OLEH :
KADEK NITA CAROLINA
NIP. 19880613 201101 2 015
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep teori dari atresia bilier?
2. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan atresia bilier?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui dan memahami bagaimana membuat asuhan keperawatan
pada klien dengan gangguan atresia bilier
2. Tujuan Khusus
Mampu memahami asuhan keperawatan dari atresia bilier
BAB II
LAPORAN PENDAHULUAN
A. DEFINISI
Atresia Bilier suatu defek kongenital, yang terjadi akibat tidak adanya atau
obstruksi satu atau lebih kandung empedu ekstrahepatik atau intrahepatik, yang
menyebabkan penyimpanan drainase kandung empedu (Morgan Speer, 2008)
Atresia Bilier adalah suatu keadaan dimana tidak adanya lumen pada traktus
ekstrahepatik yang menyebabkan hambatan aliran empedu atau karena adanya
proses inflamasi yang berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan progresif
pada duktus bilier ekstrahepartik sehingga terjadi hambatan aliran empedu
(kolestasis) yang mengakibatkan terjadinya penumpukan garam empedu dan
peningkatan bilirubin direk dalam hati dan darah (Julinar, dkk, 2009). Atresia
Bilier adalah suatu penghambatan didalam pipa/ saluran-saluran yang membawa
cairan empedu (bile) dari liver menuju ke kantung empedu (gallbladder). Ini
merupakan kondisi kongenital, yang berarti terjadi saat kelahiran. Atresia bilier
merupakan proses inflamasi progresif yang menyebabkan fibrosis saluran empedu
intrahepatik maupun ekstrahepatik sehingga pada akhirnya akan terjadi obstruksi
saluran tersebut (Donna L. Wong, 2008).
B. ETIOLOGI
Faktor penyebab dari Atresia Bilier ini belum jelas. Namun, sebagian besar
penulis berpendapat bahwa Atresia Bilier disebabkan oleh suatu proses inflamasi
yang merusak duktus bilier dan juga akibat dari paparan lingkungan (disebabkan
oleh virus) selama periode kehamilan dan perinatal (Sodikin, 2011).
C. MANIFESTASI KLINIS
(Data Subyektif dan Data Objektif) Pada bayi dengan atresia bilier biasanya
tampak sehat ketika baru lahir. Gejala penyakit ini biasanya muncul dalam dua
minggu pertama setelah lahir. Menurut Sodikin (2011), gejala-gejala tersebut
yaitu :
a. Data Subjektif
- Iritabilitas (bayi menjadi rewel)
- Sulit untuk menenangkan bayi
b. Data Objektif
- Ikterus Terjadinya kekuningan pertama kali akan terlihat pada sklera dan
kulit karena tingkat bilirubin yang sangat tinggi (pigmen empedu) dalam
aliran darah. Mungkin terdapat sejak lahir. Biasanya tidak terlihat sampai
usia 2 hingga 3 minggu.
- Urine berwarna gelap dan menodai popok. Urine gelap yang disebabkan
oleh penumpukan bilirubin (produk pemecahan dari hemoglobin) dalam
darah. Bilirubin kemudian disaring oleh ginjal dan dibuang dalam urine.
- Feses berwarna lebih pucat daripada yang perkirakan atau berwarna putih
atau coklat muda karena tidak ada empedu atau pewarnaan bilirubin yang
masuk ke dalam usus untuk mewarnai feses
- Hepatomegali
- Distensi abdomen
- Splenomegali Keadaan ini menunjukkan sirosis yang progresif dengan
hipertensi portal / tekanan darah tinggi pada vena porta (pembuluh darah
yang mengangkut darah dari lambung, usus dan limpa ke hati).
- Gangguan metabolisme lemak yang menyebabkan pertambahan berat badan
yang buruk, dan kegagalan tumbuh kembang secara umum.
- Letargi
- Pruritus (gatal disertai ruam)
- Asites
- Jaundice, disebabkan oleh hati yang belum dewasa adalah umum pada bayi
baru lahir. Ini biasanya hilang dalam minggu pertama sampai 10 hari dari
kehidupan. Seorang bayi dengan atresia bilier biasanya tampak normal saat
lahir, tapi ikterus berkembang pada dua atau tiga minggu setelah lahir
- Anoreksia
- Lambat saat makan, kadang-kadang tidak ada nafsu untuk makan
- Kekeringan
- Kerusakan kulit
- Edema perifer
D. PATOFISIOLOGI
Secara embriologi, percabangan bilier berkembang dari divertikulum hepatik
dari embrio foregut. Duktus bilier intrahepatik berkembang dari hepatosit janin,
sel-sel asal bipotensial mengelilingi percabangan vena porta. Sel-sel duktus bilier
primitif ini membentuk sebuah cincin, piringan duktal, yang berubah bentuk
menjadi struktur duktus bilier matang. Proses perkembangan duktus biliaris
intrahepatik dinamis selama embriogenesis dan berlanjut sampai beberapa waktu
setelah lahir. Duktus biliaris ekstrahepatik muncul dari aspek kaudal divertikulum
hepatik. Selama stadium pemanjangan, duktus ekstrahepatik nantinya akan
menjadi, seperti duodenum, sebuah jalinan sel-sel padat. Pembentukan kembali
lumen dimulai dengan duktus komunis dan berkembang secara distal seringkali
mengakibatkan 2 atau 3 lumen untuk sementara, yang nantinya akan bersatu.
Komponen intrahepatik selanjutnya bergabung dengan sistem duktus
ekstrahepatik dalam daerah hilus.
Patogenesis atresia bilier tetap tidak jelas meskipun terdapat beberapa teori
etiologi dan investigasi. Telah diusulkan bahwa penyakit ini disebabkan oleh:
(a) kegagalan rekanalisasi
(b) faktor genetik
(c) iskemia
(d) virus
(e) toksin
Saat ini, teori yang paling membangkitkan minat adalah bahwa atresia bilier
merupakan hasil akhir satu atau beberapa dari cemooh-cemooh ini yang nantinya
menyebabkan epitel bilier menjadi ‘peningkatan susunan’ untuk mengekspresikan
antigen pada permukaan sel (Dillon). Pengenalan oleh sel T yang beredar
kemudian memulai respon imun dimediasi-sel, mengakibatkan cedera
fibrosklerotik yang terlihat pada atresia bilier. Tampaknya terdapat dua kelompok
terpisaah pasien dengan atresia bilier: bentuk embrionik awal dihubungkan
dengan kemunculan berbagai anomali lainnya dan bentuk janin kelak/perinatal
yang biasanya terlihat terisolasi. Etiologi masing-masingnya mungkin berbeda.
Temuan patologis pada atresia bilier ditandai dengan sklerotik inflamasi yang
kehilangan semua atau sebagian percabangan bilier ekstrahepatik juga sistem
bilier intrahepatik. Tidak seperti atresia traktus gastrointestinal lainnya yang
memiliki batasan tempat obstruksi jelas dengan dilatasi proksimal, dalam varian
atresia bilier yang paling umum, duktus biliaris diwakili oleh jalinan fibrosa tanpa
dilatasi apapun di proksimalnya. Sedangkan varian lainnya memiliki sisa nyata –
distal, dari kandung empedu, duktus sistikus dan duktus komunis, atau proksimal,
dengan hilus kista
E. PATHWAY
F. TIPE- TIPE ATRESIA BILIER
Secara empiris dapat dikelompokkan dalam 2 tipe:
a. Tipe yang dapat dioperasi (yang dapat diperbaiki)
Jika kelainan/sumbatan terdapat dibagian distalnya
b. Tipe yang tidak dapat dioperasi
Jika kelainan / sumbatan terdapat dibagian atas porta hepatic, tetapi akhir-akhir
ini dapat dipertimbangakan untuk suatu operasi porto enterostoma hati radikal.
G. PEMERIKSAAN DIAGNOSIS
Menurut Sodikin (2011), Secara garis besar pemeriksaanyang dilakukan
untuk mendeteksi atresia bilier dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu
pemeriksaan :
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan serum darah Pada setiap kasus kolestasis harus dilakukan
pemeriksaan kadar komponen bilirubin untuk membedakannya dari
hiperbilirubinemia fisiologis. Selain itu dilakukan pemeriksaan darah tepi
lengkap, uji fungsi hati, dan gamma-GT. Kadar bilirubin direk < 4 mg/dl
tidak sesuaidengan obstruksi total. Peningkatan kadar SGOT/SGPT > 10
kali dengan pcningkatan gamma-GT < 5 kali, lebih mengarah ke suatu
kelainan hepatoseluler. Sebaliknya, peningkatan SGOT < 5kali dengan
peningkatan gamma-GT > 5 kali, lebih mengarah ke kolestasis
ekstrahepatik. Pemeriksaan urine
2) Pemeriksaan Urine urobilinogen penting artinya pada pasien yang
mengalami ikterus, tetapi urobilin dalam urine negatif, hal ini menunjukkan
adanya bendungan saluran empedu total.
3) Pemeriksaan feces Warna tinja pucat karena yang memberi warna pada
tinja/stercobilin dalam tinja berkurang karena adanya sumbatan.
b. Biopsi hati Biopsi hati dilakukan untuk mengetahui seberapa besar sumbatan
dari hati yang dilakukan dengan pengambilan jaringan hati.
H. PENATALAKSANAAN
Salah satu faktor yang menentukan angka harapan hidup 10 tahun adalah usia
saat penderita dioperasi. Dibagi 4 kelompok yaitu kelompok usia yang dioperasi <
60 hari (68%), kelompok usia 61-69 hari (39%), kelompok usia 71-90 hari (33%),
dan kelompok usia > 91 hari (15%).
- PRE-OPERATIF
Beberapa hari sebelum operasi, penderita di injeksi vitamin K intramuscular 1-
2 mg/kgBB.
- OPERATIF
Hepatic portoenterostomy (prosedur Kasai) merupakan terapi standar pada
atresia biliaris.
- PERAWATAN PASCA-OPERATIF
Nasogastric Tube (NGT) tetap dipertahankan hingga fungsi
gastrointestinal kembali normal, biasanya 48 jam pasca operasi. Antibioik
intravena diberikan hingga penderita dapat menerima makanan secara normal.
Steroid (prednisone) diberikan 2mg/kgBB/ hari sehari 2 kali selama 1
minggu.Komplikasi awal (3 bulan pasca operasi) yang ditemukan umumnya
adalah ascending cholangitis, yang dapat disebabkan karena infeksi vena porta,
rusaknya drainase limfe pada porta hepatis, ataupun karena infeksi langsung
fistulasi bilier. Cholangitis juga disebabkan oleh hal apapun yang membuat
aliran empedu tehambat , sehingga asam ursodeoksikolat sering digunakan
untuk mencegah terjadinya cholangitis. Sedangkan pemakaian antibiotika dan
kortikosteroid untuk pencegahan cholangitis masih belum terdapat
keseragaman .
I. KOMPLIKASI
Komplikasi lanjut yang dapat terjadi adalah hipertensi portal, perdarahan
varises esofagus, hipersplenisme asites dan gagal hati. Pada akhirnya pasien
dengan komplikasi lanjut ini memerlukan transplantasi hati.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
Keterangan :
0 : Mandiri
1 : Dengan menggunakan alat bantu
2 : Dengan menggunakan bantuan dari orang lain
3 : Dengan bantuan orang lain dan alat bantu
4 : Tergantung total, tidak berpartisipasi dalam beraktifitas
3. Pola istirahat/tidur
Diperoleh dari keterangan sang ibu bayi atau kelurga yang lain
4. Pola nutrisi metabolik
Klien hanya minum ASI atau susu kaleng
5. Pola eliminasi
Klien tidak dapat buang air besar, dalam urin ada mekonium
6. Pola kognitif perseptual
Klien belum mampu berkomunikasi, berespon, dan berorientasi
dengan baik pada orang lain
7. Pola konsep diri
a. Identitas diri : belum bisa dikaji
b. Ideal diri : belum bisa dikaji
c. Gambaran diri : belum bisa dikaji
d. Peran diri : belum bisa dikaji
e. Harga diri : belum bisa dikaji
8. Pola seksual Reproduksi
Klien masih bayi dan belum menikah
9. Pola nilai dan kepercayaan
Belum bisa dikaji karena klien belum mengerti tentang kepercayaan
10. Pola peran
hubungan Belum bisa dikaji karena klien belum mampu berinteraksi
dengan orang lain secara mandiri
f. RENCANA KEPERAWATAN
Adapun perencanaan tujuan dan intervensi pada diagnosa keperawatan
yang muncul pada kasus diatas adalah sebagai berikut :
NO Diagnosa Kperawatan Tujuan dan Kriteria hasil Intervensi (NIC)
(NOC)
1 Ketidakseimbangan Tujuan : 1) Monitor jumlah
Setelah diberikan asuhan nutrisi R/
nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh keperawatan selama x 24 Mengetahui
jam, diharapkan nutrisi anak pemenuhan nutrisi
berhubungan dengan
terpenuh pasien
ketidakmampuan Kriterian Hasil : 2) Kaji pemenuhan
1) Adanya peningkatan nafsu makan
mengabsorpsi nutrien
berat badan sesuai pasien R/ Agar
dengan tujuan dapat dilakukan
2) Tidak ada tanda-tanda intervensi dalam
malnutrisi pemberian
3) Tidak terjadi penurunan makanan pada
berat badan yang berarti pasien
Intervensi 3) Ajarkan pasien
atau keluarga
bagaimana
membuat catatan
makanan harian R/
Membuat catatan
makanan harian
dapat memantau
pemenuhan nutrisi
yang diperlukan
4) Kolaborasi dengan
ahli gizi untuk
menentukan nutisi
yang dibutuhkan
pasien R/ Ahli gizi
adalah spesialis
dalam ilmu gizi
yang membantu
pasien memilih
makanan sesuai
dengan keadaan
sakitnya
2 Hipertermia berhubungan Tujuan : 1) Kaji tingkat
Setelah diberikan asuhan kenaikan suhu
dengan penyakit atresia
keperawatan selama x 24 tubuh dan
bilier jam, diharapkan suhu tubuh perubahan yang
dalam batas normal (36.5- menyertainya R/
37C) Suhu diatas normal
Kriteria Hasil : menunjukkan
1) Suhu tubuh dalam proses infeksi akut
rentang normal (36,5- sehingga dapat
37C) menentukan
2) Nadi dalam rentang intervensi yang
normal (100-160x/menit) tepat
3) Pernapasan dalam 2) Beri kompres
rentang normal (20- hangat pada daerah
60x/menit) dahi, aksila dan
4) Tidak ada perubahan lipatan paha R/
warna kulit, tidak tampak Dengan
lemas memberikan
kompres hangat
dapat menurunkan
demam
3) Monitor tanda-
tanda vital R/
sebagai indikator
perkembangan
keadaan pasien
4) Anjurkan keluarga
untuk memberikan
minum yang cukup
kepada bayi R/
Intake cairan yang
adekuat membantu
penurunan suhu
tubuh serta
mengganti jumlah
cairan yang hilang
melalui evaporasi
5) Anjurkan untuk
menggunakan
pakaian tipis dan
menyerap keringat
R/ Mempercepat
proses evaporasi
6) Kolaborasi dalam
pemberian
antipiretik R/
Untuk menurunkan
demam dengan aksi
sentralnya di
hipotalamus
3 Ketidakefektifan pola Tujuan : 1) Kaji keluhan sesak,
Setelah diberikan asuhan frekuensi dan irama
napas berhubungan
keperawatan selama x 24 napas R/ Dengan
dengan distensi abdomen jam, diharapkan pola napas mengkaji keluhan
kembali efektif sesak, frekuensi
Kriteria Hasil : dan irama napas
1) Sesak berkurang dapat mengetahui
2) Frekuensi napas dalam sejauh mana
batas normal kondisi pasien
(22-34x/menit) 2) Monitor/kaji pola
3) Irama napas teratur napas (misalnya:
bradipnea,
takipnea,
hiperventilasi,
pernapasan
kusmaul) R/
Keabnormalan pola
napas menyertai
obtruksi paru
3) Tinggikan kepala
atau bantu
mengubah posisi
yang nyaman
fowler atau
semifowler R/
Duduk tinggi
memungkinkan
ekspansi paru dan
memudahkan
pernapasan
4) Kolaborasi
pemberian oksigen
tambahan bila
diperlukan R/
Terapi oksigen
dapat mengoreksi
hipoksemia yang
terjadi akibat
penurunan ventilasi
4 Kekurangan volume Tujuan : 1) Kaji masukan dan
Setelah Diberikan asuhan keluaran, karakter
cairan berhubungan
keperawatan selama…x 24 dan jumlah feses,
kehilangan cairan aktif jam, diharapkan tidak hitung intake dan
menunjukkan adanya tanda- ouput R/ untuk
tanda dehidrasi dan memberikan
mempertahankan hidrasi informasi tentang
adekuat cairan dan juga
Kriteria Hasil : sebagai pedoman
1) Turgor kulit baik pengganti cairan
2) Frekuensi irama nadi 2) Kaji tanda-tanda
dalam rentang normal vital (Suhu, Nadi
3) Frekuensi dan irama dan Respirasi)
nafas dalam rentang pasien R/ hipotensi,
normal takikardi, deman
4) Elektrolit serum dan sesak dapat
(misalnya natrium, menunjukan
kalium, dan magnesium) respond terhadap
dalam batas normal efek kehilangan
5) Membrane mukosa cairan
lembab 3) Observasi turgor
6) Intake dan output cairan kulit, membrane
seimbang mukosa, pengisian
kapiler dan ukur
berat badan tiap
hari R/ untuk dapat
menunjukan
kehilangan cairan
berlebih
4) Berikan dan pantau
cairan intravena
sesuai ketentuan R/
untuk mengobati
phatogen
khususnya yang
mengakibatkan
kehilangan cairan
berlebihan
5) Kolaborasi dalam
pemberian obat R/
untuk mempercepat
proses
penyembuhan
5 Kerusakan integritas Tujuan : 1) Monitor warna
kulit berhubungan Setelah diberikan asuhan kulit R/ Perubahan
dengan gangguan keperawatan selama x 24 warna kulit pada
metabolisme jam diharapkan integritas pasien
kulit tidak mengalami menunjukkan
kerusakan Kriteria hasil : 2) Ganti popok jika
1) Ketebalan dan tekstur basah atau kotor R/
jaringan normal Untuk menjaga
2) Tidak ada perubahan kulit anak agar
warna kulit bersih dan kering
3) Tidak adanya gatal-gatal 3) Memandikan anak
disertai ruam dengan sabun dan
air hangat R/
Menjaga agar kulit
anak tetap bersih
4) Ubah posisi anak
setiap dua jam
sekali R/ Untuk
menjaga
kelembapan kulit
anak
5) Oleskan
minyak/baby oil
pada daerah gatal
R/ Dengan
mengoleskan
minyak dapat
mengurangi rasa
gatal
6 Gangguan tumbuh Tujuan : 1) Kaji faktor
Setelah diberikan asuhan penyebab
kembang berhubungan
keperawatan x 24 jam gangguan
dengan efek diharapkan pertumbuhan perkembangan
dan perkembangan anak 2) Kaji asupan nutrisi
ketidakmampuan fisik
meningkat anak (misalnya
Kriteria Hasil : kalori dan zat gizi)
1) Anak berfungsi optimal 3) Pantau
sesuai tingkatannya kecenderungan
2) Status nutrisi seimbang kenaikan dan
3) Status pertumbuhan penurunan berat
sesuai dengan usia anak badan
4) Kolaborasi dengan
ahli gizi, jumalah
kalori dan jenis
nutrisi yang
dibutuhkan untuk
memenuhi
persyaratan gizi
yang sesuai
g. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Pelaksanaan keperawatan adalah pemberian asuhan keperawatan yang
dilakukan secara langsung kepada pasien. Kemampuan yang harus dimiliki
perawat pada tahap implementasi adalah kemampuan komunikasi yang efektif,
kemampuan untuk menciptakan hubungan saling percaya dan saling
membantu, kemampuan tekhnik psikomotor, kemampuan melakukan observasi
sistematis, kemampuan memberikan pendidikan kesehatan, kemampuan
advokasi dan evaluasi. Tahap pelaksanaan keperawatan meliputi: fase
persiapan (preparation), tindakan dan dokumentasi.
Dalam melaksanakan tindakan keperawatan pada bayi berbeda dengan
orang dewasa. Kemampuan perawat dalam berkomunikasi dengan bayi
maupun dengan orang tua sangat diperlukan. Disamping itu harus
memperhatikan dampak hospitalisasi bagi bayi dan orang tua.
h. EVALUASI KEPERAWATAN
Evaluasi Keperawatan adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang
merupakan perbandingan sistematis dan terencana antara hasil akhir yang
teramati dan tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan.
Evaluasi dilakukan secara berkesinambungan dengan melibatkan klien
dan tenaga kesehatan lainnya. Evaluasi terbagi atas dua jenis, yaitu:
1. Evaluasi Formatif
Evaluasi formatif berfokus pada aktivitas proses keperawatan dan hasil
tindakan keperawatan. Evaluasi ini dilakukan segera setelah perawat
mengimplementasikan rencanan keperawatan guna menilai keefektifan
tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan. Perumusan evaluasi
formatif ini meliputi empat komponen yang dikenal dengan istilah SOAP,
yakni Subjektif (data berupa keluhan klien), Objektif (data hasil
pemeriksaan), Analisa data (perbandingan data dengan teori), dan Planning
(perencanaan).
2. Evaluasi Sumatif
Evaluasi Sumatif adalah evaluasi yang dilakukan setelah semua aktifitas
proses keperawatan selesai dilakukan. Evaluasi sumatif ini bertujuan
menilai dan memonitor kualitas asuhan keperawatan yang telah diberikan.
Metode yang dapat digunakan pada evaluasi jenis ini adalah melakukan
wawancara pada akhir layanan, menanyakan respon pasien dan keluarga
terkait layanan keperawatan, mengadakan pertemuan pada akhir pelayanan.
BAB IV
KESIMPULAN
Atresia Bilier adalah suatu keadaan dimana tidak adanya lumen pada traktus
ekstrahepatik yang menyebabkan hambatan aliran empedu atau karena adanya
proses inflamasi yang berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan progresif
pada duktus bilier ekstrahepartik sehingga terjadi hambatan aliran empedu
(kolestasis) yang mengakibatkan terjadinya penumpukan garam empedu dan
peningkatan bilirubin direk dalam hati dan darah (Julinar, dkk, 2009).
DAFTAR PUSTAKA