Anda di halaman 1dari 24

TINJAUAN PUSTAKA

PENGGUNAAN PEMERIKSAAN
ULTRASONOGRAFI (USG)
PADA SIROSIS HEPATIS

Disusun Oleh :
Satria Adi Putra

G99141062

Yohana Trissya A

G99141063

Totok Siswanto

G99141064

Ivan Setiawan

G99141065

Ibnu Kharisman

G99141066

Pembimbing :
Prof. Dr. dr. Suyono, Sp. Rad. (K)
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2014

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.
Gambar 2.
Gambar 3.
Gambar 4.

Facies diaphragmatica hepar


Facies visceralis hepar
Anatomi empedu.
Algoritma diagnosis sirosis hepatis yang melibatkan pemeriksaan fisik,
laboratorium dan radiologi.

Gambar 5.
Gambar 6.
Gambar 7.

Ekhoparenkim hepar tampak kasar disertai pembesaran lobus sinistra.


Iregularitas kontur eksternal lobus sinistra.
Nodul echogenic hepar (bandingkan dengan parenkim ginjal R) disertai

Gambar 8.
Gambar 9.
Gambar 10.

asites.
Splenomegali dengan dimensi longitudinal 12,95 cm.
Splenorenal shunt pada USG Doppler.
Kolateral regio perisplenic (tanda panah) menunjukkan terjadinya spl enorenal
shunt.

BAB I
PENDAHULUAN
Sirosis hepatis adalah penyakit yang ditandai oleh adanya peradangan
difus dan menahun pada hati, diikuti dengan proliferasi jaringan ikat, degenerasi,
dan regenerasi sel-sel hati, sehingga timbul kekacauan dalam susunan parenkim
hati. Gambaran histopatologi dari sirosis hati memiliki tiga karakteristik utama
yaitu: (1)distorsi arsitektur hepar, (2) jaringan parut sebagai akibat dari
peningkatan deposisi jaringan fibrosa dan kolagen, (3) nodula regeneratif akibat
nekrosis sel-sel hati yang dikelilingi jaringan parut. Nodula-nodula regeneratif ini
dapat kecil (mikronodular) atau besar (makronodular). Prevalensi sirosis hati di
dunia berdasarkan data WHO (2004), penyakit ini menduduki peringkat 18
penyebab kematian dengan jumlah kematian 800.000 kasus (Longo, 2012).
Sirosis hepatis adalah penyakit yang sering dijumpai di seluruh dunia
termasuk di Indonesia. Pada penelitian yang dilakukan pada RSUD dr. Moewardi
Surakarta, prevalensi terbanyak pada laki-laki dan pada usia 51-60 tahun.
Penderita datang dengan keluhan utama terbanyak adalah ascites, diikuti dengan
gejala ikterik. (Suyono, 2006). Sirosis di Amerika diperkirakan 360 per 100.000
penduduk yang banyak disebabkan oleh konsumsi alkohol. Di Indonesia 40-50%
penyebab sirosis hati adalah virus hepatitis B, 30-40% disebabkan oleh virus
hepatitis C dan 10-20% penyebabnya tidak diketahui. (WHO, 2013).
Pemeriksaan dengan menggunakan ultrasonografi (USG) sudah secara
rutin digunakan pada kasus sirosis karena pemeriksaanya noninvasif dan mudah
digunakan. Sedangkan pada pemeriksaan USG, yang paling banyak ditemukan
adalah ascites, echostruktur hepar yang kasar, splenomegali, hipertensi porta dan
pembesaran hepar. Nodul, penebalan dinding kandung empedu dan pasir kandung
empedu ditemukan pada kurang dari 50 % kasus (Suyono, 2006)
Penelitian dari Khan (2010) menyimpulkan bahwa gambaran nodulus
pada USG hati adalah metode diagnostik yang cukup akurat dalam mendiagnosa
pasien sirosis. Gambaran USG yang dinilai meliputi sudut hati, permukaan hati,
ukuran, homogenitas, dan adanya massa. Pada gambaran USG sirosis hati dapat

ditemukan ekoparenkim hati yang kasar dan hiperkoik, permukaan hati sangat
ireguler karena fibrosis. Ukuran kedua lobus hati mengecil. Terlihat tanda
sekunder berupa asites, splenomegali dan adanya pelebaran vena lienalis dan vena
porta.( Rasad, 2005; Khan, 2010).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANATOMI HEPAR
Hepar (liver/hati) merupakan kelenjar terbesar dari tubuh manusia
dengan berat sekitar 1,5 kg pada orang dewasa. Fungsi hepar antara lain:
1. Sebagai organ hematopoiesis pada fetus
2. Berperan dalam metabolism karbohidrat, lemak, dan protein
3. Menyimpan glikogen dan mensekresi empedu (bile)
Pada kondisi hidup berwarna merah tua karena kaya akan persediaan
darah. Hati terbagi menjadi lobus kiri dan lobus kanan yang dipisahkan oleh
ligamentum falciforme. Lobus kanan hati lebih besar dari lobus kirinya dan
mempunyai 3 bagian utama yaitu : lobus kanan atas, lobus caudatus, dan
lobus quadratus.
Untuk mengetahui perbedaan bentuk hati normal dan tidak normal
dapat dilihat pada gambar berikut :

Gambar 1. Facies diaphragmatica hepar

Gambar 2. Facies visceralis hepar


Hati disuplai oleh dua pembuluh darah yaitu :
a. Vena porta hepatica yang berasal dari lambung dan usus, yang kaya akan
nutrien seperti asam amino, monosakarida, vitamin yang larut dalam air, dan
mineral.
b. Arteri hepatica, cabang dari arteri colliaka yang kaya akan oksigen.
Cabang-cabang pembuluh darah vena porta hepatica dan arteri
hepatica mengalirkan darahnya ke sinusoid. Hematosit menyerap nutrien,
oksigen, dan zat racun dari darah sinusoid. Di dalam hematosit zat racun akan
dinetralkan sedangkan nutrien akan ditimbun atau dibentuk zat baru, dimana
zat tersebut akan disekresikan ke peredaran darah tubuh
B. ANATOMI VESICA FELLEA
Kandung empedu (Vesica fellea) adalah kantong berbentuk buah pear
yang terletak pada permukaan visceral hepar.Vesica fellea dibagi menjadi
fundus, corpus dan collum.Fundus berbentuk bulat dan biasanya menonjol
dibawah pinggir inferior hepar, dimana fundus berhubungan dengan dinding
anterior abdomen setinggi ujung rawan costa IX kanan.Corpus bersentuhan
dengan permukaan visceral hati dan arahnya keatas, belakang dan kiri.Collum
dilanjutkan sebagai duktus cysticus yang berjalan dalam omentum minus

untuk bersatu dengan sisi kanan ductus hepaticus comunis membentuk duktus
koledokus.Peritoneum mengelilingi fundus vesica fellea dengan sempurna
menghubungkan corpus dan collum dengan permukaan visceral hati.
Pembuluh arteri kandung empedu adalah arteri cystica, cabang arteri
hepatica kanan.Vena cystica mengalirkan darah lengsung kedalam vena
porta.Sejumlah arteri yang sangat kecil dan vena vena juga berjalan antara
hati dan kandung empedu.Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi
lymphatici cysticae yang terletak dekat collum vesica fellea.Dari sini,
pembuluh limfe berjalan melalui nodi lymphatici hepaticum sepanjang
perjalanan arteri hepatica menuju ke nodi lymphatici coeliacus.Saraf yang
menuju kekandung empedu berasal dari plexus coeliacus.
Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang
terletak dekat collum vesica fellea.Dari sini, pembuluh limfe berjalan melalui
nodi lymphatici hepaticum sepanjang perjalanan a. hepatica menuju ke nodi
lymphatici coeliacus.Saraf yang menuju kekandung empedu berasal dari
plexus coeliacus.

Gambar 3.Anatomi empedu.


Vesica fellea berperan sebagai resevoir empedu dengan kapasitas sekitar
50 ml. Vesica fellea mempunya kemampuan memekatkan empedu. Dan untuk
membantu proses ini, mukosanya mempunyai lipatan-lipatan permanen yang
satu sama lain saling berhubungan. Sehingga permukaanya tampak seperti
sarang tawon.Sel- sel thorak yang membatasinya juga mempunyai banyak
mikrovilli.Empedu dibentuk oleh sel-sel hati ditampung di dalam
kanalikuli.Kemudian disalurkan ke duktus biliaris terminalis yang terletak di
dalam septum interlobaris.Saluran ini kemudian keluar dari hati sebagai
duktus hepatikus kanan dan kiri.Kemudian keduanya membentuk duktus
biliaris komunis.Pada saluran ini sebelum mencapai doudenum terdapat
cabang ke kandung empedu yaitu duktus sistikus yang berfungsi sebagai
tempat penyimpanan empedu sebelum disalurkan ke duodenum.
C. FISIOLOGI HEPAR

Liver merupakan organ metabolik terbesar yang penting bagi sistem


pencernaan untuk sekresi garam empedu, tetapi juga melakukan fungsi lain
diantaranya:
1. Pengolahan metabolik nutrien utama seperti karbohidrat, lemak dan
protein.
2. Detoksifikasi atau degradasi zat sisa, hormon, obat dan senyawa asing
lainnya.
3. Sintesis berbagai protein plasma yang berfungsi untuk pembekuan
darah dan mengangkut hormon tiroid, steroid dan kolestrol dalam
darah.
4. Penyimpanan glikogen, lemak, besi, tembaga, dan banyak vitamin.
5. Pengaktifan vitamin D.
6. Pengeluaran bakteri dan sel darah merah yang usang berkat adanya
makrofag residen.
7. Ekskresi kolestrol dan bilirubin.
Hepatosit mampu melaksanakan berbagai tugas metabolik seperti diatas
kecuali aktivitas fagositik yang dilakukan oleh makrofag residen yang lebih
dikenal sebagai sel Kuppfer. Dalam melaksanakan tugasnya, setiap hepatosit
berkontak langsung dengan darah dari dua sumber yakni darah vena dari
saluran pencernaan dan darah arteri dari aorta. Darah vena memasuki hati
melalui sistem porta hati. Vena dari saluran cerna yang mengangkut produk
yang di serap dari saluran cerna memasuki vena porta hepatika terlebih dahulu
untuk diolah, disimpan dan didetoksifikasi di hati

sebelum memasuki

sirkulasi umum. Di hati, vena porta bercabang menjadi jaringan kapiler


(sinusoid hati) untuk pertukaran antara darah dan hepatosit sebelum
mengalirkan darah ke vena hepatika dan kemudian menyatu dengan vena cava
inferior.
Liver tersusun atas unit-unit fungsional yang di kenal sebagai lobulus
yakni susunan heksagonal jaringan yang mengelilingi sebuah vena sentral.
Diantara sudut yang dibentuk oleh setiap 3 lobulus terdapat 3 pembuluh yakni
cabang arteri hepatika, cabang vena porta, dan duktus biliaris. Vena sentral
semua lobulus hati menyatu membentuk vena hepatika. Terdapat sebuah
saluran tipis penyalur empedu, kanalikulus biliaris yang berjalan di antara sel

dalam setiap lempeng hati. Hepatosit secara terus menerus mengeluarkan


empedu ke dalam saluran tersebut dan mengangkutnya ke duktus biliaris di
perifer lobulus yang kemudian menyatu membentuk duktus biliaris komunis
untuk menyalurkan empedu dari liver ke duodenum.
Lubang duktus biliaris ke dalam duodenum dijaga oleh sfingter oddi,
bila sfingter tertutup maka sebagian besar empedu yang disekresikan
dibelokkan ke dalam kandung empedu, dimana empedu kemudian
dipekatkan di dalam kandung empedu diantara waktu makan. Empedu terdiri
dari cairan alkalis encer yang serupa dengan sekresi NaHCO3 pankreas serta
beberapa konstituen organik, termasuk garam empedu, kolestrol, lesitin, dan
bilirubin. Konstituen organik berasal dari aktivitas hepatosit sedangkan air,
NaHCO3 dan garam anorganik lain ditambahkan oleh sel-sel duktus. Empedu
tidak mengandung enzim pencernaan apapun tetapi penting untuk proses
pencernaan dan penyerapan lemak terutama melalui aktivitas garam empedu.
Garam empedu merupakan turunan kolesterol yang aktif disekresikan
ke dalam empedu dan akhirnya masuk ke duodenum, akan tetapi setelah ikut
serta dalam pencernaan dan penyerapan lemak, sebagian besar direabsorbsi ke
dalam darah oleh mekanisme transportasi aktif khusus di ileum terminal,
bagian terakhir dari usus halus kemudian di kembalikan melalui sistem vena
porta ke hati. Pendaurulangan garam-garam empedu antara usus halus dan hati
ini disebut sebagai sirkulasi enterohepatik.
Garam empedu membantu pencernaan lemak melalui efek deterjen
(emulsifikasi) dan mempermudah penyerapan lemak melalui partisipasi
mereka dalam pembentukan misel dimana kedua fungsi ini terkait dengan
struktur garam empedu.
Efek deterjen garam empedu mengacu pada kemampuan garam
empedu mengubah globulus-globulus lemak berukuran besar menjadi emulsi
lemak yang terdiri dari banyak butir lemak kecil yang berada dalam cairan
kimus. Dengan demikian, luas permukaan untuk aktivitas lipase meningkat.
Agar dapat mencerna lemak, lipase harus berkontak langsung dengan molekul
trigliserida. Molekul garam empedu mengandung bagian larut lemak (steroid
yang berasal dari kolestrol) ditambah bagian larut air yang bermuatan negatif.

Gerakan mencampur usus akan memecah butiran lemak menjadi butiran yang
lebih kecil yang akan kembali menyatu bila tidak terdapat garam empedu di
permukaannya yang membentuk selaput bermuatan negatif larut air di
permukaan setiap butir kecil tersebut. Karena muatan yang sama akan tolak
menolak menyebabkan butiran lemak tersebut saling tolak menolak sehingga
tidak menyatu kembali. Tanpa garam empedu maka pencernaan lemak akan
berlangsung sangat lambat.
Garam empedu bersama kolestrol dan lesitin mempermudah penyerapan
lemak melalui pembentukan misel. Lesitin juga memiliki bagian yang larut
lemak dan larut air sedangkan kolestrol hampir sama sekali tidak larut air.
Dalam suatu misel, garam empedu dan lesitin menggumpal dalam kelompokkelompok kecil dengan bagian larut lemak berkerumun di bagian tengah untuk
membentuk inti hidrofobik sementara bagian larut air membentuk selaput
hidrofilik di bagian luar. Misel, karena larut air akibat lapisan hidrofiliknya,
dapat melarutkan zat-zat yang tidak larut air di intinya yang larut lemak,
dengan demikian misel merupakan vehikulum praktis untuk mengangkut
bahan-bahan yang tidak larut air dalam isi lumen yang banyak mengandung
air. Bahan larut lemak yang paling penting yang diangkut adalah pencernaan
lemak (monogliserida dan asam lemak bebas) serta vitamin larut lemak, yang
diangkut ke tempat penyerapannya menggunakan misel. Apabila sekresi
kolestrol oleh hati melebihi sekresi garam empedu atau lesitin , kelebihan
kolestrol dalam empedu akan mengendap menjadi mikrokristal yang dapat
menggumpal menjadi batu empedu. Salah satu pengobatan untuk batu empedu
yang mengandung kolestrol adalah ingesti garam-garam empedu untuk
meningkatkan kandungan garam empedu sebagai usaha melarutkan batu
kolestrol. Namun hanya 75% batu empedu yang berasal dari kolestrol, 25%
sisanya terbentuk akibat pengendapan normal konstituen empedu lainnya
yakni bilirubin.
Bilirubin adalah salah satu produk sisa yang diekskresikan dalam
empedu, merupakan pigmen empedu utama yang berasal dari penguraian sel
darah merah usang yakni produk akhir yang dihasilkan oleh penguraian bagian
hem dari hemoglobin. Bilirubin adalah pigmen kuning yang di dalam saluran
10

cerna mengalami modifikasi oleh enzim-enzim bakteri sehingga menyebabkan


tinja berwarna coklat khas. Jika tidak terjadi sekresi bilirubin, misal bila
duktus biliaris tersumbat total oleh batu empedu maka feses akan berwarna
putih keabu-abuan. Normal, sejumlah kecil bilirubin direabsorbsi oleh usus
untuk kembali ke darah dan sewaktu akhirnya di keluarkan melalui urin
dimana bilirubin juga penentu utama warna kuning pada urin. Ginjal baru
mampu mengekskresikan bilirubin bila zat telah di modifikasi sewaktu
melalui hati dan usus. Bila bilirubin yang dibentuk lebih cepat dari pada yang
dapat diekskresikan maka akan terjadi penimbunan yang menyebabkan
ikterus. Ikterus dapat ditimbulkan oleh tiga mekanisme:
1. Ikterus prahepatik atau hemolitik, disebabkan oleh penguraian
berlebihan sel darah merah sehingga hati lebih banyak menerima
bilirubin daripada kemampuan mengekskresikannya.
2. Ikterus hepatik, jika hati sakit dan tidak mampu menangani beban
normal bilirubin.
3. Ikterus pascahepatik atau obstruktif, jika duktus biliaris tersumbat misal
oleh batu empedu, sehingga bilirubin tidak dapat dieliminasi melalui
feses.
Sekresi empedu dapat ditingkatkan melalui mekanisme kimiawi,
hormonal dan saraf. Mekanisme kimiawi, setiap bahan yang meningkatkan
sekresi empedu oleh hati disebut koleretik, dimana yang paling kuat adalah
garam empedu itu sendiri, sehingga selama makan, sewaktu garam empedu
dibutuhkan dan sedang dipakai, maka sekresi empedu oleh hati di pacu.
Mekanisme hormonal, sekretin selain meningkatkan sekresi NaHCO3 encer
oleh pankreas, juga merangsang sekresi empedu alkalis encer oleh duktus hati
tanpa disertai peningkatan garam empedu. Mekanisme saraf, stimulasi
terhadap saraf vagus hati hanya sedikit berperan meningkatkan sekresi
empedu selama fase sefalik pencernaan yakni sebelum makanan mencapai
lambung atau usus.
D. SIROSIS HEPATIS
1. Definisi
11

Suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir


fibrosis hepatik yang berlangsung progresif ditandai dengan perubahan
arsitektur normal hepar dan struktur nodul abnormal.
2. Faktor RisikoTersering
Hepatitis C, Alcoholic liver disease, Cryptogenic causes, Hepatitis B
3. Patogenesis
Penyakit hati alkoholik dianggap sumber utama sirosis di Amerika
Serikat, tetapi hepatitis Ctelah muncul sebagai penyebab utama hepatitis
kronis dan sirosis. Banyak kasus sirosis kriptogenik berasal dari non
alcoholic fatty liver disease (NAFLD). Ketika kasus sirosis kriptogenik
ditelaah, banyak pasien memiliki 1 atau lebih faktor risiko klasik untuk
NAFLD: obesitas, diabetes, dan hipertrigliseridemia.
4. Manifestasi Klinis
Banyak orang dengan sirosis tidak menunjukkan gejala pada fase
awalpenyakit.Gejala ditimbulkan oleh salah satu dari 2 masalah:

Kegagalan hati untuk melaksanakan fungsi

Distorsi bentuk dan ukuran hati karena jaringan parut

Gejala yang paling umum dari sirosis adalah sebagai berikut:

Kelelahan

Kelemahan

Mual

Kehilangan nafsu makan yang menyebabkan penurunan berat badan

Kehilangan gairah seks

Gejala mungkin tidak muncul sampai terjadi komplikasi sirosis.Banyak


orang tidak tahu bahwa mereka memiliki sirosis sampai mereka memiliki
komplikasi.

Penyakit kuning, menguningnya kulit dan mata akibat dari


pengendapan bilirubin dalam jaringan ini. Bilirubin merupakan
produk pemecahan sel darah tua dihati.

Demam

12

Muntah

Diare

Gatal dari deposisi di kulit produk dari pemecahan empedu

Nyeri perut dari pembesaran hati dan pembentukan batu empedu

Pembengkakan perut atau kembung dari retensi cairan

Peningkatan berat badan dari retensi cairan

Pembengkakan pada pergelangan kaki (edema) dari retensi cairan

Kesulitan bernapas dari retensi cairan

Hipersensitif terhadap obat karena penurunan kemampuan hati untuk


menyaring obat dari darah

Kebingungan, delirium, perubahan kepribadian, atau halusinasi


(ensefalopati) dari penumpukan obat-obatan atau racun dalam darah,
yang kemudian mempengaruhi otak

Kantuk yang ekstrim, kesulitan bangun,atau koma, gejala lain


ensefalopati

Pendarahan dari gusi atau hidung karena gangguan produksi factor


pembekuan

Mudahmemar karena gangguan produksi faktor pembekuan

Darah dimuntahan atau tinja karena perdarahan varises disebabkan


oleh kemacetan hati

Wasir varises direktum karena kongesti hati

Hilangnya massa otot (wasting)

Pada wanita, periode menstruasi yang abnormal karena penurunan


produksi hormone dan metabolisme

Pada pria, pembesaran payudara (ginekomastia), pembengkakan


skrotum, atau testis kecil karena penurunan produksi hormone dan
metabolism

5. Diagnosis

13

Tes darah untuk memeriksa apakah hati berfungsi normal. Walaupun


begitu, temuan Lab bisa normal pada sirosis.

USG, CTscan, atau radioisotope pemindaian untuk mencari tandatanda dari sirosis dalam atau pada permukaan hati

Laparoskopi sebuah kamera yang sangat kecil dimasukkan melalui


celah kecil di perut untuk melihat hati secara langsung

Biopsi hati apusan jaringan dari hati dan pembacaan di bawah


mikroskop untuk mengidentifikasi fibrosis dan jaringan parut. Biopsi
adalah satu-satunya cara diagnosis bisa 100% yakin.

6. Penatalaksanaan
Terapi medis tertentu dapat diterapkan untukberbagai penyakit hati
dalam upaya untuk mengurangi gejala dan atau mencegah perkembangan
sirosis. Contohnya prednisone dan azathioprine untuk hepatitis autoimun,
interferon dan obat anti virus lainnya untuk hepatitis B dan C, phlebotomi
untuk hemochromatosis, asam ursodeoxycholic untuk PBC, dan trientine
dan seng untuk penyakit Wilson.
Terapi ini menjadi semakin kurang efektif jika penyakit hati kronis
berkembang menjadi sirosis. Setelah sirosis berkembang, pengobatan
ditujukan untuk pengelolaan komplikasi yang muncul. Tentu perdarahan
varises, ascites, dan ensefalopati hati adalah salah satu komplikasi yang
paling serius yang dialami oleh pasien dengan sirosis.Namun, perhatian
juga harus diberikan pada keluhan konstitusional kronis pasien.
Defisiensi Zinc
Defisiensi zinc sering diamati pada pasien dengan sirosis.
Pengobatan dengan seng sulfat di 220 mg oral dua kali sehari dapat
merangsang nafsu makan.Selain itu, zinc efektif dalam pengobatan kram
otot

dan

terapi

tambahan

untuk

ensefalopati.

Pruritus
Pruritus adalah keluhan umum pada penyakit hati kolestatik
(misalnya,

primary

biliary

cirrhosis)

14

dan

penyakit

hati

kronis

noncholestatic (misalnya, hepatitisC). Keluhan gatal ringan dapat


merespon pengobatan dengan antihistamin dan topical ammonium laktat.
Obat lain yang dapat memberikan bantuan terhadap pruritus
termasuk antihistamin (misalnya, diphenhydramine, hydroxyzine), asam
ursodeoxycholic, amoniumlaktat12% krim kulit (Lac-Hydrin, WestwoodSquibb Pharmaceuticals, Inc, Princeton, NJ), doksepin, dan rifampisin.
Naltrexone, opiate (antagonis opioid), mungkin efektif tetapi sering kurang
ditoleransi. Gaba pentin merupakan terapi dapat diandalkan.Pasien dengan
pruritus parah mungkin memerlukan institusi terapi sinar ultraviolet atau
plasmapheresis.
Hipogonadisme
Beberapa pasien laki-laki menderita hipogonadisme.Pasien dengan
gejala berat bias menjalani terapi dengan persiapan testosterone topikal,
meskipun keamanan dan kemanjuran mereka tidak diteliti dengan baik.
Osteoporosis
Pasien dengan

sirosis

dapat

mengembangkan

osteoporosis.

Suplementasi dengan kalsium dan vitamin D penting pada pasien berisiko


tinggi untuk osteoporosis, terutama pasien dengan kolestasis kronis atau
sirosis bilier primer dan pasien yang menerima kortikosteroid untuk
hepatitis autoimun.Penemuan pada studi densitometry tulang mineralisasi
tulang

menurun

dapat

aminobisphosphonate

mendorong
(misalnya,

lembaga

terapi

alendronate

dengan
sodium).

Vaksinasi
Pasien dengan penyakit hati kronis harus menerima vaksinasi untuk
melindungi merekat terhadap hepatitis A. Upaya perlindungan lainnya
termasuk vaksinasi terhadap influenza dan pneumokokus (David, 2014).
Sebuah meta-analisis telah menunjukkan bahwa pada pasien dengan
infeksi hepatitis C genotipe 1 dan sirosis terkompensasi baik, pengobatan
dengan kombinasi boceprevir dan peginterferon / ribavirin (PR)
tampaknya

memiliki

profil

manfaat-resiko

yang

menguntungkan.

Penelitian ini membandingkan hasil dengan PR saja banding PR ditambah

15

boceprevir; Terapi berlangsung 24-44 minggu. (Douglas, et al., 2014 ;


Vierling, et al., 2014)
E. ULTRASONOGRAFI PADA SIROSIS HEPATIS
Sirosis hepatis (SH) merupakan fase lanjut dari penyakit hepar dimana
seluruh kerangka hepar menjadi rusak disertai dengan bentukan -bentukan
regenerasi nodul (Heidelbaugh & Bruderly, 2006). Sirosis hepatis merupakan
penyebab kematian terbanyak di Amerika Serikat (Yoon et al., 2002; Minino
et al., 2002). Pada tahun 2000, SH merupakan penyebab kematian ke-12,
1,1 % dari seluruh kematian, dengan angka kematian yang disesuaikan
dengan umur sekitar 9,6 per 100.000 penduduk. Angka kematian akibat SH
berbeda diantara beberapa kelompok umur ; rendah pada umur muda,
meningkat pada usia dewasa dan mencapai puncak sekitar 31,1 per 100.000
pada umur 75 -84 tahun (WHO, 2000).
Diagnosis SH ditegakkan atas dasar anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaanlaboratorium maupun radiologi. USG abdomen merupakan jenis
pemeriksaan radiologi yang memiliki spesifisitas, reliabilitas, berifat non
-infasif dan membutuhkan biaya relatif murah sehingga digunakan sebagai
pemeriksaan radiografi lini pertama dalam diagnosis sirosis hepar
(Heidelbaugh & Bruderly, 2006). Pemeriksaan USG abdomen diketahui
memilik

nilai

diagnostik

dalam

membedakan

berbagai

gradasi

restrukturisasi hepar, meliputi hepatitis kronis, sirosis hepatis maupun nodul


displasia dan karsinoma hepatoseluler (Badea et al.,2006).

16

Tabel 1.1. Rekomendasi Klinis Dalam Diagnosis Sirosis Hepatis

Tabel 4. Algoritma Diagnosis Sirosis Hepatis


Dikutip sesuai Chirrosis and Chronic Liver Failure.Heidelbaugh & Bruderly ,
2006
Gambar 4. Algoritma diagnosis sirosis hepatis yang melibatkan pemeriksaan fisik,
laboratorium dan radiologi.
USG real time penggunaan tunggal maupun kombinasi dengan Doppler
merupakan modalitas pencitraan diagnostik yang terbanyak digunakan dalam
evaluasi pasien sirosis hepatis di seluruh dunia. USG real-time mampu
menunjukkan karakteristik tampilan morfologi sirosis hepatis meliputi kontur

17

hepar, tekstur hepar maupun kolateral sistem porta. Sedangkan USG Doppler
memberikan informasi bermakna tentang hemodinamik sistem porta ( Taylor,
2009). Melalui pemeriksaan USG abdomen dapat terlihat gambaran spesifik
sirosis hepatis yang dievaluasi melalui hepar, lien dan traktus biliaris sebagai
berikut (Suyono dkk, 2006):
a. Gambaran USG pada hepar
Terdapat gambaran iregularitas penebalan permukaan hepar,
membesarnya lobuskaudatus, rekanalisasi v.umbilikus dan ascites.
Ekhoparenkim sangat kasar menjadihiperekhoik karena fibrosis dan
pembentukan mikronodul menjadikan permukaan hati sangat ireguler,
hepatomegali; kedua lobus hati mengecil atau menger ut atau normal.
Terlihat pula tanda sekunder berupa asites, splenomegali, adanya pelebaran
dan kelokankelokan v.hepatika, v.lienalis, v.porta (hipertensi porta).
Duktus biliaris intrahepatik dilatasi, ireguler dan berkelok-kelok.
b. Gambaran USG pada lien
Tampak peningkatan ekhostruktur limpa karena adanya jaringan
fibrosis, pelebaran diameter v.lienalis serta tampak lesi sonolusen multipel
pada daerah hilus lienalis akibat adanya kolateral.
c. Gambaran USG pada traktus biliaris
Lumpur empedu (sludge) terlihat sebagai material hiperekhoik yang
menempatibagian terendah kandung empedu dan sering bergerak perlahan
-lahan sesuai dengan posisi penderita, jadi selalu membentuk lapisan
permukaan dan tidak memberikan bayangan akustik di bawahnya. Lumpur
empedu tersebut terdiri atas granula kalsium bilirubinat dan kristal - kristal
kolesterol sehingga mempunyai viskositas yang lebih tinggi daripada
cairan empedu sendiri. Dinding kandung empedu terlihat menebal. Duktus
biliaris ekstrahepatik seringkali didapatkan normal.

18

Gambar 5. Ekhoparenkim hepar tampak kasar

Gambar 6.Iregularitas kontur eksternal lobus

disertai pembesaran lobus sinistra.

sinistra.

Gambar 7. Nodul echogenic hepar (bandingkan Gambar 8. Splenomegali dengan dimensi


dengan parenkim ginjal R) disertai asites.

Gambar

9.

Splenorenal

shunt

padaUSG

Doppler.

longitudinal 12,95 cm.

Gambar 10. Kolateral regio perisplenic (tanda


panah) menunjukkan terjadinya splenorenal
shunt.

PENUTUP

19

Sirosis hepatis adalah penyakit yang sering dijumpai di seluruh dunia


termasuk di Indonesia Pemeriksaan dengan menggunakan ultrasonografi (USG)
sudah secara rutin digunakan pada kasus sirosis karena pemeriksaanya noninvasif
dan mudah digunakan
USG abdomen merupakan jenis pemeriksaan radiologi yang memiliki
spesifisitas, reliabilitas, dan membutuhkan biaya relatif murah sehingga dapat
digunakan sebagai pemeriksaan radiografi lini pertama dalam diagnosis
sirosis hepar. USG real-time pemakaian tunggal maupun kombinasi
dengan Doppler, mampu menunjukkan karakteristik tampilan morfologi
sirosis hepatis meliputi kontur hepar, tekstur hepar maupun kolateralsistem porta
serta hemodinamik sistem porta sehingga dapat berperan dalam penentuan
diagnosis sirosis hepatis.

20

DAFTAR PUSTAKA

Badea, Radu; Monica Lupsor et al. 2006. Ultrasonography Contribution to the D


etection andCharacterization of Hepatic Restructuring: Is the Virtual
Biopsy Taken into Consideration J Gastrointestin Liver Dis Vol.15 No.2,
189 -194.
David

CW. 2014. Cirrhosis. Medscape Medical News.Available


http://emedicine.medscape.com/article/185856overview#aw2aab6b2.Diakses tanggal 14 September 2014.

at

Douglas D. Boceprevir Combo Helpful in Compensated HCV Cirrhosis. 2014.


Medscape
Medical
News.
Available
at
http://www.medscape.com/viewarticle/824961. Diakses tanggal 14
September 2014.
Friedman SL. 2003. Liver fibrosis: From Bench to Bedside. J Hepatol; 38
(Suppl):S38.
Heidelbaugh, Joel J.; Michael Bruderly. Chirrosis and Chronic Liver F ailure: Part
I. Diagnosisand Evaluation, American Family Physician Volume 74;
Number 5, September 2006.
Minino, A.; Arias, E.; Kochanek, K. D. et al. 2002. Deaths: Final Data for 2000.
National VitalStatistics Reports 50:1107
Sudoyo AW, Setiohadi B, Alwi I, et al. 2006. Sirosis hati dalam buku ajar ilmu
penyakit dalam. Jakarta : Interna Publishing.
Suyono,dkk. Sonografi Sirosis Hepatis di RSUD Dr Moewardi. Cermin Dunia
Kedokteran No.150, 2006.
Taylor,

Caroline
R.
Chirrosis:
Imaging.
2009
Available
at:http://www.emedicine.medscape.com/article/366426 -imaging.Diakses
tanggal 14 September 2014.

Vierling JM, Zeuzem S, Poordad F, Bronowicki JP, Manns MP, Bacon BR, et al.
2014. Safety & Efficacy of Boceprevir/Peginterferon/Ribavirin for HCV
G1 Compensated Cirrhotics: Meta-Analysis of 5 Trials. J Hepatol.
World Health Organization (WHO). 2000. The Global Status Report on Alcohol.

21

Geneva: Department of Substance Abuse, WHO


Yoon, Y. H.; Yi, H.; Grant, B . F., et al. 2002. Surveillance Report #60: Liver
Cirrhosis Mortality in the United States, 197099. Washington, DC:
National Institute on Alcohol Abuse and Alcoholism
Longo, Fausci, Kasper, Hauser, Jameson, Loscalzo. Harrison's principles of
internal medicine. 2012. 18th ed. The McGraw-Hill Companies
WHO. 2008. The Global Burden of Disease 2004. http://www.who.int. Diakses 26
september 2013
Rasad S. 2005. Radiologi Diagnostik FKUI. Jakarta: Balai Penerbit FKUI: 453479
Khan MU, Ghaffar A, Amin Z, Niazi F, Qayyum A, Saqib R. 2010. Role of
ultrasound in early detection of cirrhosis liver.Pakistan Armed forces med
Journal.

22

23

Anda mungkin juga menyukai