Latar Belakang
Peningkatan insiden batu empedu dapat dilihat dalam kelompok resiko tinggi
yang disebut ”5 Fs”: female, fertile, fat, fair dan forty. Di Amerika 10- 20 % laki-
laki dewasa menderita batu empedu, di Italia 20 % wanita dan 14 % laki-laki, sementara
di Indonesia, kebanyakan lebih dari 80% gejala batu empedu tidak nampak
(Sjamsuhidayat, 2005; Lesmana, 2006).
Menurut Trank (2003), hiperglisemia, resistensi terhadap insulin,
hiperlipidemia, dan obesitas pada tikus merupakan faktor yang berhubungan dengan
pembentukan batu empedu. Hiperlipidemia memberikan banyak konstribusi pada
kejadian batu empedu disamping obesitas, gender wanita, dan penyakit DM yang lama
(Olokoba, 2007). Pada penelitian Rupali (2005), didapatkan peningkatan prevalensi
batu empedu pada pasien DM tipe 2.
Pembentukan batu empedu dipengaruhi oleh beberapa faktor, semakin banyak
faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya
batu empedu. Faktor resiko yang mempengaruhi terbentuknya batu empedu antara lain:
jenis kelamin, usia lebih dari 40 tahun, obesitas, hiperlipidemia, genetik, aktivitas fisik,
kehamilan (resiko meningkat pada kehamilan), diet tinggi lemak, pengosongan lambung
yang memanjang, nutrisi parenteral yang lama, dismotilitas dari kandung empedu, obat-
obatan antihiperlipidemia (clofibrate), dan penyakit lain (fibrosis sistik, diabetes
mellitus, sirosis hati, pankreatitis, kanker kandung empedu) (Maryan, 2008; Clinic staff,
2008)
sementara publikasi penelitian batu empedu masih terbatas (Lesmana, 2006). Oleh
karena itulah diadakan penelitian untuk mengetahui hubungan beberapa faktor yang
terkait dengan batu empedu. Penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan dan
hasilnya diharapkan dapat menjadi dasar bagi penelitian- penelitian sejenis selanjutnya.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Defenisi
Batu empedu merupakan gabungan dari beberapa unsur yang membentuk suatu
material mirip batu yang dapat ditemukan dalam kandung empedu (kolesistolitiasis)
atau di dalam saluran empedu (koledokolitiasis) atau pada kedua-duanya
(Sjamsuhidayat, 2005; Davide F, 2008)
bendungan oleh batu, maka infundibulum menonjol seperti kantong (kantong Hartmann). Secara
anatomis, kandung empedu terbagi menjadi : fundus (ujung), corpus, infundibulum dan leher
yang berhubungan dengan ductus cysticus (Hunter, 2007).
Ductus cysticus berjalan dari hati ke arah kandung empedu, panjangnya 1-2 cm,
diameter 2-3 mm, diliputi permukaan dalam dengan mukosa yang banyak sekali
membentuk duplikasi (lipatan-lipatan) yang disebut Valve of Heister, yang mengatur
pasase bile ke dalam kandung empedu dan menahan alirannya dari kandung empedu.
Ductus cysticus bergabung dengan ductus hepaticus communis menjadi ductus biliaris
communis (ductus choledochus) (Doherty, 2010).
Saluran empedu ekstrahepatik terletak di dalam ligamentum hepatoduodenale
dengan batas atas porta hepatis sedangkan batas bawahnya distal papila Vateri. Bagian
hulu saluran empedu intrahepatik bermuara ke saluran yang paling kecil yang disebut
kanikulus empedu yang meneruskan curahan sekresi empedu melalui duktus interlobaris
ke duktus lobaris dan selanjutkan ke duktus hepatikus di hilus.
Panjang duktus hepatikus kanan dan kiri masing-masing antara 1-4 cm. Panjang
duktus hepatikus komunis sangat bervariasi bergantung pada letak muara duktus
sistikus. Ductus choledochus berjalan menuju duodenum dari sebelah belakang, akan
menembus pankreas dan bermuara di sebelah medial dari duodenum descendens. Dalam
keadaan normal, ductus choledochus akan bergabung dengan ductus pancreaticus
Wirsungi (baru mengeluarkan isinya ke duodenum) Tapi ada juga keadaan di mana
masing-masing mengeluarkan
7
isinya, pada umumnya bergabung dulu. Pada pertemuan (muara) ductus choledochus ke
dalam duodenum, disebut choledochoduodenal junction. Tempat muaranya ini disebut
Papilla Vatteri. Ujung distalnya dikelilingi oleh sfingter Oddi, yang mengatur aliran
empedu ke dalam duodenum (Tank, 2009; Doherty, 2010).
Fisiologi
Empedu diproduksi oleh sel hepatosit sebanyak 500-1000 ml/hari. Diluar waktu
makan, empedu disimpan untuk sementara di dalam kandung empedu, dan di sini
mengalami pemekatan sekitar 50%. Fungsi primer dari kandung empedu adalah
memekatkan empedu dengan absorpsi air dan natrium (Doherty, 2010). Kandung
empedu mensekresi glikoprotein dan H+. Glikoprotein berfungsi untuk memproteksi
jaringan mukosa, sedangkan H+ berfungsi menurunkan pH yang dapat meningkatkan
kelarutan kalsium, sehingga dapat mencegah pembentukan garam kalsium. Pengaliran
cairan empedu diatur oleh tiga faktor, yaitu sekresi empedu oleh hati, kontraksi kandung
empedu, dan tahanan sfingter koledokus. Dalam keadaan puasa, empedu yang
diproduksi akan disimpan di dalam kandung empedu. Setelah makan, kandung empedu
akan berkontraksi, sfingter relaksasi dan empedu mengalir ke dalam duodenum
(Sjamsuhidayat, 2005; Lesmana, 2006).
Menurut Guyton & Hall, 1997 empedu melakukan dua fungsi penting yaitu:
2. Empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa produk buangan
yang penting dari darah, antara lain bilirubin, suatu produk akhir dari
penghancuran hemoglobin, dan kelebihan kolesterol yang di bentuk oleh sel- sel
hati.
Pengosongan kandung empedu dipengaruhi oleh hormon kolesistokinin, hal ini
terjadi ketika makanan berlemak masuk ke duodenum sekitar 30 menit setelah makan.
Dasar yang menyebabkan pengosongan adalah kontraksi ritmik dinding kandung empedu,
tetapi efektifitas pengosongan juga membutuhkan relaksasi yang bersamaan dari sfingter
oddi yang menjaga pintu keluar duktus biliaris komunis kedalam duodenum. Selain
kolesistokinin, kandung empedu juga dirangsang kuat oleh serat-serat saraf yang
menyekresi asetilkolin dari sistem saraf vagus dan enterik. Kandung empedu
mengosongkan simpanan empedu pekatnya ke dalam duodenum terutama sebagai respon
terhadap perangsangan kolesistokinin. Saat lemak tidak terdapat dalam makanan,
pengosongan kandung empedu berlangsung buruk, tetapi bila terdapat jumlah lemak yang
adekuat dalam makanan, normalnya kandung empedu kosong secara menyeluruh dalam
waktu sekitar 1 jam (Townsend, 2004; Heuman, 2011)
Gambar 2.3 a. Kontraksi sfingter Oddi dan pengisian empedu ke kandung empedu. 2.3
b. Relaksasi sfingter Oddi dan pengosongan kandung empedu
10
Proses koordinasi kedua aktifitas ini disebabkan oleh dua hal yaitu :
1. Hormonal :
Zat lemak yang terdapat pada makanan setelah sampai duodenum akan merangsang
mukosa sehingga hormon Cholecystokinin akan terlepas. Hormon ini yang paling besar
peranannya dalam kontraksi kandung empedu.
11
2. Neurogen :
Empedu
Komponen Empedu Gallbledder
Hati
Air 97,5 gm % 95 gm %
Elektrolit - -
12
1. Garam Empedu
Asam empedu berasal dari kolesterol. Asam empedu dari hati ada dua macam
yaitu : Asam Deoxycholat dan Asam Cholat.
Fungsi garam empedu adalah :
Hemoglobin yang terlepas dari eritrosit akan pecah menjadi heme dan globin.
Heme bersatu membentuk rantai dengan empat inti pyrole menjadi bilverdin yang
segera berubah menjadi bilirubin bebas. Zat ini di dalam plasma terikat erat oleh
albumin. Sebagian bilirubin bebas diikat oleh zat lain (konjugasi) yaitu 80 % oleh
glukuronide. Bila terjadi pemecahan sel darah merah berlebihan misalnya pada malaria
maka bilirubin yang terbentuk sangat
13
banyak.Salah satu fungsi hati adalah untuk mengeluarkan empedu, normalnya antara
600-1200 ml/hari (Guyton, 1997 ). Kandung empedu mampu menyimpan sekitar 45 ml
empedu. Diluar waktu makan, empedu disimpan untuk sementara di dalam kandung
empedu, dan di sini mengalami pemekatan sekitar 50 %. Fungsi primer dari kandung
empedu adalah memekatkan empedu dengan absorpsi air dan natrium. Kandung
empedu mampu memekatkan zat terlarut yang kedap, yang terkandung dalam empedu
hepatik 5-10 kali dan mengurangi volumenya 80-90% (Garden, 2007; Clinic staff,
2008)
1.2 Epidemiologi
1. Genetik
Batu empedu lebih sering ditemukaan pada orang kulit putih dibandingkan kulit hitam.
Batu empedu juga sering ditemukan di negara lain selain USA, Chili dan Swedia (Bateson
M, 1996; Kasper, 2005).
2. Umur
Usia rata-rata tersering terjadinya batu empedu adalah 40-50 tahun. Sangat sedikit
penderita batu empedu yang dijumpai pada usia remaja, setelah itu dengan semakin
bertambahnya usia semakin besar kemungkinan untuk mendapatkan batu empedu,
sehingga pada usia 90 tahun kemungkinannya adalah satu dari tiga orang (Latchieet, 1996;
Henry, 2005) .
3. Jenis Kelamin
Batu empedu lebih sering terjadi pada wanita dari pada laki-laki dengan
perbandingan 4 : 1. Di USA 10- 20 % laki-laki dewasa menderita batu kandung empedu,
sementara di Italia 20 % wanita dan 14 % laki-laki. (Garden, 2007).
Faktor lain yang meningkatkan resiko terjadinya batu empedu antara lain:
obesitas, makanan, riwayat keluarga, aktifitas fisik, dan nutrisi parenteral yang lama
(Bhangu, 2007; Garden, 2007).
1.3 Patogenesis
Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang pada
saluran empedu lainnya dan diklasifikasikan berdasarkan bahan pembentuknya.
Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan
15
sempurna, akan tetapi, faktor predisposisi yang paling penting tampaknya adalah
gangguan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis
empedu dan infeksi kandung empedu. Perubahan susunan empedu mungkin merupakan
yang paling penting pada pembentukan batu empedu, karena terjadi pengendapan
kolesterol dalam kandung empedu. Stasis empedu dalam kandung empedu dapat
meningkatkan supersaturasi progesif, perubahan susunan kimia, dan pengendapan unsur
tersebut. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian dalam
pembentukan batu, melalui peningkatan dan deskuamasi sel dan pembentukan mukus
(Silbernagl, 2000).
Sekresi kolesterol berhubungan dengan pembentukan batu empedu. Pada kondisi
yang abnormal, kolesterol dapat mengendap, menyebabkan pembentukan batu empedu.
Berbagai kondisi yang dapat menyebabkan pengendapan kolesterol adalah : terlalu
banyak absorbsi air dari empedu, terlalu banyak absorbsi garam-garam empedu dan lesitin
dari empedu, terlalu banyak sekresi kolesterol dalam empedu, Jumlah kolesterol dalam
empedu sebagian ditentukan oleh jumlah lemak yang dimakan karena sel-sel hepatik
mensintesis kolesterol sebagai salah satu produk metabolisme lemak dalam tubuh. Untuk
alasan inilah, orang yang mendapat diet tinggi lemak dalam waktu beberapa tahun, akan
mudah mengalami perkembangan batu empedu (Guyton, 1997; Townsend, 2004).
komplet sehingga menimbulkan gejalah kolik empedu. Kalau batu terhenti di dalam
duktus sistikus karena diameternya terlalu besar atau tertahan oleh striktur, batu akan
tetap berada disana sebagai batu duktus sistikus (Sjamsuhidayat, 2005).
1.4 Patofisiologi
Pembentukan batu empedu dibagi menjadi tiga tahap: (1) pembentukan empedu
yang supersaturasi, (2) nukleasi atau pembentukan inti batu, dan (3) berkembang karena
bertambahnya pengendapan. Kelarutan kolesterol merupakan masalah yang terpenting
dalam pembentukan semua batu, kecuali batu pigmen. Supersaturasi empedu dengan
kolesterol terjadi bila perbandingan asam empedu dan fosfolipid (terutama lesitin)
dengan kolesterol turun di bawah harga tertentu. Secara normal kolesterol tidak larut
dalam media yang mengandung air. Empedu dipertahankan dalam bentuk cair oleh
pembentukan koloid yang mempunyai inti sentral kolesterol, dikelilingi oleh mantel
yang hidrofilik dari garam empedu dan lesitin. Jadi sekresi kolesterol yang berlebihan,
atau kadar asam empedu rendah, atau terjadi sekresi lesitin, merupakan keadaan yang
litogenik (Garden, 2007).
Pembentukan batu dimulai hanya bila terdapat suatu nidus atau inti pengendapan
kolesterol. Pada tingkat supersaturasi kolesterol, kristal kolesterol keluar dari larutan
membentuk suatu nidus, dan membentuk suatu pengendapan. Pada tingkat saturasi yang
lebih rendah, mungkin bakteri, fragmen parasit, epitel sel yang lepas, atau partikel
debris yang lain diperlukan untuk dipakai sebagai benih pengkristalan (Hunter, 2007;
Garden, 2007).
17
Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih dari 70%
kolesterol. Lebih dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu yang mengandung >
50% kolesterol) (Bhangu, 2007).
Batu kolestrol murni merupakan hal yang jarang ditemui dan prevalensinya
kurang dari 10%. Biasanya merupakan soliter, besar, dan permukaannya halus. Empedu
yang di supersaturasi dengan kolesterol bertanggung jawab bagi lebih dari 90 %
kolelitiasis di negara Barat. Sebagian besar empedu ini merupakan batu kolesterol
campuran yang mengandung paling sedikit 75 % kolesterol berdasarkan berat serta
dalam variasi jumlah fosfolipid, pigmen empedu, senyawa organik dan inorganik lain.
Kolesterol dilarutkan di dalam empedu dalam daerah hidrofobik micelle, sehingga
kelarutannya tergantung pada jumlah relatif garam empedu dan lesitin. Ini dapat
dinyatakan oleh grafik segitiga, yang koordinatnya merupakan persentase konsentrasi
molar garam empedu, lesitin dan kolesterol (Hunter, 2007).
Proses fisik pembentukan batu kolesterol terjadi dalam empat tahap:
b. Pembentukan nidus.
c. Kristalisasi/presipitasi.
18
Gambar 2.4. Perbandingan kolestrol, lesithin, dan garam empedu dalam hal kelarutan
2. Batu pigmen
Batu pigmen merupakan 10% dari total jenis batu empedu yang
mengandung < 20% kolesterol. Jenisnya antara lain:
a. Batu pigmen kalsium bilirubinan (pigmen coklat)
Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti bubuk dan
kaya akan sisa zat hitam yang tak terekstraksi (Lesmana, 2006). Batu pigmen
hitam adalah tipe batu yang banyak ditemukan pada pasien dengan hemolisis
kronik atau sirosis hati. Batu pigmen hitam ini terutama terdiri dari derivat
polymerized bilirubin. Potogenesis terbentuknya batu ini belum jelas.
Umumnya batu pigmen hitam terbentuk dalam kandung empedu dengan
empedu yang steril (Doherty, 2010).
3. Batu campuran
Batu campuran antara kolesterol dan pigmen dimana mengandung 20- 50%
kolesterol. Merupakan batu campuran kolesterol yang mengandung kalsium. Batu ini
sering ditemukan hampir sekitar 90 % pada penderita kolelitiasis. batu ini bersifat
majemuk, berwarna coklat tua. Sebagian besar dari batu campuran mempunyai dasar
metabolisme yang sama dengan batu kolesterol (Garden, 2007).
20
1. Asimtomatik
Batu yang terdapat dalam kandung empedu sering tidak memberikan gejala
(asimtomatik). Dapat memberikan gejala nyeri akut akibat kolesistitis, nyeri bilier, nyeri
abdomen kronik berulang ataupun dispepsia, mual (Suindra, 2007). Studi perjalanan
penyakit sampai 50 % dari semua pasien dengan batu kandung empedu, tanpa
mempertimbangkan jenisnya, adalah asimtomatik. Kurang dari 25 % dari pasien yang
benar-benar mempunyai batu empedu asimtomatik akan merasakan gejalanya yang
membutuhkan intervensi setelah periode wakti 5 tahun. Tidak ada data yang
merekomendasikan kolesistektomi rutin dalam semua pasien dengan batu empedu
asimtomatik (Hunter, 2007).
2. Simtomatik
nyeri pascaprandial kuadran kanan atas, biasanya dipresipitasi oleh makanan berlemak,
terjadi 30-60 menit setelah makan, berakhir setelah beberapa jam dan kemudian pulih,
disebabkan oleh batu empedu, dirujuk sebagai kolik biliaris. Mual dan muntah sering
kali berkaitan dengan serangan kolik biliaris (Beat, 2008)
3. Komplikasi
punggung dan bahu kanan (Murphy sign). Pasien dapat berkeringat banyak dan
berguling ke kanan-kiri saat tidur. Nausea dan muntah sering terjadi. Nyeri dapat
berlangsung selama berjam-jam atau dapat kembali terulang (Doherty, 2010).
Gejala-gejala kolesistitis kronik mirip dengan fase akut, tetapi beratnya nyeri
dan tanda-tanda fisik kurang nyata. Seringkali terdapat riwayat dispepsia, intoleransi
lemak, nyeri ulu hati atau flatulen yang berlangsung lama. Setelah terbentuk, batu
empedu dapat berdiam dengan tenang dalam kandung empedu dan tidak menimbulkan
masalah, atau dapat menimbulkan komplikasi. Komplikasi yang paling sering adalah
infeksi kandung empedu (kolesistitis) dan obstruksi pada duktus sistikus atau duktus
koledokus. Obstruksi ini dapat bersifat sementara, intermitten dan permanent. Kadang-
kadang batu dapat menembus dinding kandung empedu dan menyebabkan peradangan
hebat, sering menimbulkan peritonitis, atau menyebakan ruptur dinding kandung
empedu (Alina, 2008).
Pada batu duktus koledokus, riwayat nyeri atau kolik di epigastrium dan perut
kanan atas disertai tanda sepsis, seperti demam dan menggigil bila terjadi kolangitis.
Apabila timbul serangan kolangitis yang umumnya disertai obstruksi, akan ditemukan
gejala klinis yang sesuai dengan beratnya kolangitis tersebut. Kolangitis akut yang
ringan sampai sedang biasanya kolangitis bakterial non piogenik yang ditandai dengan
trias Charcot yaitu demam dan menggigil, nyeri didaerah hati, dan ikterus. Apabila
terjadi kolangiolitis, biasanya berupa kolangitis piogenik intrahepatik, akan timbul 5
gejala pentade Reynold,
23
berupa tiga gejala trias Charcot, ditambah syok, dan kekacauan mental atau penurunan
kesadaran sampai koma (Rachel, 2006; Alina, 2008).
1.6 Penatalaksanaan
Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Nyeri yang
hilang-timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau mengurangi
makanan berlemak (Sjamsuhidayat, 2005)
Jika batu kandung empedu menyebabkan serangan nyeri berulang meskipun
telah dilakukan perubahan pola makan, maka dianjurkan untuk menjalani pengangkatan
kandung empedu (kolesistektomi). Pengangkatan kandung empedu tidak menyebabkan
kekurangan zat gizi dan setelah pembedahan tidak perlu dilakukan pembatasan
makanan (Sjamsuhidayat, 2005; Rachel, 2006; Alina, 2008)
1. Kolesistektomi terbuka
3. Disolusi medis
Masalah umum yang mengganggu semua zat yang pernah digunakan adalah
angka kekambuhan yang tinggi dan biaya yang dikeluarkan. Zat disolusi hanya
memperlihatkan manfaatnya untuk batu empedu jenis kolesterol. Penelitian
prospektif acak dari asam xenodeoksikolat telah mengindikasikan bahwa disolusi
dan hilangnya batu secara lengkap terjadi sekitar 15%. Jika obat ini dihentikan,
kekambuhan batu tejadi pada 50% pasien. Kurang dari 10% batu empedu yang
dilakukan dengan cara ini sukses. Disolusi medis sebelumnya harus memenuhi
kriteria terapi non operatif diantaranya batu kolesterol diameternya < 20 mm,
batu kurang dari 4 batu, fungsi kandung empedu baik dan duktus sistik paten
(Hunter, 2007).
26
4. Disolusi kontak
Sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu, analisis biaya- manfaat
pada saat ini memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas pada pasien yang
telah benar-benar dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini (Garden, 2007;
Alina, 2008).
6. Kolesistotomi
DAFTAR PUSTAKA
Abu, E.2007. Prevalence and Risk Factor of Gallstone Disease in a High Altitude
Saudi Population.Mediterranee orientale.13:4.
Alina ,D., Hobart ,W, H.,et al. 2008. Biliary System. In:Norton,J.A.,Barie, P.S.,
Bollinger, R., Chang, A.E., Lowry, S.F., Mulvihill, S.J., Pass,H.I., Thompson, R.W.,
editors. Surgery Basic Science and Clinical Evidence. 2nd. Ed. New York: McGraw
Hill.p. 911-925.
Bateson, M. 1991. Batu Empedu. In: Bateson, M., editor. Batu Empedu dan Penyakit
Hati. Jakarta: Arcan.p. 35-41.
Beat, M., et al. 2008. Diseases of the Gallbladder and Bile Ducts Diagnosis and
Treatment.In: Beat, M., editor. Clinical Surgery. New York : McGraw Hill.p. 219- 230
Beckingham, J.J. 2001. ABC Of Diseases Of Liver, Pancreas, And Biliary System
Gallstone Disease. British Medical Journal Vol 13., 322(7278): 91–94.
Bhangu, A.A. 2007. Cholelitiasis and Cholesistitis. In: Bhangu, A.A., editor.
Flesh and Bones of Surgery. China: Elseiver.p.123-128.
30
Davide,F., Ada,D., Simona, C., Ommaso ,S. 2008. Incidence of gallstone disease in
Italy: Results from a multicenter, population-based Italian study (the MICOL project).
World J. Gastroenterol., 14(34): 5282–5289.
Doherty, G.M. 2010. Biliary Tract. In : Doherty, G.M., editor. Current Diagnosis &
Treatment Surgery. 13 th. Ed. New York: McGraw-Hill.p. 544-5
31