Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH KEPERAWATAN ANAK

ATRESIA DUCTUS

DISUSUN OLEH

1. Agustina Kurnia Serena KP.1601120


2. Alfonsa kaka KP.1601122
3. Andereas Yulius Kondo KP.1601124
4. Cahyani A. Anggraini KP.1601129
5. Elduardus E. C. Moruk KP.16.01128
6. Hildegard Wora Deghu KP.1601111
7. Maria Fenanlampir KP.16.01122

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN (S1)

SEKOLAH TINGGI KESEHATAN WIRA HUSADA YOGYAKARTA

T.A 2018/2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas
segala nikmat rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas makalah dengan judul “ATRESIA DUCTUS”. atas
segala nikmat rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas makalah dengan judul “ATRESIA DUCTUS”. Makalah
ini kami susun agar pembaca dapat memahami tentang Atresia Ductus dan
semoga makalah ini dapat memberi wawasan dan pemahaman yang luas
kepada pembaca .

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan


makalah ini, oleh karena itu kami sangat menghargai akan saran dan kritik
untuk membangun makalah ini lebih baik lagi.Demikian yang dapat kami
sampaikan,semoga melalui makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita
semua.

Yogyakarta, 14 Maret 2018

Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Atresia bilier merupakan proses inflamasi progresif yang


menyebabkan fibrosis saluran empedu intrahepatik maupun ekstrahepatik
sehingga pada akhirnya akan terjadi obstruksi saluran tersebut (Donna L.
Wong, 2008). Atresia bilier terjadi karena proses inflamasi berkepanjangan
yang menyebabkan kerusakan progresif pada duktus bilier ekstrahepatik
sehingga menyebabkan hambatan aliran empedu. Tindakan operatif atau
bedah dapat dilakukan untuk penatalaksanaannya. Pada lebih kurang 80% -
90% bayi dengan atresia biliaris ekstrahepatik yang menjalani pembedahan
ketika usianya kurang dari 10 minggu dapat dicapai drainase getah empedu
(Halamek dan Stevenson, 1997). Meski demikian, sirosis yang progresif tetap
terjadi pada anak, dan sampai 80% - 90% kasus pada akhirnya akan
memerlukan transplantasi hati (Andres, 1996).
Atresia bilier ditemukan pada 1 dalam 10.000 kelahiran hidup dan 1
dalam 25.000 kelahiran hidup. Tampaknya tidak terdapat predileksi rasial atau
genetik kendati ditemukan predominasi wanita sebesar 1,4:1 (McEvoy dan
Suchy, 1996; Whitington, 1996). Di Belanda, dilaporkan kasus atresia bilier
sebanyak 5 dari 100.000 kelahiran hidup, di Perancis 5,1 dari 100.000
kelahiran hidup, di Inggris dilaporkan 6 dari 100.000 kelahiran hidup. Di Texas
tercatat 6.5 dari 100.000 kelahiran hidup, 7 dari 100.000 kelahiran hidup di
Australia, 7,4 dari 100.000 kelahiran hidup di USA dan dilaporkan terdapat
10,6 dari 100.000 kelahiran hidup di Jepang menderita atresia bilier. Dari 904
kasus atresia bilier yang terdaftar di lebih 100 institusi, atresia bilier di
dapatkan pada ras Kaukasia (62%), berkulit hitam (20%), Hispanik (11%),
Asia (4,2%) dan Indian amerika (1,5%). Walau jarang namun jumlah penderita
atresia bilier yang ditangani RS. Cipto Mangun Kusumo (RSCM) pada tahun
2002-2003 tercatat mencapai 37-38 bayi atau 23% dari 163 bayi berpenyakit
kuning akibat kelainan fungsi hati. Sedangkan di RSU Dr. Soetomo Surabaya
antara tahun 1999-2004 ditemukan dari 19.270 penderita rawat inap di
Instalansi Rawat Inap Anak, tercatat 96 penderita dengan penyakit kuning
gangguan fungsi hati didapatkan 9 (9,4%) menderita atresia bilier ( Widodo J,
2010).Pada atresia bilier terjadi penyumbatan aliran empedu dari hati ke
kandung empedu. Atresia bilier terjadi karena adanya perkembangan
abnormal dari saluran empedu di dalam maupun di luar hati. Tetapi penyebab
terjadinya gangguan perkembangan saluran empedu ini tidak diketahui. Jika
aluran empedu buntu, maka empedu akan menumpuk di hati. Selain itu akan
terjadi ikterus atau kuning di kulit dan mata akibat tingginya kadar bilirubin
dalam darah. Hal ini bisa menyebabkan kerusakan hati dan sirosis hati, yang
jika tidak diobati bisa berakibat fatal atau sampai terjadi kematian.

1.2 Rumusan Masalah

a. Bagaimana konsep dasar penyakit atresia bilier ?

b. Bagaimana konsep dasar asuhan keperawatan atresia bilier ?

1.3 Tujuan

a. Untuk mengetahui konsep dasar penyakit atresia bilier.

b. Untuk mengetahui konsep dasar asuhan keperawatan atresia


bilier.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Dasar Penyakit

A. Anatomi dan Fungsi Sistem Biliaris

1. Anatomi Sistem Biliary

Hati terletak di belakang tulang-tulang iga (kosta) dalam rongga abdomen


daerah kanan atas. Hati memiliki berat sekitar 1500 gr, dan di bagi menjadi
empat lobus. Setiap lobus hati terbungkus oleh lapisan tipis jaringan ikat
yang membentang ke dalam lobus itu sendiri dan membagi massa hati
menjadi unit-unit yang lebih kecil, yang disebut lobulus. Sirkulasi darah ke
dalam dan ke luar hati sangat penting dalam penyelenggaran fungsi
hati.Saluran empedu terkecil yang disebut kanalikulus terletak di antara
lobulus hati. Kanalikulus menerima hasil sekresi dari hepatosit yang
membawanya ke saluran empedu yang lebih besar yang akhirnya akan
membentuk duktus hepatikus.
Duktus hepatikus dari hati dan duktus sistikus dari kandung empedu
bergabung untuk membentuk duktus koledokus (commom bile duct) yang
akan mengosongkan isinya ke dalam intestinum. Aliran empedu ke dalam
intestinum di kendalikan oleh sfingter Oddi yang terletak pada tempat
sambungan (junction) di mana duktus koledokus memasuki duodenum.
Kandung empedu (vesika felea), yang merupakan organ berbentuk sebuah
pear, berongga dan menyerupai kantong dengan panjang 7,5 hingga 10
cm, terletak dalam suatu cekungan yang dangkal pada permukaan inferior
hati dimana organ tersebut terikat pada hati oleh jaringan ikat yang longgar.
Kapasitas kandung empedu 30-50ml empedu. Dindingnya terutama
tersusun dari otot polos. Kandung empedu dihubungkan dengan duktus
koledokus lewat duktus sistikus.

a. Kandung Empedu

Kandung empedu adalah sebuah kantung berbentuk seperti buah


pear,memiliki panjang 7-10 cm dengan kapasitas 30-50 ml namun saat
terdistensi dapat mencapai 300 ml. Kandung empedu berlokasi di sebuah
lekukan pada permukaaan bawah hepar yang secara anatomi membagi
hepar menjadi lobus kanan dan lobus kiri. Kandung empedu dibagi menjadi
4 area secara anatomi yaitu fundus, leher, corpus, dan infundibulum.
Fundus berbentuk bulat dan ujungnya 1-2 cm melebihi batas hepar,
strukturnya kebanyakan berupa otot polos, kontras dengan korpus yang
kebanyakan terdiri dari jaringan elastis. Leher biasanya membentuk
sebuah lengkungan, yang mencembung dan membesar membentuk
Hartmann’s pouch.
Kandung empedu terdiri dari epitel silindris yang mengandung
kolesterol dan tetesan lemak. Mukus disekresi ke dalam kandung empedu
dalam kelenjar tubule alveolar yang ditemukan dalam mukosa infundibulum
dan leher kandung empedu, tetapi tidak pada fundus dan korpus. Epitel
yang berada sepanjang kandung empedu ditunjang oleh lamina propria.
Lapisan ototnya adalah serat longitudinal sirkuler dan oblik, tetapi tanpa
lapisan yang berkembang sempurna. Perimuskular subserosa
mengandung jaringan penyambung, saraf, pembuluh darah, limfe dan
adiposa. Kandung empedu ditutupi oleh lapisan serosa kecuali bagian
kandung empedu yang menempel pada hepar. Kandung empedu
dibedakan secara histologis dari organ-organ gastrointestinal lainnya dari
lapisan muskularis mukosa dan submukosa yang sedikit.

b. Pembentukan empedu

Empedu dibentuk secara terus menerus oleh hepatosit dan


dikumpulkan dalam kanalikulus serta saluran empedu. Empedu terutama
tersusun dari air dan elektrolit, seperti natrium, kalium, kalsium, klorida
serta bikarbonat, dan juga mengandung dalam jumlah yang berati
beberapa substansi seperti lesitin, kolesterol, billirubin serta garam-garam
empedu. Empedu dikumpulkan dan disimpan dalam kandung empedu
untuk kemudian dialirkan ke dalam intestinum bila diperlukan bagi
pencernaan. Fungsi empedu adalah ekskretorik seperti ekskresi bilirubin
dan sebagai pembantu proses pencernaan melalui emulsifikasi lemak oleh
garam-garam empedu.

c. Ekskresi Bilirubin

Bilirubin adalah pigmen yang berasal dari pemecahan hemoglobin


oleh sel-sel pada sistem retikuloendotelial yang mencakup se-sel Kupffer
dari hati. Hepatosit mengeluarkan bilirubin dari dalam darah dan melalui
reaksi kimia mengubahnya lewat konjugasi menjadi asamglukoronat yang
membuat bilirubin lebih dapat larut di dalam larutan yang encer. Bilirubin
terkonjugasi diekskresikan oleh hepatosit ke dalam kanalikulus empedu di
dekatnya dan akhirnya dibawa dalm empedu ke duodenum.
Dalam usus halus, bilirubin dikonversikan menjadi urobilinogen yang
sebagian akan diekskresikan ke dalam feses dan sebagian lagi diabsorbsi
lewat mukosa intestinal ke dalam daerah portal.
d. Fungsi Kandung Empedu

Kandung empedu berfungsi sebagai depot penyimpanan bagi


empedu. Di antara saat-saat makan, ketika sfingter Oddi tertutup, empedu
yang diproduksi oleh hepatosit akan memasuki kandung empedu. Selama
penyimpanan, sebagian besar air dalam empedu diserap melalui dinding
kandung empedu sehingga empedu dalam kandung empedu lebih pekat
lima hingga sepuluh kali dari konsentrasi saat diekskresikan pertama
kalinya oleh hati. Ketika makanan masuk ke dalam duodenum akan terjadi
kontraksi kandung empedu dan relaksasi sfingter Oddi yang
memungkinkan empedu mengalir masuk ke dalam intestinum.

2. Sistem Bilier terbagi atas :

a. Intrahepatik

Sistem biliaris Intrahepatik terdiri atas kanalikuli biliaris dan duktuli


biliaris intralobular. Duktus biliaris intrahepatik terdiri atas sel kuboid atau
sel epitel kolumnar. Bersama dengan bertambahnya jaringan konektif
fibroelastis di sekitar epitel, maka duktus semakin besar. Duktus yang
terbesar mempunyai otot polos pada dindingnya. Kanalikuli biliaris
sebenarnya bukan merupakan suatu duktus melainkan suatu dilatasi ruang
interseluler antara hepatosit yang berdekatan. Diameter lumen kanalikuli
ini rata-rata 0,7 mm.

b. Ekstrahepatik

Sistem biliaris ekstrahepatik merupakan suatu saluran yang berada di


dalam ligamentum hepatoduodenale dan secara histologis terdiri atas sel
epitel kolumnar tinggi yang mensekresi mukus, selain itu juga terdapat
jaringan konektif di bawah epitel yang terdiri atas sejumlah serabut elastis,
kelenjar mukus, pembuluh darah dan saraf.
Sistem biliaris extrahepatik terdiri dari :
 Duktus Hepatikus Kiri dan Kanan
Duktus hepatikus kiri dan kanan muncul pada porta hepatika dari
kanan dan kiri lobus hepar dan berbentuk huruf V. Panjang dari
duktus hepatis kiri dan kanan bervariasi antara 0,5-2,5 cm.
Biasanya duktus hepatis kiri lebih panjang dari kanan dan lebih
mudah dilatasi bila terjadi obstruksi di bagian distal.
 Duktus Hepatikus Komunis

Duktus Hepatikus komunis merupakan gabungan antara duktus


hepatikus kiri dan kanan dengan panjang sekitar 4 cm. Pada 95 %
kasus, gabungan ini berada di luar hepar, tepat di bawah dari porta
hepatis. Pada 5% kasus, bergabung di dalam hepar.
 Duktus sistikus

Duktus sistikus timbul di bagian leher vesika fellea dan bergabung


dengan duktus hepatika komunis. Panjang duktus sistikus
bervariasi antara 0,5-0,8 cm dengan diameter rata-rata 1-3 mm.
Dalam duktus sistikus, mukosa membentuk 5-10 lipatan seperti
bulan sabit yang dikenal sebagai spiral valves of Heister. Valvula
ini berfungsi untuk menahan distensi yang berlebihan atau kolaps
dari vesika fellea dengan mengubah tekanan dalam duktus
sistikus dan berfungsi dalam menghambat masuknya batu
empedu ke dalam duktus koledokus.

 Duktus Koledokus

Duktus koledokus terbentuk dari gabungan duktus sistikus dengan


duktus hepatikus komunis. Panjang duktus ini sekitar 7,5 cm,
namun juga dapat bervariasi tergantung dari panjang duktus
sistikus dan duktus hepatikus komunis dengan diameter sekitar 6
mm. Duktus koledokus dibagi dalam 4 segmen : supraduodenal,
retroduodenal, pankreatika dan intraduodenal.
Segmen supraduodenal mempunyai panjang 2,5 cm dan berada
di batas kanan dari ligamentum hepatoduodenal, yaitu pada
bagian anterior dari vena porta dan sebelah kanan dari arteri
hepatika komunis ascendens.
Segmen retroduodenal berada di posterior dari bagian pertama
duodenum dengan panjang sekitar 2,5 - 4 cm. Segmen ini berjalan
sepanjang permukaan inferior duodenum, kemudian berpindah
dari kanan ke kiri dan berada tepat di kanan dari arteri
gastroduodenal.
Segmen pankreatika dari duktus koledokus memanjang dari batas
bawah dari bagian awal duodenum ke dinding posteromedial dari
bagian kedua duodenum, dimana duktus masuk ke dalam dinding
duodenum.
segmen intraduodenal mempunyai panjang 2 cm dan berjalan
miring sepanjang dinding duodenum bersama dengan duktus
pankreatikus.

 Ampula vateri

Ampula vateri terbentuk dari pertemuan antara duktus koledokus


dengan duktus pankreatikus. Panjang ampula ini bervariasi,
ditemukan panjangnya lebih dari 2 mm pada 46 % kasus,
sedangkan kurang dari 2 mm pada 32 % kasus dan tidak ada
pertemuan antara duktus pankreatika dengan duktus koledokus
pada 29 % kasus.

 Sphingter Oddi

Pada segmen intraduodenal dari duktus koledokus dan ampula


dikelilingi oleh lapisan serabut otot polos yang dikenal sebagai
Sphingter of Oddi. Sfingter ini merupakan kelompok serabut otot
yang berada pada dinding duktus koledokus. Pengaturan dari
aliran empedu utamanya dikontrol oleh sfingter ini dan terjadi
relaksasi sfingter akibat stimulasi kolesistokinin dan parasimpatis.
c. Sistem Vaskularisasi

Duktus biliaris ekstrahepatik mendapat vaskularisasi dari beberapa


tempat, diantaranya; Duktus hepatis dan segmen supraduodenal dari
duktus koledokus mendapat aliran darah dari cabang kecil arteri sistikus.
Bagian retroduodenal dari duktus koledokus disuplai oleh cabang
retroduodenal dan posterosuperior dari arteri pankreatikoduodenal.
Segmen pankreatika dan intraduodenal divaskularisasi oleh arteri
pankreatikoduodenal bagian anterior dan posterosuperior.

2.2 Definisi

Atresia bilier (biliary atresia) adalah suatu penghambatan di dalam


pipa/saluran-saluran yang membawa cairan empedu (bile) dari liver menuju
ke kantung empedu (gallbladder). Ini merupakan kondisi congenital, yang
berarti terjadi saat kelahiran (Lavanilate.2010.Askep Atresia Bilier).
Atresia Bilier adalah suatu defek kongenital yang merupakan hasil dari
tidak adanya atau obstruksi satu atau lebih saluran empedu pada
ekstrahepatik atau intrahepatik (Suriadi dan Rita Yulianni, 2006)
Atresia biliary merupakan obliterasi atau hipoplasi satu komponen atau
lebih dari duktus biliaris akibat terhentinya perkembangan janin,
menyebabkan ikterus persisten dan kerusakan hati yang bervariasi dari statis
empedu sampai sirosis biliaris, dengan splenomegali bila berlanjut menjadi
hipertensi porta. (Kamus Kedokteran Dorland, 2006)
Atresia bilier merupakan kegagalan perkembangan lumen pada korda
epitel yang akhirnya menjadi duktus biliaris, kegagalan ini bisa menyeluruh
atau sebagian. ( Chandrasoma & Taylor,2005)

2.3 Etiologi

Etiologi atresia bilier masih belum diketahui dengan pasti. Sebagian


ahli menyatakan bahwa faktor genetik ikut berperan, yang dikaitkan dengan
adanya kelainan kromosom trisomi17, 18 dan 21, serta terdapatnya anomali
organ pada 30% kasus atresia bilier. Namun, sebagian besar penulis
berpendapat bahwa atresia bilier adalah akibat proses inflamasi yang
merusak duktus bilier, bisa karena infeksi atau iskemi. Beberapa anak,
terutama mereka dengan bentuk janin atresia bilier, seringkali memiliki cacat
lahir lainnya di jantung, limpa, atau usus.
Sebuah fakta penting adalah bahwa atresia bilier bukan merupakan
penyakit keturunan. Kasus dari atresia bilier pernah terjadi pada bayi kembar
identik, dimana hanya 1 anak yang menderita penyakit tersebut. Atresia bilier
kemungkinan besar disebabkan oleh sebuah peristiwa yang terjadi selama
hidup janin atau sekitar saat kelahiran.
Kemungkinan yang "memicu" dapat mencakup satu atau kombinasi
dari faktor-faktor predisposisi berikut:
 Infeksi virus atau bakteri

 Masalah dengan sistem kekebalan tubuh

 Komponen yang abnormal empedu

 Kesalahan dalam pengembangan saluran hati dan empedu

 Hepatocelluler dysfunction

2.4 Patofisiologi

Penyebabnya sebenarnya atresia bilier tidak diketahui sekalipun


mekanisme imun atau viral injurio bertanggung jawab atas progresif yang
menimbulkan obstruksi saluran empedu. Berbagai laporan menunjukkan
bahwa atresia bilier tidak terlihat pada janin, bayi yang baru lahir (Halamek
dan Stefien Soen, 1997). Keadaan ini menunjukan bahwa atresia bilier terjadi
pada akhir kehamilan atau pada periode perinatal dan bermanisfestasi dalam
waktu beberapa minggu sesudah dilahirkan. Inflamasi terjadi secara progresif
dengan menimbulkan obstruksi dan fibrosis pada saluran empedu intrahepatik
atau ekstrahepatik (Wong, 2008).
Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan obstruksi aliran
normal empedu keluar hati, kantung empedu dan usus akhirnya akan
menyebabkan peradangan, edema, degenerasi hati, bahkan hati menjadi
fibrosis dan sirosis.
Obstruksi melibatkan dua duktus hepatic yaitu duktus biliaris yang
menimbulkan ikterus dan duktus didalam lobus hati yang meningkatkan
ekskresi bilirubin. Obstruksi yang terjadi mencegah terjadi bilirubin ke dalam
usus menimbulkan tinja berwarna pucat seperti kapur.
Obstruksi bilier menyebabkan akumulasi garam empedu di dalam darah
sehingga menimbulkan gejala pruritus pada kulit. Karena tidak adanya
empedu dalam usus, lemak dan vitamin A, D, E, K tidak dapat di absorbsi
sehingga mengalami kekurangan vitamin yang menyebabkan gagal tumbuh
pada anak (Parakrama, 2005).

2.5 Manifestasi Klinis

Bayi mengalami ikterus segera setelah lahir, feses pucat dan


gambaran serupa dengan hepatitis neonates. Jika kondisi ini tidak diobati,
maka hepar akan membesar, jantung menjadi tidak terlibat dan ada tanda
malabsorbsi lemak. Gejala yang biasanya timbul dalam waktu 2 minggu
setelah lahir, yaitu berupa: Air kemih bayi berwarna gelap (karena tingkat
bilirubin dalam darah dengan konsentrasi tinggi masuk ke dalam urin), tinja
berwarna pucat / acholic (karena kurangnya bilirubin yang diserap), kulit
berwarna kuning, berat badan tidak bertambah atau penambahan berat badan
berlangsung lambat, hati membesar. Pada saat usia bayi mencapai 2-3 bulan,
akan timbul gejala berikut: Gangguan pertumbuhan, gatal-gatal, rewel,
tekanan darah tinggi pada vena porta (pembuluh darah yang mengangkut
darah dari lambung, usus dan limpa ke hati).
Tanda pertama dari atresia bilier adalah penyakit kuning, yang
menyebabkan warna kuning pada kulit dan bagian putih mata.. Jaundice
disebabkan oleh hati tidak mengeluarkan bilirubin, pigmen kuning dari darah.
Biasanya, bilirubin diambil oleh hati dan dilepaskan ke dalam empedu.
Namun, penyumbatan saluran empedu menyebabkan bilirubin dan elemen
lain dari empedu terakumulasi dalam darah. Bayi akan menunjukan kondisi
normal pada saat lahir tetapi dalam perkembangannya menunjukan jaundice
(kulit dan sclera mata berubah menjadi kuning), warna aurin yang pekat, dan
warna feses yang cerah dalam minggu pertama kehidupan.
Setiap bayi dengan jaundice, setelah berumur 1 bulan dapat dipastikan
terkena atresia biliaris dengan pemeriksaan darah (diantaranya: tipe bilirubin,
bilirubin konjugasi dan bilirubin tak terkonjugasi). Peningkatan bilirubin pada
bayi dikarenakan kekurangan drainase , abdomen menjadi sangat tegang,
dan perbesaran dikarenakan peningkatan ukuran hati. Jika hal ini terjadi, bayi
akan menjadi rentan dan kehilangan berat badan (meskipun pertambahan
cairan akan menutupinya ).

2.6 Klasifikasi

Tipe- tipe atresia biliary, secara empiris dapat dikelompokkan dalam 2 tipe:

a. Tipe yang dapat dioperasi / Operable/ correctable.


Jika kelainan/sumbatan terdapat dibagian distalnya. Sebagian besar
dari saluran-saluran ekstrahepatik empedu paten.

b. Tipe yang tidak dapat dioperasi / Inoperable/ incorrectable


Jika kelainan / sumbatan terdapat dibagian atas porta hepatic, tetapi
akhir-akhir ini dapat dipertimbangakan untuk suatu operasi porto
enterostoma hati radikal. Tidak bersifat paten seperti pada tipe
operatif.

Menurut anatomis atresia billier ada 3 tipe:


a) Tipe I Atresia sebagian atau totalis yang disebut duktus hepatikus
komunis, segmen proksimal paten
b) Tipe IIa Obliterasi duktus hepatikus komunis (duktus billiaris komunis,
duktus sistikus, dan kandung empedu semuanya)
c) Tipe IIb Obliterasi duktus bilierkomunis, duktus hepatikus komunis,
duktus sistikus, kandung empedu normal
d) Tipe III Obliterasi pada semua system duktus billier ekstrahepatik
sampai ke hilus
Tipe I dan II merupakan jenis atresia yang dapat di operasi (correctable)
sedangkan tipe III adalah bentuk atresia yang tidak dapat di Operasi (non
correctable), bila telah terjadi sirosis maka dilakukan transpalantasi hati.

2.8 Pemeriksaan Diagnostik

Belum ada satu pun pemeriksaan penunjang yang dapat sepenuhnya


diandalkan untuk membedakan antara kolestasis intrahepatik dan
ekstrahepatik. Secara garis besar, pemeriksaan dapat dibagi menjadi 3
kelompok, yaitu pemeriksaan :
a. Laboratorium rutin dan khusus untuk menentukan etiologi dan
mengetahui fungsi hati (darah,urin, tinja).
b. Pencitraan, untuk menentukan patensi saluran empedu dan menilai
parenkim hati.
c. Biopsi hati, terutama bila pemeriksaan lain belum dapat menunjang
diagnosis atresia bilier.

1. Pemeriksaan laboratorium

a. Pemeriksaan rutin

Pada setiap kasus kolestasis harus dilakukan pemeriksaan kadar


komponen bilirubin untuk membedakannya dari hiperbilirubinemia
fisiologis. Selain itu dilakukan pemeriksaan darah tepi lengkap, uji fungsi
hati, dan gamma-GT. Kadar bilirubin direk < 4 mg/dl tidak sesuaidengan
obstruksi total. Peningkatan kadar SGOT/SGPT > 10 kali dengan
pcningkatan gamma-GT < 5 kali, lebih mengarah ke suatu kelainan
hepatoseluler. Sebaliknya, peningkatan SGOT < 5kali dengan peningkatan
gamma-GT > 5 kali, lebih mengarah ke kolestasis ekstrahepatik.
Menurut Fitzgerald, kadar gamma-GT yang rendah tidak menyingkirkan
kemungkinan atresia bilier. Kombinasi peningkatan gamma-GT, bilirubin
serum total atau bilirubin direk, dan alkalifosfatase mempunyai spesifisitas
92,9% dalam menentukan atresia bilier.
 Pemeriksaan urine : pemeriksaan urobilinogen penting artinya pada
pasien yang mengalami ikterus. Tetapi urobilin dalam urine negatif.
Hal ini menunjukkan adanya bendungan saluran empedu total.
 Pemeriksaan feces : warna tinja pucat karena yang memberi warna
pada tinja / stercobilin dalam tinja berkurang karena adanya
sumbatan.
 Fungsi hati : bilirubin, aminotranferase dan faktor pembekuan :
protombin time, partial thromboplastin time.

b. Pemeriksaan khusus

Pemeriksaan aspirasi duodenum (DAT) merupakan upaya diagnostik yang


cukup sensitif, tetapi penulis lain menyatakan bahwa pemeriksaan ini tidak
lebih baik dari pemeriksaan visualisasi tinja. Pawlawska menyatakan
bahwa karena kadar bilirubin dalam empedu hanya10%, sedangkan kadar
asam empedu di dalam empedu adalah 60%, maka tidak adanya asam
empedu di dalam cairan duodenum dapat menentukan adanya atresia
bilier.

2. Pencitraan

a. Pemeriksaan ultrasonografi

Theoni mengemukakan bahwa akurasi diagnostic USG 77% dan dapat


ditingkatkan bila pemeriksaan dilakukan dalam 3 fase, yaitu pada keadaan
puasa, saat minum dan sesudah minum. Bila pada saat atau sesudah
minum kandung empedu berkontraksi, maka atresia bilier kemungkinan
besar (90%) dapat disingkirkan. Dilatasi abnormal duktus bilier, tidak
ditemukannya kandung empedu, dan meningkatnya ekogenitas hati,
sangat mendukung diagnosis atresia bilier. Namun demikian, adanya
kandung empedu tidak menyingkirkan kemungkinan atresia bilier, yaitu
atresia bilier tipe I / distal.

b. Sintigrafi hati
Pemeriksaan sintigrafi sistem hepatobilier dengan isotop Technetium 99m
mempunyai akurasi diagnostik sebesar 98,4%. Sebelum pemeriksaan
dilakukan, kepada pasien diberikan fenobarbital 5 mg/kgBB/hari per oral,
dibagi dalam 2 dosis selama 5 hari. Pada kolestasis intrahepatik
pengambilan isotop oleh hepatosit berlangsung lambat tetapi ekskresinya
ke usus normal, sedangkan pada atresia bilier proses pengambilan isotop
normal tetapi ekskresinya keusus lambat atau tidak terjadi sama sekali. Di
lain pihak, pada kolestasis intrahepatik yang beratjuga tidak akan
ditemukan ekskresi isotop ke duodenum. Untuk meningkatkan sensitivitas
dan spesifisitas pemeriksaan sintigrafi, dilakukan penghitungan indeks
hepatik (penyebaran isotop dihati dan jantung), pada menit ke-10. Indeks
hepatik > 5 dapat menyingkirkan kemungkinan atresia bilier, sedangkan
indeks hepatik < 4,3 merupakan petunjuk kuat adanya atresia bilier. Teknik
sintigrafi dapat digabung dengan pemeriksaan DAT, dengan akurasi
diagnosis sebesar 98,4%. Torrisi mengemukakan bahwa dalam
mendetcksi atresia bilier, yang terbaik adalah menggabungkan basil
pemeriksaan USG dan sintigrafi.

c. Liver Scan

Scan pada liver dengan menggunakan metode HIDA (Hepatobiliary


Iminodeacetic Acid). Hida melakukan pemotretan pada jalur dari empedu
dalam tubuh, sehingga dapat menunjukan bilamana ada blokade pada
aliran empedu.

d. Pemeriksaan kolangiografi
Pemeriksaan ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio
Pancreaticography). Merupakan upaya diagnostik dini yang berguna untuk
membedakan antara atresia bilier dengan kolestasis intrahepatik. Bila
diagnosis atresia bilier masih meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan
kolangiografi durante operasionam. Sampai saat ini pemeriksaan
kolangiografi dianggap sebagai baku emas untuk membedakan kolestasis
intrahepatik dengan atresia bilier.
3. Biopsi hati

Gambaran histopatologik hati adalah alat diagnostik yang paling dapat


diandalkan. Ditangan seorang ahli patologi yang berpengalaman, akurasi
diagnostiknya mencapai 95%, sehingga dapat membantu pengambilan
keputusan untuk melakukan laparatomi eksplorasi, danbahkan berperan
untuk penentuan operasi Kasai. Keberhasilan aliran empedu pasca operasi
Kasai di 6 tukan oleh diameter duktus bilier yang paten di daerah hilus hati.
Bila diameter duktus100 200 u atau 150 400 u maka aliran empedu dapat
terjadi. Desmet dan Ohya menganjurkan agar dilakukan frozen section pada
saat laparatomi eksplorasi, untuk menentukan apakah portoenterostomi dapat
dikerjakan. Gambaran histopatologik hati yang mengarah ke atresia bilier
mengharuskan intervensi bedah secara dini. Yang menjadi pertanyaan adalah
waktu yang paling optimal untuk melakukan biopsi hati. Harus disadari,
terjadinya proliferasi duktuler (gambaran histopatologik yang menyokong
diagnosis atresia bilier tetapi tidak patognomonik) memerlukan waktu. Oleh
karena itu tidak dianjurkan untuk melakukan biopsi pada usia < 6 minggu

2.9 Penatalaksanaan

1. Terapi medikamentosa
a) Memperbaiki aliran bahan-bahan yang dihasilkan oleh hati terutama
asam empedu (asamlitokolat), dengan memberikan :

 Fenobarbital 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis, per oral.


 Fenobarbital akan merangsang enzim glukuronil transferase
(untuk mengubah bilirubin indirek menjadi bilirubin direk);
enzimsitokrom P-450 (untuk oksigenisasi toksin), enzim Na+
K+ ATPase (menginduksi aliranempedu). Kolestiramin 1
gram/kgBB/hari dibagi 6 dosis atau sesuai jadwal pemberian
susu. Kolestiramin memotong siklus enterohepatik asam
empedu sekunder
b) Melindungi hati dari zat toksik, dengan memberikan :
1. Asam ursodeoksikolat, 310 mg/kgBB/hari, dibagi 3 dosis per
oral. Asam ursodeoksikolat mempunyai daya ikat kompetitif
terhadap asam litokolat yang hepatotoksik.

2.Terapi nutrisi Terapi yang bertujuan untuk memungkinkan anak tumbuh dan
berkembang seoptimal mungkin, yaitu :
2. Pemberian makanan yang mengandung medium chain
triglycerides (MCT) untuk mengatasi malabsorpsi lemak dan
mempercepat metabolisme. Disamping itu, metabolisme yang
dipercepat akan secara efisien segera dikonversi menjadi
energy untuk secepatnya dipakai oleh organ dan otot,
ketimbang digunakan sebagai lemak dalam tubuh. Makanan
yang mengandung MCT antara lain seperti lemak mentega,
minyak kelapa, dan lainnya.
3. Penatalaksanaan defisiensi vitamin yang larut dalam lemak.
Seperti vitamin A, D, E, K
2.10 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengumpulan data
a. Identitas
nama klien : An N
usia :2 bln
jenis kelamin :Perempun
2. Keluhan utama :
Terdapat keluhan yaitu jaundice dalam 2 minggu sampai 2 bulan.
3. Riwayat penyakit sekarang
Anak dengan Atresia Billiary intra hepatik setelah usia 6 tahun terjadi
gangguan neuromuskuler seperti tidak ada reflek-reflek tendo dalam,
kelemahan memandang ke atas, ketidakmampuan berjalan akibat
parosis kedua tungkai bawah serta kehilangan rasa getar.

4. Riwayat kesehatan dahulu


Riwayat kesehatan lalu meliputi riwayat penyakit yang pernah diderita,
riwayat operasi, riwayat alergi, riwayat imunisasi.
5. Riwayat kesehatan keluarga
Untuk mengetahui apakah dalam keluarga ada yang menderita
penyakit yang sama dengan klien, keturunan dan lainnya. Menentukan
apakah ada penyebab herediter atau tidak.
6. Pemeriksaan Fisik
BI :Sesak nafas, RR meningkat
B2 :Takikardi,berkeringat, kecenderungan perdarahan (kekurangan
vitamin K).
B3 :Gelisah atau rewel
B4 :Urine warna gelap dan pekat
B5 :Distensi abdomen, kaku pada kuadran kanan, asites, feses warna
pucat, anoreksia, mual, muntah, regurgitasi berulang, berat badan
menurun, lingkar perut 52 cm. Ikterik pada sclera kulit dan membrane
mukosa, kulit berkeringat dan gatal(pruritus), oedem perifer, kerusakan
kulit, otot lemah
7. Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratorium
 Bilirubin direk dalam serum meninggi
 Nilai normal bilirubin total < 12 mg/dl
 Bilirubin indirek serum meninggi karena kerusakan
parenkim hati akibat bendungan empedu yang luas
 Tidak ada urobilinogen dalam urine
 Pada bayi yang sakit berat terdapat peningkatan
transaminase alkalifosfatase (5-20 kali lipat nilai normal)
serta traksi-traksi lipid (kolesterol fosfolipid trigiliserol)

2) Pemeriksaan diagnostik
 USG yaitu untuk mengetahui kelainan congenital penyebab
kolestasis ekstra hepatic (dapat berupa dilatasi kristik
saluran empedu)
 Memasukkan pipa lambung cairan sampai duodenum lalu
cairan duodenum di aspirasi. Jika tidak ditemukan cairan
empedu dapat berarti atresia empedu terjadi
 Sintigrafi radio kolop hepatobilier untuk mengetahui
kemampuan hati memproduksi empedu dan
mengekskresikan ke saluran empedu sampai tercurah ke
duodenum. Jika tidak ditemukan empedu di duodenum,
maka dapat berarti terjadi katresia intra hepatic
 Biopsy hati perkutan ditemukan hati berwarna coklat
kehijauan dan noduler. Kandung empedu mengecil karena
kolaps. 75% penderita tidak ditemukan lumen yang jelas

h. Pemeriksaan tingkat perkembangan


1.Tahap Tumbuh Kembang umur 6-9 Bulan
a.Duduk (sikap tripoid-sendiri)
b.Belajar berdiri, kedua kakinya menyangga sebagian berat badan
c.Merangkak meraih mainan atau mendekati seseorang
d.Memindahkan benda dari tangan satu ke tangan lainnya
e.Memungut dua benda, masing-masing tangan pegang satu benda
f.pada saat yang bersamaan
g.Memungut benda sebesar kacang dengan cara meraup
h.Bersuara tanpa arti, misalnya ,mamama, bababa, papapa
i.Mencari benda/mainan yang dijatuhkan
j.Bermain tepuk tangan atau ciluk ba
k.Bergembira dengan melempar benda
l.Makan kue sendiri
2.Umur 9-12 bulan
a.Mengangkat badannya ke posisi berdiri
b.Belajar berdiri selama 30 detik atau berpegangan di kursi
c.Dapat berjalan dengan di tuntun
d.Mengulurkan lengan/badan untuk meraih mainan/gambar yang
diinginkan
e.Menggenggam erat pensil
f.Memasukkan benda ke mulut Mengulang menirukan bunyi yang
didengar
h. Menyebut 2-3 suku kata yang sama tanpa arti
i. Mengeksplorasi sekitar, ingin tahu, ingin menyentuh apa saja
j. Bereaksi terhadap suara perlahan/bisikan
k. Senang diajak bermain “ ciluk ba”
l. Mengenal anggota keluarga, takut kepada orang yang belum
dikenal
3.Umur 12-18 bulan
a. Berdiri sendiri tanpa berpegangan
b. Membungkuk memungut mainan kemudian berdiri kembali
c. Berjalan mundur 5 langkah
d) Memanggil ayah dengan kata “papa”, memanggil ibu dengan kata
“mama”. Tergantung mengajarinya, kalau diajari memanggilnya
“ayah” ya akan dipanggil “ayah.
i.Pola fungsi kesehatan
1) Aktivitas istirahat Gejala : Letargi atau kelemahan Tanda : Gelisah
atau rewel
2) Sirkulasi
Tanda : Takikardia, berkeringat, ikterik pada sklera kulit dan
membran
3) Eliminasi
Tanda :Distensi abdomen, asites
Urine :Warna gelap,
Feses :Warna dempul, steatorea, diare/konstipasi dapat terjadi
4) Integritas Ego
Gejala : Menyangkal, tidak percaya, sedih, marah
Tanda : Takut, cemas, gelisah , menari diri
5) Makanan/ Cairan
Gejala : Anoreksia, tidak mau makan, mual/muntah tidak toleran
terhadap lemak dan makanan pembentuk gas, regurgitasi berulang.
6) Higyene
Tanda : Sangat ketergantungan dalam melakukan aktivitas sehari-
hari.
7) Nyeri/kenyamanan
Gejala: Otot tegang atau kaku bila kuadran kanan atas ditekan
8) Pernapasan
Gejala: Peningkatan frekuensi pernafasan
9) Keamanan
Tanda : Ikterik, kulit berkeringat dan gatal (pruritus), kecenderungan
perdarahan (kekurangan vitamin K), oedem perifer, jaundice,
kerusakan kulit.
2.11 Diagnosa keperawatan
1. Hipertermia berhubungan dengan infeksi virus atau bakteri,
kerusakan progresif pada duktus bilier, inflamasi progresi.
2. Keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan berhubungan
dengan obstruksi aliran dari hati kedalam, lemak dan vitamin larut
lemak tidak dapat di absrobsi, kekurangan vitamin larut lemak
(A,D,E,K).
3. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan proses peradangan
pada hati, hepatomegali, distensi abdomen, menekan diafragma.
4. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ekskresi
bilirubin ke usus terhambat, gangguan penyerapan lemak dan vitamin
larut lemak, malnutrisi.
5. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan malnutrisi, perut
terasa penuh, mual muntah.
6. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan peningkatan
bilirubin, priuritis, ikterus.
7. Cemas berhubungan dengan peningkatan bilirubin, urine berwarna
gelap, tinja berwarna coklat.
8. Resiko infeksi berhubungan dengan pembedahan kasai
2.12Intervensi
2.12 .
3
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Atresia Bilier adalah suatu defek kongenital yang merupakan hasil dari tidak
adanya atau obstruksi satu atau lebih saluran empedu pada ekstrahepatik atau
intrahepatik (Suriadi dan Rita Yulianni, 2006)
Atresia biliary merupakan obliterasi atau hipoplasi satu komponen atau lebih dari
duktus biliaris akibat terhentinya perkembangan janin, menyebabkan ikterus
persisten dan kerusakan hati yang bervariasi dari statis empedu sampai sirosis
biliaris, dengan splenomegali bila berlanjut menjadi hipertensi porta. (Kamus
Kedokteran Dorland, 2006)
3.2 Saran

Adapun saran yang dapat kelompok sampaikan bagi pembaca khususnya


mahasiswa/i Jurusan Keperawatan , hendaknya memberikan asuhan keperawatan
lansia dengan benar dan tepat sehingga dapat sesuai dengan evaluasi yang
diharapkan. 51
DAFRTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall. 2003. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta :
EGC.
R. Taylor, Clive dan Candrasuma Parakrama. 2005. Ringkasan Patologi Anatomi
Edisi 2. Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G. Bare. (2001). Keperawatan medikal bedah
2. (Ed 8). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC).
Sodikin. 2007. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistim Gastrointestinal Dan
Hepatobilier. Salemba Medika
Suddarth dan Brunner. 2001. Buku Ajar keperawatan Medikal Bedah Edisi 8
Volume 2. Jakarta : EGC
Suriadi dan Yulianni Rita. 2006. Asuhan Keperawatan Pada Anak Edisi 2.
Jakarta :Penebar Swadaya
Tjokronegoro dan Hendra Utama. (1996). Ilmu penyakit dalam jilid 1. Jakarta:
FKUI.
Widodo Judarwanto. 2010. Atresia Bilier, Waspadai Bila Kuning Bayi Baru
Lahir yang berkepanjangan.
Wong, D.L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong Edisi 6 Volume 2.
Jakarta : EGC
Price, Sylvia A dan Lorraine M. Wilson. (1994). Patofisiologi, konsep klinis
proses-proses penyakit. Jakarta: Penerbit EGC.
Soeparman. 1987. Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta : FKUI.
Hull, David. 2008. Dasar-Dasar Pediatri Ed. 3. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai