Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PENDAHULUAN

CHOLELITHIASIS

Oleh :
Ardi Rama Lukita
23614901006

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


JURUSAN KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BORNEO TARAKAN
TAHUN 2023

1
LAPORAN PENDAHULUAN
CHOLELITHIASIS

1. ANATOMI FISIOLOGI KANDUNG EMPEDU


1.1 Anatomi Kandung Empedu
Kandung empedu berbentuk bulat lonjong seperti buah alpukat dengan panjang
sekitar 4-6 cm dan berisi 30-60 ml empedu. Bagian fundus umumnya menonjol
sedikit ke luar tepi hati, di bawah lengkung iga kanan, di tepi lateral m. Rektus
abdominis. Sebagian besar korpus menempel dan tertanam di dalam jaringan hati.
Kandung empedu tertutup seluruhnya oleh peritoneum viseral, tetapi infundibulum
kandung empedu tidak terfiksasi ke permukaan hati oleh lapisan peritonium. Apabila
kandung empedu mengalami distensi akibat bendungan oleh batu, bagian
infundibulum menonjol seperti kantong yang disebut kantong hartmann. Duktus
sistikus panjangnya 1-2 cm dengan diameter 2-3 mm. Dinding lumennya
mengandung katup berbentuk spiral disebut katup spiral heister, yang memudahkan
cairan empedu mengalir masuk ke dalam kandung empedu, tetapi menahan aliran
keluarnya.
Saluran empedu ekstrahepatik terletak di dalam ligamentum hepatoduodenale
yang batas atasnya porta hepatis, sedangkan batas bawahnya distal papilla vater.
Bagian hulu saluran empedu intrahepatik berpangkal dari saluran paling kecil yang
disebut kanilikulus empedu yang meneruskan curahan sekresi empedu melalui
duktus interlobaris ke duktus lobaris, dan selanjutnya ke duktus hepatikus di hillus.
Panjang duktus hepatikus kanan dan kiri masing-masing antara 1-4 cm.
Panjang duktus hepatikus komunis sangat bervariasi, bergantung pada letak muara
duktus sistikus. Duktus koledokus berjalan di belakang duodenum menembus
jaringan pankreas dan dinding duodenum membentuk papilla vater yang terletak di
sebelah medial dinding duodenum. Ujung distalnya dikelilingi oleh otot sfingter
Oddi, yang mengatur aliran empedu kedalam duodenum. Duktus pankreatikus
umumnya bermuara di tempat yang sama dengan duktus koledokus di dalam papilla
vater, tetapi juga dapat terpisah. Sering ditemukan variasi anatomi kandung empedu,
saluran empedu, dan pembuluh arteri yang memperdarahi kandung empedu dan hati.
Variasi yang kadang ditemukan dalam bentuk luas ini, perlu diperhatikan para ahli

2
bedah untuk menghindari komplikasi pembedahan, seperti perdarahan atau cedera
pada duktus hepatikus atau duktus koledokus.

1.2 Fisiologi Produksi Empedu


Sebagai bahan sekresi, empedu mempunyai tiga fungsi utama. Yang pertama,
garam empedu, fosfolipid dan kolesterol beragregasi di dalam empedu untuk
membentuk micelles campuran. Dengan emulsifikasi, kompleks micelles ini
memungkinkan absorpsi lemak dan vitamin yang larut dalam lemak (A,D, E, K)
yang ada di dalam usus. Absorpsi mineral tertentu (kalsium, tembaga, besi) juga
dipermudah. Kedua, empedu bertindak sebagai vehicle untuk ekskresi usus bagi
banyak senyawa yang dihasilkan secara endogen dan eksogen (seperti bilirubin).
Ketiga, sebagian dengan menetralisir asam lambung, empedu membantu
mempertahankan lingkungan alkali yang tepat di dalam duodenum, yang dengan
adanya garam empedu, memungkinkan aktivitas maksimum enzim pencernaan
sesudah makan.
Normlanya hepatosit dan saluran empedu menghasilkan 500-1500 ml empedu
tiap harinya. Produksi empedu merupakan proses kontinyu yang hanya sebagian
menjadi sasaran regulasi saraf, hormon dan humoral. Masukan (input) vagus bekerja
langsung pada sel saluran empedu untuk meningkatkan seksresi air dan elektrolit,
sedangkan aktivitas simpatis splanknikus cenderung menghambat produksi empedu
secara tidak langsung dengan menurunkan aliran darah ke hati. Hormon
gastrointestinal kolesistokinin (CCK), sekretin dan gastrin memperkuat sekresi

3
duktus dan aliran empedu dalam respon terhadap makanan. Garam empedu sendiri
bertindak sebagai koleretik kuat selama masa sirkulasi enterohepatik yang dinaikkan.
Sekresi aktif garam empedu oleh hepatosit merupakan faktor utama yang
meregulasi volume empedu yang disekresi. Air dan elektrolit mengikuti secara pasif
sepanjang perbedaan osmolar untuk mempertahankan netralitas. Ekskresi lesitin dan
kolesterol ke dalam kanalikuli untuk membentuk micelles campuran, sulit dipahami
dan bisa digabung dengan sekresi garam empedu melintasi membrana kanalikulus.
Sistem transpor aktif terpisah dan berbeda menimbulkan sekresi bilirubin dan anion
organik lain. Sel duktulus meningkatkan sekresi empedu dengan memompakan
natrium dan bikarbonat ke dalam lumen.
Empedu dieksresi secara kontinyu oleh hati ke dalam saluran empedu. Selama
puasa, kontraksi tonik sfingter oddi menyebabkan empedu refluks kedalam vesika
biliaris, tempat dimana empedu disimpan dan dipekatkan. Disini garam empedu,
pigmen empedu dan kolesterol dipekatkan sebanyak sepuluh kali lipat oleh absorpsi
air dan elektrolt. Sekitar 50% kumpulan garam empedu dalam vesika biliaris selam
puasa. Tunika mukosa vesika biliaris juga mensekresi mukus yang bisa melakukan
fungsi perlindungan. Dengan makan, CCK dilepaskan oleh lemak dan dalam jumlah
kecil oleh asam amino yang memasuki duodenum; CCK merangsang kontraksi
vesika biliaris dan relaksasi sfingter oddi. Bila tekanan dalam duktus koledokus
melebihi tahanan mekanisme sfingter (15 sampai 20 cm H2O), maka empedu
memasuki lumen duodenum. Masukan (input) vagus memudahkan tonus dan
kontraksi vesika biliaris; setelah vagotomi, bila timbul stasis relatif dan merupakan
predisposisi pembentukan batu empedu. Setelah kolesistektomi, aliran empedu ke
dalam duodenum diregulasi hanya oleh sfingter.

4
CHOLELITHIASIS

A. Definisi
Kolelitiasis adalah batu empedu yang terletak pada saluran empedu yang
disebabkan oleh faktor metabolik antara lain terdapat garam-garam empedu, pigmen
empedu dan kolestrol, serta timbulnya peradangan pada kandung empedu (Barbara
C. Long, 1996).
Kolelitiatis (kalkulus/kalkuli, batu empedu) biasanya terbentuk dalam kantung
empedu dari unsur-unsur padat yang membentuk cairan empedu. Batu empedu
memilki ukuran, bentuk, dan komposisi yang sangat bervariasi. Batu empedu tidak
lazim dijumpai pada anak-anak dan dewasa muda tetapi insidennya semakin sering
pada individu berusia diatas 40 tahun. Sesudah itu, insidens kolelitiasis semakin
meningkat dan diperkirakan bahwa pada usia 75 tahun satu dari 3 orang akan
menderita batu empedu (Smeltzer & Bare, 2003).

B. Etiologi dan Faktor Risiko


1. Etiologi
Etiologi batu empedu masih belum diketahui secara pasti, adapun faktor
predisposisi terpenting yaitu gangguan metabolisme yang menyebabkan terjadinya
perubahan komposisi empedu, statis empedu, dan infeksi kandung empedu.
Perubahan komposisi empedu kemungkinan merupakan faktor terpenting dalam
pembentukan batu empedu karena hati penderita batu empedu kolesterol mengekresi
empedu yang sangat jenuh dengan kolesterol. Kolesterol yang berlebihan ini
mengendap dalam kandung empedu (dengan cara yang belum diketahui sepenuhnya)
untuk membentuk batu empedu.
Statis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan supersaturasi
progresif, perubahan komposisi kimia, dan pengendapan unsur-insur tersebut.
Gangguan kontraksi kandung empedu atau spasme spingteroddi, atau keduanya dapat
menyebabkan statis. Faktor hormonal (hormon kolesistokinin dan sekretin) dapat
dikaitkan dengan keterlambatan pengosongan kandung empedu.
Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan dalam pembentukan batu.
Mukus meningkatkan viskositas empedu dan unsur sel atau bakteri dapat berperan

5
sebagai pusat presipitasi/pengendapan. Infeksi lebih timbul akibat dari terbentuknya
batu, dibanding panyebab terbentuknya batu.

2. Faktor Risiko
Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun,
semakin banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan
untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain:

1) Jenis Kelamin
Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan
dengan pria. Hal ini dikarenakan hormon esterogen berpengaruh terhadap
peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang
menigkatkan kadar esterogen juga meningkatkan resiko terkena kolelitiasis.
Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon (esterogen) dapat meningkatkan
kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan aktivitas pengosongan kandung
empedu.
2) Usia
Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya
usia. Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis
dibandingkan dengan orang degan usia yang lebih muda.
3) Berat badan (BMI)

6
Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi
untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar
kolesterol dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurasi garam empedu
serta mengurangi kontraksi/ pengosongan kandung empedu.
4) Makanan
Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah
operasi gatrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari
empedu dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.
5) Riwayat keluarga
Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar
dibanding dengan tanpa riwayat keluarga.
6) Aktifitas fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya
kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit
berkontraksi.
7) Penyakit usus halus.
Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan kolelitiasis adalah crohn
disease, diabetes, anemia sel sabit, trauma, dan ileus paralitik.
8) Nutrisi intravena jangka lama
Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak
terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang melewati
intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu dalam kandung empedu
menjadi meningkat.
C. Manifestasi Klinis
Penderita batu empedu sering mempunyai gejala-gejala kolestitis akut atau
kronik. Bentuk akut ditandai dengan nyeri hebat mendadak pada abdomen bagian
atas, terutama ditengah epigastrium. Lalu nyeri menjalar ke punggung dan bahu
kanan (Murphy sign). Pasien dapat berkeringat banyak dan berguling ke kanan-kiri
saat tidur. Nausea dan muntah sering terjadi. Nyeri dapat berlangsung selama
berjam-jam atau dapat kembali terulang.
Gejala-gejala kolesistitis kronik mirip dengan fase akut, tetapi beratnya nyeri
dan tanda-tanda fisik kurang nyata. Seringkali terdapat riwayat dispepsia, intoleransi

7
lemak, nyeri ulu hati atau flatulen yang berlangsung lama. Setelah terbentuk, batu
empedu dapat berdiam dengan tenang dalam kandung empedu dan tidak
menimbulkan masalah, atau dapat menimbulkan komplikasi. Komplikasi yang paling
sering adalah infeksi kandung empedu (kolesistitis) dan obstruksi pada duktus
sistikus atau duktus koledokus. Obstruksi ini dapat bersifat sementara, intermitten
dan permanent. Kadang-kadang batu dapat menembus dinding kandung empedu dan
menyebabkan peradangan hebat, sering menimbulkan peritonitis, atau menyebakan
ruptur dinding kandung empedu.
Secara umum gejala kolelitiasis dapat terjadi akut atau kronis dan terjadinya
gangguan pada epigastrium jika makan makanan berlemak, seperti: rasa penuh
diperut, distensi abdomen, dan nyeri samar pada kuadran kanan atas.
a. Rasa nyeri hebat dan kolik bilier
Jika duktus sistikus tersumbat batu, maka kandung empedu mengalami
distensi kemudian akan terjadi infeksi sehingga akan teraba massa pada kuadran I
yang menimbulkan nyeri hebat sampai menjalar ke punggung dan bahu kanan
sehingga menyebabkan rasa gelisah dan tidak menemukan posisi yang nyaman.
Nyeri akan dirasakan persisten (hilang timbul) terutama jika habis makan
makanan berlemak yang disertai rasa mual dan ingin mual muntah pada pagi hari
karena metabolisme di kandung empedu akan meningkat.
Perangsangan mual dapat diakibatkan dari adanya obstruksi saluran empedu
sehingga mengakibatkan alir balik cairan empedu ke hepar (bilirubin, garam
empedu dan kolesterol) menyebabkan terjadinya proses peradangan disekitar
hepatobiliar yang mengeluarkan enzim-enzim SGOT dan SGPT, menyebabkan
peningkatan SGOT dan SGPT yang bersifat iritatif di saluran cerna sehingga
merangsang nervus vagal dan menekan rangsangan sistem saraf parasimpatis
sehingga terjadi penurunan peristaltik sistem pencernaan di usus dan lambung,
menyebabkan makanan tertahan di lambung dan peningkatan rasa mual yang
mengaktifkan pusat muntah di medula oblongata dan pengaktifan saraf kranialis
ke wajah, kerongkongan serta neuron-neuron motorik spinalis ke otot-otot
abdomen dan diafragma sehingga menyebabkan muntah. Apabila saraf simpatis
teraktifasi akan menyebabkan akumulasi gas usus di sistem pencernaan yang
menyebabkan rasa penuh dengan gas maka terjadilah kembung.

8
b. Ikterik dan BAK berwarna kuning
Obstuksi saluran empedu menyebabkan ekskresi cairan empedu ke
duodenum (saluran cerna) menurun sehingga feses tidak diwarnai oleh pigmen
empedu dan feses akan berwarna pucat kelabu dan lengket seperti dempul yang
disebut Clay Colored. Selain mengakibatkan peningkatan alkali fosfat serum,
eksresi cairan empedu ke duodenum (saluran cerna) juga mengakibatkan
peningkatan bilirubin serum yang diserap oleh darah dan masuk ke sirkulasi
sistem sehingga terjadi filtrasi oleh ginjal yang menyebabkan bilirubin
dieksresikan oleh ginjal sehingga urin berwarna kuning bahkan kecoklatan.
c. Defisiensi Vitamin
d. Obstruksi aliran empedu juga mengganggu absorpsi vitamin A, D, E, dan K yang
larut lemak. Defisiensi vitamin K dapat mengganggu pembekuan darah yang
normal.
D. Klasifikasi Cholelithiasis
Menurut gambaran makroskopis dan komposisi kimianya, batu empedu di
golongkankan atas 3 (tiga) golongan:
a) Batu kolesterol
Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih dari 70%
kolesterol. Lebih dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu yang mengandung
> 50% kolesterol). Untuk terbentuknya batu kolesterol diperlukan 3 faktor utama :
 Supersaturasi kolesterol
 Hipomotilitas kandung empedu
 Nukleasi/ pembentukan nidus cepat.
b) Batu pigmen
Batu pigmen merupakan 10% dari total jenis baru empedu yang
mengandung <20% kolesterol. Jenisnya antara lain:
1. Batu pigmen kalsium bilirubinan (pigmen coklat)
2. Batu pigmen hitam
c) Batu campuran
Batu campuran antara kolesterol dan pigmen dimana mengandung 20-50%
kolesterol.

9
E. Patofisiologi
Batu Kolesterol
Empedu yang disupersaturasi oleh kolesterol bertanggung jawab bagi lebih dari
90 persen batu empedu di negara barat. Sebagian besar batu ini merupakan batu
kolesterol campuran yang mengandung paling sedikit 75 persen kolesterol
berdasarkan berat serta dalam variasi jumlah fosfolipid, pigmen empedu, senyawa
organik dan inorganik lain. Batu kolesterol murni terdapat dalam sekitar 10 persen
dari semua batu kolesterol. Sifat fisikokimia empedu bervariasi sesuai konsentrasi
relatif garam empedu, lesitin dan kolesterol. Kolestrol dilarutkan dalam empedu
dalam daerah hidrofobik micelle, sehingga kelarutannya tergantung pada jumlah
relatif garam empedu dan lesitin. Hubungan antara kolesterol lesitin dan garam
empedu ini dapat dilihat dalam grafik segitiga. Yang koordinatnya merupakan
persentasi konsentrasi molar garam empedu, lesitin dan kolesterol. Empedu yang
mengandung kolesterol seluruhnya di dalam micelles digambarkan oleh area di
bawah garis lengkung ABC (cairan micelle); tetapi bila konsentrasi relatif garam
empedu, lesitin dan kolesterol turun ke area di atas garis ABC, maka ada kolesterol
di dalam dua fase atau lebih (cairan micelle dan kristal kolesterol).

Pembentukan batu kolesterol merupakan proses yang terdiri atas 4 defek utama
yang dapat terjadi secara berurutan atau bersamaan:
1. Supersaturasi Empedu
Kolesterol merupakan komponen utama dalam batu kolesterol. Pada
metabolisme kolesterol yang normal, kolesterol yang disekresi ke dalam empedu

10
akan terlarut oleh komponen empedu yang memiliki aktivitas detergenik seperti
garam empedu dan fosfolipid (khususnya lesitin). Konformasi kolesterol dalam
empedu dapat berbentuk misel, vesikel, campuran misel dan vesikel atau kristal.
Umumnya pada keadaan normal dengan saturasi kolesterol yang rendah,
kolesterol wujud dalam bentuk misel yaitu agregasi lipid dengan komponen
berpolar lipid seperti senyawa fosfat dan hidroksil terarah keluar dari inti misel
dan tersusun berbatasan dengan fase berair sementara komponen rantaian
hidrofobik bertumpuk di bagian dalam misel.
Semakin meningkat saturasi kolesterol, maka bentuk komposisi kolesterol
yang akan ditemukan terdiri atas campuran dua fase yaitu misel dan vesikel.
Vesikel kolesterol dianggarkan sekitar 10 kali lipat lebih besar daripada misel dan
memiliki fosfolipid bilayer tanpa mengandung garam empedu. Seperti misel,
komponen berpolar vesikel turut diatur mengarah ke luar vesikel dan berbatasan
dengan fase berair ekstenal sementara rantaian hidrokarbon yang hidrofobik
membentuk bagian dalam dari lipid dwilapis. Diduga <30% kolesterol bilier
diangkut dalam bentuk misel, yang mana selebihnya berada dalam bentuk vesikel.
Umumnya, konformasi vesikel berpredisposisi terhadap pembentukan batu
empedu karena lebih cenderung untuk beragregasi dan bernukleasi untuk
membentuk konformasi kristal.
2. Hipomotilitas kandung empedu
Motilitas kantung empedu merupakan satu proses fisiologik yang mencegah
litogenesis dengan memastikan evakuasi empedu dari kantung empedu ke dalam
usus sebelum terjadinya proses litogenik. Hipomotilitas kantung empedu
memperlambat evakuasi empedu ke dalam usus → proses absorpsi air dari
empedu oleh dinding mukosa lebih cepat dari evakuasi empedu → peningkatan
konsentrasi empedu → proses litogenesis empedu.
Hipomotilitas kantung empedu dapat terjadi akibat :
o Kelainan intrinsik dinding muskuler yang meliputi:
o Perubahan tingkat hormon seperti menurunnya kolesistokinin (CCK),
meningkatnya somatostatin dan estrogen.
o Perubahan kontrol neural (tonus vagus).
o Kontraksi sfingter melampau hingga menghambat evakuasi empedu normal.

11
Patofisiologi yang mendasari fenomena hipomotilitas kantung empedu pada
batu empedu masih belum dapat dipastikan. Namun begitu, diduga hipomotilitas
kantung empedu merupakan akibat efek toksik kolesterol berlebihan yang
menumpuk di sel otot polos dinding kantung yang menganggu transduksi sinyal
yang dimediasi oleh protein G. Kesannya, terjadi pengerasan membran sarkolema
sel otot tersebut. Secara klinis,penderita batu empedu dengan defek pada motilitas
kantung empedu cenderung bermanifestasi sebagai gangguan pola makan
terutamanya penurunan selera makan serta sering ditemukan volume residual
kantung empedu yang lebih besar. Selain itu, hipomotilitas kantung empedu dapat
menyebabkan stasis kantung empedu. Stasis merupakan faktor resiko
pembentukan batu empedu karena gel musn akan terakumulasi sesuai dengan
perpanjangan waktu penyimpanan empedu. Stasis menyebabkan gangguan aliran
empedu ke dalam usus dan ini berlanjut dengan gangguan pada sirkulasi
enterohepatik. Akibatnya, output garam empedu dan fosfolipid berkurang dan ini
memudahkan kejadian supersaturasi. Stasis yang berlangsung lama menginduksi
pembentukan lumpur bilier (biliary sludge) terutamanya pada penderita dengan
kecederaan medula spinalis, pemberian TPN untuk periode lama, terapi oktreotida
yang lama, kehamilan dan pada keadaan penurunan berat badan mendadak.
Lumpur bilier yang turut dikenal dengan nama mikrolitiasis atau pseudolitiasis ini
terjadi akibat presipitasi empedu yang terdiri atas kristal kolesterol monohidrat,
granul kalsium bilirubinat dan mukus. Patofisiologi lumpur bilier persis proses
yang mendasari pembentukan batu empedu. Kristal kolesterol dalam lumpur bilier
akan mengalami aglomerasi berterusan untuk membentuk batu makroskopik
hingga dikatakan lumpur bilier merupakan prekursor dalam litogenesis batu
empedu.
3. Peningkatan aktivitas nukleasi kolesterol.
Empedu yang supersaturasi dengan kolesterol cenderung untuk mengalami
proses nukleasi. Nukleasi merupakan proses kondensasi atau agregasi yang
menghasilkan kristal kolesterol monohidrat mikroskopik atau partikel kolesterol
amorfus daripada empedu supersaturasi. Nukleasi kolesterol merupakan proses
yang dipengaruhi oleh keseimbangan unsur antinukleasi dan pronukleasi yang
merupakan senyawa protein tertentu yang dikandung oleh empedu, faktor

12
pronukleasi berinteraksi dengan vesikel kolesterol sementara faktor antinukleasi
berinteraksi dengan kristal solid kolesterol. Antara faktor pronukleasi yang paling
penting termasuk glikoprotein musin, yaitu satu-satunya komponen empedu yang
terbukti menginduksi pembentukan batu pada keadaan in vivo. Inti dari
glikoprotein musin terdiri atas daerah hidrofobik yang mampu mengikat
kolesterol, fosfolipid dan bilirubin. Pengikatan vesikel yang kaya dengan
kolesterol kepada regio hidrofilik glikoprotein musin ini diduga memacu proses
nukleasi. Faktor pronukleasi lain yang berhasil diisolasi daripada model sistem
empedu termasuk imunoglobulin (IgG dan M), aminopeptidase N, haptoglobin
dan glikoprotein asam α-1. Penelitian terbaru menganjurkan peran infeksi
intestinal distal oleh spesies Helicobacter (kecuali H. pylori) menfasilitasi
nukleasi kolesterol empedu. Proses nukleasi turut dapat diinduksi oleh adanya
mikropresipitat garam kalsium inorganik maupun organik. Faktor antinukleasi
termasuk protein seperti imunoglobulin A (IgA), apoA-I dan apoA –II.
Mekanisme fisiologik yang mendasari efek untuk sebagian besar daripada faktor-
faktor ini masih belum dapat dipastikan. Nukleasi yang berlangsung lama
selanjutnya akan menyebabkan terjadinya proses kristalisasi yang menghasilkan
kristal kolesterol monohidrat. Waktu nukleasi pada empedu penderita batu
empedu telah terbukti lebih pendek dibanding empedu kontrol pada orang normal.
Waktu nukleasi yang pendek mempergiat kristalisasi kolesterol dan menfasilitasi
proses litogenesis empedu.
4. Hipersekresi mukus di kantung empedu
Hipersekresi mukus kantung empedu dikatakan merupakan kejadian
prekursor yang universal pada beberapa penelitian menggunakan model empedu
hewan. Mukus yang eksesif menfasilitasi pembentukan konkresi kolesterol
makroskopik karena mukus dalam kuantitas melampau ini berperan dalam
memerangkap kristal kolesterol dengan memperpanjang waktu evakuasi empedu
dari kantung empedu. Komponen glikoprotein musin dalam mukus ditunjuk
sebagai faktor utama yang bertindak sebagai agen perekat yang menfasilitasi
aglomerasi kristal dalam patofisiologi batu empedu. Saat ini, stimulus yang
menyebabkan hipersekresi mukus belum dapat dipastikan namun prostaglandin
diduga mempunyai peran penting dalam hal ini.

13
Sebagian besar pasien batu kolesterol mensekresi empedu hati litogenik.
Kelompok tertentu mempunyai kumpulan garam empedu total yang berkontraksi (1,5
sampai 2g) yang merupakan separuh ukuran orang normal. Bisa timbul akibat
hubungan umpan balik garam empedu abnormal dengan penurunan sintesis hati bagi
garam empedu atau hilangnya garam empedu secara berlebihan melalui feses akibat
malabsorpsi ileum primer atau setelah reseksi atau pintas ileum. Kelompok lain,
terutama orang yang gemuk, mensekresi kolesterol dalam jumlah yang berlebihan.
Beberapa bukti menggambarkan bahwa masukan diet kolesterol dan atau kandungan
kalori diet bisa mempengaruhi sekresi kolesterol juga.
Mekanisme lain yang diusulkan bagi pembentukan batu, melibatkan disfungsi
vesika biliaris. Stasis akibat obstruksi mekanik atau fungsional, bisa menyebabkan
stagnasi empedu di dalam vesika biliaris dengan resorpsi air berlebihan dan merubah
kelarutan unsur empedu. Penelitian menggambarkan bahwa peradangan dinding
kandung empedu bisa menyebabkan resorpsi garam empedu berlebihan, perubahan
dalam rasio lesitin/garam empedu serta sekresi garam kalsium, mukoprotein dan
debris organik sel; perubahan ini bisa merubah empedu hati normal menjadi empdu
litogenik di dalam vesika biliaris. Peranan infeksi dalam patogenesis pembentukan
batu kolesterol bersifat kontroversial. Walaupun organisme usus tertentu bisa dibiak
dari inti batu kolesterol atau dari dinding vesika biiaris, namun sebagian besar batu
kolesterol terbntuk tanpa adanya infeksi.
Batu Pigmen
a. Batu pigmen murni (pigmen hitam)
Pembentukan batu berpigmen hitam diawali oleh hipersekresi blilirubin
terkonjugat (khususnya monoglukuronida) ke dalam empedu. Pada keadaan
hemolisis terjadi hipersekresi bilirubin terkonjugat hingga mencapai 10 kali lipat
dibanding kadar sekresi normal. Bilirubin terkonjugat selanjutnya dihidrolisis oleh
glukuronidase-β endogenik membentuk bilirubin tak terkonjugat. Pada waktu
yang sama, defek pada mekanisme asidifikasi empedu akibat daripada radang
dinding mukosa kantung empedu atau menurunnya kapasitas “buffering” asam
sialik dan komponen sulfat dari gel musin akan menfasilitasi supersaturasi
kalsium karbonat dan fosfat yang umumnya tidak akan terjadi pada keadaan
empedu dengan ph yang lebih rendah. Supersaturasi berlanjut dengan

14
pemendakan atau presipitasi kalsium karbonat, fosfat dan bilirubin tak
terkonjugat. Polimerisasi yang terjadi kemudian akan menghasilkan kristal dan
berakhir dengan pembentukan batu berpigmen hitam.
b. Batu Pigmen Kalsium Bilirubinat (pigmen coklat)
Batu berpigmen coklat terbentuk hasil infeksi anaerobik pada empedu, sesuai
dengan penemuaan sitorangka bakteri pada pemeriksaan mikroskopik batu.
Infeksi traktus bilier oleh bakteri Escherichia coli, Salmonella typhii dan spesies
Streptococcus atau parasit cacing seperti Ascaris lumbricoides dan Opisthorchis
sinensis serta Clonorchis sinensis mendukung pembentukan batu berpigmen.
Patofisiologi batu diawali oleh infeksi bakteri/parasit di empedu.
Mikroorganisma enterik ini selanjutnya menghasilkan enzim glukuronidase-β,
fosfolipase A dan hidrolase asam empedu terkonjugat. Peran ketiga-tiga enzim
tersebut didapatkan seperti berikut:
o Glukuronidase menghidrolisis bilirubin terkonjugat hingga menyebabkan
pembentukan bilirubin tak terkonjugat.
o Fosfolipase A menghasilkan asam lemak bebas (terutama asam stearik dan
asam palmitik).
o Hidrolase asam empedu menghasilkan asam empedu tak terkonjugat.
Hasil produk enzimatik ini selanjutnya dapat berkompleks dengan senyawa
kalsium dan membentuk garam kalsium. Garam kalsium dapat termendak lalu
berkristalisasi sehingga terbentuk batu empedu. Proses litogenesis ini didukung
oleh keadaan stasis empedu dan konsentrasi kalsium yang tinggi dalam empedu.
Bakteri mati dan glikoprotein bakteri diduga dapat berperan sebagai agen perekat,
yaitu sebagai nidus yang menfasilitasi pembentukan batu, seperti fungsi pada
musin endogenik.

Batu pigmen hitam Batu pigmen coklat

15
F. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostic yang dapat dilakukan pada pasien dengan cholelithiasis
antara lain:
a) Rontgen abdomen / pemeriksaan sinar X / Foto polos abdomen
Dapat dilakukan pada klien yang dicurigai akan penyakit kandung empedu.
Akurasi pemeriksaannya hanya 15-20%, tetapi pemeriksaan ini bukan
merupakan pemeriksaan pilihan.
b) Kolangiogram / kolangiografi transhepatik perkutan
Melalui penyuntikan bahan kontras langsung ke dalam cabang bilier. Karena
konsentrasi bahan kontras yang disuntikkan relatif besar, maka semua komponen
sistem bilier (duktus hepatikus, D. koledukus, D. sistikus dan kandung empedu)
dapat terlihat. Meskipun angka komplikasi dari kolangiogram rendah namun
bisa beresiko peritonitis bilier, resiko sepsis dan syok septik.
c) ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatographi)
Sebuah kanul yang dimasukan ke dalam duktus koledukus dan duktus
pancreatikus, kemudian bahan kontras disuntikkan ke dalam duktus tersebut.
Fungsi ERCP ini memudahkan visualisasi langsung stuktur bilier dan
memudahkan akses ke dalam duktus koledukus bagian distal untuk mengambil
batu empedu, selain itu ERCP berfungsi untuk membedakan ikterus yang
disebabkan oleh penyakit hati (ikterus hepatoseluler dengan ikterus yang
disebabkan oleh obstuksi bilier dan juga dapat digunakan untuk menyelidiki
gejala gastrointestinal pada pasien-pasien yang kandung empedunya sudah
diangkat.ERCP ini berisiko terjadinya tanda-tanda perforasi/ infeksi
d) Kolangiografi Transhepatik Perkutan
Pemeriksaan kolangiografi ini meliputi penyuntikan bahan kontras langsung ke
dalam percabangan bilier. Karena konsentrasi bahan kontras yang disuntikan itu
relatif besar, maka semua komponen pada sistem bilier tersebut, yang mencakup
duktus hepatikus dalam hati, keseluruhan pajang duktus koledokus, duktus
sistikus dan kandung empedu, dapat dilihat garis bentuknya dengan jelas.
e) Pemeriksaan Pencitraan Radionuklida atau kolesentografi

16
Dalam prosedur ini, peraparat radioktif disuntikan secara intravena. Kemudian
diambil oleh hepatosit dan dengan cepat ekskeresikan kedalam sinar bilier.
Memerlukan waktu panjang lebih lama untuk mengerjakannya membuat pasien
terpajan sinar radiasi.
f) Pemeriksaan laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan kelainan
pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi
leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan
bilirubin serum akibat penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin
serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di dalam duktus koledukus.
Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya
meningkat sedang setiap setiap kali terjadi serangan akut.
g) Pemeriksaan Radiologis
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena
hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang
kandung empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi
dapat dilihat dengan foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung empedu
yang membesar atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai massa
jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus
besar, di fleksura hepatika.
h) Pemeriksaan Ultrosonografi (USG)
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk
mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik
maupun ekstra hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung
empedu yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh
peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledukus distal
kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara di dalam usus. Dengan USG
punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren lebih
jelas daripada dengan palpasi biasa.
i) Kolesistografi
Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif
murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga

17
dapat dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada
keadaan ileus paralitik, muntah, kadar bilirubun serum diatas 2 mg/dl, okstruksi
pilorus, dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan tersebut kontras tidak dapat
mencapai hati. Pemeriksaan kolesitografi oral lebih bermakna pada penilaian
fungsi kandung empedu.
G. Penatalaksanaan
Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Nyeri
yang hilang-timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau
mengurangi makanan berlemak. Jika batu kandung empedu menyebabkan serangan
nyeri berulang meskipun telah dilakukan perubahan pola makan, maka dianjurkan
untuk menjalani pengangkatan kandung empedu (kolesistektomi). Pengangkatan
kandung empedu tidak menyebabkan kekurangan zat gizi dan setelah pembedahan
tidak perlu dilakukan pembatasan makanan.
Pilihan penatalaksanaan antara lain :
 Kolesistektomi terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien dengan
kolelitiasis simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi
adalah cedera duktus biliaris yang terjadi pada 0,2% pasien. Angka mortalitas
yang dilaporkan untuk prosedur ini kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling
umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis
akut.
 Kolesistektomi laparaskopi
Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990 dan
sekarang ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara laparoskopi. 80-90%
batu empedu di Inggris dibuang dengan cara ini karena memperkecil resiko
kematian dibanding operasi normal (0,1-0,5% untuk operasi normal) dengan
mengurangi komplikasi pada jantung dan paru. Kandung empedu diangkat
melalui selang yang dimasukkan lewat sayatan kecil di dinding perut.
Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa adanya
kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah
mulai melakukan prosedur ini pada pasien dengan kolesistitis akut dan pasien
dengan batu duktus koledokus. Secara teoritis keuntungan tindakan ini

18
dibandingkan prosedur konvensional adalah dapat mengurangi perawatan di
rumah sakit dan biaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat kembali bekerja,
nyeri menurun dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan adalah
kemanan dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden komplikasi 6r seperti
cedera duktus biliaris yang mungkin dapat terjadi lebih sering selama
kolesistektomi laparaskopi.
 Disolusi medis
Masalah umum yang mengganggu semua zat yang pernah digunakan adalah
angka kekambuhan yang tinggi dan biaya yang dikeluarkan. Zat disolusi hanya
memperlihatkan manfaatnya untuk batu empedu jenis kolesterol. Penelitian
prospektif acak dari asam xenodeoksikolat telah mengindikasikan bahwa
disolusi dan hilangnya batu secara lengkap terjadi sekitar 15%. Jika obat ini
dihentikan, kekambuhan batu tejadi pada 50% pasien. Kurang dari 10% batu
empedu dilakukan cara ini an sukses. Disolusi medis sebelumnya harus
memenuhi kriteria terapi non operatif diantaranya batu kolesterol diameternya <
20 mm, batu kurang dari 4 batu, fungsi kandung empedu baik dan duktus sistik
paten.
 Disolusi kontak
Meskipun pengalaman masih terbatas, infus pelarut kolesterol yang poten
(Metil-Ter-Butil-Eter (MTBE)) ke dalam kandung empedu melalui kateter yang
diletakkan per kutan telah terlihat efektif dalam melarutkan batu empedu pada
pasien-pasien tertentu. Prosedur ini invasif dan kerugian utamanya adalah angka
kekambuhan yang tinggi (50% dalam 5 tahun).
 Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL)
Sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu, analisis biaya-manfaat
pada saat ini memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas pada pasien
yang telah benar-benar dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini.
 Kolesistotomi
Kolesistotomi yang dapat dilakukan dengan anestesia lokal bahkan di
samping tempat tidur pasien terus berlanjut sebagai prosedur yang bermanfaat,
terutama untuk pasien yang sakitnya kritis.
 Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)

19
Pada ERCP, suatu endoskop dimasukkan melalui mulut, kerongkongan,
lambung dan ke dalam usus halus. Zat kontras radioopak masuk ke dalam
saluran empedu melalui sebuah selang di dalam sfingter oddi. Pada
sfingterotomi, otot sfingter dibuka agak lebar sehingga batu empedu yang
menyumbat saluran akan berpindah ke usus halus. ERCP dan sfingterotomi telah
berhasil dilakukan pada 90% kasus. Kurang dari 4 dari setiap 1.000 penderita
yang meninggal dan 3-7% mengalami komplikasi, sehingga prosedur ini lebih
aman dibandingkan pembedahan perut. ERCP saja biasanya efektif dilakukan
pada penderita batu saluran empedu yang lebih tua, yang kandung empedunya
telah diangkat
Secara umum, penatalaksanaan cholelithiasis dibedakan menjadi
penatalaksanaan non bedah dan penatalaksanaan bedah.
1. Non Bedah, yaitu :
a. Terapi Konservatif
 Pendukung diit : Cairan rendah lemak
 Cairan Infus : menjaga kestabilan asupan cairan
 Analgetik : meringankan rasa nyeri yang timbul akibat gejala penyakit
 Antibiotik : mencegah adanya infeksi pada saluran kemih
 Istirahat
b. Farmakoterapi
Pemberian asam ursodeoksikolat dan kenodioksikolat digunakan untuk
melarutkan batu empedu terutama berukuran kecil dan tersusun dari
kolesterol. Zat pelarut batu empedu hanya digunakan untuk batu kolesterol
pada pasien yang karena sesuatu hal sebab tak bisa dibedah. Batu-batu ini
terbentuk karena terdapat kelebihan kolesterol yang tak dapat dilarutkan lagi
oleh garam-garam empedu dan lesitin. Untuk melarutkan batu empedu
tersedia Kenodeoksikolat dan ursodeoksikolat. Mekanisme kerjanya
berdasarkan penghambatan sekresi kolesterol, sehigga kejenuhannya dalam
empedu berkurang dan batu dapat melarut lagi. Therapi perlu dijalankan
lama, yaitu : 3 bulan sampai 2 tahun dan baru dihentikan minimal 3 bulan
setelah batu-batu larut. Recidif dapat terjadi pada 30% dari pasien dalam
waktu 1 tahun , dalam hal ini pengobatan perlu dilanjutkan.

20
c. Penatalaksanaan Pendukung dan Diet
Suplemen bubuk tinggi protein dan karbohidrat dapat diaduk kedalam
susu skim. Makanan berikut ini ditambahkan jika pasien dapat menerimanya:
buah yang dimasak, nasi atau ketela, daging tanpa lemak, kentang yang
dilumatkan, sayuran yang tidak membentuk gas, roti, kopi atau teh. Makanan
seperti telur, krim, daging babi, gorengan, keju dan bumbu-bumbu yang
berlemak, sayuran yang membentuk gasserta alkohol harus dihindari.
Penatalaksanaan diet merupakan bentuk terapi utama pada pasien yang hanya
mengalami intoleransi terhadap makanan berlemak dan mengeluarkan gejala
gastrointestinal ringan.
d. Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)
Prosedur nononvasif ini menggunakan gelombang kejut berulang
(repeated shock wafes) yang diarahkan kepada batu empedu di dalam
kandung empedu atau doktus koledokus dengan maksud untuk mencegah
batu tersebut menjadi sejumlah fragmen. Gelombang kejut dihasilkan dalam
media cairan oleh percikan listrik, yaitu piezoelelektrik, atau oleh muatan
elektromagnetik. Energy ini di salurkan ke dalam tubuh lewat redaman air
atau kantong yang berisi cairan. Gelombang kejut yang dikonvergensikan
tersebut diarahkan kepada batu empedu yang akan dipecah.Setelah batu
dipecah secara bertahap, pecahannya akan bergeraj spontan dikandung
empedu atau doktus koledokus dan dikeluarkan melalui endoskop atau
dilarutkan dengan pelarut atau asam empedu yang diberikan peroral.
e. Litotripsi Intrakorporeal
Pada litotripsi intrakorporeal, batu yang ada dalam kandung empedu atau
doktus koledokus dapat dipecah dengan menggunakan grlombang ultrasound,
laser berpulsa atau litotripsi hidrolik yang dipasang pada endoskop, dan
diarahkan langsung pada batu. Kemudian fragmen batu atau derbis
dikeluarkan dengan cara irigasi dan aspirasi. Prosedur tersebut dapat diikuti
dengan pengangkatan kandung empedu melalui luka insisi atau laparoskopi.
Jika kandung empedu tidak di angkat, sebuah drain dapat dipasang selama 7
hari.
2. Pembedahan

21
a. Cholesistektomy
Merupakan tindakan pembedahan yang dilakukan atas indikasi
cholesistitis atau pada cholelitisis, baik akut /kronis yang tidak sembuh
dengan tindakan konservatif. Dalam prosedur ini kandung empedu diangkat
setelah arteri dan duktus sistikus diligasi. Kolesistektomi dilakukan pada
sebagian besar kasus kolesistis akut dan kronis. Sebuah drain (Penrose)
ditempatkan dalam kandung empedu dan dibiarkan menjulur keluar lewat
luka operasi untuk mengalirkan darah, cairan serosanguinus dan getah
empedu ke dalam kasa absorben.
Tujuan perawatan pre operasi pada bedah cholesistectomy yaitu:
1) Meningkatkan pemahaman klien dan keluarga tentang prosedur operasi.
2) Meningkatkan kesehatan klien baik fisik maupun psikologis
3) Meningkatkan pemahaman klien dan keluarga tentang hal-hal yang akan
dilakukan pada post operasi.
Tindakan Keperawatan Pada Cholecystotomy
1) Posisi semi Fowler
2) Menjelaskan tujuan penggunaan tube atau drain dan lamanya
3) Menjelaskan dan mengajarkan cara mengurangi nyeri
b. Minikolesistektomi
Merupakan prosedur bedah untuk mengeluarkan kandung empedu lewat
luka insisi selebar 4cm. kolesistektomi Laparoskopik (atau endoskopik),
dilakukan lewat luka insisi yang kecil atau luka tusukan melalui dinding
abdomen pada umbilicus. Pada prosedur kolesistektomi endoskopik, rongga
abdomen ditiup dengan gas karbon dioksida (pneumoperitoneum) umtuk
membantu pemasangan endoskop dan menolong dokter bedah melihat
struktur abdomen. Sebuah endoskop serat optic dipasang melalui luka insisi
umbilicus yang kecil. Beberapa luka tusukan atau insisi kecil tambahan dibuat
pada dinding abdomen untuk memasukkan instrumen bedah lainnya ke dalam
bidang operasi.
c. Koledokostomi
Dalam koledokostomi, insisi dilakukan pada duktus koledokus untuk
mengeluarkan batu. Setelah batu dikeluarkan, biasanya dipasang sebuah

22
kateter ke dalam duktus tersebut untuk drainase getah empedu sampai edema
mereda. Keteter ini dihubungkan dengan selang drainase gravitas. Kandung
empedu biasanya juga mengandung batu, dan umumnya koledokostomi
dilakukan bersama-sama kolesistektomi.
H. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita kolelitiasis :
 Obstruksi duktus sistikus
 Kolik bilier
 Kolesistitis akut
 Perikolesistitis
 Peradangan pankreas (pankreatitis)-angga
 Perforasi
 Kolesistitis kronis
 Hidrop kandung empedu
 Empiema kandung empedu
 Fistel kolesistoenterik
 Batu empedu sekunder (Pada 2-6% penderita, saluran menciut kembali dan
batu empedu muncul lagi) angga
 Ileus batu empedu (gallstone ileus)

Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan


menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi ada dalam
kandung empedu terdorong dan dapat menutupi duktus sistikus, batu dapat menetap
ataupun dapat terlepas lagi. Apabila batu menutupi duktus sitikus secara menetap
maka mungkin akan dapat terjadi mukokel, bila terjadi infeksi maka mukokel dapat
menjadi suatu empiema, biasanya kandung empedu dikelilingi dan ditutupi oleh alat-
alat perut (kolon, omentum), dan dapat juga membentuk suatu fistel
kolesistoduodenal. Penyumbatan duktus sistikus dapat juga berakibat terjadinya
kolesistitis akut yang dapat sembuh atau dapat mengakibatkan nekrosis sebagian
dinding (dapat ditutupi alat sekiatrnya) dan dapat membentuk suatu fistel
kolesistoduodenal ataupun dapat terjadi perforasi kandung empedu yang berakibat
terjadinya peritonitis generalisata.

23
Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada saat
kontraksi dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus koledokus
kemudian menetap asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik. Batu yang
menyumbat di duktus koledokus juga berakibat terjadinya ikterus obstruktif,
kolangitis, kolangiolitis, dan pankretitis. Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam
saluran cerna melalui terbentuknya fistel kolesitoduodenal. Apabila batu empedu
cukup besar dapat menyumbat pad bagian tersempit saluran cerna (ileum terminal)
dan menimbulkan ileus obstruksi.
ASUHAN KEPERAWATAN KOLELITIASIS
1. PENGKAJIAN
Data Dasar Pengkajian
a) Aktivitas/istirahat
Gejala : Kelemahan
Tanda : Gelisah
b) Sirkulasi
Gejala : Perubahan warna urine dan feses.
Tanda : Distensi abdomen, Teraba massa pada kuadran kanan atas, urine
gelap, pekat, Feses warna tanah liat, steatorea.
c) Makanan/cairan
Gejala : Anoreksia, mual/muntah, Tidak toleran terhadap lemak dan makanan
“pembentuk gas” regurgitasi berulang, nyeri epigastrium, tidak dapat makan,
flatus, dyspepsia.
Tanda : Kegemukan, adanya penurunan berat badan.
d) Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala : Nyeri abdomen atas berat dapat menyebar kepunggung atau bahu
kanan, Kolik epigastrik tengah sehubungan dengan makan, nyeri mulai dan tiba-
tiba memuncak dalam 30 menit.
Tanda : Nyeri lepas, otot tegang atau kaku, bila kuadran kanan atas ditekan:
tanda Murphy positif.
e) Pernapasan
Tanda : Peningkatan frekuensi pernapasan, pernapasan tertekan ditandai
napas pendek dan dangkal.

24
f) Keamanan
Tanda : demam. Menggigil, Ikterik, dengan kulit berkeringat dan gatal
(pruritis).
2. DIAGNOSIS KEPERAWATAN
1. Nyeri akut b.d agen pencedera fisiologis: proses inflamasi kandung empedu,
obstruksi/spasme duktus d.d klien mengeluh nyeri, tampak meringis, gelisah,
berfokus pada diri sendiri
2. Nausea b.d gangguan pancreas d.d keluhan mual, merasa ingin muntah,
diaphoresis, takikardi, penurunan nafsu makan.
3. Risiko hipovolemia b.d kekurangan intake cairan; kehilangan cairan secara aktif
3. RENCANA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut b.d agen pencedera fisiologis: proses inflamasi kandung empedu,
obstruksi/spasme duktus d.d klien mengeluh nyeri, tampak meringis, gelisah,
berfokus pada diri sendiri
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x4 jam tingkat nyeri
menurun
Kriteria Hasil :
1. Keluhan nyeri menurun
2. Meringis menurun
3. Gelisah menurun
4. Kesulitan tidur menurun
5. Berfokus pada diri sendiri menurun.
Intervensi NIC
Manajemen nyeri
a. Observasi :
1. Identifikasi skala nyeri
2. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
3. Identifikasi respon nyeri non verbal
b. Terapeutik
1. Berikan Teknik non farmakologis untuk mengurangi nyeri
2. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
3. Fasilitasi istirahat dan tidur

25
c. Edukasi
1. Jelaskan penyebab, periode dan pemicu nyeri
2. Jelaskan strategi meredakan nyeri
3. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri.
d. Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian analgetic, jika perlu

2. Nausea b.d gangguan pancreas d.d keluhan mual, merasa ingin muntah,
diaphoresis, takikardi, penurunan nafsu makan.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x4 jam tingkat
nausea menurun
Kriteria Hasil :
1. Perasaan ingin muntah menurun.
2. Diaforesis menurun
3. Takikardia menurun
4. Nafsu makan meningkat
Intervensi NIC
A. Manajemen Mual
a. Observasi :
1. Identifikasi pengalaman mual
2. Identifikasi isyarat non verbal ketidaknyamanan
3. Identifikasi dampak mual terhadap kualitas hidup
b. Terapeutik
1. Kendalikan faktor lingkungan penyebab mual
2. Kurangi atau hilangkan keadaan penyebab mual
3. Berikan makanan dalam jumlah kecil dan menarik
c. Edukasi
1. Anjurkan istirahat dan tidur yang cukup
2. Anjurkan sering membersihkan mulut kecuali jika merangsang mual
3. Anjurkan makan tinggi karbohidrat dan rendah lemak
d. Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian anti emetic, jika perlu

26
B. Manajemen Muntah
a. Observasi :
1. Identifikasi karakteristik muntah
2. Periksa volume muntah
3. Monitor keseimbangan cairan dan elektrolit
b. Terapeutik
1. Atur posisi untuk mencegah aspirasi
2. Pertahankan kepatenan jalan nafas
3. Bersihkan mulut dan hidung
c. Edukasi
1. Anjurkan membawa kantong plastik unutk menampung muntah
2. Anjurkan memperbanyak istirahat
3. Anjurkan penggunaan Teknik nonfarmakologis untuk mengelola muntah
d. Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian anti emetic, jika perlu
3. Risiko hipovolemia b.d kekurangan intake cairan; kehilangan cairan secara aktif.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x4 jam status cairan
membaik
Kriteria Hasil :
1. Output urin meningkat
2. Membran mukosa lembab meningkat
3. Rasa haus menurun
4. Turgor kulit membaik
Intervensi NIC
Manajemen Mual
a. Observasi :
1. Periksa tanda dan gejala hipovolemia
2. Monitor intake dan output cairan
b. Terapeutik
1. Hitung kebutuhan cairan
2. Berikan asupan cairan oral
3. Berikan posisi modified trendelenburg

27
c. Edukasi
1. Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral
2. Anjurkan menghindari perubahan posisi mendadak
d. Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian cairan IV isotonis
2. Kolaborasi pemberian cairan IV hipotonis

28
DAFTAR PUSTAKA

Anderson, Sylvia Price, 2005. Pathofisiologi Konsep Klinik Proses- proses


Penyakit, EGC, Jakarta.
Black, J.M, et al, Luckman and Sorensen’s Medikal Nursing : A Nursing Process
Approach, 4 th Edition, W.B. Saunder Company, 1995.
Mansjoer, Arif, et al. 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid II, Medika Aesculapius
FKUI, Jakarta.
Oswari, E, 1993. Bedah dan Perawatannya, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Smeltzer, Brunner, 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. EGC, Jakarta.
Sjamsuhidayat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2005. 570-9
Sabiston David C. Jr.. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta:EGC.2010.115-128
Tjandra J. J. A.J. Gordon. Dkk. Textbook Of Surgery.Third Edition.New
Delhi:Blackwell Publishing.2006.

29

Anda mungkin juga menyukai