Anda di halaman 1dari 10

KTI Ikterus obstruktif

BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Konsep Dasar Medis
1. Defenisi
Ikterus adalah perubahan warna jaringan menjadi kuning akibat adanya penimbunan empedu
dalam tubuh,yang biasanya dapat di deteksi pada sklera, kulit, atau urine yang menjadi gelap bila
bilirubin serum mencapai 2-3 mg/dl, bilirubin serum normal adalah 0,3-1,0 mg/dl. (Price &
Wilson, 2006)
Ikterus obstruktif itu sendiri adalah ikterus yang disebabkan oleh obstruksi sekresi bilirubin yang
dalam keadaan normal seharusnya dialirkan ke traktus gastrointestinal. Akibat hambatan tersebut
terjadi regurgitasi bilirubin ke dalam aliran darah, sehingga terjadilah ikterus (Anonim, 2008).
Ikterus obstruktif adalah kegagalan aliran bilirubin ke duodenum, dimana kondisi ini akan
menyebabkan perubahan patologi di hepatosit dan ampula vateri (Sherly, 2008).
Dengan demikian, ikterus obstruktif merupakan jaundice atau kekuningan yang disebabkan oleh
obstruksi yang menghalangi bilirubin mengalir ke jejunum
2. Etiologi
Ikterus obstruktif dapat bersifat intrahepatik ( mengenai sel hati ) dan ekstrahepatik ( mengenai
saluran empedu di luar hati). Pada kedua keadaan ini terdapat gangguan biokimia yang serupa.
a. Ikterus obstruktif intrahepatik
Penyebab tersering ikterus obstruktif intrahepatik adalah penyakit hepatoseluler dengan
kerusakan sel parenkim hati akibat hepatitis virus atau berbagai jenis sirosis. Pada penyakit ini,
pembengkakan dan disorganisasi sel hati dapat menekan dan menghambat kanalikuli atau
kolangiola. Penyakit hepatoseluler biasanya mengganggu semua fase metabolisme bilirubin
ambilan, konjugasi, dan ekskresi, tetapi ekskresi biasanya paling terganggu, sehingga yang
paling menonjol adalah hiperbilirubinemia terkonjugasi. Penyebab ikterus obstruktif intrahepatik
yang lebih jarang adalah pemakaian obat-obat tertentu, dan gangguan herediter Dubin Jhonson
serta sindrom Rotor (jarang terjadi). Pada kedaan ini terjadi gangguan transfer bilirubin melalui
membran hepatosit yang menyebabkan terjadinya retensi bilirubin dalam sel, obat yang sering
mencetuskan gangguan ini adalah halotan (anestetik), kontrasepsi oral, estrogen, steroid
anabolik, isoniazid, dan klorpromazin.
b. Ikterus obstruktif ekstrahepatik
Penyebab tersering ikterus obstruktif ekstrahepatik adalah sumbatan batu empedu, biasanya pada
ujung bawah duktus koledokus; karsinoma kaput pankreas manyebabkan tekanan pada duktus
koledokus dari luar; demikian juga dengan karsinoma ampula vateri. Penyebab yang lebih jarang
adalah ikterus pasca peradangan atau setelah operasi, dan pembesaran kelenjar limfe pada porta
hepatis. Lesi intrahepatik seperti hepatoma kadang-kadang dapat menyumbat duktus hepatikus
kanan atau kiri. (Price & Wilson, 2006)
3. Insiden
a. Ikterus obstruktif intrahepatik
1) Hepatitis A (HAV) : Penyakit ini sering terjadi pada anak-anak atau terjadi akibat kontak
dengan orang terinveksi melalui kontaminasi feces pada makanan atau air minum.

2) Hepatitis B (HBV) : Infeksi terutama terjadi pada usia dewasa


3) Hepatitis C (HCV) : Diyakini terutama ditularkan melalui parenteral dan kemungkinan
melalui pemakaian obat IV dan tranfusi darah.
4) Hepatitis D (HDV) : Terutama menyerang pengguna obat melalui intravena.
5) Hepaitis E (HEV) : Penyakit ini paling sering menyerang usia dewasa muda sampai
petengahan.
6) Hepatitis F dan G (HFV dan HGV) : Walaupun telah di klasifikasikan denagn nama HFV,
namun belum dipastikan bahwa virus hepatitis F benar-benar ada. Kelompok yang beresiko
tertular HGV adalah individu yang telah menjalani tranfusi darah, tertusuk jarum suntik secara
tidak sengaja, pengguna obat intravena dan pasien hemodialisis.
b. Ikterus obstruktif ekstrahepatik
Penyebab tersering ikterus obstruktif ekstrahepatik adalah sumbatan batu empedu. Jumlah wanita
yang menderita batu kolesterol dan penyakit kandung empedu adalah empat kali lebih banyak
dari pada laki-laki. Biasanya wanita tersebut berusia lebih dari 40 tahun, multpara dan obesitas.
Insidens pembentukan batu empedu meningkat pada para pengguna pil kontrasepsi, estrogen dan
klofibrat yang diketahui meningkatkan saturasi kolesterol bilier. Insidens pembentukan batu
meningkat bersamaan dengan pertambahan umur. Peningkatan insidens ini terjadi akibat
bertambahnya sekresi kolesterol oleh hati dan menurunnya sntesis asam empedu. Disamping itu
resiko terbentuknya batu empedu juga meningkat akibat malabsorpsi garam-garam empedu pada
klien dengan penyakit gastrointestinal atau fistula T-tube atau pada pasien yang pernah menjalani
operasi pintasan atau reseksi ileum. Insidens ini juga meningkat pada para penyandang penyakit
diabetes. (Smeltzer & Bare, 2002 )
4. Anatomi fisiologi sistem pencernaana. Stomach (Lambung)
Lambung merupakan bagian dari saluran gastrointestinal (GI) bagian atas abdomen sebelah kiri
dari garis tengah tubuh, tepat di bawah diafragma kiri. Lambung adalah suatu kantung yang
dapat berdistensi dengan kapasitas kira-kira 1500 ml. Inlet lambung disebut pertemuan
esofagogastrik. Bagian ini dikelilingi oleh cincin dan otot halus disebut sfingter esofagus bawah
(atau sfingter kardia), yang pada saat kontraksi, menutup lambung dari esofagus. Lambung dapat
dibagi dalam ke dalam empat bagian anatomis : kardia (jalan masuk), fundus, dan pilorus
(outlet). Otot halus sirkuler di dinding pilorus membentuk sfingter piloris dan mengontrol lubang
diantara lambung dan usus halus.
b. Duodenum
Duodenum merupakan bagian atas dari usus halus. Sedangkan usus halus sendiri adalah segmen
paling panjang dari saluran GI, yang jumlah panjangnya kira-kira dua pertiga dari panjang total
saluran. Bagian ini membalik dan melipat diri yang memungkinkan kira-kira 7000 cm area
permukaan untuk sekresi dan absorpsi. Usus halus dibagi kedalam tiga bagian anatomik: bagian
atas, disebut duodenum; bagian tengah disebut yeyenum; dan bagian bawah disebut ileum.
Duktus koledokus yang memungkinkan untuk saluran baik empedu dan sekresi pankreas, untuk
mengosongkan diri kedalam duodenum pada mpula Vater.
c. Liver (Hati)
Hati, yang merupakan organ terbesar tubuh, dapat dianggap sebagai sebuah pabrik kimia yang
membuat, menyimpan, mengubah dan mengekskresikan sejumlah besar substansi yang terlibat
dalam metobolisme. Hati terletak di belakang tulang-tulang iga (kosta) dalam rongga abdomen
daerah kanan atas. Hati memiliki berat sekitar 1500 gram,dan dibagi menjadi 4 lobus. Setiap
lobus terbungkus oleh lapisan tipis jaringan ikat yang membentang ke dalam lobus dan membagi

massa hati menjadi unit-unit yang lebih kecil, disebut lobulus.


d. Gallbladder (Kandung Empedu)
Kandung empedu (vesika felea) merupakan organ berbentuk seperti buah pir, berongga dan
menyerupai kantong dengan panjang 7,5 hingga 10 cm, terletak dalam suatu cekungan yang
dangkal pada permukaan inferior hati di mana organ tersebut terikat pada hati oleh jaringan ikat
yang longgar. Kapasitas kandung empedu adalah 30 hingga 50 ml empedu. Dindingnya terutama
tersusun dari otot polos. Kandung empedu dihubungkan dengan duktus koledokus lewat duktus
sistikus. Adapun fungsi kandung empedu adalah sebagai depot penyimpanan bagi empedu. Di
antara saat-saat makan, ketika sfingter Oddi tertutup, empedu yang diproduksi oleh hepatosit
akan memasuki kandung empedu. Selama penyimpanan, sebagian besar air dalam empedu
diserap melalui dinding kandung empedu sehingga empedu dalam kandung empedu lebih pekat
lima hingga sepuluh kali dari konsentrasi saat disekresikan pertama kalinya oleh hati. Ketika
makanan masuk ke dalam duodenum akan terjadi kontraksi kandung empedu dan relaksasi
sfingter Oddi yang memungkinkan empedu mengalir masuk ke dalam intestinum. Respon ini
diantarai oleh sekresi hormon kolesistokinin-pankreozimin (CCK-PZ) dari dinding usus.
(Smeltzer & Bare, 2002 )
5. Patofisiologi
a. Ikterus Obstruktif intrahepatik
Pada penderita hepatitis A, hepatitis B, hepatitis C, dan hepatitis D yaitu masuknya
mikroorganisme ke dalam tubuh melalui membran mukosa/merusak kulit untuk mencapai hati.
Di hati replikasi 26 minggu/sampai 6 bulan penjamu mengalami gejala. Beberapa infeksi tidak
terlihat untuk yang mengalami gejala : tingkat kerusakan hati dan hubungannya dengan demam
yang diikuti dengan kekuningan, artritis, nyeri perut dan mual. Pada kasus yang ekstrim dapat
terjadi kerusakan pada hati (hepatomegali).
b. Ikterus Obstrukif Ekstrahepatik
Ada dua tipe utama batu empedu yaitu batu yang terutama tersusun dari pigmen dan batu yang
terutama dari kolesterol.
1) Batu Pigmen
Kemungkinan akan terbentuk bila pigmen yang tak terkonjugasi dalam empedu mengadakan
presipitasi (pengendapan) sehingga terjadi batu. Batu ini bertanggung jawab atas sepertiga dari
klien-klien batu empedu di Amerika Serikat. Resiko terbentuknya batu semacam ini semakin
besar pada pasien serosis, hemolisis dan infeksi percabangan bilier. Batu ini tidak dapat
dilarutkan dan harus dikeluarkan dengan jalan operasi.
2) Batu kolesterol
Kolesterol yang merupakan unsur normal pembentuk empedu yang bersifat tidak larut dalam air.
Kelarutannya bergantung pada asam-asam empedu dan lesitin (fosfolipid) dalam empedu. Pada
klien yang cenderung menderita batu empedu akan terjadi penurunan sntesis asam empedu dan
peningkatan sistesis kolesterol dalam hati, keadaan ini mengakibatkan supersaturasi getah
empedu oleh kolesterol yang kemudian keluar dari getah empedu, mengendap dan membentuk
batu. Getah empedu yang jenuh oleh kolesterol merupakan predisposisi untuk timbulnya batu
empedu dan berperan sebagai iritan yang menyebabkan peradangan dalam kandung empedu.
6. Manifestasi klinik
a. Ikterus obstruktif intrahepatik
Terdapat tiga fase :

1) Fase pra-ikterik
Periode dimana infektivitas paling besar. Gejala meliputi mual, muntah, diare, konstipasi,
penurunan berat badan, malaise, sakit kepala, demam ringan, sakit sendi, ruam kulit.
2) Fase ikterik-jaundice (temuan paling menonjol).
Urine gelap berkabut (disebabkan oleh peningkatan kadar bilirubin), hepatomegali dengan nyeri
tekan, pembesaran nodus limfa, pruritus (akibat akumulasi garam empedu pada kulit); gejala fase
pra-ikterik berkurang sesuai menonjolnya gejala.
3) Fase pasca ikterik.
Gejala sebelumnya berkurang tetapi kelelahan berlanjut; empat bulan diperlukan untuk
pemulihan komplit.
b. Ikterus Obstruktif Ekstrahepatik
Penderita penyakit kandung empedu akibat batu empedu dapat mengalami dua jenis gejala yaitu
gejala yang disebabkan oleh kandung empedu sendiri dan gejala yang terjadi akibat obstruksi
pada lintasan empedu oleh batu empedu. Gejalanya bisa bersifat akut atau kronis seperti:
1) Gangguan epigrastrium seperti rasa penuh, distensi abdomen dan nyeri yang samar pada
kuadran kanan. Gejala ini dapat terjadi setelah individu mengkonsumsi makanan yang berlemak
atau digoreng.
2) Rasa nyeri dan kolik bilier.
Jika duktus sistikus tersumbat oleh batu empedu, kandung empedu akan mengalami distensi dan
akhirnya infeksi. Klien akan menderita panas dan mungkin teraba massa padat pada abdomen.
Pasien dapat mengalami kolik bilier disertai nyeri hebat pada abdomen kuadran kanan atas yang
menjalar ke punggung atau bahu kanan; rasa nyeri ini biasanya disertai dengan mual dan muntah
dan bertambah hebat dalam waktu beberapa jam sesudah makan makanan dalam porsi besar.
3) Ikterus
Ikterus dapat dijumpai di antara penderita penyakit kandung empedu dengan persentase yang
kecil dan biasanya terjadi pada obstruksi duktus koledokus. Obstruksi pengaliran getah empedu
ke dalam duodenum akan menimbulkan gejala yang khas yaitu getah empedu yang tidak lagi
dibawa ke duodenum akan diserap oleh darah dan penyerapan empedu ini membuat kulit dan
membran mukosa berwarna kuning. Keadaan ini sering disertai dengan gejala gatal-gatal yang
mencolok pada kulit
4) Perubahan warna urine dan feses
Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan membuat urine berwarna sangat gelap. Feses yang
tidak lagi diwarnai oleh pigmen empedu akan tampak kelabu dan biasanya pekat yang disebut
clay-colored
5) Defisiensi Vitamin
Obstruksi aliran empedu juga mengganggu abosorpsi vitamin A,D,E dan K yang larut lemak.
Karena itu pasien dapat memperlihatkan gejala defisiensi vitamin-vitamn ini jika obstruksi bilier
berjalan lama. Defisiensi vitamin A dapat menggangu pembekuan darah yang normal. (Smeltzer
& Bare, 2002 )
7. Pemeriksan diagnostik
a. Ikterus Obstruktif Intrahepatik
1) Tes fungsi hati : Abnormal (4-10 kali dari normal). Catatan : Merupakan batasan nilai untuk
membedakan hepatitis virus dari non virus.
2) AST (SGOT)/ALT(SGPT) : Awalnya meningkat. Dapat meningkat dalam 1-2 minggu
sebelum ikterik kemudian tampak menurun.

3) Darah lengkap : SDM menurun sehubungan dengan penurunan hidup SDM (gangguan enzim
hati) atau mengakibatkan perdarahan.
4) Leukopenia : Trombositopenia mungkin ada (splenomegali).
5) Diferensial darah lengkap : Leukositosis, monositosis, limfosit atipikal, dan sel plasma.
6) Alkali fosfatase : Agak meningkat (kecuali ada kolestasis berat).
7) Feces : Warna tanah liat, steatorea (penurunan fungsi hati).
8) Albumin serum : Menurun.
9) Gula darah : Hiperglikemia transien/hipoglikemia (gangguan fungsi hati).
10) Anti HAV IgM : Positif pada tipe A.
11) HbsAG : Dapat positif (tipe B) atau negatif (tipe A).
12) Masa protrombin : Mungkin memanjang (disfungsi hati).
13) Bilirubin serum : Diatas 2,5 mg/100 ml (bila diatas 200 mg/ml, prognosis buruk mungkin
berhubungan dengan peningkatan nekrosis seluler).
14) Biopsi hati : Menunjukkan diagnosis dan luasnya nekrosis.
15) Skan hati : Membantu dalam perkiraan beratnya kerusakan parenkim.
16) Urinalisa : Peninggian kadar bilirubin; protein/hematuri dapat terjadi.
b. Ikterus Obstruktif Estrahepatik
1) Foto polos abdomen.
Pada pemeriksaan ini diharapkan dapat melihat batu dikandung empedu atau di duktus
koledokus. Kadang-kadang pemeriksaan ini dipakai untuk skrening, melihat keadaan secara
keseluruhan dalam rongga abdomen.
2) Ultrasonografi (USG).
Ultrasonografi sangat berperan dalam mendiagnosa penyakit yang menyebabkan kholestasis.
Pemeriksaan USG sangat mudah melihat pelebaran duktus biliaris intra/ekstra hepatal sehingga
dengan mudah dapat mendiagnosis apakah ada ikterus obstruksi atau ikterus non obstruksi.
Apabila terjadi sumbatan daerah duktus biliaris yang paling sering adalah bagian distal maka
akan terlihat duktus biliaris komunis melebar dengan cepat yang kemudian diikuti pelebaran
bagian proximal.
3) Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP).
ERCP merupakan tindakan yang langsung dan invasif untuk mempelajari traktus biliaris dan
sistem duktus pankreatikus. Ditangan yang berpengalaman ERCP mempunyai keberhasilan yang
cukup tinggi dan tingkat keakuratan atau ketepatan kurang lebih 90%.
4) Magnetic Resonance Cholangiopancreaotography (MRCP)
MRCP adalah pemeriksaan duktus biliaris dan duktus pankreatikus dengan memakai pesawat
MRI. Dengan memakai heavily T2W acquisition untuk memaksimalkan signal dari cairan yang
menetap pada duktus biliaris dan duktus pankreatikus.
5) Percutaneus Transhepatik Cholangiography (PTC)
PTC merupakan sarana diagnosis invasif untuk membedakan ikterus obstruktif ekstra dan intra
hepatik serta menentukan lokasi sumbatan dan juga pada kebanyakan kasus etiologi dari pada
obstruksi lainnya. Gambaran saluran empedu yang diperoleh PTC tidak hanya memberikan
informasi mengenai saluran empedu tetapi juga mempermudah menduga penyebabnya, sehingga
dapat menjadi pedoman bagi ahli bedah dalam perencanaan operasinya.
6) Percutaneus Transhepatic Billiary Drainage (PTBD)
Teknik sama dengan PTC hanya di sini kateter masuk sampai melampaui obstruksi dan bisa
sampai duodenum. Lebih ke arah terapi, karena flow dan cairan empedu masuk ke dalam side
hole dari kateter.

7) CT-Scan
Pemeriksaan CT Scan mengenai tractus biliaris banyak dilakukan untuk melengkapi data suatu
pemeriksaan sonografi yang telah dilakukan sebelumnya. Secara khusus CT Scan dilakukan guna
menegaskan tingkat atau penyebab yang tepat adanya obstruksi/kelainan pada saluran empedu.
Dalam hal ini CT Scan dinilai untuk membedakan antara ikterus obstruktif, apakah intra atau
ekstra hepatik dengan memperhatikan adanya dilatasi dari duktus biliaris.
8) Pemerisaan Laboratorium.
a) Peningkatan level bilirubin direk (terkonjugasi) (> 0,4 mg/ml), Normal = 0,1-0,3 mg/ml.
b) Peningkatan level bilirubin indirek (tak terkonjugasi) (> 0,8 mg/ml), Normal = 0,2-0,8 mg/ml.
c) Tidak adanya bilirubin dalam urin atau peningkatan bilirubin urin (konsentrasi tinggi dalam
darah).
d) Peningkatan urobilinogen (> 4 mg/24 jam) tergantung pada kemampuan hati untuk
mengabsorbsi urobilinogen dari sistem portal, Normal = 0-4 mg/hari.
e) Menurunnya urobilinogen fekal (< 40 mg/24 jam), Normal = 40-280 mg/hari, karena tidak
mencapai usus.
f) Peningkatan alkalin fosfat dan level kolesterol karena tidak dapat diekskresi ke kandung
empedu secara normal.
g) Pada kasus penyakit hati yang sudah parah, penurunan level kolesterol mengindikasikan
ketidakmampuan hati untuk mensintesisnya.
h) Peningkatan garam empedu yang menyebabkan deposisi di kulit, sehingga menimbulkan
pruritus.
i) Pemanjangan waktu PTT (Prothrombin Time) (> 40 detik) dikarenakan penurunan absorbsi
vitamin K.
8. Penanganan medik
a. Ikterus Obstruktif Intrahepatik
Tidak terdapat terapi spesifik untuk hepetitis virus akut. Tirah baring selama fase akut penting
dilakukan, dan diet rendah lemak dan tinggi karbohidrat umumnya merupakan makanan yang
paling dapat dimakan oleh penderita. Pemberian makanan secara intravena mungkin perlu
diberikan selama fase akut bila pasien terus menerus muntah. Aktifitas fisik biasanya perlu
dibatasi hingga gejala mereda dan tes fungsi hati kembali normal.
b. Ikterus Obstruktif Ekstrahepatik
Operasi pengangkatan kandung empedu melalui pembedahan tradisional dianggap sebagai cara
pendekatan yang baku dalam penatalaksanaan penyakit ini. Namun demikian, perubahan
dramatis telah terjadi dalam penatalaksanaan bedah dan nonbedah terhadap penatalaksanaan
kandung empedu.
1) Penatalaksanaan Nonbedah
a) Penatalaksanaan Pendukung dan Diet
Diet yang diterapkan segera setelah suatu serangan yang akut biasanya dibatasi pada makanan
cair rendah lemak. Suplemen bubuk tinggi protein dan karbohidrat dapat diaduk ke dalam susu
skim. Makanan berikut ini ditambahkan jika pasien dapat menerimanya: buah yang dimasak, nasi
atau ketela, daging tanpa lemak, kentang yang dilumatkan, sayuran yang tidak membentuk gas,
roti, kopi atau teh.
Penatalaksanaan diet merupakan bentuk terapi utama pada pasien yang hanya mengalami
intoleransi terhadap makanan berlemak dan mengeluhkan gejala gastrointestinal ringan.
b) Farmakoterapi

Asam ursodeoksikolat (urdafalk) dan kenodeoksikolat (chenodiol, chenofalk) telah digunakan


untuk melarutkan batu empedu radiolusen yang berukuran kecil dan terutama tersusun dari
kolesterol. Asam ursodeoksikolat dibandingkan dengan asam kenodeoksikolat jarang
menimbulkan efek samping dan dapat diberikan dengan dosis yang lebih kecil untuk
mendapatkan efek yang sama. Mekanisme kerjanya adalah menghambat sintesis kolesterol
dalam hati dan sekresinya sehingga terjadi desaturasi getah empedu.
c) Pelarutan Batu Empedu
Beberapa metode telah digunakan untuk melarutkan batu empedu dengan menginfuskan suatu
bahan pelarut (Monooktanion atau Metal Tertier Butil Eter (MTBE) ke dalam kandung empedu.
Pelarut tersebut dapat diinfuskan melalui jalur berikut ini : melalui selang atau kateter yang
dipasang perkutan langsung ke dalam kandung empedu; melaui selang atau drain yang
dimasukan melalui saluran T-tube untuk melarutkan batu yang belum dikeluarkan pada saat
pembedahan; melalui endoskop ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography); atau
kateter bilier transnalas.
d) Pengangkatan Nonbedah
Beberapa metode nonbedah digunakan untuk mengeluarkan batu yang belum terangkat pada saat
cholesistektomy atau yang terjepit dalam duktus koledokus. Sebuah kateter dan alat disertai
jaring yang terpasang padanya disisipkan lewat saluran T-tube atau lewat fistule yang terbentuk
pada saat insersi T-tube, jaring digunakan untuk memegang dan menarik keluar batu yang
terjepit dalam duktus koledokus.
e) Extracorporeal Shock-Wafe Lithotripsy (ESWL)
Prosedur litotripsi atau ESWL ini telah berhasil memecah batu empedu tanpa pembedahan.
Prosedur noninvasif ini menggunakan gelombang kejut berulang (repeated shock waves) kepada
batu empedu di dalam kandung empedu atau duktus koledokus.
f) Litotripsi Intrakorporeal
Pada litotripsi intrakorporeal, batu yang ada dalam kandung empedu atau duktus koledokus dapat
dipecah dengan menggunakan gelombang ultrasound, laser berpulsa atau litotripsi hidrolik yang
dipasang pada endoskop, dan diarahkan langsung pada batu. Kemudian fragmen batu atau debris
dikeluarkan dengan cara irigasi dan aspirasi.
2) Penatalaksanaan Bedah
Penanganan bedah pada penyakit kandung empedu dan batu empedu dilaksanakan untuk
mengurangi gejala yang sudah berlangsung lama, untuk menghilangkan penyebab kolik bilier
dan untuk mengatasi kolesistitis akut. Pembedahan dapat efektif kalau gejala yang dirasakan
klien sudah mereda atau bisa dikerjakan sebagai suatu prosedur darurat bilamana kondisi pasien
mengharuskannya.
a) Kolesistektomi
Kolesistektomi merupakan salah satu prosedur yang paling sering dilakukan, di Amerika lebih
dari 600.000 orang menjalani pembedahan ini setiap tahunnya. Dalam prosedur ini, kandung
empedu diangkat setelah arteri dan duktus sistikus diligasi.
b) Minikolesistektomi
Minikolesistektomi merupakan prosedur bedah untuk mengeluarkan kandung empedu lewat
insisi selebar 4 cm.
c) Kolesistektomi Laparoskopik (atau endoskopik)
Prosedur ini dilakukan lewat luka insisi yang kecil atau luka tusukan melalui dinding abdomen
pada umbilikus. Pada prosedur kolesistektomi endoskopik, rongga abdomen ditiup dengan gas
karbon dioksida (pneumoperitoneum) untuk membantu pemasangan endoskop dan menolong

dokter bedah melihat struktur abdomen.


d) Koledokostomi
Dalam koledokostomi, insisi dilakukan pada duktus koledokus untuk mengeluarkan batu.
e) Bedah Kolesistostomi
Kolesistostomi dikerjakan bila kondisi pasien tidak memungkinkan untuk dilakukan operasi yang
lebih luas atau bila reaksi infalamasi yang akut membuat system bilier tidak jelas. (Smeltzer &
Bare, 2002 )
B. Proses Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah awal dari proses keperawatan. Dalam mengkaji, harus
memperhatikan data dasar pasien. Informasi yang didapat dari klien (sumber data primer), data
yang didapat dari orang lain (sumber data sekunder), catatan kesehatan klien, informasi atau
laporan laboratorium, tes diagnostik, keluarga dan orang terdekat atau anggota tim kesehatan lain
merupakan pengkajian data dasar. (A.Azis Alimul Hidayat,2002)
Pengkajian pasien Post Operatif ikterus obstruktif (Doenges,2000) meliputi :
a. Aktifitas/Istirahat
1) Gejala :
a) Kelemahan, atau keletihan
b) Perubahan pada pola istirahat dan jam kebiasaan tidur pada malam hari; adanya faktor-faktor
yang mempengaruhi tidur misalnya nyeri, ansietas, rasa gatal.
b. Sirkulasi
1) Tanda :
a) Takikardia (respon terhadap demam, dehidrasi, proses inflamasi, dan nyeri).
b) Kulit/membran mukosa: Turgor buruk, kering, lidah pecah-pecah (dehidrasi/malnutrisi).
c) Berkeringat
c. Eliminasi
1) Gejala
Perubahan warna urine dan feses.
2) Tanda
a) Distensi abdomen
b) Teraba massa pada kuadran kanan atas
c) Urine gelap, pekat
d) Feses berwarna seperti tanah liat
d. Makanan dan cairan
1) Gejala
a) Anoreksia, mual/muntah
b) Tidak toleran terhadap lemak dan makanan pembentuk gas; regurgitasi berulang, nyeri
epigastrium, tidak dapat makan, flatus, dispepsia.
c) Bertahak
2) Tanda
Kegemukan, adanya penurunan berat badan.
e. Nyeri/kenyamanan
1) Gejala
a) Nyeri abdomen atas berat, dapat menyebar ke punggung atau bahu kanan.
b) Kolik epigastrium tengah sehubungan dengan makan.

c) Nyeri mulai tiba-tiba dan biasanya memuncak dalam 30 menit.


2) Tanda
Nyeri lepas, otot tegang atau kaku bila kuadran kanan atas ditekan.
f. Pernafasan
1) Tanda
a) Peningkatan frekuensi pernafasan
b) Pernafasan tertekan ditandai oleh nafas pendek, dangkal.
g. Keamanan
1) Tanda
a) Demam, menggigil
b) Ikterik dengan kulit berkeringat dan gatal ( pruritus )
c) Kecendrungan perdarahan ( kekurangan vitamin K )
h. Penyuluhan dan pembelajaran
1) Gejala
a) Kecendrungan keluarga untuk terjadi batu empedu.
b) Adanya kehamilan atau melahirkan; riwayat DM, penyakit inflamasi usus, diskrasias darah
2) Rencana pemulangan
Memerlukan dukungan dalam perubahan diet atau penurunan berat badan3. Diagnosa
keperawatan
Diagnosa keperawatan pada pasien post op ikterus obstruktif adalah sebagai berikut :
a. Nyeri.
b. Gangguan pertukaran gas.
c. Kerusakan integritas kulit.
d. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan.
e. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi, prognosis, dan kebutuhan
tindakan.
1. Pelaksanaan Asuhan Keperawatan
Pelaksanaan asuhan keparawatan adalah perwujudan dari rencana keperawatan yang meliputi
tindakan-tindakan yang direncanakan oleh perawat. Dalam melaksanakan proses keperawatan
harus bekerjasama dengan tim kesehatan yang lain, keluarga klien dan dengan klien sendiri, yang
meliputi 3 hal :
a. Melaksanakan tindakan keperawatan dengan memperhatikan kode etik dengan standar praktek
dan sumber-sumber yang ada.
b. Mengidentifikasi respon klien.
c. Mendokumentasikan/mengevaluasi pelaksanaan tindakan keperawatan dan respon pasien.
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan :
1) Kebutuhan klien.
2) Dasar dari tindakan.
3) Kemampuan perseorangan dan keahlian/keterampilan dari perawat.
4) Sumber-sumber dari keluarga dan klien sendiri.
5) Sumber-sumber dari instansi.
2. Evaluasi keperawatan.
keperawatan dikatakan berhasil apabila dalam evaluasi terlihat pencapaian kriteria tujuan.
Evaluasi adalah merupakan pengukuran dari keberhasilan rencana keperawatan dalam memenuhi

kebutuhan klien. Tahap evaluasi merupakan kunci keberhasilan dalam menggunakan proses
keperawatan. Adapun evaluasi klien dengan post op ikterus obstruktif yang dipasangi kateter
tetap dilakukan berdasarkan kriteria tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya dan asuhan
perawatan yang diberikan.

Anda mungkin juga menyukai