Gambar 2.1
Kandung empedu terbagi menjadi beberapa bagian yaitu:
Fundus vesikafelea, merupakan bagian kandung empedu yang paling akhir setelah
korpus vesikafelea.
Korpus vesikafelea, bagian dari kandung empedu yang didalamnya berisi getah
empedu. Getah empedu adalah suatu cairan yang disekeresi setiap hari oleh sel hati
yang dihasilkan setiap hari (500 - 1000 cc), sekresinya berjalan terus menerus,
jumlah produksi meningkat sewaktu mencerna lemak.
Leher kandung kemih. Merupakan leher dari kandung empedu yaitu saluran yang
pertama masuknya getah empedu ke badan kandung empedu lalu menjadi pekat
berkumpul dalam kandung empedu.
Duktus sistikus. Panjangnya kurang lebih 3,75 cm. berjalan dari leher kandung
empedu dan bersambung dengan duktus hepatikus membentuk saluran empedu ke
duodenum.
Duktus hepatikus, saluran yang keluar dari leher.
Duktus koledokus, saluran yang membawa empedu ke duodenum.
3. Klasifikasi
Batu kandung empedu dapat diklasifikasi berdasarkan penampilan, struktur,
kandungan komponen, struktur mikro, komposisi, dan distribusi unsur. Batu empedu dapat
berbeda bentuknya berdasarkan ukuran dari yang paling halus seperti pasir kurang dari 1
mm - 4 cm diameternya. Batu empedu dikelompokkan berdasarkan 2 jenis tipe utama dan
sisanya adalah tipe jenis lain. 2 tipe utama batu empedu adalah batu empedu kolesterol dan
batu empedu berpigmen.
1. Batu empedu kolesterol
Mengandung 70% kristal kolesterol, sedangkan sisanya kalsium karbonat dan
kalsium bikarbonat. Bentukmya bervariasi dan hampir selalu berbentuk di dalam
kandung empedu. Permukaannya licin atau multifaset, bulat, dan berduri. Proses
pembentukan batu ini melalui empat tahap yaitu penjenuhan empedu oleh
kolesterol, pembentukan nidus atau sarang, kristalisasi, dan pertumbuhan batu.
Fisiologi
Empedu merupakan produk hati, yaitu cairan yang mengandung mucus, memiliki
warna kuning kehijauan dan mempunyai reaksi basa. Komposisi dalam empedu adalah
garam-garam empedu, pigmen empedu, kolesterol, lesitin, lemak, dan garam organik.
Pigmen empedu terdiri dari bilirubin dan biliverdin. Saat terjadinya kerusakan pada
butiran-butiran darah merah terurai menjadi globin dan bilirubin, ini menyebabkan pigmen
yang tidak memiliki suatu unsur besi lagi.
Kandung empedu sendiri dapat menyimpan 40-60 ml empedu. Empedu disimpan
dalam kantung empedu selama periode interdigestif dan diantarkan ke duodenum setelah
rangsangan makanan. Aliran cairan empedu diatur oleh 3 faktor, yaitu sekresi empedu oleh
hati, kontraksi kandung empedu, dan tahanan juga sfingter koledokus. Empedu memiliki
fungsi, yaitu membantu pencernaan dan penyerapan lemak, juga berperan membantu
pembuangan limbah esklusif yang berasal dari tubuh, terutamanya hemoglobin yang
berasal dari penghancuran sel darah merah serta kelebihan kolesterol. Garam empedu
meningkatkan kelarutan kolesterol, lemak, serta vitamin yang larut dalam lemak buat
membantu proses penyerapan.
Garam empedu merangsang pelepasan air oleh usus besar untuk membantu
menggerakan bilirubin (pigmen utama dari empedu) dibuang kedalam empedu sebagai
limbah dari sel darah merah yang dihancurkan, serta obat dan limbah lainnya dibuang
dalam empedu dan selanjutnya dibuang berasal dari tubuh. Garam empedu kembali diserap
kedalam usus halus, disuling oleh hati, dan dialirkan kembali kedalam empedu. Aliran ini
dikenal sebagai peredaran enterohepatik. Semua garam empedu pada dalam tubuh
mengalami aliran sebesar 10-12x/hari. Dalam setiap aliran, sejumlah kecil garam empedu
masuk ke dalam kolon. Pada kolon, bakteri memecah garam empedu menjadi berbagai
unsur pokok. Beberapa berasal unsur pokok ini diserap kembali serta sisanya dibuang
bersama tinja. Hanya lebih kurang 5% asal asam empedu yang disekresikan pada feses
(Cahyono, 2014).
2) Faktor risiko
Faktor risiko yang sering ditemui pada kejadian Cholelithiasis dikenal dengan “6F”
(Fat, Female, Forty, Food, Fertile, and Family history).
Fat (gemuk)
Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi untuk
terjadi cholelithiasis. Dikarenakan dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol
dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurasi garam empedu serta
mengurangi kontraksi/pengosongan kandung empedu.
Female (perempuan)
Wanita mempunyai risiko dua kali lipat untuk terkena cholelithiasis dibandingkan
dengan pria dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap peningkatan
eskresi kolesterol oleh kandung empedu.
Food (makanan)
Konsumsi makanan yang mengandung lemak terutama lemak hewani berisiko
untuk menderita cholelithiasis. Kolesterol merupakan komponen dari lemak. Jika
kadar kolesterol yang terdapat dalam cairan empedu melebihi batas normal, cairan
empedu dapat mengendap dan lama-kelamaan menjadi batu. Intake rendah klorida,
kehilangan berat badan yang cepat mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia
dari empedu dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.
Fertile (kehamilan)
Khususnya selama kehamilan akan menyebabkan peningkatan kadar estrogen yang
juga akan membuat meningkatnya kadar kejenuhan kolesterol dalam empedu, hal
ini yang dapat menyebabkan terjadinya cholelithiasis.
5. Patofisiologi
Terdapat dua tipe utama batu empedu yaitu batu yang terutama tersusun dari pigmen
dan tersusun berasal dari kolesterol. Batu pigmen, akan terbentuk jika pigmen yang
terkonjugasi dalam empedu mengalami presipitasi atau pengendapan, sebagai akibatnya
terjadi batu. Risiko terbentuknya batu semacam ini semakin besar pada pasien sirosis,
hemolysis, dan infeksi percabangan bilier. Batu ini tidak bisa dilarutkan dan hanya
dimuntahkan dengan jalan operasi. Batu kolesterol, artinya unsur normal pembentuk
empedu bersifat tak larut dalam air. Kelarutannya bergantung pada asam empedu dan
lesitin (fosfolipid) pada empedu.
Pada pasien yang cenderung menderita batu empedu akan terjadi penurunan sintesis
asam empedu dan peningkatan sintesis kolesterol pada hati, menyebabkan supersaturasi
getah empedu kolesterol serta mengendap membentuk batu. Getah empedu yang jenuh oleh
kolesterol ialah predisposisi untuk timbulnya batu empedu yang berperan menjadi iritan
yang mengakibatkan peradangan dalam kandung empedu (Nanda, 2020).
7. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada pasien Cholelithiasis adalah (Bini et al.,
2020):
a) Pemeriksan Sinar-X Abdomen
Dapat dilakukan bila terdapat kecurigaan pada penyakit kandung empedu dan untuk
menyingkirkan penyebab gejala yang lain.Tetapi, hanya 15-20% batu empedu yang
mengalami cukup klasifikasi untuk dapat tampak melalui pemeriksaan sinar-X.
b) Ultrasonografi.
Pemeriksaan USG telah menggantikan pemeriksaan kolesistografi oral karena
pemeriksaan USG lebih cepat dan akurat, dan dapat dilakukan pada penderita disfungsi
hati dan ikterus. Pemeriksaan USG juga dapat mendeteksi kalkuli dalam kandung
empedu atau duktus koledokus yang mengalami dilatasi.
8. Penatalaksanaan Medik
Penatalaksanaan medik cholelithiasis (Nurarif & Kusuma, 2013) meliputi:
a) Penanganan Non Bedah
Disolusi Medis
Oral dissolution therapy adalah cara penghancuran batu dengan pemberian
obat-obatan oral. Disolusi medis sebelumnya harus memenuhi kriteria terapi
non operatif diantaranya batu kolestrol diameternya < 20mm dan batu < 4
batu, fungsi kandung empedu baik, dan duktus sistik paten.
b) Penanganan Bedah
Kolesistektomi laparaskopik
Indikasi pembedahan karena menandakan stadium lanjut, atau kandung
empedu dengan batu besar, berdiameter lebih dari 2 cm. Kelebihan yang
diperoleh klien luka operasi kecil (2 - 10mm) sehingga nyeri pasca bedah
minimal.
Kolesistektomi Terbuka
Kolesistektomi adalah suatu tindakan pembedahan dengan cara mengangkat
kandung empedu dan salurannya dengan cara membuka dinding perut
(Sahputra, 2016). Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan
klien dengan cholelithiasis sitomatik. Kolesistektomi bersifat kuratif.
9. Komplikasi
Adapun beberapa jenis komplikasi batu empedu (cholelithiasis) yaitu:
Kolesistis
Kolesistitis adalah peradangan kandung empedu, ketika saluran kandung atau leher
kandung empedu tersumbat atau adanya obstruksi oleh batu empedu yang
menyebabkan infeksi dan peradangan kandung empedu.
Kolangitis
Kolangitis merupakan peradangan pada saluran empedu, yang terjadi karena
adanya infeksi yang menyebar melalui saluran-saluran dari usus kecil setelahnya
saluran-saluran menjadi terhalang oleh batu empedu.
Hidrops
Obstruksi kronis dari kandung empedu dapat menimbulkan hidrops kandung
empedu. Dalam keadaan ini, tidak ada peradangan akut dan sindrom yang berkaitan
dengannya. Hidrops biasanya disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus sehingga
tidak dapat diisi lagi empedu pada kandung empedu yang normal.
Empiema
Pada empiema, kandung empedu berisi nanah. Komplikasi ini dapat
membahayakan jiwa dan membutuhkan kolesistektomi darurat segera.
KONSEP DASAR KEPERAWATAN
3) Hipertermi D.0130
Definisi : Suhu tubuh meningkat di atas rentang normal tubuh
Penyebab : Proses penyakit ( misalnya infeksi, kanker )
Gejala dan Tanda Mayor
a) Subjektif : -
b) Objektif : Suhu tubuh di atas normal
Gejala dan Tanda Minor
a) Subjektif : -
b) Objektif : Kulit merah,takikardi,kulit terasa hangat
Kondisi Klinis Terkait: Proses infeksi
PATOFLOW
DAFTAR PUSTAKA
Hendrik, K. Pola Distribusi Pasien Cholelithiasis di RSU Dr. Soedarso Pontianak Periode Januari 2010
Periode Januari 2010-desember 2011. Jurnal Mahasiswa PSPD FK Universitas Tanjungpura, 1(1).
Fary, M. A. (2020). Karya Tulis Ilmiah Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Cholelithiasis Yang
Dirawat Di Rumah Sakit.
Febyan, F., Dhilion, H. R. S., Ndraha, S., & Tendean, M. (2017). Karakteristik Penderita Cholelithiasis
Berdasarkan Faktor Risiko di Rumah Sakit Umum Daerah Koja. Jurnal Kedokteran Meditek.
PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik (1st ed.).
Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan
Perawat Nasional Indonesia.
PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat
Nasional Indonesia.
Djohan, A., & Bahri, T. (2008). Patofisiologi dan Penatalaksanaan Penyakit Jantung Koroner.
Aldriweesh, M. A., Aljahdali, G. L., Shafaay, E. A., Alangari, D. Z., Alhamied, N. A., Alradhi, H. A.,
Yaqoub, A. S., El-Boghdadly, S., Aldibasi, O. S., & Adlan, A. A. (2020). The Incidence and Risk Factors
of Cholelithiasis Development After Bariatric Surgery in Saudi Arabia: A Two-Center Retrospective
Cohort Study. Frontiers in surgery, 7, 559064.https://doi.org/10.3389/fsurg.2020.559064
Frybova, B., Drabek, J., Lochmannova, J., Douda, L., Hlava, S., Zemkova, D., Mixa, V., Kyncl, M.,
Zeman, L., Rygl, M., & Keil, R. (2018). Cholelithiasis and choledocholithiasis in children; risk factors for
development. PloS one, 13(5), e0196475. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0196475
Murthi, N. D. (2017). Karakteristik Pasien Batu Empedu di RSUP Haji Adam Malik Periode 2012-2015.
(Nurarif & Kusuma, 2016). (2013). Journal of Chemical Information and Modeling.
https://doi.org/10.1017/CB09781107415324.004
Harahap.(2016). Hubungan Gaya Hidup Dengan Kejadian Penyakit Cholelitiasis Di Ruang Rawat Inap
Rsi Surakarta. Naskah Publikasi, 1-18.