Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

Atresia bilier adalah penyakit fibro-obliteratif progresif pada duktus bilier


ektrahepatik yang penyebabnya belum diketahui dan terjadi pada fase periode
neonatal[1]. Angka kejadian atresia bilier dilaporkan bervariasi, di Atlanta USA
sekitar 7,4 / 100.000 kelahiran hidup. Insiden atresia bilier tertinggi di Asia sendiri
khususnya di Taiwan didapatkan sekitar 1 / 6.750 kelahiran hidup. Bayi dengan
atresia bilier dibagi oleh dua presentasi yang berbeda yaitu, aquired / perinatal /
nonsyndromic sebanyak 90% dibandingkan embryonal / syndromic sebanyak 10%.
Atresia bilier lebih sering ditemukan pada anak perempuan dibandingkan laki laki.
Insiden tinggi juga ditemukan pada pasien dengan ras kulit hitam yang dapat
mencapai 2 kali lipat dari ras kulit putih[2].

Penyebab yang mendasari atresia bilier sampai saat ini belum diketahui,
beberapa penelitian mengatakan penyebab atresia bilier adalah virus, toksin, vascular
abnormal, faktor genetic, imunologi[3.4]. Atresia bilier berdasarkan anomali
kongenital diklasifikasikan menjadi 3 kategori yaitu tipe I, tipe II, tipe III. Gambaran
klinis pasien yang mengalami atresia bilier sangat mirip dengan kolestasis yang
membedakan adalah etiologinya. Gejala utama pada atresia bilier antara lain yaitu
ikterus yang muncul ssegera atau beberapa minggu setelah lahir, urin yang
menyerupai teh pekat dan feses yang bewarna clay (dempul). Pada pemeriksaan fisis
didapatkan hepatomegali, ditemukan adanya garis tengah hepar pada palpasi di area
epigastrium. Ada kemungkinan terjadi kelainan kongenital seperti penyakit jantung
bawaan[5].

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan bilirubin direct,


peningkatan GGT (Gamma-glutamyltransferase). Hipoalbuminemia koagulopati, dan
trombositopeni menunjukan perkembangan penyakit yang signifikan. Pada

1
pemeriksaan ultrasonografi abdomen didapatkan duktus bilier hipoplastik dan
bentuknya tidak teratur ataupun tidak ada. Pemeriksaan gold standar untuk
mendiagnosis atresia bilier adalah cholangiography intraoperative[5].

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Atresia bilier adalah penyakit fibro-obliteratif progresif pada duktus bilier


ektrahepatik yang penyebabnya belum diketahui, atresia bilier terjadi pada fase
periode neonatal[1]. Atresia bilier merupakan proses kolangiopati obstruktif pada fase
neonatal yang menghasilkan fibro-obliteratif progresif pada saluran empedu
ekstrahepatik[10].

2.2 Anatomi dan Fisologi

Sistem bilier ekstrahepatik dibentuk oleh:


1) Vesica Fellea
- Adalah organ berbentuk buah pir yang dapat menyimpan sekitar 50 ml
empeduyang dibutuhkan tubuh untuk proses pencernaan. Panjang kandung
empedu adalah sekitar 7-10 cm dan berwarna hijau gelap yang disebabkan warna
cairan empedu yang dikandungnya. Terdiri atas fundus, corpus dan collum.
(gambar 1)
- Fundus vesica fellea berproyeksi didepan dinding abdomen terdapat pada
perpotongan dari arcus costalis dextra (cartilago ke-9) dilateralnya ada m. rectus
abdominisdextra atau linea mediana dextra.
- Corpus-nya berhubungan dengan facies visceralis hepar.
- Collum akan melanjutkan diri sebagai duktus cysticus, juga memiliki tonjolan
seperti kantung yang disebut Hartmann’s pouch. Duktus cysticus kemudian akan
bertemu dengan duktus hepaticus communis[18].
2). Duktus Cysticus
Duktus Cysticus merupakan lanjutan dari vesica fellea, terletak pada porta
hepatis. Panjangnya kira-kira 3 – 4 cm. Pada porta hepatis duktus cysticus mulai dari

3
collum vesicae fellea, kemudian berjalan ke postero-caudal di sebelah kiri collum
vesicae fellea. Lalu bersatu dengan duktus hepaticus communis membentuk
duktuscholedochus.Mucosa duktus ini berlipat-lipat terdiri dari 3 – 12 lipatan,
berbentuk spiral yang pada penampang longitudional terlihat sebagai valvula, disebut
valvula spiralis [Heisteri][18].
3). Duktus Hepaticus
Duktus hepaticus berasal dari lobus dexter dan lobus sinister bersatu membentuk
duktus hepaticus communis pada porta hepatis dekat pada processus papillaris lobus
caudatus. Panjang duktus hepaticus communis kurang lebih 3 cm. Terletak di sebelah
ventral a.hepatica propria dexter dan ramus dexter vena portae. Bersatu dengan
duktus cysticus menjadi duktuscholedochus[18].
4). Duktus Choledochus
Duktus Choledocus mempunyai panjang kira-kira 7 cm, dibentuk oleh persatuan
duktus cysticus dengan duktus hepaticus communis pada porta hepatis. Di dalam
perjalanannya dapat di bagi menjadi tiga bagian, sebagai berikut :
a). Bagian yang terletak pada tepi bebas ligamentum hepatoduodenale, sedikit di
sebelah dextro-anterior a.hepatica communis dan vena portae;
b). Bagian yang berada di sebelah dorsal pars superior duodeni, berada di luar
lig.hepatoduodenale, berjalan sejajar dengan vena portae, dan tetap di sebelah dexter
vena portae ;
c). Bagian caudal yang terletak di bagian dorsal caput pancreatik, di sebelah ventral
vena renalis sinister dan vena cava inferior. Pada caput pancreatikduktus choledochus
bersatu dengan duktus pancreaticus Wirsungi membentuk ampulla, kemudian
bermuara pada dinding posterior pars descendens duodeni membentuk suatu tonjolan
ke dalam lumen, disebut papilla duodeni major[18]. (gambar 1)
Fungsi Vesica Fellea

1. Menyimpan empedu.

4
Dalam keadaan normal, musculus sphincter duktus choleidochi dan muskulus
sphincter ampula berkontraksi sehingga empedu yang disekresi dari hepar secara
terus-menerus akan mengalami refluks atau masuk ke dalam kandung empedu
melalui duktuscysticus[19].
2. Konsentrasi empedu.
Kandung empedu melakukan konsentrasi cairan empedu dengan cara menyerap
cairan dan elektrolit melalui mukosanya.

Gambar 1. Anatomi Vesica biliaris[18]

3. Mekanisme kontrol.
Pengeluaran cairan empedu dikontrol oleh cholecystokinin. Masuknya lemak ke
dalam mucosa duodenum. Hormon ini akan merangsang kontraksi otot dari dinding
kantung empedu. Peningkatan tekanan ini akan menyebabkan terbukanya

5
sphincterduktus choledochus disamping juga karena adanya penurunan tonus otot
sphincter karena aktivitas nervus vagus, sehingga cairan empedu akan masuk ke
duodenum[19].
2.3 Epidemiologi

Angka kejadian Atresia Bilier dilaporkan bervariasi, di Atlanta USA sekitar


7,4/100.000 kelahiran hidup, di Polinesia Prancis sekitar 32/100.000 kelahiran hidup,
di jepang sekitar 10,6/100.000 kelahiran hidup, di Belanda sekitar 5/100.000
kelahiran hidup. Insiden atresia bilier tertinggi di Asia sekitar 1/6.750 kelahiran hidup
( Taiwan )[17].
Bayi dengan atresia bilier dibagi oleh dua presentasi yang berbeda yaitu,
Acquired / perinatal / nonsyndromic sebanyak 90% dibandingkan embryonal /
syndromic sebanyak 10%. Atresia bilier lebih sering ditemukan pada anak perempuan
dibandingkan laki – laki. Insidens tinggi juga ditemukan pada pasien dengan ras kulit
hitam yang dapat mencapai 2 kali lipat insidens bayi ras kulit putih. Bayi dengan
kelahiran berat badan lahir rendah (<2500) memiliki resiko lebih tinggi mengalami
atresia bilier dibandingkan bayi yang dilahirkan dengan berat lahir normal[2.9].

2.4 Etiologi

Penyebab yang mendasari atresia biliaris belum diketahui atau ideopatik. Namun
beberapa hipotesis penelitian mengatakan penyebabnya adalah virus, induksi toksin,
vascular, faktor genetik, morfogenesis / perkembangan yang abnormal, disregulasi
imun / autoimun[3.4]. Atresia bilier adalah fenotip yang dianggap sebagai hasil dari
beberapa proses pathogen yang mengarah pada obstruksi duktusbilier[5].
1). Toksin
Faktor lingkungan dapat menginduksi atresia bilaris seperti obat (amfetamin),
racun pertanian dan industri, fitotoksin, dan mikotoksin. Biliatresone adalah racun
tanaman yang dapat menyebabkan kerusakan colangicyte dan kehilan dimensi 3D
sehingga akan terlihat seperti penyakit atresia bilaris walaupun tidak mempengaruhi

6
hepatosi. Biliatresone sendiri dapat menyebabkan penurunan glutathione yang cepat
dan sementara dan penurunan kadar cholangiocyte SOX17 yang signifikan[6].

2). Vascular abnormal


Suplai darah utama pada duktus bilier adalah arteri cystica, jika terjadi gangguan
pada aliran darah arteri akan menyebabkan nekrosis EHBD seperti perubahan yang
terjadi pada duktus bilier setelah thrombosis arteri hepatica akibat transplantasi hati.
Perbandingan antara bayi penyakit koletatik dengan penyakit atresia biliaris yang
ditemukan adanya penebalan dinding dan hipetrofimedial arteri hepatica[5].
3). Faktor genetic
Pada pasien atresia bilier didapatkan bahwa terjadi mutase gen jagged (jag1)
yang berperan sebagai pengatur kekebalan tubuh, menekan produksi sitokin
inflamasi (IL-8). Mutase gen ini termasuk cryptic family (CFC1) yang berperan
sebagai kofaktor penentujalur kiri dan kanan yang dilaporkan pada sebagian kecil pasien
dengan bentuk sporadic dari penyakit BASM. Polimorfisme gen faktor pertumbuhan
endothelial vaskuler dianggap terlibat dalam atresia bilier secara tidak langsung dengan cara
meningkatkan kerentanan terhadap penyakit[5].
Sebuah teori terbaru mengenai perkembangan atresia bilier melibatkan adanya
mutasi somatik yang terjadi setelah pembentukan zigot yang hanya mempengaruhi
sebagian sel. Fenotip tergantung pada waktu dimana mutasi terjadi, jika didahului
dengan kejadian sebelumnya berpotensi menyebabkan penyakit dominan de novo.
Mutasi tersebut dapat menyebabkan mosaik di seluruh tubuh atau terbatas pada
subsel jaringan, ini berlaku pada fenotip atresia bilier[5].
4). Imunologi
Teori ini didukung dengan adanya inflamasi didalam mononuclear yang rusak
(IHBD) dan epitel bilier. Pemicu dari reaksi ini belum diketahui, tetapi proses awal
terjadinya reaksi ini pada duktus bilier kerena adanya pelepasan antigen baru yang
selanjutnya disampaikan kepada limfosit T naif oleh antigen precenting cell (APC).
Limfosit primer Th1 akan melepaskan sitokin proinflamsi bersama sel T sitotoksik

7
yang menyebabkan kerusakan pada saluran bilier dan parenkim hati. Pada kasus
inkontenesia atresia biliaris didapatkan peningkatan interleukin 2 (IL-2), interferon c,
tumor nekrosis faktor (IL-12). Respon imun ini akan terus berlanjut bahkan setelah
KPE. Pemahaman ini didapatkan setelah penelitian pengaturan regulasi Toll-like
reseptor yang rusak pada pasien atresia bilier. Sel epitel empedu menunjukan adanya
penyimpangan human leucocyt antigen (HLA) molekul kelas I dan II pada pasien
atresia bilier[5].
5). Infeksi virus
Virus yang diidentifikasi sebagai penyebab atresia biliaris yaitu, Virus
hepatotropic (terutama virus hepatitis B) dan virus non hepatotropic[5.6.7].
a). Cytomegalovirus (CMV)
Cytomegalovirus (CMV) adalah virus deoksiribonukleat (DNA) berantai ganda
yang mampu menginfeksi sel epitel saluran empedu. Atresia bilier pada bayi dengan
(IgM) +ve BA menunjukkan tingkat aspartat aminotransferase dan aspartat
aminotransferase-to-trombosit indeks yang lebih tinggi.
b). Reovirus
Didapatkan pada tikus yang terinfeksi oleh reovirus tipe III menyebabkan
kerusakan empedu dan hati yang mirip dengan atresia biliaris pada manusia. Pada
penelitian ini didapatkan infeksi neonatal oleh reovirus dapat menginduksi hepatitis
dan nekrosis pada epitel empedu IHBD dan EHBDs. Terjadinya peradangan yang
bersamaan dengan obstruksi luminal irreversible menyebabkan terjadinya pada
saluran empudu.
c). Rotavirus
Colangiocytes intrahepatic pada pasien atresia biliaris dengan syndrome dan
nonsyndrom menunjukan morphology abnormal pada penurunan silia primer.
Penurunan jumlah silia pada pasien atresia biliaris akibat terinfeksi rotavirus yang
menyebabkan colangiocytes primer dan EDHs.

8
Gambar 2. The two favored hypotheses for biliary atresia share the assumption of genetic
predisposition[8].

2.5 Patofisiologi

Salah satu teori mengenai pathogenesis atresia bilier adalah bahwa adanya
kerusakan duktus bilier yang awalnya disebabkan oleh infeksi virus dan selanjutnya
yang berperan pada kerusakan ini adalah imunologi. Pada eksperimen didapatkan
hasil bahwa inokulasi perinatal tikus BALB/c dengan rhesus rotavirus (RRV)
kerusakan empedu pada replikasi rotavirus pada cholangiocyte. Serum antibody pasif

9
terhadap RRV dapat melemahkan replikasi virus. Sel T, sel B dan NK berperan
dalam penghancuran imunologi duktus bilier ektrahepatik yang dimediasi oleh
interferon -γ, IL-2, Tumor Necrosis Factor-α dan IL-12.memori sel-T hati yang kuat
dengan peningkatan yang signifikan dalam Interferon-γ dalam menanggapi paparan
Cytomegalovirus (CMV), menunjukkan paparan CMV perinatal mungkin merupakan
inisiator yang mungkin untuk BA. Feldman dkk baru-baru ini menunjukkan bahwa
Tikus defisien sel-B dilindungi dari obstruksi bilier pada BA yang diinduksi RRV,
yang memvalidasi lebih lanjut peran sel-B dalam patogenesis BA. Ini mungkin
melibatkan kurangnya presentasi antigen sel-B dan akibatnya merusak aktivasi sel-T
dan peradangan Th1. Okamura dkk menemukan CD56− CD16 + CD68− sel NK
meningkat pada saluran empedu BA yang rusak[12].

2.6 Klasifikasi
Berdasarkan anomaly kongenital, atresia biliaris diklasifikasikan menjadi 3
kategori.
1). Tipe I : atresia perinatal yang tidak terkait dengan anomaly atau malformasi lain.
70% pasien atresia biliaris tipe I tidak adanya ikterus
2). Tipe II: atresia splenic malformation syndrome (BASM) sebanyak 10% ( inversus,
malrotasi, dextrocardia asplenia / polysplenia, vena cava inferior yang terganggu dan
penyakit jantung bawaan).
3). Tipe III: atresia biliaris dibagi lagi menjadi 2 yaitu: yang dapat diperbaiki dan
tidak dapat diperbaiki. Pada tipe III, varian histopatologis yang sering ditemukan,
sisa jaringan fibrosis mengakibatkan sumbatan total pada sekurang-kurangnya satu
bagian sistem bilier ekstrahepatik. Duktus intrahepatik, yang memanjang hingga ke
porta hepatis, pada awalnya paten hingga beberapa minggu pertama kehidupan tetapi
dapat rusak secara progresif oleh karena serangan agen yang sama dengan yang
merusak duktus ekstrahepatik maupun akibat efek racun empedu yang tertahan lama
dalam duktus ekstrahepatik.varian histopatologis yang paling umum, sisa fibrosa

10
menunjukkan pemusnahan lengkap setidaknya sebagian dari sistem biliaris
ekstrahepatik. Saluran dalam hati, memanjang ke porta hepatis, pada awalnya paten
selama beberapa minggu pertama kehidupan tetapi mungkin semakin dihancurkan.
Agen atau agen yang sama yang merusak saluran ekstrahepatik dapat menjadi
penyebab, dan efek dari racun yang ditahan dalam empedu merupakan faktor yang
berkontribusi.

Gambar 3. Classification of biliary atresia according to the location of involvement 5

11
Table 1. klasifikasi atresia biliaris menurut Kasai10

Klasifikasi Penjelasan Gambar

I Atresia (sebagian atau total) duktus


bilier komunis, segmen proksimal
paten.

IIa Obliterasi duktus hepatikus


komunis (duktus bilier komunis,
duktus cystikus, dan kandung
empedu semuanya normal)

12
IIb Obliterasi duktus bilierkomunis,
duktus hepatikus komunis,duktus
cystikus. Kandung empedu normal.

III Semua sistem duktus bilier


ekstrahepatik mengalami
obliterasi,sampai ke hilus.

2.7 Diagnosis

1). Anamnesis
Gambaran klinis bayi yang mengalami Atresia Bilier sangat mirip dengan
kolestasis, tanpa dilihat dari etiologinya . Gejala utamanya antara lain ikterus yang
bisa muncul segera atau beberapa minggu setelah lahir, urin yang menyerupai teh
pekat dan feses warna dempul. Pada kebanyakan kasus, Atresia Bilier ditemukan
pada bayi yang aterm, meskipun insidens yang lebih tinggi lagi ditemukan pada yang
BBLR (bayi berat lahir rendah). Pada kebanyakan kasus, feses akolik tidak
ditemukan pada minggu pertama kehidupan. Tapi beberapa minggu setelahnya. Nafsu
makan, pertumbuhan dan pertambahan berat badan biasanya normal[5].
2). Pemeriksaan Fisis

13
Pemeriksaan fisik tidak dapat mengidentifikasi semua kasus Atresia Bilier. Tidak
ada temuan patognomonik yang dapat digunakan untuk mendiagnosisnya. Beberapa
tanda klinis yang dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik Atresia Bilier, antara lain:
a). Hepatomegali dapat ditemukan lebih dahulu pada palpasi abdomen. Splenomegali
juga dapat ditemukan, dan apabila sudah ada splenomegali, maka kita dapat
mencurigai telah terjadi sirosis dengan hipertensi portal.
b). Ikterus yang memanjang pada neonatus, lebih dari 14 hari.
c). Pada pasien dengan sindrom asplenia, dapat ditemukan garis tengah hepar pada
palpasi di area epigastrium.
d). Ada kemungkinan terjadi kelainan kongenital lain seperti penyakit jantung
bawaan, terutama apabila ditemukan bising jantung pada pemeriksaan auskultasi.
3). Antenatal diagnosis
Abses gallbladder setelah lahir dapat meningkatkan kemungkinan atresia biliaris.
Diperkirakan terjadi sekitar 1/6000 kehamilan. Gallbladder mungkin terlihat pada
kehamilan. Polisplenia dan sindrom cardiosplenic dapat dideteksi dengan
ultrasonografi antenatal[5].
4). Postnatal diagnosis
Evaluasi bayi yang datang dengan Neonatal cholestasis sangat penting untuk
menyingkirkan penyebab infeksi. Penatalaksanaan penyakit metabolik, atresia
biliearis dan choledochal dengan pembedahan yang tepat dan waktu yang tepat untuk
mencagah kerusakan hati yang progresif. Salah satu cara mendiagnosis atresia biliaris
dengan mengetahui berat badan lahir dan pertumbuhan normal selama beberapa hari
pertama kehidupan yang merupakan paradoksal pada atresia biliaris. Ikterus,
hepatomegaly, dan feses bewarna pucat[5].

14
Gambar 4. Feses bewarna dempul / pucat
4). Pemeriksaan Penunjang
a). Evaluasi laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hyperbilirubinemia direct, tingkat
transaminase, GGT, alkaline fospatase yang tumpang tindih dengan penyebab lain
neonatal cholestasis. Namun pada atresia biliaris terjadi peningkatan GGT. GGT
normal ataupun menurun mengarah pada gangguan kolestasis tipe I dan II, gangguan
sintesis asam empedu. Albumin dan serum koagulasi merujuk kepada hepatic kronis.
Pada pasien atresia biliaris Interleukin 8 (IL-8) dalam serum atau hati merujuk kepada
diagnostik dan prognosis penatalaksanaan keparahan penyakit dan perkembangan
menuju ke fibrosis hati pada atresia biliaris. Kadar urobilinogen yang lebih rendah (≤
0,32 mg/dL) menunjukan sensitivitas dan spesifisitas (88% dan 72%) dalam
membedakan atresia biliaris dengan penyebab lain neonatal cholestasis.sensitivitas
dan spesifisitas dari kadar urobilinogen mecapai 80% dan 100% ketika digabungkan
dengan kadar GGT (≥ 363 U/L). bilirubin direct / bilirubin terkonjugasi meningkat
segera setelah lahir. Biasanya gamma glutamiltranspeptidase (GGT) meningkat. Bayi
dengan kadar peningkatan bilirubin terkonjugasi yang sedikit pada fase perinatal
harus dievaluasi sebelum didiagnosis sebagai atresia biliaris. Hipoalbunemia,

15
koagulopati dan trombositopeni dapat menunjukan perkembangan penyakit yang
signifikan[5].
b). Ultrasonografi
Ultrasonografi adalah langkah pertama pada pemeriksaan penunjang atresia
biliaris, ultrasonografi digunakan untuk menilai dan mengavaluasi anatomi duktus
bilier serta untuk menilai adanya massa hati, koledochalcysts, dilatasi duktal bilier,
anomali vaskular, polisplenia, dan tanda-tanda hipertensi portal. Pada bayi dengan
atresia biliaris duktus bilier biasanya hipoplastik, bentuknya tidak teratur ataupun
tidak ada.
- Porta hepatis microcyst : mikrosit dengan diameter < 5mm anterior ke vena porta
dektra, di porta hepatis yang menunjukan spesifisitas sebesar 99% untuk
mendiagnosis atresia biliaris
- Gallbladder length : didapatkan Panjang gallbladder dibawah 1,5 cm, tetapi pada
pasien atresia biliaris kadang didapatkan ukuran duktus bilier yang normal
- Gallbladder contraction : non contraktil gallbladder di anggap sebagai indikasi
atresia biliearis.
- Triangular cord (TC sign) : pada pasien atresia biliaris didapatkan TC sign > 4mm.
diukur dari cranial sampai ke vena porta bifurcatio.
- Subcapsular hepatic flow : didapatkan adanya aliran arteri hepatica yang melebar
kepermukaan hati

16
Gambar 5. A. Gallbladder (arrow) has irregular contour with lack of complete echogenic
mucosal lining. Gallbladder length is 3.1 mm. B. Triangular cord thickness (arrowheads) is

2.5 mm. This is regarded as negative triangular cord sign.14

Gambar 6. (a). Gallbladder (arrow)shows irregular wall and shape 11.9 mm in length. B. Triangular
cord thickness is 4.1 mm. This is regarded as positive triangular cord sign. BA =biliary atresia 14
c). Hepatobiliary scintiscanning (HSS)
Hepatobiliary scintigraphy selama beberapa tahun digunakan sebagai modalitas
untuk mendiagnosis atresia bilier[13].Sensitivitas dari scintigraphy untuk
mendiagnosis Atresia bilier terlihat cukup tinggi dari 2 retrospektif (83% sampai
100%), dengansecara nyata pasien yang terkena tidak menunjukkan eksresi. Akan
tetapi spesifitas dari modalitas in sedikit berkurang yakni sekitar 33% sampai 80%.
Jika ekskresi dari radiotracer terlihat/keluar daridiagnosis atresia bilier dapat
dikeluarkan. Namun jika radiotracer tidak terlihat dalam 24 jam ataupun setelahnya
(seperti gambar 7 dibawah ini), dapat dicurigai atresia bilier. Hepatobiliary

17
scintigraphy dapat mengevaluasi fungsi hepatoselular dan potensi system empedu
dengan melacak aliran empedu dari hati menuju ke usus. Kurangnya eksresi ke usus
merupakan gejala atresia biliaris.

Gambar 7 : HSS pada pasien dengan Atresia Bilier

d). Magnetic Resonance Cholangiography (MRC)


MRCP adalah modalitas pencitraan sangat handal invasif untuk diagnosis atresia
bilier Saluran empedu extrahepatic termasuk kandung empedu, saluran kistik, saluran
empedu umum, dan saluran hepatik umum divisualisasikan. Saluran empedu
extrahepatic, kecuali kandung empedu, tidak digambarkan. MRCP memiliki akurasi
98%, sensitivitas 100% dan spesifisitas 96%, untuk diagnosis atresia bilier sebagai
penyebab ikterus kolestasi. (gambar 8)

e). Cholangiography Intraoperatif


Pemeriksaan gold standar pada atresia biliaris adalah cholangiography intra operatif.
Pemeriksaan ini secara definitif dapat menunjukan kelainan anatomis traktus biliaris.
Kolangiografi intraoperatif dilakukan ketika biopsi hati menunjukkan adanya etiologi
obstruktif. Pemeriksaan ini dilakukan dengan metode memasukkan kontras ke dalam
saluran empedu lalu kemudian difoto X-Ray ketika laparotomi eksploratif
dilaksanakan. Pada pemeriksaan ini akan didapatkan hasil berupa lumen duktus bilier
yang tidak teraliri kontras ataupun saluran empedu tidak terlihat sama sekali.

18
Pemeriksaan ini dilakukan ketika pemeriksaan biopsi dan scintiscan gagal
menunjukkan hasil yang adekuat. (Gambar 9)

Gambar 8. (a). Gambaran intensitas maksimum pada Magnetic resonance cholangiography, (b). Pada
Atresia Bilier tipe 1, pada MRC

Gambar 9. Kolangiogram intraoperatif menggambarkan pengisian kista dan dilatasi sedang


duktus intrahepatis tapi tidak ada hubungan langsung ke duodenum

f). Pemeriksaan Histopatologis


Biopsi hati perkutaneus : Biopsi perkutaneus hati diketahui sebagai teknik paling
terpercaya dalam mengevaluasi kolestasis neonatus. Tingkat morbiditasnya rendah
pada pasien yang tidak mengalami koagulopati. Ketika diperiksa oleh patolog yang
berpengalaman, suatu spesimen biopsi yang adekuat, dapat membedakan penyebab
kolestasis akibat gangguan obstruksi dengan hepatoseluler, dengan tingkat
sensivisitas dan spesifisitas mencapai 90% untuk Atresia Bilier.2,4 Pada beberapa
kondisi kolestasis, termasuk Atresia Bilier, dapat menunjukan perubahan pola

19
histolpatologis. Sehingga perlu dilakukan biopsi serial dengan interval 2 minggu
untuk mencapai diagnosis yang definitif. Temuan Histologis:Meskipun ada yang
fakta yang menyebutkan bahwa Atresia Bilier dapat terjadi karena faktor ontogenik
dan dapatan, namun tidak ada temuan histologis kualitatif yang dapat menunjukkan
karakteristik perbedaan keduanya. Spesimen bedah menunjukkan spektrum
abnormalitas, termasuk inflamasi aktif yang disertai degenerasi duktus biliaris, suatu
reaksi inflamasi kronik yang disertai proliferasi elemen duktus dan glandular serta
fibrosis. Progresifitas kelainan ini dapat dikonfirmasi melalui gambaran
histologisnya5.
Bukti adanya obstruksi pada traktus biliaris menentukan apakah bayi
membutuhkan laparatomi eksplorasi dan kolangiografi intraoperatif. Proliferasi
portal duktus biliaris, pengisian empedu, fibrosis portal-portal dan reaksi inflamasi
akut merupakan karakteristik temuan penyebab obstruksi pada kolestasis
neonatus.Pewarnaan Periodic Acid-Schiff (PAS) pada jaringan biopsi dapat
digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis defisiensi alpha1-antitrypsin dengan
adanya temuan intraseluar berupa granul-granul PAS-positif yang resisten terhadap
pecernaan oleh diastase.
2.8 Penilaian atresia biliaris
Untuk menilai atresia biliaris dilakukan pemeriksaan dengan kriteria : feses
bewarna abu-abu pucat pada pemeriksaan fisis, laboratorium, ultrasonografi,
histopatologi.11.16
2.9 Diagnosis Banding
1). Hipoplasia bilier, stenosis duktus bilier
2). Perforasi spontan duktus bilier
3). Massa (neoplasma, batu)
4). Hepatitis neonatal idiopatik
5). Dysplasia arteriohepatik (sindrom Alagille)
6). Penyakit caroli (pelebaran kistik pada duktus intrahepatic)

20
7). Hepatitis

2.10 Penatalaksanaan
1). Terapi medikamentosa
Memperbaiki aliran bahan-bahan yang dihasilkan oleh hati terutama asam
empedu (asam itokolat), dengan memberikan12 :
a). Fenobarbital 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis per oral. Fenobarbital akan
merangsang enzim glukoronil transferase ( untuk mengubah bilirubin indirek menjadi
bilirubin direk ); enzim sitokrom P-450 ( untuk oksigenasi toksin), enzim na+ K+
ATPase ( menginduksi aliran empedu).
b). Kolestiramin 1 gram/kgBB/hari dibagi 6 dosis atau sesuei jadwal pemberian susu.
Kolestiramin memotong siklus enterohepatik asam empedu sekunder.
Melindungi hati dari zat toksik dengan memberikan :
a). Asam ursodeoksikolat, 8-12 mg/kgBB/hari, dibagi 3 dosis peroral. Asam
ursodeoksikolat mempunyai daya ikat kompetitif terhadap asam litokolat yang
hepatotoksik.
Terapi Nutrisi, yang bertujuan untuk memungkinkan anak tumbuh dan berkembang
seoptimal mungkin, yaitu :

Table 2. Nutritional management of children with liver disease


Caloric intake: 130–180 kcal (545–750 kJ)/kg/day for infants and 120–150%
EAR for age in children

Protein: Infants to be supplemented with 3–4 g/kg/day


andchildren with 2 g/kg/day of proteins.Protein intake
to be limited to the recommended daily allowance
(RDA), if there is encephalopathy

Fatand Carbohydrates to account for 40 to 60% of caloric

21
carbohydrate: intake and rest as fat. MCT oilcan be supplemented
separately in a total daily dose of 1-2 ml/kg/day in 2-4
doses

Vitamin A: Water soluble vitamin A preparation is recommended at


a dose of 5000–10,000/ day. Serumretinol <20 mcg/dl
or Retinol–Retinol binding protein molar ratio <0.8
indicates deficiency.

Trace Elements Deficiency of iron, zinc, selenium, magnesium were


and mineral common inchildren with CLD. If plasma zinc
deficiency: concentration is <60 mcg/dl, supplementation with 1
mg/kg/dayelemental zinc recommended. The diet should
meet daily requirement of selenium (1–2µg/kg/day),
calcium(50-100mg/kg/day) and phosphate (20-50
mg/kg/day), otherwise has to be
supplemented.Microcyticanaemia with low iron level
and increased total iron-binding capacity (TIBC)
indicate iron deficiency.Elemental iron at 5-6 mg/kg/day
should be supplemented.
Water-soluble Angular cheilitis, stomatitis, glossitis etc. are some
vitamins: ofthe manifestation of watersoluble vitamin
deficiencies. In case of deficiency, multivitamin
preparation providing at least 100% of RDAfor that age
group.

Vitamin D : Ergocalciferol (vitamin D2): 3-10 times the RDA for


that age group;cholecalciferol (vitaminD3): 50 to 100
units/kg/day;1-25-dihydroxy vitamin D: 0.05-0.20
mcg/kg/day (severe resistant cases)
Vitamin E a-Tocopherol : 25-50 IU/kg/day;
Tocopherolpolyethylene glycol-succinate (TPGS): 15-
25IU/kg/day

Vitamin K: 2.5-5 mg, 2-7 times/week

2). Non medikamentosa :


a). Konsultasi

22
Evaluasi kolestasis neonatal dapat dilakukan di pelayanan kesehatan primer
dengan bergantung pada rehabilitasi temuan laboratorium. Tes non-bedah dan
eksplorasi bedah lainnya hanya dapat dilakukan di pusat pelayanan kesehatan yang
berpengalaman menangani kelainan seperti ini. Dokter umum tidak boleh menunda
diagnosis atresia bilier. Bila ditemukan bayi yang dicurigai menderita icterus
obstruktif, maka haus segera di rujuk ke dokter subspesialis.
3). Terapi Bedah
Ini tetap mentransmisikannya pada tingkat porta hepatis untuk mengekspos
saluran empedu mikroskopik tetapi berhubungan. Sebuah loop Roux kemudian dibuat
dari jejunum proksimal dan dianastomosis ke permukaan potongan. Pemulihan aliran
bilier kemudian tercapai, meskipun derajatnya bervariasi dan bagaimana ia diukur.
Beberapa faktor prognostik dari operasi Kasai telah dikaitkan dengan hasil jangka
pendek dari prosedur ini. Diantaranya banyak yang tidak dapat diubah, seperti
anatomi sisa empedu, histologi hati, tekanan portal pada saat operasi Kasai, atau
asosiasi BA dengan polysplenia (sindrom malformasi limpa BA). Faktor prognostik
lain dari BA terkait dengan organisasi perawatan untuk pasien ini, dan karena itu
dapat ditingkatkan: usia di operasi Kasai, aksesibilitas ke LT, dan pengalaman pusat
dalam manajemen pasien dengan BA.13merupakan pengobatan awal yang dipakai,
meskipun diperkirakan bahwa sekitar 80% pasien dengan atresia bilier pada akhirnya
akan membutuhkan transplantasi hati. Dalam sebuah penelitiandi Perancis dimana
271 pasien dianalisis, 23% masih hidup dengan hati asli mereka dua puluh tahun
setelah prosedur Kasai. Padahal, di kemudian hari sebagian besar akan membutuhkan
transplantasi, prosedur ini menurunkan morbiditas dan mortalitas.15 Jika atresia bilier
(BA) didiagnosis oleh cholangiogram, prosedur Kasai (hepatoportoenterostomy
[HPE]) harus dilakukan segera. Operasi ini dilakukan dalam upaya untuk
mengembalikan aliran empedu dari hati ke usus kecil proksimal. prosedur untuk
memotong seluruh duktus empedu yang dihilangkan,

23
Gambar. 10 :hepatic portoenterostomy (Kasai’s procedure).

Gambar 11. (a) Hepatoporto-enterostomy (Kasai procedure), (b) Hepatoporto-cholecystostomy


2.11 KOMPLIKASI

 Kolangitis
 Hipertensi portal
 Hepatopulmonary syndrome dan hipertensi pulmonal10

24
2.12 PROGNOSIS
Meskipun prognosis kelangsungan hidup anak dengan atresia biliaris memiliki
kelangsungan hidup jangka Panjang dengan lebih dari 90% bertahan sampai dewasa.
Sebelum ditemukan transplantasi hati sebagai terapi pilihan pada anak dengan
penyakit hati stadium akhir, angka kelangsungan hidup jangka panjang pada anak
penderita Atresia Bilier yang telah mengalami portoenterostomy adalah 30-55%
dalam 5 tahun dan 30-40% dalam 10 tahun. Serum bilirubin pasca HPE menjadi
penanda efektif terhadap keberhasilan, kadar bilirubin total di ukur 3 bulan setelah
Kasai HPE untuk menilai keberhasilan. Jika hasil bilirubin < 2mg/dL tiga bulan pasca
Kasai HPE kelangsungan hidup adalah 84%.13 Keberhasilan operasi
portoenteromtomy dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain :
1). Umur pada waktu dioperasi, lebih awal lebih baik. Bila operasi dilakukan pada
usia <8 minggu maka angka keberhasilannya 71,86%, sedangkan bila operasi
dilakukan pada usia >8 minggu maka angka keberhasilannya hanya 34,43%
2). Gambaran anatomi duktus biliaris ekstra hepatik
3). Ukuran duktus biliaris daerah ekstra hepatik
4). Ada tidaknya cirrhosis hepatis
5). Adanya kolangitis
6). Kemungkinan dapat dilakukannya transplantasi hati
Sepertiga dari semua pasien yang telah melakukan operasi portoenterotomy ,
mengalami gangguan aliran empedu setelah mendapat terapi bedah, sehingga anak-
anak ini terpaksa menderita komplikasi sirosis hepatis pada beberapa tahun pertama
kehidupan mereka meskipun transplantasi hati sudah dilakukan. Komplikasi yang
dapat terjadi setelah portoenterostomi antara lain kolangitis (50%) dan hipertensi
portal (>60%).

25
Gambar 12. Skema diagram penatalaksanaan atresia biliaris10

26
BAB III
KESIMPULAN

- Atresia bilier adalah tidak adanya atau kecilnya lumen pada sebagian atau
keseluruhan traktus bilier ekstrahepatik yang menyebabkan hambatan aliran
empedu, akibatnya di dalam hati dan darah terjadi penumpukan garam empedu
dan peningkatan bilirubin direk
- Pada atresia bilier operasi lebih baik dilakukan pada usia < 8 minggu karena
tingkat keberhasilanya lebih baik daripada operasi dilakukan pada usia > 8
minggu, tetapi apabila dengan operasi kasai tidak berhasil atau tidak membaik,
maka harus dilakukan transplantasi hati.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Schwarz KB, Haber BH, Rosenthal P, Mack CL, Moore J, Bove K et al.
Extrahepatic anomalies in infants with biliary atresia: results of a large
prospective North American multicenter study. Hepatology 2013;58(5):1724-
1731.
2. A-Kader HH F-D. After two centuries biliary atresia remains the darkest
chapter in pediatric hepatology. J Paediatr Child Health 2015;3:1044-1055.
3. Asai A, Miethke A, Bezerra JA. Pathogenesis of biliary atresia: defining
biology tounderstand clinical phenotypes. Nature reviews Gastroenterology &
hepatology 2015;12(6):342-352.
4. Mack CL. What Causes Biliary Atresia? Unique Aspects of the Neonatal
Immune System Provide Clues to Disease Pathogenesis. Cellular and
molecular gastroenterology and hepatology 2015;1(3):267-274.
5. Ghazy. R, Adawy. N, Khedr. M, Tahou. M. Biliary Atresia Recent Insight.
Egyptian Pediatric Association Gazette. Egypt. 2017. Available from journal
homepage: www.elsevier.com/locate/epag
6. Lorent K, Gong W, Koo KA, Waisbourd-Zinman O, Karjoo S, Zhao X et al.
Identification of a plant isoflavonoid that causes biliary atresia. Science
translational medicine 2015;7(286):286-267.
7. Saito T, Terui K, Mitsunaga T, Nakata M, Ono S, Mise N et al. Evidence for
viral infection as a causative factor of human biliary atresia. J Pediatr Surg
2015;50(8):13981404.
8. Verkade. H, Bezerra. J, Davenport. M. dkk. Biliary atresia and other
cholestatic childhood diseases: Advances and future challenges. Journal of
Hepatology 2016 vol. 65. P 631–642
9. Balisteri .W.F. Biliary Atresia. The Journal of Pediatrics. 2015. Vol 166.
Number 4

28
10. Shanmugam. N, Narasimhan. G, Rajindrajith. S. Living with biliary atresia:
From Kasai portoenterostomy to liver transplantation. Sri Lanka Journal of
Child Health, 2016; 45(2):116-122. Available from DOI:
http://dx.doi.org/10.4038/sljch.v45i2.8116
11. Wang. K. Newborn Screening For Biliary Atresia. American Academy Of
Pediatrics. 2016
12. Zagory. J, Nguyen. M, Wang. K. Recent Advances in the Pathogenesis and
Management of Biliary Atresia. Curr Opin Pediatr. 2015. 27(3): 389–394
13. Nahid. K, Rokonuzzaman, Karim. A, Fatema. K, Sultana. A. Management Of
Biliary Atresia: A Review. Bangladesh J Child Health 2015; VOL 39 (1) : 38-
45
14. Lee. S. et all. Ultrasonographic Diagnosis of Biliary Atresia Based on a
Decision-Making Tree Model. Korean J Radiol 2015;16(6):1364-1372.
Available from http://dx.doi.org/10.3348/kjr.2015.16.6.1364
15. Decharun K, Leys CM, West KW, Finnell SM. Prophylactic Antibiotics for
Prevention of Cholangitis in Patients With Biliary Atresia Status Post-Kasai
Portoenterostomy: A Systematic Review. Clinical pediatrics 2015.
16. Dong. R, Zheng. S. Reply to: ‘‘Scoring system in diagnosing biliary atresia’’.
Journal of Hepatology 2014 vol. 61. P 1438–1452
17. Lee KJ, Kim JW, Moon JS, Ko JS. Epidemiology of Biliary Atresia in Korea.
J Korean Med Sci. 2017;32:656–660.
18. Tortora and Derrickson. Principles of Anatomy and Physiology. 14th Edition.
Wiley and Sons: USA. 2014.
19. Guyton, Hall. Buku ajar fisiologi edisi 11: sistem endokrin. Jakarta. EGC:
2008

29

Anda mungkin juga menyukai