LANDASAN TEORI
2.1. KonsepCholelitiasis
2.1.1. Definisi Cholelitiasis
Batu empedu atau cholelithiasis adalah timbunan kristal di dalam kandung
empedu atau di dalam saluran empedu atau kedua-duanya. Batu kandung
empedu merupakan gabungan beberapa unsur dari cairan empedu yang
mengendap dan membentuk suatu material mirip batu di dalam kandung
empedu atau saluran empedu. Istilah kolelitiasis dimaksudkan untuk
pembentukan batu di dalam kandung empedu. Batu kandung empedu
merupakan gabungan beberapa unsur yang membentuk suatu material
mirip batu yang terbentuk di dalam kandung empedu (Lesmana, 2000).
Komponen utama dari cairan empedu adalah bilirubin, garam empedu,
fosfolipid dan kolesterol. Batu yang ditemukan di dalam kandung empedu
bisa berupa batu kolesterol, batu pigmen yaitu coklat atau pigmen hitam,
atau batu campuran. Lokasi batu empedu bisa bermacam–macam yakni di
kandung empedu, duktus sistikus, duktus koledokus, ampula vateri, di
dalam hati. Kandung empedu merupakan kantong berbentuk seperti buah
alpukat yang terletak tepat dibawah lobus kanan hati. Empedu
yangdisekresi secara terus menerus oleh hati masuk kesaluran empedu
yang kecil di dalam hati. Saluran empedu yang kecil-kecil tersebut bersatu
membentuk dua saluran yang lebih besar yang keluar dari permukaan
bawah hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri yang akan bersatu
membentuk duktus hepatikus komunis. Duktus hepatikus komunis
bergabung dengan duktus sistikus membentuk duktus koledokus. Pada
banyak orang,duktus koledokus bersatu dengan duktus pankreatikus
membentuk ampula vateri sebelum bermuara ke usus halus. Bagian
terminal dari kedua saluran dan ampula dikelilingi oleh serabut otot
sirkular, dikenal sebagai sfingter oddi.
2.1.2. Etiologi
Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna namun
yang paling penting adalah gangguan metabolisme yang disebabkan oleh
perubahan susunan empedu, stasis empedu dan infeksi kandung empedu.
Batu empedu dapat terjadi dengan atau tanpa factor resiko dibawah ini.
Namun, semakin banyak factor resiko yang dimiliki seseorang, semakin
besar kemungkinan untuk terjadinya batu empedu.
1. Jenis Kelamin
Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena batu empedu
dibandingkan dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormone esterogen
berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung
empedu. Kehamilan, yang meningkatkan kadar esterogen juga
meningkatkan resiko terkena batu empedu. Penggunaan pil kontrasepsi
dan terapi hormone (esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam
kandung empedu dan penurunan aktivitis pengosongan kandung
empedu.
2. Usia
Resiko untuk terkena batu empedu meningkat sejalan dengan
bertambahnya usia. Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung
untuk terkena batu empedu dibandingkan dengan orang usia yang lebih
muda
3. Berat badan (BMI)
Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih
tinggi untuk terjadi batu empedu. Ini dikarenakan dengan tingginy
BMI maka kadar kolesterol dalam kandung empedu pun tinggi, dan
juga mengurasi garam empedu serta mengurangi
kontraksi/pengosongan kandung empedu.
4. Makanan
Intake rendah klorida, kehilangan berat yang cepat (seperti setelah
operasi gastrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur
kimia dari empedu dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi
kandung empedu.
5. Riwayat keluarga
Orang dengan riwayat keluarga batu empedu mempunyai resiko lebih
besar dibandingkan dengan tanpa riwayat keluarga
6. Aktifitas fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhubungan dengan peningkatan resiko
terjadi batu empedu. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu
lebih sedikit berkontraksi.
7. Penyakit usus halus
Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan batu empedu adalah
crhon disease, diabetes, anemia sel sabit, trauma, dan ileus paralitik
8. Nutrisi intravena jangka lama
Nutirisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak
terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/nutrisi yang
melewati intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi
meningkat dalam kandung empedu.
2.1.3. Patofisiologi
Patofisiologi Pembentukan batu empedu dibagi menjadi tiga tahap:
1. Pembentukan empedu yang supersaturasi,
2. Nukleasi atau pembentukan inti batu,
3. Berkembang karena bertambahnya pengendapan.
Pembentukan batu dimulai hanya bila terdapat suatu nidus atau inti
pengendapan kolesterol. Pada tingkat supersaturasi kolesterol, kristal
kolesterol keluar dari larutan membentuk suatu nidus, dan membentuk
suatu pengendapan. Pada tingkat saturasi yang lebih rendah, mungkin
bakteri, fragmen parasit, epitel sel yang lepas, atau partikel debris yang
lain diperlukan untuk dipakai sebagai benih pengkristalan (Lesmana,
2000).
2.1.4. Klasifikasi
Menurut gambaran makroskopis dan komposisi kimianya, batu empedu di
golongkankan atas 3 (tiga) golongan:
1. Batu Kolesterol
Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih dari
70% kolesterol. Lebih dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu
yang mengandung > 50% kolesterol). Untuk terbentuknya batu
kolesterol diperlukan 3 faktor utama :
a. Supersaturasi kolesterol
b. Hipomotilitas kandung empedu
c. Nukleasi/ pembentukan nidus cepat.
2. Batu Pigmen
Batu pigmen merupakan 10% dari total jenis baru empedu yang
mengandung<20% kolesterol.
Jenisnya antara lain:
a. Batu Pigmen Kalsium Bilirubinan (Pigmen Coklat)
Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan
mengandung kalsium-bilirubinat sebagai komponen utama. Batu
pigmen cokelat terbentuk akibat adanya faktor stasis dan infeksi
saluran empedu. Stasis dapat disebabkan oleh adanya disfungsi
sfingter Oddi, striktur, operasi bilier, dan infeksi parasit. Bila
terjadi infeksi saluran empedu, khususnya E. Coli, kadar enzim
Bglukoronidase yang berasal dari bakteri akan dihidrolisasi
menjadi bilirubin bebas dan asam glukoronat. Kalsium mengikat
bilirubin menjadi kalsium bilirubinat yang tidak larut. Dari
penelitian yang dilakukan didapatkan adanya hubungan erat antara
infeksi bakteri dan terbentuknya batu pigmen cokelat.umumnya
batu pigmen cokelat ini terbentuk di saluran empedu dalam
empedu yang terinfeksi.
b. Batu Pigmen Hitam.
Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti
bubuk dan kaya akan sisa zat hitam yang tak terekstraksi. Batu
pigmen hitam adalah tipe batu yang banyak ditemukan pada
pasiendengan hemolisis kronik atau sirosis hati. Batu pigmen hitam
ini terutama terdiri dari derivat polymerized bilirubin. Potogenesis
terbentuknya batu ini belum jelas. Umumnya batu pigmen hitam
terbentuk dalam kandung empedu dengan empedu yang steril.
3. Batu Campuran
Batu iniadalahjenis yang paling banyakdijumpai. Batucampuran antara
kolesterol dan pigmen dimana mengandung 20-50% kolesterol.
(Price, 2000)
2.1.5. Penatalaksanaan
Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Nyeri
yang hilang-timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau
mengurangi makanan berlemak. Jika batu kandung empedu menyebabkan
serangan nyeri berulang meskipun telah dilakukan perubahan pola makan,
maka dianjurkan untuk menjalani pengangkatan kandung empedu
(kolesistektomi). Pengangkatan kandung empedu tidak menyebabkan
kekurangan zat gizi dan setelah pembedahan tidak perlu dilakukan
pembatasan makanan. Pilihan penatalaksanaan antara lain:
1. Kolesistektomi terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien denga
kolelitiasis simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat
terjadi adalah cedera duktus biliaris yang terjadi pada 0,2% pasien.
Angka mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur ini kurang dari
0,5%. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik
biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.
2. Kolesistektomi Laparaskopi
Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990 dan
sekarang ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara laparoskopi.
80-90% batu empedu di Inggris dibuang dengan cara ini karena
memperkecil resiko kematian dibanding operasi normal (0,1-0,5%
untuk operasi normal) dengan mengurangi komplikasi pada jantung
dan paru. Kandung empedu diangkat melalui selang yang dimasukkan
lewat sayatan kecil di dinding perut.
Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa
adanya kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman,
banyak ahli bedah mulai melakukan prosedur ini pada pasien dengan
kolesistitis akut dan pasien dengan batu duktus koledokus. Secara
teoritis keuntungan tindakan ini dibandingkan prosedur konvensional
adalah dapat mengurangi perawatan di rumah sakit dan biaya yang
dikeluarkan, pasien dapat cepat kembali bekerja, nyeri menurun dan
perbaikan kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan adalah kemanan
dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden komplikasi 6r seperti
cedera duktus biliaris yang mungkin dapat terjadi lebih sering selama
kolesistektomi laparaskopi.
3. Disolusi medis
Masalah umum yang mengganggu semua zat yang pernah digunakan
adalah angka kekambuhan yang tinggi dan biaya yang dikeluarkan. Zat
disolusi hanya memperlihatkan manfaatnya untuk batu empedu jenis
kolesterol. Penelitian prospektif acak dari asam xenodeoksikolat telah
mengindikasikan bahwa disolusi dan hilangnya batu secara lengkap
terjadi sekitar 15%. Jika obat ini dihentikan, kekambuhan batu tejadi
pada 50% pasien. Kurang dari 10% batu empedu dilakukan cara ini an
sukses. Disolusi medis sebelumnya harus memenuhi criteria terapi non
operatif diantaranya batu kolesterol diameternya < 20 mm, batu kurang
dari 4 batu, fungsi kandung empedu baik dan duktus sistik paten.
4. Disolusi kontak
Meskipun pengalaman masih terbatas, infus pelarut kolesterol yang
poten (Metil-Ter-Butil-Eter (MTBE)) ke dalam kandung empedu
melalui kateter yang diletakkan per kutan telah terlihat efektif dalam
melarutkan batu empedu pada pasien-pasien tertentu. Prosedur ini
invasif dan kerugian utamanya adalah angka kekambuhan yang tinggi
(50% dalam 5 tahun). 5. Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL)
Sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu, analisis
biayamanfaat pad saat ini memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya
terbatas pada pasien yang telah benar-benar dipertimbangkan untuk
menjalani terapi ini.
5. Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL)
Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL) adalah Pemecahan batu
dengan gelombang suara. ESWL Sangat populer digunakan beberapa
tahun yang lalu, analisis biaya manfaat pada saat ini memperlihatkan
bahwa prosedur inihanya terbatas pada pasien yang telah benar-benar
dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini.
6. Kolesistotomi
Kolesistotomi yang dapat dilakukan dengan anestesia lokal bahkan di
samping tempat tidur pasien terus berlanjut sebagai prosedur yang
bermanfaat, terutama untuk pasien yang sakitnya kritis.
7. Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)
Pada ERCP, suatu endoskop dimasukkan melalui mulut,
kerongkongan, lambung dan ke dalam usus halus. Zat kontras
radioopak masuk ke dalam saluran empedu melalui sebuah selang di
dalam sfingter oddi. Pada sfingterotomi, otot sfingter dibuka agak
lebar sehingga batu empedu yang menyumbat saluran akan berpindah
ke usus halus. ERCP dan sfingterotomi telah berhasil dilakukan pada
90% kasus. Kurang dari 4 dari setiap 1.000 penderita yang meninggal
dan 3-7% mengalami komplikasi, sehingga prosedur ini lebih aman
dibandingkan pembedahan perut. ERCP saja biasanya efektif
dilakukan pada penderita batu saluran empedu yang lebih tua, yang
kandung empedunya telah diangkat.
2.1.6. Komplikasi
Komplikasi dari kolelitiasis diantaranya adalah :
1. Empiema kandung empedu, terjadi akibat perkembangan kolesistitis
akut dengan sumbatan duktus sistikus persisten menjadi superinfeksi
empedu yang tersumbat disertai kuman kuman pembentuk pus.
2. Hidrops atau mukokel kandung empedu terjadi akibat sumbatan
berkepanjangan duktus sitikus.
3. Gangren, gangrene kandung empedu menimbulkan iskemia dinding
dan nekrosis jaringan berbercak atau total.
4. Perforasi : Perforasi lokal biasanya tertahan oleh adhesi yang
ditimbulkan oleh peradangan berulang kandung empedu. Perforasi
bebas lebih jarang terjadi tetapi mengakibatkan kematian sekitar 30%.
5. Pembentukan fistula
6. Ileus batu empedu : obstruksi intestinal mekanik yang diakibatkan oleh
lintasan batu empedu yang besar kedalam lumen usus.
7. Empedu limau (susu kalsium) dan kandung empedu porcelain.
2.2.3. KeuntungandanKerugian
1. KeuntunganProsedur Laparoskopi
a. Dibandingkan dengan bedah terbuka, laparoskopi lebih
menguntungkan karena insisi yang kecil dan nyeri pasca operasi
yang lebih ringan.
b. Fungsi paru pasca operasi tidak terganggu dan sedikit
kemungkinan terjadi atelektasis setelah prosedur laparoskopi.
c. Setelah operasi fungsi pencernaan pasien pulih lebih cepat, masa
rawat inap rumah sakit pendek, serta lebih cepat kembali
beraktivitas.
2. KerugianProsedur Laparoskopi
a. Komplikasi dapat terjadi langsung / tidak langsung karena
kebutuhan insuflasi CO2 untuk membuat ruang operasi. CO2
masuk kedalam pembuluh darah secara cepat. Gas yang tidak
larut terakumulasi didalam jantung kanan menyebabkan hipotensi
dan cardiac arrest.
b. Intervensidapatdengan menghentikan insuflasi CO2,
hiperventilasi dengan 100% O2 dan resusitasi cairan, merubah
posisi pasien right side up dan memasang kateter vena central
untuk aspirasi gas.
c. Hal serius lain adalah pneumothorak, jika gas masuk ke dalam
rongga thorax melalui luka atau insisi yang dibuat sewaktu
pembedahan.
2.2.5. TeknikLapaorskopi
Laparoskopi dapat dilakukan denganan estesi lokal (keadaan pasien sadar)
maupunan estesiumum (pasien tidak sadar), tergantung pada sifat dari
prosedur yang hendak dilakukan. Setelah irisan dibuat (biasanya di sebelah
pusar), laparoskop dimasukkan kedalam rongga perut. Gas karbon
dioksida atau nitrogen oksida akan dimasukkan dalam rongga perut untuk
memisahkan dinding perut dengan organ di bawahnya. Hal ini membuat
pemeriksaan organ dalam menjadi lebih mudah.
Satu sampai tiga irisan kecil perlu dibuat lagi untuk memasukkan alat-alat
operasi, misalnya penjepit atau gunting. Setelah diagnosis dibuat atau
penyakit sudah ditangani, peralatan-peralatan tersebut akan dikeluarkan,
dan gas akan keluar darir rongga perut, lalu irisan akan dijahit kembali.
Jahitan yang dilakukan tersebut terkadang perlu diambil kembali oleh
dokter setelah luka mengering, atau dapat pula menyatu dengan
sendirinya.
2.3. Konsep Keperawatan Cholelithiasis
1. Pengakajian
a. Pengkajian fase Pre Operatif
1) Pengkajian Psikologispasienmeliputi: perasaan takut / cemas
dan keadaan emosi pasien
2) Pengkajian fisik pasien : pengkajian tanda-tanda vital (tekanan
darah, nadi, pernafasan dan suhu).
3) Sistem integumen pasien : apakah pasien pucat, sianosis dan
adakah penyakit kulit di area badan.
4) Sistem Kardiovaskuler pasien : apakah ada gangguan pada
sisitem cardio, validasi apakah pasien menderita penyakit
jantung ?, kebiasaan minum obat jantung sebelum operasi.,
Kebiasaan merokok, minum alcohol, Oedema, Irama dan
frekuensi jantung.
5) Sistem pernafasan pasien : apakah pasien bernafas teratur dan
batuk secara tiba-tiba di kamar operasi.
6) Sistem gastrointestinalpasien : apakah pasien diare ?
7) Sistem reproduksi pasien : apakah pasien wanita mengalami
menstruasi ?
8) Sistem saraf pasien : bagaimana tingkatkesadaran ?
9) Validasi persiapan fisik pasien. Apakah pasien puasa,
lavement, kapter, perhiasan, Make up, Scheren, pakaian pasien
/ perlengkapan operasi dan validasi apakah pasien alaergi
terhadap obat ?
BAB III
LAPORAN KASUS
A. PraOperatif di KamarBedah
1. IdentitasKlien
a. Nama : Ny. S
b. Umur : 48 Tahun
c. Nomor Rekam Medis : 0374823
d. Ruang : Ayyub 3/Kelas II
e. Alamat : Semarang
f. Dokter operator : dr. Johny
g. Dokter anestesi : dr. Soedjoyo
h. DiagnosaKeperawatan : Cholelhitiasis
i. TindakanOperasi : laparoscopy cholelithiasis
j. JenisAnestesi : general anastesi
k. KamarOperasi : Ruang OK III
l. Waktu : 13 Agustus 2015 pukul 16.00 WIB
m. Asisten : Perawat Suprapto
n. Perawat instrumen : Aristasari Dian Kuspratiwi
o. Perawat sirkuler : Perawat Rini
p. Checklist operatif( = Iya, - = Tidak)
Gelangidentitasklien - Gigi palsu
Lengkap Informed - Kacamata Aksesoris
- Tidaklengkap consent - Kontak lens
- Lavement - DM
Puasa - HT
- Penyakitjantung Penyakitkr
- Mandi keramas - TB paru
- Oral hygiene - Asma onis
Kebersihan kuku - CKD
Persiapankulit - Lain-lain
- Gelang - Lipstik
- Kalung Aksesoris - Kutek kuku Make up
- Cincin - Eye shadow
q. Premedikasi : Ondancentron 4 mg
Ketorolac 30 mg
CatatanAlergi
Ny. S mengatakan tidak mempunyai alergi terhadap makanan dan obat
2. Resume Penyakit
a. RiwayatPenyakitSekarang
Ny. S mengatakan nyeriseperti ditusuk tusuk, nyeri saat beraktivitas
sejak seminggu yang lalu, nyeri daerah perut, skala nyeri 5, nyeri
hilang timbul.
b. RiwayatPenyakitDahulu
Ny. S mengatakan tidak memiliki keluhan lain selain yang dirasakan
saat ini.
3. Pengkajian
a. Status Fisiologis
1) Tingkat Kesadaran : Composmenthis (GCS : 15)
2) Tanda-tandavital
TD : 123/83 mmHg HR :108 x/menit
SpO2 : 97 %
b. Status Psikososial
1) Subjektif
Klien mengatakan belum tahu dan khawatir dengan proses
operasi yang akan dijalani. Klien mengatakan belum prnah operasi
sebelumnya.
2) Objektif
Klien tampak cemas dan bertanya berapa lama operasi
berlangsung.TD : 123/83 mmHg, HR : 108x/menit, SpO2 : 97%,
ekspresi wajah klien meringis. akral kulit teraba dingin.
3) Pemeriksaan Fisik
a) Kepala : mesosephal, tidakadalesi, tidak ada nyeri tekan
b) Mata : Isokor, sclera tak ikterik dan konjungtiva tak
anemis
c) Hidung : bentuksimetris, tidakadaperdarahan, tidakadasekret
d) Telinga : Simetris, tidak ada perdarahan, dan tidak
mengalami gangguan
e) Mulutdangigi : Mukosa lembab, mulut dan gigi bersih
f) Leher : tidak ada pembesaran kelenjar tyroid, nadi
teraba dan tidak ada krepitasi
g) Thorak : simetris kiri dan kanan, tidak ada krepitasi,
tidak ada retraksi dinding dada, bunyi nafas vesikuler.
h) Genetalia : tidak mengalami nyeri saat kencing,
frekuensi BAK 5-6/hari, urine berwarna kuning jernih.
i) Status mental : klien tampak cemas
j) Terapi yang sudah diberikan : Infus RL 500 ml
4) Pemeriksan Penunjang
a) Hasil pemriksaan laboratorium
Tanggal : 11 Agustus 2015
A. Analisa Data
1. Pre Operatif
No Tanggal/ Data Fokus Masalah Etiologi TTD
jam
1. 12 S : Klien mengatakan belum Ansietas kurang
Agustus pernah melakukan operasi dan pengetahua
2015 tidak tahu mengenai prosedur n tentang
operasi yang akan dilakukan prosedur
O : TD: 158 / 99 mmHg, operasi
HR:108 x/menit, SaO2 : 98 %
2. Intra Operatif
B. Diagnosa Keperawatan
1. Pre Operatif
a. Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang prosedur
operasi
2. Intra Operatif
a. Risiko tinggi cedera berhubungan dengan pengaturan posisi klien
(supinasi)
b. Risiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif pembedahan
c. Risiko combusio berhubungan dengan pemakaian ESU
3. Post Operatif
a. Risiko tinggi cedera jatuh berhubungan dengan pengaruh obat anestesi
b. Risiko Tinggi Aspirasi jalan napas berhubungan dengan penurunan
kesadaran
C. Intervensi
1. Pre Operatif
2. Intra Operatif
3. Post Operatif
D. Implementasi
1. Pre Operatif
2. Intra Operatif
3. Post Operatif
DAFTAR PUSTAKA
https://perawatsejatiblog.files.wordpress.com/2015/09/lp-cholelithiasis.pdf
https://www.academia.edu/15434698/ASKEP_LAPAROSCOPY_CHOLELITHI
ASIS
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/34994/Chapter%20II.pdf?
sequence=3&isAllowed=y
https://id.wikipedia.org/wiki/Laparoskopi
https://www.academia.edu/38584643/MAKALAH_LAPAROSCOPY_FIXX
http://awalbros.com/technology/bedah-laparoskopi/
https://www.droenska.com/layanan/bedah/309-laparoscopy
http://felyyana.blogspot.com/2009/12/kolellitiasis.html
http://siakpel.bppsdmk.kemkes.go.id:8102/akreditasi_kurikulum/kurikulum_1910
24091819f3bcfd71c66aba225f59b06158df1044.pdf