlah kolesterol yang
disekresikan oleh sel-sel hati, relatif terhadap lecithin dan garam
empedu, dan (2) tingkat konsentrasi dan tingkat stasis empedu di
kandung empedu.
b. Kalsium, bilirubin, dan pigmen batu empedu
Bilirubin, pigmen kuning yang berasal dari pemecahan heme,
secara aktif disekresi ke empedu oleh sel-sel hati. Sebagian besar
bilirubin dalam empedu berupa konjugat glukuronida, yang cukup larut
air dan stabil, tetapi sebagian kecil terdiri dari bilirubin tak
terkonjugasi. Bilirubin tak terkonjugasi, seperti asam lemak, fosfat,
karbonat, dan anion lainnya, cenderung membentuk endapan tidak larut
dengan kalsium. Kalsium akan memasuki empedu secara pasif bersama
dengan elektrolit lain. 3,6
Dalam situasi tinggi kadar heme, seperti hemolisis kronis atau
sirosis, bilirubin tak terkonjugasi dapat hadir dalam empedu dengan
konsentrasi lebih tinggi dari normalnya. Kalsium bilirubinate kemudian
dapat membentuk kristal dari larutan dan akhirnya akan menjadi batu.
Seiring waktu, berbagai oksidasi menyebabkan bilirubin akan
membentuk pigmen berwarna hitam pekat, disebut dengan batu empedu
pigmen hitam. 3
1.3.3 Tanda dan Gejala
Penyakit batu empedu dapat diketahui melalui 4 tahap:

11
a. Keadaan litogenik, di mana kondisi yang memungkinkan untuk
terjadinya pembentukan batu empedu.
b. Batu empedu asimtomatik (silent stones).
c. Batu empedu simtomatik, dengan karakteristik adanya kolik bilier
episodik.
d. Komplikasi kolelitiasis.
Tanda dan gejala dari komplikasi batu empedu akibat dari efek yang
terjadi di dalam kandung empedu atau dari batu yang keluar dari kandung
empedu.
Batu Empedu Asimtomatik
Batu empedu mungkin dapat ditemukan didalam kantung empedu
selama beberapa dekade tanpa disertai tanda dan gejala dari komplikasinya
sendiri. Pada kebanyakan kasus, batu empedu asimtomatik tidak
membutuhkan terapi. 6
Dispepsia yang terjadi ketika megkonsumsi makanan berlemak sering
disalah artikan dengan batu empedu, ketika iritasi lambung atau
gastroesophageal reflux merupakan tanda dan gejala utama. 6
Colic Bilier
Nyeri yang disebut kolik bilier terjadi bila batu empedu atau lumpur
berada di duktus sistikus selama kontraksi kandung empedu, meningkatkan
ketegangan dinding kandung empedu. Dalam kebanyakan kasus, nyeri
berlangsung selama 30 sampai 90 menit akibat dari relaksasi. 6
Kolik bilier episodik, pasien akan melokalisir nyeri pada epigastrium
atau kuadran kanan atas dan mungkin menjalar hingga ke ujung skapula
kanan. Rasa sakit mulai postprandially (biasanya dalam waktu satu jam
setelah mengkonsumsi makanan berlemak), biasnaya berlangsung selama 1-
5 jam. Rasa sakit yang dialami konstan dan tidak berkurang dengan
pemberian terapi emesis, antasid, buang air besar, kentut, ataupun perubahan
posisi. Biasanya disertai dengan diaforesis, mual, dan muntah.6
1.3.4 Pemeriksaan Penunjang

12
Pasien dengan kolelitiasis tanpa komplikasi atau kolik bilier sederhana
biasanya memiliki hasil uji laboratorium normal. Pengujian laboratorium
umumnya tidak dilakukan kecuali kolesistitis menjadi acuan. 6
Batu empedu asimtomatik sering ditemukan secara kebetulan melalui
foto polos, sonogram abdomen, atau CT-Scan untuk pemeriksaan dari proses
lainnya. Foto polos ambdomen memiliki sedikit peran dalam mendiagnosis
batu empedu. Kolesterol dan pigmen batu yang radiopak akan terlihat pada
radiografi hanya 10 – 30 % dari kasus, tergantung sejauh mana proses
kalsifikasinya. 6
Pemeriksaan Darah
Pada pasien suspek batu empedu komplikasi, darah rutin dapat
dilakukan untuk menentukan diagnosis banding, fungsi hati, amilase, dan
lipase. Pada kasus koledokolitiasis obstruksi bisanya menghasilkan
peningkatan SGOT dan SGPT, diikuti dengan peningkatan serum bilirubin
setiap jamnya. Beningkatan bilirubin mengindikasikan adanya obstruksi.
Hal ini di dapatkan pada 60% pasien dengan peningkatan serum bilirubin >
3 mg/dL. Bila obstruksi menetap akan mengalami penurunan vitamin K
akibat dari absorbsi empedu. Obstruksi pada ampula Vater akan memberikan
hasil peningkatan serum lipase dan amilase.6
Ultrasonography (USG)
USG merupakan pemeriksaan utama pada kasus batu empedu;
snsitivitas, spesifisitas, noninvasif, dan murah dapat mendeteksi adanya batu
empedu. USG sangat berguna untuk mendiagnosis kolesistitis akut tanpa
komplikasi. Fitus sonografi kolesistitis akut termasuk penebalan kandung
empedu (> 5 mm), cairan pericholecystic, kandung empedu distensi (> 5
cm), dan Murphy sign sonografi. Batu empedu dapat dilihat dengan tampak
masa echogenic. Dapat bergerak bebas dengan perubahan posisi dan
membentuk bayangan akustik.6

13
Gambar 4 Garis hyperechoic merupakan tepi batu empedu berkumpul. Acoustic Shadow
yang mudah terlihat. Saluran empedu dapat dilihat di atas vena porta

1.3.5 Penatalaksanaan
Non Medikamentosa
Pada pasien dengan batu empedu simtomaik, dapat dilakukan dengan
terapi intervensi bedah dan non-bedah.
Penanganan operasi pada batu empedu asimptomatik tanpa komplikasi
tidak dianjurkan. Indikasi kolesistektomi pada batu empedu asimptomatik
ialah:6
- Pasien dengan batu empedu > 2cm
- Pasien dengan kandung empedu yang kalsifikasi yang resikko tinggi
keganasan
- Pasien dengan cedera medula spinalis yang berefek ke perut.
Cholecystectomy
Pengangkatan kandung empedu (kolesistektomi) umumnya
diindikasikan pada pasien yang mengalami gejala atau komplikasi batu
empedu, kecuali usia pasien dan mahalnya biaya operasi. Pada beberapa
kasus ahli bedah dapat membuat fistula antara saluran empedu distal dan
duodenum sehingga berdekatan (choledochoduodenostomy), sehingga
memungkinkan batu empedu dengan mudah keluar ke dalam usus. 6
Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)
Litotripsi gelombang elektrosyok meskipun sangat populer beberapa
tahun yang lalu, analisis biaya-manfaat pada saat ini hanya terbatas untuk

14
pasien yang benar-benar telah dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini.
Efektifitas ESWL memerlukan terapi adjuvant asam ursodeoksilat.6
Diet
Prinsip perawatan dietetik pada penderita batu kandung empedu adalah
memberi istirahat pada kandung empedu dan mengurangi rasa sakit, juga
untuk memperkecil kemungkinan batu memasuki duktus sistikus. Di
samping itu untuk memberi makanan secukupnya untuk memelihara berat
badan dan keseimbangan cairan tubuh.6
Pembatasan kalori juga perlu dilakukan karena pada umumnya batu
kandung empedu tergolong juga ke dalam penderita obesitas. Bahan
makanan yang dapat menyebabkan gangguan pencernaan makanan juga
harus dihindarkan.6
Medikamentosa
Obat disolusi batu empedu dapat dicoba dengan pemberia ursodiol.
Agen ini menekan sekresi kolesterol pada hati dan menghambat penyerapan
kolesterol pada usus. Ursodiol adalah obat yang paling umum digunakan.
Kolesterol ini dilarutkan dalam michel dan bertindak mendispersikan
kolesterol ke dalam media air.

1.3.6 Prognosis
Sekita 10 – 15 % pasien mengalami choledocholithiasis. Prognosis
bergantung pada kehadiran dan tingkat keparahan komplikasi. Namun,
adanya infeksi dan halangan disebabkan oleh batu yang berada di dalam
saluran biliaris sehingga dapat mengancam jiwa. Walaupun demikian,
dengan diagnosis dan pengobatan yang cepat serta tepat, hasil yang
didapatkan biasanya baik. 6

2. ANASTESI UMUM

2.1 Definisi1,2
Anestesi berarti suatu keadaan dengan tidak ada rasa nyeri. Anestesi
umum ialah suatu keadaan yang ditandai dengan hilangnya persepsi
terhadap semua sensasi akibat induksi obat. Dalam hal ini, selain hilangnya
rasa nyeri, kesadaran juga hilang. Obat anestesi umum terdiri atas golongan

15
senyawa kimia yang heterogen, yang mendepresi SSP secara reversibel
dengan spektrum yang hampir sama dan dapat dikontrol. Obat anastesi
umum dapat diberikan secara inhalasi dan secara intravena. Obat anastesi
umum yang diberikan secara inhalasi (gas dan cairan yang mudah menguap)
yang terpenting di antaranya adalah N2O, halotan, enfluran, metoksifluran,
dan isofluran. Obat anastesi umum yang digunakan secara intravena, yaitu
tiobarbiturat, narkotik-analgesik, senyawa alkaloid lain dan molekul sejenis,
dan beberapa obat khusus seperti ketamin.1
Untuk menentukan prognosis ASA (American Society of
Anesthesiologists) membuat klasifikasi berdasarkan status fisik pasien pra
anestesi yang membagi pasien kedalam 5 kelompok atau kategori sebagai
berikut: ASA 1, yaitu pasien dalam keadaan sehat yang memerlukan
operasi.1
ASA 2, yaitu pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang
baik karena penyakit bedah maupun penyakit lainnya. Contohnya pasien
batu ureter dengan hipertensi sedang terkontrol, atau pasien apendisitis akut
dengan lekositosis dan febris.
ASA 3, yaitu pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat
yang diaktibatkan karena berbagai penyebab. Contohnya pasien apendisitis
perforasi dengan septi semia, atau pasien ileus obstruksi dengan iskemia
miokardium.
ASA 4, yaitu pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara
langsung mengancam kehiduannya. ASA 5, yaitu pasien tidak diharapkan
hidup setelah 24 jam walaupun dioperasi atau tidak. Contohnya pasien tua
dengan perdarahan basis krani dan syok hemoragik karena ruptura hepatik.
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan
mencantumkan tanda darurat (E = emergency), misalnya ASA 1 E atau III
E.1
Anastesi seimbang, suatu kombinasi obat-obatan, sering dipakai
dalam anastesi umum. Anestesi seimbang terdiri dari:1
1. Hipnotik diberikan semalam sebelumnya

16
2. Premedikasi, seperti analgesik narkotik atau benzodiazepin (misalnya,
midazolam dan antikolinergik (contoh, atropin) untuk mengurangi
sekresi diberikan kira-kira 1 jam sebelum pembedahan
3. Barbiturat dengan masa kerja singkat, seperti natrium tiopental
(Pentothal)
4. Gas inhalan, seperti nitrous oksida dan oksigen
5. Pelemas otot jika diperlukan.

2.2 Tahap-tahap Anestesi 1,2


Stadium anestesi dibagi dalam 4 yaitu; Stadium I (stadium induksi
atau eksitasi volunter), dimulai dari pemberian agen anestesi sampai
menimbulkan hilangnya kesadaran. Rasa takut dapat meningkatkan frekuensi
nafas dan pulsus, dilatasi pupil, dapat terjadi urinasi dan defekasi.
Stadium II (stadium eksitasi involunter), dimulai dari hilangnya
kesadaran sampai permulaan stadium pembedahan. Pada stadium II terjadi
eksitasi dan gerakan yang tidak menurut kehendak, pernafasan tidak teratur,
inkontinensia urin, muntah, midriasis, hipertensi, dan takikardia.
Stadium III (pembedahan/operasi), terbagi dalam 3 bagian yaitu;
Plane I yang ditandai dengan pernafasan yang teratur dan terhentinya anggota
gerak. Tipe pernafasan thoraco-abdominal, refleks pedal masih ada, bola mata
bergerak-gerak, palpebra, konjuctiva dan kornea terdepresi. Plane II, ditandai
dengan respirasi thoraco-abdominal dan bola mata ventro medial semua otot
mengalami relaksasi kecuali otot perut. Plane III, ditandai dengan respirasi
regular, abdominal, bola mata kembali ke tengah dan otot perut relaksasi.
Stadium III dibagi dalam 4 plana:
Plana 1: Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut seimbang, terjadi
gerakan bola mata yang tidak menurut kehendak pupil miosis, refleks cahaya
ada, lakrimasi meningkat, refleks faring dan muntah tidak ada dan belum
tercapai relaksasi otot lurik yang sempurna (tonus otot mulai menurun).
Plana 2: Pernapasan teratur, spontan, perut-dada, volume tidak menurun,
frekuensi meningkat, bola mata tidak bergerak, terfiksasi di tengah, pupil

17
midriasis, refleks cahaya mulai menurun, relaksasi otot sedang, dan refleks
laring hilang sehingga dapat dikerjakan intubasi.
Plana 3: Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal mulai paralisis,
lakrimasi tidak ada, pupil midriasis dan sentral, refleks laring dan peritoneum
tidak ada, relaksasi otot lurik hampir sempurna (tonus otot semakin
menurun).
Plana 4: Pernapasan tidat teratur oleh perut karena otot interkostal paralisis
total, pupil sangat midriasis; refleks cahaya hilang, refleks sfingter ani dan
kelenjar air mata tidak ada, relaksasi otot lurik sempurna (tonus otot sangat
menurun).
Stadium IV (paralisis medulla oblongata atau overdosis),ditandai dengan
paralisis otot dada, pulsus cepat dan pupil dilatasi. Bola mata menunjukkan
gambaran seperti mata ikan karena terhentinya sekresi lakrima
Tabel 3. Tahap Anestesi
Tahap Nama Keterangan
1 Analgesia Dimulai dengan keadaan
sadar dan diakhiri dengan
hilangnya kesadaran. Sulit
untuk bicara; indra
penciuman dan rasa nyeri
hilang. Mimpi serta
halusinasi pendengaran dan
penglihatan mungkin
terjadi. Tahap ini dikenal
juga sebagai tahap induksi
2 Eksitasi atau delirium Terjadi kehilangan
kesadaran akibat
penekananan korteks
serebri. Kekacauan mental,
eksitasi, atau delirium dapat
terjadi. Waktu induksi
singkat.
3 Surgical Prosedur pembedahan

18
biasanya dilakukan pada
tahap ini
4 Paralisis medular Tahap toksik dari anestesi.
Pernapasan hilang dan
terjadi kolaps sirkular. Perlu
diberikan bantuan ventilasi

2.3. Sifat-Sifat Anestesi Umum yang Ideal 1,2


Sifat anestesi umum yang ideal adalah: (1) bekerja cepat, induksi dan
pemilihan baik, (2) cepat mencapai anestesi yang dalam, (3) batas keamanan
lebar; (4) tidak bersifat toksis. Untuk anestesi yang dalam diperlukan obat
yang secara langsung mencapai kadar yang tinggi di SSP (obat intravena)
atau tekanan parsial yang tinggi di SSP (obat ihalasi). Kecepatan induksi dan
pemulihan bergantung pada kadar dan cepatnya perubahan kadar obat
anastesi dalam SSP.1

2.4 Obat-obat Anestesi Umum1,2


Tahapan Tindakan Anestesi Umum7
1. Penilaian dan persiapan pra-anestesi
Persiapan pra-bedah yang kurang memadai merupakan faktor
terjadinya kecelakaan dalam anestesi. Sebelum pasien dibedah sebaiknya
dilakukan kunjungan pasien terlebih dahulu sehingga pada waktu pasien
dibedah pasien dalam keadaan bugar. Tujuan dari kunjungan tersebut
adalah untuk mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi biaya
operasi, dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.
a) Penilaian pra-bedah
1) Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesi
sebelumnya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal
yang perlu mendapat perhatian khusus misalnya alergi, mual-
muntah, nyeri otot, gatal-gatal, atau sesak napas pasca bedah
sehingga dapat dirancang anestesi berikutnya dengan baik. Beberapa
peneliti menganjurkan obat yang dapat menimbulkan masalah di
masa lalu sebaiknya jangan digunakan ulang misalnya halotan

19
jangan digunakan ulang dalam waktu 3 bulan atau suksinilkolin yang
menimbulkan apnea berkepanjangan juga jangan diulang. Kebiasaan
merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya.

2) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, atau lidah relatif
besar sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan
tindakan laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan
menyulitkan laringoskopi intubasi. Pemeriksaan rutin secara sistemik
tentang keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi,
palpasi, perkusi, dan auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.
3) Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium dilakukan atas indikasi yang tepat sesuai
dengan dugaan penyakit. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi
pemeriksaan darah (Hb, leukosit, masa perdarahan, dan masa
pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien di atas 50 tahun ada
anjuran pemeriksaan EKG dan foto thoraks.
4) Kebugaran untuk anestesi
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk
menyiapkan agar pasien dalam keadaan bugar. Sebaliknya pada
operasi sito, penundaan yang tidak perlu harus dihindari. Klasifikasi
yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang
adalah yang berasal dari The American Society of Anesthesiologists
(ASA). Klasifikasi fisik ini bukan alat perkiraan risiko anestesi
karena efek samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek
samping pembedahan.
 Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
 Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
 Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat sehingga aktivitas
rutin terbatas.

20
 Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tidak dapat
melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman
kehidupannya setiap saat.
 Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa
pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
 Pada bedah cito atau emergency biasanya dicantumkan huruf E.
5) Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesi.
Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas
merupakan risiko utama pada pasien yang menjalani anestesi. Untuk
meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk
operasi elektif dengan anestesi harus dipantangkan dari masukan oral
(puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesi. Pada
pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam, dan
pada bayi 3-4 jam. Makanan tidak berlemak diperbolehkan 5 jam
sebelum induksi anestesi. Minuman air putih, teh manis sampai 3
jam, dan untuk keperluan minum obat air putih dalam jumlah
terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anestesi.
b) Premedikasi
Sebelum pasien diberi obat anestesi, langkah selanjutnya
adalah dilakukan premedikasi yaitu pemberian obat sebelum induksi
anestesi diberi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan,
dan bangun dari anestesi di antaranya:
1) Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien
a) Menghilangkan rasa khawatir melalui:
a. Kunjungan pre-anestesi.
b. Pengertian masalah yang dihadapi.
c. Keyakinan akan keberhasilan operasi.
b) Memberikan ketenangan (sedatif).
c) Membuat amnesia.
d) Mengurangi rasa sakit (analgesik non-narkotik atau
narkotik).

21
e) Mencegah mual dan muntah.
2) Memudahkan atau memperlancar induksi
Pemberian hipnotik sedatif atau narkotik.
3) Mengurangi jumlah obat-obat anestesi
Pemberian hipnotik sedatif atau narkotik.
4) Menekan refleks-refleks yang tidak diinginkan (muntah atau
liur)
5) Mengurangi sekresi kelenjar saliva dan lambung
Pemberian antikolinergik atropin, primperan, rantin, atau H2
antagonis.
Pemberian obat secara subkutan tidak akan efektif dalam 1
jam, secara intramuskuler minimum harus ditunggu 40 menit.
Pada kasus yang sangat darurat dengan waktu tindakan
pembedahan yang tidak pasti obat-obat dapat diberikan secara
intravena. Obat akan sangat efektif sebelum induksi. Jika
pembedahan belum dimulai dalam waktu 1 jam dianjurkan
pemberian premedikasi intramuskuler, subkutan tidak
dianjurkan. Semua obat premedikasi jika diberikan secara
intravena dapat menyebabkan sedikit hipotensi kecuali atropin
dan hiosin. Hal ini dapat dikurangi dengan pemberian secara
perlahan-lahan dan diencerkan.
Obat-obat yang sering digunakan:
1) Analgesik narkotik
a) Petidin (amp 2cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
b) Morfin (amp 2cc = 10 mg), dosis 0,1 mg/kgBB
c) Fentanyl (fl 10cc = 500 mg), dosis 1-3μgr/kgBB
2) Hipnotik
a) Ketamin (fl 10cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
b) Pentotal (amp 1cc = 1000 mg), dosis 4-6 mg/kgBB
3) Sedatif
a) Diazepam/valium/stesolid (amp 2cc = 10mg), dosis 0,1
mg/kgBB

22
b) Midazolam/dormicum (amp 5cc/3cc = 15 mg), dosis
0,1mg/kgBB
c) Propofol/recofol/diprivan (amp 20cc = 200 mg), dosis 2,5
mg/kgBB
d) Dehydrobenzperidon/DBP (amp 2cc = 5 mg), dosis 0,1
mg/kgBB

4) Antikolinergik
a) Sulfas atropin (antikolinergik) (amp 1cc = 0,25 mg), dosis
0,001 mg/kgBB
5) Neuroleptik
a) Droperidol, dosis 0,1 mg/kgBB

a. Induksi anestesi1,2,7
Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar
menjadi tidak sadar sehingga memungkinkan dimulainya anestesi
dan pembedahan. Induksi dapat dikerjakan secara intravena,
inhalasi, intramuskuler, atau rektal. Setelah pasien tidur akibat
induksi anestesi langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesi
sampai tindakan pembedahan selesai.
Untuk persiapan induksi anestesi diperlukan ‘STATICS’:
S: Scope - Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
Laringoskop pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia
pasien. Lampu harus cukup terang.
T: Tube - Pipa trakea pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon
(cuffed) dan > 5 tahun dengan balon (cuffed).
A: Airway - Pipa mulut faring (guedel, oro-tracheal airway) atau pipa
hidung-faring (naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan
lidah saat pasien tidak sadar untuk menjaga supaya lidah tidak
menyumbat jalan napas.
T: Tape - Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau
tercabut.

23
I: Introducer - Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastik
(kabel)yang mudah dibengkokan untuk pemandu supaya pipa
trakea mudah dimasukkan.
C : Connector - Penyambung antara pipa dan peralatan anestesi.
S : Suction - penyedot lendir, ludah, dan lain-lainnya.

Macam-macam induksi pada anestesi umum yaitu:


a. Induksi intravena
 Paling banyak dikerjakan. Indikasi intravena dikerjakan
dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut, dan terkendali. Obat
induksi bolus disuntikan dalam kecepatan antara 30-60 detik.
Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi, dan tekanan
darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Dikerjakan
pada pasien yang kooperatif.
 Obat-obat induksi intravena :
 Tiophental (pentothal, tiophenton)
Sediaan ampul 500 mg atau 1000 mg. Sebelum digunakan
dilarutkan dalam akuades steril sampai kepekatan 2,5% (1
ml = 25 mg). Hanya digunakan untuk intravena dengan
dosis 3-7 mg/kg disuntikan perlahan-lahan dihabiskan
dalam 30-60 detik. Bergantung dosis dan kecepatan
suntikan tiophental akan menyebabkan pasien berada
dalam keadaan sedasi, hipnosis, anestesi, atau depresi
napas. Tiophental menurunkan aliran darah otak, tekanan
likuor, tekanan intrakranial, dan diduga dapat melindungi
otak akibat kekurangan O2. Dosis rendah bersifat anti-
analgesik.
Kontra Indikasi:
1) Anak-anak di bawah 4 tahun
2) Shock , anemia, uremia dan penderita-penderita yang
lemah

24
3) Gangguan pernafasan: asthma, sesak nafas, infeksi
mulut dan saluran nafas
4) Penyakit jantung
5) Penyakit hati
6) Penderita yang terlalu gemuk sehingga sukar untuk
menemukan vena yang baik.

 Propofol (diprivan, recofol)


Propofol ( 2,6 – diisopropylphenol ) merupakan derivat
fenol yang banyak digunakan sebagai anastesia intravena.
Dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu
bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1 ml = 10 mg).
Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri sehingga
beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2
mg/kg intravena. Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg,
dosis rumatan untuk anestesi intravena total 4-12
mg/kg/jam, dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0.2
mg/kg. Pengenceran hanya boleh dengan dekstrosa 5%.
Tidak dianjurkan untuk anak < 3 tahun dan pada wanita
hamil. Mekanisme kerjanya sampai saat ini masih kurang
diketahui, tapi diperkirakan efek primernya berlangsung di
reseptor GABA – A (Gamma Amino Butired Acid).
 Ketamin (ketalar)
Ketamin hidroklorida adalah golongan fenil
sikloheksilamin, merupakan “rapid acting non barbiturate
general anesthesia”. Kurang digemari karena sering
menimbulkan takikardi, hipertensi, hipersalivasi, nyeri
kepala, serta pasca anestesi dapat timbul mual-muntah,
pandangan kabur, dan mimpi buruk. Sebelum pemberian
sebaiknya diberikan sedasi midazolam (dormikum) atau
diazepam (valium) dengan dosis 0,1 mg/kg intravena dan

25
untuk mengurangi salivasi diberikan sulfas atropin 0,01
mg/kg. Dosis bolus 1-2 mg/kg dan untuk intramuskuler 3-
10 mg. Ketamin dikemas dalam cairan bening kepekatan
1% (1 ml = 10 mg), 5% (1 ml = 50 mg), 10% (1 ml = 100
mg)
 Opioid (morfin, petidin, fentanyl, sufentanyl)
Diberikan dosis tinggi. Tidak menggaggu
kardiovaskuler sehingga banyak digunakan untuk induksi
pasien dengan kelainan jantung. Untuk anestesi opioid
digunakan fentanyl dosis 20-50 mg/kg dilanjutkan dosis
rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.
b. Induksi intramuskuler
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat
diberikan secara intramuskuler dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan
setelah 3-5 menit pasien tidur.
c. Induksi inhalasi
 N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen
monoksida)
Berbentuk gas, tidak berwarna, bau manis, tidak iritasi,
tidak terbakar, dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian
harus disertai O2 minimal 25%. Bersifat anastetik lemah dan
analgesi kuat sehingga sering digunakan untuk mengurangi
nyeri menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi jarang
digunakan tunggal, sering dikombinasi dengan salah satu
cairan anastetik lain seperti halotan.
 Halotan (fluotan)
Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan
anestesinya cukup dalam, stabil, dan sebelum tindakan
diberikan analgesik semprot lidokain 4% atau 10% sekitar
faring-laring. Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2
atau campuran N2O dan O2. Induksi dimulai dengan aliran O2
> 4 ltr/mnt atau campuran N2O:O2 = 3:1. Aliran > 4 ltr/mnt.

26
Kalau pasien batuk konsentrasi halotan diturunkan, untuk
kemudian kalau sudah tenang dinaikan lagi sampai konsentrasi
yang diperlukan. Kelebihan dosis dapat menyebabkan depresi
napas, menurunnya tonus simpatis, terjadi hipotensi,
bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi
miokard, dan inhibisi refleks baroreseptor. Merupakan
analgesik lemah tetapi anestesi kuat. Halotan menghambat
pelepasan insulin sehingga mininggikan kadar gula darah.
 Enfluran
Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan
enfluran lebih iritatif disbanding halotan. Depresi sirkulasi
lebih kuat dibanding halotan tetapi lebih jarang menimbulkan
aritmia. Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih baik dibanding
halotan.
 Isofluran (foran, aeran)
Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intrakranial.
Peninggian aliran darah otak dan tekanan intrakranial dapat
dikurangi dengan teknik anestesi hiperventilasi sehingga
isofluran banyak digunakan untuk bedah otak. Efek terhadap
depresi jantung dan curah jantung minimal sehingga digemari
untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak digunakan pada
pasien dengan gangguan koroner.
 Desfluran (suprane)
Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%)
bersifat simpatomimetik menyebabkan takikardi dan
hipertensi. Efek depresi napas seperti isofluran dan etran.
Merangsang jalan napas atas sehingga tidak digunakan untuk
induksi anestesi.
 Sevofluran (ultane)
Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien
jarang batuk walaupun langsung diberikan dengan konsentrasi
tinggi sampai 8 vol %. Induksi dan pulih dari anestesi lebih

27
cepat dibandingkan isofluran. Baunya tidak menyengat dan
tidak merangsang jalan napas sehingga digemari untuk induksi
anestesi inhalasi di samping halotan.
d. Induksi per rektal
Obat anestesi diserap lewat mukosa rectum kedalam darah
dan selanjutnya sampai ke otak. Dipergunakan untuk tindakan
diagnostic (katerisasi jantung, roentgen foto, pemeriksaan mata,
telinga, oesophagoscopi, penyinaran dsb) terutama pada bayi-bayi
dan anak kecil. Juga dipakai sebagai induksi narkose dengan
inhalasi pada bayi dan anak-anak.
Syaratnya adalah:
1.Rectum betul-betul kosong
2.Tak ada infeksi di dalam rectum. Lama narkose 20-30 menit.
Obat-obat yang digunakan:
- Pentothal 10% dosis 40 mg/kgBB
- Tribromentothal (avertin) 80 mg/kgBB

2.5 Komplikasi Anestesi dan Bahaya Anestesi2


Komplikasi yang terjadi pada periode perioperatif dapat
dicetuskan oleh tindakan anestesi sendiri dan atau kondisi pasien.
Komplikasi segera dapat timbul pada waktu pembedahan atau
kemudian segera ataupun belakangan setelah pembedahan.
Komplikasi anestesi dapat berakhir dengan kematian atau tidak diduga
walaupun tindakan anestesi sudah dilaksanakan dengan baik. Secara
umum komplikasi anestesi yang sering dijumpai antara lain:
1. Kerusakan Fisik
Kerusakan fisik yang dapat terjadi sebagai komplikasi anestesi
antara lain: pembuluh darah, intubasi, dan saraf superfisialis.2

a. Pembuluh Darah
Kesalahan teknik dalam venapunksi dapat menyebabkan
memar, eksavasasi obat yang dapat menyebabkan ulserasi kulit
di atasnya, infeksi lokal, tromboflebitis serta kerusakan struktur

28
berdekatan, terutama arteri dan saraf. Beberapa obat yang
mencakup Benzodiazepin dan Propanidid menyebabkan
tromboflebitis. Kanulasi vena yang lama lebih mungkin
menyebabkan tromboflebitis dan infeksi.2
b. Intubasi
Kerusakan sering terjadi pada bibir dan gusi akibat
intubasi trachea oleh orang yang tidak berpengalaman.
Kerusakan gigi geligi akan terjadi lebih serius jika disertai
kemungkinan inhalasi fragmen yang diikuti oleh abses paru. Jika
dibiarkan tidak terdeteksi, intubasi nasotrachea dapat
menyebabkan epistaksis yang tak menyenangkan dan kadang–
kadang sonde dapat membentuk saluran di bawah mukosa
hidung, intubasi hidung sering memfraktura concha. Kerusakan
pada struktur tonsila dan larynx (terutama pita suara) untungnya
sering terjadi, tetapi penanganan mulut posterior struktur yang
kasar menyokong sakit tenggorokan pasca bedah.
c. Saraf Superfisialis
Tekanan langsung terus menerus akan merusak saraf,
seperti poplitea lateralis sewaktu mengelilingi caput fibulae,
yang menyebabkan “foot drop”, fasialis sewaktu ia menyilang
mandibula, yang menyebabkan paralisis otot wajah, ulnaris
sewaktu ia menyilang epicondylus medialis, yang menyebabkan
paralisis dan kehilangan sensasi dalam tangan serta nervus
radialis sewaktu ia mengelilingi humerus di posterior, yang
menyebabkan “wrist drop”. Pleksus brachialis dapat dirusak
dengan meregangnya di atas caput humeri, jika lengan diabduksi
atau rotasi eksternal terlalu jauh.2

2. Pernapasan
Komplikasi pernapasan yang mungkin timbul termasuk
hipoksemia yang tidak terdeteksi, atelektasis, bronkhitis,
bronkhopneumonia, pneumonia lobaris, kongesti pulmonal
hipostatik, plurisi, dan superinfeksi. 2

29
Yang paling ditakuti oleh para pekerja anestesi adalah
obstruksi saluran pernapasan akut selama atau segera setelah
induksi anestesi. Spasme Larynx dan penahanan napas dapat
sulit dibedakan serta dapat timbul sebagai respon terhadap
anestesi yang ringan, terutama jika saluran pernapasan
dirangsang oleh uap anestesi iritan atau materi asing yang
mencakup sekresi dan kandungan asam lambung. Intubasi yang
gagal dapat menjadi mimpi buruk, bila mungkin terjadi aspirasi
lambung, seperti pasien obstetri dan kedaruratan yang tak
dipersiapkan.2
Gagal pernapasan terutama merupakan fenomena pasca
bedah, biasanya karena kombinasi kejadian. Kelamahan otot
setelah pemulihan dari relaksan yang tidak adekuat, depresi
sentral dengan opioid dan zat anestesi, hambatan batuk dan
ventilasi alveolus yang tak adekuat sekunder terhadap nyeri luka
bergabung untuk menimbulkan gagal pernapasan restriktif
dengan retensi CO2 serta kemudian narcosis CO2, terutama jika
PO2 dipertahankan dengan pemberian oksigen.2

3. Kardiovaskuler
Komplikasi kardiovaskuler yang dapat terjadi antara lain
hipotensi, hipertensi, aritmia jantung, dan payah jantung.
Hipotensi didefinisikan sebagai tekanan darah systole kurang
dari 70 mmHg atau turun lebih dari 25% dari nilai sebelumnya.
Hipotensi dapat disebabkan oleh hipovolemia yang diakibatkan
oleh perdarahan, overdosis obat anestetika, penyakit
kardiovaskuler seperti infark miokard, aritmia, hipertensi, dan
reaksihipersensivitas obat induksi, obat pelumpuh otot, dan
reaksi transfusi.2
Hipertensi dapat meningkat pada periode induksi dan
pemulihan anestesi. Komplikasi hipertensi disebabkan oleh
analgesa dan hipnosis yang tidak adekuat, batuk, penyakit

30
hipertensi yang tidak diterapi, dan ventilasi yang tidak adekuat.
Sementara faktor-faktor yang mencetuskan aritmia adalah
hipoksia, hiperkapnia, tindakan intubasi, gangguan elektrolit,
dan pengaruh beberapa obat tertentu.2

4. Hepar
Penyebab hepatitis pasca bedah dapat disebabkan oleh
halotan. Insidens virus Hepatitis A aktif dalam populasi umum
mungkin jauh lebih lazim, yang diperkirakan sekitar 100–400
per sejuta pada suatu waktu. Mungkin bahwa zat anestesi
mengurangi kemanjuran susunan kekebalan dan membuat
pasien lebih cenderung ke infeksi yang mencakup hepatitis
virus. Anestesi Halotan berulang dalam interval 6 minggu
mungkin harus dihalangi. 2
5. Suhu tubuh
Akibat venodilatasi perifer yang tetap ditimbulkan
anestesi menyebabkan penurunan suhu inti tubuh. Selama
pembedahan yang lama, terutama dengan pemaparan vesera,
bisa timbul hipotermi yang parah, yang menyebabkan
pengembalian kesadaran tertunda, pernapasan dan perfusi
perifer tidak adekuat. Masalah pernapasan akan dirumitkan, jika
kebutuhan oksigen meningkat sebagai akibat menggigil selama
masa pasca bedah.2
2.6. Bahaya Anestesi
Bahaya utama anestesi dapat disebabkan banyak penyebab.
Sebagian penyebab pada mulanya tidak berarti, tetapi jika bahaya
tersebut tidak diperhatikan sama sekali, atau tidak diatasi dengan
baik, maka bencana dapat terjadi. Bahaya lain mungkin tidak
berbahaya tetapi merupakan sumber utama ketidaknyamanan,
nyeri, atau iritasi terhadap penderita. Bahaya anestesi yang
mungkin dapat terjadi antara lain:2
a. Bahaya anestesi yang dapat mematikan

31
Kematian akibat anestesi mungkin disebabkan oleh
hipoksia dan henti jantung yang saling terkait, pada kedua kasus
kematian dapat disebabkan oleh gangguan penyediaan oksigen otak
dan /atau jantung baik primer (yang disebabkan oleh hipoksia
respiratorik) maupun sekunder (sebagai akibat terhentinya sirkulasi
setelah henti jantung). Bahaya lain akibat anestesi yang dapat
mematikan karena anestesi adalah anafilaksis akut karena obat
yang digunakan pada anestesi, dan hipertermia yang ganas.2
b. Hipoksia atau anoksia respiratorik selama anestesi
Hipoksia atau anoksia terjadi selama anestesi akibat c.
Keadaan seperti ini dapat terjadi pada semua titik mulai dari
sumber penyediaan oksigen, mesin anestesi, saluran pernapasan
atas dan bawah, paru–paru, pembuluh darah utama sampai kapiler,
dan akhirnya sampai kepada pemindahan oksigen ke dan dalam sel.
Sebagian sel akan pulih dari hipoksia atau bahkan anoksia yang
berlangsung dalam beberapa menit, tetapi pada otak akan terjadi
kerusakan yang irreversibel setelah 4–6 menit kekurangan oksigen,
demikian juga yang terjadi jika jantung berhenti dengan efektif
(henti jantung).2

3. ANASTESI PADA GERIATRI


3.1. Definisi 5
Geriatri atau lanjut usia adalah ilmu yang mempelajari tentang aspek-
aspek klinis dan penyakit yang berakitan dengan orang tua. Dikatakan
pasien geriatri apabila : 5
- Keterbatasan fungsi tubuh yang berhubungan dengan makin
meningkatnya usia
- Adanya akumulasi dari penyakit-penyakit degeneratif
- Lanjut usia secara psikososial yang dinyatakan krisis bila : a)
Ketergantungan pada orang lain b) Mengisolasi diri atau menarik diri
dari kegiatan kemasyarakatan karena berbagai sebab
- Terdapat hal-hal yang dapat menimbulkan gangguan keseimbangan
(homeostasis) yang progresif.
Batasan lanjut usia menurut WHO adalah sebagai berikut : 5,8
- Middle age (45-59 th)
- Elderly (60-70 th)

32
- Old/lansia (75-90 th)
- Very Old/sangat tua (>90 th)
Seseorang dikatakan lanjut usia, jika telah mencapai usia diatas 60
tahun. Untuk menangani penyakit geriatri pada lansia dibutuhkan
pendekatan holistik yaitu, perhatian total terhadap pasien secara terpadu
dengan mempertimbangkan keadaan lingkungan, sosial ekonomi, gaya
hidup, diagnosis dan terapi penyakit dalam merawat penderita. 5,8
Sedangkan pasien geriatri adalah pasien berusia lanjut (untuk
Indonesia saat ini adalah mereka yang berusia 60 tahun ke atas) dengan
beberapa masalah kesehatan (multipatologi) akibat gangguan fungsi jasmani
dan rohani, dan atau kondisi social yang bermasalah. 5
Lansia banyak yang mengidap salah satu penyakit yang dapat
menyebabkan komplikasi, jika tidak ditangani dengan baik seperti fraktur
pada tulang yang dapat menyebabkan osteoporosis atau jika seseorang
memiliki angka kolesterol yang tinggi saat lanjut usia dapat menjadi
Penyakit Jantung Koroner (PJK), hipertensi, gagal jantung dan infark serta
gangguan ritme jantung, diabetes mellitus, gangguan fungsi ginjal dan
hati.2,5
Sifat penyakit pada lansia perlu untuk dikenali supaya tidak salah
ataupun lambat dalam menegakkan diagnosis, sehingga terapi dan tindakan
lain yang mengikutinya dengan segera dapat dilaksanakan. Hal ini akan
menyangkut beberapa aspek yaitu etiologi, diagnosis dan perjalanan
penyakit. 1,2,5
Secara etiologi, penyakit pada lansia lebih bersifat endogen daripada
eksogen. Hal ini disebabkan oleh menurunnya berbagai fungsi tubuh karena
proses menua, etiologi sering kali tersembunyi (occult), dan sebab penyakit
dapat bersifat ganda (multiple) dan kumulatif (penimbunan), terlepas satu
sama lain ataupun saling mempengaruhi. 5
Sedangkan secara diagnosis, penyakit pada lansia umumnya lebih sulit
dideteksi dari pada remaja atau dewasa, karena gejala dan keluhan sering
tidak jelas. Perjalanan penyakit pada umumnya adalah kronik (menahun)
diselingi dengan eksaserbasi akut, penyakit bersifat progresif (bertahap),
dan sering menyebabkan kecacatan (invalide). 5

33
3.2. Ciri-Ciri Geriatri 8,9
Dilihat dari segi kemunduran biologis, ciri-ciri geriatri adalah :
a. Kulit mulai mengendur dan wajah mulai keriput serta garis-garis yang
menetap
b. Rambut kepala mulai memutih atau beruban
c. Gigi mulai lepas (ompong)
d. Penglihatan dan pendengaran berkurang
e. Mudah lelah dan mudah jatuh
f. Gerakan menjadi lamban dan kurang lincah
Sedangkan dilihat dari segi kemunduran kognitif, ciri-ciri geriatri
adalah :
a. Mudah lupa (ingatan tidak berfungsi dengan baik)
b. Ingatan pada hal-hal di masa muda lebih baik dari hal-hal yang baru
terjadi
c. Sering adanya disorientasi terhadap waktu, tempat, dan orang
d. Sulit menerima ide-ide baru
e. Keseimbangan antara badan, penglihatan, dan pendengaran berkurang
3.3. Perubahan Fisiologis pada Geriatri
Menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan
kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti diri dan
mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat
betahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan
yang diderita.Dengan begitu manusia secara progresif akan kehilangan
daya tahan terhadap infeksi dan akan menumpuk semakin banyak
distorsi metabolik dan struktural yang disebut penyakit degeneratif
(hipertensi, aterosklerosis, DM, dan kanker). Perubahan fisiologis
penuaan dapat mempengaruhi hasil operasi tetapi penyakit penyerta
lebih berperan sebagai faktor risiko. Secara umum pada usia lanjut
terjadi penurunan cairan tubuh total dan lean body mass dan juga
menurunnya respons regulasi termal, dengan akibat mudah terjadi
intoksikasi obat dan juga mudah terjadi hipotermia.5

34
Gambar 1 Fungsi Organ Berdasarkan Umur

a. Sistem Kardiovaskuler 5
Pada jantung terjadi proses degeneratif pada sistem hantaran,
sehingga dapat menyebabkan gangguan irama jantung. Katup mitral
menebal, compliance ventrikel berkurang, relaksasi isovolumik
memanjang, sehingga menyebabkan gangguan pengisian ventrikel
pada fase diastolik dini sehingga terjadi hipotensi bila dehidrasi,
takiaritmia atau vasodilatasi. Compliance arteri berkurang, sehingga
mudah terjadi hipertensi sistolik. Sensitivitas baroreseptor berkurang
sehinga menurunkan respons heart rate terhadap stres dan menurunnya
kadar renin, angiotensin, aldosteron sehingga mudah terjadi hipotensi.
b. Sistem Respirasi 2,5
Elastisitas jaringan paru berkurang, kontraktilitas dinding dada
menurun, meningkatnya ketidakserasian antara ventilasi dan perfusi,
sehingga mengganggu mekanisme ventilasi, dengan akibat
menurunnya kapasitas vital dan cadangan paru, meningkatnya
pernafasan diafragma, jalan nafas menyempit dan terjadilah
hipoksemia. Menurunnya respons terhadap hiperkapnia dapat
menyebabkan terjadinya gagal nafas. Proteksi jalan nafas yaitu batuk
dan pembersihan mucociliary berkurang sehingga berisiko terjadi
infeksi dan aspirasi.

c. Sistem Metabolik dan Endokrin 5


Produksi panas menurun, kehilangan panas meningkat, dan pusat
pengaturan suhu di hipotalamus menjadi lebih rendah dari
sebelumnya. Peningkatan resistensi insulin memicu penurunan

35
progresif kemampuan tubuh untuk mengatur beban glukosa. Respon
neuroendokrin terhadap stres cenderung stabil atau sedikit menurun
pada kebanyakan pasien tua yang sehat.
d. Sistem renalis 5
Pada ginjal jumlah nefron berkurang, sehingga laju filtrasi
glomerulus (LFG) menurun, dengan akibat mudah terjadi
intoksikasi obat. Hal ini disebabkan karena glomerulus dan tubular di
ginjal di gantikan oleh lemak dan jaringan fibrotik. Respon terhadap
hormon diuretik dan hormon aldosteron berkurang. Respons terhadap
kekurangan Na juga menurun, sehingga berisiko terjadi dehidrasi.
Kemampuan mengeluarkan garam dan air berkurang, dapat terjadi
overload cairan dan juga menyebabkan hiponatremia. Ambang
rangsang glukosuria meninggi, sehingga glukosa urin tidak dapat
dipercaya. Produksi kreatinin menurun karena berkurangnya massa
otot, sehingga meskipun kreatinin serum normal, tetapi LFG telah
menurun. Perubahan-perubahan diatas menurunkan kemampuan
cadangan ginjal, sehingga manula tidak dapat mentoleransi
kekurangan cairan dan kelebihan beban zat terlarut. Pasien-pasien
ini lebih mudah mengalami peningkatan kadar kalium dalam
darahnya, apalagi bila diberikan larutan garam kalium secara
intravena. Kemampuan untuk mengekskresi obat menurun dan
pasien manula ini lebih mudah jatuh ke dalam asidosis metabolik.
Kemungkinan terjadi gagal ginjal juga meningkat.
e. Sistem Hepatobilier dan Gastrointestinal 5
Massa hepar berkurang seiring dengan penuaan, dengan diikuti
oleh penurunan hepatic blood flow. Fungsi hepar menurun sesuai
dengan berkurangnya massa hepar. Dengan demikian laju
biotransformasi dan produksi albumin berkurang. Level plasma
colinesterase pada pria tua juga berkurang. Pasien manula mungkin
sekali lebih mudah mengalami cedera hati akibat obat-obat, hipoksia
dan transfusi darah. Terjadi pemanjangan waktu paruh obat-obat
yang diekskresi melalui hati.
Tingkat keasaman lambung cenderung meningkat, meski masa
pengosongan lambung diperpanjang. Akibat menurunnya fungsi

36
persarafan sistem gastrointestinal, sfingter gastro-esofageal tidak
begitu baik lagi, disamping waktu pengosongan lambung yang
memanjang sehingga mudah terjadi regurgitasi.
f. Sistem Saraf Pusat5
Pada sistem saraf pusat, terjadi perubahan-perubahan fungsi
kognitif, sensoris, motoris, dan otonom. Kecepatan konduksi saraf
sensoris berangsur menurun. Perfusi otak dan konsumsi oksigen otak
menurun sampai 10%-20%. Berat otak menurun karena berkurangnya
jumlah sel neuron, terutama di korteks otak maupun otak kecil. Berat
otak pada orang dewasa muda rata-rata 1400 g, akan menurun
menjadi 1150 g pada usia 80 tahun. Dikatakan, terdapat korelasi
positif antara berat otak dan harapan hidup. Ukuran neuron
berkurang, dan neuron kehilangan kompleksitas pohon dendrit, dan
jumlah sinaps juga berkurang. Terdapat juga penurunan fungsi
neurotransmiter. Sintesis dari beberapa neurotransmiter seperti
domapin, dan jumlah dari reseptor mereka berkurang. Serotonic,
adrenergic, danγ-aminobutyric acid (GABA) binding site juga
berkurang. Sedangkan jumlah astrosit dan sel microglial bertambah.
Degenerasi sel saraf perifer mengakibatkan kecepatan konduksi yang
memanjang dan atropi otot skeletal.
Perubahan-perubahan tersebut mengakibatkan manula lebih
mudah dipengaruhi oleh efek samping obat terhadap sistem saraf.
Pasien tua sering memerlukan lebih banyak waktu untuk sembuh total
dari efek CNS yang diakibatkan oleh anastesi umum. Umumnya
mereka mengalami kebingungan atau disorientasi preoperatif. Banyak
pasien tua mengalami berbagai derajat dari acute confusional state,
delirium atau cognitive disfungsi postoperatif. Etiologi dari cognitif
disfungsi postoperatif (POCD) biasanya multifaktorial, termasuk efek
samping obat, nyeri, demensia, hipotermia dan gangguan metabolik.
Pasien tua juga biasanya sensitif terhadap agen kolinergic yang
bekerja sentral, seperti scopolamin dan atropin.
g. Sistem Muskuloskeletal 5
Pada penuaan terjadi pengurangan massa otot. Pada tingkat
mikroskopis,neuromuscular junction menebal. Receptor

37
acethylcholine tampaknya juga tersebar dibeberapa
extrajunctional.Kulit mengalami atropi sesuai dengan umur dan
mudah untuk terjadinya trauma dari plester, alas dari elektrocauter,
electroda dari EKG.Vena sering lemah dan mudah terjadi ruptur oleh
karena IVFD. Adanya arthritis sendi mengganggu terhadap pengaturan
posisi (spt. Lithotomi) atau anesthesi regional (spt. Subarachnoid
block / Spinal anesthesi).Adanya penyakit degenaratif pada tulang
servikal dapat membatasi ekstensi leher yang berpotensial
menyebabkan kesulitan dilakukannya intubasi. Pada kulitjuga terjadi
reepitelisasi yang melambat dan juga vaskularisasi berkurang
sehingga penyembuhan luka lebih lama.

3.4. Hubungan Farmakologi dan Geriatri 5,8,9


1. Farmakologi Klinis pada geriatri
Faktor-faktor yang mempengaruhi respons farmakologi pasien
berusia lanjut meliputi :
1. Ikatan protein plasma.
Protein pengikat plasma yang utama untuk obat-obat yang
bersifat asam adalah albumin dan untuk obat-obat dasar adalah
α1-acid glikoprotein. Kadar sirkulasi albumin akan menurun
sejalan dengan usia, sedangkan kadar α1-acid glikoprotein
meningkat. Dampak gangguan protein pengikat plasma terhadap
efek obat tergantung pada protein tempat obat itu terikat, dan
menyebabkan perubahan fraksi obat yang tidak terikat. Hubungan
ini kompleks, dan umumnya perubahan kadar protein pengikat
plasma bukanlah faktor redominan yang menentukan bagaimana
farmakokinetik akan mengalami perubahan sesuai dengan usia.5
2. Perubahan komposisi tubuh
Perubahan komposisi tubuh terlihat dengan adanya
penurunan massa tubuh, peningkatan lemak tubuh, dan penurunan
air tubuh total. Penurunan air tubuh total dapat menyebabkan
mengecilnya kompartemen pusat dan peningkatan konsentrasi serum
setelah pemberian obat secara bolus. Selanjutnya, peningkatan lemak

38
tubuh dapat menyebabkan membesarnya volume distribusi,
dengan potensial memanjangnya efek klinis obat yang diberikan. 5
3. Metabolisme obat
Seperti yang telah didiskusikan sebelumnya, gangguan
hepar dan klirens ginjal dapat terjadi sesuai dengan penambahan
usia. Tergantung pada jalur degradasi, penurunan reversi hepar
dan ginjal dapat mempengaruhi profil farmakokinetik obat.5
4. Farmakodinamik.
Respons klinis terhadap obat anestesi pada pasien usia lanjut
mungkin disebabkan karena adanya gangguan sensitivitas pada
target organ ( farmakodinamik). Bentuk sediaan obat yang
diberikan dan gangguan jumlah reseptor atau sensitvitas
menentukan pengaruh gangguan farmakodinamik efek anestesi
pada pasien usia lanjut. Umumnya, pasien berusia lanjut akan
lebih sensitif terhadap obat anestesi. Jumlah obat yang diperlukan
lebih sedikit dan efek obat yang diberikan bisa lebih lama.5
Respons hemodinamik terhadap anestesi intravena bisa
menjadi berat karena adanya interaksi dengan jantung dan
vaskuler yang telah mengalami penuaan. Kompensasi yang
diharapkan sering tidak terjadi karena perubahan fisiologis
berhubungan dengan proses penuaan normal dan penyakit yang
berhubungan dengan usia. Apapun penyebab efek farmakologik yang
terganggu, pasien berusia lanjut biasanya memerlukan penurunan
dosis pengobatan yang secukupnya.5

 Anestesi Inhalasi
Konsentrasi alveolar minimum ( minimum alveolar concentration=
MAC) mengalami penurunan kurang lebih 4% per dekade pada mayoritas
anestesi inhalasi. Mekanisme kerja anestesi inhalasi berhubungan dengan
gangguan pada aktivitas kanal ion neuronal terhadap nikotinik, asetilkolin,
GABA dan reseptor glutamat. Mungkin adanya gangguan karena penuaan
pada kanal ion, aktivitas sinaptik, atau sensitivitas reseptor ikut bertanggung
jawab terhadap perubahan farmakodinamik tersebut.2,5

39
Konsentrasi minimum alveolar (MAC) dari semua obat-obatan inhalasi
berkurang sekitar 4-5% per dekade di atas usia 40 tahun. Oleh karena itu pasien
usia lanjut membutuhkan volume anestesi inhalasi yang lebih rendah untuk
mencapai efek yang sama dengan pasien yang lebih muda. Isoflurane adalah yang
paling sesuai, karena relatif stabil dalam sistem kardiovaskuler, memiliki onset
dan durasi kerja yang singkat dan hanya 0,2% dari dosis diberikan yang
dimetabolisme. Terdapat efek depresi miokard dari anestesi volatile yang
berlebihan pada pasien usia lanjut, sedangkan isoflurane dan desflurane jarang
menimbulkan efek takikardi. Dengan demikian isoflurane dapat mengurangi curah
jantung dan denyut jantung pada pasien usia lanjut.

Obat-obatan inhalasi yang kurang larut seperti sevofluran dan desflurane


mengalami metabolisme yang minimal dan sebagian besar diekskresikan oleh
paru-paru. Halotan memiliki keuntungan dengan kurang menimbulkan iritasi pada
saluran pernapasan, meskipun obat ini meningkatkan sensitifitas miokardium
terhadap katekolamin dan mungkin dapat memicu takiaritmia. Eter telah
digunakan dengan baik selama bertahun-tahun, dan pada pasien usia lanjut
sebaiknya diberikan pada konsentrasi rendah dengan dukungan ventilasi. Hal ini
memungkinkan pasien untuk bangun lebih cepat daripada anestesi dengan
konsentrasi eter yang lebih tinggi.8,9 Eliminasi cepat dari desflurane dapat menjadi
alasan sebagai anestesi yang dipilih untuk pasien usia lanjut.2

 Anastesi Intravena dan Benzodiazepine


Tidak ada perubahan sensitivitas otak terhadap tiopental yang berhubungan
dengan usia. Namun, dosis tiopental yang diperlukan untuk mencapai
anestesia menurun sejalan dengan pertambahan usia. Penurunan dosis tiopental
sehubungan dengan usia disebabkan karena penurunan volume distribusi inisial
obat tersebut. Penurunan volume distribusi inisial terjadi pada kadar obat
dalam serum yang lebih tinggi setelah pemberian tiopental dalam dosis
tertentu pada pasien berusia lanjut. Sama seperti pada kasus etomidate,
perubahan farmakokinetik sesuai usia (disebabkan karena penurunan klirens
dan volume distribusi inisial), bukan gangguan responsif otak yang terganggu,
bertanggung jawab terhadap penurunan dosis etomidate yang diperlukan pada

40
pasien berusia lanjut. Otak menjadi lebih sensitif ter hadap efek propofol, pada
usia lanjut. Selain itu, klirens propofol juga mengalami penurunan. Efek
penambahan ini berhubungan dengan peningkatan
sensitivitas terhadap propofol sebesar 30-50% pada pasien dengan usia
lanjut.
Dosis yang diperlukan midazolam untuk menghasilkan efek sedasi selama
endoskopi gastrointestinal atas mengalami penur unan sebesar 75% pada
pasien berusia lanjut. Perubahan ini berhubungan dengan peningkatan
sensitivitas otak dan penurunan klirens obat.2

 Opiat
Usia merupakan prediktor penting perlu tidaknya penggunaan morfin post
operatif, pasien berusia lanjut hanya memer lukan sedikit obat untuk
menghilangkan rasa nyeri. Morfin dan metabolitnya morphine-6-
glucuronide mempunyai sifat analgetik. Klirens morfin akan menurun pada
pasien berusia lanjut. Morphine-6-glucuronide tergantung pada eksresi
renal. Pasien dengan insufisiensi ginjal mungkin menderita gangguan
eliminasi morfin glucuronides, dan hal ini bertanggung jawab terhadap
peningkatan analgesia dari dosis morfin yang diberikan pada pasien berusia
lanjut.5
Sufentanil, alfentanil, dan fentanil kurang lebih dua kali lebih poten pada pasien
berusia lanjut. Penemuan ini berhubungan dengan peningkatan sensitivitas otak
terhadap opioid sejalan dengan usia, bukan karena gangguan farmakokinetik.
Penambahan usia berhubungan dengan perubahan farmakokinetik dan
farmakodinamik dari remifentanil. Pada usia lanjut terjadi peningkatan
sensitivitas otak terhadap remifentanil. Remifentanil kurang lebih dua kali
lebih poten pada pasien usia lanjut, dan dosis yang diperlukan adalah satu
setengah kali bolus. Akibat volume kompar temen pusat, VI, dan penurunan
klirens pada usia lanjut, maka diperlukan kurang lebih sepertiga jumlah infus.5
Pelumpuh Otot
Umumnya, usia tidak mempengaruhi farmakodinamik pelumpuh otot.
Durasi kerja mungkin akan memanjang, bila obat tersebut tergantung pada
metabolisme ginjal atau hati. Diperkirakan terjadi penurunan pancuronium pada
pasien berusia lanjut, karena ketergantungan pancuronium terhadap eksresi

41
ginjal. Perubahan klirens pancuronium pada usia lanjut masih kontroversial.
Atracurium bergantung pada sebagian kecil metabolisme hati dan ekskresi, dan
waktu paruh eliminasinya akan memanjang pada pasien usia lanjut. Tidak terjadi
perubahan klirens dengan bertambahnya usia, yang menunjukkan adanya jalur
eliminasi alternatif (hidrolisis eter dan eliminasi Hoffmann) penting pada
pasien berusia lanjut. Klirens vecuronium plasma lebih rendah pada pasien
berusia lanjut. Durasi memanjang yang berhubungan dengan usia terhadap
kerja vecuronium menggambarkan penurunan reversi ginjal atau hepar.5

 Anastesi neuraksial dan blok saraf perifer


Persentase obat anestesia tidak berdampak terhadap durasi blokade motorik
dengan pemberian anestesi bupivacaine. Waktu onset akan menurun,
bagaimanapun juga penyebaran anestesi akan lebih baik dengan pemberian
cairan bupivacaine hiperbarik. Dampak usia terhadap durasi anestesia
epidural tidak terlihat pada pemberian bupivacaine 0,5% . Waktu onset
akan memendek, dan kedalaman blok anestesia akan bertambah besar.
Terlihat klirens plasma lokal anestesi yang menurun pada pasien berusia
lanjut. Hal ini dapat menjadi faktor yang mengurangi penambahan dosis
dan jumlah infus selama pemberian dosis berulang dan teknik infus
berkesinambungan.

 Keuntungan Obat-obat Spesifik pada Pasien Usia Lanjut


Penyakit penyerta preoperatif merupakan determinan yang lebih besar
terhadap komplikasi post operatif dibandingkan dengan penatalaksanaan
anestesi. Beberapa pendapat menitikberatkan pada penatalaksanaan
farmakologi dan fisiologi terhadap usia lanjut. Metode titrasi opioid mungkin
lebih baik menggunakan opioid dngan kerja singkat seperti remifentanil.
Dengan menambahkan dosis bolus dan infus, variabilitas farmakokinetik
remifentanil akan lebih rendah bila dibandingkan dengan opioid intrvena
lainnya. Sama halnya dengan pilihan menggunakan pelumpuh otot dengan
kerja yang lebih singkat. Beberapa penelitian menunjukkan adanya
peningkatan insidens komplikasi pulmoner dan blok residual postoperatif
pada pasien yang diberikan pancuronium bila dibandingkan dengan

42
atracurium atau vecuronium. Penggunaan sugammadex sebagai obat reversal
untuk rocuronium akan meningkatkan penggunaan pelumpuh otot pada
pasien berusia lanjut. Bila dibandingkan dengan anestesi inhalasi, tidak
ditemukan perbedaan yang bermakna pada pemulihan profil fungsi kognitif.5
2. Evaluasi dan Manajemen Preoperatif
Terdapat dua prinsip yang harus diingat pada saat melakukan evaluasi pre-
operatif pasien geriatri :
1. Pasien harus selalu dianggap mempunyai risiko tinggi menderita penyakit
yang berhubungan dengan penuaan. Penyakit- penyakit biasa pada
pasien dengan usia lanjut mempunyai pengaruh yang besar terhadap
penanganan anestesi dan memerlukan perawatan khusus serta diagnosis.
Penyakit kardiovaskuler dan diabetes umumnya sering ditemukan pada
populasi ini. Komplikasi pulmoner mempunyai insidens sebesar 5,5% dan
merupakan penyebab morbiditas ketiga tertinggi pada pasien usia lanjut yang
akan menjalani pembedahan non cardiac.5
2. Harus dilakukan pemeriksaan derajat fungsional sistem organ yang spesifik
dan pasien secara keseluruhan sebelum pembedahan. Pemeriksaan
laboratorium dan diagnostik, riwayat, pemeriksaan fisik, dan
determinasi kapasitas fungsional harus dilakukan untuk mengevaluasi
fisiologis pasien. Pemeriksaan laboratorium harus disesuaikan dengan
riwayat pasien, pemeriksaan fisik, dan prosedur pembedahan yang akan
dilakukan, dan bukan hanya berdasarkan atas usia pasien saja.5
3.5 Evaluasi Praoperatif
Penilaian pra operasi memainkan bagian penting dalam mengurangi
komplikasi pasca operasi. Pemahaman tentang status fisik pasien akan
memberikan panduan terhadap penilaian jenis penyakit komorbid dan tingkat
keparahannya, jenis monitoring yang diperlukan, optimasi pra operasi dan
prediksi akan timbulnya komplikasi pasca operasi. Pemahaman riwayat penyakit
yang mendetail, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan penilaian
risiko tindakan pembedahan harus difokuskan selama evaluasi pra operasi.5

a) Informed Consent

Pasien, anggota keluarga atau wali pasien harus diberitahu tentang intervensi
bedah dan kemungkinan komplikasi yang dapat timbul. Kapasitas putusan

43
merupakan prasyarat untuk suatu informed consent yang sesuai dengan hukum
dan moral. Pasien usia lanjut mungkin tidak sepenuhnya memahami intervensi
yang direncanakan, sehingga kerabat terdekat harus terlibat untuk memperoleh
informed consent yang terperinci. Status mental dan kognitif pasien harus
dipertimbangkan dan didokumentasikan. 5

b) Riwayat Penyakit dan Status Gizi

Riwayat kondisi medis lengkap dan operasi sebelumnya harus dicatat karena
pasien usia lanjut biasanya sedang menjalani banyak terapi obat-obatan.
Defisiensi nutrisi yang sering dialami oleh pada usia lanjut harus dinilai secara
akurat. Hitung darah lengkap yang menunjukkan anemia, kadar albumin serum
yang kurang dari 3.2g/dl dan kolesterol kurang dari 160mg/dl telah terbukti
sebagai penanda risiko outcome pasca operasi yang merugikan. Indeks massa
tubuh yang kurang dari 20 kg/m2 pada pasien usia lanjut mungkin mengarahkan
peningkatan morbiditas karena penyembuhan luka yang tertunda, sehingga
suplemen gizi pra operatif harus dipertimbangkan.

c) Pemeriksaan fisik

Meskipun pasien usia lanjut memiliki riwayat medis yang panjang, mereka
biasanya tidak memberikan rincian penyakit mereka, ini merupakan konsekuensi
yang tidak dapat dihindari akibat usia tua. Pemeriksaan fisik harus mencakup
informasi yang mendetail tentang status hidrasi, gizi, tekanan darah, nadi dan
kondisi sistemik.5

Penilaian status mental pra operasi sangat penting karena biasanya


mencerminkan status kognitif pasca operasi. Demensia pra operasi merupakan
prediktor yang penting dari outcome bedah yang buruk.

d) Pemeriksaan Penunjang Pra operasi

44
Pasien usia lanjut harus menjalani berbagai tes yang akan membantu
menentukan parameter kesehatan pasien, bahkan pada mereka yang sehat dan
termasuk diantaranya:

 Hitung darah lengkap: Hb, jumlah limfosit

 Urem, kreatinin dan elektrolit akan memberikan informasi tentang fungsi


ginjal karena akan mengalami perubahan secara bertahap dengan
pertambahan usia. Bersihan kreatinin merupakan indeks penting.

 Gula darah dan kolesterol harus diperiksa karena tingginya insiden diabetes
mellitus dan ateroskleorsis.

 Kadar albumin dan fungsi pembekuan darah

 Pemeriksaa elektrokardiogram (EKG) harus dilakukan pada semua pasien


yang berusia di atas 60 tahun, terlepas dari ada riwayat penyakit jantung
atau tidak.

 Rontgen dada dan tes fungsi paru pada pasien dengan penyakit paru
obstruktif kronis.

 Pemeriksaan jantung.

3.6. Manajemen perioperatif


Tidak ada istilah "terlalu tua" untuk tindakan operasi. Pada umumnya hal
yang harus dipikirkan adalah bahwa komorbiditas meningkat dengan
pertambahan usia lebih penting dari usia pasien itu sendiri. Penelitian Forrest
terhadap 17.201 pasien menunjukkan bahwa, risiko outcome yang berat menurun
dari 3% menjadi 2% dari umur 20-an ke umur 40-an, namun meningkat secara
linear setelahnya (dari 2% pada umur 40-an sampai 6% pada umur 80-an).10
Penyakit yang umumnya ditemukan pada usia lanjut memiliki dampak yang
signifikan terhadap tindakan anestesi dan memerlukan perawatan khusus,
sehinggan Penting untuk menentukan status fisik pasien dan memperkirakan
cadangan fisiologis dalam evaluasi preanestesi. Jika kondisi dapat dioptimalkan

45
sebelum operasi, maka operasi dapat dilakukan tanpa penundaan. Penundaan
operasi yang lama dapat meningkatkan morbiditas. Diabetes mellitus dan
penyakit kardiovaskular adalah penyakit yang paling sering dialami oleh pasien
geriatri. Komplikasi paru adalah salah satu penyebab utama morbiditas
pascabedah pada pasien usia lanjut. Untuk pasien ini diperlukan optimasi paru-
paru. Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan laboratorium
dan diagnostik sangat penting. Masalah yang yang harus selalu dipikirkan pada
pasien geriatri adalah kemungkinan terjadinya depresi, malnutrisi, imobilitas dan
dehidrasi. Sehingga penting untuk menentukan status kognitif seorang pasien
usia lanjut. Defisit kognitif berkaitan dengan outcome yang buruk dan morbiditas
perioperatif yang lebih tinggi. Namun masih kontroversial apakah anestesi
umum dapat mempercepat perkembangan demensia senilis. 5,10
Walaupun masih terdapat banyak pertanyaan, bukti-bukti yang ada
menunjukkan bahwa risiko kardiovaskuler dapat dicegah dengan mencari
ada tidaknya β-blockade perioperatif pada pasien dengan penyakit arteri koroner
yang diketahui, terutama bila muncul beberapa minggu terakhir sebelum operasi.
Pada pasien usia lanjut yang menggunakan terapi β-blocker jangka panjang,
tampaknya β-blocker long-acting akan lebih efektif dibandingkan dengan β-
blocker short-acting dalam mengurangi resiko infark miokard perioperatif.
Protokol yang menyertakan pemberian β-blocker pada pagi hari sebelum operasi
dilakukan dan diteruskan selama operasi berhubungan dengan peningkatan
insidens stroke dan semua penyebab mortalitas.

3. Manajemen Intraoperatif

Manajemen intraoperatif diarahkan untuk membatasi stres akibat pembedahan dan


menghindari kejadian yang lebih memperburuk cadangan fisiologis pasien. Tidak
ada teknik universal khusus yang disetujui untuk pasien usia lanjut tetapi beberapa
intervensi dapat meningkatkan outcome.10

3. 7. Induksi Anestesi:
Pada pasien usia lanjut, preoksigenasi agresif yang setara untuk anestesi
inhalasi menurun secara linear dengan pertambahan usia, oleh karena itu dosis
obat yang mempengaruhi SSP perlu dikurangi untuk mengantisipasi efek sinergi

46
obat. Penggunaan bersama propofol, midazolam, opioid dapat meningkatkan
kedalaman anestesi. Hipotensi adalah kejadian yang umum didapatkan sehingga
dosis obat-obatan ini harus dititrasi. Dipilih obat yang bekerja singkat. Stimulasi
intubasi trakea tidak memberikan efek hipotensi pada pasien usia lanjut. 10
Efek puncak obat mengalami penundaan, diantaranya: midazolam 5 menit,
fentanil 6-8 menit, dan propofol 10 menit. Untuk meminimalkan kedalaman dan
durasi hipotensi, dosis propofol tanpa suplementasi opioid disesuaikan dengan
cara dikurangi 1,0-1,5 mg / kg lean body weight (LBW)dan 0.5-1.0mg/kg jika
diberikan opioid secara bersamaan khususnya jika disertai juga dengan pemberian
ketamin dosis rendah dan midazolam.8
Penggunaan profilaksis aspirasi dan rapid sequence intubation (RSI) harus
dilakukan secara rutin, khususnya pada pasien dengan diabetes mellitus atau
penyakit refluks dan prosedur darurat. Antisipasi pemanjangan durasi obat
neuromuskuler yang bersifat organ based klirens. Seiring pertambahan usia, obat-
obatan intermediate acting bekerja lebih lama (kecuali atrakurium dan
cisatrakurium), dapat menurunkan suhu tubuh, menyebabkan diabetes dan
obesitas (jika dosisnya dihitung berdasarkan berat badan total) dan peningkatan
blok neuromuskuler. Dosis antikolinesterase inhibitor juga harus dikurangi dan
pasien dipantau dengan ketat di unit perawatan pasca-anestesi (PACU) untuk
tanda-tanda rekurarisasi.10
Obat-obatan non-steroid anti-inflammatory drug (NSAID) untuk
menghilangkan rasa sakit pasca operasi harus diberikan dengan dosis dikurangi
untuk menghindari komplikasi seperti gastritis, gagal ginjal akut. NSAID harus
dihindari pada pasien usia lanjut dengan gangguan fungsi ginjal preoperatif
(peningkatan kadar urea / kreatinin) atau jika pasien mengalami hipovolemia.10

3. 8. Manajemen cairan
Mengelola volume intravaskular yang tepat sangat penting dengan
menghindari kelebihan dan kekurangan pemberian cairan. Karena adanya
peningkatan afterload, penurunan respon inotropik atau chronotoropic serta
gangguan respon vasokonstriksi menyebabkan pasien usia lanjut sangat
tergantung pada preload yang memadai. Pasien usia lanjut juga rentan terhadap
dehidrasi karena penyakit, penggunaan diuretik, puasa pra operasi dan penurunan

47
respon haus. Asupan cairan oral hingga 2 - 3 jam sebelum operasi, dan terapi
pemeliharaan cairan yang cukup serta menghindari terapi diuretik sebelum operasi
dapat menghindarkan kejadian hipotensi mendadak segera setelah induksi
anestesia. Hidrasi yang berlebihan juga harus dihindari pada usia lanjut dengan
ganggaun jantung karena mereka lebih rentan untuk terjadinya kegagalan sistolik,
perfusi organ yang jelek dan penurunan GFR.10
Penting pula untuk melakukan pemantauan kateter vena sentralis atau arteri
pulmonalis intraoperatif untuk mengukur volume darah sentral khusus pada
pasien usia lanjut yang cenderung memiliki penurunan volume darah dalam
jumlah besar atau pergeseran cairan. Penting untuk menaga tekanan vena sentral
pada kisaran 8 - 10 mmHg dan tekanan arteri pulmonalis14 - 18 mm Hg untuk
mempertahankan output jantung yang memadai.10

3.9 Manajemen pasca operasi


1. Manajemen jalan napas
Perubahan fungsi faring, refleks batuk, dapat diperburuk oleh efek
dari anestesi, instrumentasi faring dan operasi yang dapat meningkatkan
kemungkinan aspirasi pascaoperasi pada usia lanjut. Pembalikan efek blok
neuromuskuler, penggunaan pipa nasogastrik, mengembalikan refleks
faring dan laring, motilitas gastrointestinal dan ambulasi dini dengan
konversi intake oral setelah operasi dapat meminimalkan insiden aspirasi
pasca operasi.1
 Terapi oksigen
Dianjurkan untuk memberikan terapi oksigen pasca-operasi untuk
semua pasien usia lanjut, terutama setelah pembedahan abdomen atau
dada, penyakit kardiovaskuler atau pernapasan, kondisi kehilangan darah
yang signifikan, atau bila telah diberikan analgetik opioid. Nasal kanul
sering ditoleransi lebih baik daripada masker.10
 Perawatan intensif
Jika pasien sangat tergantung pada perawatan tingkat tinggi atau
tersedia fasilitas perawatan intensif, hal ini dapat meningkatkan outcome
jangka panjang dari pasien usia lanjut, khususnya mereka yang menjalani
operasi darurat. 10

48
2. Manajemen Nyeri
Manajemen nyeri akut sangat penting pada pasien bedah berusia lanjut,
dimana nyeri pasca operasi dapat menghasilkan efek yang berbahaya. Kontrol
nyeri yang kurang optimal dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada
usia lanjut karena komorbiditas terkait seperti penyakit jantung iskemik,
penurunan cadangan ventilasi, perubahan metabolisme. 10
Pertimbangkan pemberian analgetik sederhana seperti parasetamol, dan
NSAID dengan hati-hati. Titrasi morfin IV menggunakan protokol usia lanjut (>
70 tahun) yang sama dengan pasien yang lebih muda tampaknya aman. Dua
sampai tiga miligram morfin IV setiap 5 menit untuk skor analog visual lebih dari
30 dilaporkan dapat memberikan kontrol nyeri yang memadai. Opioid kerja
singkat seperti fentanil atau sufentanil dan satrategi manajemen nyeri intensif
dengan bolus intermiten atau patient controlled analgesia (PCA) secara parenteral
atau dengan blok neuraxial dilaporkan paling bermanfaat untuk pasien usia lanjut
beresiko tinggi atau pasien usia lanjut dengan risiko rendah yang menjalani
operasi berisiko tinggi dengan mengurangi respon stres terhadap pembedahan dan
ambulasi dini.10,12

3. Komplikasi Pasca Operasi

Disfungsi Kognitif Postoperatif

 Perubahan jangka pendek dalam kinerja tes kognitif selama hari


pertama sampai beberapa minggu setelah operasi telah dicatat dengan
baik dan biasanya mencakup beberapa kognitif seperti, perhatian,
memori, dan kecepatan psikomotorik. Penurunan kognitif awal setelah
pembedahan sebagian besar akan membaik dalam waktu 3 bulan.
Pembedahan jantung berhubungan dnegan 36% insidens terjadinya
penurunan kognitif dalam waktu 6 minggu setelah operasi. Insidens
disfungsi kognitif setelah pembedahan non-jantung pada pasien dengan
usia lebih dar i 65 tahun adalah 26% pada minggu pertama dan 10%
pada bulan ketiga. Risiko-risiko terjadinya penurunan kognitif
postoperatif adalah usia, tingkat pendidikan yang rendah, gangguan
kognitif preoperatif, depresi, dan prosedur pembedahan. Disfungsi

49
kognitif jangka pendek setelah pembedahan dapat disebabkan karena
berbagai etiologi, termasuk mikroemboli (terutama pada pembedahan
jantung), hipoperfusi, respons inflamasi sistemik (bypass
kardiopulmoner), anestesia, depresi, dan faktor- faktor genetik (alel E4).2
 Ada tidaknya kontribusi anestesi terhadap disfungsi kognitif postoperatif
jangka panjang masih kontroversi dan memerlukan penelitian yang
intensif. Pada prosedur non-cardiac, anestesia mempunyai pengaruh yang
paling ringan terhadap terjadinya penurunan kognitif jangka panjang,
walaupun efek ini mungkin akan meningkat sejalan dengan
bertambahnya usia. Penurunan kognitif post-operatif setelah
pembedahan non-cardiac akan kembali nor mal pada kebanyakan
kasus, tetapi bisa juga menetap pada kurang lebih 1% pasien.2

4. ANASTESI PADA LAPARASKOPI COLECYSTECTOMY


4.1 Laparoskopi
4.1.1 Definisi Laparoskopi
Laparoskopi adalah sebuah prosedur pembedahan minimally
invasive dengan memasukkan gas CO2 ke dalam rongga peritoneum
untuk membuat ruang antara dinding depan perut dan organ viscera,
sehingga memberikan akses endoskopi ke dalam rongga peritoneum
tersebut. Teknik laparoskopi atau pembedahan minimally invasive
diperkirakan menjadi trend bedah masa depan. Di Indonesia, teknik
bedah laparoskopi mulai dikenal di awal 1990-an ketika tim dari RS
Cedar Sinai California AS mengadakan live demo di RS Husada Jakarta.
Selang setahun kemudian, Dr Ibrahim Ahmadsyah dari RS Cipto
Mangunkusumo melakukan operasi laparoskopi pengangkatan batu dan
kantung empedu (Laparoscopic Cholecystectomy) yang pertama. Sejak

50
1997, Laparoscopic Cholecystectomy menjadi prosedur baku untuk
penyakit-penyakit kantung empedu di beberapa rumah sakit besar di
Jakarta dan beberapa kota besar di Indonesia. 8

4.1.2 Prosedur Laparoskopi


Prosedur praoperasi laparoskopi hampir sama dengan operasi
konvensional. Pasien harus puasa empat hingga enam jam sebelumnya,
dibuat banyak buang air besar agar ususnya mengempis. Sebelum puasa
pasien laparoskopi diberikan makanan cair atau bubur, makanan yang
mudah diserap, tapi rendah sisa, untuk mengurangi jumlah kotoran di
saluran cerna.8
Setelah pasien teranestesi, tindakan operasi pertama yang
dilakukan adalah membuat sayatan di bawah lipatan pusar sepanjang 10
mm, kemudian jarum veres disuntikkan untuk memasukkan gas CO2
sampai batas kira-kira 12-15 milimeter Hg. Dengan pemberian gas CO 2
itu, perut pasien akan menggembung. Itu bertujuan agar usus tertekan ke
bawah dan menciptakan ruang di dalam perut. Setelah perut terisi gas
CO2, alat trocar dimasukkan. Alat itu seperti pipa dengan klep untuk
akses kamera dan alat-alat lain selama pembedahan. Ada empat trocar
yang dipasang di tubuh. Pertama, terletak di pusar. Kedua, kira-kira
letaknya 2-4 cm dari tulang dada (antara dada dan pusar) selebar 5-10
mm. Trocar ketiga dipasang di pertengahan trocar kedua agak ke sebelah
kanan (di bawah tulang iga), selebar 2-3 atau 5 mm. Trocar keempat,
bilamana diperlukan, akan dipasang di sebelah kanan bawah, selebar 5
mm. Melalui trocar inilah alat-alat, seperti gunting, pisau ultrasonik, dan
kamera, dimasukkan dan digerakkan. Trocar pertama berfungsi sebagai
‘mata’ dokter, yaitu tempat dimasukkannya kamera. Dokter akan melihat
organ-organ tubuh kita dan bagian yang perlu dibuang melalui kamera
tersebut yang disalurkan ke monitor. Sementara itu, trocar kedua sampai
keempat merupakan trocar kerja.8
Dalam tayangan video terlihat bagaimana jarum untuk menjahit
organ-organ yang dipotong atau mengalami pendarahan dimasukkan

51
melalui trocar. Selain itu, ada pula klip-klip dari titanium, yang aman dan
bisa digunakan sebagai ganti jahitan. Klip itu berfungsi menyambungkan
dua bagian yang terpisah. Klip dari titanium akan dipasang dalam tubuh
secara permanen, seumur hidup. Sebelumnya, dokter harus mengatakan
kepada pasien dan keluarganya kalau ada benda asing yang akan
ditinggalkan di dalam tubuh pasien.8
Posisi peralatan juga penting untuk diperhatikan agar mudah
untuk dilihat oleh semua operator karena menggunakan berbagai
peralatan penunjang. Operator harus melihat jelas video monitor dan
pengaliran insuflasi CO2 sehingga dia bisa memonitor tekanan intra
abdomen dan laju gas. 3
4.1.3 Penggunaan Gas CO2 dalam Laparoskopi
CO2 adalah gas pilihan untuk insuflasi karena tidak mudah terbakar,
tidak membantu pembakaran, mudah berdifusi melewati membrane, mudah
keluar dari paru-paru, mudah larut dalam darah dan risiko embolisasi CO 2
kecil. Level CO2 dalam darah mudah diukur, dan pengeluarannya dapat
ditambah dengan memperbanyak ventilasi. Selama persediaan O 2 cukup,
konsentrasi CO2 darah dapat ditolelir.7
Kerugian utamanya adalah fakta bahwa CO 2 lembam. Hal ini
menyebabkan iritasi peritoneal langsung dan rasa sakit selama laparoskopi
karena CO2 membentuk asam karbonat saat kontak dengan permukaan
peritoneum. CO2 tidak terlalu larut pada darah bila terjadi kekurangan sel darah
merah, oleh karena itu CO2 bisa tersisa di intraperitoneum dalam bentuk gas
setelah laparoskopi, sehingga menyebabkan sakit pada bahu. Hiperkarbia dan
respiratory acidosis terjadi saat kapasitas CO2 dalam darah melampaui batas.
Selain itu, CO2 dapat menimbulkan efek lokal maupun sistemik, sehingga dapat
terjadi hipertensi, takikardi, vasodilatasi pembuluh darah serebral, peningkatan
CO, hiperkarbi, dan respiratory acidosis.10

4.1.4 Keuntungan Prosedur Laparoskopi


Dibandingkan dengan bedah terbuka, laparoskopi lebih menguntungkan
karena insisi yang kecil dan nyeri pasca operasi yang lebih ringan. Fungsi paru
pasca operasi tidak terganggu dan sedikit kemungkinan terjadi atelektasis

52
setelah prosedur laparoskopi. Setelah operasi fungsi pencernaan pasien pulih
lebih cepat, masa rawat inap rumah sakit pendek, serta lebih cepat kembali
beraktivitas. Keuntungan ini bervariasi tergantung pasien dan tipe prosedur.9

4.1.5 Kerugian Prosedur Laparoskopi


Komplikasi selama prosedur laparoskopi dapat terjadi secara langsung
maupun tidak langsung karena kebutuhan insuflasi CO2 untuk membuat ruang
operasi. CO2 masuk kedalam pembuluh darah secara cepat. Gas yang tidak
larut terakumulasi didalam jantung kanan menyebabkan hipotensi dan cardiac
arrest. Emboli CO2 yang masif bisa dideteksi dengan murmur precordial,
transesofugeal echocardiografi, dan end tidal CO2 monitoring (CO2 meningkat
secara sementara kemudian turun kembali). Pengobatan dilakukan dengan
menghentikan insuflasi CO2, hiperventilasi dengan 100% O 2 dan resusitasi
cairan, merubah posisi pasien right side up dan memasang kateter vena central
untuk aspirasi gas.9

Jika gas yang ditujukan untuk membuat pneumoperitoneum keluar atau


prosedur laparoskopi meliputi insuflasi ekstra peritoneal (prosedur untuk
adrenalectomy atau perbaikan hernia) emfisema subkutan bisa terjadi, volume
tidal CO2 akhir (end tidal CO2) meningkat mencapai level tinggi dan terdapat
krepitus yang biasanya dapat sembuh tanpa intervensi. Hal serius lain adalah
pneumothorak, jika gas masuk ke dalam rongga thorax melalui luka atau insisi
yang dibuat sewaktu pembedahan atau dari jaringan cervikal subkutan. Intervensi
tidak selalu harus, karena pneumothorax biasanya pulih jika insuflasi dihentikan.8

4.1.6 Respon Fisiologi Selama Bedah Laparoskopi


Goncangan hemodinamik dan ventilasi dapat terjadi pada pasien yang
menjalani prosedur laparoskopi. Penyebab utama perubahan fisiologis pada
prosedur laparoskopi ini adalah insuflasi CO2. Insuflasi CO2 ke dalam rongga
peritoneum menyebabkan terjadinya pneumoperitoneum yang bermanfaat untuk
visualisasi selama prosedur laparoskopi. Insuflasi CO 2 ini juga meningkatkan
tekanan intraabdomen dan meningkatkan resistensi pembuluh darah sehingga
curah jantung menjadi turun sementara tekanan darah meningkat. Posisi pasien

53
bisa merubah respon ini. Pada saat posisi tredelenburg penurunan preload dan
peningkatan afterload tidak terlalu mencolok dibandingkan posisi anti
tredelenburg.9
Selama prosedur Laparoskopi, efek respirasi yang disebabkan oleh
insuflasi CO2 memegang peranan utama. Setelah insiflasi CO 2 terjadi hiperkapnia
selama beberapa menit dimana kenaikan CO 2 biasanya mencapai 30%, namun
keadaan ini akan menjadi stabil kembali selama satu jam sewaktu operasi.
Hiperkapnia ini dapat menimbulkan stimulasi simpatis dan berpotensi untuk
terjadi disritmia dan respiratori asidosis. Hal ini dapat dikoreksi dengan
meningkatkan ventilasi. Pengaruh tambahan dari pneumoperitoneum adalah efek
mekanik dari peningkatan tekanan intra abdomen yang menyebabkan penurunan
pulmonary compliance dan kapasitas residu fungsional serta peningkatan dead
space.9

4.2. Laparoskopi Cholesistektomi


Cholesistektomi diindikasikan pada pasien simtomatis yang terbukti
menderita penyakit batu empedu (cholelitiasis). Indikasi laparoskopi untuk
Cholesistektomi sama dengan indikasi open Cholesistektomi. 3 Keuntungan
melakukan prosedur laparoskopi pada cholesistektomi yaitu: laparoscopic
cholesistektomi menggabungkan manfaat dari penghilangan gallblader dengan
singkatnya lama tinggal di rumah sakit, cepatnya pengembalian kondisi untuk
melakukan aktivitas normal, rasa sakit yang sedikit karena torehan yang kecil dan
terbatas, dan kecilnya kejadian ileus pasca operasi dibandingkan dengan teknik
open laparotomi. Namun kerugiannya, trauma saluran empedu lebih umum terjadi
setelah laparoskopi dibandingkan dengan open cholesistektomi dan bila terjadi
pendarahan perlu dilakukan laparotomi.9
Kontra indikasi pada Laparoskopi cholesistektomi antara lain: penderita
ada resiko tinggi untuk anestesi umum; penderita dengan morbid obesity; ada

54
tanda-tanda perforasi seperti abses, peritonitis, fistula; batu kandung empedu yang
besar atau curiga keganasan kandung empedu; dan hernia diafragma yang besar.3
4.3. Manajemen Anestesi pada Laparoskopi
Pemilihan jenis anestesi memperhatikan beberapa faktor, antara lain :
umur, jenis kelamin, status fisik, jenis operasi, ketrampilan operator dan peralatan
yang dipakai, ketrampilan/kemampuan pelaksana anestesi dan sarananya, status
rumah sakit, dan permintaan pasien. Saat ini sekitar 70-75 % operasi pada rumah
sakit, dilakukan di bawah anestesi umum (general anesthesia). Operasi sekitar
kepala, leher, dada, dan abdomen sangat baik dilakukan dengan anestesi umum
inhalasi dengan pemasangan pipa endotrakheal, sejak diketahui bahwa dengan
metode ini jalan nafas dapat dikontrol dengan baik sepanjang waktu.5
Anestesi regional tidak digunakan rutin pada prosedur laparoskopi, karena
iritasi yang mengenai diafragma dari insuflasi CO2. bisa menyebabkan sakit pada
pundak, ditambah lagi waktu penyembuhan untuk pengembalian fungsi yang
lengkap bisa lama. Dengan lidocaine dosis rendah dan teknik spinal opioid, salah
satu studi menemukan bahwa nyeri pasca operasi setelah laparoskopi ginekologi
lebih sedikit dibandingkan dengan general anestesi dengan desflurane.5

4.3.1 Evaluasi Preoperasi

Secara umum sebelum memulai anestesi, dilakukan terlebih dulu


anamnesis dan pemeriksaan fisik. Karena perubahan tekanan hemodinamik dan
respirasi terjadi pada pasien selama prosedur laparoskopi, evaluasi sebelum
operasi difokuskan untuk mengidentifikasi pasien dengan penyakit paru berat dan
gangguan fungsi jantung.

4.3.2 Manajemen Intraoperatif.


Pasien biasanya menjalani prosedur laparoskopi dengan anestesi umum
dengan menggunakan monitor standar. Pengukuran tekanan darah noninvasive
dan kapnografi penting untuk mengikuti efek hemodinamik dan
pneumoperitoneum pada respirasi dan perubahan posisi. Dalam situasi tertentu,
monitor pengukuran tekanan arteri sebaiknya dilakukan. Indikasi tindakan

55
monitor tekanan arteri secara invasif antara lain: penyakit paru berat, end tidal
CO2. arteri yang sangat tinggi, dan fungsi ventrikel yang menurun. Sama halnya
dengan monitor pengukuran tekanan vena sentral, pemasangan kateter arteri paru
atau transesofageal echocardiografi bisa berguna untuk pasien dengan gangguan
fungsi jantung atau hipertensi paru.1
Akses untuk memasukkan obat secara intravena harus memadai pada
prosedur laparoskopi, seperti pada keadaan kehilangan darah. Akses untuk
memasukkan obat secara intravena yang adekuat adalah kunci dari resusitasi
cairan yang tepat untuk keadaan pendarahan yang tidak terkontrol atau emboli
gas. Akses ke vena sentral harus dipertimbangkan pada pasien dengan gangguan
vena perifer.1
Untuk mencegah aspirasi paru dan menjaga jalan nafas, perlu pemasangan
pipa endotrakeal. Pemasangan sebuah pipa orogastrik atau nasogastrik setelah
jalan nafas dikuasai dapat mengurangi tekanan udara lambung, menurunkan
resiko kerusakan gaster, dan memperbaiki visualisasi selama operasi. Pada saat
tekanan intraabdomen meningkat karena pneumoperitoneum, pipa endotracheal
dapat digunakan untuk memberikan tekanan ventilasi yang positif untuk
mencegah hipoksemia dan untuk mengekskresikan kelebihan CO 2 yang
diabsorbsi. Pneumoperitoneum dapat menyebabkan perubahan posisi pipa
endotrakeal pada pasien dengan trakea yang pendek, dimana ketika carina
bergerak ke atas pipa endotrakeal bisa masuk ke salah satu bronkus, sehingga
memasang pipa endotrakeal sebaiknya pada pertengahan trakea dan disarankan
untuk lebih sering mengecek posisi pipa endotrakeal pada pasien.1

Obat anestesi yang digunakan biasanya berupa volatile agent, opioid


intravena, dan obat pelumpuh otot. Ada studi yang mengatakan bahwa N2O
sebaiknya dihindari selama prosedur laparoskopi karena ini akan meningkatkan
pelebaran usus dan resiko mual pasca operasi. Penggunaan klinis N 2O ini masih
menjadi perdebatkan.1

Selama prosedur laparoskopi, pasien biasanya diposisikan Trendelenburg


atau Reverse Trendelenburg. Trauma saraf pada pasien sebaiknya dihindari
dengan mengamankan dan membantali seluruh ekstremitas. Tekanan pernafasan

56
bisa meningkat dengan perubahan posisi dan ventilasi, biasanya butuh
penyesuaian.1

Dua tujuan utama selama pemeliharaan pasien selama bedah laparoskopi


dengan anestesi umum adalah menjaga agar tetap normokapnia dan mencegah
ketidakseimbangan hemodinamik. Hiperkapnia biasanya berawal beberapa menit
setelah insuflasi CO2.. Untuk menormalkan kembali CO2 ini, ventilasi
ditingkatkan biasanya dengan meningkatkan RR (respiratory rate) dengan volume
tidal yang tetap. Jika hiperkapnia memburuk, misalnya pada kasus sulit prosedur
bedah diubah menjadi prosedur bedah terbuka. 1

Perubahan hemodinamik harus diantisipasi dan dimanajemen selama


prosedur laparoskopi. Jika tekanan darah meningkat maka pemberian kadar obat
anestesi inhalasi dapat ditingkatkan dan dapat ditambahkan dengan pemberian
obat seperti nitropusside (nitropusside menyebabkan reflek tackikardi, berpotensi
untuk menimbulkan keracunan sianida), esmolol, atau calcium channel blocker.
Pengobatan dengan alpha agonist seperti clonidine atau dexmedetomidine adalah
strategy lain (alpha agonist dapat menyebabkan penurunan MAC untuk anestesi
inhalasi, berpotensi menjadi bradikardi). Walaupun pasien yang sehat dapat
mentoleransi perubahan hemodinamik, namun pasien dengan fungsi jantung yang
buruk bisa dipengaruhi menjadi lebih buruk. Hal ini dapat dicegah dengan
penggunaan monitor secara invasif (arterial line, central line, transesofageal
ochocardiografi) selama prosedur berlangsung.11

4.3.3 Manajemen Pasca Operasi


Pada ruang pemulihan pasca anestesi, hiperkapnia bisa tetap terjadi selama
45 menit setelah prosedur selesai.1 Insiden mual muntah pasca operasi laparoskopi
dilaporkan cukup tinggi yaitu mencapai 42%.7 Mual muntah pasca operasi setelah
prosedur laparoskopi dipengaruhi oleh tipe dari prosedur, sisa dari
pneumoperitoneum, dan karakteristik pasien. Beberapa obat baik itu tunggal
maupun dalam kombinasi untuk mencegah dan mengobati komplikasi ini meliputi
metoclopramide, ondansentron, dan dexamethasone. Untuk menurunkan insiden
mual dan muntah pasca operasi dapat dilakukan dengan meminimalkan dosis

57
opioid dan mempertimbangkan pemberian propofol untuk anestesi. Karena
banyak prosedur laparoskopi direncanakan pada pasien rawat jalan, evaluasi pada
saat pasien akan pulang juga diperlukan.11
Penggunaan analgetik setelah prosedur laparoskopi umumnya lebih sedikit
dibandingkan dengan sesudah bedah terbuka. Modalitas penggunaan analgesik
harus menghilangkan nyeri yang bisa terjadi karena insisi, visceral, atau akibat gas
residu dan pneumoperitoneum. Manajemen nyeri diawali sebelum atau selama
prosedure pembedahan. Pemberian opioid intravena (fentanyl, morfine) dalam
kombinasi dengan NSAID intravena membantu agar pasien nyaman pada akhir
dari prosedur. Infiltrasi dari anestesi lokal, seperti bupivacaine pada port sites
kulit dan peritoneum memblock nyeri somatik dan visceral

BAB III
LAPORAN KASUS

1.1. IDENTITAS
1. Nama Lengkap : Tn. R.A
2. Umur : 80 tahun
3. Jenis Kelamin : laki-laki
4. Agama : Kristen Protestan
5. Suku/Bangsa : Wamena, Papua
6. Pendidikan : SD
7. Alamat : APO Gunung/ Desa Idadagi, Dogiyai
8. Pekerjaan : Pendeta
9. Tanggal MRS : 08 Februari 2019
10. Tanggal Operasi : 18 Februari 2019
11. No. Rekam Medik : 440873
1.2. ANAMNESA
Keluhan Utama : badan terasa lemas sejak ±1 minggu.
Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien dibawa oleh keluarganya ke IGD dengan keluhan badan lemas


dikarena tidak makan baik sejak 1 minggu yang lalu. Pasien juga merasakan

58
mual (+), muntah (+), dan nyeri perut kanan atas, serta terasa tidak enak
sejak 4 bulan yang lalu. Nyeri dirasakan seperti tertusuk-tusuk, hilang
timbul, tidak tembus ke belakang dan tidak menjalar ke tempat lain. Nyeri
tidak dipengaruhi oleh makanan saat makan. Demam tidak ada, batuk tidak
ada. BAB/BAK normal. Warna urin kuning seperti teh, BAB warna
kecoklatan. Warna dempul (-).
Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat keluhan yang sama sebelumnya tidak ada
- Riwayat batu ginjal : disangkal
- Riwayat hipertensi : disangkal
- Riwayat sakit jantung : disangkal
- Riwayat diabetes mellitus : disangkal
- Riwayat asma : disangkal
- Riwayat sakit maag : disangkal
- Riwayat operasi sebelumnya :disangkal
- Riwayat PPOK : ada
Riwayat Penyakit Keluarga
- Dalam keluarga tidak ada yang mempunyai keluhan serupa dengan
pasien
- Riwayat hipertensi : disangkal
- Riwayat diabetes mellitus : disangkal
- Riwayat asma : disangkal
- Riwayat sakit jantung : disangkal
- Riwayat sakit maag : disangkal
Riwayat Alergi
- Riwayat alergi makanan : disangkal
- Riwayat alergi obat : disangkal

1.3. PEMERIKSAAN FISIK


1. Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang

2. Kesadaran : Compos mentis


3. Tanda Vital : Tekanan darah : 120/70 mmHg
Nadi : 64 x/menit
Respirasi : 24 x/menit
Suhu badan : 36,4 0C
SpO2 : 98%
4. Kepala dan Leher
Kepala : Normocephal, tidak ada kelainan

59
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor (Ø
= 2 mm), refleks cahaya (+/+)
Telinga : Deformitas (-), sekret (-), lesi (-)
Hidung : Deformitas (-), sekret (-), lesi (-), perdarahan (-)
Mulut : Oral candidiasis (-), lidah kotor (-), faring hiperemis (-),
tonsil (T1=T1), karies (-), malampati skor II.
Leher :Trakea letaknya di tengah, pembesaran kelenjar getah bening
(-), peningkatan vena jugularis (-), pembesaran kelenjar tiroid (-)
5. Thoraks-Pulmo
Inspeksi : Simetris, statis dinamis, ikut gerak napas, jejas (-)
Palpasi : Vocal fremitus (Dextra = Sinistra)
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Suara napas vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
Thoraks-Cor
Inspeksi : Ictus Cordis tidak terlihat, thrill (-)
Palpasi : Ictus Cordis teraba pada ICS V Midline Clavicula Sinistra
Perkusi : Pekak (Batas Jantung dalam batas normal)
Auskultasi : Bunyi Jantung I-II Reguler, Murmur (-), Gallop (-)
6. Abdomen
Inspeksi : Tampak cembung, jejas (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal 3x/menit
Palpasi : Supel, nyeri tekan hipokondrium dextra (+), hepar: teraba
4 jari bawa arcus costae, lien : scuffner IV
Perkusi : Timpani, nyeri ketok CVA (-/-)
7. Ekstremitas : Akaral teraba hangat, kering dan merah (HKM), Udem
(-/-), CRT <2”
8. Genitalia : Tidak dievaluasi

1.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Pemeriksaan laboratorium : darah lengkap dan kimia lengkap
HASIL
PARAMETER NILAI RUJUKAN
(08-02-2019)
HGB 15,6 (g/dL) L : 13,5-16,6

60
P : 11,0-14,7
WBC 17.950 (10^3/µL)↑ 4,8-10,8
PLT 530 (10^3/µL) 150-450
Kalium 3,34 mEq/L ↓ 3,5-5,3
Natrium 139,9 mEq/L 135-148
Klorida 106,1 mEq/L ↑ 98-106
BUN 19,5 7,0 – 18,0 mg/dL
CREA 1,18 mg/dL ↑ <0,95 mg/dL
PT 9,8 10,2 – 12,1
APTT 22,8 24,8 – 34,4
GDS 176 74 - 109
SGOT 14,0 < 40,0 U/L
SGPT 13,6 < 40,0 U/L

b. USG ABDOMEN

1.5. KONSULTASI TERKAIT


1. Konsul Penyakit Dalam :
DM (-), Hipertensi (-), Asam Urat (-)  Toleransi operasi baik
2. Konsul Anestesi
- Informed Consent
- Puasa mulai pukul 24.00 WIT
- Jam 06.00 : Ukur tekanan darah
- Infus RL 20 tpm

61
- Sedia darah 2- 3 bag

1.6. PENENTUAN PS ASA


PS ASA 3 : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas
terganggu

1.7. PERSIAPAN ANESTESI


PS. ASA : 3
Informed Consent : +
Hari/Tanggal : 30/07/2018

Diagnosa Pra Bedah : Multiple Kolelithiasis


Diagnosa Pasca : Kolelithiasis dengan Kolesistitis
Bedah
Makan terakhir : 10 jam yang lalu
TB/BB : 152 cm/70 Kg
TTV : TD :120/80 mmHg,
N: 64x/m,
RR : 24 x/menit,
SB: 36,00 C,
SpO2 : 98 %
B1 : Airway bebas, thorax simetris, ikut gerak
napas,RR:20 x/m, palpasi: Taktil Fremitus D=S,
perkusi: sonor, suara napas vesikuler+/+, ronkhi-/-,
wheezing -/-,malampati score: II
B2 : Perfusi: hangat, kering, merah. Capilari Refill Time<
2 detik, BJ: I-II murni regular, konjungtiva anemis -/-
B3 : Kesadaran Compos Mentis, GCS: 15(E 4V5M6),
riwayat kejang (-), riwayat pingsan (-)
B4 : Tidak terpasang DC, BUN 10,0 mg/dL, creatinin 0,75
mg/dL
B5 : Perut tampak cembung, palpasi: nyeri tekan (-),
perkusi:tympani, BU (+) normal, hepar: teraba 4 jari
BAC, Lien: scuffner 4
B6 : Akral hangat (+), edema (-), fraktur (-), deformitas (-)

1.8. LAPORAN DURANTE OPERASI


Jenis Pembedahan Laparoskopi

Lama Operasi 5 jam (09.30 – 14.30 WIT)

Jenis Anestesi General Anastesi (GA)

Anestesi Dengan Sevofluran 20%

62
Teknik Anestesi
 Premedikasi

 Preoksigenasi ±5menit

 Intubasi: dengan ETT no.7,5


cuff (+), fiksasi (+)

 Induksi

 Medikasi
Pernapasan Control Respirasi

Posisi Supine (terlentang)

Infuse Tangan kanan, IV line abocath 18 G, cairan RL

Penyulit pembedahan -

Akhir Pembedahan TD:140/80; N:68 x/m; R:24x/menit; SpO2


100%
Terapi Khusus Pasca Bedah IVFD RL 20 tpm makro
Monitoring perdarahan
Penyulit Pasca Bedah -

Premedikasi - Phentanyl 50mg


- Sedacum 5 mg
Medikasi - Petidine 40 mg
- Recofol 100mg
- Tramus (atracurium) 20 mg
- Dexamethasone 10mg
- Raitidine 50 mg
- Ondansetron 8 mg
- Asam Tranexamat 1 gr
- Antrain 1 gr

1.9. LAPORAN OPERASI


Nama Pasien : Tn. RA
Umur : 80 tahun
Nomor DM : 44 08 73
Nama Ahli Bedah :dr. Erik Sp.B
Nama Asisten :dr. Agung (Residen Bedah)
Nama : Br. Arjuna
Perawat/Instrumen
Nama Ahli Anestesi :dr. Diah, Sp.An, KIC
Jenis Anastesi : General Anastesi

63
Diagnosis Pre : Multiple Kolelithiasis
Operatif
Diagnosis Post : Kolelithiasis + Kolesistitis
Operatif
Jaringan yang di : Kantung Empedu (Gall Bladder)
Eksis/Insisi
Tanggal Operasi / : 18-02-2019 jam 09.30- 14.30 WIT (lama operasi: 5 jam)
Jam mulai
Laporan Operasi:
1. SIO diisi
2. Pasien terlentang posisi supine di meja operasi dalam pengaruh General
anastesi
3. Asepsis dan antisepsis lapangan operasi dan sekitarnya
4. Pasang duck steril
5. Dilakukan insisi daerah umbilical menggunakan trokar untuk port I,
masukkan gas CO2 dan kamera identifikasi tampak adhesi + walling of
omentum ke vesica velea
6. Masukkan Trokar untuk port II: di hipokondriaka Dextra, port III: di
Epigastrium,Port IV: antara port I dan Port III
7. Colesystectomi ductus cysticus, ligase ductus cysticus + a. Cystica.
8. Kontrol Perdarahan
9. Jahit Luka operasi
10. Operasi selesai

Intruksi Post Operasi


1. Awasi KU dan vital sign ( TD, Nadi, Respirasi, SB, Saturasi O2)
2. IVFD RL, KaEnMg3, Clinimix
3. Injeksi Ciprofloxacin 2 x400 mg (IV)
4. Injeksi Metronidazole 3x500mg (iv)
5. Injeksi Ketorolac 3 x 30 mg (IV)
6. Injeksi Ranitidine 2 x 50 mg (IV)
7. Flatus (+) diet lunak

Observasi Durante Opp


Diagram 1. Diagram Observasi Tekanan Darah dan Nadi Durante Operasi

64
160
140
120
100
Nadi
80 Diast
60 ol
Sistol
40
20
0

1.10. TERAPI CAIRAN


Cairan yang Dibutuhkan Aktual
Pre Operasi BB: 70 Kg Input:
RL: 1000 cc
- Kebutuhan cairan harian:
40-50 cc / KgBB / hari
= 40 cc x 70 Kg = 2800 cc / hari Output:
50 cc x 70 Kg = 3500 cc / hari DC Urin (+), produksi:
-
- Kebutuhan cairan harian: IWL: 700 cc
2800cc – 3500cc/ hari

- Kebutuhan cairan per jam:


= 2800 cc : 24 jam = 116,6 cc / jam
3500 cc : 24 jam = 145,8 cc / jam

116,6 – 145,8 cc/jam = 117 – 146 cc/jam


- Kebutuhan cairan untuk pengganti puasa
10 jam:
10 jam x 116 cc = 1170 cc
10 jam x 146 cc = 1460 cc

65
1170 – 1460 cc / 10 jam
Durante - Kebutuhan cairan durante operasi 5 jam:
Operasi Input:
- Maintanmance RL 500 cc
Kebutuhan cairan per jam 117-146 cc Gelafusal 500 cc
Operasi 5 jam: 5x 117-146 =585-730 cc
NaCl 0,9% 500cc
- Replacement PRC 250cc
EBV = 70 cc x BB = 70 cc x 70 kg = 4900 cc
EBL = 10% = 490 cc Output:
20% = 980 cc DC Urin (+), produksi
100 cc
30% = 1470 cc
IWL: 700 cc
Perdarahan 250 cc (<10%),dapat diganti Perdarahan: ± 250 cc
dengan :
a. Cairan kristaloid :
(2 – 4)× EBL = (2 –4) ×490 cc
= 980-1960 cc
b. Cairan koloid
1 x EBL = 1 x 490 cc = 490 cc

- Lama operasi: 5 jam  prediksi cairan


yang hilang selama operasi dihitung dari:
Jenis operasi : Terapi cairan pada operasi
sedang Operasi : 6-8 cc/KgBB/jam

(6 -8cc/KgBB/jam) x 70 Kg x 1 jam
= 420-560cc/jam
= 420-560 cc

- Total kebutuhan cairan durante operasi:


= 5 x (420-560) = 2100 cc – 2800 cc

Balance Cairan: Input - Ouput Selama Pre Operasi hingga Durante Operasi:
- Input: Pre Operasi (Ringer Laktat 500 cc) + Durante Operasi (RL+ NaCl
0,9%, Gelafusal+ PRC=1750 cc) total 2250 cc

- Output: Pre Operasi (IWL 700 cc) + Durante Operasi (Perdarahan 250 cc
+ IWL 700 cc + Urin 100 cc)=1750

= 2250 cc – 1750cc = + 500 cc

Post Kebutuhan cairan harian :


Operasi 40-50 cc/KgBB/hari x BB (Kg)
= 40 cc x 70 Kg = 2800 cc / hari
50 cc x 70 Kg = 3500 cc / hari

66
- Kebutuhan cairan per jam:
= 2800 cc : 24 jam = 117 cc / jam
3500 cc : 24 jam = 146 cc / jam

1.12. FOLLOW UP PASIEN


Hari/ Follow Up
Tanggal
19-02- S : Nyeri daerah post opp (+), muntah (-), perdarahan (-)
2019 O : KU: tampak lemah, kes: composmentis
TD 110/80 mmHg, N: 84 x/menit, RR 20 x/menit, SB 36,8 C
B1: Airway bebas, napas spontan, tidak terpasang O2, RR: 20 x/m
B2:Perfusi hangat, kering, merah, anemis (-), CRT<2”, TD:120/80 mmHg,
Nadi 82x/m
B3: Kesadaran : Compos Mentis, Pupil bulat, Isokor 3 mm, refleks cahaya (+/
+)
B4 : Buang air kecil spontan (+)
B5 : Simetris, Supel, Cembung, Bu 3x/15 Detik ; Hepar/Lien/Renal: Tidak
Teraba Tesar; Nyeri Ketok (-), Nyeri Tekan
B6 : Deformitas (-) Fraktur (-) Edema (-)
A: Post laparoskopi colesystectomy (H1)
P: IVFD RL 20 tpm makro

67
Injeksi Ciprofloxacin 2 x 400 mg (IV)
Inj. Metronidazole 3x500mg (iv)
Drip Paracetamol 4x 500mg (iv)
Injeksi Antrain 3 x 1 gr (IV)
Inj. Ranitidine 2x 50mg (iv)
Target TD ≥ 110mmHg atau MAP ≥ 65 mmHg, Urine ≥ 30 cc/ jam

Hari/ Follow Up
Tanggal
20/02/2019 S : Nyeri daerah post opp (+), muntah (-), perdarahan (-)
O : KU: tampak lemah, kes: composmentis
TD 110/80 mmHg, N: 84 x/menit, RR 20 x/menit, SB 36,8 C
B1: Airway bebas, napas spontan, tidak terpasang O2, RR: 20 x/m
B2:Perfusi hangat, kering, merah, anemis (-), CRT<2”, TD:120/80 mmHg, Nadi 82x/m
B3: Kesadaran : Compos Mentis, Pupil bulat, Isokor 3 mm, refleks cahaya (+/+)
B4 : Buang air kecil spontan (+)
B5 : Simetris, Supel, Cembung, Bu 3x/15 Detik ; Hepar/Lien/Renal: Tidak Teraba Tesar;
Nyeri Ketok (-), Nyeri Tekan
B6 : Deformitas (-) Fraktur (-) Edema (-)
A: Post laparoskopi colesystectomy (H1)
P: IVFD RL 20 tpm makro

Injeksi Ciprofloxacin 2 x 400 mg (IV)

Inj. Metronidazole 3x500mg (iv)

Drip Paracetamol 4x 500mg (iv)

Injeksi Antrain 3 x 1 gr (IV)

Inj. Ranitidine 2x 50mg (iv)

Target TD ≥ 110mmHg atau MAP ≥ 65 mmHg, Urine ≥ 30 cc/ jam

Boleh pindah ruang perawatan Bedah

68
BAB IV
PEMBAHASAN

Seorang pasien laki-laki, 80 tahun, dibawa keluarganya ke IGD RSU Dok II


dengan keluhan badan terasa lemas sejak 1 minggu. Diketahui pasien tidak mau
makan dan minum selama seminggu karena merasa mual dan selalu muntah tiap
kali makan. Nyeri perut (+) bagian kanan atas, terasa seperti ditusuk-tusuk,
kadang muncul-kadang hilang, nyeri tidak menjalar sampai ke pinggang. Riwayat
penyakit dahulu: Riwayat PPOK (+), Riwaya lain seperti asma, alergi obat, DM,
hipertensi, penyakit jantung dan malaria disangkal. Riwayat penyakit turunan
pada keluarga seperti asma, alergi, DM dan hipertensi juga disangkal.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan: KU tampak lemah, Kesadaran
composmentis, Tanda-tanda vital: TD: 120/80 mmHg, N: 64x/m, RR: 24x/m,
SpO2: 98. Pemeriksaan laboratorium didapatkan Leukosit meningkat yakni:
17.900. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
(laboratorium & USG abdomen), pasien didiagnosis dengan Multiple
cholelithiasis. Pasien menjalani operasi Laparaskopi Colecystectomy dengan
general Anastesi.

4.1 Penetapan PS ASA

Physical Status : American Society of Anesthesiologist adalah


pemeriksaan fisik yang dilakukan untuk menentukan prognosis pada pasien
sebelum dilakukan tindakan anestesi. Hal ini bertujuan untuk mengetahui risiko
apa yang bisa terjadi pada pasien tersebut dan tindakan apa yang bisa dilakukan
untuk mencegah hal tersebut.

Teori Kasus
Kelas I : Pasien sehat PS ASA III
Pada kasus ini pasien tergolong PS ASA III

69
organik, fisiologik, karena pasien merupakan pasien geriatric
psikiatrik, biokimia. usia 80 tahun dengan low itake dan
Kelas II: Pasien Kolelithiasis Multiple yang memerlukan
dengan penyakit sistemik tindakan pembedahan dalam waktu lama.
Kolelithiasis adalah istilah medis yang
ringan atau sedang.
Kelas III : digunakan pada penyakit batu empedu. Batu
Pasien dengan empedu (gallstones) adalah massa padat
penyakit sistemik berat, yang terbentuk dari endapan mineral pada
sehingga aktivitas rutin saluran empedu.
terbatas.
Kelas IV :
Pasien dengan
penyakit sitemik berat, tidak
dapat melakukan aktivitas
rutin dan
penyakitnya merupakan
ancaman kehidupannya
setiap saat.
Kelas V :
Pasien sekarat yang
diperkirakan dengan atau
tanpa pembedahan hidupnya
tidak akan lebih dari 24 jam.

Hasil : Sudah tepat

70
4.2. Penentuan Jenis Anestesi, Mengapa General Anestesi?

Teori Kasus
Penatalaksanaan anestesi Pada kasus ini teknik anestesi yang dipakai
pada kasus ini, dapat general anestesi inhalasi karena pada kasus
dikerjakan dengan general bedah abdomen laparaskopi yang
anestesi (anestesi umum). membutuhkan waktu lama dan efek
Anestesi umum dipilih pada anastesia pada daerah yang bisa dijangkau
pasien ini mengingat dengan pemberian anestesi general / umum.
beberapa alasan, yaitu sulit Jika yang dipilih adalah anestesi regional
dilakukan pada saat pasien atau lokal, maka tidak sesuai dengan area
sadar karena menimbulkan yang akan dilakukan pembedahan.
ketidaknyamanan dan
kecemasan pada pasien, pada
anestesi umum juga pasien
tidak sadar sehingga
mencegah ansietas selama
prosedur medis berlangsung,
efek amnesia meniadakan
memori buruk pasien yang
didapat dari ansietas dan
berbagai kejadian
intraoperative yang mungkin
memberikan trauma
psikologis, serta
memungkinkan dilakukannya
prosedur yang memakan
waktu lama.
Hasil : Sudah tepat

4.3 Penentuan Obat Anestesi


Pada kasus ini dilakukan pembedahan pada seorang pasien geriatri,
laki-laki usia 80 tahun dengan diagnosis multiple colelithiasis. General

71
anastesi yang dipilih yakni anestesi inhalasi menggunakan Sevofluran.
Sevofluran merupakan halogenasi eter yang memiliki kelebihan dibanding
obat inhalasi lainnya, sedangkan dibandingkan dengan halotan yang 20%
dimetabolisme dihepar, sehingga penggunaan halotan dikontraindikasikan
pada penderita dengan gangguan hepar seperti pada kasus ini.
Pada teknik general anastesi dilakukan premedikasi, yakni pasien
diberikan obat – obatan pendahulu untuk pelaksanaan anastesia berupa
midazolam, petidine, dan fentanyl dihydrogenum citrate. Hal ini sesuai
dengan teori yang menyatakan bahwa pemberian midazolam untuk
meredakan kecemasan, sedangkan pemberian petidin dan fentanyl untuk
meredakan rasa sakit. Pemberian premedikasi (pemberian obat sebelum
induksi anestesi) selama 1-2 jam dengan tujuan untuk melancarkan induksi,
rumatan dan bangun dari anestesia, yaitu diantaranya meredakan kecemasan
dan ketakutan, memperlancar induksi anestesi, mengurangi sekresi kelenjar
ludah dan bronkus, meminimalkan jumlah obat anestetik, mengurangi mual-
muntah pasca bedah, menciptakan amnesia, mengurangi isi cairan lambung,
mengurangi refleks yang membahayakan.
Midazolam (sedacum) merupakan golongan benzodiazepin memiliki
efek yang berguna untuk premedikasi meredakan ansietas, sedasi dan
amnesia. Amnesia yang ditimbulkan akan mengurangi memori buruk yang
dialami pasien akibat suatu tindakan karena obat ini bekerja pada sistem
limbik dan menimbulkan amnesia antero grade. Dengan reseptor spesifik
GABA akan meningkatkan afinitas neurotransmiter inhibisi dengan reseptor
GABA. Ikatan ini akan membuka kanal Cl¯ yang menyebabkan
meningkatnya konduksi ion Cl¯ sehingga menghasilkan hiperpolarisasi pada
membran sel pasca sinap dan saraf pasca sinap menjadi resisten untuk
dirangsang. Pada pasien ini diberikan midazolam 5 mg secara intravena, hal
ini dikarenakan pada pemberian intramuskular dapat menimbulkan rasa nyeri
pada daerah suntikan. Dosis midazolam 1-2,5 mg IV, (mula kerja 30-60
detik, dengan efek puncak 2-3 menit, lama kerja 15-80 menit).

Selain itu pada kasus ini, pasien diberikan petidin dan fentanyl yang
merupakan analgesik opioid. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan

72
bahwa indikasi pemberian petidin dan fentanyl yaitu untuk analgesia
perioperatif, premedikasi. Petidin bersifat seperti atropin menyebabkan
kekeringan mulut, kekaburan pandangan, dan takikardia. Dosis yang besar
menimbulkan depresi napas dan hipotensi. Sebagai analgetik, obat ini bekerja
pada talamus dan substansia gelatinosa medula spinalis. Dosis petidin
intramuskular 1-2 mg/kgBB (morfin 10 x lebih kuat) dapat diulang tiap 3-4
jam. Dosis intravena 0,2-0,5 mg/kgBB. Dosis fentanil 1-2mcg/ kg BB.

Pelumpuh otot yang digunakan pada kasus ini berupa Tramus


(Atrakurium) 20 mg dan 10 mg. Atrakurium merupakan pelumpuh otot non-
depolarisasi berikatan dengan reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi tak
menyebabkan depolarisasi. Hanya menghalangi asetil-kolin menempatinya,
sehingga asetilkolin tak dapat bekerja. Dosis awal atrakurium 0,5-0,6 mg/kg,
sedangkan dosis rumatan 0,1 mg/kg. Umumnya, usia tidak mempengaruhi
farmakodinamik pelumpuh otot. Atracurium menjadi pilihan untuk usia
lanjut karena atracurium bergantung pada sebagian kecil metabolisme hati
dan ekskresi, tidak terjadi perubahan klirens dengan bertambahnya usia,
yang menunjukkan adanya jalur eliminasi alternatif.

Selain itu juga pasien diberikan ranitidin dan ondansentron. Ranitidin


merupakan golongan obat antihistamin reseptor 2 (AH2). Mekanisme kerja
ranitidin adalah menghambat reseptor histamin 2 secara selektif dan
reversibel sehingga dapat menghambat sekresi cairan lambung. Ranitidin
mengurangi volume dan kadar ion hidrogen dai sel parietal akan menurun
sejalan dengan penurunan volume cairan lambung. Ondansetron suatu
antagonis reseptor 5HT3 yang bekerja secara selektif dan kompetitif dalam
mencegah maupun mengatasi mual dan muntah. anestesi umum denngan
inhalasi dan intravena. Pada pasien ini juga diberikan asam traneksamat 1000
mg, pemberian antifibrinolitik seperti aprotinin, asam ε-aminokaproik, atau
asam traneksamat dapat mencegah kehilangan banyak darah intraoperative
sehingga pada kasus ini diberikan asam traneksamat agar dapat mencegah
kehilangan banyak darah saat intraoperatif.

73
Deksamethasone adalah glukokortikoid sintetik dengan aktivitas
imunosupresan dan anti-inflamasi. Sebagai imunosupresan deksamethasone
bekerja dengan menurunkan respon imun tubuh terhadap stimulasi rangsang.
Aktivitas anti-inflamasi deksamethasone dengan jalan mengurangi inflamasi
dengan menekan migrasi neutrofil, mengurangi produksi mediator inflamasi,
dan menurunkan permeabilitas kapiler yang semula tinggi dan menekan
respon imun.
4.4 Critical Point pada kasus: apa saja yang harus diperhatikan selama
perioperatif

Problem Actual Potensial Antisipasi


List
B1 Airway bebas, Mallampati Aspirasi oleh sekresi O2 nasal atau
score: II ; gigi tanggal (+) saliva, masker sesuai
Breathing: thorax simetris,
‘jatuhnya’pangkal lidah. saturasi O2,
ikut gerak napas, RR:22 x/m,
chin lift,
palpasi: Vocal Fremitus D=S,
suction bila
perkusi: sonor, suara napas
perlu
vesikuler +/+, ronkhi-/-,
wheezing -/-
B2 Perfusi: hangat, kering, Hipovolemik, Overload, Resusitasi
merah. Capilary Refill Time < Bradikardia, cairan,
2 detik, BJ: I-II regular, monitoring
murmur (-) gallop (-) Nadi : vital sign
64 x/m
B3 Kesadaran Compos Mentis, Penurunan kesadaran, Observasi
GCS: (E4V5M6), riwayat peningkatan TIK akibat kesadaran,
kejang (-), riwayat pingsan obat anestesi tanda-tanda
(-) TTIK
B4 Terpasang DC, produksi urin Retensi urin Rehidrasi,
(+), warna kuning tua Monitoring
produksi urin
B5 Simetris, cembung, BU Risiko refluks Pemberian
2x/15 Detik, regio gastroesofageal saat Ranitidin dan
epigastrium, hypocondriach operasi. Ondansentron
dextra sinistra;
B6 Akral hangat (+), edema (-), Posisikan

74
fraktur (-), deformitas (-) pasien dengan
tepat

4.5 Terapi Cairan


Selama perioperatif cairan kristaloid yang diberikan pada pasien adalah
RL dan NaCl 0,9% yang merupakan larutan isotonik yang memiliki
komposisi serupa dengan cairan ekstraseluler, mengandung ion-ion yang
terdistribusi kedalam cairan intravaskular sehingga bermanfaat untuk
mengembalikan keseimbangan elektrolit. Pada beberapa penelitian
menganjurkan cairan kristaloid untuk digunakan sebagai preload pada
tindakan anestesi spinal. Hal ini dikarenakan cairan kristaloid ini mudah
didapat, komposisi menyerupai plasma (acetated ringer, lactated ringer),
bebas reaksi anafilaksis. Pemberian kristaloid saat dilakukan anestesi umum
lebih efektif dalam menurunkan insidensi terjadinya hipotensi, karena
dengan cara ini kristaloid masih dapat memberikan volume intravaskuler
tambahan (additional fluid) untuk mempertahankan venous return dan curah
jantung. Pada beberapa penelitian prehidrasi dengan larutan kristaloid 10-
20 ml/kg berat badan efektif mengkompensasi pooling darah di pembuluh
darah vena akibat blok simpatis atau pemberian cairan NaCl 500 - 1000 ml
secara intravena sebelum anestesi spinal dapat menurunkan insidensi
hipotensi.
Terapi cairan pada pasien ini adalah sebagai berikut :
- Pada preoperatif dalam terapi cairan pada Bab III, dapat dilihat perhitungan
kebutuhan cairan yang dibutuhkan pasien ini yaitu 1170 - 1460 cc, untuk
mengganti kebutuhan cairan pengganti selama 10 jam puasa. Cairan
preoperatif yang didapat oleh pasien ini adalah NaCl sebanyak 500 cc,
sehingga dianggap kebutuhan pre-operatif pasien ini belum terpenuhi.
- Pada tahap durante operatif yang berlangsung selama 5 jam, kebutuhan cairan
yang dibutuhkan yaitu 2100-2800 cc. Pada pasien ini terdapat perdarahan ±
250 cc.
- Pada tahap post operatif, kebutuhan cairan diberikan dalam 24 jam setelah
operasi yaitu sebanyak 2800 – 3504 cc. Selama perawatan, kebutuhan cairan

75
post operasi tersebut dapat terpenuhi dengan pemberian cairan post operatif
adalah NaCl 2000cc.

BAB V
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
 Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang,
pasien didiagnosis dengan Multiple Kolelithiasis. Klasifikasi status
anestesi digolongkan dalam PS ASA III.
 Pasien akhirnya menjalani operasi Laparaskopi Colecystectomy dan
dipilih anestesi General Inhalasi dengan menggunakan Sevofluran+ O2
dengan dosis 20 %

1.2 Saran

76
Pada pasien Geriatri yang akan melakukan operasi sebaiknya
informed consent harus selalu dilakukan dokter di setiap langkah
pemeriksaan dan tindakan. Harus disampaikan terlebih dahulu semua
informasi yang dapat dipahami oleh pasien dan keluarga, termasuk
menyampaikan kondisi terburuk yang mungkin terjadi, seperti prognosis
penyakit, kondisi penyembuhan pascapembedahan atau rencana home care
bila pasien memasuki kondisi terminal.
Penatalaksanaan anestesi perlu dilakukan dengan baik mulai dari
persiapan pre anestesi, tindakan anestesi hingga observasi post operasi,
terutama menyangkut resusitasi cairan yang akan sangat mempengaruhi
kestabilan hemodinamik perioperative.

77
DAFTAR PUSTAKA

1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan R. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi


Kedua . Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2010.
2. Wirjoatmodjo Karjadi. Anestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar untuk
Pendidikan S1 Kedokteran. Jakarta. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan Nasional. 2009.
3. Snell RS. Anatomi klinik. Edisi ke-6. Jakarta: EGC. 2005
4. Darmojo B. Geriatri Ed. 4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2009. Hal 3-4;
56-66.
5. Allison B., Forest Sheppard. Geriatric Anesthesia. In : World Journal of
Anesthesiology. USA: Departemen of Anesthesiology National Naval
Medical Centre; 2009;4:323-336.
6. Samsuhidajat R, De Jong W. 2004. Buku ajar Ilmu bedah Edisi 2. Penerbit
EGC: Jakarta. Hal. 756-764.
7. Muhiman M, Thaib MR, Sunatrio S. Anastesiologi. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2011.
8. Kaswiyan U. 2010. Terapi Cairan Perioperatif. Bagian Anestesiologi dan
Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran.
9. Kumra VP. Issues in geriatric anaesthesia. SAARC J. Anesthesia. New Delhi,
2008. Hal:39 – 49
10. Miller R. Miller’s Anesthesia 2 Ed. 7. 71:2261-73
11. Shafer SL. The Pharmacology of Anesthetic Drugs In Elderly Patient.
Journal of Anesthesiology. England: Departemen of Anesthesiology;
2000;18:1-29.

78

Anda mungkin juga menyukai