Anda di halaman 1dari 20

BAB I

TINJAUAN TEORI

I. KONSEP DASAR KOLELITIASIS


A. Pengertian
Kolelitiasis (kalkulus/kalkuli, batu empedu) biasanya terbentuk dalam
kandung empedu dari unsur-unsur padat yang membentuk cairan empedu; batu
empedu memiliki ukuran, bentuk dan komposisi yang sangat bervariasi. (Brunner
and Suddarth, 2013). Jadi, batu empedu atau kolelitiasis merupakan keadaan
terdapat batu empedu dari unsur – unsur padat yang membentuk cairan empedu,
ditemukan didalam kandung empedu atau dalam duktus koledokus. Kandung
empedu merupakan kantong berongga berbentuk bulat lonjong seperti buah
advokat yang terletak tepat di bawah lobus kanan hati. Fungsi utama kandung
empedu adalah menyimpan dan memekatkan empedu.
Kolelitiasis adalah material atau kristal tidak berbentuk yang terbentuk
dalam kandung empedu. Komposisi dari kolelitiasis adalah campuran dari
kolesterol,pigmen empedu, kalsium dan matriks inorganik. lebih dari 70% batu
saluranempedu adalah tipe batu pigmen, 15-20 % tipe batu kolesterol dan
sisanyadengan komposisi yang tidak diketahui.

B. Klasifikasi
Menurut gambaran makroskopik dan komposisi kimianya, terdapat tiga
golongan besar batu empedu (David, dkk. 2015) :
1. Batu empedu kolesterol yang berbentuk oval, multifocal atau mulberry dan
mengandung > 70% kolesterol. Terbentuknya batu empedu kolesterol
diawali adanya presipitasi kolesterol yang membentuk kristal kolesterol.
Beberapa kondisi yang menyebabkan terjadinya presipitasi kolesterol adalah
absorpsi air, absorpsi garam empedu, adanya inflamasi pada epitel kandung
empedu da kegagalan untuk mengosongkan isi kandung empedu, adanya
ketidakseimbangan antara sekresi kolesterol, fosfolipid dan asam empedu,
peningkatan produksi musin di kandung empedu dan penurunan kontratilitas
dari kandung empedu. Batu kolesterol terbentuk ketika konsentrasi
kolesterol dalam saluran empedu melebihi kemampuan empedu untuk
mengikatnya dalam suatu pelarut, kemudian terbentuk kristal yang
selanjutnya membentuk batu. Pembentukan batu kolesterol melibatkan tiga
proses yang panjang yaitu pembentukan empedu yang sangat jenuh
(supersaturasi), pembentukan kristal kolesterol dan agregasi serta proses
pertumbuhan batu. Proses supersaturasi terjadi akibat peningkatan sekresi
kolesterol, penurunan sekresi garam empedu atau keduanya.
2. Batu kalsium bilirubina (pigmen coklat), batu pigmen coklat terbentuk
akibat adanya faktor stasis dan infeksi saluran empedu. Stasis dapat
disebabkan adanya disfungsi sfingter Oddi, struktur, operasi bilier, dan
parasit. Bila terjadi infeksi saluran empedu, khususnnya e-coli, kadar enzim
β-glokoronidase yang berasal dari bakteri akan dihidrolisasi menjadi
bilirubin bebas dan asam glukoronat. Kalsium meningkat bilirubin menjadi
kalsium bilirubinat yang tidak larut.
3. Batu pigmen hitam, batu ini merupakan tipe batu yang banyak ditemukan
pada pasien dengan hemolisis kornik dan sirosis hati. Batu pigmen ini
terutama terdiri dari derivat polymerized bilirubin, patogenesis terbentuknya
batu pigmen hitam ini belum jelas. Umumnya terbentuk dalam kandung
empedu yang steril. Batu empedu hitam terjadi akibat melimpahnya
bilirubin tak terkonjugasi dalam cairan empedu. Peningkatan ini disebabkan
oleh karena peningkatan sekresi bilirubin akibat hemolisis, proses konjugasi
bilirubin yang tidak sempurna (penyakit sirosis hati) dan proses
dekonjugasi. Bilirubin tak konjugasi ini kemudian membentuk kompleks
dengan ion kalsium bebas membentuk kalsium bilirubinat yang mempunyai
sifat sangat tidak larut. Proses asidifikasi yang tidak sempurna
menyebabkan peningkatan pH dan keadaan ini merangsang pembentukan
garam kalsium. Kalsiumbilirubinat yang terbentuk terkait dengan musin
tertahan di kandung empedu. Hal ini sebagai awal proses terbentuknya batu.
C. Anatomi Fisiologi Kandung Empedu
Kandung empedu adalah sebuah kantung berbentuk seperti buah pir yang
terletak pada permukaan inferior dari hati pada garis yang memisahkan lobus
kanan dan kiri yang disebut dengan fossa kadung empedu. Ukuran kandung
empedu pada orang dewasa adalah 7cm hingga 10 cm dengan kapasitas kurang
lebih 30 ml. Kandung empedu dibagi menjadi empat area anatomi yaitu fundus,
korpus, infundibulum dan kolum.
Saluran biliaris dimulai dari kanalikulus hepatosit yang kemudian menuju
ke duktus biliaris. Duktus yang besar bergabung dengan duktus hepatikus kanan
dan kiri, yang akan bermuara ke duktus hepatikus komunis di porta hepatis.
Ketika duktus sistika dari kandung empedu bergabung dengan duktus hepatikus
komunis, maka terbentuklah duktus biliaris komunis. Duktus biliaris komunis
secara umum memiliki panjang 8 cm dan berdiameter 0,5-0,9 cm melewati
duodenum menuju pangkal pankreas dan kemudian menuju ampula vateri. Suplai
darah ke kandung empedu biasanya berasal dari arteri sistika yang berasal dari
arteri hepatikus kanan. Aliran vena pada kandung empedu biasanya melalui
hubungan antara vena-vena kecil. Vena-vena ini melalui permukaan kandung
empedu langsung ke hati dan bergabung dengan vena kolateral dari saluran
empedu bersama dan akhirnya menuju vena portal.
Fungsi kandung empedu adalah untuk menyimpang dan
mengkonsentrasikan cairan empedu yang berasal dari hati diantara dua periode
makan, berkontraksi dan mengalirkan garam empedu yang merupakan turunan
kolesterol dengan stimulasi oleh kolesistokinin ke duodenum sehingga membantu
proses pencernaan lemak. Cairan empedu dibentuk oleh hepatosit sekitar 600 ml
per hari terdiri dari air, elektrolit, garam empedu, kolesterol, fosfolipid bilirubin.
Empedu akan disimpan di kandung empedu selama makan ketika kimus mencapai
usus halus, keberadaan makanan terutama produk lemak akan memicu
pengeluaran kolesistokinin (CCK). Hormon ini merangsang kontraksi dari
kandung empedu dan relaksasi sfingter oddi, sehingga empedu dikeluarkan de
doudenum dan membantu pencernaan dan penyerapan lemak. Garam empedu
secara aktif disekresikan ke dalam empedu dan akhirnya disekresikan bersama
dengan kontituen empedu lainnya ke dalam duodenum. Setelah berperan dalam
penceranaan lemak, garam empedu diresorpsi ke dalam darah dengan mekanisme
transport aktif khusus di ileum terminal. Dari sini garam empedu akan kembali ke
sistem porta hepatika lalu ke hati, yang kembali mensekresikan garam empedu ke
kandung empedu (Made, 2017).
Garam empedu terbentuk di dalam sel-sel hepar dari koesterol yang juga
disintesis di dalam hepar. Kolesterol hampir tak larut dalam air murni. Tetapi
garam empedu an lesitin di dalam empedu bergabung degan kolesterol untuk
membentuk misel ultramikroskopis yang larut. Bila empedu menjadi pekat di
dlaam kandung empedu maka garam empedu dan lesitin menjadi pekat dengan
kolesterol. Kolesterol bila terpresipitasi akan menyebabkan pembentukan batu
empedu. Beberapa keadaan yang dapat menyebabkan prepitasi kolesterol adalah
terlalu banyak absorpsi air dari empedu, terlalu banyak absorpsi garam empedu
dan lesitin dari empedu, terlalu banyak sekresi kolesterol di dalam empedu dan
peradangan epitelium kandung empedu (Ari Purwanti, 2016).

D. Etiologi
 Etiologi
1. Peningkatan jumlah kolesterol didalam empedu.
2. Reseksi ilieum yang luas ( seperti pada operasi jejunoileum).
3. Anemi hemolitik (Peningkatan beban bilirubin tak terkonjugasi membentuk
batu pigmen murni).
4. Invasi bakteri sekunder dalam saluran empedu. Tingginya insiden batu
kalsium bilirubinat bisa berhubungan dengan invassi bakteri skunder dalam
batang saluran empedu yang diinfestasi parasit clonorchis sinensis atau
askaris lumbrikoides, esteria colli membentuk B-Glukoronidase yang
dianggap mendekonjugasikan bilirubin didaalam empedu yang menyokong
pembentukan kalsium bilirubinat yang tak dapat larut.

 Faktor Resiko (Lesmana, 2000)


Semakin banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar
kemungkinan untuk terjadi kolelitiasis. Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau
tanpa di bawah ini, yaitu:
1. Jenis kelamin : Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat disbanding dengan
pria. Hal ini dikarenakan hormone estrogen berpengaruh terhadap
peningkatan eksresi kolesterol kandung empedu. Kehamilan yang
meningkatkan kadar kolesterol juga meningkatkan resiko terkena
kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormone (estrogen) dapat
meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan aktivitas
pengosongan kandung empedu.
2. Usia : Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan
bertambahnya usia. Usia lebih dari 60 tahun lebih cenderung untuk terkena
kolelitiasis.
3. Berat badan (BMI/ Body Mass Index) : Orang dengan BMI tinggi lebih
berisiko terkena kolelitiasis. Hal ini disebabkan karena kadar kolesterol
dalam kandung empedu tinggi.
4. Makanan : Intake rendah kalori, kehilangan berat badan yang cepat
mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat
menyebabkan penurunan konkraksi kandung empedu.
5. Riwayat keluarga : Orang dengan riwayat keluarga kelelitiasis mempunyai
resiko lebih besar dibandingkan dengan tanpa riwayat keluarga.
6. Aktivitas fisik : Kurangnya aktivitas fisik berhungan dengan peningkatan
resiko terjadinya kolelitasis. Hal ini disebabkan karena kandung empedu
berkontraksi.

E. Patofisiologi
Batu empedu terjadi karena adanya zat tertentu dalam empedu yang hadir
dalam konsentrasi yang mendekati batas kelarutan. Bila empedu terkonsentrasi di
dalam kandung empedu, larutan akan berubah menjadi jenuh dengan bahan-bahan
tersebut, kemudian endapan dari larutan akan membentuk kristal mikroskopis.
Kristal terperangkap dalam mukosa bilier, akan menghasilkan suatu endapan.
Oklusi dari saluran oleh endapan dan batu menghasilkan komplikasi penyakit batu
empdu. Pada kondisi normal kolesterol tidak mengendap di empedu karena
mengandung garam empedu terkonjugasi dan kesitin dalam jumlah cukup agar
kolesterol berada di dalam larutan misel. Jika rasio konsentrasi kolesterol
berbanding garam empedu dan lesitin meningkat, maka larutan misel menjadi
sangat jenuh. Kondisi yang sangat jenuh ini mungkin karena hati memproduksi
kolesterol dalam konsentrasi tinggi. Zat ini kemudian mengendap pada
lingkungan cairan dalam bentuk kristal kolesterol.
Bilirubin, pigmen kuning yang berasal pemecahan heme, secara aktif
disekresi ke dalam empedu oleh hati. Sebagian besar bilirubin di dalam empedu
berada dalam bentuk konjugat glukoronida yang larut dalam air dan stabil, tetapi
sebagian kecil terdiri dari bilirubin tak terkonjugasi. Bilirubin tak terkonjugasi
seperti lemak, fosfat, karbonat dan anion lainnya cenderung untuk membentuk
prepitasi tak larut dengan kalsium. Kalsium memasuki empedu secara pasif
bersama dengan elektrolit lain. Dalam situasi pergantian heme tinggi, seperti
hemolisis kornis atau sirosis, bilirubin tak terkonjugasi mungkin berada dalam
empedu pada konsentrasi yang lebih tinggi dari biasanya. Kalsium bilirubinat
mungkin kemudian mengkristal dari larutan dan akhirnya membentuk batu
pigmen hitam.
Empedu yang biasanya steril, tetapi dalam beberapa kondisi yang tidak
biasa misal ada striktur bilier, mungkin terkolonisasidengan bakteri. Bekateri
menghidrolisis bilirubin terkonjugasi dari hasil peningkatan bilirubin tak
terkonjugasi dapat menyebabkan prepitasi terbentuknya kristal kalsium
bilirubinat, bakteri hidrolisis lesitin menyebabkan pelepasan asam lemak yang
komplek dengan kalsium dan endapan dari larutan lain. Konkresi yang dihasilkan
memliki konsistensi disebut batu pigmen coklat.
Batu empedu kolesterol dapat terkoloni dengan bakteri dan dapat
menimbulkan peradangan mukosa kandung empedu. Enzim dari bakteri dan
leukosit menghidrolisis bilirubin konjugasi dan asam lemak. Akibatnya dari waktu
ke waktu, batu kolesterol bisa mengumpalkan proporsi kalsium bilirubinat dan
garam kalsium lalu menghasilkan campuran batu empedu.
Kondisi batu kandung empedu memberikan berbagai manifestasi keluhan
pada pasien dan menimbulkan berbagai masalah keperawatan. Jika terdapat batu
empedu yang menyumbat duktus sistikus dan basilaris komunis untuk sementara
waktu, tekanan di duktus bilaris akan meningkat dan peningkatan peristaltik usus
di tempat penyumbatan mengakibatkan nyeri visera di daerah epigastrium,
mungkin dengan penjalaran ke punggung. Respon nyeri gangguan gastrointestinal
dan anoreksia akan meningkatkan penurunan intake nutrisi. Respon komplikasi
akut dengan peradangan akan memberikan manifestasi peningkatan suhu tubuh.
Respon kolik bilier, secara kronis akan meningkatkan kebutuhan metabolisme
sehingga pasien cenderung mengalami kelelahan. Respon adanya batu akan
dilakukan intervensi medis pembedahan, litotripsi atau intervensi endoskopi.

F. Manifestasi klinis
1. Kolik bilier : jika duktus sistikus tersumbat oleh batu empedu, kandung
empedu akan mengalami distensi dan akhirnya infeksi. Pasien akan
menderita panas dan mungkin teraba massa padat pada abdomen pasien
dapat mengalami kolik bilier disertai nyeri hebat pada abdomen kuadran
kanan atas yang menjalar ke punggung atau bahu kanan, rasa nyeeri ini
biasanya disertai mual dan muntah dan bertambah hebat dalam makan
makanan dalam porsi besar. Pada sebagian pasien rasa nyeri bukan
bersifat kolik melainkan persisten. Serangan kolik bilier semacam ini
disebabkan kontraksi kandung empedu yang tidak dapat mengalirkan
empedu keluar akibat tersumbatnya saluran oleh batu. Dalam keadaan
distensi, bagian fundus kandung empedu akan mmenyentuhdinding
abdomen pada daerah kartilago kosta 9 dan 10 kanan. Sentuhan ini
menunjukan nyeri tekan yang mencolok pada kuadran kanan atas ketika
pasien melakukan inspirasi dalam dan menghambat pengembangan
rongga dada
2. Ikterus: obstruksi pengaliran getah empedu ke dalam duodenum akan
menimbulkan gejala yang khas yaitu getah empeduh yanng tidak lagi
dibawah ke dalam duodenum akan diserap oleh darah da penyerapan
empedu ini membuat kulitdan membrane mukosa berwarna kuning.
3. Defisiensi vitamin: obstruksi aliran empedu juga akan mengganggu
absorbsi vitamin A, D, E, K yang larut lemak. Karena itu pasien dapat
memperlihatkan gejala defisiensi vitaminn-vitamin ini jika obstruksi
bilier berlangsung lama defisiensi vitamin K dapat mengganggu
pembekuan darah yang normal.
4. Kolesistitis akut: kassus kolesistittis akut disertai kolelitiasis dan
keadaan ini timbul akibat obstruksi duktus sistikus yang menyebabkan
peradangan organ tersebut. Respon peradangan dapat dicetuskan 3
faktor yaitu:
a. Inflamasi mekanik yang dicetuskan oleh kenaikan tekanan
intralumen dan distensi menyebabkan iskemia mukosa dan dinding
kandung empedu
b. Inflamasi kimiawi akibat pelepasan lesitin
c. Inflamasi bakteri yang memegang peran pada sebagian besar pasien
dengan kolesititis akut
5. Koledokolitiasis dan kolangitis: batu kandung empedu dapat bermigrasi
masuk ke diktus koledokus melalui duktus sistikus atau batu empedu
dapat juga terbentukdi dalam saluran empedu. Gambaran klinis
koledokolitiasis di dominasi penyulitnya seperti ikterus obstruksi,
kolangitis dan pankreatitis memperllihatkan bahwa nyeri dan ikterus
merupakan nyeri utama

G. Komplikasi
1. Kolessistitis adalah perubahan kandung empedu, saluran kandung
tersumbat oleh batu empedu menyebabkan infeksi dan peradangan kandung
emepedu
2. Kolangitis adalah peradangan pada saluran empedu, terjadinya karena
infeksi yang menyebar melalui saluran-saluran dari usus kecil setelah
saluran-saluran menjadi terhalang oleh batu empedu
3. Hidrops: obstruksi kronis dari kandung empedu dapat menimbulkan
hidrops kandung empedu dalam keadaan ini tidak ada peradangan akut dan
sindrom yang berkaitan dengannya. Hidrops biasanya disebabkan oleh
obstruksi duktus sistikus sehingga tidak diisi lagi empedu pada kandung
empedu yaang normal.koleksistektomi bersifat kuratif
4. Empiema: pada empiema kandung empedu berisi nana. Komplikasi ini
dapat membahayakan jiwa dan membutuhkan kolesistektomi darurat segera
H. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan dan Diagnosis (Brunner, 2001; David, 1994)
1. Laboratorium, Pada ikterus obstruksi terjadi :
a. Peningkatan kadar bilirubin direk, kolesterol, alkali fosfatase, gamma
glukoronil trasnferase dalam darah.
b. Bilirubinuria, peningkatan bilirubin serum menunjukkan kelainan
hepatobiliaris. Bilirubin serum dapat meningkat tanpa penyakit
hepatobiliaris pada banyak jenis kelainan yang mencakup episode
bermakna hemolisis intravaskuler dan sepsis sistemik.
c. Tinja akolis
2. USG : Menyatakan kalkuli dan distensi kandung empedu atau duktus
empedu (Suzanna Ndraha, dkk., 2014).
3. Foto polos abdomen : Ditemukan adanya udara /gas di dalam batang
saluran empedu atau didalam lumen atau dinding vesika biliaris bersifat
abnormal. Adanya massa jaringan lunak yang mengiddentasi duodenum
atau fleksura koli dextra menggambarkan vesika biliaris yang terdistensi
4. Kolesistogram oral : Pemberian 6 tablet asam yopanoad diberikan peroral
pada malam sebelum pemeriksaan dan pasien dipuasakan. Digunakan
untuk mengetahui batu empedu atau tumor.
5. Kolangiografi intravena : Untuk memungkinkan visualisasi keseluruhan
batang saluran empedu extra hepatik. Tes ini telah tergantikan oleh
pemeriksaan yang lebih aman.
6. CT scan : Untuk mendeteksi bila batu mengandung kalsium dalam jumlah
yang lumayan, menentukan abses intra hepatik, perihepatik, atau
trikolesistika. Menentukan duktus intra hepatik yang berdilatasi.
7. ERCP : Tes ini melibatkan opasifikasi langsung batang saluran empedu
dengan kanulasi endoskopi ampulla vateri dan suntikan retrograt zat
kontras. Didapatkan anatomi duktus biliaris dan pankreatikus . Visualisassi
mukosa periampulla dan duodenum.
8. PTC (colangiografi transhepatis perkutis) : Memungkinkan dekompresi
saluran empedu non bedah pada pasien kolingitis akut toksik. Drainase
perkutis dapat digunakan untuk menyiapkan pasien ikterus obstruksi untuk
pembedahan dengan menghilangkan ikterusnya dan memperbaiki fungsi
hati.
9. Arteriografi : Evaluasi prabedah passien keganasan saluran empedu.
10. Biopsi hati : Digunakan untuk membedakan kolestasis intrahepatik dari
extrahepatik, karena biopsi akan menentukan luas sirosis biliaris skunder.

I. Penatalaksaan
Penatalaksanaan (Brunner, 2001)
1. Diet dan penatalaksanaan pendukung
Dalam kondisi inflamasi akut kandung empedu sembuh dengan istirahat,
cairan infus, penghisapan nasogastrik, analgesik dan antibiotik. Intervensi
bedah ditunda sampai gejala akut mereda kecuali jika kondisi pasien
memburuk. Manajemen terapi :
a. Diet rendah lemak, tinggi kalori, tinggi protein
b. Pemasangan pipa lambung bila terjadi distensi abdomen
c. Pemberian terapi intravena, infus cairan dan elektrolit, untuk mencegah
terjadinya syok.
d. Pemberian antibiotik sistemik, vitamin K, analgesik.

2. Pengambilan batu tanpa pembedahan


a. Pelarutan batu empedu dengan bahan pelarut (monooktanoin atau metil
tertier eter/MTBE)
b. Selang atau kateter dipasang perkutan langsung ke dalam kandung
empedu melalui saluran T tube untuk melarutkan batu yang belum
dikeluarkan saat pembedahan,melalui endoscopy ERCP.
c. Pengambilan batu non bedah. Digunakan untuk batu yang belum
terangkat pada saat kolesistektomi atau terjepit dalam duktus
koledukus, melalui prosedur ERCP.
d. Proseddur ESWL (Extracorporeal Shock Wave Litrotipsi) : Prosedur
non infasif menggunakan gelombang kejut berulang yang diarahkan
kepada batu empedu didalam kandung empedu atau duktus atau
duktus koledukus dengan maksud untuk memecah batu menjadi
sejumlah fragmen.
3. Pengambilan batu dengan pembedahan
Penanganan bedah pada penyakit kandung empedu dan batu empedu
dilaksanakan untuk menguragi gejala yang sudah berlangsung lama untuk
menghilangkan kolik bilier dan untuk mengatasi kolesistitis akut.
Pembedahan dapat efektif bila gejala yang dirasakan pasien sudah mereda
atau bisa dikerjakan sebagai suatu prosedur darurat bila mana kondisi
pasien mengharuskannya. Tindakan operasi meliputi :
a. Minikolesistektomi : Prosedur bedah untuk mengeluarkan kandung
empedu melalui luka incisi selebar 4 cm. Kontroversi prosedur ini
timbul karena ukuran insisi membatasi pajanan semua struktur bilier
yang terlibat.
b. Kolesistektomi : Prosedur beddah dimana kandung empedu diangkat
setelah arteri dan duktus sistikus diligali. Sebuah drain ditempatkan
dalam kandung empedu dan ddibiarkan keluar lewat luka operasi untuk
mengalirkan darah, cairan serosanguinus dan getah empedu dalam
kassa absorben.
c. Kolesistektomi laparoscopi (endoscopi) : Dilakukan lewat luka insisi
yang kecil atau luka tusukan melalui dinding abdomen pada umbilikus.
d. Kolesistotomi perkutan : Dilakukan dalam penaanganan dan penegakan
diagnosis pada pasien-pasien yang berisiko jika harus menjalani
tindakan pembedahan atau anestesi umum yaitu pasien-pasien penderita
sepsis atau gagal jantung yang berat dan gagal ginjal, paru atau hati.

II. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
a. Keluhan utama : Merupakan keluhan yang paling utama yang dirasakan
oleh klien saat pengkajian. Biasanya keluhan utama yang klien rasakan
adalah nyeri abdomen pada kuadran kanan atas, dan mual muntah.
b. Riwayat kesehatan sekarang : Merupakan pengembangan diri dari
keluhan utama melalui metode PQRST, paliatif atau provokatif (P) yaitu
focus utama keluhan klien, quality atau kualitas (Q) yaitu bagaimana
nyeri/gatal dirasakan oleh klien, regional (R) yaitu nyeri/gatal menjalar
kemana, Safety (S) yaitu posisi yang bagaimana yang dapat mengurangi
nyeri/gatal atau klien merasa nyaman dan Time (T) yaitu sejak kapan
klien merasakan nyeri/gatal tersebut. Klien sering mengalami nyeri di
ulu hati yang menjalar ke punggung , dan bertambah berat setelah
makan disertai dengan mual dan muntah.
c. Riwayat penyakit dahulu : Perlu dikaji apakah klien pernah menderita
penyakit sama atau pernah di riwayat sebelumnya. Klien memiliki Body
Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadi
kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol
dalam kandung empedu pun tinggi.
d. Riwayat kesehatan keluarga : Mengkaji ada atau tidaknya keluarga klien
pernah menderita penyakit kolelitiasis. Penyakit kolelitiasis tidak
menurun, karena penyakit ini menyerang sekelompok manusia yang
memiliki pola makan dan gaya hidup yang tidak sehat. Tapi orang
dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar
dibanding dengan tanpa riwayat keluarga.
e. Riwayat psikososial : Pola pikir sangat sederhana karena ketidaktahuan
informasi dan mempercayakan sepenuhnya dengan rumah sakit. Klien
pasrah terhadap tindakan yang dilakukan oleh rumah sakit asal cepat
sembuh. Persepsi diri baik, klien merasa nyaman, nyeri tidak timbul
sehubungan telah dilakukan tindakan cholesistektomi.
f. Riwayat lingkungan : Lingkungan tidak berpengaruh terhadap penyakit
kolelitiasis. Karena kolelitiasis dipengaruhi oleh pola makan dan gaya
hidup yang tidak baik.

1. Pengkajian Psikologis pasien meliputi perasaan takut/cemas dan


keadaan emosi pasien
2. Pengkajian fisik pasien pengkajian tanda-tanda vital : tekanan darah,
nadi, pernapasan dan suhu.
3. Sistem integumen pasien apakah pasien pucat, sianosis dan adakah
penyakit kulit di area badan.
4. Sistem kardiovaskuler pasien apakah ada gangguan pada sisitem cardio,
validasi apakah pasien menderita penyakit jantung, kebiasaan minum
obat jantung sebelum operasi. Kebiasaan merokok, minum alcohol,
oedema, irama dan frekuensi jantung.
5. Sistem pernapasan pasien apakah pasien bernapas teratur dan batuk
secara tiba-tiba di kamar operasi.
6. Sistem gastrointestinal
a. Inspeksi : datar, eritem (-), sikatrik (-)
b. Auskultasi : peristaltik (+)
c. Perkusi : timpani
d. Palpasi : supel, nyeri tekan (+) regio kuadran kanan atas, hepar-lien
tidak teraba, massa (-)
7. Sistem endokrin : Mengkaji tentang keadaan abdomen dan kantung
empedu. Biasanya pada penyakit ini kantung empedu dapat terlihat dan
teraba oleh tangan karena terjadi pembengkakan pada kandung empedu.
8. Sistem reproduksi pasien apakah pasien wanita mengalami menstruasi
9. Sistem saraf pasien bagaimana kesadaran
10. validasi persiapan fisik pasien. Apakah pasien puasa, lavement, kapter,
perhiasan, Make up, Scheren, pakaian pasien, perlengkapan operasi dan
validasi apakah pasien alergi terhadap obat

2. Diagnosa keperawatan

 Pre operasi

Diagnosa yang mungkin muncul pada kasus kolelitiasis adalah sebagai berikut :

1. Gangguan rasa nyaman nyeri b.d adanya proses peradangan, agen cidera
biologis proses inflamasi kandung empedu, obstruksi/spasme duktus,
iskemia jaringan (nekrosis).
2. Hypertermi b.d respon sistemik dari inflamasi gastrointestinal
3. Aktual/resiko tinggi ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh b.d peningkatan asam lambung
4. Gangguan rasa nyaman cemas b.d kurangnya pengetahuan
5. Gangguan pemenuhan ADL b.d atropi oto, kelemahan fisik
6. Resiko tinggi ketidak seimbangan cairan dan elektrolit b.d muntah
berlebihan

 Post operasi

Diagnosa yang mungkin muncul pada kasus kolelitiasis adalah sebagai berikut :

1. Nyeri akut b.d agen injuri


2. kerusakan integritas kulit b. d terputusnya kontiunitas jaringan
3. Resiko infeksi b.d luka, port d’ entry
4. Intoleransi aktivitas b.d nyeri

3. Intervensi
 Pre operasi
1. Gangguan rasa nyaman nyeri b.d adanya proses peradangan
Tujuan : Rasa nyaman nyeri terpenuhi dengan
kriteria hasil : TTV dalam batas normal, Pasien tidak tampak kesakitan,
Skala nyeri menurun, Nyeri berkurang atau hilang
Intervensi :
a. Observasi tanda-tanda vital.
Rasional : Untuk menentukan keadaan umum klien
b. Observasi dan catat lokasi (beratnya skala 0-10) dan karakteristik nyeri
(menetap, hilang timbul, kolik).
Rasional : Membantu membedakan penyebab nyeri dan memberikan
informasi tentang kemajuan/perbaikan penyakit, terjadinya komplikasi dan
keefektifan intervensi
c. Tingkatkan tirah baring, biarkan pasien melakukan posisi yang nyaman.
Rasional : Meningkatkan istirahat tirah baring pada posisi fowler rendah
dapat menurunkan tekanan intra abdomen, namun pasien akan melakukan
posisi yang menhilangkan nyeri secara alamiah.
d. Ajarkan tehnik non farmakologi misalnya relaksasi, distraksi dll.
Rasional : Dapat menurunkan nyeri yang dirasakan
e. Kolaborasi dalam pemberian analgetik.
Rasional : Analgetik dapat mengatasi nyeri yang dirasakan

2. resiko tinggi ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan


Tujuan :Kebutuhan nutrisi terpenuhi
kriteria hasil : Nafsu makan meningkat, Tidak terjadi gangguan nutrisi,
Porsi makan habis, Bb kembali normal
Intervensi :
a. Kaji status nutrisi klien, turgor kulit, BB, integritas mukosa, riwayat
mual/muntah.
Rasional: Memvalidasi dan menetapkan derajat masalah untuk
menetapkan pilihan intervensi yang tepat.
b. Pertahankan kebersihan mulut.
Rasional : Akumulasi pertikel makanan dimulut dapat menambah bau dan
rasa tak sedap yang menurunkan nafsu makan
c. Berikan makanan dalam porsi sedikit tapi sering.
Rasional : Memudahkan proses pencernaan dan toleransi pasien terhadap
nutrisi.
d. Berikan makanan selagi hangat.
Rasional : Dafat mempengaruhi nafsu makan dan membangkitkan nafsu
makan.
e. Kolaborasi dengan ahli gizi dalam pemberian diit (diet cair rendah lemak,
rendah lemak tinggi serat).
Rasional : Merencanakan diet dengan nutrisi yang adekuat untuk
memenuhi peningkatan kebutuhan energi dan kalori sehubungan dengan
perubahan metabolik pasien.

3. Hypertermi b.d respon sistemik dari inflamasi gastrointestinal


Tujuan : Keseimbangan suhu tubuh kembali normal
kriteria hasil : Suhu tubuh menurun/normal, Keringat yang keluar
berkurang, Bibir lembab
Intervensi :
a. Observasi tanda-tanda vital, terutama suhu.
Rasional : Dapat mendeteksi dini tanda-tanda peningkatan suhu tubuh.
b. Anjurkan pasien memakai pakaian yang tipis.
Rasional : membantu mempermudah penguapan panas
c. Beri kompres hangat di beberapa bagian tubuh, seperti ketiak, lipatan
paha, leher bagian belakang.
Rasional : dapat mempercepat penurunan suhu tubuh
d. Anjurkan pasien banyak minum ± 2 liter/hari.
Rasional : untuk menjaga keseimbangan cairan didalam tubuh
e. Kolaborasi dalam pemberian obat anti piretik.
Rasional : dapat membantu menurunkan panas

4. Resiko tinggi ketidak seimbangan cairan dan elektrolit b.d muntah


berlebihan
Tujuan : Menunjukan cairan adekuat,
kriteria hasil : Tanda vital stabil, membran mukosa lembab, turgos kulit
baik, pengisian kapiler baik, secra individu mengeluarkan urine cukup, dan
tidak ada muntah.
Intervensi :
a. Pertahankan masukan dan haluaran akurat, perhatikan haluaran kurang
dari masukan, peningkatan berat jenis urine. Kaji membrane mukosa/kulit,
nadi perifer, dan pengisian kapiler.
Rasional : Memberikan informasi tentang status cairan/volume sirkulasi
dan kebutuhan penggantian.
b. Awasi tanda / gejala peningkatan/berlanjutnya mual/muntah, kram
abdomen, kelemahan, kejang, kejang ringan, kecepatan jantung tak teratur,
parestesia, hipoaktif atau tak adanya bising usus, depresi pernapasan.
Rasional : Muntah bekepanjangan, aspirasi gaster dan pembatasan
pemasiukan oral dapat menimbulkan defisit natrium, kalium dan klorida.
c. Hindarkan dari lingkungan yang berbau.
Rasional : Menurunkan rangsangan pada pusat muntah
d. Kaji perdarahan yang tidak biasa, contoh: perdarahan terus-menerus pada
sisi injeksi, mimisan, perdarahan gusi, ekimosis, petekie,
hematemesis/melena.
Rasional : Protrombin darah menurun dan waktu koagulasi memanjang
bila aliran empedu terhambat, meningkatkan resiko perdarahan/hemoragi.
e. Kolaborasi : Berikan antimetik.
Rasional : Menurunkan mual dan mencegah muntah
f. Kolaborasi : Berikan cairan IV, elektrolit, dan vitamin K.
Rasional : Mempertahankan volume sirkulasi dan memperbaiki
ketidakseimbangan.
 Post operasi
1. Nyeri akut b.d agen injuri
Tujuan (NIC) : Nyeri teratasi
KH : Nyeri kepala berkurang (skala nyeri < 3), Ekspresi wajah
klien rileks, tanda-tanda vital: TD: 90-130/60-90 mmHg, N: 60-100
x/menit, RR: 16-24 x/menit, S: 36,5-37,50C.
Rencana Tindakan (NOC) :
a. Kaji keadaan umum dan tanda-tanda vital klien.
Rasional: mengetahui keluhan klien saat ini untuk menentukan
intervensi selanjutnya
b. Kaji karakteristik nyeri secara komprehensif (lokasi, karakteristik,
intensitas/keparahan nyeri, faktor presipitasinya)
Rasional: untuk mengetahui tingkat rasa nyeri yang dirasakan
untuk menegakkan intervensi selanjutnya
c. Observasi ketidaknyamanan non verbal
Rasional: sikap klien yang menunjukkan kegelisahan menunjukkan rasa
tidak nyaman apa yang dirasakan saat ini sehingga perawat
harus memberikan terapi atau tindakan untuk mengurangi nyeri.
d. Berikan lingkungan yang nyaman, tenang, dan beri aktifitas perlahan.
Rasional: sikap klien yang menunjukan kegelisahan menunjukkan rasa
tidak nyaman apa yang dirasakan
e. Berikan oksigen tambahan dengan nasal kanul atau masker, serta
indikasi
Rasional: peningkatan rasa nyeri akan mengakibatkan pasien
kekurangan oksigen sehingga dengan pemberian oksigen pada nasal
kanul akan mengurangi keluhan nyeri pada pasien
f. Ajarkan teknik non farmakologi (seperti: tehnik relaksasi nafas dalam
secara efektif)
Rasional: tehnik relaksasi nafas dalam ini mampu mengurangi rasa
nyeri.
g. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi farmakologi
(analgesik)
Rasional: Dalam pemberian analgetik ini mampu mengurangi rasa
nyeri sehingga pasien merasa nyaman dan nyeri hilang.

2. kerusakan integritas kulit b. d terputusnya kontiunitas jaringan


Tujuan : Setelah di berikan tindakan, pasien tidak mengalami gangguan
integritas kulit.
Kriteria hasil : tidak ada luka, perfusi jaringan baik, menunjukan
pemahaman dalam proses perbaikan kulit, memperatahankan kelembaban
kulit
Intervensi :
a. Observasi adanya kemerahan pada kulit
Rasional: kemerahan dapat mengidentifikasi adanya kerusakan jaringan
b. Memanadikan pasien dengan sabun dan air hangat
Rasional : untuk menjaga kebersihan kulit
c. menggantikan balutan luka dengan waktu yang sesuai
rasional : untuk mempercepat proses penyembuhan
d. Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien dalam 1 sampai 2 jam)
Rasional: agar tidak terjadi penekanan pada suatu sisi
e. Oleskan lotion pada daerah yang tertekan
Rasional: untuk menjaga agar kulit tetap lembab
3. Resiko infeksi b.d luka, port d’ entry
Tujuan (NIC) : klien tidak mengalami infeksi
KH : tanda-tanda vital dalam batas normal, suhu tubuh tidak meningkat
Rencana tindakan (NOC) :
a. Monitor suhu tubuh secara teratur
Rasional : Suhu tubuh menigkat adanya proses inflamasi
b. Berikan perawatan dengan teknik steril
Rasional : mengurangi resiko infeksi
c. Observasi daerah yang mengalami luka, adanya peradangan (tanda-
tanda infeksi)
Rasional : mengetahui kondisi luka untuk menghindari penyebaran
infeksi
d. Kolaborasi dalam pemberian antibiotik
Rasional : untuk mencegah proses infeksi

4. Implementasi dan evaluasi


Implementasi dilakukan sesuai intervensi dan evaluasi dilakukan untuk
mendapat respon pasien setelah mendapat tindakan keperawatan (Kusuma H &
Amin H N, 2015)
DAFTAR PUSTAKA

Amin Huda, N. dkk. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan


Diagnosa Medis dan Nanda NIC-NOC Edisi Revisi Jilid 2. Yogyakarta :
MediActian.
Ari Purwanti. 2016. Hubungan Antara Gaya Hidup Dengan Kejadian Penyakit
Kolelitiasis Di Ruang Rawat Inap RSI Surakarta.
Brunner and Suddarth. 2001. Keperawatan Mendikal Bedah volume 2 edisi 8.
Jakarta: EGC
David SK, dkk., 2015. Hubungan Antara Jenis Batu dan Perubahan Mukosa
Kandung Empedu pada Pasien Batu Kandung Empedu. Manado : Jurnal
Biomedik (JBM), Vol.7 No. 3, Suplemen, November 2015, hlm. S41-47.
Jojorita HG, dkk., 2011. Karakteristik Penderita Kolelitiasis yang Dirawat Inap di
Rumah Sakit Santa Elisabeth Medan pada Tahun 2010 – 2011. Medan :
Universitas Sumatera Utara.
Made Agus. 2017. Faktor Resiko Terjadinya Batu Empedu Di RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusodo Makassar.
Patrick CDG, dkk., 2015. Gambaran Ultrasonografi Batu Empedu pada Pria &
Wanita di Bagian Radiologi FK UNSRAT BLU RSUP PROF. DR. R. D.
Kandou Manado Periode Oktober 2012 – Oktober 2014. Manado : Jurnal e-
Clinic ( eCI ), Vol.3 No.1, Januari – April 2015.
Smeltzer, SC dan Bare, BG. 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi
8. Vol.2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Suzanna Ndraha, dkk., 2014. Profil Kolelitiasis pada Hasil Ultrasonografi di
Rumah Sakit Umum Daerah Koja. Jakarta : Jurnal Kedokteran Meditel Vol.
20 No. 53, Mei-Agust 2014.

Anda mungkin juga menyukai