Anda di halaman 1dari 34

Ikterus Obstruksif ec Batu Distal CBD

Oleh :
Fira Ardianti Fabanyo
17014101005

Residen Pembimbing :
Dr. Silvya Feronica

Supervisor Pembimbing :
Dr. Ferdinand Tjandra, Sp.B - KBD

BAGIAN ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2018
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dikoreksi dan dibacakan laporan kasus dengan judul


“ IKTERUS OBSTRUKSIF EC BATU DISTAL CBD” pada tanggal 2018

Residen Pembimbing

Dr. Silvya Feronica

Supervisor Pembimbing

Dr. Ferdinand Tjandra, Sp.B - KBD

i
BAB I
PENDAHULUAN

Kata ikterus (jaundice) berasal dari kata Perancis ‘jaune’ yang berarti
kuning. Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya
yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat kadarnya
dalam sirkulasi darah. Untuk pendekatan diagnosis terhadap pasien ikterus perlu
ditinjau kembali patofisiologi terjadinya peninggian bilirubin indirek atau direk..1
Ikterus obstruksif adalah ikterus yang disebabkan oleh gangguan aliran
empedu antara hati dan duodenum yang terjadi akibat adanya sumbatan
(obstruksi) pada saluran empedu ekstra hepatika. Ikterus obstruksi disebut juga
ikterus kolestasis dimana terjadi stasis sebagian atau seluruh cairan empedu dan
bilirubin ke dalam duodenum.2
Angka kejadian obstruksi bilier (kolestasis) diperkirakan 5 kasus per 1000
orang per tahun di AS. Mayoritas kasus yang terbanyak adalah kolelitiasis (batu
empedu). Risiko terjadinya kolelitiasis terkenal dengan kriteria 4F yaitu female,
fourty, fat, dan fertile. Koledokolitasis merupakan terbentuknya satu atau lebih
batu empedu di saluran empedu, bisa pembentukan primer di saluran empedu atau
ketika batu empedu lewat dari kantung empedu melalui duktus sistikus menuju
saluran empedu. Diagnosis dapat didapatkan melalui klinis maupun pemeriksaan
penunjang. Penanganan yang dilakukan dapat berupa ekstraksi batu atau
kolesistektomi.2

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI SISTEM HEPATOBILIER


Hepar merupakan organ visceral terbesar yang ada di rongga
abdomen.Berada di bagian atas rongga abdomen yaitu region hipokondrium
dextra dan epigastrium.Permukaan hepar terbagi menjadi dua, permukaan
diafragmatika dan permukaan visceral.Permukaan diafragmatika meliputi daerah
anterior, superior, dan posterior.Permukaan visceral meliputi daerah inferior.3
Permukaan diafragmatika terletak di bawah diafragma.Permukaan
diafragma terkait dengan subphrenic dan hepatorenal recess.Subphrenic recess
memisahkan permukaan diafragmatika hepar dari diafragma dan terbagi dibagi
menjadi dua area dextra dan sinistra oleh ligament falciform. Hepatorenal recess
merupakan bagian dari kavum peritoneum pada sisi kanan diantara hepar dan
ginjal kanan dan kelenjar suprarenal kanan.3
Permukaan visceral hepar dilapisi dengan peritoneum viseral, kecuali fossa
kandung empedu dan porta hepatis. Struktur yang terkait, meliputi pars anterior
dextra gaster, pars superior duodenum, lesser omentum, kandung empedu,
fleksura kolon dextra, kolon transversum sisis kanan, ginjal kanan, dan kelenjar
suprarenal kanan.3
Hepar, kandung empedu, dan percabangan bilier muncul dari tunas
ventral (divertikulum hepatikum) dari bagian paling kaudal foregut diawal
minggu keempat kehidupan. Bagian ini terbagi menjadi dua bagian
sebagaimana bagian tersebut tumbuh diantara lapisan mesenterik ventral:
bagian kranial lebih besar (pars hepatika) merupakan asal mula hati/hepar, dan
bagian kaudal yang lebih kecil (pars sistika) meluas membentuk kandung
empedu, tangkainya menjadi duktus sistikus. Hubungan awal antara
divertikulum hepatikum dan penyempitan foregut, nantinya membentuk
duktus biliaris. Sebagai akibat perubahan posisi duodenum, jalan masuk
duktus biliaris berada disekitar aspek dorsal duodenum.4

2
Sistem biliaris secara luas dibagi menjadi dua komponen, jalur intra-
hepatik dan ekstra-hepatik. Unit sekresi hati (hepatosit dan sel epitel bilier,
termasuk kelenjar peribilier), kanalikuli empedu, duktulus empedu (kanal
Hearing), dan duktus biliaris intrahepatik membentuk saluran intrahepatik
dimana duktus biliaris ekstrahepatik (kanan dan kiri), duktus hepatikus
komunis, duktus sistikus, kandung empedu, dan duktus biliaris komunis
merupakan komponen ekstrahepatik percabangan biliaris.5
Duktus sistikus dan hepatikus komunis bergabung membentuk duktus
biliaris. Duktus biliaris komunis kira-kira panjangnya 8-10 cm dan diameter
0,4-0,8 cm. Duktus biliaris dapat dibagi menjadi tiga segmen anatomi:
supraduodenal, retroduodenal, dan intrapankreatik. Duktus biliaris komunis
kemudian memasuki dinding medial duodenum, mengalir secara tangensial
melalui lapisan submukosa 1-2 cm, dan memotong papila mayor pada bagian
kedua duodenum. Bagian distal duktus dikelilingi oleh otot polos yang
membentuk sfingter Oddi. Duktus biliaris komunis dapat masuk ke duodenum
secara langsung (25%) atau bergabung bersama duktus pankreatikus (75%)
untuk membentuk kanal biasa, yang disebut ampula Vater.5
Traktus biliaris dialiri vaskular kompleks pembuluh darah disebut
pleksus vaskular peribilier. Pembuluh aferen pleksus ini berasal dari cabang
arteri hepatika, dan pleksus ini mengalir kedalam sistem vena porta atau
langsung kedalam sinusoid hepatikum.6

B. KANDUNG EMPEDU

Kandung empedu merupakan kantung dengan bentuk seperti buah pir


dengan panjang 7 sampai 10 cm dan rata-rata kapasitas penyimpanan 30 sampai
50 ml. Ketika terjadi obstruksi, kandung empedu dapat terdistensi dan bisa
menampung sampai 300 ml. kandung empedu terletak di fossa pada permukaan
viseral hepar. Kandung empedu terbagi menjadi empat area, meliputi fundus,
korpus, infundibulum, dan neck. Fundus berbentuk melengkung yang normalnya
memiliki jarak 1 sampai 2 cm dari tepi hepar. Fundus merupakan area yang
memiliki paling banyak otot polos, sebaliknya korpus terdiri dari banyak jaringan

3
elastin sehingga berfungsi sebagai area penyimpanan. Neck akan semakin
membesar sampai menjadi infundibulum atau Hartmann’s pouch. Kandung
empedu dilapisi oleh epitel kolumnar selapis yang mengandung kolesterol dan
lemak. Mukus yang disekresi ke dalam kandung empedu berasal dari kelenjar
tubuloalveolar yang berada di mukosa yang melapisi infundibulum dan neck
kandung empedu. Kelenjar tubuloalveolar ini tidak ditemukan di korpus dan
fundus kandung empedu.

C. DUKTUS BILIER
Duktus bilier ekstrahepatik terdiri dari duktus hepatica dextra dan sinistra,
common hepatic duct, cystic duct, dan common bile duct (choledochus). Common
bile duct masuk ke duodenum melalui sfingter Oddi. Duktus hepatica sinistra
lebih panjang daripada duktus hepatika dextra dan cenderung mengalami dilatasi
jika terjadi obstruksi distal. Common hepatic duct memiliki panjang 1 sampai 4
cm dengan diameter sekitar 4 mm. Common bile duct memiliki panjang 7 sampai
11 cm dan diameter 5 sampai 10 mm. Duktus empedu ekstrahepatika dilapisi oleh
mukosa kolumnar dengan sejumlah kelenjar mukus pada common bile duct.
Terdapat jaringan fibroareolar yang mengandung sel otot polos yang mengelilingi
mukosa.

D. FISIOLOGI SISTEM HEPATOBILIER

1. FISIOLOGI HEPAR

Hepar memiliki berbagai macam fungsi, meliputi:5 1. Fungsi vaskular


untuk menyimpan dan menyaring darah. Ada dua macam darah pada hepar, yaitu
darah portal dari usus dan darah arterial, yang keduanya akan bertemu dalam
sinusoid. Darah yang masuk sinusoid akan difilter oleh sel Kupffer.5 2. Fungsi
metabolik. Hepar memegang peran penting pada metabolisme karbohidrat,
protein, lemak, vitamin.5 3. Fungsi ekskretorik. Banyak bahan di ekskresi hepar di
dalam empedu, seperti bilirubin, kolesterol, asam empedu dan lain-lain.7

4
Fungsi sintesis. hepar merupakan sumber albumin plasma, banyak
globulin plasma, dan banyak protein yang berperan dalam hemostasis.7

2. FISIOLOGI EMPEDU

Empedu disekresikan dalam dua tahap oleh hepar, yaitu pertama, bagian
awal disekresikan oleh hepatosit. Sekresi awal ini mengandung sejumlah besar
empedu, kolesterol, dan zat-zat organik lainnya. Kemudian empedu disekresikan
ke dalam kanalikuli biliaris. Kedua, empedu mengalir di dalam kanalikuli menuju
septa interlobularis dan kemudian ke dalam duktus yang lebih besar, akhirnya
mencapai duktus hepatikus dan duktus biliaris komunis.5 Dalam perjalanannya
melalui duktus-duktus biliaris, bagian kedua dari sekresi hepar ditambahkan ke
dalam sekresi empedu yang pertama. Sekresi tambahan ini berupa larutan ion-ion
natrium dan bikarbonat encer yang disekresikan oleh sel-sel epitel sekretoris yang
mengelilingi duktulus dan duktus. Sekresi kedua ini dirangsang terutama oleh
sekretin, yang menyebabkan pelepasan sejumlah ion bikarbonat tambahan
sehingga menambah jumlah ion bikarbonat dalam sekresi pankreas untuk
menetralkan asam yang di keluarkan dari lambung ke abdomen.7
Empedu utamanya terdiri dari air, elektrolit, garam empedu, protein, lipid,
dan pigmen empedu. Empedu memiliki natrium, kalium, kalsium, dan klorin
dengan konsentrasi yang sama pada plasma atau cairan ekstrasel. Empedu
memiliki pH yang netral atau sedikit basa, tapi bervariasi tergantung diet.
Peningkatan konsumsi protein membuat pH empedu menjadi lebih asam.7
Empedu utamanya terdiri dari air, elektrolit, garam empedu, protein, lipid,
dan pigmen empedu. Empedu memiliki natrium, kalium, kalsium, dan klorin
dengan konsentrasi yang sama pada plasma atau cairan ekstrasel. Empedu
memiliki pH yang netral atau sedikit basa, tapi bervariasi tergantung diet.
Peningkatan konsumsi protein membuat pH empedu menjadi lebih asam.7
Sekitar 80% bilirubin terkonjugasi akan diabsorbsi di ileum terminal.
Sisanya akan di dehydroxylated (deconjugated) oleh bakteri usus, menjadi asam
empedu sekunder deoxycholate dan lithocholate. Deoxycholate dan lithocholate
akan diabsorbsi di kolon, lalu ditranspor ke , dikonjugasi, dan disekresi ke dalam
empedu. Sekitar 95% asam empedu di reabsorbsi dan kembali ke system vena

5
porta ke yang disebut sirkulasi enterohepatika. Sekitar 5% akan di ekskresi di
feses.7

C. KLASIFIKASI

Berikut ini merupakan klasifikasi ikterus obstruktif secara garis besar antara lain:
1. Kolestasis intrahepatik. Aliran empedu dapat terjadi dimana saja, dari
mulai sel hepar (kanalikulus), sampai ampula Vater. Penyebab paling
sering kolestatis intrahepatik adalah hepatitis, keracunan obat, penyakit
hepar akibat alkohol dan penyakit hepar autoimun. Penyebab yang kurang
sering adalah sirosis hepar bilier primer, kolestasis pada kehamilan,
karsinoma metastasis.
2. Kolestasis ekstrahepatik. Penyebab paling sering pada kolestasis
ekstrahepatik adalah batu ductus choledochus dan kanker pankreas.
Penyebab lainnya relatif lebih jarang adalah striktur jinak (operasi
terdahulu) pada duktus koledokus, karsinoma duktus koledokus,
pankreatitis atau pseudocyst pankreas dan cholangitis
sclerosing.kolestasis mencerminkan kegagalan sekresi empedu.
Mekanismenya sangat kompleks, bahkan juga pada obstruksi mekanisme
empedu.8

Retensi bilirubin menghasilkan campuran hiperbilirubinemia dengan


kelebihan bilirubin konjugasi masuk ke dalam urin. Tinja sering berwarna pucat
karena lebih sedikit yang bisa mencapai saluran cerna usus halus. Peningkatan
garam empedu dalam sirkulasi selalu diperkirakan sebagai penyebab keluhan gatal
(pruritus), walaupun sebenarnya belum jelas, sehingga patogenesis gatal masih
belum bisa diketahui dengan pasti.

E. ETIOLOGI

6
Secara umum, obstruksi bilier menyebabkan terjadinya ikterus obtruktif.
Ikterus (jaundice) yaitu perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya
(membran mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang
meningkat kadarnya dalam darah. Bilirubin sebagai akibat pemecahan cincin
heme dari metabolisme sel darah merah. Ikterus yang ringan dapat dilihat paling
awal pada sklera mata, dan ini menunjukkan kadar bilirubin sudah berkisar antara
2-2,5 mg/dl, sedangkan jika ikterus jelas dapat dilihat dengan nyata maka
bilirubin diperkirakan sudah mencapai 7 mg/dl. Obstruksi bilier (kolestasis) secara
etiologi dibedakan menjadi 2 bagian yaitu intrahepatik dan ekstrahepatik, yaitu :2,7
Kolestasis intrahepatik umumnya terjadi pada tingkat hepatosit atau
membran kanalikuli. Penyebab tersering kolestasis intrahepatik adalah hepatitis,
keracunan obat, penyakit hepar karena alkohol dan penyakit hepatitis autoimun.
Penyebab yang kurang sering adalah sirosis hepar bilier primer, kolestasis pada
kehamilan, karsinoma metastatik, dan penyakit-penyakit lain yang jarang.
Peradangan intrahepatik mengganggu ekskresi bilirubin terkonjugasi dan
menyebabkan ikterus. Hepatitis A merupakan penyakit self limited dan
dimanifestasikan dengan adanya ikterus yang timbul secara akut. Hepatitis B dan
C akut sering tidak menimbulkan ikterus pada tahap awal (akut), tetapi dapat
berjalan kronik dan menahun, dan mengakibatkan gejala hepatitis menahun atau
bahkan sudah menjadi sirosis hepar. Alkohol dapat mempengaruhi gangguan
pengambilan empedu dan sekresinya, sehingga mengakibatkan kolestasis.
Penyebab yang lebih jarang adalah hepatitis autoimun. Dua penyakit autoimun
yang berpengaruh pada sistem bilier tanpa terlalu menyebabkan reaksi hepatitis
adalah sirosis bilier primer dan kolangitis sklerosing. Sirosis bilier primer
merupakan penyakit hepar bersifat progresif dan terutama mengenai perempuan
paruh baya. Gejala yang mencolok adalah rasa lelah dan gatal yang sering
merupakan penemuan awal, sedangkan kuning merupakan gejala yang timbul
kemudian. Kolangitis sklerosis primer (Primary Sclerosing Cholangitis/PSC)
merupakan penyakit kolestatik lain, lebih sering pada laki-laki, dan sekitar 70%
menderita penyakit peradangan usus. PSC dapat mengarah pada kolangio
karsinoma. Obat seperti anabolik steroid dan klorpromazid sekarang diketahui
merupakan penyebab langsung dari kolestasis dengan mekanisme yang tidak

7
diketahui. Golongan diuretik tiazid dapat meningkatkan resiko terbentuknya batu
empedu. Amoksisillin dengan asam klavulanat (Augmentin) sering menyebabkan
kolestasis akut yang menyerupai keadaan obstruksi bilier. Drug induced jaundice
memberikan gejala pruritus, namun hanya terdapat pada sebagian pasien, dan
gejala ini segera hilang apabila penggunaan obat tersebut dihentikan.
Obstruksi bilier (kolestasis) ekstrahepatik, Penyebab paling sering
obstruksi bilier (kolestasis) ekstrahepatik adalah batu duktus koledokus dan
kanker pankreas. Penyebab lainnya yang relatif jarang adalah striktur jinak
(operasi terdahulu) pada duktus koledokus, karsinoma duktus koledokus,
pankreatitis, dan kolangitis sklerosing, AIDS-related cholangiopathy, TB bilier,
dan infeksi parasit (Ascaris lumbricoides). Kolestasis mencermin kegagalan
seksresi empedu.7

F. PATOFISIOLOGI
Metabolisme bilirubin terjadi dalam tiga fase antara lain fase prehepatik,
intrahepatik dan posthepatik. Disfungsi pada salah satu atau lebih dari
fase ini dapat menimbulkan jaundice.9

1. Fase Prehepatik 

Tubuh manusia memproduksi kurang lebih 4 mg/kg BB bilirubin


perhari dari metabolisme heme.Sekitar 80% dari heme merupakan
hasil dari katabolisme eritrosit, dengan 20% sisanya dihasilkan dari
erithropoiesis yang tidak efektif serta perombakan mioglobin otot dan
sitokrom. Bilirubin yang terbentuk akan ditransportasi dari plasma
menuju hepar untuk dikonjugasikan dan diekskresi.5,6

2. Fase Intrahepatik 

8
Bilirubin tak terkonjugasi bersifat larut lemak dan tidak larut air, dan
karena itu dapat dengan mudah melewati blood-brain barrier atau
melewati plasenta. Di dalam hepatosit, bilirubin tak terkonjugasi akan
dikonjugasi dengan gula yang dikatalis enzim glucoronosyl
transferase dan akhirnya larut dalam cairan empedu.5,6

3. Fase Pascahepatik 

Setelah larut dalam empedu, bilirubin ditransportasikan melalui


duktus biliaris dan duktus cystic untuk disimpan sementara dalam
kandung empedu, atau melewati ampula Vater dan masuk
keduodenum. Di dalam usus, sejumlah bilirubin akan diekskresikan di
dalam tinja, sementarasisanya dimetabolisme oleh flora normal usus
menjadi urobilinogen dan kemudian akan direabsorbsi. Sebagian besar
urobilinogen akan difiltrasi dari darah oleh ginjal dan diekskresikan di
dalam urin. Sebagian kecil urobilinogen diabsorbsi di dalam usus dan
direekskresi ke dalam empedu.5,6

4. GEJALA KLINIS
Karakteristik dari kolestasis yaitu ikterus (jaundice), perubahan warna urin
menjadi lebih kuning gelap karena eksresi bilirubin melalui ginjal meningkat,
tinja pucat akibat terhambatnya aliran bilirubin ke usus halus dan berbau busuk
serta mengandung banyak lemak (steatorrhea) karena aliran empedu terhambat ke
usus halus sehingga absorpsi lemak terganggu, dan gatal (pruritus) yang
menyeluruh akibat retensi empedu di kulit. Kolestasis kronik dapat menimbulkan
pigmentasi kulit kehitaman, ekskoriasi karena pruritus, sakit tulang karena\
absorpsi kalsium dan vitamin D berkurang sehingga lama kelamaan jaringan
tulang berkurang, perdarahan intestinal karena absorpsi vitamin K terganggu dan
endapan lemak kulit (xantelasma atau xantoma). Gambaran keluhan seperti yang
disebutkan tidak
tergantung penyebabnya. Selain itu dapat disertai keluhan sakit perut, dan gejala
sistemik (seperti anoreksia, muntah, demam), atau tambahan gejala lain yang
tergantung padapenyebab terjadinya obstruksi bilier.6,7

9
Pasien dengan obstruksi bilier karena batu empedu dapat dibagi menjadi
tiga kelompok yaitu pasien dengan batu asimtomatik, simtomatik, dan dengan
komplikasi batu empedu (kolesistitis akut, kolangitis, dan pankreatitis). Sebagian
besar (80%) pasien dengan batu empedu tanpa gejala. Gejala batu empedu yang
dapat dipercaya adalah kolik bilier yaitu nyeri.
diperut atas berlangsung lebih dari 30 menit dan kurang dari 12 jam.
Biasanya lokasi nyeri di perut kanan atas atau epigastrium yang dapat menjalar ke
punggung bagian kanan atau bahu kanan. Nyeri ini bersifat episodik dan dapat
dicetuskan oleh makan makanan berlemak atau dapat juga tanpa suatu pencetus
dan sering timbul malam hari. Terkadang nyeri dapat dirasakan di daerah
substernal atau prekordial atau di kuadran kiri atas abdomen. Batu kandung pada
pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum maksimum didaerah letak
anatomis kandung empedu. Tanda Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah
sewaktu penderita menarik nafas panjang karena kandung empedu yang meradang
tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas kadang
teraba hepar dan sklera ikterik.10
Pasien dengan koledokolitiasis bisa saja asimtomatis. Namun, gejala yang
umum terjadi antara lain nyeri di kuadran kanan atas, bersifat kolik, hilang timbul
atau menetap, dapat disertai dengan mual muntah. Ikterus dapat terjadi ketika
saluran empedu terobstruksi sehingga bilirubin direk memasuki aliran darah.
Demam merupakan tanda terjadinya kolangitis. Tiga gejala trias Charcot yakni
demam, ikterus, dan nyeri perut kuadran kanan atas secara kuat menegakkan
diagnosis kolangitis. Batu empedu juga dapat berkembang menjadi pankreatitis,
apabila obstruksi terjadi di level ampula Vater. Nyeri pankreatik terletak di
epigastrik dan midabdominal, tajam, terus-menerus, dan menjalar ke punggung.
Pada pemeriksaan fisik biasanya didapatkan nyeri pada abdomen kuadran kanan
atas, ikterus, demam, hipotensi, flushing. Batu saluran empedu dapat primer atau
sekunder. Primer apabila terbentuk di saluran empedu, biasanya karena stasis
bilier atau baktibilia kronik. Batu yang terbentuk biasanya batu pigmen coklat.
Batu sekunder terbentuk dari kantung empedu dan bermigrasi ke saluran empedu,
biasanya batu kolesterol dan batu pigmen hitam.11,12

5. PEMERIKSAAN FISIK

10
Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan apa-apa karena batu saluran
empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang. Jika sampe terjadi
kolangitis, maka pada pemerisaan fisik ditemukan warna kekuningan pada kulit
atau mata adalah penanda penting secara fisik pada penyumbatan di empedu.
Kekuningan atau warna tanah liat pada tinja juga dapat menaikkan kecurigaan
pada koledokolitiasis atau pankreatitis.13
Jika gejala tersebut dibarengi dengan demam dan menggigil, dapat
dipertimbangkan juga diagnosis kolangitis. Pada kolangitis ditemukan nyeri
abdomen, demam tinggi/mengigil, icterus obstruktif (trias Charcoat), nyeri tekan
hebat pada kuadran kanan atas.14

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium tidak menunjukkan perubahan yang signifikan,
mungkin terjadi leukositosis, peningkatan kadar bilirubin serum (>3 mg/dL),
peningkatan amilase lipase (menandakan pankreatitis), peningkatan alkalin
fosfatase dan gamma-glutamyl transpeptidase menandakan obstruksi, peningkatan
PT, penurunan vitamin K, peningkatan transaminase hepar pada koledokolitiasis
yang disertai kolangitis atau pankreatitis, kultur darah positif pada kolangitis.
Pemeriksaan radiologi yang paling dapat diandalkan adalah kolangiografi. Selain
itu bisa juga digunakan modalitas lain, yang dibagi menjadi preoperatif (USG,
endoskopik USG, CT scan, MRCP, kolangiografi), intraoperatif (kolangiografi,
USG), postoperatif (T-tube kolangiografi, ERCP, PTC). 10,11

a.USG (Ultra Sonografi)

Pemeriksaan pencitraan pada masa kini dengan sonografi sangat membantu dalam
menegakkan diagnosis dan dianjurkan merupakan pemeriksaan penunjang
pencitraan yang pertama dilakukan sebelum pemeriksaan pencitraan lainnya.
Dengan sonografi dapat ditentukan kelainan parenkim hepar, duktus yang melebar,
adanya batu atau massa tumor. Ketepatan diagnosis pemeriksaan sonografi pada
sistem hepatobilier untuk deteksi batu empedu, pembesaran kandung empedu,
pelebaran saluran empedu dan massa tumor tinggi sekali. Tidak ditemukannya
tanda-tanda pelebaran saluran empedu dapat diperkirakan penyebab ikterus bukan

11
oleh sumbatan saluran empedu, sedangkan pelebaran saluran empedu memperkuat
diagnosis ikterus obstruktif. Penggunaan sonografi ialah sekaligus kita dapat
menilai kelainan organ yang berdekatan dengan sistem hepatobilier antara lain
pankreas dan ginjal, aman dan tidak invasif merupakan keuntungan lain dari
sonografi.

b. Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan foto polos abdomen kurang memberi manfaat karena sebagian besar
batu empedu radiolusen. Kurang lebih hanya 10-15% batu yang menimbulkan
gambaran radioopak. Kolesistografi tidak dapat digunakan pada pasien ikterus
karena zat kontras tidak diekskresikan oleh sel hepar yang sakit. 10,11
Pemeriksaan endoskopi yang banyak manfaat diagnostiknya saat ini adalah
pemeriksaan ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography). Dengan
bantuan endoskopi melalui muara papila Vater kontras dimasukkan kedalam
saluran empedu dan saluran pankreas. Keuntungan lain pada pemeriksaan ini ialah
sekaligus dapat menilai apakah ada kelainan pada muara papila Vater, tumor
misalnya atau adanya penyempitan. Keterbatasan yang mungkin timbul pada
pemeriksaan ini ialah bila muara papila tidak dapat dimasuki kanul. Adanya
sumbatan di saluran empedu bagian distal, gambaran saluran proksimalnya dapat
divisualisasikan dengan pemeriksaan Percutaneus Transhepatic Cholangiography
(PTC). Pemeriksaan ini dilakukan dengan penyuntikan kontras melalui jarum yang
ditusukkan ke arahhilus hepar dan sisi kanan pasien. Kontras disuntikkan bila
ujung jarum sudah diyakini berada di dalam saluran empedu. Computed
Tomography (CT) adalah pemeriksaan radiologi yang dapat memperlihatkan serial
irisan-irisan hepar. Adanya kelainan hepar dapat diperlihatkan lokasinya dengan
tepat. 10,11 Untuk diagnosis kelainan primer dari hepar dan kepastian adanya
keganasan dilakukan biopsi jarum untuk pemeriksaan histopatologi. Biopsi jarum
tidak dianjurkan bila ada tanda-tanda obstruksi saluran empedu karena dapat
menimbulkan penyulit kebocoran saluran empedu.10,11

7. DIAGNOSIS
Riwayat penyakit yang rinci dan pemeriksaan fisik sangat penting untuk
menegakkan diagnosis penyakit dengan keluhan ikterus. Tahap awal ketika akan

12
mengadakan penilaian klinis seorang pasien dengan ikterus adalah tergantung
kepada apakah hiperbilirubinemia bersifat konjugasi atau tak terkonjugasi. Jika
ikterus ringan tanpa warna air seni yang gelap harus dipikirkan kemungkinan
adanya hiperbilirubinemia indirect yang mungkin disebabkan oleh hemolisis,
sindroma Gilbert atau sindroma Crigler Najjar dan bukan karena penyakit
hepatobilier. Keadaan ikterus yang lebih berat dengan disertai warna urin yang
gelap menandakan penyakit hati atau bilier. Jika ikterus berjalan sangat progresif
perlu dipikirkan segera bahwa kolestasis lebih bersifat ke arah sumbatan
ekstrahepatik (batu saluran empedu atau keganasan kaput pankreas)1 2
Kolestasis ekstrahepatik dapat diduga dengan adanya keluhan sakit bilier atau
kandung empedu yang teraba. Jika sumbatan karena keganasan pankreas (bagian
kepala/kaput) sering timbul kuning yang tidak disertai gajala keluhan sakit
perut (painless jaundice). Kadang-kadang bila bilirubin telah mencapai kadar
yang lebih tinggi, warna kuning pada sklera mata sering memberi kesan yang
berbeda dimana ikterus lebih memberi kesan kehijauan (greenish jaundice)
pada kolestasis ekstrahepatik dan kekuningan (yellowish jaundice) pada
kolestasis intrahepatic. 12
Diagnosis yang akurat untuk suatu gejala ikterus dapat ditegakkan
melalui penggabungan dari gejala-gajala lain yang timbul dan hasil
pemeriksaan fungsi hepar serta beberapa prosedur diagnostik khusus. Sebagai
contoh, ikterus yang disertai demam dan terdapat fase prodromal seperti
anoreksia, malaise dan nyeri tekan hepar menandakan hepatitis. Ikterus yang
disertai rasa gatal menandakan kemungkinan adanya suatu penyakit
xanthomatous atau suatu sirosis biliary primer. Ikterus dan anemia menandakan
adanya suatu anemia hemolitik.9
Langkah pertama pendekatan diagnosis pasien dengan ikterus ialah melalui
anamnesis, pemeriksaan fisik yang teliti serta pemeriksaan faal hati.
Anamnesis ditujukan pada riwayat timbulnya ikterus, warna urin dan feses, rasa
gatal, keluhan saluran cerna, nyeri perut, nafsu makan berkurang, pekerjaan,
adanya kontak dengan pasien ikterus lain, alkoholisme, riwayat transfusi, obat-
obatan, suntikan atau tindakan pembedahan.12

13
Penyakit yang menyebabkan jaundice dapat dibagi menjadi penyakit yang
menyebabkan jaundice ‘medis’ seperti peningkatan produksi, menurunnya
transpor atau konjugasi hepatosit, atau kegagalan ekskresi bilirubin; dan ada
penyakit yang menyebabkan jaundice ‘surgical’ melalui kegagalan transpor
bilirubin kedalam usus. Penyebab umum meningkatnya produksi bilirubin
termasuk anemia hemolitik, penyebab dapatan hemolisis termasuk sepsis, luka
bakar, dan reaksi transfusi. Ambilan dan konjugasi bilirubin dapat dipengaruhi
oleh obat-obatan, sepsis dan akibat hepatitis virus. Kegagalan ekskresi bilirubin
menyebabkan kolestasis intrahepatik dan hiperbilirubinemia terkonjugasi.
Penyebab umum kegagalan ekskresi termasuk hepatitis viral atau alkoholik,
sirosis, kolestasis induksi-obat. Obstruksi bilier ekstrahepatik dapat disebabkan
oleh beragam gangguan termasuk koledokolitiasis, striktur bilier benigna, kanker
periampular, kolangiokarsinoma, atau kolangitis sklerosing primer. Ketika
mendiagnosa jaundice, dokter harus mampu membedakan antara kerusakan pada
ambilan bilirubin, konjugasi, atau ekskresi yang biasanya diatur secara medis dari
obstruksi bilier ekstrahepatik, yang biasanya ditangani oleh ahli bedah, ahli
radiologi intervensional, atau ahli endoskopi. Pada kebanyakan kasus, anamnesis
menyeluruh, pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin dan pencitraan radiologis
non-invasif membedakan obstruksi bilier ekstrahepatik dari penyebab jaundice
lainnya. Kolelitiasis selalu berhubungan dengan nyeri kuadran atas kanan dan
gangguan pencernaan. Jaundice dari batu duktus biliaris umum. Biasanya
sementara dan berhubungan dengan nyeri dan demam (kolangitis). Serangan
jaundice tak-nyeri bertingkat sehubungan dengan hilangnya berat badan diduga
sebuah keganasan/malignansi. Jika jaundice terjadi setelah kolesistektomi, batu
kandung empedu menetap atau cedera kandung empedu harus diperkirakan.12

8. DIAGNOSIS BANDING

Kolesistitis Akut
Peradangan kandung empedu dapat bersifat akut, kronik, atau proses akut
yang timbul pada keadaan kronik. Sebanyak 75% orang yang memiliki batu

14
empedu tidak memperlihatkan gejala. Sebagian besar gejala timbul bila batu
menyumbat aliran empedu, yang seringkali terjadi karena batu yang kecil
melewati ke dalam duktus koledokus. Peradangan ini hampir selalu
berkaitan dengan batu empedu.
Pendertia batu empedu sering memiliki gejala kolesistitis akut atau
kronis.5 Bentuk akut ditandai dengan nyeri hebat mendadak di
epigastrium atau abdomen kuadaran kanan atas; nyeri dapat menyebar
ke punggung dan bahu kanan. Penderita dapat berkeringat banyak atau
berjalan mondar mandir atau berguling ke kanan dan ke kiri di atas
tempat tidur. Nausea dan muntah sering terjadi. Kolesistitis batu akut adalah
peradangan akut kandung empedu yang 90%-nya dipicu oleh obstruksi
leher atau duktus sistikus. Hal ini merupakan komplikasi tersering batu
empedu dan alasan utama dilakukannya kolesistektomi darurat.5 Serangan
kolesistitis akut berawal dari nyeri epigastrium atau kuadaran kanan atas yang
bersifat progresif, sering disertai demam ringan, anoreksia, takikardi, berkeringat,
mual, muntah. Sebagian besar pasien tidak ikterik; adanya hiperbilirubinemia
mengisyaratkan obstruksi ductus biliaris komunis. Terjadi leukositosis ringan
sampai sedang dan mungkin disertai oleh peningkatan ringan kadar alkali
fosfatase serum.15

Kolelistitis kronik
Dapat merupakan sekuele dari serangan berulang kali kolesistitis
akut ringan sampai berat, tetapi pada banyak kasus, penyakit ini timbul tanpa
serangan sebelumnya. Tidak memiliki gambaran klinis mencolok seperti
pada bentuk akut. Kolesistitis kronik ini biasanya ditandai dengan
serangan berulang nyeri epigastrium atau kuadaran kanan atas yang
menetap seperti kolik. Keluhan sering mual, muntah dan intoleransi terhadap
makanan berlemak.15

15
Gejala kolesistitis kronis mirip dengan gejala kolesisitis akut, tetapi
beratnya nyeri dan tanda-tanda fisik kurang nyata. Pasien sering memiliki riwayat
dispepsia, intoleransi lemak, nyeri ulu hati, atau flatulen yang berlangsung
lama. Setelah terbentuk, batu empedu dapat berdiam
tenang dalam kandung empedu dan tidak menimbulkan masalah, atau
dapat menyebabkan timbulnya komplikasi.15

9. PENATALAKSANAAN

Penanganan batu untuk profilaksis tidak dianjurkan. Sebagian besar pasien


yang asimtomatik tidak mengalami keluhan di masa mendatang. Sebagian kecil
akan menimbulkan komplikasi. Pada batu empedu simptomatik, teknik
kolesistektomi laparoskopi diperkenalkan akhir 1980 mengantikan teknik
kolesistektomi terbuka. Kolesistektomi terbuka masih dibutuhkan apabila teknik
kolestektomi laparoskopi gagal atau tidak memungkinkan, misalkan apabila batu
terletak pada lokasi yang sulit dijangkau dengan teknik laparoskopi. Selain itu
pada keadaan infeksi juga sebaiknya menggunakan kolesistektomi terbuka.
Kekurangan dari metode kolisistektomi terbuka adalah luka penyembuhan yang
lama.10,11
Kolesistektomi laparoskopik adalah teknik pembedahan invasif minimal di
dalam rongga abdomen dengan menggunakan pneumoperitoneum, system
endokamera dan instrumen khusus melalui layar monitor tanpa kamera dan kontak
langsung dengan saluran empedu. Tindakan bedah ini makin sering dilakukan.
Tindakan ini memakan waktu kurang lebih 30-70 menit. Biasanya penderita dapat
dipulangkan 1 hari setelah operasi. Morbiditas kurang dari 10%. Kesulitan teknis
adalah adhesi pada 5% operasi.

16
Kolesistektomi laparoskopi membutuhkan beberapa sayatan kecil di perut
untuk akses operasi, tabung silinder kecil sekitar 5 sampai 10 mm, di mana
instrumen bedah dan kamera video yang ditempatkan ke dalam rongga perut.
Kamera menerangi bagian dalam abdomen dan mengirimkan gambar diperbesar
dari dalam tubuh untuk monitor video, memberikan ahli bedah tampilan close- up
dari organ dan jaringan serta melakukan operasi dengan memanipulasi instrumen
bedah melalui akses operasi.
Prosedur terapetik yang bertujuan untuk mengangkat batu CBD ada dua
cara, pertama operasi dengan melakukan sayatan pada CBD (koledekotomi), atau
melalui duktus sistikus (transistik), dengan metode konvensional operasi terbuka
(Open Common Bile Duct Exploration) melalui laparoskopi yang disebut
Laparascopic Common Bile Duct Exploration (CBDE). Sedangkan cara yang
kedua adalah dengan menggunakan endoskopi, yaitu Endoscopic Retrograde
Cholangiopancreatography (ERCP) yang diikuti sfingterotomi endoskopik (ES)
dan dilakukan ekstraksi batu. Ekstraksi batu dapat dilakukan dengan atau tanpa
sfingterotomi, apabila sebelumnya telah dilakukan dilatasi sfingter dengan
balon.Laparoskopi kolesistektomi saat ini memang lebih banyak disukai dan
sudah menjadi terapi standar. Walaupun eksplorasi CBD juga dapat dilakukan
melalui teknik laparoskopi pada sebagian besar kasus. 10,11

BAB III

17
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : KN
Umur : 35 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : PNS
Alamat : Maasing
Suku/Bangsa : Minahasa/Indonesia
Agama : Islam

B. ANAMNESIS
a. Keluhan utama
Kuning seluruh tubuh

b. Riwayat penyakit sekarang


kuning seluruh badan dialami kira-kira sejak 3 bulan sebelum masuk
rumah sakit. Awalnya kuning di bagian mata dan menyebar ke seluruh
badan .mual (+), muntah (+), demam (+), BAK warna teh (+), BAB pucat
(+). Penderita sudah pernah diperiksa endoskopi dengan hasil batu di
saluran bilier.

c. Riwayat penyakit dahulu


Riwayat keluhan serupa (+), hipertensi, DM, asma, sakit jantung, asam
urat, alergi disangkal pasien.

d. Riwayat penyakit keluarga


Hanya pasien yang menderita penyakit seperti ini dalam keluarga.

C. PEMERIKSAAN FISIK UMUM

18
Status Generalis
Keadaan Umum : Sakit Sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 95 x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Suhu Badan : 36,70C
Kepala : Konjungtiva Anemis (-/-), Sklera Ikterik (+/+)
Leher : tidak ada kelainan
Jantung : Iktus cordis tidak terlihat, teraba(+) SI-SII regular,
murmur(-), gallop(-)
Paru : Suara pernapasan vesikuler, Rhonki(-/-)
wheezing (-/-)
Abdomen : Inspeksi : Datar
Palpasi :Lemas, Nyeri tekan epigastrium (+), Murphy
Sign (+), defans muskular (-), hepar dalam batas normal
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas : Akral hangat, capillary refill time <2 detik, spider nevi (-)

Status Lokalis
Kepala : CA (-/-), Sklera Ikterik (+/+)
Abdomen : I : datar
A : bising usus (+) normal
P : massa tidak ada, nyeri tekan
epigastrium (+), murphy sign (-)
hepar dan lien tidak teraba.
P : timpani, shifting dulnes (-), ascites (-)

19
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium 20/03/2018
Leukosit 12.800 /uL
Eritrosit 3.74 10^6/uL
Hemoglobin 11.8 g/dL
Hematokrit 36.0%
Trombosit 10510^3/uL
MCH 31.6 pg
MCHC 32.9 g/dL
MCV 96.1 fL
SGOT 62 U/L
SGPT 71 U/L
Ureum darah 46 mg/dL
Creatinin darah 2.1 mg/dL
GDS 72 mg/dL
Chlorida darah 101.0 mEq/L
Kalium darah 2.70 mEq/L
Natrium darah 131 mEq/L
PT 14.1 : 15.0
INR 1.16 : 1.14 detik
APPT 31.5 : 39.0 detik

Laboratorium 23/03/2018
Leukosit 16.800 /uL
Eritrosit 3.97 10^6/uL
Hemoglobin 12.0 g/dL
Hematokrit 38.3%
Trombosit 161 10^3/uL
MCH 30.3 pg

20
MCHC 31.4 g/dL
MCV 96.6 fL
Ureum Darah 62 mg/dL
Creatinin darah 1.5 mg/dL
Chlorida 92.8 mEq/L
Kalium 3.12 mEq/L
Natrium 134 mEq/L

Laboratorium 25/03/2018
Leukosit 10.600 /uL
Eritrosit 3.70 10^6/uL
Hemoglobin 11.3 g/dL
Hematokrit 35.5%
Trombosit 273 10^3/uL
MCH 30.6 pg
MCHC 31.9 g/dL
MCV 95.9 fL
SGOT 40 U/L
SGPT 45 U/L
Bilirubin total 5.15 mg/dL
Bilirubin direct 4.56 mg/dL
Ureum darah 24 mg/dL
Creatinin darah 1.1 mg/dL
Albumin 2.72 g/dL
Chlorida darah 103.0 mEq/L
Kalium darah 3.60 mEq/L
Natrium darah 138 mEq/L

21
E.DIAGNOSIS
Ikterus Obstruksif ec Batu Distal CBD

F. PENATALAKSANAAN
- IVFD NaCl 0,9% 500cc/24jam IV
- Ceftriaxone 1 gr /12jam IV (ST)
- Ranitidine 50 mg / 12 jam IV
-Ketorolac 30 mg/8jam IV
- KSR /12 jam PO
- Metronidazole 500mg/8 jam IV

G. LAPORAN OPERASI
Laparatomi Eksplorisasi CBD dilakukan pada tanggal 29 Maret
2018 di Instalasi Bedah Sentral RS Prof.R. D. Kandou Manado dengan
operator Dr. Ferdinand Tjandra, Sp.B-KBD Diagnosis pra-bedah adalah
Ikterus Obstruksi ec Batu Distal CBD dan jenis operasi yang dilakukan adalah
Laparatomi Eksplorisasi CBD. Operasi berlangsung selama 5jam, dimulai
pada pukul 09.10 wita dan berakhir pada pukul 13.00wita.

Uraian Pembedahan:
- Pasien tidur terlentang diatas meja operasi
- Asepsis dan antisepsis lapangan operasi
- Dilakukan insisi subumbilikalis, pasang trochar 10mm secara terbuka.
Pasang trocher 10mm di subkhypoid dan 2 buah trochar 5 mm di anorectal
kanan dan subcoizal kanan
-
- I

22
23
24
H. FOLLOW UP
Tgl 30-03-2018
S: Nyeri Luka Operasi(-) , Demam (-)
O: TD : 120/80 N : 82 kali / menit R : 20 kali / menit Sb : 36,5º C
Kepala CA-/-, SI+/+
Abdomen: Inspeksi : Datar, luka post op : (+)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Lemas, NT (-)
Perkusi : Tympani
A: Post LCBDE ec. Ikterus Obstruksi ec. batu distal CBD (H1)
P:IVFD NaCl 0,9% 500 cc / 24 jam IV
Cefixime 2x100mg (PO)
Ranitidine 2x150 mg (PO)
Asam Mefenamat 3x500mg (PO)
Aff kateter
Diet Lunak
Diet Tinggi Protein
Mobilisasi

Tgl 31-02-2018
S: Nyeri Luka Operasi (-)
O: TD : 120/80 N : 89 kali / menit R : 20 kali / menit Sb : 36,7º C
Kepala CA-/-, SI-/-
Abdomen: Inspeksi : Datar, luka post op : Pus (-), Perdarahan (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Lemas
Perkusi : Tympani
A: Post LCBDE ec. Ikterus Obstruksi ec. batu distal CBD
P: Cefixime 2x100 mg (PO)

25
Ranitidine 2x150 mg (PO)
Asam Mefenamat 3x500 mg (PO)
Diet Lunak
Mobilisasi
Rawat Luka
Rawat jalan

I. PROGNOSIS
o Quo ad vitam: Bonam
o Quo ad functionam: Bonam
o Quo ad sanationam: Bonam

26
BAB IV
PEMBAHASAN

Diagnosis ikterus osbtruktif ec koledokolitiasis ditegakkan berdasarkan


anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang. Berdasarkan
anamnesis yang di dapat, seorang pasien laki-laki berumur 35 tahun datang
dengan keluhan kuning seluruh tubuh dan lemah badan. Penderita juga mengeluh
nyeri hilang timbul di bagian kanan atas perut kemudian setelah beberapa menit
pasien merasakan mual dan kemudian muntah. Pasien juga mengeluh BAB sering
berwarna pucat. Hal ini sesuai dengan gejala klinis koledokolitiasis sangat
bervariasi dan sulit diramalkan yaitu mulai dari tanpa gejala sampai dengan
timbulnya ikterus obstruktif yang nyata. Gejala koledokolitiasis mirip seperti
kolelitiasis seperti kolik bilier, mual, muntah, namun pada koledokolitiasis
disertai ikterus, BAK kuning pekat, BAB berwarna dempul.13-16 Penderita juga
sudah pernah melakukan pemeriksaan endoskopi dan hasilnya batu di saluran
bilier.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan Tekanan darah 110/70 mmHg, nadi
96x/menit, respirasi 20x/menit dan suhu badan 36,7°C. Pada pemeriksaan
abdomen terdapat nyeri tekan kudran kanan atas, NTE (+), defans muskular (-),
Murphy Sign (-), Secara teori, Karakteristik dari kolestasis yaitu ikterus
(jaundice), perubahan warna urin menjadi lebih kuning gelap karena eksresi
bilirubin melalui ginjal meningkat, tinja pucat akibat terhambatnya aliran bilirubin
ke usus halus dan berbau busuk serta mengandung banyak lemak (steatorrhea)
karena aliran empedu terhambat ke usus halus sehingga absorpsi lemak terganggu,
dan gatal (pruritus) yang menyeluruh akibat retensi empedu di kulit. Kolestasis
kronik dapat menimbulkan pigmentasi kulit kehitaman, ekskoriasi karena pruritus,
sakit tulang karena\ absorpsi kalsium dan vitamin D berkurang sehingga lama
kelamaan jaringan tulang berkurang, perdarahan intestinal karena absorpsi vitamin
K terganggu dan endapan lemak kulit (xantelasma atau xantoma). Gambaran

27
keluhan seperti yang disebutkan tidak tergantung penyebabnya. Selain itu dapat
disertai keluhan sakit perut, dan gejala sistemik (seperti anoreksia, muntah,
demam), atau tambahan gejala lain yang tergantung pada penyebab terjadinya
obstruksi bilier.7,8
Pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan bilirubin total 5.15
mg/dL dan bilirubin direct 4.56 mg/dL. Peningkatan enzim hati yang
menunjukkan kolestatis (gamma glutamin transferase dan alkali fosfatase).
Kemudian dapat pula dijumpai peningkatan enzim pankreas (amilase dan
lipase) apabila batu menyumbat duktus koledokus dan duktus pankreatikus. Serta
dapat pula ditemukan adanya peningkatan bilirubin serum. Ikterus yang ringan
dapat dilihat paling awal di sklera mata, dan bila ini terjadi kadar bilirubin sudah
berkisar antara 2-2,5 mg/dl (34-43 umol/L). Kadar bilirubin serum normal adalah
bilirubin direk : 0-0.3 mg/dL, dan total bilirubin: 0.3-1.9 mg/dL.17
Ikterus obstruktif adalah ikterus dengan bilirubin conjugated tinggi yang dapat
bersifat akut atau kronik dengan dilatasi atau tanpa dilatasi saluran empedu yang
disebabkan karena adanya hambatan dalam pengaliran empedu dari sel hepar yang
menuju duodenum, sehingga bilirubin menumpuk di dalam aliran darah.
Diagnosis diferensial kolelitiasis dapat disingkirkan karena gejala
kolesistitis akut berawal dari nyeri epigastrium atau kuadaran kanan atas yang
bersifat progresif, sering disertai demam ringan, anoreksia, takikardi, berkeringat,
mual, muntah.Sebagian besar pasien tidak ikterik; adanya hiperbilirubinemia
mengisyaratkan obstruksi ductus biliaris komunis. Terjadi leukositosis ringan
sampai sedang dan mungkin disertai oleh peningkatan ringan kadar alkali
fosfatase serum.18
Penanganan kasus diberikan terapi cairan IVFD NaCl 0,9%, pemberian
antibiotik cefixime, ranitidine dan asam mefenamat.
Batu saluran empedu selalu menyebabkan masalah yang serius, karena
itu harus dikeluarkan baik melalui operasi terbuka maupun melalui suatu
prosedur yang disebut endoscopic retrograde cholangiopancreatography
(ERCP). Pada ERCP, suatu endoskopi dimasukkan melalui mulut,
kerongkongan, lambung, dan ke duodenum. Zat kontras radioopakmasuk ke
dalam saluran empedu melalui sebuah selang di dalam sfingter Oddi.

28
Pada sfingterotomi, otot sfingter dibuka agak lebar sehingga batu empedu
yang menyumbat saluran akan berpindah ke usus halus dan dikeluarkan bersama
tinja. ERCP dan sfingterotomi telah berhasil dilakukan pada 90% kasus. Kurang
dari 4 dari setiap 1.000 penderita yang meninggal dan 3-7% mengalami
komplikasi, sehingga prosedur ini lebih aman dibandingkan operasi terbuka.2
Pemeriksaan endoskopik (ERCP) dapat membantu menegakkan diagnosis
sekaligus dapat dilakukan sfingeterotomi sebagai terapi definitif atau terapi
sementara. Pada waktu laparotomy untuk kolesistektomi, perlu ditentukan apakah
akan dilakukan koledokotomi dengan tujuan eksplorasi saluran emepdu.
Kolangiografi intraoperatif tidak selalu dilakukan pada penderita yang dicurigai
mendertia koledokolitiasis karena prosedur ini memakan waktu. Tindakan ini
hanya dilakukan atas indikasi yang selektif.19
Prosedur terapetik yang bertujuan untuk mengangkat batu CBD ada dua
cara, pertama operasi dengan melakukan sayatan pada CBD (koledekotomi), atau
melalui duktus sistikus (transistik), dengan metode konvensional operasi terbuka
(Open Common Bile DuctExploration) melalui laparoskopi yang disebut
Laparascopic Common Bile DuctExploration (CBDE) 10,11. Pada pasien ini telah
dilakukan pemeriksaan ERCP dan hasilnya ditemukan batu distal CBD kemudian
atas indikasi dilakukan operasi LCBDE pada tanggal 29 Maret 2018.

29
BAB V
KESIMPULAN

Batu empedu umumnya ditemukan di dalam kandung empedu, dan


dikenal sebagaikolelitiasis, tetapi batu tersebut dapat bermigrasi melalui duktus
sistikus ke dalam saluran empedu menjadi koledokolitiasis. Umumnya pasien
dengan batu empedu jarang mempunyai keluhan, namun sekali batu empedu
mulai menimbulkan serangan nyeri kolik yang spesifik maka resiko untuk
mengalami komplikasi akan terus meningkat.Diagnosis dapat ditegakkan melalui
klinis maupun pemeriksaan penunjang. Penatalaksanaan ikterus obstruktif ec batu
distal CBD pada pasien ini adalah dengan tindakan pembedahan laparaskopi
eksplorasi CBD. Prognosis pasien dengan ikterus obstruktif bergantung kepada
adanya komplikasi dan keparahan yang terjadi. Komplikasi kolestatis sesuai
dengan durasi dan intensitas jaundice, berupa sirosis bilier sekunder, kolangitis,
pankreatitis, syok septik bahkan kematian.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Davey P. At a Glance Medicine. Ikterus.Jakarta :Erlangga Medical


Series.2006
2. Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar, TR, Dunn DL. Schwartz principles
of surgery. Ed ke-9. Philadelphia: McGraw-Hills. 2010.
3. Drake RL, Vogl W, Mitchell AWM. Gray’s Anatomy for Students.
Elsevier: 2007

4. Grace PA. At a Glance Ilmu Bedah . Jakarta: Erlangga Medical Series.


2007
5. Price JA. Patofisiologi Konsep Klinis Proses proses Penyakit.
Jakarta:EGC. 2006. Hal 472.
6. Sherwood L. Fisiologi Manusia. Jakarta: EGC. 2011. Hal 641.
7. Guyton AC. Textbook of Medical Physiology, 11th edition. Elsevier:
2006..
8. Crawford MJ. The Biliary Tract. Robin & Cotran Pathologic Basis of
Disease. Philadelphia : Saunders. 2010.

9. Sulaiman. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta: FKUI. 2006.
10. Nuhadi M. Perbedaan Komposisi Batu Kandung Empedu Dengan Batu
Saluran Empedu pada Penderita yang dilakukan Eksplorasi Saluran
Empedu. Universitas Padjajaran. RS Hasan Sadikin Bandung. 2011.

11. Lesmana L. Batu Empedu dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid 1. Edisi
3.Jakarta:Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2000.

12. Swarts, M. Buku Ajar Diagnostik Fisik. Jakarta: EGC. 2004. Hal 238.
13. Grace PA, Borley NR. At a glance ilmu bedah. Edisi ke-3. Jakarta:
Penerbit Erlangga; 2006. h. 121.

14. Ndraha S. Bahan ajar gastroenterohepatologi. Jakarta: Biro Publikasi FK


UKRIDA; 2013. h. 187-201.
15. Kumar V, Abbas AL, Fausto N. Dasar patologi penyakit. Edisi ke-7.
Jakarta: EGC; 2010.h. 954-6.

31
16. Watson R . Anatomi dan fisiologi. Jakarta: EGC; 2002. h. 352.

17. Wibowo Soetamto, Kanadihardja Warko, Sjamsuhidajat R, de JW. 2010.


SaluranEmpedu dan Hati. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi tiga. Jakarta:
EGC.

18. Sabiston DC. Buku ajar bedah. Edisi ke-17. Jakarta: EGC; 2011. h. 134.

19. Jong WD, Sjamsuhidajat. Buku ajar ilmu bedah. Edisi ke-2. Jakarta: EGC;
2003. h. 776-78.

32

Anda mungkin juga menyukai