Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN KOLELITHIASIS

Oleh, Elok Dwi Oktaviana, 1806139973, Profesi Ners FIK UI 2022, RSCM Gd A Lt 4a

I. Anatomi dan Fisiologi


Hepar, secara makroskopis dibagi menjadi empat lobus yaitu dua lobus utama:
lobus kanan dan lobus kiri yang dibagi oleh ligamentum falciformis di bagian anterior,
serta dua lobus aksesoria yaitu lobus quadratus dan lobus caudatus. Berdasarkan
fungsinya hepar memiliki 3 bagian fungsional utama: lobus kaudatus, lobus kanan dan
lobus kiri. Lobus kanan dibagi menjadi 4 segmentum yaitu segmentum V, VI, VII, VIII,
lobus kiri menjadi 3 segmentum yaitu II,III dan IV, serta segmentum I adalah lobus
kaudatus.

Secara anatomis, kantung empedu atau vesica fellea terletak di antara dua lobus

hepar. Vesica fellea merupakan tempat penyimpanan asam empedu yang berbentuk

kantung piriformis, memiliki panjang 7-10 cm dan lebar 3-4 cm, serta dapat

menampung sebanyak 30-50 mL empedu. Vesica fellea terdiri dari tiga bagian yaitu

korpus, fundus, infundibulum dan kolum. Fundus membentang hingga 1 cm tepi bebas

hepar. Korpus merupakan bagian terbesar. Infundibulum merupakan area transisional

antara corpus dan collum. Kantung Hartmann merupakan penonjolan pada permukaan
inferior infundibulum. Batu empedu dapat tersangkut disini dan menyebabkan

obstruksi duktus sistikus Vesica fellea akan berakhir pada duktus sistikus yang

berdiameter 7 mm dan dengan mukosa yang memiliki valvula spiralis (valves of

Heister). Duktus sistikus akan mengalirkan empedu menuju duktus koledokus, dimana

duktus ini melalui caput pankreas akan berakhir pada sfingter Oddi yang menembus

dinding duodenum dan membentuk suatu bangunan yang disebut ampulla Vateri.

Hepar memiliki berbagai macam fungsi untuk menjaga tubuh dalam kondisi

fisiologis. Hepar memiliki fungsi dalam sintesis protein, sebagian besar protein

diproduksi oleh hepatosit yang nantinya akan digunakan oleh organ, jaringan dan sel

lain. Protein yang diproduksi antara lain: albumin, transferrin, seruloplasmin,

haptoglobin, protein komplemen, dan faktor koagulasi. Selain memproduksi protein,

hepar juga memiliki fungsi dalam metabolisme karbohidrat, lemak, regulasi besi,

tembaga dan fungsi detoksifikasi.

Empedu memiliki dua fungsi utama, berfungsi dalam penyerapan lemak dan
sebagai sarana eksresi kolesterol, besi dan tembaga. Asam empedu merupakan

komponen aktif utama dari sekresi bilier. Empedu disekresi oleh hepatosit melewati

membran kanalikular ke dalam celah kanalikular. Proses sekresi terjadi secara aktif dan

pasif, dimana fase aktif yang akan menghasilkan aliran empedu. Produk dari sekresi

aktif dikenal sebagai primary solutes dan dibentuk oleh asam empedu terkonjugasi,

bilirubin terkonjugasi, glutathione, hormon steroid konjugat. Zat yang dapat difiltrasi

dihasilkan dari sekresi pasif yang diinduksi oleh tekanan osmotik dan dikenal sebagai

secondary solutes. Zat tersebut berisi terutama plasma, glukosa, elektrolit, asam

organic dengan berat molekul rendah dan kalsium.

Rerata jumlah aliran basal cairan empedu pada manusia adalah 620mL/d.

Cairan empedu terus diproduksi oleh sel hepar secara kontinu, tetapi umumnya akan

disimpan dalam kantung empedu hingga akhirnya dibutuhkan oleh duodenum.

Volume maksimum yang dapat ditampung oleh kantung empedu adalah 30-60 mL,

namun sejumlah sekresi empedu selama 12 jam (umumnya berjumlah 450 mL) dapat

ditampung dalam kantung empedu karena air, natrium, klorida dan sejumlah elektrolit

kecil secara kontinu diserap oleh mukosa kantung empedu, dan memekatkan sisa cairan

empedu yang mengandung garam empedu, kolesterol, lesitin dan bilirubin.

Ketika makanan mulai dicerna di saluran pencernaan atas, kantung empedu

akan mengosongkan isinya terutama saat makanan berlemak memasuki duodenum.

Mekanisme pengosongan terjadi dengan adanya kontraksi ritmis dinding kantung

empedu, tetapi agar terjadi proses pengosongan yang lebih efektif dibutuhkan adanya

relaksasi dari sfingter Oddi yang akan mengarahkan pengeluaran cairan empedu menuju

duodenum.
Sekitar 94% dari garam empedu yang telah disekresi akan diserap ke dalam

darah dan kembali ke hepar, ketika mencapai hepar hampir seluruh garam empedu

diserap oleh hepatosit dan mengalami resekresi. Sebagian kecil cairan empedu akan

terbuang melalui feses dan akan digantikan oleh produksi empedu baru dari hepar.

Proses resirkulasi garam empedu ini disebut dengan “sirkulasi enterohepatik”.Fungsi

dari Kantung empedu: (Martini, Nath, & Bartholomew, 2012):

• Ekskresi bilirubin. Seperti disebutkan sebelumnya, bilirubin, yang berasal dari heme
sel darah merah tua, diserap oleh hati dari darah dan disekresikan ke dalam empedu.
Sebagian besar bilirubin dalam empedu dimetabolisme di usus kecil oleh bakteri dan
dibuang melalui tinja.
• Sintesis garam empedu. Garam empedu digunakan kembali di usus kecil untuk
emulsifikasi dan penyerapan lipid.
• Aktivasi vitamin D. Kulit, hati, dan ginjal berperan dalam mensintesis bentuk aktif
vitamin D.

II. Definisi dan Faktor Risiko


Kolelitiasis adalah batu di kantung empedu. Batu empedu terbentuk di kantong empedu
yang terbentuk dari zat padat di empedu. Batu empedu terdiri atas dua jenis yaitu batu
dari pigmen dan batu dari kolesterol (William & Hopper, 2015). Batu empedu pigmen
berasal dari kalsium bilirubin yang bercampur dengan kalsium (William & Hopper,
2015). Batu empedu bisa berada di leher kantung empedu atau di saluran kistik.
Kolesistitis adalah peradangan kantung empedu biasanya berhubungan dengan
kolelitiasis. Kolesistitis biasa merupakan respon obstruksi dari saluran empedu yang
menghasilkan edema dan inflamasi. Kolesistitis bisa terjadi secara akut atau kronis.
Kolelitiasis dan kolesistitis biasanya terjadi secara bersaman. Kolesistitis merupakan
peradangan akut atau kronis pada kantung empedu yang berhubungan dengan obstruksi
drainase oleh batu empedu, yang dapat menyebabkan bakteremia dan septikemia.
Peradangan yang terus menerus akan menghasilkan iritasi, yang dapat menjadi faktor
risiko kanker kandung kemih.
III. Manifestasi klinis
Kolelitiasis dapat menimbulkan gejala yang parah atau tidak timbul gejala sama sekali.
Beberapa klien menderita “silent cholelithiasis”. Tingkat keparahan gejala bergantung
kepada pergerakan batu dan posisi batu. Klien dengan penyakit batu empedu dapat
mengalami dua jenis gejala yaitu gejala yang timbul oleh penyakit kandung empedu
sendiri dan gejala yang disebabkan oleh penyumbatan saluran empedu karena batu
empedu. Gejala yang timbul bisa akut atau kronis.
1. Kejang, dapat timbul pada saat batu bersarang atau batu bergerak di saluran kantung
empedu.
2. Distres epigastrik, yaitu terasa penuh, perut kembung, dan nyeri yang timbul samar
pada kuadran kanan atas perut. Gejala ini muncul setelah makan makanan
mengandung lemak tinggi (William & Hopper, 2015).
3. Nyeri dan kolik bilier, saat batu empedu menghalangi saluran kistik, kandung empedu
akan membengkak, meradang, dan akhirnya terinfeksi disebut sebagai kolesistitis
akut. Individu akan mengalami demam dan teraba massa diperut. Tubuh akan
merasakan kolik bilier dengan nyeri perut kanan atas yang parah dan menjalar ke
punggung atau bahu kanan. Kolik bilier biasanya berhubungan dengan mual dan
muntah yang muncul beberapa jam setelah makan berat.

Kolik bilier disebabkan oleh kontraksi kandung empedu, yang tidak dapat
melepaskan empedu karena terhalang oleh batu. Ketika membengkak, fundus
kandung empedu bersentuhan dengan dinding perut di daerah kartilago kosta
kesembilan dan kesepuluh kanan. Nyeri kolesistitis akut mungkin sangat parah
sehingga diperlukan analgesik.

Penggunaan morfin dihindari karena dikhawatirkan dapat menyebabkan kejang pada


sfingter Oddi, dan meperidine (demerol) telah digunakan sebagai gantinya. Ini
kontroversial, karena morfin adalah agen analgesik yang lebih disukai untuk
manajemen nyeri akut, dan beberapa metabolit meperidin bersifat toksik bagi sistem
saraf pusat (SSP). Jika batu empedu terlepas dan tidak lagi menghalangi saluran
kistik, kandung empedu akan terkuras dan proses inflamasi mereda dalam waktu yang
relatif singkat. Jika batu empedu terus menghalangi saluran, dapat terjadi abses,
nekrosis, dan perforasi.
4. Jaundice, penyakit ini terjadi pada beberapa pasien dengan penyakit kandung empedu
dengan penyumbatan saluran empedu. Empedu, yang tidak lagi dibawa ke duodenum,
diserap oleh darah dan memberi warna kuning pada kulit dan selaput lendir. Ini sering
disertai dengan pruritus (gatal) pada kulit.
5. Perubahan warna urin dan feses, ekskresi pigmen empedu oleh ginjal membuat urin
berwarna sangat gelap. Kotorannya, tidak lagi diwarnai pigmen empedu, berwarna
keabu-abuan, seperti dempul, atau berwarna tanah liat.
6. Defisiensi vitamin, obstruksi aliran empedu mengganggu absorpsi vitamin A, D, E,
dan K yang larut dalam lemak. Pasien mungkin menunjukkan defisiensi vitamin ini
jika obstruksi bilier telah berkepanjangan. Misalnya, seorang pasien mungkin
mengalami pendarahan yang disebabkan oleh kekurangan vitamin K (vitamin K
diperlukan untuk pembekuan darah).
7. Murphy’s sign positif, tanda ini terlihat dari ketidakmampuan klien untuk menarik
napas dalam saat jari perawat menekan dibatas bawah hati.

IV. Faktor Risiko


1. Wanita, terutama wanita multipara atau pada wanita dengan menopause. Kontrasespi
oral memiliki efek produksi kolesterol dan meningkatkan saturasi kolesterol dari
kantung empedu
2. Individu berusia diatas 40 tahun. Pembentukan batu meningkat akibat peningkatan
sekresi kolesterol hati dan penurunan sintesis asam empedu
3. Sedentary lifestyle
4. Riwayat kesehatan keluarga
5. Obesitas, obesitas meningkatkan sekresi kolesterol dalam empedu.
6. Orang dengan ras Asia Amerika dan Afrika Amerika
7. Penderita diabetes milletus

V. Etiologi Penyakit
Kolelitiasis biasanya disebabkan oleh adanya batu empedu. Batu empedu biasanya
berkembang dan menghambat saluran empedu dan saluran kistik, seperti di saluran di
hati, saluran empedu kecil, dan saluran pankreas. Batu empedu terbentuk dari kolesterol
(sekitar 80%), kalsium bilirubinate, atau campuran yang terbentuk oleh perubahan
komposisi empedu. Batu empedu yang tidak dapat dikeluarkan akan menyebabkan statis
empedu. Statis empedu dapat menyebabkan munculnya infeksi bakteri sehingga
mengarah kepada kegawatdaruratan medis berupa kolangitis.

VI. Patofisiologi (WOC/mindmap)

VII. Komplikasi
Komplikasi pada kolelitiasis seperti kolangitis (peradangan saluran empedu), nekrosis
atau perforasi kandung empedu, empyema (kumpulan drainase purulent di kantung
empedu), fistula, dan adenokarsinoma kandung empedu (William & Hopper, 2015).
Komplikasi akut dari kolelitiasis adalah pankeatitis akut dengan ductus pankreas
tersumbat (William & Hopper, 2015).

VIII. Pengkajian
Anamnesa (Doenges, Moorhouse, & Murr, 2014)
Pengkajian Hal yang mungkin ditemukan
Aktivitas
 Kelelahan  Kegelisahan
Sirkulasi  Takikardia
 Diaphoresis
 Hipotensi, saat klien mengalami septik
Eliminasi
 Perubahan warna urin dan feses  Distensi abdomen
 Teraba massa pada kuadran kanan atas
 Urin berwarna gelap dan pekat
 Tinja berwarna seperti tanah liat atau
disebut steatorrhea
Makanan atau Cairan
 Anoreksia, mual, dan muntah  Obesitas atau penurunan berat badan
 Intoleransi makanan berlemak dan baru-baru ini
terjadi pembentukan gas, regurgi  Bunyi usus normal hingga hipoaktif
berulang, mulas, gangguan
pencernaan, perut kembung, dyspepsia
 Bersendawa
Nyeri atau Ketidaknyamanan
 Nyeri perut bagian atas dan bagian  Nyeri rebound, otot perut mengeras,
epigastrium yang parah, dapat kekakuan perut saat kuadran kanan
menjalar ke punggung tengah, bahu atas teraba
kanan dan skapula, atau ke bagian  Terdapat Murphy’s sign
dada depan
 Nyeri meningkat saat bergerak
 Nyeri kolik midepigastrik berkaitan
dengan makanan yang dikonsumsi,
nyeri akan muncul terutama setelah
makan makanan yang kaya lemak
 Nyeri yang parah atau berkelanjutan
akan dimulai secara tiba-tiba,
terkadang muncul di malam hari
dengan nyeri bertahan selama 1
hingga 5 jam
 Nyeri sering muncul berulang
Pernapasan  Peningkatan laju pernapasan
 Pernapasan splinted ditandai dengan
pernapasan yang pendek dan dangkal
Keamanan  Demam ringan
 Demam tinggi dan menggigil yang
meunjukkan komplikasi septik
 Jaundice dengan kulit kering dan gatal
(pruritus)
 Cenderung mengalami perdarahan
disebabkan kekurangan vitamin K
Edukasi
 Keluarga dengan riwayat batu empedu
 Kehamilan dan persalinan baru-baru
ini dengan riwayat DM, penyakit
radang usus, dan diskrasia darah
 Edukasi pasien terkait gaya hidup
sehat dan pola makan yang baik
 Edukasi pasien pasca koleksistektomi
(Pengangkatan kantung empedu pada
prosedur kolesistektomi dapat
menimbulkan perubahan pola
pencernaan, metabolisme, dan status
nutrisi pasien pengangkatan kantung
empedu menyebabkan sekresi empedu
terus menerus langsung mengalir ke
dalam duodenum)
Diszharge Palnning
 Diperlukan dukungan perubahan pola
makan dan penururnan berat badan

Pemeriksaan Diagnostik dan Laboratorium (Doenges, Moorhouse, & Murr, 2014)


Pemeriksaan Rasional
Diagnostik
Ultrasonografi abdomen atau sistem USG perut bagian kanan atas menggambarkan
kandung kemih, yaitu tes skrining yang 90-95% kolesistitis dan 98% spesifik untuk
biasa digunakan untuk mengidentifikasi kolelitiasis sederhana.
kelainan pada kantung empedu dan jaringan
disekitarnya. Pemeriksaan ini sangat berguna
untuk pasien dengan jaundice karena tidak
bergantung pada fungsi hati dan bagi pasien
dengan alergi terhadap media kontras.
Pemindaian Hepatoiminodiacetic acid HIDA scan mampu mendiagnosis kolesistitis
(HIDA), yaitu pencitraan yang digunakan akut secara akurat hingga 95%, meskipun
untuk memeriksa kantung empedu dan pemindaian tidak memindai batu empedu.
saluran yang menuju dan keluar kantong
empedu
Radiografi abdomen (multiposisi): X-ray di X-ray di abdomen dilakukan untuk
bagian abdomen mendeteksi penyakit yang menyertainya,
seperti gangguan empyema kantung empedu
dan batu empedu ileus.
CT scan: X-ray yang menggunakan computer Hasil CT Scan meliputi pembesaran kantung
untuk mendapatkan gambaran detail empedu (terlihat jelas); batu di kantung
penampang dari bagian tubuh yang ingin empedu, saluran kistik, atau keduanya;
dikaji, dapat dilakukan dengan atau tanpa penebalan dinding kantung empedu; lumpur
kontras billier; dan peluruhan mukosa kandung
empedu.
MRI atau kolangiopancreatografi (CPRE), MRI menggambarkan patologis yang sama
MRI yaitu pemindaian menggunakan seperti CT scan. MRCP menjadi alternatif
gelombang magnetic untuk mendapatkan untuk mengurangi tindakan invasif dari pada
gambar jaringan, organ, dan struktur lainnya ERCP dengan fungsi mengevaluasi batu
yang tervisualisasi pada computer. MRCP empedu di hati, saluran empedu, kantung
adalah pengaplikasian pencitraan resonansi empedu, dan penkreas, evaluasi adanya
magnetic hepatobiller dan sistem pankreas. infeksi atau perdangan.
Endoscopic retrograde Memvisualisasi pohon empedu dengan
cholangiopancreatography (ERCP): yaitu kanulasi saluran empedu melalui duodenum.
endoskopi yang memungkinkan visualisasi ERCP mampu mengangkat 90% batu dan
secara langsung anatomi kantung empedu dan memungkinkan stenting saluran empedu yang
dapat digunakan untuk terapi menghilangkan rusak, imflamasi, dan mengetat. Batu yang
batu. Batu yang diambil melalui ERCP dapat berukuran lebih besar dapat dikurangi
digunakan untuk kultur sehingga ukurannya dan atau dihilangkan dengan
terindentifikasi kemungkinan organisme yang litotripsi selama ERCP.
menginfeksi.
Laboratorium
Complete blood count (CBC): pemeriksaan Jumlah sel darah putih (WBC) meningkat
sel darah merah dengan mengkaji volume pada kolesistisis akut sebagai akibat dari
cairan, atau viskositas, dan dapat menjadi peradangan, akan tetapi jika nilai sel darah
indicator adanya fakto risiko anemia, putih normal bukan pertanda tidak adanya
kehilangan darah, dan hiperkoagulabilitas kolesistitis.
Hematokrit meningkat saat jumlah sel darah
merah meningkat atau saat volume plasma
menurun seperti pada sat dehidrasi akibat
mual dan muntah atau kehilangan darah dari
titik manapun di saluran pencernaan
Alkaline phosphatase (ALP): enzim hati Meningkat hingga 25% pada klien dengan
yang membantu metabolisme protein penyakit kantung empedu dan obstruksi
saluran empedu.
Alanine aminotransferase (ALT) dan Meningkat pada kolesistisis atau obstruksi
aspartate amino transferase (AST): enzim saluran empedu.
primer yang ditemukan di hati digunakan
untuk membentuk protein
Billirubin: pigmen kuning yang dihasilkan Hasilnya meningkat. Dua kali tes bilirubin
dari kerusakan hemoglobin dan sel darah yaitu total dan langsung dilakukan bersamaan
merah untuk dibandingkan pada klien jaundice.
Jaundice merupakan indikasi saluran empedu
tersumbat atau cairan empedu terakumulasi
pada aliran darah.
Amilase : enzim yang diproduksi di pankreas Kolesistitis dapat meningkatkan enzim ini
dikarenakan letak hati dekat dengan pankreas.
Kadarnya meningkat jika terdapat keterlibatan
pankreas dalam pembentukan kolesistitis.
Level protombin: evaluasi kemampuan Menurun dikarenakan obstruksi aliran
darah untuk membeku dengan tepat empedu ke usus menyebabkan menurunnya
penyerapan vitamin K.

IX. Masalah Keperawatan / Diagnosis yang mungkin muncul


(Doenges, Moorhouse, & Murr, 2014)
1. Nyeri akut b.d. agen biologis yang berasal dari obstruksi atau spasme ductus, proses
inflamasi, dan iskemia jaringan
2. Risiko hipovolemia b.d. kehilangan cairan secara aktif seperti muntah atau perubahan
proses pembekuan darah, kehilangan cairan dengan rute yang abnormal seperti
suction di lambung atau hipermotilitas pada lambung, dan penyimpangan yang
mempengaruhi pembatasan asupan
3. Risiko ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d.
ketidakmampuan klien menelan makanan atau ketidakmampuan klien mencerna
makanan (berkaitan dengan penyumbatan aliran emepdu)
4. Defisit pengetahuan mengenai kondisi, prognosis, pengobatan, perawatan diri, dan
discharge planning b.d. kurangnya pengetahuan atau daya ingat, salah paham
terhadap suatu informai, atau tidak terbiasa dengan sumber informasi
5. Ketidakefektifan manajemen kesehatan diri b.d. pengetahuan mengenai diet dan
manajemen postoperatif

X. Prioritas Perawatan
(Doenges, Moorhouse, & Murr, 2014)
1. Meredakan nyeri dan meningkatkan istirahat
2. Menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit
3. Mencegah komplikasi
4. Memberikan informasi mengenai proses penyakit, faktor progrnosis, dan treatment
yang dibutuhkan

XI. Prioritas Masalah Keperawatan


(Doenges, Moorhouse, & Murr, 2014)
1. Nyeri akut b.d. agen biologis yang berasal dari obstruksi atau spasme ductus, proses
inflamasi, dan iskemia jaringan
2. Risiko hipovolemia b.d. kehilangan cairan secara aktif seperti muntah atau perubahan
proses pembekuan darah, kehilangan cairan dengan rute yang abnormal seperti
suction di lambung atau hipermotilitas pada lambung, dan penyimpangan yang
mempengaruhi pembatasan asupan
3. Risiko ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d.
ketidakmampuan klien menelan makanan atau ketidakmampuan klien mencerna
makanan (berkaitan dengan penyumbatan aliran emepdu)
XII. Rencana Asuhan Keperawatan (NCP) minimal 3 diagnosis keperawatan
Nyeri akut b.d. agen biologis yang berasal dari obstruksi atau spasme ductus, proses inflamasi, dan iskemia jaringan (0077)
NOC NIC Rasional
Kontrol nyeri Manajemen Nyeri Observasi
1. Laporkan nyeri Observasi  Membantu untuk mengetahui nyeri yang terjadi
berkurang atau - Identifikasi nyeri pada klien secara menyeluruh
terkontrol - Identifikasi respon nyeri non verbal  Mengetahui kondisi pasien terhadap nyeri yang
2. Mampu mengulangi - Identifikasi faktor yang memperberat atau dirasakan
teknik relaksasi dan meringankan nyeri  Mengantisipasi hal-hal yang dapat memperberat
aktivitas pengalihan - Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas nyeri yang dirasakan dan memaksimalkan hal
hidup yang dapat memperingan nyeri
- Monitor efek samping penggunaan  Mengetahui dampak nyeri yang dirasakan oleh
analgetik pasien
Terapeutik  Mempersiapkan kondisi pasien terhadap efek
- Berikan terknik non farmakologi untuk samping obat
mengurangi rasa nyeri
- Kontrol lingkungan tang memberatkan rasa Terapeutik
nyeri’fasilitasi istirahat dan tidur  Meningkatkan relaksasi pasien sehingga
Edukasi mengurangi nyeri yang dirasakan
- Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu  Mengurangi situasi yang membuat tidak nyaman
nyeri bagi pasien sehingga mengurangi nyeri yang
- Jelaskan strategi meredakan nyeri dirasakan
- Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
- Anjurkan menggunakan analgesic secara Kolaborasi
tepat  Membantu mengatasi nyeri yang dirasakan oleh
- Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk pasien
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian analgetic, jika perlu

Risiko hipovolemia b.d. kehilangan cairan secara aktif seperti muntah atau perubahan proses pembekuan darah, kehilangan
cairan dengan rute yang abnormal seperti suction di lambung atau hipermotilitas pada lambung, dan penyimpangan yang
mempengaruhi pembatasan asupan (D.0034)

NOC NIC Rasional


Hidrasi Manajemen elektrolit Manajemen elektrolit
Menunjukkan Observasi Observasi
keseimbangan cairan - Identifikasi tanda dan gejala - Mengetahui kadar elektrolit klien untuk
yang adekuat dibuktikan ketidakseimbangan kadar elektrolit menentukan keadaan klien
dengan tanda-tanda vital - Identifikasi penyebab ketidakseimbangan - Mengidentifikasi tindakan yang harus dilakukan
yang stabil,membran elektrolit untuk mencegah risiko perburukan terulang
mukosa yang lembab, - Monitor kadar elektrolit kembali
turgor kulit yang baik, - Monitor efek samping pemberian suplemen - Memantau kadar elektrolit dalam tubuh
capillary refill, elektrolit - Memantau efek samping pemberian suplemen
pengeluaran urin yang Terapeutik yang digunakan untuk menjaga kadar elektrolit
sesuai bagi individu, dan - Berikan cairan, jika perlu dalam keadaan stabil
tidak ada muntah. - Berikan diet yang tepat Terapeutik
- Pasang akses intravena, jika perlu - Membertahankan pemenuhan kebutuhan cairan
Edukasi dan elektrolit yang tepat pada tubuh
- Jelaskan, jenis, penyebab, dan penanganan - Memberikan diet yang sesuai dengan keadaan
ketidakseimbangan elektrolit klien
Kolaborasi - Memenuhi kebutuhan elektrolit dengan adekuat
- Kolaborasi pemberian suplemen elektrolit Edukasi
- Menambahkan pengetahuan bagi klien mengenai
kadar elektrolit dalam tubuh untuk membantu
memandirikan klien dalam menjaga kestabilan
elektrolit dalam tubuhnya
Kolaborasi
- Kolaborasi digunakan untuk menambahkan
cairan elektrolit sesuai dengan kondiri klien

Risiko defisit nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d. ketidakmampuan klien menelan makanan atau ketidakmampuan
klien mencerna makanan (berkaitan dengan penyumbatan aliran emepdu) (D.0032)
NOC NIC Rasional
Status Gizi Manajemen nutrisi
1. Mengatakan Observasi Observasi
meredanya mual dan - Identifikasi status nutrisi - Mengetahui status nutrisi klien
muntah - Identifikasi makanan yang disukai - Mengetahui makanan yang biasa dikonsumsi
2. Perkembangan - Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis klien untuk mengetahui diet klien terdapat
menuju peningkatan nutrient kontraindikasi atau tidak
berat badan yang - Identifikasi perlunya penggunaan selang - Membantu klien memenuhi kebutuhan nutrisi
diinginkan atau nasogastric - Mengkaji intake makanan yang adekuat dan
mempertahankan memantau berat badan klien
berat badan sesuai Terapeutik
dengan kebutuhan - Fasilitasi menentukan pedoman diet Terapeutik
individu - Membantu klien merencanakan diet yang sesuai
Edukasi dengan kebutuhan klien
- Anjurkan klien dalam posisi duduk, jika
mampu Edukasi
- Ajarkan diet yang diprogramkan - Memberikan kenyamanan kepada klien
Kolaborasi - Melatih klien melakukan program diet yang
- Kolaborasi pemberian medikasi sebeum sesuai
makan
- Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian medikasi untuk membantu
klien dalam mencerna makanan yang seharusnya
klien cerna menggunakan enzim dari empedu
yang terhambat
XIII. Treatment/pengobatan dan terapi /medikasi
Tindakan Terapeutik
Pengobatan akut kolesistitis berpusat pada pengendalian nyeri, pencegahan infeksi, dan
pemeliharaan keseimbangan cairan dan elektrolit (William & Hopper, 2015).
Pengendalian nyeri dicapai dengan analgesik (William & Hopper, 2015). Penanganan
mual dan muntah diberikan antiemetik (William & Hopper, 2015).

Selama episode akut pengobatan difokuskan pada pengendalian nyeri, pengendalian


kemungkinan infeksi dengan antibiotik, dan pemeliharaan keseimbangan cairan dan
elektrolit (Lewis, et al., 2014). Jika mual dan muntah parah, pemasangan selang NG dan
dekompresi lambung dapat digunakan untuk mencegah stimulasi kandung empedu lebih
lanjut (Lewis, et al., 2014). Kolesistostomi dapat digunakan untuk mengeluarkan bahan
purulen dari kandung empedu yang tersumbat (Lewis, et al., 2014). NSAID (misalnya,
ketorolac [Toradol]) diberikan untuk manajemen nyeri. Antikolinergik dapat diberikan
untuk mengurangi sekresi dan melawan kejang otot polos.

Kolaborasi
1. Terapi konservatif
- ERCP dengan sfingterotomi endoskopik (papilotomi) dapat digunakan untuk
pengangkatan batu (Lewis, et al., 2014). ERCP memungkinkan visualisasi sistem
bilier, dilatasi (sfingteroplasti balon), dan penempatan stent dan sfingterotomi jika
diperlukan. Kateter khusus dengan keranjang kawat atau ujung balon tiup dapat
digunakan untuk menghilangkan batu. Endoskopi dialirkan ke duodenum. Dengan
pisau elektrodiatermi yang terpasang pada endoskopi, batu tersebut biasanya
tertinggal di duodenum agar keluar secara alami di dalam tinja. Ketika stent
dipasang, biasanya dilepas atau diganti setelah beberapa bulan (Lewis, et al.,
2014).
(Lewis, et al., 2014)
- Extracorporeal shock-wave lithotripsy (ESWL) adalah pengobatan alternatif
yang digunakan ketika batu tidak dapat dihilangkan dengan pendekatan
endoskopi (Lewis, et al., 2014). Dalam ESWL, seorang litotriptor menggunakan
gelombang kejut berenergi tinggi untuk menghancurkan batu empedu setelah
ditemukan dengan USG (Lewis, et al., 2014). Biasanya dibutuhkan waktu 1
hingga 2 jam untuk menghancurkan batu. Setelah pecah, fragmen melewati
saluran empedu umum dan masuk ke usus kecil. Biasanya ESWL dan terapi
disolusi oral digunakan bersamaan (Lewis, et al., 2014). Extracorporeal shock-
wave lithotripsy (ESWL) sekarang lebih jarang dilakukan karena ketersediaan
kolesistektomi laparoskopi (William & Hopper, 2015). Prosedur ini
menggunakan gelombang kejut untuk menghancurkan batu di kantong empedu
atau saluran empedu (William & Hopper, 2015). Pasien yang memiliki sedikit
batu kolesterol yang tidak mengalami kalsifikasi adalah jenis batu yang paling
mungkin untuk ESWL (William & Hopper, 2015). Setelah ESWL, pasien
biasanya diberikan obat pelarutan oral untuk memastikan pengangkatan seluruh
batu dan pecahan batu.

2. Teapi pembedahan
Terapi pembedahan yang dapat dilakukan pada klien kolelitiasis dengan melakukan
volves cholecystectomy (pengangkatan kandung emepedu) (William & Hopper,
2015). Pengangkatan kolesistektomi dapat dilakukan melalui operasi laparoskopi atau
operasi terbuka (William & Hopper, 2015). Laparoskopi kolesistektomi yaitu
prosedur yang memasukkan laparoskop melalui empat lubang kecil di abdomen
(William & Hopper, 2015). Sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara laparoskopi
(Lewis, et al., 2014). Laparoskop, yang dilengkapi kamera, dan tang penjepit
dimasukkan ke dalam perut melalui tusukan (Lewis, et al., 2014). Lokasi sayatan
dapat bervariasi (Lewis, et al., 2014). Dengan menggunakan monitor sirkuit tertutup
untuk melihat rongga perut, ahli bedah akan menarik dan membedah kantong empedu
dan mengangkatnya dengan tang penjepit (Lewis, et al., 2014). Ini adalah prosedur
yang aman dengan morbiditas minimal.

Pasien biasanya dapat dipulangkan setelah 24 jam atau kurang (William & Hopper,
2015). Kebanyakan pasien mengalami nyeri pascaoperasi minimal dan dipulangkan
pada hari operasi atau lusa (Lewis, et al., 2014). Mereka biasanya dapat melanjutkan
aktivitas normal dan kembali bekerja dalam waktu 1 minggu (Lewis, et al., 2014).
Komplikasi utama adalah cedera pada saluran empedu. Beberapa kontraindikasi
kolesistektomi laparoskopi termasuk peritonitis, kolangitis, gangren atau perforasi
kandung empedu, hipertensi portal, dan gangguan perdarahan serius (Lewis, et al.,
2014).

Operasi terbuka dilakukan dengan pembuatan sayatan diarea abdomen untuk


mengeluarkan kandung empedu (William & Hopper, 2015). Pada pasien tertentu,
kolesistektomi insisi (terbuka) dapat dilakukan. Ini melibatkan pengangkatan kantong
empedu melalui sayatan subkostal kanan (Lewis, et al., 2014).

Pada saat proses pengangkatan kandung empedu, T-tube dapat dimasukkan ke dalam
saluran empedu untuk memastikan bahwa drainase empedu tidak terhalang (William
& Hopper, 2015). Aliran empedu dikeluarkan dari tubuh keluar abdomen agar tidak
ada penumpukan cairan empedu dalam tubuh (William & Hopper, 2015).
(William & Hopper, 2015)

3. Pemasangan kateter Transhepatic Biliary


Kateter Transhepatic Biliary dapat digunakan sebelum operasi pada obstruksi bilier
dan disfungsi hati akibat ikterus obstruktif (Lewis, et al., 2014). Kateter digunakan
jika drainase endoskopi tidak berhasil. Kateter dimasukkan secara perkutan dan
memungkinkan dekompresi saluran empedu ekstrahepatik yang terhalang sehingga
empedu dapat mengalir dengan bebas. Setelah penyisipan, kateter dihubungkan ke
kantong drainase. Kulit di sekitar tempat pemasangan kateter dibersihkan setiap hari
dengan antiseptik. Amati kebocoran empedu di tempat penyisipan. Pasien dapat
dipulangkan dengan kateter masih terpasang (Lewis, et al., 2014).

4. Terapi medikasi
Pelarutan batu nonkalsifikasi kecil (kurang dari 2 sentimeter) menggunakan obat
asam empedu ursodiol (Actigall) digunakan untuk klien yang tidak dapat
menjalankan prosedur pembedahan (William & Hopper, 2015). Pengobatan dengan
obat pelarutan bisa memakan waktu berbulan-bulan dan batu bisa kembali (William
& Hopper, 2015). Menurut Lewis et al (2014), asam empedu (pelarut kolesterol)
seperti asam ursodeoxycholic (ursodiol) dan asam chenodeoxycholic (chenodiol)
digunakan untuk melarutkan batu. Batu empedu bisa kambuh.
Obat yang paling umum digunakan dalam pengobatan penyakit kandung empedu
adalah analgesik, antikolinergik antispasmodik, vitamin yang larut dalam lemak, dan
garam empedu (Lewis, et al., 2014). Morfin dapat digunakan pada awalnya untuk
manajemen nyeri. NSAID (mis., Ketorolac) juga telah terbukti membantu dalam
manajemen nyeri (Lewis, et al., 2014). Antikolinergik seperti atropin dan
antispasmodik lainnya dapat digunakan untuk mengendurkan otot polos dan
menurunkan tonus duktal. Jika pasien menderita penyakit kandung empedu kronis
atau obstruksi saluran empedu, vitamin yang larut dalam lemak (A, D, E, dan K)
mungkin perlu diberikan (Lewis, et al., 2014). Garam empedu dapat diberikan untuk
memperlancar pencernaan dan penyerapan vitamin. Kolestiramin dapat meredakan
pruritus. Cholestyramine adalah resin yang mengikat garam empedu di usus,
meningkatkan ekskresinya dalam tinja. Ini diberikan dalam bentuk bubuk, dicampur
dengan susu atau jus. Efek samping termasuk mual, muntah, diare atau sembelit, dan
reaksi kulit.

5. Terapi nutrisi (Lewis, et al., 2014)


Klien dengan kolelitiasis memiliki lebih sedikit masalah jika mereka makan lebih
sedikit. Klien sebaiknya dianjurkan untuk mengkonsumsi menggunakan teknik lebih
sering makan dengan sedikit lemak setiap kali makan untuk mempromosikan
pengosongan kandung empedu. Jika obesitas menjadi masalah, diet rendah kalori
diindikasikan. Makanan harus rendah lemak jenuhnya (misalnya mentega, shortening,
lemak babi) dan tinggi serat dan kalsium. Penurunan berat badan yang cepat harus
dihindari karena dapat meningkatkan pembentukan batu empedu.

Setelah kolesistektomi laparoskopi, anjurkan pasien untuk minum sepanjang hari dan
makan makanan ringan selama beberapa hari. Jika kolesistektomi insisional
dilakukan, pasien akan beralih dari makanan cair ke diet biasa setelah bising usus
kembali. Jumlah lemak dalam diet pasca operasi bergantung pada toleransi pasien
terhadap lemak. Diet rendah lemak dapat membantu jika aliran empedu berkurang
(biasanya hanya pada periode awal pasca operasi) atau jika pasien kelebihan berat
badan. Kadang-kadang pasien diinstruksikan untuk membatasi lemak selama 4
sampai 6 minggu. Jika tidak, tidak diperlukan instruksi diet khusus selain makan
makanan bergizi dan menghindari asupan lemak yang berlebihan.

XIV. Referensi

Doenges, M.E., Moorhouse, M.F., & Murr, A.C. (2014). Nursing care plans: guidelines
for individualizing client care across the life span. Ninth Edition. F.A. Davis
Company: Philadelphia
Lewis, et al. (2014). Medical-surgical nursing: Assessment and management of clinical
problems 9th Ed. Elsevier Mosby
Martini, F.H., Nath, J.L. & Bartholomew, E.F. (2012). Fundamentals of anatomy &
physiology. Ninth edition. USA: Pearson Education.
Smeltzer, S. C., et al. (2010). Brunner &Suddarth's textbook of medical-surgical-nursing.
12th ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins.
PPNI. (2016). Standar diagnosis keperawatan indonesia: definisi dan indikator
diagnostik, edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2018). Standar intervensi keperawatan indonesia: definisi dan tindakan
keperawatan, edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2018). Strandar luaran keperawatan indonesia: definisi dan kriteria hasil
keperawatan, edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
Tortora, G.J & Derrickson, B. (2012). Principles of anatomy & physiology 13th edition.
USA: John Wiley & Sons, Inc.
William, L.S. & Hopper, P.D. (2015). Understanding medical surgical nursing. Fifth
Edition. Philadelphia: F.A. Davis Company

Anda mungkin juga menyukai