Anda di halaman 1dari 11

Cholesistolithiasis

A. Anatomi Kandung Empedu


Kandung empedu merupakan kantong berbentuk alpukat yang terletak tepat
dibawah lobus kanan hati. Kandung empedu mempunyai fundus, korpus, infundibulum,
dan kolum. Fundus bentuknya bulat, ujungnya buntu dari kandung empedu. Korpus
merupakan bagian terbesar dari kandung empedu. Kolum adalah bagian yang sempit dari
kandung empedu.(Albert et al, 2016)
Ukuran kandung empedu pada orang dewasa adalah 7 cm hingga 10 cm dengan
kapasitas lebih kurang 30 ml. Kandung empedu menempel pada hati oleh jaringan ikat
longgar, yang mengandung vena dan saluran limfatik yang menghubungkan kandung
empedu dengan hati. Kandung empedu dibagi menjadi empat area anatomi: fundus,
korpus, infundibulum, dan kolum (Albert et al, 2016).
Saluran biliaris dimulai dari kanalikulus hepatosit, yang kemudian menuju ke
duktus biliaris. Duktus yang besar bergabung dengan duktus hepatikus kanan dan kiri,
yang akan bermuara ke duktus hepatikus komunis di porta hepatis. Ketika duktus sistika
dari kandung empedu bergabung dengan duktus hepatikus komunis, maka terbentuklah
duktus biliaris komunis. Duktus biliaris komunis secara umum memiliki panjang 8 cm
dan diameter 0.5-0.9 cm, melewati duodenum menuju pangkal pankreas, dan kemudian
menuju ampula Vateri (Winslow T, 2015; Albert et al, 2016).
Suplai darah ke kandung empedu biasanya berasal dari arteri sistika yang berasal
dari arteri hepatikus kanan. Asal arteri sistika dapat bervariasi pada tiap tiap orang,
namun 95 % berasal dari arteri hepatik kanan. Aliran vena pada kandung empedu
biasanya melalui hubungan antara vena vena kecil. Vena-vena ini melalui permukaan
kandung empedu langsung ke hati dan bergabung dengan vena kolateral dari saluran
empedu bersama dan akhirnya menuju vena portal. Aliran limfatik dari kandung empedu
menyerupai aliran venanya. Cairan limfa mengalir dari kandung empedu ke hati dan
menuju duktus sistika dan masuk ke sebuah nodus atau sekelompok nodus (Albert et al,
2016).
Dari nodus ini cairan limfa pada akhinya akan masuk ke nodus pada vena portal.
Kandung empedu diinervasi oleh cabang dari saraf simpatetik dan parasimpatetik, yang
melewati pleksus seliaka. Saraf preganglionik simpatetik berasal dari T8 dan T9. Saraf
postganglionik simpatetik berasal dari pleksus seliaka dan berjalan bersama dengan
arteri hepatik dan vena portal menuju kandung empedu. Saraf parasimpatetik berasal dari
cabang nervus vagus (Toouli J dan Bhandari M, 2009).
Empedu yang di sekresi secara terus menerus oleh hati masuk ke saluran empedu
yang kecil dalam hati. Saluran empedu yang kecil bersatu membentuk dua saluran yang
lebih besar yang keluar dari permukaan hati sebagai duktus hepatikus komunis. Duktus
hepatikus bergabung dengan duktus sistikus membentuk duktus koledokus.(Albert et al,
2016)

Gambar 2.1 Gambaran anatomi kandung empedu (Winslow T, 2015)

B. Fisiologi Kandung Empedu

Salah satu fungsi hati adalah untuk mengeluarkan empedu, normalnya antara 600-
1200 ml/hari.Kandung empedu mampu menyimpan sekitar 45 ml empedu.Diluar waktu
makan, empedu disimpan untuk sementara di dalam kandung empedu, dan di sini
mengalami pemekatan sekitar 50 %.Fungsi primer dari kandung empedu adalah
memekatkan empedu dengan absorpsi air dan natrium.Kandung empedu mampu
memekatkan zat terlarut yang kedap, yang terkandung dalam empedu hepatik 5-10 kali
dan mengurangi volumenya 80-90%.(Hall, 2014).
Menurut Albert et al(2016) empedu melakukan dua fungsi penting yaitu :
1. Empedu memainkan peranan penting dalam pencernaan dan absorpsi lemak,
karena asam empedu yang melakukan dua hal antara lain : asam empedu
membantu mengemulsikan partikel-partikel lemak yang besar menjadi partikel
yang lebih kecil dengan bantuan enzim lipase yang disekresikan dalam getah
pankreas, Asam empedu membantu transpor dan absorpsi produk akhir lemak
yang dicerna menuju dan melalui membran mukosa intestinal.
2. Empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa produk
buangan yang penting dari darah, antara lain bilirubin, suatu produk akhir dari
penghancuran hemoglobin, dan kelebihan kolesterol yang di bentuk oleh sel- sel
hati.
Pengosongan kandung empedu dipengaruhi oleh hormon kolesistokinin, hal ini
terjadi ketika makanan berlemak masuk ke duodenum sekitar 30 menit setelah
makan.Dasar yang menyebabkan pengosongan adalah kontraksi ritmik dinding kandung
empedu, tetapi efektifitas pengosongan juga membutuhkan relaksasi yang bersamaan dari
sfingter oddi yang menjaga pintu keluar duktus biliaris komunis kedalam
duodenum.Selain kolesistokinin, kandung empedu juga dirangsang kuat oleh serat-serat
saraf yang menyekresi asetilkolin dari sistem saraf vagus dan enterik.Kandung empedu
mengosongkan simpanan empedu pekatnya ke dalam duodenum terutama sebagai respon
terhadap perangsangan kolesistokinin.Saat lemak tidak terdapat dalam makanan,
pengosongan kandung empedu berlangsung buruk, tetapi bila terdapat jumlah lemak yang
adekuat dalam makanan, normalnya kandung empedu kosong secara menyeluruh dalam
waktu sekitar 1 jam (Hall, 2014; Albert et al, 2016).
Garam empedu, lesitin, dan kolesterol merupakan komponen terbesar (90%)
cairan empedu. Sisanya adalah bilirubin, asam lemak, dan garam anorganik. Garam
empedu adalah steroid yang dibuat oleh hepatosit dan berasal dari kolesterol. Pengaturan
produksinya dipengaruhi mekanisme umpan balik yang dapat ditingkatkan sampai 20 kali
produksi normal kalau diperlukan (Albert et al, 2016).
C. Definisi kolesistolitiasis
Kolesistolitiasis adalah timbunan kristal di dalam kandung empedu atau di dalam
saluran empedu atau kedua-duanya. Batu kandung empedu merupakan gabungan
beberapa unsur dari cairan empedu yang mengendap dan membentuk suatu material
mirip batu di dalam kandung empedu atau saluran empedu. Komponen utama dari cairan
empedu adalah bilirubin, garam empedu, fosfolipid dan kolesterol. Batu yang ditemukan
di dalam kandung empedu bisa berupa batu kolesterol, batu pigmen yaitu coklat atau
pigmen hitam, atau batu campuran. Lokasi batu empedu bisa bermacam – macam yakni
di kandung empedu, duktus sistikus, duktus koledokus, ampula vateri, di dalam hati.
(Acalovschi, 2014)

D. Epidemiologi
a. Jenis kelamin
Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena batu empedu
dibandingkan dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormone esterogen berpengaruh
terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang
meningkatkan kadar esterogen juga meningkatkan resiko terkena batu empedu.
Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormone (esterogen) dapat meningkatkan
kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan aktivitis pengosongan kandung
empedu.
b. Usia
Resiko untuk terkena batu empedu meningkat sejalan dengan
bertambahnya usia. Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena
batu empedu dibandingkan dengan orang usia yang lebih muda.
c. Berat badan
Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih
tinggi untuk terjadi batu empedu. Ini dikarenakan dengan tingginy BMI maka
kadar kolesterol dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurasi garam
empedu serta mengurangi kontraksi/pengosongan kandung empedu.
d. Makanan
Intake rendah klorida, kehilangan berat yang cepat (seperti setelah operasi
gastrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan
dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.
e. Riwayat keluarga
Orang dengan riwayat keluarga batu empedu mempunyai resiko lebih besar
dibandingkan dengan tanpa riwayat keluarga
f. Aktifitas fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhubungan dengan peningkatan resiko terjadi
batu empedu. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit
berkontraksi.
g. Penyakit usus halus
Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan batu empedu adalah crhon
disease, diabetes, anemia sel sabit, trauma, dan ileus paralitik
h. Nutrisi intravena jangka lama
Nutirisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak
terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/nutrisi yang melewati
intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam
kandung empedu

E. Patofisiologi Kolesistolitiasis
Batu empedu yang ditemukan pada kandung empedu di klasifikasikan
berdasarkan bahan pembentuknya sebagai batu kolesterol, batu pigmen dan batu
campuran. Lebih dari 90 % batu empedu adalah kolesterol (batu yang mengandung >
50% kolesterol) atau batu campuran ( batu yang mengandung 20-50% kolesterol). 10 %
sisanya adalah batu jenis pigmen, yang mana mengandung <20% kolesterol.
Faktor yang mempengaruhi pembentukan batu antara lain adalah keadaan stasis
kandung empedu, pengosongan kandung empedu yang tidak sempurna dan kosentrasi
kalsium dalam kandung empedu.Batu kandung empedu merupakan gabungan material
mirip batu yang terbentuk di dalam kandung empedu. Pada keadaan normal, asam
empedu, lesitin dan fosfolipid membantu dalam menjaga solubilitas empedu. Bila
empedu menjadi bersaturasi tinggi (supersaturated) oleh substansi berpengaruh
(kolesterol, kalsium, bilirubin), akan berkristalisasi dan membentuk nidus untuk
pembentukan batu. Kristal yang terbentuk dalam kandung empedu, kemudian lama
kelamaan tersebut bertambah ukuran, beragregasi, melebur dan membentuk batu. Factor
motilitas kandung empedu dan biliary stasis merupakan predisposisi pembentukan batu
campuran.
a. Supersaturasi kolesterol
Secara normal, komposisi empedu terdiri atas 70 % garam empedu,
22%fosfolipid (terutama lesitin), 4% kolesterol, 3% protein, dan 0,3%
bilirubin.Terbentuknya batu empedu tergantung dari keseimbangan kadar garam
empedu, kolesterol dan lesitin. Semakin tinggi kadar kolesterol atau semakin
rendah kandungan garam empedu, akan membuat kondisi di dalam kandung
empedu jenuh akan kolesterol (supersaturasi kolesterol). Kolesterol disintesis
dihati dan diekskresikan dalam bentuk garam empedu. Dengan meningkatnya
sintesis dan sekresi kolesterol, resiko terbentuknya empedu juga meningkat.
Penurunan berat badan yang terlalu cepat (karena hati mensintesis kolesterol lebih
banyak), maka esterogen dan kontrasepsi (menurunkan sintesis garam empedu)
menyebabkan supersaturasi kolesterol.
b. Pembentukan inti kolesterol
Faktor pembentukan inti kolesterol mempunyai peran lebih besar
dalamproses pembentukan dibandingkan faktor supersaturasi. Kolesterol baru
dapat dimetabolisme di dalam usus dalam bentuk terlarut air. Dan empedu
memainkan peran tersebut. Kolesterol diangkut dalam bentuk misel dan vesikel.
Misel merupakan agregat yang berisi fosfolipid (terutama lesitin), garam empedu
dan kolesterol. Apabila saturasi kolesterol lebih tinggi, maka akan diangkut dalam
bentuk vesikel. Vesikel ibarat sebuah lingkaran dua lapis. Apabila kosentrasi
kolesterol sangat banyak, dan supaya kolesterol dapat terangkut, maka vesikel
akan memperbanyak lapisan lingkarannya, sehingga disebut sebagai vesikel
berlapis-lapis (vesicles multilamellar). Pada akhirnya, di dalam kandung empedu,
pengangkut kolesterol, baik misel dan vesikel, akan bergabung menjadi vesikel
multilapis. Vesikel ini dengan adanya protein musin akan membentuk Kristal
kolesterol. Kristal kolesterol yang terfragmentasi pada akhirnya akan di lem
(disatukan) oleh protein empedu membentuk batu
kolesterol.
c. Penurunan fungsi kandung empedu
Menurunnya kemampuan kontraksi dan kerusakan dinding kandung
empedu, memudahkan seseorang menderita batu empedu. Kontraksi kandung
empedu yang melemah akan menyebabkan stasis empedu. Stasis empedu akan
membuat musin yang di produksi di kandung empedu terakumulasi seiring dengan
lamanya cairan empedu tertampung dalam kandung empedu. Musin tersebut akan
semakin kental dan semakin pekat sehingga semakin menyulitkan proses
pengosongan cairan empedu. Bila daya kontraksi kandung empedu menurun dan
di dalam kandung empedu tersebut sudah ada Kristal, maka Kristal tersebut tidak
akan dapat dibuang keluar ke duodenum. Beberapa kondisi yang dapat
menganggu daya kontraksi kandung empedu, yaitu hipomotilitas, parenteral total
(menyebabkan aliran empedu menjadi lambat), kehamilan, cedera medulla
spinalis dan diabetes melitus.
(Acalovschi, 2014)

F. Diagnosis Kolesistolitiasis
a. Anamnesis
Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asimtomatis.
Keluhan yang mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang disertai intoleran
terhadap makanan berlemak. Pada yang simptomatis, pasien biasanya dating
dengan keluhan utama berupa nyeri di daerah epigastrium atau nyeri/kolik pada
perut kanan atas atau perikondrium yang mungkin berlangsung lebih dari 15
menit, dan kadang beberapa jam. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan
tetapi pada 30% kasus timbul tiba-tiba. Kadang pasien dengan mata dan tubuh
menjadi kuning, badan gatal-gatal, kencing berwarna seperti teh, tinja berwarna
seperti dempul dan penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, scapula, atau
kepuncak bahu, disertai mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita
melaporkan bahwa nyeri berkurang setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi
kolelitiasis, keluhan nyeri menetap dan bertambah pada waktu menarik nafas
dalam.
b. Pemeriksaan fisik
Pasien dengan stadium litogenik atau batu asimptomatik tidak memiliki
kelainan dalam pemeriksaan fisik. Selama serangan kolik bilier, terutama pada
saat kolelitiasis akut, pasien akan mengalami nyeri palpasi/nyeri tekan dengan
punktum maksimum didaerah letak anatomis kandung empedu. Diketahui dengan
adanya tanda Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita
menarik nafas panjang karena kandung empedu yang meradang tersentuh ujung
jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas. Riwayat ikterik maupun
ikterik cutaneous dan sclera dan bisa teraba hepar.
c. Pemeriksaan laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan
kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat
terjadi lekositosis. Dapat ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum akibat
penekanan duktus koledokus oleh batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi
mungkin disebabkan oleh batu didalam duktus koledokus. Kadar fosfatase alkali
serum dan mungkin juga kadar amylase serum biasanya meningkat sedang setiap
kali terjadi serangan akut.
d. Pencitraan
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas
karena hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak.
Kadang kandung empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium
tinggi dapat dilihat dengan foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung
empedu yang membesar atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai
massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam
usus besar, di fleksura hepatica.
Pemeriksaan ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas
yang tinggi untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran
empedu intrahepatic maupun ekstra hepatic. Dengan USG juga dapat dilihat
dinding kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem yang
diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus
koledokus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara di dalam usus.
Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang
ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi biasa.Kolesistografi, untuk penderita
tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relative murah,
sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat
dihitung jumlah dan ukuran batu. Cara ini memerlukan lebih banyak waktu dan
persiapan dibandingkan ultrasonografi. Pemeriksaan kolesistografi oral lebih
bermakna pada penilaian fungsi kandung
empedu.
Penataan hati dengan HIDA, metode ini bermanfaat untuk menentukan
adanya obstruksi di duktus sistikus misalnya karena batu. Juga dapat berguna
untuk membedakan batu empedu dengan beberapa nyeri abdomen akut. HIDA
normalnya akan diabsorpsi di hati dan kemudian akan di sekresi ke kantong
empedu dan dapat dideteksi dengan kamera gamma. Kegagalan dalam mengisi
kantong empedu menandakan adanya batu sementara HIDA terisi ke dalam
duodenum.
Computed Tomografi (CT) juga merupakan metode pemeriksaan yang
akurat untuk menentukan adanya batu empedu, pelebaran saluran empedu dan
koledokolitiasis. Walupun demikian, teknik ini jauh lebih mahal disbanding USG.
Percutaneous Transhepatic Cholangiographi (PTC) dan Endoscopic
Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP) merupakan metode kolangiografi
direk yang amat bermanfaat untuk menentukan adanya obstruksi bilier dan
penyebab obstruksinya seperti koledokolitiasis. Selain untuk diagnosis ERCP juga
dapat digunakan untuk terapi dengan melakukan sfingterotomi ampula vateri
diikuti ekstraksi batu. Tes invasive ini melibatkan opasifikasi lansung batang
saluran empedu dengan kanulasi endoskopi ampula vateri dan suntikan retrograde
zat kontras. Resiko ERCP pada hakekatnya dari endoskopi dan mecakup sedikit
penambahan insidens kolangitis dalam saluran empedu yang tersumbat sebagian.
(Acalovschi, 2014)

G. Tatalaksana Kolesistolitiasis
Kebanyakan pasien dengan batu kandung empedu tidak menunjukkan gejala
serius. Namun, apabila muncul kolik biliaris, maka satu-satunya terapi definitive yang
dapat dilakukan adalah cholesistektomi. Pengambilan batu tanpa pengambilan kandung
empedu hanya akan membuat batu kembali terbentuk. Pengambilan kandung empedu
tidak akan mempengaruhi kerja hati dalam memproduksi cairan empedu, pasien mungkin
dapat mengalami diare beberapa saat setelah operasi dan harus memperbaiki gaya hidup
setelah operasi.(Acalovschi, 2014)
Pembentukan batu pada kandung empedu dapat dicegah utamanya dengan pola
hidup sehat, terutama pasien dengan faktor resiko wanita dengan obesitas, wanita hamil,
dan riwayat keluarga dengan penyakit serupa. Pada pasien dengan obesitas, perlu
diperhatikan juga apabila dilakukan perbaikan gaya hidup harus dilakukan secara
gradual, perlahan dalam waktu yang cukup, agar tidak terjadi penurunan berat badan
terlalu banyak dalam waktu singkat yang dapat menyebabkan terbentuknya batu empedu.
Penggunaan obat-obatan seperti chenodeoxycholic atau ursodeoxycholic acids tidak
dianjurkan karena mahal, kecuali pada pasien wanita dengan obesitas yang mengalami
penurunan berat badan dalm waktu singkat. Cara yang lebih tepat adalah dengan makan
secara teratur dalam porsi cukup dan gizi seimbang, memberikan jeda yang cukup pada
setiap jam makan, seperti camilan sebelum tidur untuk mencegah pencernaan kosong
terlalu lama. Melakukan olahraga teratur, menghindari alcohol serta rokok juga akan
mencegah penumpukan kolesterol.
DAFTAR PUSTAKA

Acalovschi, M. (2014). Gallstones in patients with liver cirrhosis: Incidence, etiology, clinical
and therapeutical aspects. World Journal of Gastroenterology, 20(23), 7277. doi:
10.3748/wjg.v20.i23.7277
Albert J. Bredenoord, Andre S, Jan T. Functional Anatomy and Pysiology .A guide to

Gastrointestinal Motility Disorder, Springer; 2016:1-13

Hall JE (2014). Guyton dan hall buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi ke 12. Jakarta: Elsevier.

Toouli J and Bhandari M, Anatomy and Physiology of the Biliary tree and Gallbladder

and Bile ducts, in, Diagnosis and Treatment Blackwell Publishing 2009, Second

Edition. Chapter I : 3-20

Sulaiman, A. 2009. Bab Pendekatan klinis pada pasien ikterus dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam. Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.

Winslow T. (2015) Bile Duct Cancer Treatment Patient version U.S Govt

Anda mungkin juga menyukai