Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN

CHOLELITHIASIS

A. Definisi
Kolelitiasis adalah batu empedu yang terletak pada saluran empedu yang
disebabkan oleh faktor metabolik antara lain terdapat garam-garam empedu,
pigmen empedu dan kolestrol, serta timbulnya peradangan pada kandung empedu
(Barbara C. Long, 1996).
Kolelitiatis (kalkulus/kalkuli, batu empedu) biasanya terbentuk dalam kantung
empedu dari unsur-unsur padat yang membentuk cairan empedu. Batu empedu
memilki ukuran, bentuk, dan komposisi yang sangat bervariasi. Batu empedu tidak
lazim dijumpai pada anak-anak dan dewasa muda tetapi insidennya semakin sering
pada individu berusia diatas 40 tahun. Sesudah itu, insidens kolelitiasis semakin
meningkat dan diperkirakan bahwa pada usia 75 tahun satu dari 3 orang akan
menderita batu empedu (Smeltzer & Bare, 2003).

B. Etiologi
Etiologi batu empedu masih belum diketahui secara pasti, adapun faktor
predisposisi terpenting yaitu gangguan metabolisme yang menyebabkan terjadinya
perubahan komposisi empedu, statis empedu, dan infeksi kandung empedu.
Perubahan komposisi empedu kemungkinan merupakan faktor terpenting dalam
pembentukan batu empedu karena hati penderita batu empedu kolesterol
mengekresi empedu yang sangat jenuh dengan kolesterol. Kolesterol yang
berlebihan ini mengendap dalam kandung empedu (dengan cara yang belum
diketahui sepenuhnya) untuk membentuk batu empedu.
Statis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan supersaturasi
progresif, perubahan komposisi kimia, dan pengendapan unsur-insur tersebut.
Gangguan kontraksi kandung empedu atau spasme spingteroddi, atau keduanya
dapat menyebabkan statis. Faktor hormonal (hormon kolesistokinin dan sekretin)
dapat dikaitkan dengan keterlambatan pengosongan kandung empedu.
Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan dalam pembentukan
batu. Mukus meningkatkan viskositas empedu dan unsur sel atau bakteri dapat
berperan sebagai pusat presipitasi/pengendapan. Infeksi lebih timbul akibat dari
terbentuknya batu, dibanding panyebab terbentuknya batu.

C. Faktor Resiko
Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun,
semakin banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan
untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain:

1) Jenis Kelamin
Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan
dengan pria. Hal ini dikarenakan hormon esterogen berpengaruh terhadap
peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang
menigkatkan kadar esterogen juga meningkatkan resiko terkena kolelitiasis.
Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon (esterogen) dapat meningkatkan
kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan aktivitas pengosongan
kandung empedu.
2) Usia
Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya
usia. Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis
dibandingkan dengan orang degan usia yang lebih muda.
3) Berat badan (BMI)
Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi
untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar
kolesterol dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurasi garam
empedu serta mengurangi kontraksi/ pengosongan kandung empedu.
4) Makanan
Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah
operasi gatrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari
empedu dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.
5) Riwayat keluarga
Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar
dibanding dengan tanpa riwayat keluarga.
6) Aktifitas fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya
kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit
berkontraksi.
7) Penyakit usus halus.
Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan kolelitiasis adalah crohn
disease, diabetes, anemia sel sabit, trauma, dan ileus paralitik.
8) Nutrisi intravena jangka lama
Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak
terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang melewati
intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu dalam kandung empedu
menjadi meningkat.

D. Klasifikasi Cholelithiasis
Menurut gambaran makroskopis dan komposisi kimianya, batu empedu di
golongkankan atas 3 (tiga) golongan:
a) Batu kolesterol
Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih dari 70%
kolesterol. Lebih dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu yang
mengandung > 50% kolesterol). Untuk terbentuknya batu kolesterol diperlukan 3
faktor utama :
 Supersaturasi kolesterol
 Hipomotilitas kandung empedu
 Nukleasi/ pembentukan nidus cepat.
b) Batu pigmen
Batu pigmen merupakan 10% dari total jenis baru empedu yang
mengandung <20% kolesterol. Jenisnya antara lain:
1. Batu pigmen kalsium bilirubinan (pigmen coklat)
2. Batu pigmen hitam
c) Batu campuran
Batu campuran antara kolesterol dan pigmen dimana mengandung 20-50%
kolesterol.
E. Patofisiologi
Batu Kolesterol
Empedu yang disupersaturasi oleh kolesterol bertanggung jawab bagi lebih
dari 90 persen batu empedu di negara barat. Sebagian besar batu ini merupakan
batu kolesterol campuran yang mengandung paling sedikit 75 persen kolesterol
berdasarkan berat serta dalam variasi jumlah fosfolipid, pigmen empedu, senyawa
organik dan inorganik lain. Batu kolesterol murni terdapat dalam sekitar 10 persen
dari semua batu kolesterol. Sifat fisikokimia empedu bervariasi sesuai konsentrasi
relatif garam empedu, lesitin dan kolesterol. Kolestrol dilarutkan dalam empedu
dalam daerah hidrofobik micelle, sehingga kelarutannya tergantung pada jumlah
relatif garam empedu dan lesitin. Hubungan antara kolesterol lesitin dan garam
empedu ini dapat dilihat dalam grafik segitiga. Yang koordinatnya merupakan
persentasi konsentrasi molar garam empedu, lesitin dan kolesterol. Empedu yang
mengandung kolesterol seluruhnya di dalam micelles digambarkan oleh area di
bawah garis lengkung ABC (cairan micelle); tetapi bila konsentrasi relatif garam
empedu, lesitin dan kolesterol turun ke area di atas garis ABC, maka ada kolesterol
di dalam dua fase atau lebih (cairan micelle dan kristal kolesterol).
Pembentukan batu kolesterol merupakan proses yang terdiri atas 4 defek
utama yang dapat terjadi secara berurutan atau bersamaan:
1. Supersaturasi Empedu
Kolesterol merupakan komponen utama dalam batu kolesterol. Pada
metabolisme kolesterol yang normal, kolesterol yang disekresi ke dalam empedu
akan terlarut oleh komponen empedu yang memiliki aktivitas detergenik seperti
garam empedu dan fosfolipid (khususnya lesitin). Konformasi kolesterol dalam
empedu dapat berbentuk misel, vesikel, campuran misel dan vesikel atau kristal.
Umumnya pada keadaan normal dengan saturasi kolesterol yang rendah,
kolesterol wujud dalam bentuk misel yaitu agregasi lipid dengan komponen
berpolar lipid seperti senyawa fosfat dan hidroksil terarah keluar dari inti misel
dan tersusun berbatasan dengan fase berair sementara komponen rantaian
hidrofobik bertumpuk di bagian dalam misel.
Semakin meningkat saturasi kolesterol, maka bentuk komposisi kolesterol
yang akan ditemukan terdiri atas campuran dua fase yaitu misel dan vesikel.
Vesikel kolesterol dianggarkan sekitar 10 kali lipat lebih besar daripada misel dan
memiliki fosfolipid bilayer tanpa mengandung garam empedu. Seperti misel,
komponen berpolar vesikel turut diatur mengarah ke luar vesikel dan berbatasan
dengan fase berair ekstenal sementara rantaian hidrokarbon yang hidrofobik
membentuk bagian dalam dari lipid dwilapis. Diduga <30% kolesterol bilier
diangkut dalam bentuk misel, yang mana selebihnya berada dalam bentuk
vesikel. Umumnya, konformasi vesikel berpredisposisi terhadap pembentukan
batu empedu karena lebih cenderung untuk beragregasi dan bernukleasi untuk
membentuk konformasi kristal.
2. Hipomotilitas kandung empedu
Motilitas kantung empedu merupakan satu proses fisiologik yang
mencegah litogenesis dengan memastikan evakuasi empedu dari kantung
empedu ke dalam usus sebelum terjadinya proses litogenik. Hipomotilitas
kantung empedu memperlambat evakuasi empedu ke dalam usus → proses
absorpsi air dari empedu oleh dinding mukosa lebih cepat dari evakuasi empedu
→ peningkatan konsentrasi empedu → proses litogenesis empedu.
Hipomotilitas kantung empedu dapat terjadi akibat :
o Kelainan intrinsik dinding muskuler yang meliputi:
o Perubahan tingkat hormon seperti menurunnya kolesistokinin (CCK),
meningkatnya somatostatin dan estrogen.
o Perubahan kontrol neural (tonus vagus).
o Kontraksi sfingter melampau hingga menghambat evakuasi empedu normal.
Patofisiologi yang mendasari fenomena hipomotilitas kantung empedu
pada batu empedu masih belum dapat dipastikan. Namun begitu, diduga
hipomotilitas kantung empedu merupakan akibat efek toksik kolesterol berlebihan
yang menumpuk di sel otot polos dinding kantung yang menganggu transduksi
sinyal yang dimediasi oleh protein G. Kesannya, terjadi pengerasan membran
sarkolema sel otot tersebut. Secara klinis,penderita batu empedu dengan defek
pada motilitas kantung empedu cenderung bermanifestasi sebagai gangguan
pola makan terutamanya penurunan selera makan serta sering ditemukan
volume residual kantung empedu yang lebih besar. Selain itu, hipomotilitas
kantung empedu dapat menyebabkan stasis kantung empedu. Stasis merupakan
faktor resiko pembentukan batu empedu karena gel musn akan terakumulasi
sesuai dengan perpanjangan waktu penyimpanan empedu. Stasis menyebabkan
gangguan aliran empedu ke dalam usus dan ini berlanjut dengan gangguan pada
sirkulasi enterohepatik. Akibatnya, output garam empedu dan fosfolipid
berkurang dan ini memudahkan kejadian supersaturasi. Stasis yang berlangsung
lama menginduksi pembentukan lumpur bilier (biliary sludge) terutamanya pada
penderita dengan kecederaan medula spinalis, pemberian TPN untuk periode
lama, terapi oktreotida yang lama, kehamilan dan pada keadaan penurunan
berat badan mendadak. Lumpur bilier yang turut dikenal dengan nama
mikrolitiasis atau pseudolitiasis ini terjadi akibat presipitasi empedu yang terdiri
atas kristal kolesterol monohidrat, granul kalsium bilirubinat dan mukus.
Patofisiologi lumpur bilier persis proses yang mendasari pembentukan batu
empedu. Kristal kolesterol dalam lumpur bilier akan mengalami aglomerasi
berterusan untuk membentuk batu makroskopik hingga dikatakan lumpur bilier
merupakan prekursor dalam litogenesis batu empedu.
3. Peningkatan aktivitas nukleasi kolesterol.
Empedu yang supersaturasi dengan kolesterol cenderung untuk
mengalami proses nukleasi. Nukleasi merupakan proses kondensasi atau
agregasi yang menghasilkan kristal kolesterol monohidrat mikroskopik atau
partikel kolesterol amorfus daripada empedu supersaturasi. Nukleasi kolesterol
merupakan proses yang dipengaruhi oleh keseimbangan unsur antinukleasi dan
pronukleasi yang merupakan senyawa protein tertentu yang dikandung oleh
empedu, faktor pronukleasi berinteraksi dengan vesikel kolesterol sementara
faktor antinukleasi berinteraksi dengan kristal solid kolesterol. Antara faktor
pronukleasi yang paling penting termasuk glikoprotein musin, yaitu satu-satunya
komponen empedu yang terbukti menginduksi pembentukan batu pada keadaan
in vivo. Inti dari glikoprotein musin terdiri atas daerah hidrofobik yang mampu
mengikat kolesterol, fosfolipid dan bilirubin. Pengikatan vesikel yang kaya
dengan kolesterol kepada regio hidrofilik glikoprotein musin ini diduga memacu
proses nukleasi. Faktor pronukleasi lain yang berhasil diisolasi daripada model
sistem empedu termasuk imunoglobulin (IgG dan M), aminopeptidase N,
haptoglobin dan glikoprotein asam α-1. Penelitian terbaru menganjurkan peran
infeksi intestinal distal oleh spesies Helicobacter (kecuali H. pylori) menfasilitasi
nukleasi kolesterol empedu. Proses nukleasi turut dapat diinduksi oleh adanya
mikropresipitat garam kalsium inorganik maupun organik. Faktor antinukleasi
termasuk protein seperti imunoglobulin A (IgA), apoA-I dan apoA –II. Mekanisme
fisiologik yang mendasari efek untuk sebagian besar daripada faktor-faktor ini
masih belum dapat dipastikan. Nukleasi yang berlangsung lama selanjutnya
akan menyebabkan terjadinya proses kristalisasi yang menghasilkan kristal
kolesterol monohidrat. Waktu nukleasi pada empedu penderita batu empedu
telah terbukti lebih pendek dibanding empedu kontrol pada orang normal. Waktu
nukleasi yang pendek mempergiat kristalisasi kolesterol dan menfasilitasi proses
litogenesis empedu.
4. Hipersekresi mukus di kantung empedu
Hipersekresi mukus kantung empedu dikatakan merupakan kejadian
prekursor yang universal pada beberapa penelitian menggunakan model empedu
hewan. Mukus yang eksesif menfasilitasi pembentukan konkresi kolesterol
makroskopik karena mukus dalam kuantitas melampau ini berperan dalam
memerangkap kristal kolesterol dengan memperpanjang waktu evakuasi empedu
dari kantung empedu. Komponen glikoprotein musin dalam mukus ditunjuk
sebagai faktor utama yang bertindak sebagai agen perekat yang menfasilitasi
aglomerasi kristal dalam patofisiologi batu empedu. Saat ini, stimulus yang
menyebabkan hipersekresi mukus belum dapat dipastikan namun prostaglandin
diduga mempunyai peran penting dalam hal ini.
Sebagian besar pasien batu kolesterol mensekresi empedu hati litogenik.
Kelompok tertentu mempunyai kumpulan garam empedu total yang berkontraksi
(1,5 sampai 2g) yang merupakan separuh ukuran orang normal. Bisa timbul akibat
hubungan umpan balik garam empedu abnormal dengan penurunan sintesis hati
bagi garam empedu atau hilangnya garam empedu secara berlebihan melalui feses
akibat malabsorpsi ileum primer atau setelah reseksi atau pintas ileum. Kelompok
lain, terutama orang yang gemuk, mensekresi kolesterol dalam jumlah yang
berlebihan. Beberapa bukti menggambarkan bahwa masukan diet kolesterol dan
atau kandungan kalori diet bisa mempengaruhi sekresi kolesterol juga.
Mekanisme lain yang diusulkan bagi pembentukan batu, melibatkan disfungsi
vesika biliaris. Stasis akibat obstruksi mekanik atau fungsional, bisa menyebabkan
stagnasi empedu di dalam vesika biliaris dengan resorpsi air berlebihan dan
merubah kelarutan unsur empedu. Penelitian menggambarkan bahwa peradangan
dinding kandung empedu bisa menyebabkan resorpsi garam empedu berlebihan,
perubahan dalam rasio lesitin/garam empedu serta sekresi garam kalsium,
mukoprotein dan debris organik sel; perubahan ini bisa merubah empedu hati
normal menjadi empdu litogenik di dalam vesika biliaris. Peranan infeksi dalam
patogenesis pembentukan batu kolesterol bersifat kontroversial. Walaupun
organisme usus tertentu bisa dibiak dari inti batu kolesterol atau dari dinding vesika
biiaris, namun sebagian besar batu kolesterol terbntuk tanpa adanya infeksi.

Batu Pigmen
a. Batu pigmen murni (pigmen hitam)
Pembentukan batu berpigmen hitam diawali oleh hipersekresi blilirubin
terkonjugat (khususnya monoglukuronida) ke dalam empedu. Pada keadaan
hemolisis terjadi hipersekresi bilirubin terkonjugat hingga mencapai 10 kali lipat
dibanding kadar sekresi normal. Bilirubin terkonjugat selanjutnya dihidrolisis oleh
glukuronidase-β endogenik membentuk bilirubin tak terkonjugat. Pada waktu
yang sama, defek pada mekanisme asidifikasi empedu akibat daripada radang
dinding mukosa kantung empedu atau menurunnya kapasitas “buffering” asam
sialik dan komponen sulfat dari gel musin akan menfasilitasi supersaturasi
kalsium karbonat dan fosfat yang umumnya tidak akan terjadi pada keadaan
empedu dengan ph yang lebih rendah. Supersaturasi berlanjut dengan
pemendakan atau presipitasi kalsium karbonat, fosfat dan bilirubin tak
terkonjugat. Polimerisasi yang terjadi kemudian akan menghasilkan kristal dan
berakhir dengan pembentukan batu berpigmen hitam.
b. Batu Pigmen Kalsium Bilirubinat (pigmen coklat)
Batu berpigmen coklat terbentuk hasil infeksi anaerobik pada empedu,
sesuai dengan penemuaan sitorangka bakteri pada pemeriksaan mikroskopik
batu. Infeksi traktus bilier oleh bakteri Escherichia coli, Salmonella typhii dan
spesies Streptococcus atau parasit cacing seperti Ascaris lumbricoides dan
Opisthorchis sinensis serta Clonorchis sinensis mendukung pembentukan batu
berpigmen.
Patofisiologi batu diawali oleh infeksi bakteri/parasit di empedu.
Mikroorganisma enterik ini selanjutnya menghasilkan enzim glukuronidase-β,
fosfolipase A dan hidrolase asam empedu terkonjugat. Peran ketiga-tiga enzim
tersebut didapatkan seperti berikut:
o Glukuronidase menghidrolisis bilirubin terkonjugat hingga menyebabkan
pembentukan bilirubin tak terkonjugat.
o Fosfolipase A menghasilkan asam lemak bebas (terutama asam stearik
dan asam palmitik).
o Hidrolase asam empedu menghasilkan asam empedu tak terkonjugat.
Hasil produk enzimatik ini selanjutnya dapat berkompleks dengan senyawa
kalsium dan membentuk garam kalsium. Garam kalsium dapat termendak lalu
berkristalisasi sehingga terbentuk batu empedu. Proses litogenesis ini didukung
oleh keadaan stasis empedu dan konsentrasi kalsium yang tinggi dalam empedu.
Bakteri mati dan glikoprotein bakteri diduga dapat berperan sebagai agen
perekat, yaitu sebagai nidus yang menfasilitasi pembentukan batu, seperti fungsi
pada musin endogenik.
Batu pigmen hitam Batu pigmen coklat

F. Manifestasi Klinis
Penderita batu empedu sering mempunyai gejala-gejala kolestitis akut atau
kronik. Bentuk akut ditandai dengan nyeri hebat mendadak pada abdomen bagian
atas, terutama ditengah epigastrium. Lalu nyeri menjalar ke punggung dan bahu
kanan (Murphy sign). Pasien dapat berkeringat banyak dan berguling ke kanan-kiri
saat tidur. Nausea dan muntah sering terjadi. Nyeri dapat berlangsung selama
berjam-jam atau dapat kembali terulang.
Gejala-gejala kolesistitis kronik mirip dengan fase akut, tetapi beratnya nyeri
dan tanda-tanda fisik kurang nyata. Seringkali terdapat riwayat dispepsia,
intoleransi lemak, nyeri ulu hati atau flatulen yang berlangsung lama. Setelah
terbentuk, batu empedu dapat berdiam dengan tenang dalam kandung empedu dan
tidak menimbulkan masalah, atau dapat menimbulkan komplikasi. Komplikasi yang
paling sering adalah infeksi kandung empedu (kolesistitis) dan obstruksi pada
duktus sistikus atau duktus koledokus. Obstruksi ini dapat bersifat sementara,
intermitten dan permanent. Kadang-kadang batu dapat menembus dinding kandung
empedu dan menyebabkan peradangan hebat, sering menimbulkan peritonitis, atau
menyebakan ruptur dinding kandung empedu.
Secara umum gejala kolelitiasis dapat terjadi akut atau kronis dan terjadinya
gangguan pada epigastrium jika makan makanan berlemak, seperti: rasa penuh
diperut, distensi abdomen, dan nyeri samar pada kuadran kanan atas.
a. Rasa nyeri hebat dan kolik bilier
Jika duktus sistikus tersumbat batu, maka kandung empedu mengalami
distensi kemudian akan terjadi infeksi sehingga akan teraba massa pada
kuadran I yang menimbulkan nyeri hebat sampai menjalar ke punggung dan
bahu kanan sehingga menyebabkan rasa gelisah dan tidak menemukan posisi
yang nyaman. Nyeri akan dirasakan persisten (hilang timbul) terutama jika habis
makan makanan berlemak yang disertai rasa mual dan ingin mual muntah  pada
pagi hari karena metabolisme di kandung empedu akan meningkat.
Perangsangan mual dapat diakibatkan dari adanya obstruksi saluran
empedu sehingga mengakibatkan alir balik cairan empedu ke hepar (bilirubin,
garam empedu dan kolesterol) menyebabkan terjadinya proses peradangan
disekitar hepatobiliar yang mengeluarkan enzim-enzim SGOT dan SGPT,
menyebabkan peningkatan SGOT dan SGPT yang bersifat iritatif di saluran
cerna sehingga merangsang nervus vagal dan menekan rangsangan sistem
saraf parasimpatis sehingga terjadi penurunan peristaltik sistem pencernaan di
usus dan lambung, menyebabkan makanan tertahan di lambung dan
peningkatan rasa mual yang mengaktifkan pusat muntah di medula oblongata
dan pengaktifan saraf kranialis ke wajah, kerongkongan serta neuron-neuron
motorik spinalis ke otot-otot abdomen dan diafragma sehingga menyebabkan
muntah. Apabila saraf simpatis teraktifasi akan menyebabkan akumulasi gas
usus di sistem pencernaan yang menyebabkan rasa penuh dengan gas maka
terjadilah kembung.
b. Ikterik dan BAK berwarna kuning
Obstuksi saluran empedu menyebabkan ekskresi cairan empedu ke
duodenum (saluran cerna) menurun sehingga feses tidak diwarnai oleh pigmen
empedu dan feses akan berwarna pucat kelabu dan lengket seperti dempul yang
disebut Clay Colored. Selain mengakibatkan peningkatan alkali fosfat serum,
eksresi cairan empedu ke duodenum (saluran cerna) juga mengakibatkan
peningkatan bilirubin serum yang diserap oleh darah dan masuk ke sirkulasi
sistem sehingga terjadi filtrasi oleh ginjal yang menyebabkan bilirubin
dieksresikan oleh ginjal sehingga urin berwarna kuning bahkan kecoklatan.
c. Defisiensi Vitamin
Obstruksi aliran empedu juga mengganggu absorpsi vitamin A, D, E, dan K
yang larut lemak. Defisiensi vitamin K dapat mengganggu pembekuan darah
yang normal.

G. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostic yang dapat dilakukan pada pasien dengan
cholelithiasis antara lain:
a) Rontgen abdomen / pemeriksaan sinar X / Foto polos abdomen
Dapat dilakukan pada klien yang dicurigai akan penyakit kandung empedu.
Akurasi pemeriksaannya hanya 15-20%, tetapi pemeriksaan ini bukan
merupakan pemeriksaan pilihan.
b) Kolangiogram / kolangiografi transhepatik perkutan
Melalui penyuntikan bahan kontras langsung ke dalam cabang bilier. Karena
konsentrasi bahan kontras yang disuntikkan relatif besar, maka semua
komponen sistem bilier (duktus hepatikus, D. koledukus, D. sistikus dan
kandung empedu) dapat terlihat. Meskipun angka komplikasi dari
kolangiogram rendah namun bisa beresiko peritonitis bilier, resiko sepsis dan
syok septik.
c) ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatographi)
Sebuah kanul yang dimasukan ke dalam duktus koledukus dan duktus
pancreatikus, kemudian bahan kontras disuntikkan ke dalam duktus tersebut.
Fungsi ERCP ini memudahkan visualisasi langsung stuktur bilier dan
memudahkan akses ke dalam duktus koledukus bagian distal untuk
mengambil batu empedu, selain itu ERCP berfungsi untuk membedakan
ikterus yang disebabkan oleh penyakit hati (ikterus hepatoseluler dengan
ikterus yang disebabkan oleh obstuksi bilier dan juga dapat digunakan untuk
menyelidiki gejala gastrointestinal pada pasien-pasien yang kandung
empedunya sudah diangkat.ERCP ini berisiko terjadinya tanda-tanda
perforasi/ infeksi
d) Kolangiografi Transhepatik Perkutan
Pemeriksaan kolangiografi ini meliputi penyuntikan bahan kontras langsung ke
dalam percabangan bilier. Karena konsentrasi bahan kontras yang disuntikan
itu relatif besar, maka semua komponen  pada sistem bilier tersebut, yang
mencakup duktus hepatikus dalam hati, keseluruhan pajang duktus koledokus,
duktus sistikus dan kandung empedu, dapat dilihat garis bentuknya dengan
jelas. 
e) Pemeriksaan Pencitraan Radionuklida atau kolesentografi
Dalam prosedur ini, peraparat radioktif disuntikan secara intravena. Kemudian
diambil oleh hepatosit dan dengan cepat ekskeresikan kedalam sinar bilier.
Memerlukan waktu panjang lebih lama untuk mengerjakannya membuat
pasien terpajan sinar radiasi.
f) Pemeriksaan laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan
kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut,
dapat terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan
kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledukus oleh batu.
Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di dalam
duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar
amilase serum biasanya meningkat sedang setiap setiap kali terjadi serangan
akut.
g) Pemeriksaan Radiologis
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena
hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang
kandung empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi
dapat dilihat dengan foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung
empedu yang membesar atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat
sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan
gambaran udara dalam usus besar, di fleksura hepatika.
h) Pemeriksaan Ultrosonografi (USG)
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk
mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu
intrahepatik maupun ekstra hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding
kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan
oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus
koledukus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara di dalam
usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung
empedu yang ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi biasa.
i) Kolesistografi
Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena
relatif murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen
sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan
gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah, kadar bilirubun serum diatas 2
mg/dl, okstruksi pilorus, dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan tersebut
kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan kolesitografi oral lebih
bermakna pada penilaian fungsi kandung empedu.
H. Penatalaksanaan
Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Nyeri
yang hilang-timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau
mengurangi makanan berlemak. Jika batu kandung empedu menyebabkan
serangan nyeri berulang meskipun telah dilakukan perubahan pola makan, maka
dianjurkan untuk menjalani pengangkatan kandung empedu (kolesistektomi).
Pengangkatan kandung empedu tidak menyebabkan kekurangan zat gizi dan
setelah pembedahan tidak perlu dilakukan pembatasan makanan.
Pilihan penatalaksanaan antara lain :
 Kolesistektomi terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien dengan
kolelitiasis simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi
adalah cedera duktus biliaris yang terjadi pada 0,2% pasien. Angka mortalitas
yang dilaporkan untuk prosedur ini kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling
umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis
akut.
 Kolesistektomi laparaskopi
Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990 dan
sekarang ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara laparoskopi. 80-90%
batu empedu di Inggris dibuang dengan cara ini karena memperkecil resiko
kematian dibanding operasi normal (0,1-0,5% untuk operasi normal) dengan
mengurangi komplikasi pada jantung dan paru. Kandung empedu diangkat
melalui selang yang dimasukkan lewat sayatan kecil di dinding perut.
Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa adanya
kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli
bedah mulai melakukan prosedur ini pada pasien dengan kolesistitis akut dan
pasien dengan batu duktus koledokus. Secara teoritis keuntungan tindakan ini
dibandingkan prosedur konvensional adalah dapat mengurangi perawatan di
rumah sakit dan biaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat kembali bekerja,
nyeri menurun dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan
adalah kemanan dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden komplikasi 6r
seperti cedera duktus biliaris yang mungkin dapat terjadi lebih sering selama
kolesistektomi laparaskopi.

 Disolusi medis
Masalah umum yang mengganggu semua zat yang pernah digunakan
adalah angka kekambuhan yang tinggi dan biaya yang dikeluarkan. Zat disolusi
hanya memperlihatkan manfaatnya untuk batu empedu jenis kolesterol.
Penelitian prospektif acak dari asam xenodeoksikolat telah mengindikasikan
bahwa disolusi dan hilangnya batu secara lengkap terjadi sekitar 15%. Jika obat
ini dihentikan, kekambuhan batu tejadi pada 50% pasien. Kurang dari 10% batu
empedu dilakukan cara ini an sukses. Disolusi medis sebelumnya harus
memenuhi kriteria terapi non operatif diantaranya batu kolesterol diameternya <
20 mm, batu kurang dari 4 batu, fungsi kandung empedu baik dan duktus sistik
paten.
 Disolusi kontak
Meskipun pengalaman masih terbatas, infus pelarut kolesterol yang poten
(Metil-Ter-Butil-Eter (MTBE)) ke dalam kandung empedu melalui kateter yang
diletakkan per kutan telah terlihat efektif dalam melarutkan batu empedu pada
pasien-pasien tertentu. Prosedur ini invasif dan kerugian utamanya adalah
angka kekambuhan yang tinggi (50% dalam 5 tahun).
 Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL)
Sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu, analisis biaya-
manfaat pada saat ini memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas pada
pasien yang telah benar-benar dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini.
 Kolesistotomi
Kolesistotomi yang dapat dilakukan dengan anestesia lokal bahkan di
samping tempat tidur pasien terus berlanjut sebagai prosedur yang bermanfaat,
terutama untuk pasien yang sakitnya kritis.
 Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)
Pada ERCP, suatu endoskop dimasukkan melalui mulut, kerongkongan,
lambung dan ke dalam usus halus. Zat kontras radioopak masuk ke dalam
saluran empedu melalui sebuah selang di dalam sfingter oddi. Pada
sfingterotomi, otot sfingter dibuka agak lebar sehingga batu empedu yang
menyumbat saluran akan berpindah ke usus halus. ERCP dan sfingterotomi
telah berhasil dilakukan pada 90% kasus. Kurang dari 4 dari setiap 1.000
penderita yang meninggal dan 3-7% mengalami komplikasi, sehingga prosedur
ini lebih aman dibandingkan pembedahan perut. ERCP saja biasanya efektif
dilakukan pada penderita batu saluran empedu yang lebih tua, yang kandung
empedunya telah diangkat
Secara umum, penatalaksanaan cholelithiasis dibedakan menjadi
penatalaksanaan non bedah dan penatalaksanaan bedah.
1. Non Bedah, yaitu :
a. Terapi Konservatif
 Pendukung diit : Cairan rendah lemak
 Cairan Infus : menjaga kestabilan asupan cairan
 Analgetik : meringankan rasa nyeri yang timbul akibat gejala penyakit
 Antibiotik : mencegah adanya infeksi pada saluran kemih
 Istirahat
b. Farmakoterapi
Pemberian asam ursodeoksikolat dan kenodioksikolat digunakan untuk
melarutkan batu empedu terutama berukuran kecil dan tersusun dari
kolesterol. Zat pelarut batu empedu hanya digunakan untuk batu kolesterol
pada pasien yang karena sesuatu hal sebab tak bisa dibedah. Batu-batu ini
terbentuk karena terdapat kelebihan kolesterol yang tak dapat dilarutkan lagi
oleh garam-garam empedu dan lesitin. Untuk melarutkan batu empedu
tersedia Kenodeoksikolat dan ursodeoksikolat. Mekanisme kerjanya
berdasarkan penghambatan sekresi kolesterol, sehigga kejenuhannya dalam
empedu berkurang dan batu dapat melarut lagi. Therapi perlu dijalankan
lama, yaitu : 3 bulan sampai 2 tahun dan baru dihentikan minimal 3 bulan
setelah batu-batu larut. Recidif dapat terjadi pada 30% dari pasien dalam
waktu 1 tahun , dalam hal ini pengobatan perlu dilanjutkan.
c. Penatalaksanaan Pendukung dan Diet
Suplemen bubuk tinggi protein dan karbohidrat dapat diaduk kedalam
susu skim. Makanan berikut ini ditambahkan jika pasien dapat menerimanya:
buah yang dimasak, nasi atau ketela, daging tanpa lemak, kentang yang
dilumatkan, sayuran yang tidak membentuk gas, roti, kopi atau teh. Makanan
seperti telur, krim, daging babi, gorengan, keju dan bumbu-bumbu yang
berlemak, sayuran yang membentuk gasserta alkohol harus dihindari.
Penatalaksanaan diet merupakan bentuk terapi utama pada pasien yang
hanya mengalami intoleransi terhadap makanan berlemak dan
mengeluarkan gejala gastrointestinal ringan.
d. Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)
Prosedur nononvasif ini menggunakan gelombang kejut berulang
(repeated shock wafes) yang diarahkan kepada batu empedu di dalam
kandung empedu atau doktus koledokus dengan maksud untuk mencegah
batu tersebut menjadi sejumlah fragmen. Gelombang kejut dihasilkan dalam
media cairan oleh percikan listrik, yaitu piezoelelektrik, atau oleh muatan
elektromagnetik. Energy ini di salurkan ke dalam tubuh lewat redaman air
atau kantong yang berisi cairan. Gelombang kejut yang dikonvergensikan
tersebut diarahkan kepada batu empedu yang akan dipecah.Setelah batu
dipecah secara bertahap, pecahannya akan bergeraj spontan dikandung
empedu atau doktus koledokus dan dikeluarkan melalui endoskop atau
dilarutkan dengan pelarut atau asam empedu yang diberikan peroral.
e. Litotripsi Intrakorporeal
Pada litotripsi intrakorporeal, batu yang ada dalam kandung empedu
atau doktus koledokus dapat dipecah dengan menggunakan grlombang
ultrasound, laser berpulsa atau litotripsi hidrolik yang dipasang pada
endoskop, dan diarahkan langsung pada batu. Kemudian fragmen batu atau
derbis dikeluarkan dengan cara irigasi dan aspirasi. Prosedur tersebut dapat
diikuti dengan pengangkatan kandung empedu melalui luka insisi atau
laparoskopi. Jika kandung empedu tidak di angkat, sebuah drain dapat
dipasang selama 7 hari.
2. Pembedahan
a. Cholesistektomy
Merupakan tindakan pembedahan yang dilakukan atas indikasi
cholesistitis atau pada cholelitisis, baik akut /kronis yang tidak sembuh
dengan tindakan konservatif. Dalam prosedur ini kandung empedu diangkat
setelah arteri dan duktus  sistikus diligasi. Kolesistektomi dilakukan pada
sebagian besar kasus kolesistis akut dan kronis. Sebuah drain (Penrose)
ditempatkan dalam kandung empedu dan dibiarkan menjulur keluar lewat
luka operasi untuk mengalirkan darah, cairan serosanguinus dan getah
empedu ke dalam kasa absorben.
Tujuan perawatan pre operasi pada bedah cholesistectomy yaitu:
1) Meningkatkan pemahaman klien dan keluarga tentang prosedur operasi.
2) Meningkatkan kesehatan klien baik fisik maupun psikologis
3) Meningkatkan pemahaman klien dan keluarga tentang hal-hal yang
akan dilakukan pada post operasi.
Tindakan Keperawatan Pada Cholecystotomy
1) Posisi semi Fowler
2) Menjelaskan tujuan penggunaan tube atau drain dan lamanya
3) Menjelaskan dan mengajarkan cara mengurangi nyeri
b. Minikolesistektomi
Merupakan prosedur bedah untuk mengeluarkan kandung empedu
lewat luka insisi selebar 4cm. kolesistektomi Laparoskopik (atau
endoskopik), dilakukan lewat luka insisi yang kecil atau luka tusukan melalui
dinding abdomen pada umbilicus. Pada prosedur kolesistektomi endoskopik,
rongga abdomen ditiup dengan gas karbon dioksida (pneumoperitoneum)
umtuk membantu pemasangan endoskop dan menolong dokter bedah
melihat struktur abdomen. Sebuah endoskop serat optic dipasang melalui
luka insisi umbilicus yang kecil. Beberapa luka tusukan atau insisi kecil
tambahan dibuat pada dinding abdomen untuk memasukkan instrumen
bedah lainnya ke dalam bidang operasi.
c. Koledokostomi
Dalam koledokostomi, insisi dilakukan pada duktus koledokus untuk
mengeluarkan batu. Setelah batu dikeluarkan, biasanya dipasang sebuah
kateter ke dalam duktus tersebut untuk drainase getah empedu sampai
edema mereda. Keteter ini dihubungkan dengan selang drainase gravitas.
Kandung empedu biasanya juga mengandung batu, dan umumnya
koledokostomi dilakukan bersama-sama kolesistektomi.

I. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita kolelitiasis :
 Obstruksi duktus sistikus
 Kolik bilier
 Kolesistitis akut
 Perikolesistitis
 Peradangan pankreas (pankreatitis)-angga
 Perforasi
 Kolesistitis kronis
 Hidrop kandung empedu
 Empiema kandung empedu
 Fistel kolesistoenterik
 Batu empedu sekunder (Pada 2-6% penderita, saluran menciut kembali dan
batu empedu muncul lagi) angga
 Ileus batu empedu (gallstone ileus)

Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan


menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi ada dalam
kandung empedu terdorong dan dapat menutupi duktus sistikus, batu dapat
menetap ataupun dapat terlepas lagi. Apabila batu menutupi duktus sitikus secara
menetap maka mungkin akan dapat terjadi mukokel, bila terjadi infeksi maka
mukokel dapat menjadi suatu empiema, biasanya kandung empedu dikelilingi dan
ditutupi oleh alat-alat perut (kolon, omentum), dan dapat juga membentuk suatu
fistel kolesistoduodenal. Penyumbatan duktus sistikus dapat juga berakibat
terjadinya kolesistitis akut yang dapat sembuh atau dapat mengakibatkan nekrosis
sebagian dinding (dapat ditutupi alat sekiatrnya) dan dapat membentuk suatu fistel
kolesistoduodenal ataupun dapat terjadi perforasi kandung empedu yang berakibat
terjadinya peritonitis generalisata.
Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada saat
kontraksi dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus koledokus
kemudian menetap asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik. Batu yang
menyumbat di duktus koledokus juga berakibat terjadinya ikterus obstruktif,
kolangitis, kolangiolitis, dan pankretitis. Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam
saluran cerna melalui terbentuknya fistel kolesitoduodenal. Apabila batu empedu
cukup besar dapat menyumbat pad bagian tersempit saluran cerna (ileum terminal)
dan menimbulkan ileus obstruksi.

ASUHAN KEPERAWATAN KOLELITIASIS


PENGKAJIAN
Data Dasar Pengkajian
a) Aktivitas/istirahat
Gejala : Kelemahan
Tanda : Gelisah
b) Sirkulasi
Gejala : Perubahan warna urine dan feses.
Tanda : Distensi abdomen, Teraba massa pada kuadran kanan atas, urine
gelap, pekat, Feses warna tanah liat, steatorea.
c) Makanan/cairan
Gejala : Anoreksia, mual/muntah, Tidak toleran terhadap lemak dan
makanan “pembentuk gas” reguritari berulang, nyeri epigastrium, tidak dapat
makan, flatus, dyspepsia.
Tanda : Kegemukan, adanya penurunan berat badan.
d) Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala : Nyeri abdomen atas berat dapat menyebar kepunggung atau bahu
kanan, Kolik epigastrik tengah sehubungan dengan makan, nyeri mulai dan tiba-
tiba memuncak dalam 30 menit.
Tanda : Nyeri lepas, otot tegang atau kaku, bila kuadran kanan atas ditekan:
tanda Murphy positif.
e) Pernapasan
Tanda : Peningkatan frekuensi pernapasan, pernapasan tertekan ditandai
napas pendek dan dangkal.
f) Keamanan
Tanda : demam. Menggigil, Ikterik, dengan kulit berkeringat dan gatal
(pruritis).

DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.      Nyeri akut berhubungan dengan obstruksi / spasmeduktus, proses inflamasi,
iskemia jaringan / nekrisis
2.      Kekurangan volume cairan (resiko tinggi terhadap) berhubungan dengan muntah,
distensi dan hipermotilitas gaster, gangguan proses pembekuan
3.      Resiko tinggi perubahan nutrisi (kurang dari kebutuhan) berhubungan dengan
gangguan pencernaan lemak, mual muntah, dispepsia, nyeri
4.      Kurang pengetahuan tentang penyakit, prognosa, pengobatan berhubungan dengan
salah interpretasi informasi
C.     Intervensi Keperawatan
1.      Nyeri akut berhubungan dengan obstruksi / spasmeduktus, proses inflamasi,
iskemia jaringan / nekrisis
Tujuan : Nyeri terkontrol, teradaptasi
Kriteria hasil :
        Penurunan respon terhadap nyeri (ekspresi)
        Laporan nyeri terkontrol
Rencana intervensi :
a.       Observasi catat lokasi, tingkat dan karakter nyeri
R/ membantu mengidentifikasi nyeri dan memberi informasi tentang terjadinya
perkembangannya
b.      Catat respon terhadap obat nyeri
R/ nyeri berat yang tidak hilang dengan tindakan rutin dapat menunjukkan
terjadinya komplikasi
c.       Tingkatkan tirah baring (fowler) / posisi yang nyaman
R/ posisi fowler menurunkan tekanan-tekanan intra abdominal
d.      Ajarkan teknik relaksasi (nafas dalam)
R/ meningkatkan istirahat dan koping
e.       Ciptakan lingkungan yang nyaman (turunkan suhu ruangan)
R/ mendukung mental psikologik dalam persepsi tentang nyeri
f.        Kompres hangat
R/ dilatasi dingin empedu spasme menurun
g.       Kolaborasi
        Antibiotik
        Analgetik
        Sedatif
        Relaksasi otot halus
2.      Kekurangan volume cairan (resiko tinggi terhadap) berhubungan dengan
muntah, distensi dan hipermotilitas gaster, gangguan proses pembekuan
Tujuan : Menunjukkan keseimbangan cairan yang adekuat
Kriteria hasil :
        Turgor kulit yang baik
        Membran mukosa lembab
        Pengisian kapiler baik
        Urine cukup
        TTV stabil
        Tidak ada muntah
Rencana intervensi :
a.       Pertahankan intakke dan output cairan
R/ mempertahankan volume sirkulasi
b.      Awasi tanda rangsangan muntah
R/ muntah berkepanjangan, aspirasi gaster dan pembatasan pemasukan oral
menimbulkan degfisit natrium, kalium dan klorida
c.       Anjurkan cukup minum (1 botol aqua 1500 ml/hr)
R/ mempertahankan keseimbangan cairan dalam tubuh
d.      Kolaborasi :
        Pemberian antiemetik
        Pemberian cairan IV
        Pemasangan NGT
3.      Resiko tinggi perubahan nutrisi (kurang dari kebutuhan) berhubungan dengan
gangguan pencernaan lemak, mual muntah, dispepsia, nyeri
Tujuan : Menunjukkan kestabilan BB
Kriteria hasil : BB stabil, laporan tidak mual muntah
Rencana intervensi :
a.       Kaji perkiraan kebutuhan kalori tubuh
R/ mengidentifikasi jumlah intake kalori yang diperlukan tiap hari
b.      Timbang BB sesuai indikasi
R/ mengawali keseimbangan diet
b.      Diskusi menu yang disukai dan ditoleransi
R/ meningkatkan toleransi intake makanan
c.       Anjurkan gosok gigi sebelum atau sesudah makan
R/ menjaga kebersihan mulut agar tidak bau dan meningkatkan nafsu makan
d.      Konsultasi pada ahli gizi untuk menetapkan diit yang tepat
R/ berguna dalam membuat kebutuhan nutrisi individual melalui rute yang
paling tepat
e.       Anjurkan mengurangi makan na berlemak dan menghasilkan gas
R/ pembatasan lemak menurunkan rangsangan pada kandung empedu dan
nyeri
f.        Berikan diit rendah lemak
R/ mencegah mual dan spasme
g.       Kaji distensi abdomen, berhati-hati, menolak gerak
R/ menunjukkan ketidaknyamanan berhubungan dengan gangguan
pencernaan, nyeri gas
h.       Ambulasi dan tingkatkan aktivitas sesuai toleransi
R/ membantu dalam mengeluarkan flatus, penurunan distensi abdomen
i.         Kolaborasi :
        Nutrisi total
        Garam empedu
4.      Kurang pengetahuan tentang penyakit, prognosa, pengobatan berhubungan
dengan salah interpretasi informasi
Tujuan : menyatakan pemahaman klien
Kriteria hasil : Melakukan perubahan pola hidup dan berpartisipasi dalam
pengobatan
Rencana intervensi :
a.       Kaji informasi yang pernah didapat
R/ mengkaji tingkat pemahaman klien
b.      Beri penjelasn tentang penyakit, prognosa, dan tindakan diagnostik
R/ memungkinkan terjadinya partisipasi aktif
c.       Beritahukan diit yang tepat, teknik relaksasi, untuk persiapan operasi
d.      Anjurkan teknik istirahat yang harus dilaporkan tentang penyakitnya
e.       Anjurkan untuk menghindari makanan atau minuman tinggi lemak
R/ mencegah / membatasi terulangnya serangan kandung empedu
f.        Diskusikan program penurunan berat badan
R/ kegemukan adalah faktor resiko terjadinya colesistitis
g.       Kaji ulang program obat, kemungkinan efek samping
R/ batu empedu sering berulang, perlu terapi jangka panjang
DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Sylvia Price, 2005. Pathofisiologi Konsep Klinik Proses-proses Penyakit,


EGC, Jakarta.
Black, J.M, et al, Luckman and Sorensen’s Medikal Nursing : A Nursing Process
Approach, 4 th Edition, W.B. Saunder Company, 1995.
Mansjoer, Arif, et al. 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid II, Medika Aesculapius
FKUI, Jakarta.
Oswari, E, 1993. Bedah dan Perawatannya, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Smeltzer, Brunner, 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. EGC, Jakarta.
Sjamsuhidayat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2005. 570-9
Sabiston David C. Jr.. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta:EGC.2010.115-128
Tjandra J. J. A.J. Gordon. Dkk. Textbook Of Surgery.Third Edition.New
Delhi:Blackwell Publishing.2006.

Anda mungkin juga menyukai