Anda di halaman 1dari 33

Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman

Referat

Obstruktive Jaundice

Disusun oleh: Solikin 06.55387.00330.09 Pembimbing: dr. Bambang Suprapto, Sp B

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik Pada Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman 2011

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Obstruktive jaundice merupakan hambatan dalam pengaliran cairan empedu dari sel hati yang menuju duodenum, sehingga bilirubin direct menumpuk di dalam aliran darah. Jaundice merupakan tanda bahwa hati atau sistem empedu tidak berjalan normal, ditandai dengan perubahan warna kuning pada sklera mata, kulit, dan membran mukosa.
(1)

Batu empedu jenis kolesterol merupakan salah satu penyakit yang sering menyebabkan terjadinya obstruksi jaundice. Pembentukan batu empedu dibagi menjadi tiga tahap: (1) pembentukan empedu yang supersaturasi, (2) nukleasi atau pembentukan inti batu, dan (3) berkembang karena bertambahnya pengendapan. Penelitian yang dilakukan di Italia, ditemukan 20% wanita dan 14% pria memiliki batu empedu. Pada penelitian Danish, prevalensi batu empedu pada usia 30 tahun adalah sebesar 1,8% untuk pria dan 4,8% untuk wanita. Prevalensi batu empedu pada usia 60 tahun sebesar 12,9% untuk pria dan 22,4% untuk wanita. Batu empedu terjadi pada 10-20% populasi dewasa di negara berkembang, di Amerika Serikat lebih dari 20 juta orang menderita penyakit ini dan ditemukan 1 juta pasien baru setiap tahunnya. Lebih dari 80% gejala batu empedu adalah tidak tampak (asimptomatik).(1,2) Kebanyakan pasien dengan ikterus, melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti ditambah pemeriksaan laboratorium yang sederhana, diagnosis sudah dapat ditegakkan. Namun tidak jarang diagnosis pasti sulit untuk ditetapkan, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan penunjang lainnya seperti radiografi dan pemeriksaan lanjutan lainnya. Pengelolaan yang baik dalam suatu rumah sakit dengan fasilitas pemeriksaan yang cukup, diharapkan mampu mengatasi dan memilah kemungkinan dari penyebab terjadinya obstruktive jaundice, sehingga dapat dilakukan penanganan yang tepat dan meminimalisir komplikasi yang terjadi.(1) 1.2 Tujuan 1. Mengetahui anatomi sistem Hepatobilier dan metabolisme bilirubin

2. Mengetahui definisi, klasifikasi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, anamnesis dan pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan, dan komplikasi dari obstruksi jaundice.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Anatomi Hepatobilier Hati merupakan organ abdomen yang paling besar dan kelenjar terbesar dalam tubuh dengan berat sekitar 1,5 kg. Batas atas hati berada sejajar dengan ruangan interkostal V kanan dan batas bawah menyerong ke atas dari iga IX kanan ke iga VIII kiri. Organ ini terletak pada kuadran kanan atas dan menempati paling luas pada regio hipokondrium kanan kemudian meluas ke hipokondrium kiri dan regio epigastrika. Hati memiliki permukaan superior yang cembung dan terletak dibawah kubah kanan diafragma dan sebagian kubah kiri. Bagian bawah hati berbentuk cekung dan merupakan atap dari ginjal kanan, lambung, pankreas dan usus. (2,3,4) Hati memiliki dua lobus utama yaitu kanan dan kiri. Lobus kanan dibagi menjadi dua segmen anterior dan posterior oleh fissura segmentalis kanan yang tidak terlihat dari luar. Lobus kiri dibagi menjadi segmen medial dan lateral oleh ligamentum falsiformis yang terlihat dari luar. Segmen lobus kanan yang lebih kecil adalah lobus quadratus, pada permukaan inferiornya dan lobus caudatus pada permukaan posterior. Lobus kanan dan kiri dipisahkan di anterior oleh lipatan peritoneum yang dinamai ligamentum falsiforme, di inferior oleh fissura untuk ligamentum teres serta di posterior oleh fissura untuk ligamentum venosum.(2,3,4) Ligamentum falsiformis berjalan dari hati ke diafragma dan dinding abdomen. Permukaan hati diliputi oleh peritoneum viseralis, kecuali daerah kecil pada permukaan posterior yang melekat langsung pada diafragma. Beberapa ligamentum yang merupakan peritoneum membantu menyokong hati. Di bawah peritoneum terdapat jaringan ikat padat yang disebut sebagai kapsula glissoni, yang meliputi permukaan seluruh organ, bagian paling tebal kapsula ini terdapat pada porta hepatis, membentuk rangka untuk cabang vena porta, arteri hepatika, dan saluran empedu. Porta hepatis adalah fissura pada hati tempat masuknya vena porta dan arteri hepatika serta tempat keluarnya duktus hepatika.(2,3,4) Secara keseluruhan, hepar dibagi menjadi VIII segmen. Permukaan posterolateral kanan terdiri atas segmen VI di bagian anterior dan segmen VII di bagian posterior.

Permukaan anterolateral kanan terdiri atas segmen V di anterior dan segmen VIII di posterior. Permukaan anterior kiri dibagi oleh fissura umbilikalis ke dalam segmen IV di bagian anterior dari lobus quadratus dan segmen III, yang merupakan bagian anterior dari lobus kiri. Permukaan posterior adalah segmen II. Segmen I terletak dibagian dorsal, yang memiliki vaskularisasi bebas dari porta hepatis dan 3 vena hepatik utama.(2,3,4) Hati memiliki dua sumber suplai darah dari saluran cerna dan limpa melalui vena porta hepatika, dan dari aorta melalui arteri hepatika. Sekitar sepertiga darah yang masuk adalah darah arteri dan dua pertiganya adalah darah vena dari vena porta. Volume total darah yang melewati hati setiap menitnya adalah 1.500 ml dan dialirkan melalui vena hepatika kanan dan kiri, yang selanjutnya bermuara pada vena kava inferior.(2,3,4) Vena porta bersifat unik karena terletak diantara dua daerah kapiler, yang satu terletak dalam hati dan yang lainnya dalam saluran cerna. Saat mencapai hati, vena porta bercabang-cabang dan menempel melingkari lobulus hati. Cabang-cabang ini kemudian mempercabangkan vena-vena interlobularis yang berjalan diantara lobulus-lobulus. Vena-vena ini selanjutnya membentuk sinusoid yang berjalan di antara lempengan hepatosit dan bermuara dalam vena sentralis. Vena sentralis dari beberapa lobulus membentuk vena sublobularis yang selanjutnya menyatu dan membentuk vena hepatika. Cabang-cabang terhalus arteria hepatika juga mengalirkan darahnya ke dalam sinusoid, sehingga terjadi campuran darah arteri dari arteria hepatika dan darah vena dari vena porta. Tekanan yang meningkat dalam sistem portal adalah manifestasi lazim gangguan hati dengan akibat serius yang melibatkan pembuluh-pembuluh tempat darah portal berasal. Hepar mendapatkan innervasi dari(5): a. Nn. Splanchnici : innervasi ini bersifat simpatis untuk pembuluh darah di dalam hepar. Diperoleh melalui plexus coeliacus dan merupakan serabutserabut postganglioner. b. Nn. Vagus dextra et sinistra : bersifat parasimpatis, berasal dari chorda anterior dan chorda posterior nervivagi. Chorda anterior (dari N. Vagus sinistra), mengikuti a. Gastrica dextra masuk ke dalam ligamentum hepatoduodenale, mencapai porta hepatis, memberi cabang-cabang yang disebut rami hepatici.

Chorda posterior (dari N. Vagus dextra) setelah mempersarafi gaster lalu masuk ke plexus coeliacus, lalu mengikuti ligamentum hepatoduodenale menuju ke porta hepatis.

c. Nn. Phrenicus dextra : setelah masuk ke dalam cavum abdominalis, selanjutnya menuju ke plexus coeliacus, mengikuti ligamentum hepatoduodenale, mencapai porta hepatis. Setiap lobus dari hepar dibagi menjadi lobuli. Setiap lobulus merupakan badan heksagonal yang terdiri atas lempeng-lempeng sel hati berbentuk kubus mengelilingi vena sentralis. Diantara lempengan terdapat kapiler yang disebut sinusoid yang dibatasi sel kupffer. Sel kupffer berfungsi sebagai pertahanan hati. System biliaris dimulai dari kanalikulus biliaris, yang merupakan saluran kecil dilapisi oleh mikrovili kompleks di sekililing sel hati. Kanalikulus biliaris membentuk duktus biliaris intralobular, yang mengalirkan empedu ke duktus biliaris di dalam traktus porta.(2,3,4) Empedu yang dihasilkan hepatosit akan diekskresikan ke dalam kanalikuli dan selanjutnya ditampung dalam suatu saluran kecil empedu yang terletak di dalam hati yang secara perlahan akan membentuk saluran yang lebih besar lagi. Saluran ini mempunyai epitel kubis yang bisa mengembang secara bertahap bila saluran empedu makin membesar.(2,3,4) Kandung empedu dapat menampung 30-60 ml cairan empedu dengan ukuran panjang 8-10 cm mempunyai fundus, korpus, infundibulum dan kolum. Fundus bentuknya bulat, ujung buntu dari kandung empedu yang sedikit memanjang di atas tepi hati, dan sebagian besar tersusun atas otot polos dan jaringan elastik, merupakan tempat penampungan empedu. Korpus merupakan bagian terbesar dari kandung empedu, dan ujungnya akan membentuk leher (neck) dari kandung empedu. Leher ini bentuknya dapat konveks, dan membentuk infundibulum atau kantong Hartmann. Kantong Hartmann adalah bulbus divertikulum kecil yang terletak pada permukaan inferior dari kandung empedu, yang secara klinis bermakna karena proksimitasnya dari duodenum dan karena batu dapat terimpaksi ke dalamnya. Duktus sistikus menghubungkan kandung empedu ke duktus koledokus. Katup spiral dari Heister terletak di dalam duktus sistikus, mereka terlibat dalam keluar masuknya empedu dari kandung empedu.(2,3,4)

Pasokan darah ke kandung empedu adalah melalui arteri sistika; yang akan terbagi menjadi anterior dan posterior, secara khas merupakan cabang dari arteri hepatika kanan, tetapi asal dari arteri sistika bervariasi. Arteri sistika muncul dari segitiga Calot (dibentuk oleh duktus sistikus, common hepatic duct dan ujung hepar). Drainase vena dari kandung empedu bervariasi, biasanya ke dalam cabang kanan dari vena porta. Aliran limfe masuk secara langsung ke dalam hati dan juga ke nodus-nodus di sepanjang permukaan vena porta. Persarafannya berasal dari vagus dan cabang simpatik yang melewati celiac plexus (preganglionik T8-9). Impuls dari liver, kandung empedu, dan bile ducts melewari aferen simpatik melalui splanknik nerve dan menyebabkan nyeri kolik. Saraf muncul dari aksis seliak dan terletak di sepanjang arteri hepatica. Sensasi nyeri diperantarai oleh serat viseral, simpatis. Rangsangan motoris untuk kontraksi kandung empedu dibawa melalui cabang vagus dan ganglion seliaka.(2,3,4,5) Saluran empedu intrahepatik secara perlahan menyatu membentuk saluran yang lebih besar yang bisa menyalurkan empedu ke delapan segmen hati. Di dalam segmen hati kanan, gabungan cabang-cabang ini membentuk sebuah saluran di anterior dan posterior yang kemudian bergabung membentuk duktus hepatikus kanan. Pada beberapa orang, duktus hepatikus kanan berada 1 cm di luar hati. Duktus ini kemudian bergabung dengan 3 segmen dari segmen hati kiri (duktus hepatikus kiri) menjadi duktus hepatikus komunis.(2,3,4) Setelah penggabungan dengan duktus sistikus dari kandung empedu, duktus hepatikus menjadi duktus koledokus. Pada beberapa keadaan, dinding duktus koledokus menjadi besar dan lumennya melebar sampai mencapai ampula. Biasanya panjang duktus koledokus sekitar 7 cm dan terletak diantara ligamentum hepatoduodenali. kandung empedu menerima suplai darah terbesar dari jalinan pembuluh darah cabang arteri hepatika kanan.(2,3,4)

Fisiologi Sistem Digestivus Dan Biliaris(5) Fungsi dasar hati dibagi menjadi(5) : a. Fungsi vaskular untuk menyimpan dan menyaring darah. Ada dua macam darah pada hati, yaitu darah portal dari usus dan darah arterial, yang keduanya akan bertemu dalam sinusoid. Darah yang masuk sinusoid akan difilter oleh sel Kupffer. b. Fungsi metabolik. Hati memegang peran penting pada metabolisme karbohidrat, protein, lemak, vitamin. c. Fungsi ekskretorik. Banyak bahan di ekskresi hati di dalam empedu, seperti bilirubin, kolesterol, asam empedu dan lain-lain d. Fungsi sintesis. hati merupakan sumber albumin plasma, banyak globulin plasma, dan banyak protein yang berperan dalam hemostasis. Fungsi Cairan Empedu(5) a. Membantu pencernaan dan absorbsi lemak b. Ekskresi metabolit hati dan produk sisa seperti kolesterol, bilirubin, vitamin K dan logam berat. Fungsi utama kandung empedu adalah menyimpan dan memekatkan empedu. Kandung empedu mampu menyimpan sekitar 45 ml empedu yang dihasilkan hati.(5)

2.2 Metabolisme bilirubin Metabolisme Bilirubin Normal (1,3,5) Fase Prahepatik Pembentukan biliburin. Sekitar 250 sampai 350 mg biliburin atau sekitar 4 mg per kg berat badan terbentuk setiap harinya, 70-80% berasal dari pemecahan sel darah merah yang matang. Sedangkan sisanya 20-30% (early labeled bilirubin) datang dari protein heme lainnya yang berada terutama di dalam sumsum tulang dan hati. Sebagian dari protein heme dipecah menjadi besi dan produk antara biliverdin dengan perantara enzim heme oksigenasi. Enzim lain, biliverdin reduktase, mengubah biliverdin menjadi bilirubin. Pembentukan early labeled bilirubin meningkat pada beberapa kelainan dengan eritropoiesis yang tidak efektif. Transport plasma. Bilirubin tidak larut dalam air, karenanya bilirubin tak terkonjugasi ini transportnya dalam plasma terikat dengan albumin dan tidak dapat melalui membran glomerulus, karenanya tidak muncul dalam air kemih. Ikatan melemah dalam beberapa keadaan seperti asidosis, dan pemakaian antibiotika tertentu.

Fase Intrahepatik Liver uptake. Proses pengambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh hati memerlukan protein sitoplasma atau protein penerima, yang diberi simbol sebagai protein Y dan Z. Konjugasi. Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati mengalami konjugasi dengan asam glukoronik membentuk bilirubin diglukuronida atau bilirubin konjugasi atau bilirubin direk. Reaksi ini yang dikatalisasi oleh enzim mikrosomal glukoronil transferase menghasilkan bilirubin yang larut air. Dalam beberapa keadaan reaksi ini hanya menghasilkan bilirubin monoglukorida, dengan bagian asam glukoronik kedua ditambahkan dalam satuan empedu melalui sistem enzim yang berbeda, namun reaksi ini tidak dianggap fisiologik. Bilirubin konjugasi lainnya selain diglukuronid juga terbentuk namun kegunaannya tidak jelas. Fase Pascahepatik

Ekskresi bilirubin. Bilirubin konjugasi dikeluarkan

ke

dalam kanalikulus bersama bahan lainnya. Di dalam usus flora bakteri

mendekonjugasi dan mereduksi bilirubin menjadi sterkobilinogen dan mengeluarkannya sebagian besar ke dalam tinja yang memberi warna coklat. Sebagian diserap dan dikeluarkan kembali ke dalam empedu, dan dalam jumlah kecil mencapai air seni sebagai urobilinogen. Ginjal dapat mengeluarkan diglukuronida tetapi tidak bilirubin unkonjugasi. Hal ini menerangkan warna air seni yang gelap yang khas pada gangguan hepatoseluler atau kolestasis intrahepatik. Bilirubin tak terkonjugasi bersifat tidak larut dalam air namun larut dalam lemak. Karenanya bilirubin tak terkonjugasi dapat melewati barier darah otak atau masuk ke dalam plasenta. Dalam sel hati, bilirubin tak terkonjugasi mengalami proses konjugasi melalui enzim glukoniltransferase dan larut dalam empedu cair. 2.3 Obstruksi Jaundice 2.3.1 Definisi

Ikterus obstruktive adalah ikterus dengan bilirubin conjugated tinggi yang dapat bersifat akut atau kronik dengan dilatasi atau tanpa dilatasi saluran empedu yang disebabkan karena adanya hambatan dalam pengaliran cairan empedu dari sel hati yang menuju duodenum, sehingga bilirubin menumpuk di dalam aliran darah.(1,3) Ikterus adalah perubahan warna kuning pada sklera mata, kulit, dan membran mukosa yang disebabkan oleh deposisi bilirubin yang meningkat kadarnya dalam sirkulasi darah. Kata lain ikterus yaitu Jaundice yang berasal dari kata Perancis jaune yang berarti kuning. Jaundice merupakan tanda bahwa hati atau sistem empedu tidak berjalan normal.(1,3) Ikterus sebaiknya diperiksa dibawah cahaya terang dengan melihat sklera mata, dan jika ini terjadi kadar bilirubin sudah berkisar antara 2- 2,5 mg/dL( 34 sampai 43 umol/L). jika ikterus sudah jelas dapat dilihat dengan nyata maka bilirubin sudah mencapai 7 mg%.(1,3) 2.3.2 Klasifikasi Etiologi dan letak obstruksi bisa terjadi dimana saja pada semua traktus biliaris yang menyebabkan empedu tersumbat dan tidak bisa dialirkan ke duodenum. Berdasarkan Benyamin 1983, menunjukkan klasifikasi dari 4 kategori obstruksi biliaris, yaitu (6): 1. Tipe I. Obstruksi komplit menimbulkan ikterus, biasanya disebabkan oleh tumor, terutama pada caput pancreas, ligasi duktus biliaris komonis, batu pankreas, tumor-tumor parenkim hati primer atau sekunder. (6) 2. Tipe II. Obstruksi intermitten yang menimbulkan gejala-gejala dan perubahan biokimia yang khas tetapi dapat disertai serangan ikterus secara klinis sering dijumpai koledokolithiasis, divertikel duadeni, penyakit hati polikistik. (6) 3. Tipe III. Obstruksi inkomplit kronis dengan atau tanpa gejala klasik atau observasi perubahan biokimia yang akhirnya menimbulkan perubahan patologis pada duktus biliaris dan hati. Biasanya ditemukan pada keadaan berikut ini: Striktur biliaris komunis yang terjadi secara kongenital, traumatik (iatrogenik), sklerosing kholangitis dan post radioterapi, stenosis anastomosis biliodigestive, stenosis sfingter oddi, pankreatitis kronis, fibrosis kistik dan diskinesia. (6)

4. Tipe IV. Obstruksi segmental, dimana satu atau lebih segmen anastomosis duktus biliaris intra hepatis mengalami obstruksi. Contohnya Cholangiocarcinoma, Hepatolithiasis / Batu intrahepatik, Sclerosing cholangitis, dan Metastasis tumor.
(6)

2.3.3 Etiologi(1,5,6) Ikterus Obstruktive (Kolestasis) Intrahepatik(1,5,6) Aliran cairan empedu dapat terganggu pada tingkat mana saja dari mulai sel hati (kanalikulus), sampai ampula vateri. Penyebab ikterus obstruktive intrahepatik antara lain: 1. Virus Hepatitis, peradangan intrahepatik mengganggu transport bilirubin terkonyugasi dan menyebabkan ikterus. Hepatitis A merupakan penyakit self limited dan dimanifestasikan dengan adanya ikterus yang timbul secara akut. Hepatitis B dan C akut sering tidak menimbulkan gejala pada tahap awal (akut), tetapi bisa berjalan kronik dan menahun dan mengakibatkan gejala hepatitis menahun atau bahkan sudah menjadi sirosis hati. 2. Alkohol, bisa mempengaruhi gangguan pengambilan empedu dan sekresinya, dan mengakibatkan kolestasis. Pemakaian alkohol secara terus menerus bisa menimbulkan perlemakan (steatosis), hepatitis, dan sirosis dengan berbagai tingkat ikterus. Hepatitis karena alkohol biasanya memberi gejala ikterus sering timbul akut dan dengan keluhan dan gejala yang lebih berat. Jika ada nekrosis sel hati ditandai dengan peningkatan transaminase yang tinggi. 3. Infeksi bakteri Entamoeba histolitica, terjadi reaksi radang dan akhirnya terjadi nekrosis jaringan hepar. 4. Adanya tumor hati maupun tumor yang telah menyebar ke hati dari bagian tubuh lain. Ikterus Obstruktive (Kolestasis) Ekstrahepatik(1,5,6) Efek patofisiologis mencerminkan efek backup konsituen empedu (yang terpenting bilirubin, garam empedu, dan lipid) ke dalam sirkulasi sistemik dan kegagalannya untuk masuk usus halus untuk ekskresi. Retensi bilirubin menghasilkan

campuran hiperbilirubinemia dengan kelebihan bilirubin konyugasi masuk ke dalam urin. Tinja sering berwarna pucat karena lebih sedikit yang bisa mencapai saluran cerna usus halus. Peningkatan empedu dalam sirkulasi selalu di perkirakan sebagai penyebab keluhan gatal (pruritus), walaupun sebenarnya hubungannya belum jelas sehingga pathogenesis gatal masih belum bisa di ketahui dengan pasti. Garam empedu di butuhkan untuk penyerapan lemak dan vitamin K, gangguan ekskresi garam empedu dapat mengakibatkan steatorrhea dan hipoprotombinemia. Pada keadaan kolestasis yang berlangsung lama (primary, biliary, cirrhosis) gangguan penyerapan Ca dan vitamin D serta vitamin lain yang larut lemak dapat terjadi dan dapat menyebabkan osteoporosis dan osteomalasia. Retensi kolesterol dan fospolipid mengakibatkan hiperlipidemia, walaupun sintesis kolesterol di hati dan esterifikasi yang berkurang dalam darah tidak berpengaruh terhadap kadar trigliserida. Lemak beredar dalam darah sebagai lipoprotein densitas rendah yang unik dan abnormal yang di sebut lipoprotein X . Penyebab ikterus obstruktive ekstrahepatik antara lain : 1. Kolelitiasis/Koledokolitiasis 2. Kolesistitis 3. Atresia bilier 4. Striktur saluran bilier 5. Tumor duktus kholedokus 6. Tumor Pankreas 2.3.4 Patofisiologi(1,5,6) Terdapat 3 mekanisme umum terjadinya hiperbilirubinemia dan ikterus : 1. Pre Hepatik : Pembentukan bilirubin secara berlebihan 2. Intra Hepatik : Gangguan pengambilan bilirubin tak terkonyugasi oleh hati, Gangguan konyugasi bilirubin

3. Post Hepatik : Penurunan ekskresi bilirubin terkonyugasi dalam empedu akibat faktor intrahepatik dan ekstrahepatik yang bersifat obstruksi fungsional atau mekanik.

Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi terutama disebabkan oleh dua mekanisme yang pertama, sedangkan mekanisme yang ketiga terutama mengakibatkan hiperbilirubinemia terkonjugasi. (1,5,6) Pada ikterus obstruksi, terjadi penurunan ekskresi bilirubin terkonyugasi. Gangguan ekskresi bilirubin, baik yang disebabkan oleh faktor-faktor fungsional maupun obstruktive, terutama mengakibatkan hiperbilirubinemia terkonyugasi. Karena bilirubin terkonyugasi larut dalam air, maka bilirubin ini dapat diekskresi ke dalam kemih, sehingga menimbulkan bilirubinuria dan menjadikan kemih berwarna gelap. (1,5,6) Urobilinogen feses dan urobilinogen kemih sering berkurang sehingga feses-feses terlihat pucat. Peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi dapat di sertai bukti-bukti kegagalan ekskresi hati lainnya, seperti peningkatan kadar fosfatase alkali dalam serum, AST, kolesterol, dan garam-garam empedu. Peningkatan garam-garam empedu dalam darah menimbulkan gatal-gatal pada ikterus. lebih Ikterus kuning yang diakibatkan oleh hiperbilirubinemia terkonyugasi biasanya dibandingkan dengan

hiperbilirubinemia tak terkonyugasi. Perubahan warna berkisar dari kuning-jingga muda atau tua sampai kuning-hijau bila terjadi obstruksi total aliran empedu. (1,5,6) Kebanyakan dari obstruktive jaundice disebabkan oleh batu empedu. Pembentukan batu empedu dibagi menjadi tiga tahap: (1) pembentukan empedu yang supersaturasi, (2) nukleasi atau pembentukan inti batu, dan (3) berkembang karena bertambahnya pengendapan. Kelarutan kolesterol merupakan masalah yang terpenting dalam pembentukan semua batu, kecuali batu pigmen. Supersaturasi empedu dengan kolesterol terjadi bila perbandingan asam empedu dan fosfolipid (terutama lesitin) dengan kolesterol turun di bawah harga tertentu. Secara normal kolesterol tidak larut dalam media yang mengandung air. Empedu dipertahankan dalam bentuk cair oleh pembentukan koloid yang mempunyai inti sentral kolesterol, dikelilingi oleh mantel yang hidrofilik dari garam empedu dan lesitin. Jadi sekresi kolesterol yang berlebihan, atau kadar asam empedu rendah, atau terjadi sekresi lesitin, merupakan keadaan yang litogenik. (2,4) Menurut gambaran makroskopis dan komposisi kimianya, batu empedu di golongkankan atas 3 (tiga) golongan (2,4): 1. Batu kolesterol (4,7,8)

Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih dari 70% kolesterol. Lebih dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu yang mengandung > 50% kolesterol). No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. Faktor Predisposisi Pembentukan Batu Empedu Wanita (beresiko dua kali lebih besar dibanding laki-laki) Usia lebih dari 40 tahun . Kegemukan (obesitas). Faktor keturunan Aktivitas fisik Kehamilan (resiko meningkat pada kehamilan) Hiperlipidemia Diet tinggi lemak dan rendah serat Pengosongan lambung yang memanjang Nutrisi intravena jangka lama Dismotilitas kandung empedu Obat-obatan antihiperlipedmia (clofibrate) Penyakit lain (seperti Fibrosis sistik, Diabetes mellitus, sirosis hati, pankreatitis dan kanker kandung empedu) dan 14. penyakit ileus (kekurangan garam empedu) Ras/etnik (Insidensinya tinggi pada Indian Amerika, diikuti oleh kulit putih, baru orang Afrika) 2. Batu pigmen(4,7,8) Batu pigmen merupakan 10% dari total jenis baru empedu yang mengandung <20% kolesterol. Jenisnya antara lain: a. Batu pigmen kalsium bilirubinan (pigmen coklat) Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan mengandung kalsium-bilirubinat sebagai komponen utama. Batu pigmen cokelat terbentuk akibat adanya faktor stasis dan infeksi saluran empedu. Stasis dapat disebabkan oleh adanya disfungsi sfingter Oddi, striktur, operasi bilier, dan infeksi parasit. Bila terjadi infeksi saluran empedu, khususnya E. Coli, kadar enzim B-glukoronidase yang berasal dari bakteri akan dihidrolisasi menjadi bilirubin bebas dan asam glukoronat. Kalsium mengikat bilirubin menjadi kalsium bilirubinat yang tidak larut. Dari penelitian yang dilakukan didapatkan adanya hubungan erat antara infeksi bakteri dan terbentuknya batu

pigmen cokelat.umumnya batu pigmen cokelat ini terbentuk di saluran empedu dalam empedu yang terinfeksi. b. Batu pigmen hitam. Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti bubuk dan kaya akan sisa zat hitam yang tak terekstraksi. Batu pigmen hitam adalah tipe batu yang banyak ditemukan pada pasien dengan hemolisis kronik atau sirosis hati. Batu pigmen hitam ini terutama terdiri dari derivat polymerized bilirubin. Potogenesis terbentuknya batu ini belum jelas. Umumnya batu pigmen hitam terbentuk dalam kandung empedu dengan empedu yang steril. 3. Batu campuran (4,7,8) Batu campuran antara kolesterol dan pigmen dimana mengandung 20-50% kolesterol.

2.3.5 Manifestasi Klinis(2,4,7) Kulit berwarna kuning. Air kemih berwarna gelap akibat hiperbilirubinemia. Tinja tampak pucat karena bilirubin dalam usus menurun, tinja juga bisa

mengandung terlalu banyak lemak, karena dalam usus tidak terdapat empedu untuk membantu mencerna lemak makanan. Mudah mengalami perdarahan karena terjadi gangguan penyerapan bahanbahan yang diperlukan untuk pembekuan darah.

Nyeri tulang dan patah tulang dikarenakan tulang keropos akibat kurangnya Gatal-gatal karena meningkatnya empedu dalam sirkulasi darah. Nyeri perut kanan atas, hilangnya nafsu makan, muntah dan demam.

penyerapan kalsium dan vitamin D karena kurangnya empedu dalam usus.

2.3.6 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik (2,4,7) Kolelitiasis Anamnesis Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asimtomatis. Keluhan yang mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang disertai intoleran terhadap makanan berlemak. Pada yang simtomatis, Pasien biasanya datang dengan keluhan utama berupa nyeri di daerah epigastrium atau nyeri/kolik pada perut kanan atas atau hipokondrium kanan yang mungkin berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang beberapa jam. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan tetapi pada 30% kasus timbul tiba-tiba. Kadang pasien datang dengan mata dan tubuh menjadi kuning, badan gatal-gatal, kencing berwarna seperti teh, tinja berwarna seperti dempul dan penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak bahu, disertai mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri berkurang setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi cholecystitis, keluhan nyeri menetap dan bertambah pada waktu menarik nafas dalam. Hal-hal yang perlu ditanyakan lebih lanjut kepada pasien adalah: - perjalanan penyakit akut/kronis - riwayat keluarga - nyeri atau tidak; ikterus tanpa nyeri biasanya disebabkan karena keganansan - riwayat minum obat sebelumnya - kelainan gastrointestinal, seperti nyeri epigastrium, mual, muntah - demam, nafsu makan menurun; lebih cenderung ke hepatitis - anemia atau tidak

Pemeriksaan fisik Pasien dengan stadium litogenik atau batu asimptomatik tidak memiliki kelainan dalam pemeriksaan fisik. Selama serangan kolik bilier, terutama pada saat kolesistitis akut, pasien akan mengalami nyeri palpasi / nyeri tekan dengan punktum maksimum didaerah letak anatomis kandung empedu. Diketahui dengan adanya tanda Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik nafas panjang karena kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas. Riwayat ikterik maupun ikterik cutaneus dan sklera dan bisa teraba hepar.

2.3.7 Pemeriksaan Penunjang(4,8,9) Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan: A. Darah rutin : anemia/tidak, lekositosis/tidak Urine : bilirubin , urobilin (+) Tinja : pucat B. Test Faal Hati 1. Bilirubin direct/terkonjugasi : meningkat 2. SGOT, SGPT : meningkat Merupakan enzim yang disintesis dalam konsentrasi tinggi di dalam hepatosit. Peningkatan dalam aktivitas enzim ini didalam darah sering menunjukkan kerusakan pada sel-sel hati. 3. Alkali fosfatase : meningkat Merupakan enzim yang disintesis dalam sel epitel saluran empedu. Enzim ini juga dapat dihasilkan oleh tulang rawan. Pada obstruksi, aktivitas enzim ini dapat meningkat karena produksinya yang meningkat. 4. Kadar kolesterol : meningkat

Fungsi dari cairan empedu diantaranya membantu pencernaan dan absorbsi lemak sehingga pada obstruksi jaundice yang didapatkan stasis cairan empedu menimbulkan kadar lemak yang tinggi dalam darah. 5. Gamma GT : meningkat Merupakan enzim yang disintesis dalam sel epitel saluran empedu. Aktivitas enzim ini meningkat pada obstruksi saluran empedu. 6. Protrombin time : meningkat Merupakan salah satu fisiologi hemostasis yang juga diatur oleh hepar, dimana pada obstruksi jaundice didapatkan penurunan fungsi sintesis hati termasuk faktor pembekuan yang berpengaruh pada protrombin time. Catatan : Pasien dengan kolelitiasis tanpa komplikasi atau tipe kolik bilier simpel memiliki nilai laboratorium yang normal. Kolelitiasis akut berhubungan dengan leukositosis PMN, serta bisa disertai dengan peningkatan enzim hati . Koledokolitiasis dengan obstruksi duktus biliar akut akan menyebabkan peningkatan akut jumlah SGOT dan SGPT serta peningkatan alkali fosfatase dan serum bilirubin tetap dalam beberapa hari. 2. Pemeriksaan radiologis(4,8,9,10) Foto polos Abdomen Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di fleksura hepatika.(9,11)

Ultrasonografi (USG)

Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun ekstra hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau oedem yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledokus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara di dalam usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang mengalami gangren lebih jelas daripada dengan palpasi biasa. Kriteria batu kandung empedu pada USG yaitu dengan acoustic shadowing dari gambaran opasitas dalam kandung empedu.(9,11)

Kolesistografi

Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah, kadar bilirubin serum diatas 2 mg/dl, kehamilan, obstruksi pilorus, dan hepatitis, karena pada keadaan-keadaan tersebut kontras tidak dapat mencapai hati. Cara ini memerlukan lebih banyak waktu dan persiapan dibandingkan ultrasonografi Pemeriksaan kolesitografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung empedu.(8,9) HIDA Metode ini bermanfaat untuk menentukan adanya obstruksi di duktus sistikus misalnya karena batu. Juga dapat berguna untuk membedakan batu empedu dengan beberapa nyeri abdomen akut. HIDA normalnya akan diabsorpsi di hati dan kemudian akan disekresi ke kantong empedu dan dapat dideteksi dengan kamera gamma. Kegagalan dalam mengisi kantong empedu menandakan adanya batu, sementara HIDA terisi ke dalam duodenum.(8,9) Computed Tomografi (CT) CT scan juga merupakan metode pemeriksaan yang akurat untuk menentukan adanya batu empedu, Pelebaran saluran empedu dan koledokolitiasis. Walaupun demikian, teknik ini jauh lebih mahal dibanding USG.(8,9) Percutaneus Transhepatic Cholangiographi (PTC) dan Endoscopic Retrograde Cholangio-pancreatography (ERCP). PTC dan ERCP merupakan metoda kolangiografi direk yang amat bermanfaat untuk menentukan adanya obstruksi bilier dan penyebab obstruksinya seperti

koledokolitiasis. Selain untuk diagnosis ERCP juga dapat di gunakan untuk terapi dengan melakukan sfingterotomi ampula vateri diikuti ekstraksi batu. Tes invasif ini melibatkan opasifikasi langsung pada saluran empedu dengan kanulasi endoskopi ampulla vateri dan suntikan retograd zat kontras. Resiko ERCP pada hakekatnya dari endoskopi dan mencakup sedikit penambahan insidens kolangitis dalam saluran empedu yang tersumbat sebagian(8,9,10) 2.3.8 Penatalaksanaan Pada dasarnya penatalaksanaan penderita ikterus obstruksi bertujuan untuk menghilangkan penyebab obstruksi atau mengalihkan aliran empedu. Bila penyebabnya adalah batu, dilakukan tindakan pengangkatan batu dengan cara operasi cholecystectomy atau choledochotomy secara laparotomi ataupun laparoskopi. Bila penyebabnya adalah tumor dan tindakan bedah tidak dapat menghilangkan penyebab obstruksi karena tumor tersebut maka dilakukan tindakan drainase untuk mengalihkan aliran empedu tersebut. Ada 2 macam tindakan drainase yaitu drainase ke luar tubuh (drainase eksterna) dan drainase interna (pintasan bilio-digestif). (4,9) Drainase eksterna dilakukan dengan mengalihkan aliran empedu ke luar tubuh misalnya dengan pemasangan pipa naso bilier atau pipa T pada duktus koledokus atau kolesistostomi.

Drainase interna dapat dilakukan dengan membuat pintasan bilio-digestif lain hepatiko-jejunostomi, koledoko-duodenostomi atau kolesisto-

antara

jejunostomi. Drainase interna pertama kali dilaporkan oleh Pareiras et al dan Burchart pada tahun 1978, dan presentase munculnya kembali ikterus obstruksi setelah dilakukan drainase adalah 0 15 % tergantung dari tehnik operasi yang digunakan.

Kolelitiasis Obat Ursodeoxycholic Acid Batu empedu simptomatik kadang dapat diatasi dengan asam Ursodeoxycholic oral yang bekerja dengan menurunkan saturasi kolesterol empedu dan menyebabkan dispersi kolesterol yang berasal dari batu, serta memperlambat proses nukleasi kristal kolesterol. (8,9) Kolesistostomi dan Drainase Merupakan suatu metode dekompresi dengan kolesistektomi dan drainase kandung empedu yang mengalami distensi, inflamasi, hidropic, dan purulen. Menggunakan ultrasound sebagai penuntun drainase perkutan dengan menggunakan kateter pigtail. Kateter dimasukkan melalui guidewire yang telah memasuki dinding abdomen, kemudian ke liver, dan memasuki kandung empedu. Dengan melewatkan kateter melalui hepar ke kandung empedu, resiko kebocoran menjadi minimal. Kateter dapat dilepas apabila proses inflamasi telah teratasi dan kondisi pasien membaik. Kandung empedu dapat diangkat kemudian jika diindikasikan dan keadaan memungkinkan, biasanya dillakukan dengan laparoskopi. (8,9)

Kolesistektomi terbuka

Operasi ini untuk penanganan pasien dengan kolelitiasis simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi adalah cedera duktus biliaris yang terjadi pada 0,2% pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur ini kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut. (8,9) Kolesistektomi laparoskopi Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990 dan sekarang ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara laparoskopi. 80-90% batu empedu di Inggris dibuang dengan cara ini karena memperkecil resiko kematian dibanding operasi normal (0,1-0,5% untuk operasi normal) dengan mengurangi komplikasi pada jantung dan paru. Kandung empedu diangkat melalui trochar dan gas CO2 yang dimasukkan lewat sayatan kecil di dinding perut. (8,9,12)

Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL)

Sangat populer digunakan beberapa tahun belakang ini, analisis biaya-manfaat pad saat ini memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas pada pasien yang telah benar-benar dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini. (9,13)

Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)

Pada ERCP, suatu endoskop dimasukkan melalui mulut, kerongkongan, lambung dan ke dalam usus halus. Zat kontras radioopak masuk ke dalam saluran empedu melalui sebuah selang di dalam sfingter oddi. Pada sfingterotomi, otot sfingter dibuka agak lebar sehingga batu empedu yang menyumbat saluran akan berpindah ke usus halus. ERCP dan sfingterotomi telah berhasil dilakukan pada 90% kasus. Kurang dari 4 dari setiap 1.000 penderita yang meninggal dan 3-7% mengalami komplikasi, sehingga prosedur ini lebih aman dibandingkan pembedahan perut. ERCP saja biasanya efektif dilakukan pada penderita batu saluran empedu yang lebih tua, yang kandung empedunya telah diangkat. (9,11)

Koledokotomi

Indikasi membuka ductus choledochus adalah jelas bila ada kolangitis, teraba batu atau ada batu pada foto. Indikasi relatif adalah bila ikterus dengan pelebaran ductus choledochus. Indikasi absolut dilakukan kolangiogram sewaktu pembedahan dan didapatkan atresia bilier. Pada umumnya memang saluran empedu intra dan ekstrahepatik melebar pada batu koledokus. Dalam hal ini perlu dilakukan kolangiografi misalnya Endoscopic Retrograde Cholangio

Pancreatography (ERCP) untuk konfirmasi ada tidaknya obstruksi di saluran empedu. Kadang-kadang sesudah operasi koledokotomi, pasien masih ikterus dan masih ada kolik yang disebabkan oleh adanya batu yang tertinggal di duktus koledokus. Hal ini diketahui pada saat pasien belum pulang dari Rumah Sakit bahkan kadang-kadang pasien masih di unit perawatan intensif atau di recovery room beberapa saat sesudah operasi. Tentunya kurang dapat diterima bilamana pasien dianjurkan untuk di laparotomi lagi untuk mengeluarkan batu yang tertinggal. Dalam hal ini tindakan pengeluaran batu saluran empedu per endoskopi dapat mengatasi masalah tersebut. Pada pasien dengan batu koledokus yang disertai batu kandung empedu bila kandung empedu masih baik dan batu kandung empedunya asimtomatik maka kandung empedu dibiarkan saja sedangkan batu koledokus dikeluarkan dengan cara endoskopi. Bila kadung empedu menunjukkan tanda-tanda kolesistitis kronik, dilakukan pengeluaran batu koledokus per endoskopi disusul dengan kolesistektomi pada kesempatan berikutnya melalui laparoskopi. (8,9,11) Koledokoduodenostomi/Koledokojejunostomi Tindakan ini dilakukan bila ada striktur ataupun tumor di ductus choledochus distal atau di papilla Vater yang terlalu panjang untuk dilakukan sfingterotomi. (8,9) Tumor Pankreas Pancreatiko-duodenektomi (Whipple) Dilakukan pada Tumor Caput Pancreas, dikeluarkan tumor secara radikal en bloc, yaitu caput pancreas, corpus, duodenum, pylorus dan bagian distal lambung dimana syaratnya belum terjadi proses metastase dan ukurannya relatif kecil. (8,9,10)

2.3.9 Komplikasi

Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan mengakibatkan/ menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi ada dalam kandung empedu terdorong dan dapat menutupi duktus sistikus, batu dapat menetap ataupun dapat terlepas lagi. Apabila batu menutupi duktus sitikus secara menetap maka mungkin akan dapat terjadi mukokel, bila terjadi infeksi maka mukokel dapat menjadi suatu empiema, biasanya kandung empedu dikelilingi dan ditutupi oleh organ perut (kolon, omentum), dan dapat juga membentuk suatu fistel kolesistoduodenal. Penyumbatan duktus sistikus dapat juga berakibat terjadinya kolesistitis akut yang dapat sembuh atau dapat mengakibatkan nekrosis sebagian dinding (dapat ditutupi alat sekitarnya) dan dapat membentuk suatu fistel kolesistoduodenal ataupun dapat terjadi perforasi kandung empedu yang berakibat terjadinya peritonitis generalisata. (2,4,8,9) Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada saat kontraksi dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus koledokus kemudian menetap asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik. Batu yang menyumbat di duktus koledokus juga berakibat terjadinya ikterus obstruktive, kolangitis (demam, ikterik dan nyeri perut kanan), dan pankreatitis. Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui terbentuknya fistel kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat menyumbat pada bagian tersempit saluran cerna (ileum terminal) dan menimbulkan ileus obstruksi. (2,4,8,9) Kolesistitis akut (Sebagian besar (90-95%)) kasus kolesistitis akut disertai kolelithiasis dan keadaan timbul akibat obstruksi duktus sistikus yang menyebabkan peradangan organ tersebut. Respon peradangan dapat dicetuskan 3 faktor(2,4): o kandung empedu. o o Inflamasi kimiawi akibat pelepasan lesitin dan Inflamasi bakteri yang memegang peran pada faktor jaringan lokal lainnya. sebagian besar pasien dengan kolesistitis akut. Pada suatu keadaan yang kronis dari obstruksi bilier ataupun kolangitis dapat menyebabkan terjadinya sirosis bilier, yakni terjadinya pembentukan jaringan parut Inflamasi mekanik yang dicetuskan oleh kenaikan tekanan intra lumen dan distensi menyebabkan iskemia mukosa dan dinding

dalam hati di sekitar saluran empedu. Sirosis bilier merupakan satu dari tiga tipe sirosis hepatis lainnya yakni sirosis portal laennec (alkoholik nutrisional, jaringan parut secara khas mengelilingi daerah portal) dan sirosis pasca nekrotik (terdapat pita jaringan parut yang lebar sebagai akibat lanjut dari hepatitis virus akut yang terjadi sebelumnya). Hati yang sirotik tidak memungkinkan pelintasan darah yang bebas, maka aliran darah tersebut akan kembali ke dalam limpa dan traktus gastrointestinal dengan konsekuensi bahwa organ-organ ini menjadi tempat kongesti pasif yang kronis; dengan kata lain, kedua organ tersebut akan dipenuhi oleh darah dan dengan demikian tidak dapat bekerja dengan baik. Sirosis hepatis juga menyebabkan cairan yang kaya protein menumpuk di rongga peritoneal dan menimbulkan asites. Hal ini ditunjukkan melalui perkusi akan adanya shifting dullness. Obstruksi aliran darah lewat hati yang terjadi akibat perubahan fibrotik juga mengakibatkan pembentukan pembuluh darah kolateral sistem gastrointestinal dan pemintasan (shunting) darah dari pembuluh portal ke dalam pernbuluh darah dengan tekanan yang lebih rendah. Sebagai akibatnya, penderita sirosis sering memperlihatkan distensi pembuluh darah abdomen yang mencolok serta terlihat pada inspeksi abdomen (kaput medusae), dan distensi pembuluh darah di seluruh traktus gastrointestinal. Esofagus, lambung dan rektum bagian bawah merupakan daerah yang sering mengalami pembentukan pembuluh darah kolateral. Keadaan sirosis hepatis ini juga akan mempengaruhi hepar dalam hal metabolisme amonia. Sehingga pada keadaan yang lebih lanjut dapat menimbulkan ensefalopati hepatikum.(1,5,14)

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan 1. Ikterus obstruktive merupakan hambatan dalam pengaliran cairan empedu dari sel hati yang menuju duodenum, sehingga bilirubin terkonjugasi menumpuk di dalam aliran darah. 2. Ikterus obstruktive disebabkan karena sumbatan/hambatan dalam pengaliran cairan empedu intra maupun ekstra hepatik yang sebagian besar disebabkan oleh batu empedu jenis kolesterol. 3. Manifestasi klinis yang muncul berupa kulit yang berwarna kuning, air kemih berwarna gelap, tinja tampak pucat, gatal-gatal karena meningkatnya empedu dalam sirkulasi darah, dan nyeri perut kanan atas. 4. Diagnosa ditegakkan melalui anamnesa, pemeriksaan fisik dan penunjang. Didapatkan peningkatan bilirubin terkonjugasi, SGOT, SGPT, kadar kolesterol, Gamma GT, Protrombin time, dan alkali fosfatase.

5. Penatalaksanaan

yang

dilakukan

dapat

berupa

pembedahan

yakni

cholecystectomy laparotomi dengan explorasi choledokotomi, cholecystectomy laparoskopi, maupun melalui pintasan bilio digestive dan drainase eksterna. 6. Komplikasi ikterus obstructive dalam jangka panjang akan menimbulkan sirosis bilier yang membuat kerja hepar menurun sehingga dapat mengakibatkan ensefalopati hepatikum. 3.2 Saran Dibutuhkan pemahaman yang lebih dan teliti untuk menemukan penyebab dari jaundice mengingat banyaknya diagnosa banding yang muncul baik pre hepatic, intra hepatic, maupun post hepatic.

DAFTAR PUSTAKA
1. Lesmana L. Batu empedu. Dalam : Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid I. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2000. 380384. 2. Schwartz S, Shires G, Spencer F. Prinsip-prinsip Ilmu Bedah (Principles of Surgery). Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2000. 459-464. 3. McFadden Jr. ER. In : Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, (Eds.). 2001. Harrisons. Principles of Internal Medicine. Volume 2. 15Th Edition. USA: McGraw-Hill. p.1456-1462. 4. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2005. 570-579. 5. Ganong, W.F. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 2008.EGC: Jakarta. 6. Ilmu Bedah.Ikterus Obstuktif.Universitas Gadjah Mada.2011. (online, diakses 1 Agustus 2011)http://ilmubedah.info/ikterus-obstruktif-patofisiologi-etiologi-letakobstruksi-20110216.html. 7. Maryan Lee F, Chiang W. Cholelithiasis. Avaliable from : http://www.emedicine.com/emerg/Gastrointestinal/topic97.htm.(online, diakses 1 Agustus 2011).

8. Clinic Staff. Gallstones. Avaliable from : http://www.6clinic.com/health/digestive-system/DG99999.htm. (online, diakses tanggal 2 Agustus 2011). 9. Cholelithiasis. Avaliable from : http://www.7.com/HealthManagement/ManagingYourHealth/HealthReference/Di seases/InDepth/?chunkiid=103348.htm. (online, diakses 2 Agustus 2011). 10. Yekeler E, Akyol Y. Cholelithiasis. Dalam : New England Journal of Medicine. Avaliable from : http://content.nejm.org/cgi/content/full/351/22/2318#F1. (online, diakses 3 Agustus 2011). 11. Heuman D, Mihas A. Cholelithiasis. Avaliable from : http://www.emedicine.com/emerg/Gastrointestinal/topic863.htm. (online, diakses 3 Agustus 2011). 12. Webmaster.2008. Available From: http://www.thebestlinks.com/Cholecystectomy.html (online, diakses 1 Agustus 2011) 13. Webmaster.2008. Available From: http://www.mcl.tulane.edu/classware/pathology/medical_pathology/hepatobil_test ing/10imaging.html (online, diakses 1 Agustus 2011). 14. Maryani,Sri.Sirosis Hepatis.2003.Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Anda mungkin juga menyukai