Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN

GANGGUAN PENCERNAAN: CHOLELITHIASIS (BATU EMPEDU)

Melvi Rosalina Siagian


152021017

PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
2023
KONSEP DASAR PENYAKIT
1. Anatomi dan Fisiologi
Anatomi kandung empedu

Gambar 2.1
Kandung empedu terbagi menjadi beberapa bagian yaitu:
 Fundus vesikafelea, merupakan bagian kandung empedu yang paling akhir setelah
korpus vesikafelea.
 Korpus vesikafelea, bagian dari kandung empedu yang didalamnya berisi getah
empedu. Getah empedu adalah suatu cairan yang disekeresi setiap hari oleh sel hati
yang dihasilkan setiap hari (500 - 1000 cc), sekresinya berjalan terus menerus,
jumlah produksi meningkat sewaktu mencerna lemak.
 Leher kandung kemih. Merupakan leher dari kandung empedu yaitu saluran yang
pertama masuknya getah empedu ke badan kandung empedu lalu menjadi pekat
berkumpul dalam kandung empedu.
 Duktus sistikus. Panjangnya kurang lebih 3,75 cm. berjalan dari leher kandung
empedu dan bersambung dengan duktus hepatikus membentuk saluran empedu ke
duodenum.
 Duktus hepatikus, saluran yang keluar dari leher.
 Duktus koledokus, saluran yang membawa empedu ke duodenum.

2. Konsep Dasar Medik


1.1.1 Definisi
Kandung empedu (Vesika Felea) adalah kantong yang berbentuk seperti organ
berongga dengan panjang 7-10 cm dan merupakan membran berotot. Terletak dalam suatu
fosa yang menegaskan batas anatomi antara lobus hati kanan dan kiri. Kandung empedu
merupakan kantong otot kecil yang berfungsi untuk menyimpan empedu (cairan
pencernaan berwarna kuning kehijauan yang dihasilkan oleh hati). Terletak didalam fossa
dari permukaan visceral hati.
Kandung empedu merupakan sebuah kantung yang terletak di bawah hati yang
menyimpan empedu sampai dilepaskan ke dalam usus. Fungsi empedu adalah sebagai
ekskresi bilirubin dan sebagai pembantu proses pencernaan melalui emulsifikasi lemak
oleh garam-garam empedu. Dalam perannya membantu proses pencernaan dan penyerapan
lemak, empedu juga akan berperan dalam metabolisme dan pembuangan limbah dari tubuh,
seperti pembuangan hemoglobin yang berasal dari penghancuran sel darah merah, dan
kelebihan kolesterol. Garam empedu membantu akan proses terjadinya penyerapan dengan
cara meningkatkan kelarutan kolesterol, lemak, dan vitamin yang larut dalam lemak
(Musbahi et al., 2019).
Cholelithiasis atau yang dikenal dengan penyakit batu empedu ini merupakan
penyakit terdapat batu empedu di dalam kandung empedu atau dalam duktus koledokus
atau juga terdapat pada keduanya. Cholelithiasis adalah material atau kristal yang terbentuk
di dalam kandung empedu. Cholelithiasis atau batu empedu merupakan suatu pembentukan
batu yang berada di dalam kandung empedu yang terbentuk dari satu atau lebih endapan
berbagai jenis material seperti kolesterol, bilirubin, protein, garam empedu, dan asam
lemak (Hasanah, 2015).

3. Klasifikasi
Batu kandung empedu dapat diklasifikasi berdasarkan penampilan, struktur,
kandungan komponen, struktur mikro, komposisi, dan distribusi unsur. Batu empedu dapat
berbeda bentuknya berdasarkan ukuran dari yang paling halus seperti pasir kurang dari 1
mm - 4 cm diameternya. Batu empedu dikelompokkan berdasarkan 2 jenis tipe utama dan
sisanya adalah tipe jenis lain. 2 tipe utama batu empedu adalah batu empedu kolesterol dan
batu empedu berpigmen.
1. Batu empedu kolesterol
Mengandung 70% kristal kolesterol, sedangkan sisanya kalsium karbonat dan
kalsium bikarbonat. Bentukmya bervariasi dan hampir selalu berbentuk di dalam
kandung empedu. Permukaannya licin atau multifaset, bulat, dan berduri. Proses
pembentukan batu ini melalui empat tahap yaitu penjenuhan empedu oleh
kolesterol, pembentukan nidus atau sarang, kristalisasi, dan pertumbuhan batu.

2. Batu kalsium bilirubinan (pigmen coklat)


Batu ini mengandung 25% kolesterol. Batu yang tidak banyak variasi ini sering
ditemukan dalam bentuk tidak teratur, kecil-kecil, berjumlah banyak, dan
warnanya bervariasi antara cokelat, kemerahan, sampai hitam. Batu ini berbentuk
seperti lumpur atau tanah yang rapuh dan juga sering ditemukan dalam ukuran
besar, karenan terjadi penyatuan dari batu-batu kecil.

 Fisiologi
Empedu merupakan produk hati, yaitu cairan yang mengandung mucus, memiliki
warna kuning kehijauan dan mempunyai reaksi basa. Komposisi dalam empedu adalah
garam-garam empedu, pigmen empedu, kolesterol, lesitin, lemak, dan garam organik.
Pigmen empedu terdiri dari bilirubin dan biliverdin. Saat terjadinya kerusakan pada
butiran-butiran darah merah terurai menjadi globin dan bilirubin, ini menyebabkan pigmen
yang tidak memiliki suatu unsur besi lagi.
Kandung empedu sendiri dapat menyimpan 40-60 ml empedu. Empedu disimpan
dalam kantung empedu selama periode interdigestif dan diantarkan ke duodenum setelah
rangsangan makanan. Aliran cairan empedu diatur oleh 3 faktor, yaitu sekresi empedu oleh
hati, kontraksi kandung empedu, dan tahanan juga sfingter koledokus. Empedu memiliki
fungsi, yaitu membantu pencernaan dan penyerapan lemak, juga berperan membantu
pembuangan limbah esklusif yang berasal dari tubuh, terutamanya hemoglobin yang
berasal dari penghancuran sel darah merah serta kelebihan kolesterol. Garam empedu
meningkatkan kelarutan kolesterol, lemak, serta vitamin yang larut dalam lemak buat
membantu proses penyerapan.
Garam empedu merangsang pelepasan air oleh usus besar untuk membantu
menggerakan bilirubin (pigmen utama dari empedu) dibuang kedalam empedu sebagai
limbah dari sel darah merah yang dihancurkan, serta obat dan limbah lainnya dibuang
dalam empedu dan selanjutnya dibuang berasal dari tubuh. Garam empedu kembali diserap
kedalam usus halus, disuling oleh hati, dan dialirkan kembali kedalam empedu. Aliran ini
dikenal sebagai peredaran enterohepatik. Semua garam empedu pada dalam tubuh
mengalami aliran sebesar 10-12x/hari. Dalam setiap aliran, sejumlah kecil garam empedu
masuk ke dalam kolon. Pada kolon, bakteri memecah garam empedu menjadi berbagai
unsur pokok. Beberapa berasal unsur pokok ini diserap kembali serta sisanya dibuang
bersama tinja. Hanya lebih kurang 5% asal asam empedu yang disekresikan pada feses
(Cahyono, 2014).

4. Etiologi/ Faktor Resiko


1) Etiologi
Batu empedu biasanya selalu dibentuk dalam kandung empedu serta jarang sekali
dibentuk di bagian saluran empedu lainnya. Etiologi cholelithiasis atau dikenal dengan batu
empedu masih belum diketahui, akan tetapi ada beberapa fakta yang dapat mempengaruhi
pembentukan batu empedu, di antaranya:
 Kandungan kolesterol yang tinggi di dalam empedu
Hati merupakan organ yang memproduksi empedu serta disimpan dalam kandung
empedu. Biasanya kolesterol akan disekresikan oleh hati lalu akan larut dalam
cairan kimia yang ada di dalam kandung empedu. Jika jumlah produksi kolesterol
lebih tinggi dari yang seharusnya, ini akan menyebabkan empedu tidak dapat
mengontrol jumlah kolesterol didalam kandung empedu yang pada akhirnya
kolesterol akan terakumulasi didalam kandung empedu dan menjadi keras.
Akibatnya terbentuk batu yang biasa dikenal sebagai batu kolesterol.

 Kandung empedu tidak dikosongkan secara teratur


Kandung empedu harus dalam keadaan kosong ketika seseorang selesai makan. Ini
karena empedu akan disalurkan melaui ductus sistikus ke lambung untuk proses
pencernaan. Jika empedu tidak dalam keadan dikosongkan seluruhnya, akan
mengakibatkan empedu menjadi keras dan dapat menyebabkan terbentuknya batu
empedu.

 Kandungan bilirubin yang tinggi di dalam empedu


Bilirubin adalah suatu bahan kimia yang diproduksi saat tubuh memecah sel darah
merah. Ada beberapa kondisi yang dapat mengakibatkan hati memproduksi
bilirubin yang tinggi dari seharusnya seperti serosis hati, infeksi traaktus biliari
dan beberapa varietas kondisi darah. Misalnya saat sel darah merah yang sudah tua
dikeluarkan dari aliran darah oleh limpa, akan melepaskan hemoglobin berpigmen
merah. Hemoglobin ini akan berkonversi menjadi cairan empedu pigmen kuning
yang kemudian akan dikeluarkan oleh hati dan dilepaskan dalam empedu. Tetapi
jika tubuh mengeluarkan sel darah merah yang berlebihan atau yang biasa disebut
dengan hemolysis, maka bilirubin akan diproduksi secara berlebihan yang
memakibatkan terbentunya batu empedu berpigmen.

2) Faktor risiko
Faktor risiko yang sering ditemui pada kejadian Cholelithiasis dikenal dengan “6F”
(Fat, Female, Forty, Food, Fertile, and Family history).
 Fat (gemuk)
Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi untuk
terjadi cholelithiasis. Dikarenakan dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol
dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurasi garam empedu serta
mengurangi kontraksi/pengosongan kandung empedu.

 Female (perempuan)
Wanita mempunyai risiko dua kali lipat untuk terkena cholelithiasis dibandingkan
dengan pria dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap peningkatan
eskresi kolesterol oleh kandung empedu.

 Forty (usia > 40 tahun)


Risiko untuk terkena cholelithiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia.
Orang dengan usia > 40 tahun lebih cenderung terkena cholelithiasis dibandingkan
dengan orang dengan usia yang lebih muda. Dikarenakan semakin meningkat usia,
prevalensi batu empedu semakin tinggi. Hal ini disebabkan oleh batu empedu
sangat jarang mengalami disolusi spontan, meningkatnya sekresi kolesterol ke
dalam empedu sesuai dengan bertambahnya usia, serta empedu menjadi semakin
litogenik bila usia semakin bertambah.

 Food (makanan)
Konsumsi makanan yang mengandung lemak terutama lemak hewani berisiko
untuk menderita cholelithiasis. Kolesterol merupakan komponen dari lemak. Jika
kadar kolesterol yang terdapat dalam cairan empedu melebihi batas normal, cairan
empedu dapat mengendap dan lama-kelamaan menjadi batu. Intake rendah klorida,
kehilangan berat badan yang cepat mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia
dari empedu dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.

 Fertile (kehamilan)
Khususnya selama kehamilan akan menyebabkan peningkatan kadar estrogen yang
juga akan membuat meningkatnya kadar kejenuhan kolesterol dalam empedu, hal
ini yang dapat menyebabkan terjadinya cholelithiasis.

 Family history (riwayat keluarga)


Adanya riwayat keluarga yang memiliki penyakit cholelithiasis juga akan
menyebabkan anggota lainnya terkena cholelithiasis.

5. Patofisiologi
Terdapat dua tipe utama batu empedu yaitu batu yang terutama tersusun dari pigmen
dan tersusun berasal dari kolesterol. Batu pigmen, akan terbentuk jika pigmen yang
terkonjugasi dalam empedu mengalami presipitasi atau pengendapan, sebagai akibatnya
terjadi batu. Risiko terbentuknya batu semacam ini semakin besar pada pasien sirosis,
hemolysis, dan infeksi percabangan bilier. Batu ini tidak bisa dilarutkan dan hanya
dimuntahkan dengan jalan operasi. Batu kolesterol, artinya unsur normal pembentuk
empedu bersifat tak larut dalam air. Kelarutannya bergantung pada asam empedu dan
lesitin (fosfolipid) pada empedu.
Pada pasien yang cenderung menderita batu empedu akan terjadi penurunan sintesis
asam empedu dan peningkatan sintesis kolesterol pada hati, menyebabkan supersaturasi
getah empedu kolesterol serta mengendap membentuk batu. Getah empedu yang jenuh oleh
kolesterol ialah predisposisi untuk timbulnya batu empedu yang berperan menjadi iritan
yang mengakibatkan peradangan dalam kandung empedu (Nanda, 2020).

6. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala cholelithiasi (Nurarif dan Kusuma, 2013) adalah:
a. Sebagian bersifat asimtomatik.
b. Nyeri tekan kuadran kanan atas atau midepigastrik samar yang menjalar ke
punggung atau region bahu kanan.
c. Sebagian klien rasa nyeri bukan bersifat kolik melainkan persisten.
d. Mual dan muntah serta demam.
e. Icterus obstruksi pengaliran getah empedu ke dalam duodenum akan menimbulkan
gejala yang khas, yaitu: getah empedu yang tidak lagi dibawa ke dalam duodenum
akan diserap oleh darah dan penyerapan empedu ini membuat kulit dan membran
mukosa berwarna kuning. Keadaan ini sering disertai dengan gejala gatal pada kulit.
f. Perubahan warna urine dan feses. Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan
membuat urine berwarna sangat gelap. Feses yang tidak lagi diwarnai oleh pigmen
empedu akan tampak kelabu, dan biasanya pekat yang disebut “clay colored”.
g. Regurgitas gas: flatus dan sendawa.
h. Defisiensi vitamin. Obstruksi aliran empedu juga akan mengurangi absorbsi vitamin
A, D, E, K yang larut lemak. Karena itu klien dapat memperlihatkan gejala defisiensi
vitamin-vitamin ini jika obstruksi atau sumbatan berlangsumg lama.

7. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada pasien Cholelithiasis adalah (Bini et al.,
2020):
a) Pemeriksan Sinar-X Abdomen
Dapat dilakukan bila terdapat kecurigaan pada penyakit kandung empedu dan untuk
menyingkirkan penyebab gejala yang lain.Tetapi, hanya 15-20% batu empedu yang
mengalami cukup klasifikasi untuk dapat tampak melalui pemeriksaan sinar-X.

b) Ultrasonografi.
Pemeriksaan USG telah menggantikan pemeriksaan kolesistografi oral karena
pemeriksaan USG lebih cepat dan akurat, dan dapat dilakukan pada penderita disfungsi
hati dan ikterus. Pemeriksaan USG juga dapat mendeteksi kalkuli dalam kandung
empedu atau duktus koledokus yang mengalami dilatasi.

c) Pemeriksaan pencitraan radionuklida atau koleskintografi.


Koleskintografi menggunakan preparat radioaktif yang disuntikkan secara intravena.
Preparat ini kemudian akan diambil oleh hepatosit dan dengan cepat diekskresikan ke
dalam sistem bilier. Selanjutnya dilakukan pemindaian saluran empedu untuk
mendapatkan gambar kandung empedu dan percabangan bilier.

d) ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography)


Pemeriksaan ini meliputi insersi endoskop serat-optim yang fleksibel ke dalam
eksofagus hingga mencapai duodenum pars desendens. Sebuah kanul dimasukkan ke
dalam duktus koledokus serta duktus pankreatikus, kemudian bahan kontras
disuntikkan ke dalam duktus tersebut untuk memungkinkan visualisasi langsung
struktur bilier dan memudahkan akses ke dalam duktus koledokus bagian distal untuk
mengambil empedu.

e) Kolangiografi Transhepatik Perkutan


Pemeriksaan dengan cara menyuntikkan bahan kontras langsung ke dalam percabangan
bilier. Karena konsentrasi bahan kontras yang disuntikkan itu relatif besar, maka semua
komponen pada sistem bilier (duktus hepatikus, duktus koledokus, duktus sistikus dan
kandung empedu) dapat dilihat garis bentuknya dengan jelas.

f) MRCP (Magnetic Resonance Cholangiopancreatography),


Merupakan teknik pencitraan dengan gema magnet tanpa menggunakan zat kontras,
instrumen, dan radiasi ion. Pada MRCP saluran empedu akan terlihat sebagai struktur
yang terang karena mempunyai intensitassinyal tinggi, sedangkan batu saluran empedu
akan terlihat sebagai intensitas sinyal rendah yang dikelilingi empedu dengan intensitas
sinyal tinggi, sehingga metode ini cocok untuk mendiagnosis batu saluran empedu.

8. Penatalaksanaan Medik
Penatalaksanaan medik cholelithiasis (Nurarif & Kusuma, 2013) meliputi:
a) Penanganan Non Bedah
 Disolusi Medis
Oral dissolution therapy adalah cara penghancuran batu dengan pemberian
obat-obatan oral. Disolusi medis sebelumnya harus memenuhi kriteria terapi
non operatif diantaranya batu kolestrol diameternya < 20mm dan batu < 4
batu, fungsi kandung empedu baik, dan duktus sistik paten.

 ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography)


Batu di dalam saluran empedu dikeluarkan dengan basket kawat atau balon
ekstraksi melalui muara yang sudah besar menuju lumen duodenum sehingga
batu dapat keluar bersama tinja. Untuk batu besar, batu yang terjepit di
saluran empedu atau batu yang terletak di atas saluran empedu yang sempit
diperlukan prosedur endoskopik tambahan sesudah sfingerotomi seperti
pemecahan batu dengan litotripsi mekanik dan litotripsi laser.

 ESWL (Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy)


Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL) adalah pemecahan batu dengan
gelombang suara.

b) Penanganan Bedah
 Kolesistektomi laparaskopik
Indikasi pembedahan karena menandakan stadium lanjut, atau kandung
empedu dengan batu besar, berdiameter lebih dari 2 cm. Kelebihan yang
diperoleh klien luka operasi kecil (2 - 10mm) sehingga nyeri pasca bedah
minimal.

 Kolesistektomi Terbuka
Kolesistektomi adalah suatu tindakan pembedahan dengan cara mengangkat
kandung empedu dan salurannya dengan cara membuka dinding perut
(Sahputra, 2016). Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan
klien dengan cholelithiasis sitomatik. Kolesistektomi bersifat kuratif.

9. Komplikasi
Adapun beberapa jenis komplikasi batu empedu (cholelithiasis) yaitu:
 Kolesistis
Kolesistitis adalah peradangan kandung empedu, ketika saluran kandung atau leher
kandung empedu tersumbat atau adanya obstruksi oleh batu empedu yang
menyebabkan infeksi dan peradangan kandung empedu.
 Kolangitis
Kolangitis merupakan peradangan pada saluran empedu, yang terjadi karena
adanya infeksi yang menyebar melalui saluran-saluran dari usus kecil setelahnya
saluran-saluran menjadi terhalang oleh batu empedu.
 Hidrops
Obstruksi kronis dari kandung empedu dapat menimbulkan hidrops kandung
empedu. Dalam keadaan ini, tidak ada peradangan akut dan sindrom yang berkaitan
dengannya. Hidrops biasanya disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus sehingga
tidak dapat diisi lagi empedu pada kandung empedu yang normal.
 Empiema
Pada empiema, kandung empedu berisi nanah. Komplikasi ini dapat
membahayakan jiwa dan membutuhkan kolesistektomi darurat segera.
KONSEP DASAR KEPERAWATAN

2.1. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


2.1.1 Pengkajian
a) Identitas pasien
Meliputi: nama, umur, jenis kelamin, agama, alamat, tanggal lahir, pekerjaan,
pendidikan, tanggal masuk rumah sakit, tanggal pengkajian, diagnosis medik.
b) Identitas penanngung jawab
Meliputi: nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat,
hubungan dengan pasien.
c) Keluhan utama
Merupakan keluhan yang paling utama dirasakan oleh pasien saat pengkajian.
Biasanya keluhan utama yang klien rasakan adalah nyeri abdomen pada kuadran
kanan atas.
d) Riwayat Kesehatan:
a. Riwayat keluarga sekarang
Merupakan pengembangan diri dari keluhan utama pasien melalui metode
PQRST, paliatif atau provokatif (P) yaitu fokus utama keluhan pasien,
quality atau kualitas (Q) yaitu bagaimana nyeri dirasakan oleh pasien,
regional (R) yaitu nyeri menjalar kemana, Safety (S) yaitu posisi yang
bagaimana yang dapat mengurangi nyeri atau klien merasa nyaman dan
Time (T) yaitu sejak kapan klien merasakan nyeri tersebut.
b. Riwayat kesehatan dahulu
Kaji apakah pasien pernah menderita penyakit sebelumnya dan kapan
terjadi. Biasanya klien memiliki riwayat penyakit gastrointestinal
c. Riwayat kesehatan keluarga
Kaji apakah ada anggota keluarga yang memiliki penyakit serupa dengan
pasien, penyakit turunan maupun penyakit kronik.
e) Pemeriksaan fisik
f) Keadaan Umum:
a. Penampilan Umum: Mengkaji tentang berat badan dan tinggi badan klien
b. Kesadaran: Kesadaran mencakup tentang kualitas dan kuantitas keadaan
klien.
c. Tanda-tanda Vital: Mengkaji mengenai tekanan darah, suhu, nadi dan
respirasi (TPRS).
g) Sistem endokrin
Mengkaji tentang keadaan abdomen dan kantung empedu. Biasanya pada penyakit
ini kantung empedu dapat terlihat dan teraba oleh tangan karena terjadi
pembengkakan pada kandung empedu.
h) Pola aktivitas
i) Nutrisi: Dikaji tentang porsi makan, nafsu makan
j) Aktivitas: Dikaji tentang aktivitas sehari-hari, kesulitan melakukan aktivitas dan
anjuran bedrest
k) Aspek psikologis: Kaji tentang emosi, pengetahuan terhadap penyakit, dan suasana
hati.
l) Aspek penunjang
Hasil pemeriksaan Laboratorium (bilirubin, amylase serum meningkat), obat-
obatan satu terapi sesuai dengan anjuran dokter.
m) Tingkat pengetahuan
Pada keluarga juga pada kehamilan cenderung mengalami batu kandung empedu.
Juga pada riwayat DM dan gangguan / peradangan pada saluran cerna bagian
bawah.

2.1.2 Diagnosis Keperawatan


Diagnosis Keperawatan yang biasa muncul pada klien Cholelithiasis dan mengalami
pembedahan adalah:
Masalah keperawatan pada Pre operatif :
a. Nyeri akut ditandai dengan nyeri tekan pada abdomen atas
b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri.
c. Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit.
d. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan mencerna makanan.
e. Risiko Hipovolemi dibuktikan dengan ouput volume cairan meningkat.

Masalah keperawatan pada Post operatif :


a. Nyeri akut berhubungan dengan prosedur operasi.
b. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri.
c. Resiko infeksi dibuktikan dengan efek prosedur invasif.
Diagnosa yang timbul bagi pasien,dengan menggunakan Standar Diagnosis Keperawatan
Indonesia (PPNI, 2017):
1) Nyeri akut D.0077
 Penyebab: Agen pencedera fisiologis (misalnya inflamasi, iskemia,
neoplasma)
 Gejala dan Tanda Mayor:
a) Subjektif : Mengeluh Nyeri
b) Objektif : Tampak meringis, bersikap protektif, gelisah, frekuensi nadi
meningkat, sulit tidur
 Gejala dan Tanda Minor:
a) Subjektif : tidak ada
b) Objektif : Tekanan darah meningkat, pola nafas berubah, nafsu makan
berubah, proses berfikir terganggu, menarik diri, berfokus pada diri sendiri,
diaforesis.
 Kondisi Klinis Terkait: Infeksi

2) Gangguan mobilitas fisik D.0054


 Penyebab: Nyeri
 Gejala dan Tanda Mayor
a) Subjektif : Mengeluh sulit menggerakan ekstremitas
b) Objektif : Kekuatan otot menurun,rentang gerak menurun
 Gejala dan Tanda Minor
a) Subjektif : Nyeri saat bergerak,enggan melakukan pergerakan, merasa
cemas saat bergerak
b) Objektif :Sendi kaku,gerakan tidak terkoordinasi.gerakan terbatas fisik
lemah.

3) Hipertermi D.0130
 Definisi : Suhu tubuh meningkat di atas rentang normal tubuh
 Penyebab : Proses penyakit ( misalnya infeksi, kanker )
 Gejala dan Tanda Mayor
a) Subjektif : -
b) Objektif : Suhu tubuh di atas normal
 Gejala dan Tanda Minor
a) Subjektif : -
b) Objektif : Kulit merah,takikardi,kulit terasa hangat
 Kondisi Klinis Terkait: Proses infeksi

4) Risiko hipovolemia D.0034


 Penyebab: Kehilangan cairan secara aktif, kekurangan intake cairan
 Kondisi klinis terkait: Muntah, diare, kolitis ulseratif

2.2.3 Rencana Keperawatan

No Diagnosa (SDKI) Tujuan-Kriteria Hasil (SLKI) Intervensi (SIKI)


1. Nyeri akut ditandai Tingkat nyeri menurun Manajemen Nyeri
dengan nyeri tekan
Kriteria hasil: Observasi:
pada abdomen atas
Kemampuan memuntaskan aktivitas - Identifikasi lokasi,karakteristik, durasi
meningkat: 4 - Identifikasi nyeri
Keluhan nyeri menurun: 4 - Identifikasi respons nyeri non verbal
- Identifikasi factor yang mem- perberat dan
Meringis menurun: 4 memperingan nyeri
Sikap protektif menurun: 4 - Identifikasi pengetahuan dan keyakinan
tentang nyeri
Gelisah menurun: 4
- Identifikasi pengaruh budaya terhadap
Kesulitan tidur menurun: 5 respon nyeri
Berfokus pada diri sendiri menurun: 4 - Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas
hidup
Diaforesis menurun: 4 - Monitor keberhasilan terapi komplemeter
Perasaan takut mengalami cidera berulang yang sudah diberikan
menurun: 4 - Monitor efek samping penggunaan
analgetik
Anoreksia menurun: 5
Terapeutik:
Ketegangan otot menurun: 5
- Berikan Teknik non-farmakologis untuk
Muntah menurun: 4 mengurangi rasa nyeri (mis, TENS,
Mual menurun: 4 hipnotis, akupresur, terapi music,
biofeedback, terapi pijat, aromaterapi,
Frekuensi nadi membaik: 4 teknik imajinasi terbimbing, kompres air
Pola napas membaik: 5 hangat/dingin, terapi bermain)
- Kontrol lingkungan yang memperberat rasa
Tekanan darah membaik: 5
nyeri (mis, suhu ruangan, pencahayaan,
Fokus membaik: 4 kebisingan).
Fungsi berkemih membaik: 4 - Fasilitas istirahat dan tidur.
Perilaku membaik: 4 Edukasi:
Nafsu makan membaik: 5 - Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu
Pola tidur membaik: 4 nyeri.
- Jelaskan strategi meredakan nyeri.
- Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri.
- Anjurkan menggunakan analgetik secara
tepat.
- Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
men untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi:
- Kolaborasi pemberian analgetik
2. Gangguan mobilitas Mobilitas fisik meningkat Dukungan mobilitas
fisik berhubungan
Kriteria hasil: Observasi:
dengan nyeri
Pergerakan ekstremitas meningkat: 5 - Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik
Kekuatan otot meningkat: 5 lainnya
- Identifikasi toleransi fisik melakukan
Rentang gerak (ROM) meningkat: 5 ambulasi
Nyeri menurun: 5 - Monitor frekuensi jantung dan tekanan
darah sebelum memulai ambulasi
Kecemasan menurun: 5 - Monitor kondisi umum selama melakukan
Gerakan tidak terkoordinasi menurun: 5 ambulasi
Gerakan terbatas menurun: 5 Terapeutik:
Kelemahan fisik menurun: 4 - Fasilitasi aktivitas ambulasi dengan alat
bantu
- Fasilitasi melakukan mobilisasi fisik
- Libatkan keluarga untuk membantu pasien
dalam meningkatkan ambulasi
Edukasi:
- Jelaskan tujuan dan prosedur ambulasi
- Anjurkan melakukan ambulasi dini
- Ajarkan ambulasi sederhana yang harus
dilakukan
3. Hipertermi Termoregulasi membaik Manajemen Hipertermia
berhubungan dengan
Kriteria hasil: Observasi:
proses penyakit
Menggigil menurun: 5 - Identifikasi penyebab hipertermia (mis.
Kulit merah menurun: 5 Dehidrasi, terpapar lingkungan panas,
penggunaan incubator).
Akrasianosis menurun: 5 - Monitor suhu tubuh.
Pucat menurun: 5 - Monitor kadar elektrolit.
- Monitor haluan urine.
Kejang menurun: 5 - Monitor komplikasi akibat hipertermia.
Suhu tubuh membaik: 5 Terapeutik:
Suhu kulit membaik: 5 - Sediakan lingkungan yang dingin.
Kadar glukosa darah membaik: 5 - Longgarkan atau lepaskan pakaian.
- Basahi dan kipasi permukaan tubuh.
Pengisian kapiler membaik: 5 - Berikan cairan oral.
Ventilasi membaik: 5 - Ganti linen setiap hari atau lebih sering jika
terjadi hyperhidrosis (keringat berlebih)
Tekanan darah membaik: 5
- Lakukan pendingian eksternal (mis. selimut
hipotermia atau kompres dingin pada dahi,
leher, dada, abdomen, aksila)
- Hindari pemberian antipiretik dan aspirin.
- Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi:
- Anjurkan tirah baring
Kolaborasi:
- Kolaborasi pemberian cairan dan elektrolit
intravena
4 Risiko hipovolemi Status cairan membaik Manajemen hipovolemia
dibuktikan dengan
Kriteria hasil: Observasi:
ouput volume cairan
meningkat. Turgor kulit meningkat: 4 - Periksa tanda dan gejala hipovolemia
Dispnea menurun: 4 - Monitor intake dan output cairan

Keluhan haus menurun: 5 Terapeutik:

Tekanan darah membaik: 5 - Hitung kebutuhan cairan


- Berikan asupan cairan oral
Membran mukosa membaik: 4
Edukasi:
Intake cairan membaik: 5
- Anjurkan memperbanyak asupan cairan
Status mental membaik: 5 oral
Suhu tubuh membaik: 5 Kolaborasi:
Oliguria membaik: 4 - Pemberian cairan IV isotonis
- Pemberian cairan IV hipotonis
- Pemberian cairan koloid
- Pemberian produk darah
4. Pelaksanaan Keperawatan
Implementasi merupakan tahap ke empat dari proses keperawatan yang dimulai setelah
perawat menyusun rencana keperawatan (Potter & Perry, 2010).
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perawat
untuk membantu pasien dari masalah status kesehatan yang dihadapi kestatus kesehatan yang
baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan. Proses pelaksanaan implementasi
harus berpusat kepada kebutuhan pasien, faktor-faktor lain yang mempengaruhi kebutuhan
keperawatan, strategi implementasi keperawatan, dan kegiatan komunikasi (Dinarti & Muryanti,
2017)
5. Evaluasi keperawatan
Evaluasi merupakan langkah akhir dari proses keperawatan. Evaluasi adalah kegiatan
yang disengaja dan terus menerus dengan melibatkan pasien, perawat dan anggota tim kesehatan
lainnya (Padila, 2012).
Menurut Setiadi (2012) dalam buku Konsep & penulisan Asuhan Keperawatan, Tahap
evaluasi adalah perbandingan yang sistematis dan terencana tentang kesehatan pasien dengan
tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara berkesinambungan dengan melibatkan
pasien, keluarga, dan tenaga kesehatan lainnya. Tujuan evaluasi adalah untuk melihat
kemampuan pasien dalam mencapai tujuan yang disesuaikan dengan kriteria hasil pada tahap
perencanaan (Setiadi, 2012).

PATOFLOW
DAFTAR PUSTAKA

Hendrik, K. Pola Distribusi Pasien Cholelithiasis di RSU Dr. Soedarso Pontianak Periode Januari 2010
Periode Januari 2010-desember 2011. Jurnal Mahasiswa PSPD FK Universitas Tanjungpura, 1(1).
Fary, M. A. (2020). Karya Tulis Ilmiah Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Cholelithiasis Yang
Dirawat Di Rumah Sakit.
Febyan, F., Dhilion, H. R. S., Ndraha, S., & Tendean, M. (2017). Karakteristik Penderita Cholelithiasis
Berdasarkan Faktor Risiko di Rumah Sakit Umum Daerah Koja. Jurnal Kedokteran Meditek.
PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik (1st ed.).
Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan
Perawat Nasional Indonesia.
PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat
Nasional Indonesia.
Djohan, A., & Bahri, T. (2008). Patofisiologi dan Penatalaksanaan Penyakit Jantung Koroner.
Aldriweesh, M. A., Aljahdali, G. L., Shafaay, E. A., Alangari, D. Z., Alhamied, N. A., Alradhi, H. A.,
Yaqoub, A. S., El-Boghdadly, S., Aldibasi, O. S., & Adlan, A. A. (2020). The Incidence and Risk Factors
of Cholelithiasis Development After Bariatric Surgery in Saudi Arabia: A Two-Center Retrospective
Cohort Study. Frontiers in surgery, 7, 559064.https://doi.org/10.3389/fsurg.2020.559064
Frybova, B., Drabek, J., Lochmannova, J., Douda, L., Hlava, S., Zemkova, D., Mixa, V., Kyncl, M.,
Zeman, L., Rygl, M., & Keil, R. (2018). Cholelithiasis and choledocholithiasis in children; risk factors for
development. PloS one, 13(5), e0196475. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0196475
Murthi, N. D. (2017). Karakteristik Pasien Batu Empedu di RSUP Haji Adam Malik Periode 2012-2015.
(Nurarif & Kusuma, 2016). (2013). Journal of Chemical Information and Modeling.
https://doi.org/10.1017/CB09781107415324.004
Harahap.(2016). Hubungan Gaya Hidup Dengan Kejadian Penyakit Cholelitiasis Di Ruang Rawat Inap
Rsi Surakarta. Naskah Publikasi, 1-18.

Anda mungkin juga menyukai