Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN KASUS

KOLESISTITIS

Disusun Oleh :

dr. Refni Oktaviani

Pembimbing:

dr. Amelia Nasrin

dr. Korinta Widarsono

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TELUK KUANTAN

KABUPATEN KUANTAN SINGINGI

PROVINSI RIAU

2020
ABSTRAK

Kolesistitis adalah inflamasi yang terjadi pada kandung empedu yang terbagi
menjadi akut dan kronis. Radang kandung empedu (kolesistitis akut) adalah reaksi
inflamasi akut dinding empedu yang disertai dengan keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri
tekan dan demam. Umumnya kolesistitis akut di sebabkan oleh adanya batu kandung
empedu. Namun terdapat beberapa resiko lain yang dapat meningkatkan insidensi
terjadinya kolesistitis.
Hingga kini patogenesis penyakit yang cukup sering dijumpai ini belum cukup
jelas. Walaupun belum ada data epidemiologi penduduk insiden kolesistitis dan batu
empedu (kolelitiasis) dinegara kita lebih rendah di bandingkan negara-negara barat.
Faktor prepitasi yang paling sering memicu keadaan ini adalah obstruksi batu empedu.

Penatalaksanaan kolesistitis bergantung pada keparahan penyakitnya dan ada


tidaknya komplikasi. Kolesistitis tanpa komplikasi seringkali dapat diterapi rawat jalan,
sedangkan pada pasien dengan komplikasi membutuhkan tatalaksana pembedahan.

Terapi kolesistitis meliputi istirahat saluran cerna, diet rendah lemak, pemberian
analgesik, pemberian antibiotik profilaksis, dan terapi pembedahan berupa kolesistektomi

Kata kunci : kolesistitis


BAB I
PENDAHULUAN

Kolesistitis adalah inflamasi yang terjadi pada kandung empedu yang terbagi
menjadi akut dan kronis (3)
. Radang kandung empedu (kolesistitis akut) adalah reaksi
inflamasi akut dinding empedu yang disertai dengan keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri
tekan dan demam. Umumnya kolesistitis akut di sebabkan oleh adanya batu kandung
empedu. Namun terdapat beberapa resiko lain yang dapat meningkatkan insidensi
terjadinya kolesistitis.(4)
Di Amerika 10-20% menderita kolelitiasis dan sepertiganya menderita kolesistitis
akut. Penyakit ini sering terjadi pada wanita, usia tua dan lebih sering terjadi pada orang
kulit putih.(3) Hingga kini patogenesisnya belum jelas. Walaupun belum ada data
epidemiologi penduduk, insiden kolesistitis dan kolelitiasis negara kita relatif lebih rendah
di bandingkan negara barat .(4)
Insidensi terjadinya kolesistitis meningkat seiring bertambahnya usia. Penjelasan
secara fisiologis untuk peningkatan insidensi tersebut belum ada. Peningkatan insidensi
pada laki laki usia lanjut, dikaitkan dengan perubahan rasio androgen estrogen.(4)
Perempuan menderita kolelitiasis 2-3x lebih banyak dari pada laki-laki, sehingga
lebih banyak perempuan menderita kolesistitis. Peningkatan kadar progesteron selama
kehamilan dapat menyebabkan stasis cairan empedu sehingga penyakit kandung empedu
meningkat kejadiannya pada wanita hamil. Sedangkan kolesistitis akalkulus lebih sering
terjadi pada laki-laki usia lanjut. (4)
Faktor resiko utama kolesistitis yaitu kolelitiasis, meningkat prevalensinya pada
orang skandinavia, indian pima dan ispanik, namun menurun pada individu pada
subsahara afrika dan asia. (4)
Meskipun telah ditemukan modalitas teraupetik untuk kolesistitis namun penyakit
ini masih memiliki tingkat morbilitas dan mortalitas yang cukup tinggi terutama pada
orang usia lanjut. (4)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Vesica Biliaris (Kandung Empedu)

Gambar 2.1 Anatomi Vesica Biliaris

2.1.1 Lokasi dan Deskripsi


Vesica Biliaris adalah sebuah kantong berbentuk buah pir yang terletak pada
permukaan bawah (facies visceralis) hepar (1). Vesica biliaris biasanya menampung sekitar
40-70 mL cairan empedu . Vesica biliris dibagi menjadi fundus, corpus dan collum.
(2)

Fundus vesica biliaris berbentuk bulat dan biasanyaa menonjol di bawah margo inferior
hepar, penonjolan ini merupakan tempat fundus bersentuhan dengan dinding anterior
abdomen setinggi ujung kartilago costalis IX dextra. Corpus vesica biliaris terletak dan
berhubungan dengan facies visceralis hepar dan arahnya keatas, belakang dan kiri.
Collum vesica biliaris melanjutkan diri sebagai ductus cysticus, yang berbelok kedalam
omentum minus dan bergabung dengan sisi kanan ductus hepaticus comunis untuk
membentuk ductus choledocus. (1)
Lipat spiral atau plica spiralis HEISTER pada ujung
terminal collum menutup ductus cysticus yang kemudian menyatu dengan ductus
hepaticus communis membentuk ductus choledocus. (2)
Ductus Cysticus, panjangnya ½ inchi atau 3,8 cm dan menghubungkan collum
vesica biliaris dengan ductus hepaticus communis membentuk ductus choledocus.
Biasanya ductus cysticus berbentuk seperti huruf S dan berjakan turun dengan jarak yang
brvariasi pada pinggir kanan omentum minus. Tunica mukosa ductus cysticus menonjol
membentuk plica spiralis yang melanjutkan diri dengan plica yang sama pada collum
vesica biliaris. Plica ini umunya dikenal sebagai valvula spiralis. Fungsi valvula spiralis
adalah untuk mempertahankan lumen terbuka secara konstan. (1)
Ducus choledocus, biasanya memiliki panjang 6cm dan berdiameter 0,4 – 0,9 cm.
Ductus ini berjalan didalam ligamentum hepatoduodenale pada sisi ventral Vena Portal
Hepatis, kemudian berjalan dibelakang pars superior duodeni melewati caput pancreatis
dan mencapai pars desendens duodeni. (2)

2.1.2 Perdarahan
- Arteriae, Arteria cystica, cabang arteria hepatica dextra.
- Venae, Vena cystica mengalirkan darah langsung ke vena porta.
Sejumlah arteri dan vena kecil juga berjalan diantara hepar dan vesica biliaris. (1)

2.1.3 Aliran Limfe


Cairan limfa mengalir ke nodus cysticus yang terletak dekat collum vesica
biliaris. Dari sini pembuluh limf berjalan ke nodi hepatici dengan sepanjang arteria
hepatica communis dan kemudian ke nodi coelici. (1)

2.1.4 Persyarafan
Syaraf simpatis dan parasimpatis membentuk pleksus choeliacus. Vesica biliaris
berkontraksi sebagai respon terhadap hormon kolesistokinin yang dihasilkan oleh tunica
mukosa duodenum karena masukknya makanan berlemak dari gaster. (1)
2.2 Fisiologi Vesica Biliris (Kandung Empedu)
Tabel 2.1 Komposisi empedu (7)
Empedu Hati Empedu pada kandung
empedu

Air 97,5 g/dl 92 g/dl

Garam empedu 1,1 g/dl 6 g/dl

Bilirubin 0,04 g/dl 0,3 g/dl

Kolesterol 0,1 g/dl 0,3 sampai 0,9 g/dl

Asam lemak 0,12 g/dl 0,3 sampai 1,2 g/dl

Lesitin 0,04 g/dl 0,3 g/dl

Na+ 145,04 g/dl 130mEq/L

K+ 5 mEq/L 12 mEq/L

Ca++ 5 mEq/L 23 mEq/L

Cl- 100 mEq/L 25 mEq/L

HCO3- 28 mEq/L 10 mEq/L

Salah satu fungsi hati adalah untuk mengeluarkan empedu, normalnya antara 600-
1200 ml/hari. Kandung empedu mampu menyimpan sekitar 45 ml empedu. Diluar waktu
makan, empedu disimpan untuk sementara di dalam kandung empedu, dan di sini
mengalami pemekatan sekitar 50 %. Fungsi primer dari kandung empedu adalah
memekatkan empedu dengan absorpsi air dan natrium. Kandung empedu mampu
memekatkan zat terlarut yang kedap, yang terkandung dalam empedu hepatik 5-10 kali
dan mengurangi volumenya 80-90%.
Menurut Albert et al, 2016 empedu melakukan dua fungsi penting yaitu :
1. Empedu memainkan peranan penting dalam pencernaan dan absorpsi lemak,
karena asam empedu yang melakukan dua hal antara lain : asam empedu membantu
mengemulsikan partikel-partikel lemak yang besar menjadi partikel yang lebih kecil
dengan bantuan enzim lipase yang disekresikan dalam getah pankreas, Asam empedu
membantu transpor dan absorpsi produk akhir lemak yang dicerna menuju dan melalui
membran mukosa intestinal.
2. Empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa produk buangan
yang penting dari darah, antara lain bilirubin, suatu produk akhir dari penghancuran
hemoglobin, dan kelebihan kolesterol yang di bentuk oleh sel- sel hati.
Pengosongan kandung empedu dipengaruhi oleh hormon kolesistokinin, hal ini
terjadi ketika makanan berlemak masuk ke duodenum sekitar 30 menit setelah makan.
Dasar yang menyebabkan pengosongan adalah kontraksi ritmik dinding kandung empedu,
tetapi efektifitas pengosongan juga membutuhkan relaksasi yang bersamaan dari sfingter
oddi yang menjaga pintu keluar duktus biliaris komunis kedalam duodenum. Selain
kolesistokinin, kandung empedu juga dirangsang kuat oleh serat-serat saraf yang
menyekresi asetilkolin dari sistem saraf vagus dan enterik. Kandung empedu
mengosongkan simpanan empedu pekatnya ke dalam duodenum terutama sebagai respon
terhadap perangsangan kolesistokinin. Saat lemak tidak terdapat dalam makanan,
pengosongan kandung empedu berlangsung buruk, tetapi bila terdapat jumlah lemak yang
adekuat dalam makanan, normalnya kandung empedu kosong secara menyeluruh dalam
waktu sekitar 1 jam.
Garam empedu, lesitin, dan kolesterol merupakan komponen terbesar (90%) cairan
empedu. Sisanya adalah bilirubin, asam lemak, dan garam anorganik. Garam empedu
adalah steroid yang dibuat oleh hepatosit dan berasal dari kolesterol. Pengaturan
produksinya dipengaruhi mekanisme umpan balik yang dapat ditingkatkan sampai 20 kali
produksi normal kalau diperlukan. (3)
2.3 KOLESISTITIS
Kolesistitis adalah radang dinding kandung empedu yang disertai keluhan nyeri perut
kanan atas, nyeri tekan dan demam. Berdasarkan etiologinya, kolesistitis dapat dibagi
menjadi:

1. Kolesistitis kalkulus, yaitu kolesistitis yang disebabkan batu kandung


empedu yang berada di duktus sistikus.
2. Kolesistitis akalkulus, yaitu kolesistits tanpa adanya batu empedu.
Berdasarkan onsetnya, kolesistitis dibagi menjadi kolesistitis akut dan kolesistitis
kronik. Pembagian ini juga berhubungan dengan gejala yang timbul pada kolesistitis akut
dan kronik. Pada kolesistitis akut, terjadi inflamasi akut pada kandung empedu dengan
gejala yang lebih nyata seperti nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam. Sedangkan,
kolesistitis kronik merupakan inflamasi pada kandung empedu yang timbul secara
perlahan-lahan dan sangat erat hubugannya dengan litiasis dan gejala yang ditimbulkan
sangat minimal dan tidak menonjol.(4)

2.3.1 Kolesistitis Akut


2.3.1.1 Defenisi
Kolesistitis akut adalah reaksi inflamasi akut dinding kandung empedu yang di
sertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam. Hingga kini patogenesis
penyakit yang cukup sering dijumpai ini belum cukup jelas. Walaupun belum ada data
epidemiologi penduduk insiden kolesistitis dan batu empedu (kolelitiasis) dinegara kita
lebih rendah di bandingkan negara-negara barat. (5)
Faktor prepitasi yang paling sering
memicu keadaan ini adalah obstruksi batu empedu. 10% kasus kolesistitis akut yanpa
obstruksi batu empedu biasanya di temukan pada pasien-pasien yang sakit berat seperti
keadaan pasca bedah, trauma berat, luka bakar berat, kegagalan organ multi sistem, sepsis,
hiperalimentasi yang lama atau keadaan post partum. (6)
2.3.1.2 Etiologi dan Patogenesis
Faktor yang mempengaruhi timbulnya kolesistitis akut adalah stasis cairan
empedu, infeksi kuman dan iskemia dinding kandung empedu. Penyebab utama
kolesistitis akut adalah batu kandung empedu 90% yang terletak di ductus cysticus yang
menyebabkan statis cairan empedu, sedangkan sebagian kecil kasus timbul tampa adanya
batu (kolesistitis akalkulus). Statis di ductus cysticus menyebabkan kolesistitis akut di
perkirakan oleh banyak faktor yang berpengaruh seperti kepekatan cairan empedu,
kolesterol, lisolesitin dan prostaglandin yang merusak lapisan mukosa dinding kandung
empedu. Diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi. (5)
Biasanya sumbatan ini adalah disebabkan adanya batu empedu yang mempunyai 2
tipe yaitu batu kolesterol dan batu pigmen. Pada batu kolesterol, empedu yang
disupersaturasi dengan kolesterol dilarutkan dalam daerah hidrofobik micelle, kemudian
terjadinya kristalisasi dan akhirnya prepitasi lamellar kolesterol dan senyawa lain
membentuk matriks batu. Pada batu pigmen, ada dua bentuk yakni batu pigmen murni dan
batu kalsium bilirubinat. Batu pigmen murni lebih kecil, sangat keras dan penampilannya
hijau sampai hitam. Proses terjadinya batu ini berhubungan dengan sekresi pigmen dalam
jumlah yang meningkat atau pembentukan pigmen abnormal yang mengendap di dalam
empedu. Sirosis dan statis biliaris merupakan predisposisi pembentukan batu pigmen. (3)
Batu empedu yang mengobstruksi duktus sistikus menyebabkan cairan empedu
menjadi stasis dan kental, kolesterol dan lesitin menjadi pekat dan seterusnya akan
merusak mukosa kandung empedu diikuti reaksi inflamasi atau peradangan dan supurasi.
Seiring membesarnya ukuran kantong empedu, aliran darah dan drainase limfatik menjadi
terganggu hingga menyebabkan terjadinya di dinding kandung empedu iskemia, nekrosis
mukosa dan jika lebih berat terjadinya ruptur. (3)
Sementara itu, mekanisme yang akurat dari kolesistitis akalkulus tidaklah jelas,
namun beberapa teori mencoba menjelaskan. Radang mungkin terjadi akibat kondisi
dipertahankannya konsentrat empedu, zat yang sangat berbahaya, di kandung empedu,
pada keadaan tertentu. Misalnya pada kondisi puasa berkepanjangan, kantong empedu
tidak pernah menerima stimulus dari kolesistokinin (CCK) untuk mengosongkan isinya,
dengan demikian, empedu terkonsentrasi dan tetap stagnan di lumen. (3)

Gambar 2.2 Kolesistitis Akut yang disebabkan oleh batu empedu.

Batu empedu terjadi karena adanya zat tertentu dalam empedu yang hadir dalam
konsentrasi yang mendekati batas kelarutan mereka. Bila empedu terkonsentrasi di dalam
kandung empedu, larutan akan berubah menjadi jenuh dengan bahan-bahan tersebut,
kemudian endapan dari larutan akan membentuk Kristal mikroskopis. Kristal
terperangkap dalam mukosa bilier, akan menghasilkan suatu endapan. Oklusi dari saluran
oleh endapan dan batu menghasilkan komplikasi penyakit batu empedu. (3)
Pada kondisi normal kolesterol tidak mengendap di empedu karena mengandung
garam empedu terkonjugasi dan lesitin dalam jumlah cukup agar kolesterol berada di
dalam larutan misel. Jika rasio konsentrasi kolesterol berbanding garam empedu dan
lesitin meningkat, maka larutan misel menjadi sangat jenuh. Kondisi yang sangat jenuh ini
mungkin karena hati memproduksi kolesterol dalam bentuk konsentrasi tinggi. Zat ini
kemudian mengendap pada lingkungan cairan dalam bentuk kristal kolesterol. (3)
Bilirubin, pigmen kuning yang berasal dari pemecahan heme, secara aktif
disekresi ke dalam empedu oleh hati. Sebagian besar bilirubin di dalam empedu berada
dalam bentuk konjugat glukoronida yang larut dalam air dan stabil, tetapi sebagian kecil
terdiri dari bilirubin tak terkonjugasi. Bilirubin tak terkonjugasi, seperti lemak, fosfat,
karbonat, dan anion lainnya cenderung untuk membentuk presipitat tak larut dengan
kalsium. Kalsium memasuki empedu secara pasif bersama dengan elektrolit lain. Dalam
situasi pergantian heme tinggi, seperti hemolisis kronis atau sirosis, bilirubin tak
terkonjugasi mungkin berada dalam empedu pada konsentrasi yang lebih tinggi dari
biasanya. Kalsium bilirubinat mungkin kemudian mengkristal dari larutan dan akhirnya
membentuk batu pigmen hitam. (3)
Empedu yang biasanya steril, tetapi dalam beberapa kondisi yang tidak biasa
(misalnya ada striktur bilier), mungkin terkolonisasi dengan bakteri. Bakteri
menghidrolisis bilirubin terkonjugasi dari hasil peningkatan bilirubin tak terkonjugasi
dapat menyebabkan presipitasi terbentuknya kristal kalsium bilirubinat, bakteri hidrolisis
lesitin menyebabkan pelepasan asam lemak yang komplek dengan kalsium dan endapan
dari larutan lain. Konkresi yang dihasilkan memiliki konsistensi disebut batu pigmen
coklat. (3)
Batu empedu kolesterol dapat terkoloni dengan bakteri dan dapat menimbulkan
peradangan mukosa kandung empedu. Enzim dari bakteri dan leukosit menghidrolisis
bilirubin konjugasi dan asam lemak. Akibatnya, dari waktu ke waktu, batu kolesterol bisa
mengumpulkan proporsi kalsium bilirubinat dan garam kalsium, lalu menghasilkan
campuran batu empedu. (3)
Kondisi batu kandung empedu memberikan berbagai manifestasi keluhan pada
pasien dan menimbulkan berbagai masalah keperawatan. Jika terdapat batu empedu yang
menyumbat duktus sistikus dan biliaris komunis untuk sementara waktu, tekanan di
duktus biliaris akan meningkat dan peningkatan peristaltik di tempat penyumbatan
mengakibatkan nyeri visera di daerah epigastrum, mungkin dengan penjalaran ke
punggung. Respon nyeri, gangguan gastrointestinal dan anoreksia akan meningkatkan
penurunan intake nutrisi. (3)
Respon komplikasi akut dengan peradangan akan memberikan manifestasi
peningkatan suhu tubuh. Respon kolik bilier secara kronis akan meningkatkan kebutuhan
metabolisme sehingga pasien cenderung mengalami kelelahan. Respon adanya batu akan
dilakukan intervensi medis pembedahan, intervensi litotripsi atau intervensi endoskopi. (3)
2.3.1.3 Morfologi
Pada kolesistitis akut terlihat kandung empedu yang membesar, tegang, berwarna
merah cerah hingga hitam kehijauan, dengan diselubungi lapisan fibrin serosa. Isi didalam
lumennya berkisar dari cairan yang keruh hingga purulen. (6)

2.3.1.4 Gejala Klinis


Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah kolik perut
sebelah kanan atas, epigastrium dan nyeri tekan serta kenaikan suhu tubuh. Kadang-
kadang rasa sakit menjalar kepundak atau scapula kanan dan berlangsung sampai 60
menit tanpa reda. Berat ringan keluhan sangat bervariasi tergantung adanya kelainan
inflamasi yang ringan sampai dengan gangren atau perforasi kandung empedu. (5)
Pasien kolesistitis akut umumnya perempuan, gemuk dan berusia diatas 40 tahun.
pada pemeriksaan fisik teraba masa kandung empedu, nyeri tekan, di sertai tanda-tanda
peritonitis lokal (tanda murphy). (5)
Ikterus dijumpai pada 20% kasus, umunya derajat ringan (bilirubin <4,0 mg/dL),
apabila konsentrrasi bilirubin tinggi perlu di pikirkan adanya batu di saluran empedu
ekstra hepatik. (5)
Pada pemeriksaan laboraturium menunjukkan adanya leukositosis serta
kemungkinan adanya peninggian serum transaminasi dan fosfatase alkali. Apabila
keluhan nyeri bertambah hebat di sertai suhu tinggi serta leukositosis berat kemungkinan
terjadi empiema dan perforasi kandung empedu. (5)

2.3.1.5 Diagnosis
Pemeriksaan pencitraan untuk kolesistitis diantaranya adalah ultrasonografi
(USG), computed tomography scanning (CT-scan) dan skintigrafi saluran empedu. (4)
Pemeriksaan Ultrasonografi (USG) itu bermanfaat untuk memperlihatkan besar,
bentuk, penebalan dinding kandung empedu, dan batu sluran ektrahepatik. Nilai kepekaan
dan ketepatan USG mencapai 90-95%. (5)

Gambar 2.3 Pemeriksaan USG pada kolesistitis

Skintigrafi saluran empedu mempergunakan zat radioaktif HIDA atau 99n Tc6
inginodiacetic acid itu mempunyai nilai lebih rendah dari pada USG. Terlihat nya
gambaran ductus choledocus tanpa adanya gambaran kandung empedu pada pemeriksaan
cholehistography oral atau skintigraphy. (5)

Gambar 2.4 Koleskintigram normal


CT Scan abdomen memperlihatkan abses perikolesistik yang masih kecil mungkin
tidak terlihat dengan USG. (5)

2.3.1.6 Pengobatan
Pengobatan umum termasuk istirahat total, pemerian nutrisi parenteral, diet ringan,
obat penghilang rasa nyeri seperti petidin anti spasmodik. Pemerberian antibiotik pada
fase awal sangat penting untuk mencegah komplikasi peritonitis, kolangitis dan
septisemia. Golongan ampisilin, sefalosporin dan metronidazol cukup untuk mematikan
kuman yang terdapat pada kolestitis akut seperti E.coli, Streptococcus faecalis dan
Klebsiella. (5)
Penatalaksanaan kolesistitis bergantung pada keparahan penyakitnya dan ada
tidaknya komplikasi. Kolesistitis tanpa komplikasi seringkali dapat diterapi rawat jalan,
sedangkan pada pasien dengan komplikasi membutuhkan tatalaksana pembedahan.
Antibiotik dapat diberikan untuk mengendalikan infeksi. Untuk kolesistitis akut, terapi
awal yang diberikan meliputi mengistirahatkan usus, diet rendah lemak, pemberian hidrasi
secara intravena, koreksi abnormalitas elektrolit, pemberian analgesik, dan antibiotik
intravena. Untuk kolesistitis akut yang ringan, cukup diberikan terapi antibiotik tunggal
spektrum luas. Pilihan terapi yang dapat diberikan: (4)

 Rekomendasi dari Sanford guide: piperasilin, ampisilin, meropenem. Pada kasus


berat yang mengancam nyawa direkomendasikan imipenem/cilastatin.
 Regimen alternatif termasuk sefalosporin generasi ketiga ditambah dengan
metronidazol.
 Pasien yang muntah dapat diberikan antiemetik dan nasogastric suction.
 Stimulasi kontraksi kandung empedu dengan pemberian kolesistokinin intravena.
(4)

Pasien kolesistitis tanpa komplikasi dapat diberikan terapi dengan rawat jalan
dengan syarat:

1. Tidak demam dan tanda vital stabil


2. Tidak ada tanda adanya obstruksi dari hasil pemeriksaan laboratorium.
3. Tidak ada tanda obstruksi duktus biliaris dari USG.
4. Tidak ada kelainan medis penyerta, usia tua, kehamilan atau kondisi
imunokompromis.
5. Analgesik yang diberikan harus adekuat.
6. Pasien memiliki akses transpotasi dan mudah mendapatkan fasilitas medik.
7. Pasien harus kembali lagi untuk follow up.(4)

Gambar 2.5 Algoritma penatalaksanaan kolesistitis akut

Terapi yang diberikan untuk pasien rawat jalan:

 Antibiotik profilaksis, seperti levofloxacin dan metronidazol.


 Antiemetik, seperti prometazin atau proklorperazin, untuk mengkontrol
mual dan mencegah gangguan cairan dan elektrolit.
 Analgesik seperti asetaminofen/oxycodone.

Terapi pembedahan yang diberikan jika dibutuhkan adalah kolesistektomi.


Kolesistektomi laparoskopik adalah standar untuk terapi pembedahan kolesistitis.
Penelitian menunjukkan semakin cepat dilakukan kolesistektomi laparoskopik, waktu
perawatan di rumah sakit semakin berkurang.

Kontraindikasi untuk tindakan kolesistektomi laparoskopik meliputi:

 Resiko tinggi untuk anestesi umum


 Obesitas
 Adanya tanda-tanda perforasi kandung empedu seperti abses, peritonitis,
atau fistula
 Batu empedu yang besar atau kemungkinan adanya keganasan.
 Penyakit hati stadium akhir dengan hipertensi portal dan koagulopati yang
berat.(4)

Pada pasien dengan resiko tinggi untuk dilakukan pembedahan, drainase


perkutaneus dengan menempatkan selang (tube) drainase kolesistostomi transhepatik
dengan bantuan ultrasonografi dan memasukkan antibiotik ke kandung empedu melalui
selang tersebut dapat menjadi suatu terapi yang definitif. Hasil penelitian menunjukkan
pasien kolesistitis akalkulus cukup diterapi dengan drainase perkutaneus ini.(4)

Selain itu, dapat juga dilakukan terapi dengan metode endoskopi. Metode
endoskopi dapat berfungsi untuk diagnosis dan terapi. Pemeriksaan endoscopic
retrograde cholangiopancreatography dapat memperlihatkan anatomi kandung empedu
secara jelas dan sekaligus terapi dengan mengeluarkan batu dari duktus biliaris.
Endoscopic ultrasound-guided transmural cholecystostomy adalah metode yang aman dan
cukup baik dalam terapi pasien kolesistitis akut yang memiliki resiko tinggi pembedahan.
Pada penelitian tentang endoscopic gallbladder drainage yang dilakukan oleh Mutignani
et al, pada 35 pasien kolesistitis akut, menunjukkan keberhasilan terapi ini secara teknis
pada 29 pasien dan secara klinis setelah 3 hari pada 24 pasien. (4)

2.3.1.7 Prognosis

Penyembuhan spontan didapatkan 85% kasus sekalipun kandung empedu menjadi


tebal, fibrotik, penuh dengan batu dan tidak berfungsi lagi. Tidak jarang menjadi
kolesistitis recurren. Kadang-kadang kolesistitis akut berkembang menjadi ganggren,
empiema dan perforasi kandung empedu, fistel, abses hati atau peritonitis umum secara
cepat. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian antibiotik yang adekuat pada awal
serangan. Tindakan bedah akut pada pasien usia tua (>75 tahun) mempunyai prognosis
yang jelek di samping kemungkinan banyak timbul komplikasi pasca bedah.(5)

2.3.2 Kolesistitis Kronik


Kolesistitis kronik sering dijumpai diklinis dan sangat erat hubungannya dengan
litiasis dan lebih sering timbul secara perlahan-lahan. (5)
Kolesistitis kronik dapat terjadi lewat serangan kolesistitis akut berkali-kali yang
simptomatik atau terjadi tanpa serangan yang mendahului.meskipun batu sering
ditemukan, batu empedu tidak memberikan peran langsung dalam menimbulkan
inflamasi. Sebaliknya supersaturasi kronik getah empedu dengan koleterol memungkinkan
penyerapan kolesterol kedlam dinding kandung empedu dan memulai inflamasi serta
dismotilitas kandung empedu. Populasi pasien dengan kolesistitis kronik sama dengan
bentuk yang akut. (6)

2.3.2.1 Morfologi
Kandung empedu dapat mengkerut (fibrosis), berukuran normal atau membesar
karena obstruksi. Dindingnya secara bervariasi menebal dan putih kelabu. Mukosa
umunya tidak berubah tetpi mungkin atropi, sel-sel makrofag yang penuh kolesterol
sering kali terlihat dalam lamina propia (kolesterolosis), dan batu empedu sering
ditemukan. Inflamasi pada mukosa dan dinding kandung empedu tampak bervariasi, dapat
ditemukan pembentukan kantung mukosa lewat dinding kandung empedu (sinus
rokitansky Aschoff) kadang-kadang di temukan kalsifikasi distrofik mural (Kandung
empedu porselain) dan kadung empedu yang nodular dan fibrosis, di sertai inflamasi
istiositic yang bemakna (kolesistitis santogranulomatosa). (6)

2.3.2.2 Gejala klinis


Diagnosis kolesistitis kronik sering sulit ditegakkan oleh karena gejalanya sangat
minimal dan tidak menonjol seperti dyspepsia, rasa penuh di epigastrium dan nausea
khususnya setelah makan makanan berlemak tinggi , yang kadang-kadang hilang setelah
bersendawa. Riwayat penyakit batu empedu di keluarga, ikterus dan colic berulang, nyeri
lokal di daerah kandung empedu disertai tanda murphy positif dapat menyokong
penegakan diagnosis.
Diagnosis banding seperti intoleransi lemak, ulkus peptik, kolonspastik, carsinoma
kolon kanan, pankreatitis kronik,dan kelainan ductus choledochus perlu di pertimbangkan
sebelum diputuskan untuk melakukan kolesistektomi (5).

2.3.2.3 Diagnosis
Pemeriksaan sistografi oral, ultrasonografi dan kolangiografi dapat
memperlihatkan kolelitiasis dan afungsi kandung empedu. Endoscopy retrograde
choledochopankreatikografi (RCP) sangat bermanfaat untuk memperlihatkan adanya batu
dikandung empedu dan duktus choledochus.(5)

2.3.2.4 Pengobatan
Pada sebagian besar pasien kolesistitis kronik dengan atau tanpa batu kandung
empedu yang simptomatik, dianjurkan untuk kolesistektomi. Keputusan untuk
kolesistektomi agak sulit pada pasien dengan keluhan minimal atau disertai penyakit lain
yang mempertinggi resiko operasi.(5)

2.4 Diagnosis Banding

Diagnosis banding untuk kolesistitis diantaranya adalah:

 Aneurisma aorta abdominal


 Iskemia messenterium akut
 Apendisitis
 Kolik bilier
 Kolangiokarsinoma
 Kolangitis
 Koledokolitiasis
 Kolelitiasis
 Mukokel kandung empedu
 Ulkus gaster
 Gastritis akut
 Pielonefritis akut
 pankreatitis (4)

2.5. Komplikasi
Komplikasi yag dapat terjadi pada pasien kolesistitis:
 Empiema, terjadi akibat proliferasi bakteri pada kandung empedu yang tersumbat.
Pasien dengan empiema mungkin menunjukkan reaksi toksin dan ditandai dengan
lebih tingginya demam dan leukositosis. Adanya empiema kadang harus
mengubah metode pembedahan dari secara laparoskopik menjadi kolesistektomi
terbuka.
 Ileus batu kandung empedu, jarang terjadi, namun dapat terjadi pada batu
berukuran besar yang keluar dari kandung empedu dan menyumbat di ileum
terminal atau di duodenum dan atau di pilorus.
 Kolesistitis emfisematous, terjadi ± pada 1% kasus dan ditandai dengan adanya
udara di dinding kandung empedu akibat invasi organisme penghasil gas seperti
Escherichia coli, Clostridia perfringens, dan Klebsiella sp. Komplikasi ini lebih
sering terjadi pada pasien dengan diabetes, lebih sering pada laki-laki, dan pada
kolesistitis akalkulus (28%). Karena tingginya insidensi terbentuknya gangren dan
perforasi, diperlukan kolesitektomi darurat. Perforasi dapat terjadi pada lebih dari
15% pasien.
Komplikasi lain diantaranya sepsis dan pankreatitis.(4)

BAB III
LAPORAN KASUS

I. INDETITAS PASIEN
Nama : Ny. K
Jenis kelamin : Perempuan
Usia : 38 tahun
Suku : Jawa
Status Perkawinan : Menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan : SMA
Alamat : Lubuk Jambi
Masuk RS : 17 Februari 2020

II. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Nyeri perut kanan atas
Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang ke RSUD Teluk Kuantan dengan keluhan
nyeri pada perut kanan atas. Nyeri di alami pasien sejak ± 3 bulan yang lalu, tetapi
memberat sejak ± 1 minggu ini, nyeri dirasakan seperti tertusuk-tusuk dan juga terasa
panas. Nyeri dirasakan bersifat hilang timbul. Nyeri memberat ketika pasien menarik
nafas dan nyeri berkurang ketika pasien melakukan posisi meringkuk. Nyeri menjalar ke
punggung belakang sebelah kanan. Keluhan disertai dengan mata kuning. Mata kuning
dialami sejak ± 1 minggu yang lalu, tetapi tidak disertai dengan badan kuning. Pasien juga
mengeluhkan kencingnya berwarna seperti teh pekat dengan frekuensi 5-6x per hari.
Pasien juga mengeluhkan mual dan muntah, sejak ± 1 minggu yang lalu. Frekuensi
muntah ± 2x dalam sehari, Nafsu makan menurun (+), Demam sejak ± 1 minggu yang
lalu, demam bersifat naik turun dan hilang timbul.
Pasien mengatakan memiliki kebiasaan suka meminum jamu-jamuan, dan
memakan makanan yang berlemak seperti gorengan dan bakso, hampir setiap hari. Pasien
juga mengeluhkan belum BAB sejak 3 hari ini, tetapi pasien mengatakan sering buang
angin.

Riwayat Penyakit Dahulu

o Kolesterol (+)
o Riwayat mengkonsumsi OAT (-)
o Riwayat hipertensi (-)
o Riwayat DM (-)
o Riwayat penyakit kardiovaskular (-)
o Riwayat gatal-gatal di kulit (-).
Riwayat Penyakit Keluarga
o Penyakit yang sama (-)
o Riwayat DM (-)
o Riwayat HT (-)
Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi dan Kebiasaan

o Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga, kebiasaan merokok dan minum
alkohol disangkal pasien.
o Pasien sering mengkonsumi jamu dan makanan berlemak

III. PEMERIKSAAN FISIK

Kesadaran : Compos Mentis


TD : 120/90 mmHg
Nadi : 82x/i
RR : 20x/i
Suhu : 36,8C
Tinggi Badan : 155 cm
Berat Badan : 50 kg

Pemeriksaan Fisik :
Kepala
- Mata : konjungtiva kiri dan kanan tidak pucat, sklera kiri dan kanan ikterik
(+/+), pupil bulat isokor kiri dan kanan dengan diameter kiri 2 mm dan
diameter kanan 2 mm, refleks cahaya langsung (+/+), refleks cahaya tidak langsung
(+/+).
- Telinga : tidak ada kelainan bentuk, jejas (-), massa (-), tidak ada keluar cairan
dari telinga
- Hidung : tidak ada kelainan bentuk, jejas (-), massa (-), tidak ada keluar cairan
dari hidung.
- Mulut : mukosa basah, bibir biru (-), bibir pucat (-) lidah tidak kotor
- Leher : pembesaran KGB (-), peningkatan JVP (-)

Thoraks
- Paru
Inspeksi : Gerakan dinding dada simetris kanan dan kiri
Penggunaan otot bantu pernafasan (-/-)
Palpasi : Vocal fremitus sama kanan dan kiri, tidak ada pergerakan yang tertinggal
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru

Auskultasi : Suara Pernafasan vesikuler (+/+), Wheezing (-/-), ronkhi (-/-)

- Jantung :

Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : iktus kordis teraba di SIK V linea midklavicula sinistra

Perkusi : Batas jantung kanan : SIK IV Linea parasternalis dekstra

Batas jantung kiri : SIK V Linea midklavikula sinistra

Batas pinggang jantung : SIK IV Linea parasternalis sinistra

Auskultasi : Bunyi jantung S1 dan S2 reguler, murmur (-), gallop

Abdomen

Inspeksi : supel, venektasi (-), scar (-)

Auskultasi : bising usus (+) 9x/ menit

Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba, Murphy sign (+) hipokondrium
kanan, nyeri tekan epigastrium (+)

Perkusi : timpani, shifting dullness (-)

Ekstremitas

Akral hangat, clubbing finger (-), CRT < 2detik, Edema (-).

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG:


Darah rutin (17/02/2020)
Hb : 12 g/dL
Leukosit : 23,66 x 103/µL
Eritrosit : 4,01 x 106/ µL
Trombosit : 264 x 103/µL
Hematokrit : 36,5
MCV : 91,0
MCH : 29,9
MCHC : 32,9
Kimia klinik (17/02/2020)
Glukosa sewaktu : 168 mg/dL
Ureum : 28,4 mg/dL
Kreatinin : 1,1 mg/dL
Bilirubin total : 4,5 mg/dL
Bilirubin direk : 2,80 mg/dL
Bilirubin indirek : 1,70 mg/dL
HBsAg : negatif

Foto thoraks (17/02/2020) : Dalam Batas Normal

V. DIAGNOSIS : Kolesistitis

VI. RENCANA TERAPI :


1. Tirah Baring
2. Diet ( Jumlah, Jenis, Jadwal ) : MB ( Rendah Kolesterol)
3. Medikamentosa :
- IVFD RL 20 gtt/i
- Injeksi ranitidine 1 amp/12 jam
- Inj. Ondansetron 4 mg / 8 jam
- Inj. Ketorolac 30 mg / 8 jam
- Injeksi ceftriaxone 1 gr/12 jam
- Paracetamol 3 x 1 (k/p)
FOLLOW UP
Tanggal 17 Februari 2020
Keluhan: nyeri ulu hati (+), mual (+), muntah (+), lemas (+), kepala pusing (+), demam
(+), nafsu makan menurun (+).
Keadaan umum:
Sensorium : Compos Mentis
TD : 130/80 mmHg
HR : 73x/menit
RR : 20x/menit
T : 38ºC
Terapi :
- IVFD RL 20 gtt/i
- Injeksi ranitidine 1 amp/12 jam
- Inj. Ondansetron 4 mg / 8 jam
- Inj. Ketorolac 30 mg / 8 jam
- Injeksi ceftriaxone 1 gr/12 jam
- Paracetamol 3 x 1 (k/p)

Tanggal 18 Februari 2020


Keluhan: nyeri ulu hati (+), mual (+), muntah (+), lemas (+), demam (+), BAK seperti
teh pekat (+).
Pemeriksaan: mata kuning (+), murphy sign (+) .
Keadaan umum:
Sensorium : Compos Mentis
TD : 130/80 mmHg
HR : 73x/menit
RR : 20x/menit
T : 38,5ºC

Terapi : IVFD RL 20 gtt/i


- Injeksi ranitidine 1 amp/12 jam
- Inj. Ondansetron 4 mg / 8 jam
- Inj. Ketorolac 30 mg / 8 jam
- Injeksi ceftriaxone 1 gr/12 jam
- Paracetamol 3 x 1 (k/p)
Tanggal 19 Februari 2020
Keluhan: nyeri ulu hati (+), muntah (+).
Pemeriksaan: mata kuning (+), murphy sign (+) .
Keadaan umum:
Sensorium : Compos Mentis
TD : 130/90 mmHg
HR : 76x/menit
RR : 22x/menit
T : 37ºC
Terapi :
- IVFD RL 20 gtt/i
- Injeksi ranitidine 1 amp/12 jam
- Inj. Ondansetron 4 mg / 8 jam
- Inj. Ketorolac 30 mg / 8 jam
- Injeksi ceftriaxone 1 gr/12 jam
- Paracetamol 3 x 1 (k/p)

Tanggal 20 Februari 2020


Keluhan: nyeri ulu hati (+), muntah (+).
Pemeriksaan: mata kuning (+), murphy sign (+) .
Keadaan umum:
Sensorium : Compos Mentis
TD : 120/80 mmHg
HR : 78x/menit
RR : 22x/menit
T : 37ºC
Terapi :
IVFD RL 20 gtt/i
- Injeksi ranitidine 1 amp/12 jam
- Inj. Ondansetron 4 mg / 8 jam
- Inj. Ketorolac 30 mg / 8 jam
- Injeksi ceftriaxone 1 gr/12 jam
- Paracetamol 3 x 1 (k/p)

Tanggal 21 Februari 2020


Keluhan: nyeri ulu hati (-) muntah (-)
Pemeriksaan: mata kuning (+).

Keadaan umum:
Sensorium : Compos Mentis
TD : 120/90 mmHg
HR : 72x/menit
RR : 20x/menit
T : 36ºC

Terapi : - IVFD RL 20 gtt/i


- Injeksi ranitidine 1 amp/12 jam
- Inj. Ondansetron 4 mg / 8 jam
- Inj. Ketorolac 30 mg / 8 jam
- Injeksi ceftriaxone 1 gr/12 jam
- Paracetamol 3 x 1 (k/p)
Anjuran : pulang
BAB IV
PEMBAHASAN

Kolesistitis adalah radang dinding kandung empedu yang disertai keluhan


nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam, kadang menjalar ke pundak dan
scapula kanan. Hal ini sesuai dengan keluhan pasien, dimana keluhan pasien
adalah nyeri perut kanan atas yang memberat sekitar 1 minggu, di sertai nyeri
tekan dan juga demam.
Pada pemeriksaan fisik pasien ditemukan nyeri tekan pada perut kanan
atas, nyeri tekan murphy sign, dan ikterus. Hal ini juga di temukan pada pasien
dimana di temukan nyeri perut kanan atas, murphy sign (+), dan juga di temukan
ikterus di mata pasien.
Untuk pemeriksaan laboratorium menunjukkan leukositosis, dan ini juga
sesuai dengan yang di dapatkan pasien, pada pasien di temukan leukosit 23,66 x
103/µL (leukositosis).
Untuk terapi juga sudah sesuai dengan teori, dimana terapi yang
dianjurkan adalah Terapi kolesistitis meliputi istirahat saluran cerna, diet rendah
lemak, pemberian analgesik, pemberian antibiotik profilaksis, dan terapi
pembedahan berupa kolesistektomi, tetapi di sini pasien tidak di lakukan tindakan
kolesistektomi di karenakan pasien menolak.
DAFTAR PUSTAKA

1. Paulsen, S., J. Waschke., 2013., Sobotta Atlas Anatomi Manusia Organ-


Organ dalam Manusia., Jilid 2., Edisi 23., Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
2. Snell, R,S., 2012., Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran., Edisi
6., Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
3. Febriakhano., A., 2017., Perbedaan Outcome Operasi Kolesistektomi
Early dan Kolsistektomi Interval pada Kolesistitis Kalkulosus. Semarang :
Universitas Negeri semarang.
4. Anami, H,K., 2011. Kolesistitis.,Riau : Fakultas Kedokteran Riau
5. Pridady., 2009. Kolesistitis dalam Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Marcellus SK, Setiati S. Editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta :
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
6. Robbins., Cotran., 2009., Buku Saku Dasar Patologis Penyakit., Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
7. Guyton, A,C., Jhon, E,H., 2012., Buku Ajar Fisiologi Kedokteran., Edisi
11., Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Anda mungkin juga menyukai