Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Kandung Empedu


Kandung empedu merupakan kantong berbentuk seperti buah pir yang terletak tepat
dibawah lobus kanan hati, yang berukuran 7-10 cm. Kandung empedu menempel dengan
liver melalui jaringan ikat kapsula fibrosa liver. Kandung empedu terdiri dari bagian
yaitu fundus, Corpus (badan) dan Collum (leher). Fundus bentuknya bulat, ujungnya
buntu dari kandung empedu. Badan merupakan bagian terbesar dari kandung empedu.
leher adalah bagian yang sempit dari kandung empedu dan mengarah ke vena porta
hepatika. Leher membentuk hurup S dan tersambung dengan duktus sistikus. Duktus
sistikus berukuran kurang lebih 4 cm menghubungkan kandung empedu dengan duktus
hepatikus komunis. Tunika mukosa pada duktus sistikus menonjol untuk membentuk
plica spiralis yang melanjutkan diri dengan plica yang sama pada collum kandung
empedu. Plica ini umumnya dikenal sebagai valvula spiralis. Fungsinya adalah untuk
mempertahan lumen terbuka secara konstan.1
Saluran biliaris dimulai dari kanalikulus hepatosit, yang kemudian menuju ke
duktus biliaris. Duktus yang besar bergabung dengan duktus hepatikus kanan dan kiri,
yang akan bermuara ke duktus hepatikus komunis di porta hepatis. Ketika duktus sistikus
dari kandung empedu bergabung dengan duktus hepatikus komunis, maka terbentuklah
duktus biliaris komunis. Duktus biliaris komunis secara umum memiliki panjang 8 cm
dan diameter 0.5-0.9 cm, melewati duodenum menuju pangkal pankreas, dan kemudian
menuju ampula Vateri.1
Batas kandung empedu dianterior adalah dinding abdomen dan facies inferior
hepatis. Batas ke posterior yaitu, kolon tranvesum dan bagian pertama dan kedua
duodenum. Vaskularisasi kandung empedu dari ateri cystica, cabang arteri hepatica
dextra. Vena cystica mengalirkan darah langsung kevena porta. Cairan limfe mengalir ke
nodus limfatikus cysticus yang terletak dekat collum kandung empedu. Dari sini,
pembuluh limfa berjalan ke nodus hepaticus dengan berjalan sepanjang perjalanan arteri
hepatica. Serabut simpatik dan parasimpaik vagus membentuk plexus coeliacus. Kandung
empedu berkontraksi sebagai respon terhadap hormon kolesistokinin yang dihasilkan
oleh tunika mukosa duodeni karena masuknya makanan berlemak dari gaster.

Gambar 1. Gambaran anatomi dan lokasi kandung empedu

Gambar 2. Gambaran anatomi kandung empedu


2.2 Fisiologi
Kandung empedu memiliki kemampuan menampung dan menyimpan empedu sebanyak
30-50 ml, serta memekatkan empedu dengan cara mengabsobsi air. Jika pencernaan tidak
terjadi, sphincter oddi tetap tertutup, dan empedu dikumpulkan dalam kandung empedu.
Kandung empedu memekatkan empedu, menyimpan empedu, secara selektif
menggabsobsi garam empedu, mempertahankan asam empedu, mengeluarkan kolesterol,
dan mengsekresi mukus. Untuk membantu fungsi-fungsi ini, tunica mukosa berubah
menjadi lipatan-lipatan permanen yang saling berhubungan, sehingga permukaannya
seperti sarang tawon. Sel-sel toraks yang meliputi permukaan mukosa mempunyai
banyak vili.
Empedu dialirkan keduodenum sebagai akibat kontraksi dan pengosongan parsial
kandung empedu. Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan berlemak kedalam
duodenum. Lemak menyebabkan pengeluaran hormon kolesistokinin dari tunika mukoso
duodeni. Lalu hormon ini masuk kedalam darah dan menyebabkan kandung empedu
berkontraksi. Pada waktu yang bersamaan, otot polos yang terletak pada ujung distal
ductus choledochous dan ampula relaksasi, sehingga memungkinkan masuknya empedu
yang pekat kedalam duodenum. Garam –garam empedu di dalam cairan empedu penting
untuk mengemulsikan lemak didalam usus dan membatu pencernaan dan absobsi lemak.1

2.3 Definisi
Kolesistitis adalah radang dinding kandung empedu yang disertai keluhan nyeri perut
kanan atas, nyeri tekan dan demam. Respon inflamasi dipicu oleh inflamasi mekanis
karena peningkatan tekanan intraluminal. Inflamasi kimiawi karena pelepasan
lysolechetin, infeksi bakteri, yang mana memegang peranan 50-85 persen pasien dengan
akut kolesistitis.4,5

2.4 Etiologi
Berdasarkan etiologinya, kolesistitis dapat dibagi menjadi:
1. Kolesistitis kalkulus (90%), yaitu kolesistitis yang disebabkan batu kandung empedu
yang berada di duktus sistikus. Berdasakan World Society of Emergency Surgery
complicated intra-abdominal infections Score study kolesistitis kalkulus menjadi sumber
infeksi intra abdomen terbanyak kedua (18.5)5,9
2. Kolesistitis akalkulus (10%), yaitu kolesistits tanpa adanya batu empedu. Misalnya
infeksi, keganasan pada kantong empedu atau saluran empedu, dan penyebab yang belum
diketahui.4,5
Berdasarkan onsetnya, kolesistitis dibagi menjadi kolesistitis akut dan kolesistitis
kronik. Pembagian ini juga berhubungan dengan gejala yang timbul pada kolesistitis akut
dan kronik. Pada kolesistitis akut, terjadi inflamasi akut pada kandung empedu dengan
gejala yang lebih nyata seperti nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam.
Sedangkan, kolesistitis kronik merupakan inflamasi pada kandung empedu yang timbul
secara perlahan-lahan dan sangat erat hubugannya dengan litiasis dan gejala yang
ditimbulkan sangat minimal dan tidak menonjol.4

2.5 Patogenesis
Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah stasis cairan
empedu, infeksi kuman, dan iskemia dinding kandung empedu. Penyebab utama
kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%) yang terletak di duktus sistikus yang
menyebabkan stasis cairan empedu, sedangkan sebagian kecil kasus kolesititis (10%)
timbul tanpa adanya batu empedu. Kolesistitis kalkulus akut disebabkan oleh obstruksi
duktus sistikus oleh batu empedu yang menyebabkan distensi kandung empedu.
Akibatnya aliran darah dan drainase limfatik menurun dan menyebabkan iskemia mukosa
dan nekrosis.4,6
Faktor predisposisi terbentuknya batu empedu melibatkan banyak faktor. Batu
kolesterol : (1) Dermographi/ genetik prevalensi tertinggi berada pada suku india di
amerika utara dan Chilean, lebih besar pada eropa utara dan amerika utara kemusian asia,
kasus ini rendah di jepang. (2) Obesitas : pada orang obesitas jumlah asam empedu
normal, namun pada orang obesitas sekresi empedu yang mengandung kolesterol
meningkat. (3) Penurunan berat badan : mobilisasi kolesterol pada jaringan meningkatkan
pengeluaran kolesterol empedu, sementara sirkulasi enterohepatik asam empedu
menurun. (4) Hormon sex wanita : a. stimulasi esterogen hepatic reseptor lipoprotein,
peningkatan ambilan kolesterol dari makanan dan peningkatan pengeluaran kolesterol
empedu . b. Esterogen alami, esterogen lainnya, dan kontrasepsi oral menyebabkan
penurunan perubahan kolesterol menjadi kolesterol esterase. (5) Peningkatan usia :
peningkatan sekresi kolesterol empedu, penurunan ukuran empedu dan jumlah asam
empedu, penurunan pengeluaran garam empedu. (6) Penurunan mortilitas kandung
empedu , seperti pasien yang menggunakan nutrisi parenteral, puasa, hamil, dan
penggunaan obat octreotide.
Selain itu faktor predisposisi terbentuknya batu empedu adalah perubahan susunan
empedu, stasis empedu, dan infeksi kandung empedu. Perubahan susunan empedu
mungkin merupakan faktor terpenting pada pembentukan batu empedu. Sejumlah
penelitian menunjukkan bahwa hati penderita batu kolesterol mensekresi empedu yang
sangat jenuh dengan kolesterol. Kolesterol yang berlebihan ini mengendap dalam
kandung empedu dengan cara yang belum dimengerti sepenuhnya. Stasis empedu dapat
mengakibatkan supersaturasi progresif, perubahan susunan kimia dan pengendapan unsur
tersebut. Gangguan kontraksi kandung empedu atau spasme sfingter Oddi atau keduanya
dapat menyebabkan stasis. Faktor hormonal terutama pada kehamilan dapat dikaitkan
dengan pengosongan kandung empedu yang lebih lambat. Infeksi bakteri dalam saluran
empedu dapat berperan sebagian dalam pembentukan batu, melalui peningkatan
deskuamasi sel dan pembentukan mukus. Akan tetapi, infeksi mungkin lebih sering
sebagai akibat adanya batu empedu daripada menjadi penyebab terbentuknya batu
empedu.4,7

2.6 Diagnosis
Diagnosis kolesititis akut dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Pasien kolesistitis akut biasanya memiliki riwayat nyeri hebat
pada abdomen/perut bagian atas yang bertahan dalam beberapa jam hingga akhirnya
mereka mencari pertolongan ke unit gawat darurat. Secara umum, pasien kolesistitis akut
juga sering merasa mual dan muntah serta pasien melaporkan adanya demam. Tanda-
tanda iritasi peritoneal juga dapat muncul, dan pada beberapa pasien menjalar hingga ke
bahu kanan atau skapula. Kadang-kadang nyeri bermula dari regio epigastrium dan
kemudian terlokalisisr di kuadran kanan atas (RUQ). Meskipun nyeri awal dideskripsikan
sebagai nyeri kolik, nyeri ini kemudian akan menetap pada semua kasus kolesistitis. Pada
kolesistitis akalkulus, riwayat penyakit yang didapatkan sangat terbatas. Seringkali,
banyak pasien sangat kesakitan (kemungkinan akibat ventilasi mekanik) dan tidak bisa
menceritakan riwayat atau gejala yang muncul.4
Pada pemeriksaan fisik, biasanya ditemukan nyeri tekan di kuadran kanan atas
abdomen, dan seringkali teraba massa atau teraba penuh. Palpasi kuadran kanan atas saat
inspirasi seringkali menyebabkan rasa tidak nyaman yang berat yang menyebabkan
pasien berhenti menghirup napas, hal ini disebut sebagai tanda Murphy positif. Terdapat
tanda-tanda peritonitis lokal dan demam.4
Dari pemeriksaan laboratorium pada pasien akut kolesistitis, dapat ditemukan
leukositosis, peningkatan CRP, serta kemungkinan peningkatan serum transaminase dan
fospatase akali. Ikterus dijumpai pada 20% kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin <
4,0 mg/dl). Apabila konsetrasi bilirubin tinggi, perlu diperkirakan adanya batu di saluran
empedu ekstrahepatik.4
Pemeriksaan pencitraan foto polos abdomen tidak dapat memperlihatkan gambaran
kolesistitis akut. Hanya pada 15% kasus pasien kemungkinan dapat terlihat batu
radioopak oleh karena mengandung kalsium cukup banyak. Pemeriksaan ultrasonografi
(USG) sebaiknya dikerjakan secara rutin dan sangat bermanfaat untuk memperlihatkan
besar, bentuk, penebalan dinding kandung empedu, batu dan saluran empedu
ekstrahepatik. Nilai kepekaan dan ketepatan USG mencapai 90-95%.4
Pemeriksaan CT scan abdomen kurang sensitif dan mahal, tapi mampu
memperlihatkan adanya abses perikolesisitik yang masih kecil yang mungkin tidak
terlihat dengan pemeriksaan USG. CT Scan abdomen direkomendasikan untuk
mendiagnosis kolesistitis emfisematosa.4,8,9
Skintigrafi saluran empedu mempergunakan zat radioaktif HIDA atau 99m Tc6
Iminodiacetic acid mempunyai kepekaan dan ketepatan yang lebih rendah daripada USG
dan juga lebih rumit untuk dikerjakan. Pemeriksaan ini dapat dilakukan jika dari
pemeriksaan USG masih meragukan. Terlihatnya gambaran duktus koledokus tanpa
adanya gambaran kandung empedu pada pemeriksaan kolesistografi oral atau skintigrafi
sangat menyokong kolesistitis akut.6
Berdasarkan Tokyo Guideline 13/18 kriteria diagnosis untuk akut kolesistitis :8
A. Tanda Inflamasi Lokal
1. Murphy’s sign,
2. Nyeri/Massa pada RUQ (kuadran perut kanan atas)
B. Tanda Inflamasi Sistemik
1. Demam
2. Peningkatan CRP
3. Peningkatan WBC (sel darah putih)
C. Pencitraan (Imaging Findings)
Kesimpulan :
1. Curiga akut kolesistitis jika ditemukan salah satu tanda inflamasi lokal (A) dan salah
satu tanda inflamasi sistemik (B)
2. Definitif Akut kolestititis jika ditemukan salah satu tanda inflamasi lokal (A) dan salah
satu tanda inflamasi sistemik (B) serta didukung hasil pencitraan (C)
Klasifikasi/ Derajat Stadium kolesistitis :
1. Kolesistitis akut ringan (derajat 1)
Pasien dengan inflamasi ringan pada kandung empedu, tanpa disertai disfungsi organ dan
kolesistektomi dapat dilakukan dengan aman dan beresiko rendah. Pasien pada derajat ini
tidak memenuhi kriteria untuk kolesistitis sedang dan berat.
2. Kolesistitis akut sedang (derajat 2)
Salah satu kriteria yang harus dipenuhi adalah :
a. Leukositosis
b. Massa teraba di abdomen kuadran kanan atas,
c. Keluhan berlangsung lebih dari 72 jam,
d. Inflamasi lokal yang jelas (peritonitis bilier, abses perikolesistikus, abses hepar,
kolesistitis gangrenosa, kolesistitis emfisemtosa)
3. Kolesistitis akut berat (derajat 3)
Akut kolesistitis dengan salah satu dari kondisi berikut :
a. Disfungsi kardiovaskuler : Hipotensi yang memerlukan topangan dopamin >
5mcg/kgbb/menit, atau dengan topangan norephinephrine dosis berapapun
b. Disfungsii neurologis (penurunan kesadaran)
c. Disfungsi pernapasan (rasio PaO2/FiO2<300)
d. Disfungsi renal (oligouria, kreatinin>2mg/dL)
e. Disfungsi hepar (PT-INR>15)
f. Disfungsi hematologi (trombosit<100.000/mm)

2.7 Diagnosis Banding


Diagnosis banding untuk kolesistitis diantaranya, pankreatitis akut, apendisitis,
pielonefritis, peptic ulcer disease, hepatitis, abses hepar12.

2.8 Komplikasi
Komplikasi yag dapat terjadi pada pasien kolesistitis yaitu :
A. Empiema
Empiema biasanya terjadi pada akut kolesistitis dengan obstruksi ductus sistikus yang
persisten disertai infeksi bakteri. Gejala klinis menyerupai kolangitis dengan demam
tinggi, nyeri perut kanan atas yang berat, leukositisis. Empyema kandung empedu
beresiko terjadinya sepsis dan perforasi. Terapi pembedahan dan antibiotik yang tepat
diperlukan jika diagnosis sudah ditegakkan12
B. Hydrop atau mucocele
Hydrop atau mucocele pada kandung empedu mungkin juga terjadi karena obstruksi
yang lama pada duktus sistikus. Obstruksi pada lumen kandung empedu ini membesar
secara progresif karena mucus (mucocele) atau transudate (hydrops) yang diproduksi
oleh mukosa sel epitel. Pada pemeriksaan fisik kadang dapat teraba massa pada regio
perut kanan atas meluas sampai fossa iliaca kanan. Pasien dengan hydrops kandung
empedu biasanya tidak bergejala tetapi kadang mengalami nyeri kronik pada perut
kanan atas. Kolesistektomi diindikasikan pada pasien ini.12
C. Gangren dan perforasi
Gangrene pada kandung empedu terajadi karena iskemik dinding kandung empedu
dan nekrosis jaringan. Komdisi yang mendasarinya biasanya adalah distensi dari
kandung empedu, vasculitis, diabetes melitus, empyema, dan oklusi arteri karena
torsio. Gangrene merupakan predisposisi terjadinya perforasi walaupaun perforasi
bisa juga terjadi pada kronik kolesistits. Perforasi yang terlokalisir terbentuk oleh
omentum atau adhesi karena proses inflamasi yang berulang. Terdapat infeksi bakteri
pada dinding kandung empedu sehingga terbentuklah absess. Kebanyakan pasien
disembuhkan dengan kolesistektomi tetapi pada beberapa pasien yang sakit berat
dilakukan kolesistostomi dan pemasangan drain absess.12
D. Pembentukan Fistula dan ileus kandung empedu
Pembentukan fistula kedalam organ yang menempel disebelah kandung empedu
terjadi karena inflamasi dan adhesi. Fistula kedalam usus dua belas jari merupakan
yang paling sering terjadi, kemudian pada colon bagian fleksura hepatica, lambung,
usus halus, dinding abdomen, dan pelvis ginjal. Fistula bilier-enterik merupakan
komplikasi dari akut kolesistitis dan ditemukan sebanyak hingga 5 % pada pasien
yang dilakukan kolesistektomi. Asimptomatik kolesitoenterik fistula mungkin dapat
didiagnosa dengan menemukan gas pada duktus bilier pada pemeriksaan foto polos
abdomen. Pemeriksaan kontras barium atau endoskopi saluran cerna dan kolon dapant
dilakukan untuk mencari fistula. Tatalaksana pada psien yang menunjukkan gejala
dapat dilakukan kolesistektomi, eksplorasi CBD dan penutupan fistula.12
E. Ileus kandung empedu
Ileus kandung empedu merupakan obstruksi intestinal mekanik yang terjadi karena
batu empedu yang berukuran besar menyumbat lumen usus. Batu ini masuk ke usus
biasanya melewati kolesistoenterik fistula. Lokasi obstuksi yang sering terjadi pada
valvula ileocecal. Kebanyakan pasien tidak terdapat riwayat gejala akut kolesistitis
atau fistula. Pada pemeriksaan foto polos abdomen dapat ditemukan gambaran
obstruksi usus, gas, dan kalsifikasi kandung empedu. Laparotomi masih merupakan
prosedur pilihan untuk tatalaksana evakuasi batu pada kasus obstruksi ini.12

2.9 Penatalaksanaan
Tatalaksana akut kolesistitis, meskipun intervensi bedah menjadi terapi utama akut
kolesistitis dan komplikasinya, periode stabilisasi perlu dilakukan dirumah sakit sebelum
dilakukannya kolesistektomi. Pasien harus di puasakan,jika perlu dilakukan nasogastric
suction, nutrisi parenteral dan memperbaiki penurunan volume ekstraselular serta
mengkoreksi ganguan elektrolit. Obat penghilang nyeri yang diberikan yaitu petidine,
meperidine atau NSAID, karena obat ini tidak terlalu membuat spasme pada spinter oddi,
tidak seperti morfin. Terapi antibiotik intravena biasanya diindikasikan pada pasien
dengan akut kolesistitis berat, meskipun infeksi bakteri empedu belum terjadi di stase
awal dari proses inflamasi. Terapi antibiotik yang dipilih untuk bakteri seperti E.coli,
Klebsiella spp, and Streptococcus spp. Antibiotik yang efektif yaitu piperacilin,
mezlocilin, ampicilin sulbactam, ciprofloxacin, moxifloxacin, dan sefalosforin generasi ke
tiga. Pilihan antibiotik untuk bakteri anaerob seperti, metronidazole. Obat ini harus
diberikan jika dicurigai ganggren dan kolesistitis empisematus. Antibiotik yang poten
seperti imipenen atau meropenem merupakan antibiotik spektrum luas yang dapat
diberikan pada kasus kolangitis. Obat ini biasanya dipilih pada kasus yang berat dan
mengancam nyawa atau karena obat lain gagal. Terapi antibiotik juga dapat mengurangi
terjadinya infeksi luka pasca operasi, pembentukan abses dan sepsis.4,10,12
Terapi pembedahan, waktu yang optimal untuk melakukan terapi pembedahan
pada pasien akut kolisistitis tergatung kestabilan kondisi pasien. Urgen/emergensi
kolisistektomi atau kolesistostomi mungkin sesuai pada kebanyakan pasien yang
mengalami komplikasi seperti empiema, empisematus kolesistitis atau perforasi. Pada
kasus akut kolesistitis tanpa komplikasi 30% pasien gagal sembuh dengan terapi
medikamentosa sehingga perlu dilakukan operasi pembedahan dalam 24 – 72 jam.
Penundaan terapi pembedahan mungkin baik untuk pasien, yang memiliki kontraindikasi
pembedahan dan pada pasien yang diagnosisnya masih diragukan. Pada pasien dengan
kondisi sakit berat yang tidak memungkinkan dilakukan kolesistektomi dapat dilakukan
kolesistostomi dan pemasangan drainase. Kemudian, elektif kolesistektomi dilakukan
setelah kondisi pasien stabil.12
Tatalaksana batu empedu, Terapi pembedahan. Rekomendasi untuk dilakukan
kolesistektomi pada pasien batu empedu berdasarkan penilaian dari 3 faktor berikut, (1)
Terdapat gejala yang cukup sering atau cukup parah, mengganggu aktifitas pasien. (2)
Terdapat riwayat akut kolesistitis, pankreatitis, fistula batu empedu, atau komplikasi batu
empedu lainnya. (3) Terdapat faktor predisposisi yang dapat meningkatkan resiko
komplikasi batu empedu misalnya, porcelain gallbladder. Pasien dengan batu empedu
yang sangat besar (diameter >3 cm), pasien yang memiliki kelainan kongenital pada
kantung empedu dan terdapat batu dapat dipertimbangkan untuk dilakukan profilaktik
kolesistektomi. Diperlukan seleksi yang ketat untuk mendapatkan hasil yang memuaskan
dengan penatalaksana menggunakan obat-obatan dan ESWL atau kombinasi keduanya.
Misalnya ukuran batu kurang dari 5 mm, batu tunggal, batu kolesterol, dan integritas dari
dinding kandung empedu. Tingkat kekambuhan setelah ESWL adalah 30-50% dalam 5
tahun.11
Tindakan operasi atau kolesistektomi dilakukan sebaiknya secepatnya atau
ditunggu setelah terapi konservatif dan keadaan umum pasien lebih baik. Indikasi untuk
dilakukannya tindakan kolesistektomi atau laparoskopi antara lain, kalkulus akut
kolesistitis, akalkulus kolesistitis, koledokolitiasis, dyskinesia kandung empedu, polip
kandung empedu dengan diameter >10 mm, porcelain galbledder. Kontraindikasi absolut
dilakukannya operasi antara lain, tidak dapat mentoleransi general anastesi, refaktori
koagulopati, curiga carcinoma kandung empedu. Kontraindikasi relatif antara lain,
riwayat operasi di regio abdomen sebelumnya, kolangitis, difus peritonitis, sirosis dan
atau portal hipertensi, PPOK, kolesistoenterik fistula, kehamilan.10
Terapi medikamentosa yang diberikan pada kasus batu empedu adalah UDCA
(Ursodeoxycolic acid). UDCA dapat diberikan pada pasien yang memiliki batu kolesterol
yang berukuran <10 mm. Pada pasien dengan batu kolesterol berukuran <10mm
pemebrian UDCA dapat menghilangkan batu pada 50% kasus, dalam 6 bulan – 2 tahun
pemeberian dengan dosis 8-10 mg/kg/hari. Pemberian UDCA jangka panjang untuk
mencegah koledokolitiasis setelah kolesistektomi12.

2.10 Prognosis
Penyembuhan spontan didapatkan pada 85% kasus, sekalipun kandung empedu menjadi
tebal, fibrotik, penuh dengan batu dan tidak berfungsi lagi. Tidak jarang menjadi
kolesistitis rekuren. Kadang-kadang kolesistitis akut berkembang menjadi gangren,
empiema dan perforasi kandung empedu, fistula, abses hati atau peritonitis umum secara
cepat. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian antibiotik yang adekuat pada awal
serangan. Tindakan bedah akut pada pasien usia tua (>75 tahun) mempunyai prognosis
yang jelek di samping kemungkinan banyak timbul komplikasi pasca bedah.4
RINGKASAN

Pasien perempuan An. LA usia 25 tahun, pasien mengalami keluhan nyeri perut kanan
atas sejak 7 hari SMRS. Nyeri awalnya dirasakan pada bagian uluhati lalu meluas ke perut
kanan atas dan menetap, namun nyeri tidak menjalar kebahu kanan dan punggung. Nyeri
dirasakan tiba-tiba dan menetap. Nyeri dirasakan memberat selama 4 hari terakhir. Nyeri
dirasakan seperti ditusuk-tusuk. Keluhan dirasakan memberat jika pasien menarik nafas dan
keluhan berkurang jika pasien berbaring. Pasien juga mengeluhkan mual (+) dan demam sejak
3 hari. Keluhan kuning pada kulit, BAB warna dempul disangkal. BAK (+) jernih kekuningan.
Makan dan minum (+) menurun. Pasien pernah mengalami keluhan serupa dan sudah pernah
diperiksan dengan diagnosis kolelitiasis. Pasien merupakan ibu rumah tangga dan memiliki 3
orang anak. Pasien memiliki kebiasaan makan makannan berlemak dan jarang berolahraga.
Berdasarakan hasil pemeriksaan fisik didapatkan status present dalam batas normal. Status
general pada regio abdomen di dapatkan inspeksi dinding perut tampak datar, damn countur (-
), dan damn steifung (-), pada auskultasi di dapatkan bising usus normal, perkusi di temukan
timpani, dan pada palpasi di dapatkan nyeri tekan (+), murphy sign (+), hepar dan lien tidak
teraba, defan muskular (-).
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pasien diassesment dengan kolesistitis dan
multiple kolelitiasis. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa kolesistitis adalah
radang dinding kandung empedu yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan
demam. Respon inflamasi dipicu oleh inflamasi mekanis karena peningkatan tekanan
intraluminal. Terbentuknya batu empedu melibatkan banyak factor. Umumnya perempuan
lebih sering terjadi batu empedu dari pada laki-laki. Faktor resiko yang lain adalah obesitas,
usia, intoleransi glukosa, insulin resisten, alkohol, Diabetes Melitus, hipertrigliserida, obat-
obatan dan kehamilan. Kolesterol yang berlebihan ini mengendap dalam kandung empedu
dengan cara yang belum dimengerti sepenuhnya. Penyebab utama kolesistitis akut adalah batu
kandung empedu (90%) yang terletak di duktus sistikus yang menyebabkan stasis cairan
empedu.
Berdasarkan Tokyo Guideline 13/18 kriteria diagnosis untuk akut kolesistitis. Tanda
Inflamasi Lokal antara lain, murphy’s sign dan nyeri/massa pada RUQ (kuadran perut kanan
atas). Tanda Inflamasi Sistemik antara lain, demam, peningkatan CRP, peningkatan WBC (sel
darah putih). Pencitraan (Imaging Findings). Kesimpulan antara lain, curiga akut kolesistitis
jika ditemukan salah satu tanda inflamasi lokal dan salah satu tanda inflamasi sistemik dan
definitif akut kolestititis jika ditemukan salah satu tanda inflamasi lokal dan salah satu tanda
inflamasi sistemik serta didukung hasil pencitraan.
Tatalaksana umum seperti istirahat total, puasa, nutrisi parenteral, obat penghilang nyeri
(petidine, meperidine atau NSAID). Pemberian antibiotik sangat penting mencegah komplikasi.
Jenis- jenis antibiotik yang digunakan adalah golongan ampisilin, sefalosforin generasi ke tiga,
ciprofloxacin, metronidazole. Tindakan operasi atau kolesistektomi dilakukan sebaiknya
secepatnya atau ditunggu setelah terapi konservatif dan keadaan umum pasien lebih baik.
Indikasi untuk dilakukannya tindakan kolesistektomi atau laparoskopi antara lain, kalkulus
kolesistitis akut, akalkulus kolesistitis, koledokolitiasis, dyskinesia kandung empedu, polip
kandung empedu dengan diameter >10 mm, porcelain kandung empedu.
DAFTAR PUSTAKA
1 Snell RS. 2014. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Sugiharto L, Suwahjo A,
Liestyawan YA, editor. Jakarta (ID):EGC
2 Harris HW, et al. 2018. Gallblader cancer treatment. Available at :
https://general.surgery.ucsf.edu/conditions--procedures/gallbladder-cancer.aspx (gambar
1)
3 Modric j. 2017. Gallbladder Anatomy And fuction. Available at :
https://www.ehealthstar.com/wp-content/uploads/2014/12/Gallbladder-Anatomy-15.jpg
(gambar 2)
4 Pridady. Kolesistitis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S.
Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I. Edisi keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. Hal 477-478.
5 Fauci A, Braunwald E, Kasper DL, Hauser SL, et al. 2009. Harrison’s Manual Of
Medicine. New York (US) : Mc Graw Hill Medical
6 Indar AA, Beckingham IJ. 2002. Acute Cholecystits Clinical Review. BMJ
2002;325:639–43
7 Reshetnyak VI. Concept of the pathogenesis and treatment of cholelithiasis. World J
Hepatol 2012 (2): 18-3 Availale from: URL: http://www.wjgnet.com/18-
5182/full/v/i2/18.htm
8 Yokoe M, Hata J, Takada T, Strasberg SM, Asbun HJ, Wakabayashi G, et al. Tokyo
Guidelines 2018: diagnostic criteria and severity grading of acute cholecystitis. J
Hepatobiliary Pancreat Sci (2018) 25:41–54
9 Gomes CA, Junior CS, Saveiro SD, et al. 2017. Acute Calculous Cholecystitis : Review
of Current Best Practice. World J Gastrointest Surg 2017 May 27; 9(5): 118-126
10 Zinner JM, Ashley SW. 2013. Maingot’s Abdominal Operations. New York (US) : Mc
Graw Hill Medical
11 Ansaloni L, Pisano M, Coccolini F, Peitzmann Ab, et al. 2016. WSES guidelines on acute
calculous cholecystitis. World Journal of Emergency Surgery (2016) 11:25
12 Fauci A, Braunwald E, Kasper DL, Hauser SL, et al. 2016. Harrison’s Gastroenterology
and Hepatology. New York (US) : Mc Graw Hill Medical

Anda mungkin juga menyukai