Anda di halaman 1dari 21

KOLELITHIASIS

A. Konsep Dasar Medis


1. Defenisi
Kolelitiasis adalah adanya batu yang terdapat di dalam kandung empedu atau
saluran empedu ( duktus koleduktus ) atau keduanya. (Arif Muttaqin, 2011)

Cholelithiasis atau batu empedu merupakan deposit kristal padat yang terbentuk
dikandung empedu dimana batu empedu dapat bermigrasi ke saluran empedu sehingga
dapat menimbulkan komplikasi dan dapat mengancam jiwa. (Sjamsuhidayat, 2010).

Cholelithiasis atau batu empedu adalah timbunan kristal di dalam kandung


empedu atau di dalam saluran empedu atau kedua-duanya (Smeltzer, Suzanne C. 2001).
Batu kandung empedu merupakan gabungan beberapa unsur dari cairan empedu yang
mengendap dan membentuk suatu material mirip batu di dalam kandung empedu atau
saluran empedu. Komponen utama dari cairan empedu adalah bilirubin, garam empedu,
fosfolipid dan kolesterol. Batu yang ditemukan di dalam kandung empedu bisa berupa
batu kolesterol, batu pigmen yaitu coklat atau pigmen hitam, atau batu campuran
( Purwanti Ari, 2016 ).

2. Anatomi dan Fisiologi


a. Anatomi
Kandung empedu berbentuk seperti pir, panjangnya sekitar 7-10 cm terletak pada
permukaan inferior hati. Dinding kandung empedu terutama tersusun oleh otot polos.
Kandung empedu dihubungkan dengan duktus choleduktus lewat duktus sistikus
(Semltzer dan Bare, 2002). Kandung empedu memiliki bagian berupa fundus, korpus dan
kolum. Fundus berbentuk bulat, berujung buntuh pada kandung empedu sedikit
memanjang diatas tepi hati. Korpus merupakan bagian terbesar dari kandung empedu.
Kolum adalah bagian sempit, dari kandung empedu yang terletak antara korpus dan
duktus sistikus. Empedu yang disekresikan dari hati akan disimpan sementara waktu
dalam kandung empedu. Saluran empedu terkecil kanalikulus terletak diantara lobulus
hati. Karena likulus menerima hasil sekresi dari hepatosis dan membawanya ke saluran

1
empedu yang lebih besar yang akhirnya akan membentuk duktus hepatikus. Duktus
hepatikus dari hati dan duktus sistikus dari kandung empedu akan bergabung untuk
membentuk duktus choleduktus (Common bile ducth) yang akan mengosongkan isinya
ke dalam intestinum. Aliran empedu ke dalam intestinum dikendalikan oleh sfingter oddi
yang terletak pada tempat sambungan (junction) dimana duktus choleduktus memasuki
duodenum ((Smeltzer, Suzanne C. 2001).

Gbr. Batu Empedu


b. Fisiologi
Kandung empedu berfungsi sebagai tempat penyimpanan empedu. Kapasitas
kandung empedu adalah 30 – 50 ml empedu. Empedu yang ada di hati akan dikeluarkan
saat – saat makan, ketika sfingter oddi tertutup, empedu yang diproduksi oleh hepar
akan memasuki kandung empedu. Selama penyimpanan, sebagaian besar air dalam
empedu diserap melalui dinding kandung empedu sehingga empedu dalam kandung
empedu lebih pekat hingga sepuluh kali dari konsentrasi saat disekresikan pertama
kalinya oleh hati. Ketika makanan masuk ke dalam duodenum akan terjadi kontraksi
kandung empedu dan relaksaksi sfingter oddi yang memungkinkan empedu mengalir
masuk ke dalam intestinum. Respon ini diantara oleh sekresi hormon cholesistotinin
pangkreozinia dari dinding usus (Semltzer dan Bare, 2002).

Empedu memiliki fungsi sebagai elektrolit seperti ekskresi bilirubin dan sebagai
pembantu proses pencernaan melalui emulsifikasi lemak, empedu yang berperan dalam
membantu metabolisme dan membuang limbah dari tubuh, seperti pembuangan
hemoglobin yang berasal dari penghancuran sel darah merah dan kelebihan kolestrol.
Garam empedu membantu proses penyarapan dengan cara meningkatkan kelarutan
kolekstrol lemak dan vitamin yang larut dalam lemak.

2. Etiologi
Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna namun yang paling
penting adalah gangguan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan
empedu, stasis empedu dan infeksi kandung empedu. Batu di dalam empedu sebagian
besar tersusun dari pigmen-pigmen empedu dan kolesterol, selain itu juga tersusun oleh
bilirubin, kalsium dan protein. Ada beberapa factor risiko terjadinya batu empedu yang
diklasifikasikan atas tiga penyebab (Mustakin Arif dan Kumala Sari, 2011) antara lain :

a. Batu Empedu Kolesterol, yang terdiri atas beberapa factor risiko penyebab antara lain:

1. Jenis Kelamin Perempuan

Perempuan lebih cenderung untuk mengembangkan batu empedu kolesterol


dari pada laki-laki, khususnya pada masa reproduksi. Peningkatan batu empedu
disebabkan oleh factor esterogen dan progesterone sehingga meningkatkan
sekresi kolesterol bilier ( Wang, 2009)

2. Peningkatan Usia

Peningkatan usia baik pria maupun wanita, keduanya meningkatkan risiko


terbentuknya batu pada kandung empedu. (Ko, 1999)

3. Obesitas

Kondisi obesitas akan meningkatkan metabolisme umum, resistensi insulin,


diabetes mellitus tipe II, hipetensi dan hyperlipidemia berhubungan
dengan peningkatan sekresi kolesterol hepatica dan merupakan factor risiko utama
pengembangan batu kolesterol (Donovan,1999).

4. Kehamilan

Kolesterol batu empedu lebih sering terjadi pada wanita yang mengalami
kehamilan multipel. Hal yang dianggap sebagai factor utama adalah tingkat
progesteron pada saat kehamilan tinggi. Progesteron mengurangi kontaktilitas
kandung empedu, menyebabkan retensi berkepanjangan dan konsetrasi lebih besar
empedu di kandung empedu (Lindseth, 2004).

5. Statis billier

Kondisi statis billier menyebabkan peningkatan risiko batu empedu. Kondisi


yang bisa menyebabkan statis adalah cedera tulang belakang, puasa
berkepanjangan atau pemberian nutrisi total parenteral (TPN, Total Parenteral
Nutrition) dan penurunan berat badan yang berhubungan dengan kalori dan
pembatasan lemak (misalnya: diet, operasi bypass lambung) (Portincasa, 2006).
Kondisi statis bilier akan menurunkan produksi garam empedu serta meningkatkan
kehilangan garam empedu ke intestinal.

6. Obat-obatan

Estrogen yang diberikan untuk kontrasepsi atau pengobatan kanker prostat


meningkatkan risiko batu empedu kolesterol. ( Wang, 2009). Clofibrate dan obat
fibrate hypolipidemic meningkatkan pengeluaran kolesterol hepatic melalui sekressi
bilier dan tampaknya meningkatkan risiko batu empedu kolesterol (Shaffer, 2005).
Analog somatostatin muncul sebagai factor predisposisi untuk batu empedu
dengan mengurangi pengosongan kantung empedu (Chiang, 2008).

7. Keturunan

Sekitar 25 % dari batu empedu kolesterol, factor predisposisi tampaknya


adalah turun-temurun, seperti yang dinilai dari penelitian terhadap kembar
identic dan fraternal. (Heuman, 2009). Kasus jarang pada sindrom fosfolipid rendah
terkait kolelithiasis yang terjadi pada individu dengan kekurangan turun-temurun
dari transportasi bilier lesitin protein yang diperlukan untuk sekresi ( Ko, 2002).

8. Infeksi bilier

Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat memegang peranan sebagian


pada pembentukan batu dengan meningkatkan deskuamasi seluler dan
pembentukan mucus. Mukus meningkatkan visikositas dan unsur seluler sebagai
pusat presipitasi. Infeksi lebih sering sebagai akibat pembentukan batu empedu
dibanding infeksi yang menyebabkan pembentukan batu (Ko, 2002).

9. Gangguan Intestinal

Pasien pascareseksi usus dan penyakit Crohn memiliki risiko penurunan atau
kehilangan garam empedu dari intestinal. Garam empedu merupakan agen pengikat
kolesterol. Penurunan garam empedu jelas akan meningkatkan kosentrasi
kolesterol dan meningkatkan risiko batu empedu. (Sibernagl, 2007).

b. Batu Kalsium Bilirubin dan Pigmen Hitam

Faktor risiko pada sebagian besar kasus ini tidak dapat diidentifikasi, Heuman,
2009). Kondisi batu empedu ini terjadi pada individu dengan ketidakseimbangan tinggi
dan pergantian heme. Gangguan hemolysis berhubungan dengan batu empedu
pigmen termasuk anemia sel sabit, spherocytosis heredikter, dan beta-talasemia
(Chiang, 2008). Pada sirosis, hipertensi portal menyebabkan spenomegaly. Hal ini
pada gilirannya menyebabkan karantina sel darah merah yang menyebabkan
peningkatan sederhana turnover hemoglobin. Sekitar setengah dari semua pasien
memiliki pigmen sirotik batu empedu (Ko, 2002).

c. Batu Pigmen Coklat

Faktor risiko terjadinya batu pigmen coklat adalah infeksi billier. Prasyarat untuk
pembentukan batu empedu dengan bakteri dan statis intraduktal. Di Amerika Serikat,
kombinasi ini paling sering dijumpai pada pasien pasca operasi striktur billier
atau kista koleduktus. Dalam hepatolitiasis, suatu kondisi yang dihadapi terutama di
daerah Asia Timur, pembentukan batu pigmen coklat intraduktal menyertai pada
kondisi striktur ekstrahepatik, seluruh intrahepatic dan saluran empedu. Kondisi ini
menyebabkan kolangitis berulang dan predisposisi ke sirosis billier dan
cholangiocarsinoma. Etiologi tidak diketahui, tetapi hati telah terlibat. (Heuman, 2009).

3. Patofisiologi
Batu ginjal terjadi karena adanya zat tertentu dalam empedu yang hadir dalam
konsentrasi yang mendekati batas kelarutan mereka. Bila empedu terkonsentrasi di
kandung empedu, larutan akan menjadi jenuh dengan bahan-bahan tersebut, kemudian
endapan dari larutan akan membentuk Kristal mikroskopis. Kristal terperangkap dalam
mukosa bilier, akan menghasilkan suatu endapan. Oklusi dari saluran oleh endapan dan
batu menghasilkan komplikasi penyakit batu empedu.

Pada kondisi normal kolesterol tidak mengendap di empedu karena mengandung


garam empedu terkonjugasi dan fosfatidikolin (lesitin) dalam jumlah cukup agar
kolesterol berada di dalam larutan misel. Jika rasio konsentrasi kolesterol berbanding
garam empedu dan lesitin meningkat, maka larutan misel menjadi sangat jenuh. Kondisi
yang sangat jenuh ini mungkin karena hati memproduksi kolesterol dalam bentuk
konsentrasi tinggi. Zat ini kemudian mengendap pada lingkungan cairan dalam bentuk
kristal kolesterol. Kristal ini merupakan prekusor batu empedu.

Bilirubin, pigmen kuning yang berasal dari pemecahan heme, secara aktif disekresi
ke dalam empedu oleh sel hati. Sebagian besar bilirubin dalam empedu adalah berada
dalam bentuk konjugat glukuronida yang larut dalam air dan stabil, tetapi sebagian kecil
terdiri dari bilirubin tak terkonjugasi. Bilirubin tak terkonjugasi, seperti asam lemak, fosfat,
karbonat, dan anion lain, cenderung untuk membentuk presipitat tak larut dengan
kalsium. Kalsium memasuki empedu secara pasif bersama dengan elektrolit lain. Dalam
situasi pergantian heme tinggi, seperti hemolisis kronis atau sirosis, bilirubin tak
terkonjugasi mungkin berada dalam empedu pada konsentrasi yang lebih tinggi dari
biasanya. Kalsium bilirubinate kemudian mengkristal dari larutan dan akhirnya
membentuk batu. Seiring waktu, berbagai oksidasi menyebabkan bilirubin presipitat
untuk mengambil jet warna hitam. Batu yang dibentuk dengan cara ini disebut batu
pigmen hitam.

Empedu biasanya steril, tetapi dalam beberapa kondisi yang tidak biasa (misalnya
di atas striktur bilier), mungkin terkolonisasi dengan bakteri. Bakteri menghidrolisis
bilirubin terkonjugasi dan hasil peningkatan bilirubin tak terkonjugasi dapat
menyebabkan presipitasi terbentuknya Kristal kalsium bilirubinate. Bakteri hidrolisis
lesitin menyebabkan pelepasan asam lemak yang kompleks dengan kalsium dan
endapan dari larutan. Konkresi yang dihasilkan memiliki konsistensi disebut batu pigmen
cokelat. Tidak seperti kolesterol atau pigmen batu hitam, yang membentuk hampir
secara eklusif di kandung empedu.

Batu empedu kolesterol dapat terkoloni dengan bakteri dan dapat menimbulkan
peradangan mukosa kandung empedu. Enzim dari bakteri dan leukosit menghidrolisis
bilirubin konjugasi dan asam lemak. Akibatnya, dari waktu ke waktu, batu kolesterol bisa
mengumpulkan proporsi kalsium bilirubinate dan garam kalsium, lalu menghasilkan
campuran batu empedu.

Kondisi batu kandung empedu memberikan berbagai keluhan pada pasien dan
menimbulkan berbagai masalah keperawatan. Jika terdapat batu yang menyumbat
duktus sistikus atau duktus biliaris komunis untuk sementara waktu, tekanan di duktus
biliaris akan meningkat dan penigkatan kontraksi peristaltic di tempat penyumbatan
mengakibatkan nyeri visera di daerah epigastrium, mungkin dengan penjalaran ke
punggung. Keluhan muntah dapat memberikan masalah keperawatan nyeri dan risiko
ketidakseimbangan cairan. Respon nyeri dan gangguan gastrointestinal akan
meningkatkan penurunan intake nutrisi, sedangkan anoreksia memberikan masalah
keperawatan risiko ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan. Respon komplikasi
akut dengan peradangan akan memberikan manifestasi peningkatan suhu tubuh. Respon
kolik bilier secara kronik akan meningkatkan kebutuhan metabolisme sehingga pasien
cenderung mengalami kelelahan memberikan masalah intoleransi aktivitas. Respon
adanya batu akan dilakukan intervensi medis pembedahan, intervensi litotripsi, atau
intervensi endoskopik memberikan respons psikologis kecemasan dan pemenuhan
informasi.

4. Patoflowdiagram

Kehamilan Cedera tulang belakang, puasa sirosis hepatis


Anemia hemolitik, Bakteri (kolesistitis,
berkepanjangan, nutrisi total kolangitis
parenteral dan penurunan berat
Peningkatan kadar
badan yang berhubungan
progesteron Bilirubin tak
dengan kalori & pembatasan
lemak terkonjugasi Penurunan
Penyakit Chon, Reseksi pembentukan misel
Kalsium
Statis billier 7 Bilirubinat
Obesitas, resistensi
insulin, DM tipe II, HT & Penurunan Kalsium Palmitat &
hiperlipidemia garam empedu

Batu Kalsium Batu pigmen hitam


Intervensi bedah Obstruksi & oklusi dari
Intervensi litotripsi
Intervensi

Obstruksi duktus sistikus


Ikterik
atau duktus biliaris

Preoperatif Pasca Kerusakan


jaringan post Tekanan di duktus biliaris
meningkat dan peningkatan
8
respon Port de entrée
psikologis pasca bedah
Misinterpretasi Nyeri
perawatan & Gangguan GI Respon
5. Manifestasi klinis
Gejala yang disebabkan oleh penyakit pada kandung empedu itu sendiri dan gejala
yang dapat terjadi akibat obstruksi pada lintasan empedu oleh batu empedu. Ada
beberapa manifestasi yang terjadi ( Brunner & Suddarth, 2002) antara lain:

a. Rasa nyeri dan kolik bilier

Jika duktus sistikus tersumbat oleh batu empedu, kandung empedu akan megalami
distensi dan akhirnya infeksi. Pasien akan menderita panas dan mungkin terabah masa
pada abdomen. Pasien dapat mengalami kolik bilier disertai nyeri hebat pada abdomen
kuadran kanan atas yang menjalar ke punggung atau bahu kanan, rasa nyeri ini biasanya
disertai mual dengan muntah.

b. Ikterus

Obstruksi pengaliran getah empedu ke dalam duodenum akan menimbulkan gejala


yang khas yaitu : getah empedu yang tidak lagi dibawa ke dalam duodenum akan diserap
oleh darah dan penyerapan empedu membuat kulit dan membran mukosa berwarna
kuning.

9
c. Perubahan warna pada urin dan feses

Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan membuat urine berwarna sangat gelap.
Feses yang tidak lagi diwarnai oleh pigmen empedu akan tampak kelabu atau dan
biasanya pekat

d. Defisiensi vitamin

Obstruksi aliran empedu jugs mengganggu absorbsi vitamin A,D,E dan K yang larut
dalam lemak, defisiensi vitamin K dapat mengganggu pembekuan darah yang normal.

e. Demam

f. Bilirubin serum meningkat, waktu protrombin memanjang

g. Mual & muntah

h. Bila ada gangguan fungsi hepar SGOT & SGPT meningkat.

i. Nyeri daerah midepigastrium


j. Kolesterol meningkat

k. Metabolisme lemak meningkat

l. Tachycardi.

6. Pemeriksaan Penunjang
Ada beberapa pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk mendiagnosa
penyakit batu empedu (Smeltzer, Suzanne C. 2001) adalah:
a. Pemeriksaan laboratorium bisa didapatkan lekositosis, hiperbilirubinemia. Pada
kasus yang parah, peningkatan enzim-enzim hati dapat disebabkan oleh cedera
peradangan hati yang berdekatan. Protrombin akan menurun bila aliran dari empedu
intestine menurun. Hal ini terjadi karena obstruksi sehingga menyebabkan penurunan
absorbs vitamin K
b. Pemeriksaan Sinar-X Abdomen
Pemeriksaaan sinar-X abdomen dapat dilakukan jika terdapat kecurigaan
akan penyakit kandung empedu dan untuk menyingkirkan penyebab gejala yang lain.

10
10
c. Ultrasonografi.
Pemeriksaan USG menunjukan adanya bendungan/hambatan karena adanya
batu empedu dan distensi saluran empedu. Pemeriksaan USG tidak membuat pasien
terpajan radiasi ionisasi. Prosedur ini akan memberikan hasil yang paling akurat jika
pasien sudah berpuasa pada malam harinya sehingga kandung empedunya berada
dalam keadaan distensi. Pemeriksaan USG dapat mendeteksi kalkuli dalam kandung
empedu atau duktus koledokus yang mengalami dilatasi. USG mendeteksi batu
empedu dengan akurasi 95%.
d. Endoscopic retrograde cholangiopanreatography (ERCP) X-ray memungkinkan
pencitraan dari saluran empedu.
e. CT Scan dilakukan untuk mendeteksi adanya kista, dilatasi pada saluran empedu dan
obstruksi.

7. Komplikasi
Komplikasi dari kolelitiasis diantaranya adalah :
a. Kolesistitis

infeksi kandung empedu (kolesistitis) dan obstruksi pada duktus sistikus atau duktus
koledokus. Obstruksi ini dapat bersifat sementara, intermitten dan permanent. Kadang-
kadang batu dapat menembus dinding kandung empedu dan menyebabkan peradangan
hebat, sering menimbulkan peritonitis, atau menyebakan ruptur dinding kandung empedu.
Ini merupakan komplikasi penyakit batu empedu yang paling umum dan sering
meyebabkan kedaruratan abdomen, peradangan akut dari kandung empedu, berkaitan
dengan obstruksi duktus sistikus atau dalam infundi bulum.

b. Empiema kandung empedu

Empiema kandung empedu terjadi akibat perkembangan kolesistitis akut dengan


sumbatan duktus sistikus persisten menjadi superinfeksi empedu yang tersumbat
disertai kuman kuman pembentuk pus.
c. Hidrops atau mukokel kandung empedu terjadi akibat sumbatan berkepanjangan
duktus sistikus.
d. Gangren kandung empedu menimbulkan iskemia dinding dan nekrosis
jaringan berbercak atau total.
e. Perforasi lokal biasanya ditimbulkan oleh peradangan berulang kandung empedu.
f. Adenokarsinoma empedu
f. Ileus batu empedu : obstruksi intestinal mekanik yang diakibatkan oleh lintasan batu
empedu yang besar kedalam lumen usus.

8. Penatalaksanaan
a. Diet
Diet yang diterapkan yaitu makanan cair rendah lemak. Makanan berikut ini juga
dihindari, kuning telur, krim, daging yang berlemak, gorengan, keju, cokelat, susu,
mentega, alvokad dan bumbu-bumbu yang berlemak. Sayuran yang membentuk gas
seperti kol, nangka, brokoli dan sawi serta alkohol harus dihindari. (Smeltzer, Suzanne C.
2001).

b. Farmakoterapi

1. Agen pelarut kolesterol misalnya Asam ursodeoksikolat (Urdafalk) dan


kenodeoksikolat (chenodiol, chenofalk) telah digunakan untuk melarutkan batu
empedu radiolusen yang berukuran kecil dan terutama tersusun dari kolesterol.
Mekanisme kerjanya adalah menghambat sintesis kolesterol dalam hati dan
sekresinya sehingga terjadi desaturasi getah empedu. Batu yang sudah ada dapat
dikurangi besarnya, batu yang kecil dilarutkan dan batu yang baru di cegah
pembentukannya (Smeltzer, Suzanne C. 2001).

2. Obat obatan lain misalnya : Vitamin K, antibiotik, Papaverine, analgesic.

c. Extracorpeal Shock Wave Litotripsi (ESWL)

d. Penatalaksanaan Bedah
Laparoscopy cholelitiasis diindikasikan pada pasien simtomatis yang
terbukti menderita penyakit batu empedu (cholelitiasis). Indikasi laparoskopi untuk
Cholesistektomi sama dengan indikasi open Cholesistektomi. Keuntungan melakukan
prosedur laparoskopi pada cholesistektomi yaitu: laparoscopic cholesistektomi
menggabungkan manfaat dari penghilangan gallblader dengan singkatnya lama tinggal di
rumah sakit, cepatnya pengembalian kondisi untuk melakukan aktivitas normal, rasa
sakit yang sedikit karena torehan yang kecil dan terbatas, dan kecilnya kejadian ileus
pasca operasi dibandingkan dengan teknik open laparotomi.
Namun kerugiannya, trauma saluran empedu lebih umum terjadi setelah laparoskopi
dibandingkan dengan open cholesistektomi dan bila terjadi pendarahan perlu dilakukan
.
laparotomi. Kontra indikasi pada Laparoskopi cholesistektomi antara lain: penderita ada
resiko tinggi untuk anestesi umum; penderita dengan morbid obesity; ada tanda-tanda
perforasi seperti abses, peritonitis, fistula; batu kandung empedu yang besar atau curiga
keganasan kandung empedu; dan hernia diafragma yang besar.

B. Konsep Dasar Keperawatan


Pengkajian
1. Identitas
Nama : Ny. X Umur
: 45 Tahun Jenis Kelamin :
Perempuan Tinggi Badan :
Berat Badan :
Tanggal Masuk :
2. Keluhan utama :
Agak sesak, Perut membesar 3 mgg yang lalu.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penggunaan kontrasepsi (pil) selama 20 Tahun, riwayat hepatitis B 10
tahun yang lalu.
4. Riwayat Penyakit Sekarang
Sklera ikterik, cepat lelah, mual muntah, palmar eritema +, edema ekstremitas
bawah, acites, fibrosis hati.
5. Pola Fungsi Kesehatan
a. Pola Persepsi dan Pemeliharaan Kesehatan
- Riwayat konsumsi pil KB 20 Tahun
- Riwayat hepatitis
- Riwayat sering mengkonsumsi makanan berlemak/gorengan
b. Pola Nutrisi dan Metabolik
- Sklera ikterik
- Tampak spider navi
- Edema
- Mual Muntah
c. Pola Eliminasi
- Urin berwarna gelap seperti teh pekat
d. Pola Aktivitas dan Latihan
- Cepat lelah
e. Pola Istirahat dan Tidur
f. Pola Persepsi dan Kognitif
- Agak sesak
- Perut membesar
- Palmar eritema
- Spider Navi
- Edema
- Sklera ikterik
g. Pola Konsep Diri – Persepsi Diri
- Edema + 2 ekstermitas bawah
- Cepat lelah
h. Pola Peran dan Hubungan dengan Sesama
i. Pola Reproduksi dan Seksualitas
j. Pola Mekanisma Koping-Toleransi Stress
k. Pola Nilai dan Kepercayaan

C. Diagnosa Keperawatan
1. Intoleransi/malaise berhubungan dengan kelemahan fisik
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelelahan : efek yang mengganggu
3. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan retensi cairan.
D. Discharge Planning
1. Menganjurkan pasien tidak beraktivitas yang berat.
2. Menganjurkan pasien menghindari makanan yang berlemak dan mengandung gas.
3. Menganjurkan pasien bedrest selama fase akut.
4. Menganjurkan tehnik relaksasi jika nyeri timbul.
5. Menganjurkan pasien mengikutsertakan keluarga dalam setiap tindakan
keperawatan.
6. Menganjurkan pasien mengkonsumsi makanan tinggi protein.

E. Intervensi Keperawatan

DIAGNOSA NOC NIC

I. Ketidakefek Tujuan : Pola napas Definisi : inspirasi dan atau ekspirasi yang
tifan Pola menjadi efektif memberi ventilasi adekuat.
napas b/d
kelelahan : Kriteria hasil : Monitor pernapasan :
efek yang Status pernapasan baik. 1. Monitor vital sign.
menggangg u
Efek yang mengganggu 2. Monitor cairan.
berkurang atau
ditoleransi. 3. Atur posisi klien senyaman mungkin.

Expansi paru dalam 4. Anjurkan pasien mengurangi aktivitas


batas normal. mengganggu pola nafas.

5. Evaluasi efek terapi yang diberikan

6. Ajarkan teknik non farmakologis (rela


distraksi dll) untuk mengatasi ketidakefe
pola napas.

7. Kolaborasi pemberian bantuan ventilasi.

8. Kolaborasi tentang pemberian obat


menurunkan acites.

2. Intoleransi Setelah dilakukan Intoleransi aktivitas adalah


aktivitas b/d tindakan keperawatan ketidakcukupan energy psikologis atau
kelemahan selama 3x24 jam fisiologis untuk melanjutkan at
fisik/keletiha toleransi terhadap menyelesaikan aktivitas kehidupan sehari- h
n aktivitas dengan yang harus atau yang ingin dilakukan.
kriteria
Terapi aktivitas
hasil :
a. Kaji kemampuan pasien dalam
- malaise dipertahankan beraktivitas.
skala
2 ditingkatkan skala b. Kaji factor penghambat dan factor
5 pendukung aktivitas pasien

- Gangguan aktivitas c. Dukung pasien untuk memulai atau


sehari- hari melanjutkan latihan.
dipertahankan skala d. Bantu pasien dalam pemenuhan
3 ditingkatkan skala kebutuhan sehari-hari
5
e. Libatkan keluarga dalam pemenuhan
- Gangguan aktivitas kebutuhan pasien.
fisik dipertahankan
skala 3 ditingkatkan f. Hargai keyakinan pasien terkait latihan
skala 5. fisik.

g. Intruksikan individu mengenai kondisi


yang mengharuskan berhenti atau
mengubah program latihan

h. Intruksikan individu terkait dengan tipe


aktivitas fisik sesuai dengan derajat
kesehatannya.

i. Intruksikan individu terkait frekuensi,


durasi dan intesitas latihan.

j. Kolaborasi dengan dokter atau ahli


fisioterapi.

3.Kelebihan Setelah dilakukan Kelebihan volume cairan adalah


volume tindakan keperawatan peningkatan asupan atau retensi cairan
cairan b/d selama 3x24 jam
retensi cairan masalah kelebihan a. Kaji adanya tanda dan gejala retensi
volume cairan dapat cairan

16
teratasi dengan kriteria b. Monitor tanda-tanda vital
hasil:
c. Timbang berat badan per hari
a. Acites
dipertahankan skala d. Intruksikan pasien dan keluarga
2 ditingkatkan skala mengenai alas an untuk pembatasan
4 cairan, tindakan hidrasi atau
administrasi elektrolit tambahan yang
b. Edema perifer dianjurkan.
dipertahankan skala
2 ditingkatkan skala e. Pantau kadar serum elektrolit.
4 f. Monitor hasil laboratorium yang
c. Serum elektrolit relevan dengan retensi cairan
dipertahankan skala ( misalnya peningkatan berat jenis,
2 ditingkatkan skala peningkatan BUN, penurunan
5 hematocrit, peningkatan osmolaritas
urin).
d. Hematokrit
dipertahankan skala g. Berikan suplemen elektrolit tambahan
3 ditingkatkan skala yang diresepkan.
5 h. Monitor respon pasien terhadap terapi
elektrolit yang diresepkan.

i. Monitor manifestasi
ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit.

j. Konsultasikan dengan dokter jika


tanda dan gejala ketidakseimbangan
cairan dan elektrolit menetap atau
memburuk.

17
17
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Cholelithiasis atau batu empedu merupakan deposit kristal padat yang terbentuk
dikandung empedu dimana batu empedu dapat bermigrasi ke saluran empedu sehingga
dapat menimbulkan komplikasi dan dapat mengancam jiwa. (Sjamsuhidayat, 2010).

Cholelithiasis atau batu empedu adalah timbunan kristal di dalam kandung empedu
atau di dalam saluran empedu atau kedua-duanya (Brunner & Suddarth, 2002 ).

Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna namun yang paling
penting adalah gangguan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan
empedu, stasis empedu dan infeksi kandung empedu. Batu empedu dapat terjadi dengan
atau tanpa factor resiko dibawah ini. Namun, semakin banyak factor resiko yang dimiliki
seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya batu empedu.

DAFTAR PUSTAKA

Dan L. Longo and Anthony S. Fauci. 2010. Gastroenterology and Hepatology. Harrison’s
17th Edition. China: 439-455.

Cahyono, B. S. 2014. Tatalaksana Klinis di Bidang Gastro dan Hepatologi. Jakarta :


Sugeng Seto.

Muttaqin, A., & Sari, K. (2010). Gangguan Gastrointestinal: Aplikasi Asuhan Keperawatan
Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika.

Nuratif Huda Amin, Kusuma Hardi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA (NORTH AMERICAN NURSING DIAGNOSIS ASSOCIATION)
NIC- NOC Edisi Revisi Jilid 1, 2 & 3. Jogjakarta : Mediaction Jogja.
Purwanti, Ari. 2016. Hubungan Gaya Hidup Dengan Kejadian Penyakit Cholelitiasis di
Ruang Rawat Inap Rsi Surakarta. Surakarta

WWW.google.com/batuempedu

Sjamsuhidajat R, de Jong W. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC.

Smeltzer, Suzanne C. (2001) Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth,
alih bahasa: Agung Waluyo (et. al.), vol. 1, edisi 8, Jakarta: EGC
20
21

Anda mungkin juga menyukai