Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

CHOLELITHIASIS

DISUSUN OLEH:

MEIKE SISCA
1261050042

PEMBIMBING:

dr. Sessy A M, M. Biomed, SpB

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA JAKARTA

2017
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Cholelithiasis atau batu empedu merupakan penyakit yang sering ditemukan di
negara maju dan jarang ditemukan di negara-negara berkembang. Dengan
membaiknya keadaan sosial ekonomi, perubahan menu makanan ala barat serta
perbaikan sarana diagnosis khususnya ultrasonografi, prevalensi penyakit batu
empedu di negara-negara berkembang cenderung meningkat.1
Di Ameriksa Serikat, beberapa kasus cholelithiasis ditemukan pada 20%
perempuan dan 8% pada pria dengan usia di atas 40 tahun dan 40% pada wanita
dengan usia diatas 65 tahun. Prevalensi batu empedu bervariasi antara etnis yang
berbeda populasi. Kelompok etnis tertentu memiliki prevalensi lebih tinggi, seperti
Indian Pima yang mempunyai prevalensi mencapai 70% dengan usia 25 tahun.2
Studi Italia Multisenter dari cholelithiasis (MICOL), yang memeriksa hampir
33.000 subjek berusia 30-69 tahun, secara keseluruhan menyatakan bahwa penyakit
batu empedu 18,8% terjadi pada wanita dan 9,5% pada laki-laki. Hasil serupa juga
ditemukan dalam studi Simione. Selain itu, dalam studi Simione, pemeriksaan
ultrasonography diulangi pada pasien yang sama setiap interval 5 tahun. Pada
interval 10 tahun, ditemukan 4,6% kejadian batu empedu baru.2
Gangguan pada saluran empedu mempengaruhi sebagian besar populasi dunia.
Mayoritas kasus gangguan saluran empedu di Amerika Serikat disebabkan oleh
cholelihiasis (batu empedu). Sebanyak 20% masyarakat yang berusia lebih dari 65
tahun memiliki batu empedu, dan satu juta kasus batu empedu baru didiagnosis dan
dilaporkan setiap tahunnya.3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Cholelithiasis atau batu empedu merupakan gabungan dari beberapa unsur
yang membentuk suatu material mirip batu yang dapat ditemukan dalam kandung
empedu (kolesistolitiasis), di dalam saluran empedu (koledokolitiasis) atau pada
kedua-duanya.4

Gambar 1. Gambaran batu dalam kandung empedu5

B. KANTONG EMPEDU
Kandung empedu merupakan kantong berbentuk alpukat yang terletak tepat
dibawah lobus kanan hati. Kandung empedu mempunyai fundus, corpus,
infundibulum, dan collum. Fundus bentuknya bulat, ujungnya buntu dari kandung
empedu. Corpus merupakan bagian terbesar dari kandung empedu. Collum adalah
bagian yang sempit dari kandung empedu.6
Empedu yang disekresi secara terus menerus oleh hati masuk ke saluran
empedu dalam hati. Saluran empedu yang kecil bersatu membentuk dua saluran yang
lebih besar yang keluar dari permukaan hati sebagai Ductus hepaticus communis.
Ductus hepaticus bergabung dengan Ductus cysticus membentuk Ductus
choledochus.7
Gambar 2. Gambaran anatomi kandung empedu8

C. FISIOLOGI
Salah satu fungsi hati adalah untuk mengeluarkan empedu, normalnya antara
600-1200 ml/hari7. Kandung empedu mampu menyimpan sekitar 45 ml empedu.
Diluar waktu makan, empedu disimpan untuk sementara di dalam kandung empedu,
dan mengalami pemekatan sekitar 50%. Fungsi primer dari kandung empedu adalah
memekatkan empedu dengan absorpsi air dan natrium. Kandung empedu mampu
memekatkan zat terlarut yang terkandung dalam empedu hepatik 5-10 kali dan
mengurangi volumenya 80-90%.5,6 Menurut Guyton & Hall empedu melakukan dua
fungsi penting yaitu9 :
1. Empedu memainkan peranan penting dalam pencernaan dan absorpsi lemak,
karena asam empedu yang melakukan dua hal antara lain: membantu
mengemulsikan partikel-partikel lemak yang besar menjadi partikel yang lebih
kecil dengan bantuan enzim lipase yang disekresikan dalam getah pankreas dan
membantu transpor dan absorpsi produk akhir lemak yang dicerna menuju dan
melalui membran mukosa intestinal.
2. Empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa produk
buangan yang penting dari darah, antara lain bilirubin, suatu produk akhir dari
penghancuran hemoglobin, dan kelebihan kolesterol yang di bentuk oleh sel- sel
hati.
Pengosongan kandung empedu dipengaruhi oleh hormon cholecystokinin,
hal ini terjadi ketika makanan berlemak masuk ke duodenum sekitar 30 menit
setelah makan. Dasar yang menyebabkan pengosongan adalah kontraksi ritmik
dinding kandung empedu, tetapi efektifitas pengosongan juga membutuhkan
relaksasi yang bersamaan dari Sphincter Oddi yang menjaga pintu keluar Ductus
biliaris communis kedalam duodenum. Selain cholecystokinin, kandung empedu
juga dirangsang kuat oleh serat-serat saraf yang mensekresi asetilkolin dari
sistem saraf vagus dan enterik. Kandung empedu mengosongkan simpanan
empedu pekatnya ke dalam duodenum terutama sebagai respon terhadap
perangsangan cholecystokinin. Saat lemak tidak terdapat dalam makanan,
pengosongan kandung empedu berlangsung buruk, tetapi bila terdapat jumlah
lemak yang adekuat dalam makanan, normalnya kandung empedu kosong secara
menyeluruh dalam waktu sekitar 1 jam9.
Garam empedu, lecitin, dan kolesterol merupakan komponen terbesar
(90%) cairan empedu. Sisanya adalah bilirubin, asam lemak, dan garam
anorganik. Garam empedu adalah steroid yang dibuat oleh hepatosit dan berasal
dari kolesterol. Pengaturan produksinya dipengaruhi mekanisme umpan balik
yang dapat ditingkatkan sampai 20 kali produksi normal kalau diperlukan4.
D. ETIOLOGI
Etiologi batu empedu masih belum diketahui secara pasti. Kolelitiasis dapat terjadi
dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun, semakin banyak faktor resiko yang
dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor
resiko tersebut antara lain:
a. Jenis Kelamin
Wanita mempunyai resiko 2-3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan
dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap peningkatan
eskresi kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang menigkatkan kadar esterogen
juga meningkatkan resiko terkena kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi
hormon (esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan
penurunan aktivitas pengosongan kandung empedu.
b. Usia
Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Orang
dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan
orang degan usia yang lebih muda.
c. Obesitas
Kondisi obesitas akan meningkatkan metabolism umum, resistensi insulin, diabetes
militus tipe II, hipertensi dan hyperlipidemia berhubungan dengan peningkatan sekresi
kolesterol hepatica dan merupakan faktor resiko utama untuk pengembangan batu
empedu kolesterol.
d. Statis Bilier
Kondisi statis bilier menyebabkan peningkatan risiko batu empedu. Kondisi yang bisa
meningkatkan kondisi statis, seperti cedera tulang belakan (medulla spinalis), puasa
berkepanjangan, atau pemberian diet nutrisi total parenteral (TPN), dan penurunan berat
badan yang berhubungan dengan kalori dan pembatasan lemak (misalnya: diet rendah
lemak, operasi bypass lambung). Kondisi statis bilier akan menurunkan produksi garam
empedu, serta meningkatkan kehilangan garam empedu ke intestinal.
e. Obat-obatan
Estrogen yang diberikan untuk kontrasepsi atau untuk pengobatan kanker prostat
meningkatkan risiko batu empedu kolesterol. Clofibrate dan obat fibrat hipolipidemik
meningkatkan pengeluaran kolesterol hepatic melalui sekresi bilier dan tampaknya
meningkatkan resiko batu empedu kolesterol. Analog somatostatin muncul sebagai faktor
predisposisi untuk batu empedu dengan mengurangi pengosongan kantung empedu.
f. Diet
Duet rendah serat akan meningkatkan asam empedu sekunder (seperti asam
desoksikolat) dalam empedu dan membuat empedu lebih litogenik. Karbohidrat dalam
bentuk murni meningkatkan saturasi kolesterol empedu. Diet tinggi kolesterol
meningkatkan kolesterol empedu.
g. Keturunan
Sekitar 25% dari batu empedu kolesterol, faktor predisposisi tampaknya adalah turun
temurun, seperti yang dinilai dari penelitian terhadap kembar identik fraternal.
h. Infeksi Bilier
Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat memgang peranan sebagian pada
pembentukan batu dengan meningkatkan deskuamasi seluler dan pembentukan mucus.
Mukus meningkatkan viskositas dan unsur seluler sebagai pusat presipitasi.
i. Gangguan Intestinal
Pasien pasca reseksi usus dan penyakit crohn memiliki risiko penurunan atau
kehilangan garam empedu dari intestinal. Garam empedu merupakan agen pengikat
kolesterol, penurunan garam pempedu jelas akan meningkatkan konsentrasi kolesterol
dan meningkatkan resiko batu empedu.
j. Aktifitas fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya kolelitiasis.
Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi.
k. Nutrisi intravena jangka lama
Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi
untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang melewati intestinal. Sehingga
resiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung empedu.

E. PATOFISIOLOGI
1. Batu kolesterol
Batu kolesterol murni tidak biasa ditemukan dan terjadi pada kurang dari
10% dari seluruh kejadian batu empedu. Batu ini biasanya miuncul sebagai batu
besar dan tunggal dengan permukaan yang halus. Kebanyakan batu kolesterol
mengandung pigmen empedu dan kalsium yang kadarnya bervariasi, tapi biasanya
terkandung sebanyak 70% dari berat batu kolesterol. Batu kolesterol tipe ini
biasanya jumlahnya multipel, bentuk dan ukurannya bervariasi, keras dan bersegi
atau irreguler, berbentuk seperti buah mullberry dan lembut. Warnanya bervariasi
dari warna kuning keputihan dan hijau sampai hitam. Kebanyakan batu kolesterol
merupakan batu radiolusen; hanya kurang dari 10% yang radioopak.6
Kolesterol disekresikan ke dalam empedu sebagai vesikel kolesterol-
fosfolipid. Kolesterol dpertahankan dalam bentuk larutan oleh micelles, sebuah
kompeks konjugasi garam embedu-fosfolipid-kolesterol, dan juga oleh vesikel
kolesterol-fosfolipid. Keberadaan vesikel dan micelles dalam satu kompartemen
yang aquaeous mempermudah berpindahnya lipid diantara keduanya. Maturasi
vesikuler terjadi pada saat vesikel lipid tergabung dengan micelle. Vesikel
fosfolipid bergabung dengan micelle dan lebih mudah terjadi dibanding vesikel
kolesterol. Sehingga vesikel tersebut mengandung kadar kolesterol yang tinggi,
menjadi tidak stabil, dan terjadi nukleasi kristal kolesterol. Pada enmedu yang
tidak tersaturasi, terkumpulnya kolesterol dalam vesikel tidak terlalu penting.
Dalam empedu yang mengalami supersaturasi, zona kpadat kolesterol terbentuk
pada permukaan vesikel dengan kadar kolesterol tinggi, yasng menyebabkan
tampaknya gambaran kristal kolesterol. Sebanyak sepertiga kolesterol bilier
ditransportasikan dalam micelle, namun vesikel kolesterol-fosfolipid membawa
mjayoritas kolesterol bilier.6

Gambar 3. Batu kolesterol10

2. Batu pigmen
Batu pigmen mengandung kurang dari 20% kolesterol dan berwarna gelap
karena mengandung kalsium bilirubinat. Batu pigmen hitam dan batu pigmen
coklat hanya memiliki sedikit kesamaanm, sehingga harus dipertimbangkan
sebagai entitas yang berbeda.6
Batu pigmen hitam biasanya kecil, rapuh, berwarna hitam, dan kadang
berspikula. Batu ini terbentuk dari supersaturasi kalsium bilirubuinat, karbonat,
dan fosfat, seringnya terbentuk secara tidak langsung dari kelainan hemolitik
seperti sferositosis herediter dan penyakit sickle cell, dan pada mereka yang
mengalami sirosis. Seperti batu kolesterol, batu tipe ini hampir selalu terrbentuk
dalam kandung empedu. Bilirubin yang tidak terkonjugasi lebih sulit larut
daripada bilirubin yang terkonjugasi. Dekonjugasi bilirubin terjadi pada empedu
secara normal dalam tingkat yang lambat. Meningkatnya kadar bilirubiun
terkonjugasi, seperti dalam kasus hemolisis, menyebabkan peningkatan produksi
bilirubin yang tidak terkonjugasi. Sirosis dapat menyebabkan meningkatnya
sekresi bilirubin yang tidak terkonjugasi. Ketika perubahan keadaan
menyebabkan peningkatan dekonmjugasi bilirubin dalam empedu, presipitasi
dengan kalsium terjadi. 6

Gambar 4. Batu pigmen11

F. MANIFESTASI KLINIS
Studi perjalanan penyakit sampai 50 % dari semua pasien dengan batu
kandung empedu, tanpa mempertimbangkan jenisnya, adalah asimptomatik. Kurang
dari 25% dari pasien yang benar-benar mempunyai batu empedu asimptomatik akan
merasakan gejalanya yang membutuhkan intervensi setelah periode waktu 5 tahun.
Tidak ada data yang merekomendasikan cholecystectomy rutin dalam semua pasien
dengan batu empedu asimptomatik.6
Gejala yang sering muncul berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan
atas. Nyerinya ditandai dengan nyeri yang sakit sekali dan menetap atau rasa penuh
di epigastrium atau kuadran kanan atas abdomen yang menjalar ke area
intrascapular, scapula kanan, atau bahu. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang
berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam
kemudian. Kolik biliaris, nyeri pascaprandial kuadran kanan atas, biasanya
dipresipitasi oleh makanan berlemak, terjadi 30-60 menit setelah makan, berakhir
setelah beberapa jam dan kemudian pulih, disebabkan oleh batu empedu, dirujuk
sebagai kolik biliaris. Mual dan muntah sering kali berkaitan dengan serangan kolik
biliaris.4,6
Ahmad, et al (2000) membedakan kolik biliaris dan cholelithiasis akut sebagai
berikut :12
Tabel 1. Perbedaan kolik biliaris dan cholelithiasis akut
Feature Billiary Colic Acute Colelithiasis

Pain caracter Visceral Parietal

Pain location Epigastrium Right upper quadrant

Pain duration < 3 hours > 3 hours

Presence of mass none Right upper quadrant

Fever Absent Present

Leukocytosis Absent Present

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatis umumnya tidak menunjukkan kelainan pada
pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi leukositosis.
Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum akibat
penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin
disebabkan oleh batu didalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan
mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat sedang setiap kali terjadi
serangan akut. Enzim hati AST (SGOT), ALT (SGPT), LDH agak meningkat. Kadar
protrombin menurun bila obstruksi aliran empedu dalam usus menurunkan absorbs
vitamin K.

Pemeriksaan sinar-X abdomen


Pemeriksaan sinar-X abdomen bisa dilakukan jika ada kecurigaan akan penyakit
kandung empedu dan untuk menyingkirkan penyebab gejala yang lain. Namun demikian,
hanya 15-20% batu empedu yang mengalami cukup kalsifikasi untuk dapat tampak
melalui pemeriksaan sinar-X.

Foto polos abdomen


Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya
sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung empedu
yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto
polos. Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops,
kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas
yang menekan gambaran udara dalam usus besar di fleksura hepatika. Walaupun teknik
ini murah, tetapi jarang dilakukan pada kolik bilier sebab nilai diagnostiknya rendah.

Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan USG telah menggantikan kolesistografi oral sebagai prosedur diagnostik
pilihan karena pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cepat dan akurat, dan dapat
digunakan pada prndrita disfungsi hati dan icterus. Disamping itu, pemerikasaan USG
tidak membuat pasien terpajan radiasi ionisasi. Prosedur ini akan memberikan hasil
paling akurat jika pasien sudah berpuasa pada malam harinya sehingga kandung
empedunya dalam keadaan distensi. Penggunaan ultra sound berdasarkan pada
gelombang suara yang dipantulkan kembali.
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk
mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun
ekstrahepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal
karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu
yang terdapat pada duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh
udara didalam usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung
empedu yang ganggren lebih jelas daripada di palpasi biasa.
USG (US) merupakan metode non-invasif yang sangat bermanfaat dan merupakan
pilihan pertama untuk mendeteksi kolelitiasis dengan ketepatan mencapai 95%. Kriteria
batu kandung empedu pada US yaitu dengan acoustic shadowing dari gambaran opasitas
dalam kandung empedu. Walaupun demikian, manfaat US untuk mendiagnosis BSE
relatif rendah. Pada penelitian kami yang mencakup 119 pasien dengan BSE sensitivitas
US didapatkan sebesar 40%, spesifisitas 94%. Kekurangan US dalam mendeteksi BSE
disebabkan : a) bagian distal saluran empedu tempat umumnya batu terletak sering sulit
diamati akibat tertutup gas duodenum dan kolon dan b) saluran empedu yang tidka
melebar pada sejumlah kasus BSE.

Kolesistografi
Meskipun sudah digantikan dengan USG sebagai pilihan utama, namun untuk penderita
tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif murah, sederhana, dan
cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran
batu. Kolesistografi oral dapat digunakan untuk mendeteksi batu empedu dan mengkaji
kemempuan kandung empedu untuk melakukan pengisian, memekatkan isinya,
berkontraksi, serta mengosongkan isinya. Media kontras yang mengandung iodium yang
diekresikan oleh hati dan dipekatkan dalam kandung empedu diberikan kepada pasien.
Kandung empedu yang normal akan terisi oleh bahan radiopaque ini. Jika terdapat batu
empedu, bayangannya akan Nampak pada foto rontgen. Kolesistografi oral akan gagal
pada keadaan ileus paralitik, muntah, kehamilan, kadar bilirubin serum diatas 2mg/dl,
obstruksi pilorus, ada reaksi alergi terhadap kontras, dan hepatitis karena pada keadaan-
keadaan tertentu tersebut kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan kolesistografi
oral lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung empedu. Cara ini juga memerlukan
lebih banyak waktu dan persiapan dibandingkan ultrasonografi.
Endoscopic Retrograde Cholangiopnacreatography (ERCP)
Pemeriksaan ERCP memungkinkan visualisasi struktur secara langsung yang hanya
dapat dilihat pada saat melakukan laparotomi. Pemeriksaan ini meliputi insersi endoskop
serat-optik yang fleksibel ke dalam esophagus hingga mencapai duodenum pasrs
desenden.Sebuah kanula dimasukkan ke dalam duktus koledokus dan duktus
pankreatikus, kemudian bahan kontras disuntikkan ke dalam duktus tersebut untuk
memungkinkan visualisasi serta evaluasi percabangan bilier. ERCP juga memungkinkan
visualisasi langsung struktur ini dan memudahkan akses ke dalam duktus koledokus
bagian distal untuk mengambil batu empedu.

Percutaneous Transhepatic Cholangiography (PTC)


Pemeriksaan kolangiografi ini meliputi penyuntikan bahan kontras secara langsung ke
dalam percabangan bilier. Karena konsentrasi bahan kontras yang disuntikkan relative
besar, maka semua komponen dalam system bilier tersebut, yang mencakup duktus
hepatikus dalam hati, keseluruhan panjang doktus koledokus, duktus sistikus dan
kandung empedu, dapat dilihat garis bentuknya dengan jelas.

Computed Tomografi (CT)


CT scan juga merupakan metode pemeriksaan yang akurat untuk menentukan adanya
batu empedu, pelebaran saluran empedu dan koledokolitiasis. Walaupun demikian, teknik
ini jauh lebih mahal dibanding US.

H. PENATALAKSANAAN
Konservatif
1. Lisis batu dengan obat-obatan
Sebagian besar pasien dengan batu empedu asimptomatik tidak akan
mengalami keluhan dan jumlah, besar, dan komposisi batu tidak berhubungan
dengan timbulnya keluhan selama pemantauan. Kalaupun nanti timbul keluhan
umumnya ringan sehingga penanganan dapat elektif. Terapi disolusi dengan
asam ursodeoksikolat untuk melarutkan batu empedu kolesterol dibutuhkan
waktu pemberian obat 6-12 bulan dan diperlukan monitoring hingga dicapai
disolusi. Terapi efektif pada ukuran batu kecil dari 1 cm dengan angka
kekambuhan 50 % dalam 5 tahun.2
2. Disolusi kontak
Metode ini didasarkan pada prinsip PTC dan instilasi langsung pelarut
kolesterol ke kandung empedu. Prosedur ini invasif dan kerugian utamanya
adalah angka kekambuhan yang tinggi.3
3. Lithotripsy (Extracorvoral Shock Wave Lithotripsy = ESWL)
Lithotripsy gelombang elektrosyok meskipun sangat populer beberapa
tahun yang lalu, analisis biaya-manfaat pada saat ini hanya terbatas untuk pasien
yang benar-benar telah dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini. Efektifitas
ESWL memerlukan terapi adjuvant asam ursodeoksikolat.
Operatif
1. Cholecystostomy
Kolesistostomi berguna untukdekompesi dan drainase kandung emedu
yang terdistensi, mengalami inflamasi, hidropik atau purulen. Tinmdakan ini
dapat dilakukan pada pasien yang tiudak cukup memungkinkan kondisinya untuk
dilakukan operasi abdominal. Drainase perkutaneus yang dituntun ultrasound
dengan kateter pigtail merupakan prosedur yang dipilih. Kateter dimasukkan
melalui kawat penuntun yang sebelumya telah dipasang menembus dinding
abdomen, hepar, dan masuk ke dalam kandung empedu. Dengan menggunakan
kateter yang melewati hepar, resiko terjadinya empedu yang merembes dari
sekitar kateter dapat dikurangi. Kateter dapat dilepas apabila inflamasi sudah
hilang dan kondisi pasien membaik. Kandung empedu dapat dibuang jika ada
indikasi, biasanya dengan tindakan laparoskopi.6
2. Open cholecystectomi
Operasi ini merupakan standar untuk penanganan pasien dengan batu
empedu simptomatik. Indikasi yang paling umum untuk cholecystectomy adalah
kolik biliaris rekuren, diikuti oleh cholecystitis akut. Komplikasi yang berat
jarang terjadi, meliputi trauma CBD, perdarahan, dan infeksi. Data baru-baru ini
menunjukkan mortalitas pada pasien yang menjalani cholecystectomy terbuka
pada tahun 1989, angka kematian secara keseluruhan 0,17 %, pada pasien kurang
dari 65 tahun angka kematian 0,03 % sedangkan pada penderita diatas 65 tahun
angka kematian mencapai 0,5 %.6
3. Cholecystectomy laparoscopy
Kelebihan tindakan ini meliputi nyeri pasca operasi lebih minimal,
pemulihan lebih cepat, hasil kosmetik lebih baik, mempersingkatkan waktu
perawatan di rumah sakit dan biaya yang lebih murah. Indikasi tersering adalah
nyeri bilier yang berulang. Kontraindikasi absolut serupa dengan tindakan terbuka
yaitu tidak dapat mentoleransi tindakan anestesi umum dan koagulopati yang
tidak dapat dikoreksi. Komplikasi yang terjadi berupa perdarahan, pankreatitis
bocor Ductus cysticus dan trauma Ductus biliaris. Resiko trauma Ductus biliaris
sering dibicarakan, namun umumnya berkisar antara 0,5–1%. Dengan
menggunakan teknik laparoskopi kualitas pemulihan lebih baik, tidak terdapat
nyeri, kembali menjalankan aktifitas normal dalam 10 hari, cepat bekerja kembali,
dan semua otot abdomen utuh sehingga dapat digunakan untuk aktifitas olahraga.
Kolesistektomi laparoskopik kini menggantikan kolesistektomi terbuka
sebagai pilihan pertama atas tindakan pada batu empedu dan peradangan kantung
empedu, kecuali jika terdapat kontra-indikasi terhadap pendekatan laparoskopik.
Ini karena bedah terbuka memiliki risiko infeksi yang lebih besar bagi pasien.14
Kadang-kadang, kolesistektomi laparoskopik dilanjutkan dengan kolesistektomi
terbuka untuk alasan teknis atau keamanan.
Risiko prosedural dan komplikasi
Kolesistektomi laparoskopik tidak memerlukan pemotongan otot pada
perut, sehingga tidak begitu sakit, cepat pulih, bekas luka relatif kecil, dan
komplikasi yang relatif sedikit seperti infeksi dan pelekatan antara jaringan dan
organ. Sebagian besar pasien dapat meninggalkan rumah sakit pada hari yang
sama, atau keesokan harinya setelah pembedahan, dan dapat kembali kerja dalam
waktu sepekan. Selain itu, beberapa ahli bedah menggunakan alat-alat yang
fleksibel (lentur). Dengan menggunakan sistem bedah SPIDER, para ahli bedah
dapat melakukan kolesistektomi dengan pengirisan tunggal melalui pusar pasien.
Pasien bedah laparoskopik ini seringkali pulih lebih lekas daripada cara
tradisional, dan meninggalkan bekas pembedahan yang hampir tidak kentara.
4. Cholecystectomy minilaparotomy
Modifikasi dari tindakan cholecystectomy terbuka dengan insisi lebih kecil
dengan efek nyeri pasca operasi lebih rendah.7
Komplikasi Tindakan Operatif
Tindakan operatif khususnya cholecystectomy menimbulkan komplikasi pada beberapa
kasus. Gejala-gejala yang timbul setelah tindakan cholecystectomy biasa dikenal dengan
postcholecystectomy syndrome (PCS). Gejala-gejala ini dapat berupa derita pada sistem
pencernaan dan nyeri yang hebat pada perut bagian kanan atas. Sebanyak 20 persen
pasien mengalami mencret berkepanjangan.15 Penyebabnya tidak begitu jelas, tetapi
diduga karena adanya gangguan pada sistem empedu. Sebagian besar kasus pembedahan
memerlukan pemulihan selama beberapa pekan, meskipun dalam kasus yang jarang
terjadi memerlukan waktu bertahun-tahun. Keadaan ini dapat dikendalikan melalui proses
pengobatan.16 PCS terjadi karena cairan empedu tidak punya 'tempat penampungan' lagi
sehingga cairan empedu bisa masuk ke rongga abdomen. Gejala-gejala yang sering
muncul antara lain :13

1. Esofagitis
2. Gastritis
3. Diare
4. Nyeri perut
5. Kolik abdomen

I. KOMPLIKASI
Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan
mengakibatkan/menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi
ada dalam kandung empedu terdorong dna dapat menutupi duktus sistikus, batu dapat
menetap ataupun terlepas lagi. Apabila batu menutupi duktus sistikus secara menetap
makan mungkin dapat terjadi mukokel, bila terjadi infeksi maka mukokel dapat
menjadi suatu empiema, biasanya kandung empedu dikelilingi dan ditutupi oleh alat
alat perut (kolon, omentum), dan dapat juga membentuk suatu fistel kolesitoduodenal.
Penyumbatan duktus sistikus dapat juga berakibat terjadinya kolesistitis akut yang dapat
sembuh atau dapat mengakibatkan nekrosis sebagian dinding (dapat ditutupi alat
sekitarnya) dan dapat membentuk suatu fistel kolesitoduodenal ataupun dapat terjadi
perforasi kandung empedu yang berakibat terjadi peritonitis generalisata.
Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada saat kontraksi
dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus koledokus kemudian
menetap asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik. Batu yang menyumbat di
duktus koledokus juga berakibat terjadinya ikterus obstruktif, kolangitis, kolangiolitis,
dan pankretitis.
Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui terbentuknya fistel
kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat menyumbat pada bagian
tersempit saluran cerna (ileum terminal) dan menimbulkan ileus obstruksi. Berikut
beberapa penjelasan tentang komplikasi kolelitiasis:
Hidrops
Hidrops biasanya disebabkan oleh stenosis atau obstruksi duktus sistikus sehingga
tidak dapat diisi lagi oleh empedu. Dalam keadaan ini tidak terdapat peradangan akut
dan sindrom yang berkaitan dengannya, tetapi ada bukti peradangan kronis dengan
adanya mukosa gundul. Kandung empedu berdinding tebal dan terdistensi oleh materi
steril mukoid. Sebagian besar pasien mengeluh efek massa dalam kuadran kanan atas.
Hidrops kandung empedu dapat menyebabkan kolesistisi akut.

Kolesistitis akut
Hampir semua kolesistisi akut terjadi akibat sumbatan duktus sistikus oleh batu
yang terjebak dalam kantung empedu. Trauma mukosa kantung empedu oleh batu dapat
menyebabkan pelepasan fosfolipase yang mengubah lesitin dalam empedu menjadi
lisolesitin yang bersifat toksik yang memperberat proses peradangan. Pada awal penyakit,
peran bakteri sangat sedikit, tetapi kemudian dapat terjadi supurasi. Komplikasi
kolesistisis akut adalah empiema, nekrosis, dan perforasi.
- Empiema
Empiema adalah lanjutan dari kolisistisis akut. Pada empiema atau kolesistisis supuratif,
kandung empedu berisi nanah. Penderita menjadi semakin toksik, demam tinggi,
menggigil dan leukositosis.
- Nekrosis dan Perforasi
Kolesistisis akut bisa berlanjut ke nekrosis dinding kantung empedu dan perforasi. Batu
empedu yang tertahan bias menggoresi dinding nekrotik, sinus Roktiansky-Aschoff
terinfeksi yang berdilatasi bias memberika titik lemah bagi ruptura. Biasanya rupture
terjadi pada fundus, yang merupakan bagian vesica biliaris yang paling kurang baik
vaskularisasinya. Ruptur ke dalam cavitas peritonialis bebas jarang terjadi dan lebih bias
memungkinkan terjadinya perlekatan dengan organ-organ yang berdekatan dengan
pembentukan abses local. Ruptura ke dalam organ berdekatan menyebabkan fistula
saluran empedu.
- Pritonitis
Ruptura bebas empedu ke dalam cvitas peritonialis menyebabkan syok parah. Karena
efek iritan garam empedu, peritoneum mengalami peradangan.

Kolesistitis kronis
- Fistel bilioentrik
Apabila kandung empedu yang mengandung batu besar menempel pada dinding organ di
dekatnya seperti lambung, duodenum, atau kolon transversum, dapat terjadi nekrosis
dinding kedua organ tersebut karena tekanan, sehingga terjadi perforasi ke dalam lumen
saluran cerna. Selanjutnya terjadi fitsel antara kandung empedu dan organ-organ tersebut.

Kolangitis
Kolangitis dapat berkembang bila ada obstruksi duktus biliaris dan infeksi.
Penyebab utama dari infeksi ini adalah organisme gram negatif, dengan 54% disebebkan
oleh sepsis Klebesiella, dan 39% oleh Escherchia, serta 25% oleh organisme Enterokokal
dan Bacteroides. Empedu yang terkena infeksi akan berwarna coklat tua dan gelap.
Duktus koledokus menebal dan terjadi dilatasi dengan diskuamasi atau mukosa yang
ulseratif, terutama di daearah ampula vetri.

Pankreatitis
Radang pankreas akibat autodigesti oleh enzim yang keluar dari saluran
pankreas. Ini disebebkan karena batu yang berada di dalam duktus koledokus
bergerak menutupi ampula vetri.
BAB III

KESIMPULAN

Cholelithiasis atau batu empedu merupakan penyakit yang sering ditemukan di


negara maju dan jarang ditemukan di negara-negara berkembang.
Cholelithiasis atau batu empedu merupakan gabungan dari beberapa unsur yang
membentuk suatu material mirip batu yang dapat ditemukan dalam kandung empedu
(kolesistolitiasis), di dalam saluran empedu (koledokolitiasis) atau pada kedua-duanya.
Pasien dengan batu empedu dapat didiagnosis dari gejala klinis seperti kolik
bilier, dan nyeri dapat menjalar ke punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak
bahu, disertai mual dan muntah. Selain itu pemeriksaan penunjang yang dapat
mendukung adalah pemeriksaan laboratorium, USG, ERCP, PTC dan foto polos
abdomen.
Penanganan batu empedu dapat secara bedah atau non bedah. Selain itu, dapat
dilakukan pencegahan batu empedu diantaranya dengan mencegah infeksi dan
menurunkan kadar kolesterol serum.
Tindakan operatif khususnya cholecystectomy menimbulkan komplikasi pada
beberapa kasus. Gejala-gejala yang timbul setelah tindakan cholecystectomy biasa
dikenal dengan postcholecystectomy syndrome (PCS). Gejala-gejala ini dapat berupa
derita pada sistem pencernaan dan nyeri yang hebat pada perut bagian kanan atas.
Sebanyak 20 persen pasien mengalami mencret berkepanjangan

DAFTAR PUSTAKA
1. Lesmana L. Batu Empedu dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid 1. Edisi 3. Jakarta:
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2000.380-4.

2. Panggabean Marulam M.; 2009. Gagal Jantung dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. 5th ed. Interna publishing. p1583

3. Bonheur, J.L. 2012. Billiary Obstruction. Retrieved October, 30th from


emedicine.medscape.com/article/187001-overview#00101

4. Sjamsuhidayat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2005. 570-9.

5. http://medicastore.com/penyakit/67/Batu_Empedu.html

6. Brunicardi FC et al. Schwartz’s principles of surgery. 8th edition. United States


America : McGraw Hill, 2005.826-42.

7. Price SA, Wilson LM. Kolelitiasis dan Kolesistisis dalam : Patofisiologi. Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit, edisi 4. Jakarta : EGC. 1995. 430-44.

8. http://www.medicinenet.com/script/main/art.asp?articlekey=8405

9. Guyton AC, Hall JE. Sistem Saluran Empedu dalam: Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran. Edisi ke-9. Jakarta: EGC, 1997. 1028-1029.

10. https://www.flickr.com/photos/jian-hua_qiao_md/4329255270

11. http://www.cuongdc.co/2012/04/may-ban-ben-luobo-bao-la-soi-mat-kinh.html?m=1

12. Ahmad,et al. 2000.Differential diagnosis of gallstone-induced complications. South


Med J ;93(3): 261-4. PMID: 10728510

13. Steen W Jensen, MD. Postcholecystectomy Syndrome. Medscape : 2014.

14. Soper NJ, Stockmann PT, Dunnegan DL, Ashley SW (August 1992). "Laparoscopic
cholecystectomy. The new 'gold standard". Arch Surg 127 (8): 917–21; discussion
921–3
15. Barkun A, et al. Bile acid malabsorption in chronic diarrhea: Pathophysiology and
treatment. Canadian Journal of Gastroenterology. 2013;27:653.
16. Michael F. Picco, M.D.. Chronic diarrhea: A concern after gallbladder removal?.
http://www.mayoclinic.org/tests-procedures/cholecystectomy/expert-
answers/gallbladder-removal/faq-20058481 (accessed 1st July 2017).

Anda mungkin juga menyukai