Cholelithiasis atau batu empedu merupakan deposit kristal padat yang terbentuk
dikandung empedu dimana batu empedu dapat bermigrasi ke saluran empedu sehingga
dapat menimbulkan komplikasi dan dapat mengancam jiwa. (Sjamsuhidayat, 2010).
1
empedu yang lebih besar yang akhirnya akan membentuk duktus hepatikus. Duktus
hepatikus dari hati dan duktus sistikus dari kandung empedu akan bergabung untuk
membentuk duktus choleduktus (Common bile ducth) yang akan mengosongkan isinya
ke dalam intestinum. Aliran empedu ke dalam intestinum dikendalikan oleh sfingter oddi
yang terletak pada tempat sambungan (junction) dimana duktus choleduktus memasuki
duodenum ((Smeltzer, Suzanne C. 2001).
Empedu memiliki fungsi sebagai elektrolit seperti ekskresi bilirubin dan sebagai
pembantu proses pencernaan melalui emulsifikasi lemak, empedu yang berperan dalam
membantu metabolisme dan membuang limbah dari tubuh, seperti pembuangan
hemoglobin yang berasal dari penghancuran sel darah merah dan kelebihan kolestrol.
Garam empedu membantu proses penyarapan dengan cara meningkatkan kelarutan
kolekstrol lemak dan vitamin yang larut dalam lemak.
2. Etiologi
Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna namun yang paling
penting adalah gangguan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan
empedu, stasis empedu dan infeksi kandung empedu. Batu di dalam empedu sebagian
besar tersusun dari pigmen-pigmen empedu dan kolesterol, selain itu juga tersusun oleh
bilirubin, kalsium dan protein. Ada beberapa factor risiko terjadinya batu empedu yang
diklasifikasikan atas tiga penyebab (Mustakin Arif dan Kumala Sari, 2011) antara lain :
a. Batu Empedu Kolesterol, yang terdiri atas beberapa factor risiko penyebab antara lain:
2. Peningkatan Usia
3. Obesitas
4. Kehamilan
Kolesterol batu empedu lebih sering terjadi pada wanita yang mengalami
kehamilan multipel. Hal yang dianggap sebagai factor utama adalah tingkat
progesteron pada saat kehamilan tinggi. Progesteron mengurangi kontaktilitas
kandung empedu, menyebabkan retensi berkepanjangan dan konsetrasi lebih besar
empedu di kandung empedu (Lindseth, 2004).
5. Statis billier
6. Obat-obatan
7. Keturunan
8. Infeksi bilier
9. Gangguan Intestinal
Pasien pascareseksi usus dan penyakit Crohn memiliki risiko penurunan atau
kehilangan garam empedu dari intestinal. Garam empedu merupakan agen pengikat
kolesterol. Penurunan garam empedu jelas akan meningkatkan kosentrasi
kolesterol dan meningkatkan risiko batu empedu. (Sibernagl, 2007).
Faktor risiko pada sebagian besar kasus ini tidak dapat diidentifikasi, Heuman,
2009). Kondisi batu empedu ini terjadi pada individu dengan ketidakseimbangan tinggi
dan pergantian heme. Gangguan hemolysis berhubungan dengan batu empedu
pigmen termasuk anemia sel sabit, spherocytosis heredikter, dan beta-talasemia
(Chiang, 2008). Pada sirosis, hipertensi portal menyebabkan spenomegaly. Hal ini
pada gilirannya menyebabkan karantina sel darah merah yang menyebabkan
peningkatan sederhana turnover hemoglobin. Sekitar setengah dari semua pasien
memiliki pigmen sirotik batu empedu (Ko, 2002).
Faktor risiko terjadinya batu pigmen coklat adalah infeksi billier. Prasyarat untuk
pembentukan batu empedu dengan bakteri dan statis intraduktal. Di Amerika Serikat,
kombinasi ini paling sering dijumpai pada pasien pasca operasi striktur billier
atau kista koleduktus. Dalam hepatolitiasis, suatu kondisi yang dihadapi terutama di
daerah Asia Timur, pembentukan batu pigmen coklat intraduktal menyertai pada
kondisi striktur ekstrahepatik, seluruh intrahepatic dan saluran empedu. Kondisi ini
menyebabkan kolangitis berulang dan predisposisi ke sirosis billier dan
cholangiocarsinoma. Etiologi tidak diketahui, tetapi hati telah terlibat. (Heuman, 2009).
3. Patofisiologi
Batu ginjal terjadi karena adanya zat tertentu dalam empedu yang hadir dalam
konsentrasi yang mendekati batas kelarutan mereka. Bila empedu terkonsentrasi di
kandung empedu, larutan akan menjadi jenuh dengan bahan-bahan tersebut, kemudian
endapan dari larutan akan membentuk Kristal mikroskopis. Kristal terperangkap dalam
mukosa bilier, akan menghasilkan suatu endapan. Oklusi dari saluran oleh endapan dan
batu menghasilkan komplikasi penyakit batu empedu.
Bilirubin, pigmen kuning yang berasal dari pemecahan heme, secara aktif disekresi
ke dalam empedu oleh sel hati. Sebagian besar bilirubin dalam empedu adalah berada
dalam bentuk konjugat glukuronida yang larut dalam air dan stabil, tetapi sebagian kecil
terdiri dari bilirubin tak terkonjugasi. Bilirubin tak terkonjugasi, seperti asam lemak, fosfat,
karbonat, dan anion lain, cenderung untuk membentuk presipitat tak larut dengan
kalsium. Kalsium memasuki empedu secara pasif bersama dengan elektrolit lain. Dalam
situasi pergantian heme tinggi, seperti hemolisis kronis atau sirosis, bilirubin tak
terkonjugasi mungkin berada dalam empedu pada konsentrasi yang lebih tinggi dari
biasanya. Kalsium bilirubinate kemudian mengkristal dari larutan dan akhirnya
membentuk batu. Seiring waktu, berbagai oksidasi menyebabkan bilirubin presipitat
untuk mengambil jet warna hitam. Batu yang dibentuk dengan cara ini disebut batu
pigmen hitam.
Empedu biasanya steril, tetapi dalam beberapa kondisi yang tidak biasa (misalnya
di atas striktur bilier), mungkin terkolonisasi dengan bakteri. Bakteri menghidrolisis
bilirubin terkonjugasi dan hasil peningkatan bilirubin tak terkonjugasi dapat
menyebabkan presipitasi terbentuknya Kristal kalsium bilirubinate. Bakteri hidrolisis
lesitin menyebabkan pelepasan asam lemak yang kompleks dengan kalsium dan
endapan dari larutan. Konkresi yang dihasilkan memiliki konsistensi disebut batu pigmen
cokelat. Tidak seperti kolesterol atau pigmen batu hitam, yang membentuk hampir
secara eklusif di kandung empedu.
Batu empedu kolesterol dapat terkoloni dengan bakteri dan dapat menimbulkan
peradangan mukosa kandung empedu. Enzim dari bakteri dan leukosit menghidrolisis
bilirubin konjugasi dan asam lemak. Akibatnya, dari waktu ke waktu, batu kolesterol bisa
mengumpulkan proporsi kalsium bilirubinate dan garam kalsium, lalu menghasilkan
campuran batu empedu.
Kondisi batu kandung empedu memberikan berbagai keluhan pada pasien dan
menimbulkan berbagai masalah keperawatan. Jika terdapat batu yang menyumbat
duktus sistikus atau duktus biliaris komunis untuk sementara waktu, tekanan di duktus
biliaris akan meningkat dan penigkatan kontraksi peristaltic di tempat penyumbatan
mengakibatkan nyeri visera di daerah epigastrium, mungkin dengan penjalaran ke
punggung. Keluhan muntah dapat memberikan masalah keperawatan nyeri dan risiko
ketidakseimbangan cairan. Respon nyeri dan gangguan gastrointestinal akan
meningkatkan penurunan intake nutrisi, sedangkan anoreksia memberikan masalah
keperawatan risiko ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan. Respon komplikasi
akut dengan peradangan akan memberikan manifestasi peningkatan suhu tubuh. Respon
kolik bilier secara kronik akan meningkatkan kebutuhan metabolisme sehingga pasien
cenderung mengalami kelelahan memberikan masalah intoleransi aktivitas. Respon
adanya batu akan dilakukan intervensi medis pembedahan, intervensi litotripsi, atau
intervensi endoskopik memberikan respons psikologis kecemasan dan pemenuhan
informasi.
4. Patoflowdiagram
Jika duktus sistikus tersumbat oleh batu empedu, kandung empedu akan megalami
distensi dan akhirnya infeksi. Pasien akan menderita panas dan mungkin terabah masa
pada abdomen. Pasien dapat mengalami kolik bilier disertai nyeri hebat pada abdomen
kuadran kanan atas yang menjalar ke punggung atau bahu kanan, rasa nyeri ini biasanya
disertai mual dengan muntah.
b. Ikterus
9
c. Perubahan warna pada urin dan feses
Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan membuat urine berwarna sangat gelap.
Feses yang tidak lagi diwarnai oleh pigmen empedu akan tampak kelabu atau dan
biasanya pekat
d. Defisiensi vitamin
Obstruksi aliran empedu jugs mengganggu absorbsi vitamin A,D,E dan K yang larut
dalam lemak, defisiensi vitamin K dapat mengganggu pembekuan darah yang normal.
e. Demam
l. Tachycardi.
6. Pemeriksaan Penunjang
Ada beberapa pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk mendiagnosa
penyakit batu empedu (Smeltzer, Suzanne C. 2001) adalah:
a. Pemeriksaan laboratorium bisa didapatkan lekositosis, hiperbilirubinemia. Pada
kasus yang parah, peningkatan enzim-enzim hati dapat disebabkan oleh cedera
peradangan hati yang berdekatan. Protrombin akan menurun bila aliran dari empedu
intestine menurun. Hal ini terjadi karena obstruksi sehingga menyebabkan penurunan
absorbs vitamin K
b. Pemeriksaan Sinar-X Abdomen
Pemeriksaaan sinar-X abdomen dapat dilakukan jika terdapat kecurigaan
akan penyakit kandung empedu dan untuk menyingkirkan penyebab gejala yang lain.
10
10
c. Ultrasonografi.
Pemeriksaan USG menunjukan adanya bendungan/hambatan karena adanya
batu empedu dan distensi saluran empedu. Pemeriksaan USG tidak membuat pasien
terpajan radiasi ionisasi. Prosedur ini akan memberikan hasil yang paling akurat jika
pasien sudah berpuasa pada malam harinya sehingga kandung empedunya berada
dalam keadaan distensi. Pemeriksaan USG dapat mendeteksi kalkuli dalam kandung
empedu atau duktus koledokus yang mengalami dilatasi. USG mendeteksi batu
empedu dengan akurasi 95%.
d. Endoscopic retrograde cholangiopanreatography (ERCP) X-ray memungkinkan
pencitraan dari saluran empedu.
e. CT Scan dilakukan untuk mendeteksi adanya kista, dilatasi pada saluran empedu dan
obstruksi.
7. Komplikasi
Komplikasi dari kolelitiasis diantaranya adalah :
a. Kolesistitis
infeksi kandung empedu (kolesistitis) dan obstruksi pada duktus sistikus atau duktus
koledokus. Obstruksi ini dapat bersifat sementara, intermitten dan permanent. Kadang-
kadang batu dapat menembus dinding kandung empedu dan menyebabkan peradangan
hebat, sering menimbulkan peritonitis, atau menyebakan ruptur dinding kandung empedu.
Ini merupakan komplikasi penyakit batu empedu yang paling umum dan sering
meyebabkan kedaruratan abdomen, peradangan akut dari kandung empedu, berkaitan
dengan obstruksi duktus sistikus atau dalam infundi bulum.
8. Penatalaksanaan
a. Diet
Diet yang diterapkan yaitu makanan cair rendah lemak. Makanan berikut ini juga
dihindari, kuning telur, krim, daging yang berlemak, gorengan, keju, cokelat, susu,
mentega, alvokad dan bumbu-bumbu yang berlemak. Sayuran yang membentuk gas
seperti kol, nangka, brokoli dan sawi serta alkohol harus dihindari. (Smeltzer, Suzanne C.
2001).
b. Farmakoterapi
d. Penatalaksanaan Bedah
Laparoscopy cholelitiasis diindikasikan pada pasien simtomatis yang
terbukti menderita penyakit batu empedu (cholelitiasis). Indikasi laparoskopi untuk
Cholesistektomi sama dengan indikasi open Cholesistektomi. Keuntungan melakukan
prosedur laparoskopi pada cholesistektomi yaitu: laparoscopic cholesistektomi
menggabungkan manfaat dari penghilangan gallblader dengan singkatnya lama tinggal di
rumah sakit, cepatnya pengembalian kondisi untuk melakukan aktivitas normal, rasa
sakit yang sedikit karena torehan yang kecil dan terbatas, dan kecilnya kejadian ileus
pasca operasi dibandingkan dengan teknik open laparotomi.
Namun kerugiannya, trauma saluran empedu lebih umum terjadi setelah laparoskopi
dibandingkan dengan open cholesistektomi dan bila terjadi pendarahan perlu dilakukan
.
laparotomi. Kontra indikasi pada Laparoskopi cholesistektomi antara lain: penderita ada
resiko tinggi untuk anestesi umum; penderita dengan morbid obesity; ada tanda-tanda
perforasi seperti abses, peritonitis, fistula; batu kandung empedu yang besar atau curiga
keganasan kandung empedu; dan hernia diafragma yang besar.
C. Diagnosa Keperawatan
1. Intoleransi/malaise berhubungan dengan kelemahan fisik
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelelahan : efek yang mengganggu
3. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan retensi cairan.
D. Discharge Planning
1. Menganjurkan pasien tidak beraktivitas yang berat.
2. Menganjurkan pasien menghindari makanan yang berlemak dan mengandung gas.
3. Menganjurkan pasien bedrest selama fase akut.
4. Menganjurkan tehnik relaksasi jika nyeri timbul.
5. Menganjurkan pasien mengikutsertakan keluarga dalam setiap tindakan
keperawatan.
6. Menganjurkan pasien mengkonsumsi makanan tinggi protein.
E. Intervensi Keperawatan
I. Ketidakefek Tujuan : Pola napas Definisi : inspirasi dan atau ekspirasi yang
tifan Pola menjadi efektif memberi ventilasi adekuat.
napas b/d
kelelahan : Kriteria hasil : Monitor pernapasan :
efek yang Status pernapasan baik. 1. Monitor vital sign.
menggangg u
Efek yang mengganggu 2. Monitor cairan.
berkurang atau
ditoleransi. 3. Atur posisi klien senyaman mungkin.
16
teratasi dengan kriteria b. Monitor tanda-tanda vital
hasil:
c. Timbang berat badan per hari
a. Acites
dipertahankan skala d. Intruksikan pasien dan keluarga
2 ditingkatkan skala mengenai alas an untuk pembatasan
4 cairan, tindakan hidrasi atau
administrasi elektrolit tambahan yang
b. Edema perifer dianjurkan.
dipertahankan skala
2 ditingkatkan skala e. Pantau kadar serum elektrolit.
4 f. Monitor hasil laboratorium yang
c. Serum elektrolit relevan dengan retensi cairan
dipertahankan skala ( misalnya peningkatan berat jenis,
2 ditingkatkan skala peningkatan BUN, penurunan
5 hematocrit, peningkatan osmolaritas
urin).
d. Hematokrit
dipertahankan skala g. Berikan suplemen elektrolit tambahan
3 ditingkatkan skala yang diresepkan.
5 h. Monitor respon pasien terhadap terapi
elektrolit yang diresepkan.
i. Monitor manifestasi
ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit.
17
17
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Cholelithiasis atau batu empedu merupakan deposit kristal padat yang terbentuk
dikandung empedu dimana batu empedu dapat bermigrasi ke saluran empedu sehingga
dapat menimbulkan komplikasi dan dapat mengancam jiwa. (Sjamsuhidayat, 2010).
Cholelithiasis atau batu empedu adalah timbunan kristal di dalam kandung empedu
atau di dalam saluran empedu atau kedua-duanya (Brunner & Suddarth, 2002 ).
Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna namun yang paling
penting adalah gangguan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan
empedu, stasis empedu dan infeksi kandung empedu. Batu empedu dapat terjadi dengan
atau tanpa factor resiko dibawah ini. Namun, semakin banyak factor resiko yang dimiliki
seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya batu empedu.
DAFTAR PUSTAKA
Dan L. Longo and Anthony S. Fauci. 2010. Gastroenterology and Hepatology. Harrison’s
17th Edition. China: 439-455.
Muttaqin, A., & Sari, K. (2010). Gangguan Gastrointestinal: Aplikasi Asuhan Keperawatan
Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika.
Nuratif Huda Amin, Kusuma Hardi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA (NORTH AMERICAN NURSING DIAGNOSIS ASSOCIATION)
NIC- NOC Edisi Revisi Jilid 1, 2 & 3. Jogjakarta : Mediaction Jogja.
Purwanti, Ari. 2016. Hubungan Gaya Hidup Dengan Kejadian Penyakit Cholelitiasis di
Ruang Rawat Inap Rsi Surakarta. Surakarta
WWW.google.com/batuempedu
Sjamsuhidajat R, de Jong W. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Smeltzer, Suzanne C. (2001) Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth,
alih bahasa: Agung Waluyo (et. al.), vol. 1, edisi 8, Jakarta: EGC
20
21