Pendahuluan
I.I Latar belakang
Atresia biliaris merupakan suatu kaeadaan yang relatif jarang, dimana tidak terdapatnya sebagian sistim
bilier antara duodenum dan hati sehingga terjadi hambatan aliran empedu yang mengakibatkan ikterus
neonatorum.1 Kondisi ini pertama kali dideskripsikan oleh John Thompson pada tahun 1892.2Atresia
bilier adalah penyakit yang berat , tetapi sangat jarang terjadi. Insidensi di Amerika kurang lebih
1:10000-15000 kelahiran hidup, dan lebih sering pada anak perempuan dibanding laki-laki. Penyakit ini
lebih sering pada bayi Asia dan Afrika –Amerika dibanding dengan bayi Kaukasia. Di Asia lebih banyak
terjadi pada bayi Cina dibandingkan dengan bayi Jepang . Penyakit ini merupakan penyebab tranplantasi
liver yang terbanyak di Amerika dan negara Barat lainny
1.2Rumusan Masalah
1. Apakah definisi dari Atresia bilier?
2. Apa sajakah klasifikasi dari Atresia bilier?
3. Apa sajakah faktor resiko dari Atresia bilier?
4. Apa sajakah etiologi dari Atresia bilier?
5. Apakah manifestasi klinis dari Atresia bilier?
6. Bagaimana penatalaksaan pada Atresia bilier?
7. Apa sajakah komplikasi dari Atresia bilier?
8. Bagaimana WOC dari Atresia bilier?
9. Bagaimana pengkajian pada klien dengan Atresia bilier?
10. Bagaimana diagnosa pada klien dengan Atresia bilier?
11. Bagaimana intervensi pada klien dengan Atresia bilier?
1.3 Tujuan
1. Tujuan Umum
Menjelaskan tentang konsep penyakit Atresia bilier serta pendekatan asuhan
keperawatannya.
2 Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi definisi dari Atresia bilier
2. Mengidentifikasi klasifikasi dari Atresia bilier
3. Mengidentifikasi faktor resiko dari Atresia bilier
4. Mengidentifikasi etilogi Atresia bilier
5. Mengidentifikasi manifestasi klinis Atresia bilier
6. Mengidentifikasi penatalaksaan pada Atresia bilier
7. Mengidentifikasi komplikasi pada Atresia bilier
8. Mengidentifikasi WOC pada Atresia bilier
9. Mengidentifikasi pengkajian pada klien dengan Atresia bilier
10. Mengidentifikasi diagnosa pada klien dengan Atresia bilier
11. Mengidentifikasi intervensi pada klien dengan Atresia bilier
1.4 Manfaat
Mahasiswa mampu memahami tentang penyakit yang berhubungan dengan sistem endokrin
(Atresia bilier) serta mampu menerapkan asuhan keperawatan pada klien dengan Atresia
bilier dengan pendekatan Student Center Learning.
BAB 2
KAJIAN PUSTAKA
2.4 Etiologi
Etiologi Atresia Billiary masih belum diketahui dengan pasti. Atresia Billiary terjadi
antara lain karena proses inflamasi berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan progresif
pada duktus bilier ekstra hepatik sehingga menyebabkan hambatan aliiran empedu. Ada juga
sebagian ahli yang menyatakan bahwa faktor genetik ikut berperan, yang dikaitkan dengan
adanya kelainan kromosom trisomi 17, 18 dan 21 serta terdapatnya anomalioragan pada 10-
30 % kasus Atresia Billiary.
Insiden Atresia Billiary adalah1/10000 sampai 1/14.000 kelahiran hidup. Rasio
Atresia Billiary pada anak perempuan dan laki-laki adalah + 1,4 : 1.Dari 904 kasus Atresia
Billiary yang terdaftar di lebih dari 100 institusi,Atresia Billiary terdapat pada Ras Kaukasia
(62 %), berkulit hitam (20 %), Hispanik (11 %), Asia (4,2 %) dan Indian Amerika (1,5 %).
Namun, sebagian besar penulis berpendapat bahwa atresia bilier adalah akibat proses
inflamasi yang merusak duktus bilier, bisa karena infeksi atau iskemi (Behrman, Richard E.
(1992).
Beberapa anak, terutama mereka dengan bentuk janin atresia bilier, seringkali
memiliki cacat lahir lainnya di jantung, limpa, atau usus.
Sebuah fakta penting adalah bahwa atresia bilier bukan merupakan penyakit
keturunan. Kasus dari atresia bilier pernah terjadi pada bayi kembar identik, dimana hanya 1
anak yang menderita penyakit tersebut. Atresia bilier kemungkinan besar disebabkan oleh
sebuah peristiwa yang terjadi selama hidup janin atau sekitar saat kelahiran. Kemungkinan
yang "memicu" dapat mencakup satu atau kombinasi dari faktor-faktor predisposisi berikut:
a) infeksi virus atau bakteri
b) masalah dengan sistem kekebalan tubuh
c) komponen yang abnormal empedu
d) kesalahan dalam pengembangan saluran hati dan empedu
e) hepatocelluler dysfunction
2.5 Manifestasi Klinis
Bayi dengan atresia bilier biasanya muncul sehat ketika mereka lahir. Gejala
penyakit ini biasanya muncul dalam dua minggu pertama setelah hidup. Gejala-gejala
termasuk:
a) Ikterus, kekuningan pada kulit dan mata karena tingkat bilirubin yang sangat
tinggi (pigmen empedu) tertahan di dalam hati dan akan dikeluarkan dalam aliran
darah.
Jaundice disebabkan oleh hati yang belum dewasa adalah umum pada bayi baru
lahir. Ini biasanya hilang dalam minggu pertama sampai 10 hari dari kehidupan.
Seorang bayi dengan atresia bilier biasanya tampak normal saat lahir, tapi ikterus
berkembang pada dua atau tiga minggu setelah lahir
b) Urin gelap yang disebabkan oleh penumpukan bilirubin (produk pemecahan dari
hemoglobin) dalam darah. Bilirubin kemudian disaring oleh ginjal dan dibuang
dalam urin.
c) Tinja berwarna pucat, karena tidak ada empedu atau pewarnaan bilirubin yang
masuk ke dalam usus untuk mewarnai feses. Juga, perut dapat menjadi bengkak
akibat pembesaran hati.
d) Penurunan berat badan, berkembang ketika tingkat ikterus meningkat
e) degenerasi secara gradual pada liver menyebabkan jaundice, ikterus, dan
hepatomegali, Saluran intestine tidak bisa menyerap lemak dan lemak yang larut
dalam air sehingga menyebabkan kondisi malnutrisi, defisiensi lemak larut dalam
air serta gagal tumbuh
Pada saat usia bayi mencapai 2-3 bulan, akan timbul gejala berikut:
a) Gangguan pertumbuhan yang mengakibatkan gagal tumbuh dan malnutrisi.
b) Gatal-gatal : karena asam empedu yang menumpuk dan menyebar kedalam aliran
darah yang menyebabkan kulit merasa gatal
c) Rewel
d) splenomegali menunjukkan sirosis yang progresif dengan hipertensi portal /
Tekanan darah tinggi pada vena porta (pembuluh darah yang mengangkut darah
dari lambung, usus dan limpa ke hati).
2.6 Patofisiologi
3. Atresia bilier terjadi karena proses inflamasi berkepanjangan yang menyebabkan
kerusakan progresif pada duktus bilier ekstrahepatik sehingga menyebabkan hambatan
aliran empedu, dan tidak adanya atau kecilnya lumen pada sebagian atau keseluruhan
traktus bilier ekstrahepatik juga menyebabkan obstruksi aliran empedu. Obstruksi
saluran bilier ekstrahepatik akan menimbulkan hiperbilirubinemia terkonjugasi yang
disertai bilirubinuria. Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik dapat total maupun parsial.
Obstruksi total dapat disertai tinja yang alkoholik. Penyebab tersering obstruksi bilier
ekstrahepatik adalah : sumbatan batu empedu pada ujung bawah ductus koledokus,
karsinoma kaput pancreas, karsinoma ampula vateri, striktura pasca peradangan atau
operasi.
4. Obstruksi pada saluran empedu ekstrahepatik menyebabkan obstruksi aliran normal
empedu dari hati ke kantong empedu dan usus. Akhirnya terbentuk sumbatan dan
menyebabkan cairan empedu balik ke hati ini akan menyebabkan peradangan, edema,
degenerasi hati. Dan apabila asam empedu tertumpuk dapat merusak hati. Bahkan hati
menjadi fibrosis dan cirrhosis. Kemudian terjadi pembesaran hati yang menekan vena
portal sehingga mengalami hipertensi portal yang akan mengakibatkan gagal hati.
5. Jika cairan empedu tersebar ke dalam darah dan kulit, akan menyebabkan rasa gatal.
Bilirubin yang tertahan dalam hati juga akan dikeluarkan ke dalam aliran darah, yang
dapat mewarnai kulit dan bagian putih mata sehingga berwarna kuning. Degerasi
secara gradual pada hati menyebabkan joundice, ikterik dan hepatomegaly. Karena
tidak ada aliran empedu dari hati ke dalam usus, lemak dan vitamin larut lemak tidak
dapat diabsorbsi, kekurangan vitamin larut lemak yaitu vitamin A, D,E,K dan gagal
tumbuh.Vitamin A, D, E, K larut dalam lemak sehingga memerlukan lemak agar dapat
diserap oleh tubuh. Kelebihan vitamin-vitamin tersebut akan disimpan dalam hati dan
lemak didalam tubuh, kemudian digunakan saat diperlukan. Tetapi mengkonsumsi
berlebihan vitamin yang larut dalam lemak dapat membuat anda keracunan sehingga
menyebabkan efek samping seperti mual, muntah, dan masalah hati dan jantung
1. Vitamin A
Vitamin A terdapat dalam makanan berwarna kuning-oranye, berdaun hijau gelap dan dalam
bentuk retinol pada makanan yang berasal dari hewan. Wortel, mangga, labu, pepaya, bayam,
brokoli, selada air, kuning telur, susu dan hati adalah makanan yang kaya vitamin A.
Vitamin A berperan dalam pertumbuhan dan pemeliharaan tulang dan jaringan epitel,
meningkatkan kekebalan, dan memerangi radikal bebas (antioksidan). Kekurangan vitamin A
adalah penyebab utama kebutaan pada anak-anak di banyak negara berkembang.
2. Vitamin D
Ikan berlemak seperti sarden, mackerel, tuna, telur, makanan yang diperkaya seperti margarin
dan sereal adalah sumber vitamin D. Vitamin ini sangat penting untuk pertumbuhan dan
pemeliharaan tulang karena mengontrol penyerapan kalsium dan fosfor yang penting untuk
metabolisme tulang. Kekurangan vitamin D pada anak-anak akan menyebabkan penyakit
rakhitis, dan pada orang dewasa menyebabkan osteomalasia, kondisi di mana tulang menjadi
lemah dan lunak. Vitamin D dapat diproduksi tubuh saat kulit menerima ultraviolet dari sinar
matahari. Kekurangan vitamin D dapat terjadi pada mereka yang memiliki diet rendah vitamin D
atau jarang terkena sinar matahari. Dosis besar vitamin dapat menyebabkan kelebihan kalsium,
terutama pada anak-anak, yang mengganggu pembentukan tulang. Namun, hal tersebut sangat
jarang terjadi. Tidak ada rekomendasi mengenai diet vitamin D untuk orang dewasa yang hidup
normal dan cukup terpapar sinar matahari.
3. Vitamin E
Vitamin E hadir dalam minyak wijen, kacang kedelai, beras, jagung dan biji bunga matahari,
kuning telur, kacang-kacangan dan sayuran. Vitamin ini adalah antioksidan penting yang
mencegah penuaan dini sel-sel, merangsang sistem kekebalan tubuh, mengurangi risiko katarak,
melindungi dari penyakit jantung, mencegah penyakit kanker dan menjaga kesehatan kulit.
Kekurangan vitamin E pada manusia jarang terjadi, kecuali pada bayi prematur dan mereka yang
memiliki masalah pencernaan.
4. Vitamin K
Selada, kubis, kembang kol, bayam, kangkung, susu, dan sayuran berdaun hijau tua adalah
sumber terbaik vitamin ini. Vitamin K terlibat dalam pembekuan darah dan kekurangannya dapat
menyebabkan perdarahan berlebihan dan kesulitan dalam penyembuhan. Kekurangan vitamin ini
jarang terjadi, kecuali pada bayi baru lahir dan mereka yang memiliki masalah penyerapan atau
metabolisme vitamin, seperti penderita penyakit hati kronis.
Obstruksi atau tidak adanya
Saluran empedu ekstrahepatik
kembali ke liver
peradangan, oedema Malabsorbs lemak, vitamin
degenerasi hepatic
Fibrosis Mal
nutrisi
Gagal hati
gagal tumbuh
Gambar patologi: sumber dari Aswhill and Droske (1997). Nursing Care of
Children:
1) Laboratorium rutin dan khusus untuk menentukan etiologi dan mengetahui fungsi
hati (darah,urin, tinja)
2) Pencitraan, untuk menentukan patensi saluran empedu dan menilai parenkim hati
3) Biopsi hati, terutama bila pemeriksaan lain belum dapat menunjang diagnosis
atresia bilier.
2.9 Pemeriksaan laboratorium
a) Pemeriksaan rutin
Pada setiap kasus kolestasis harus dilakukan pemeriksaan kadar komponen
bilirubin untuk membedakannya dari hiperbilirubinemia fisiologis. Selain itu
dilakukan pemeriksaan darah tepi lengkap, uji fungsi hati, dan gamma-GT. Kadar
bilirubin direk < 4 mg/dl tidak sesuai dengan obstruksi total. Peningkatan kadar
SGOT/SGPT > 10 kali dengan pcningkatan gamma-GT < 5 kali, lebih mengarah ke
suatu kelainan hepatoseluler. Sebaliknya, peningkatan SGOT < 5kali dengan
peningkatan gamma-GT > 5 kali, lebih mengarah ke kolestasis ekstrahepatik.
Menurut Fitzgerald, kadar gamma-GT yang rendah tidak menyingkirkan
kemungkinan atresia bilier. Kombinasi peningkatan gamma-GT, bilirubin serum total
atau bilirubin direk, dan alkalifosfatase mempunyai spesifisitas 92,9%
dalam menentukan atresia bilier.
a) Pemeriksaan urine : pemeriksaan urobilinogen penting artinya pada pasien yang
mengalami ikterus. Tetapi urobilin dalam urine negatif. Hal ini menunjukkan adanya
bendungan saluran empedu total.
b) Pemeriksaan feces : warna tinja pucat karena yang memberi warna pada tinja /
stercobilin dalam tinja berkurang karena adanya sumbatan.
c) Fungsi hati : bilirubin, aminotranferase dan faktor pembekuan : protombin time,
partial thromboplastin time.
b) Pemeriksaan khusus
Pemeriksaan aspirasi duodenum (DAT) merupakan upaya diagnostik yang cukup
sensitif, tetapi penulis lain menyatakan bahwa pemeriksaan ini tidak lebih baik dari
pemeriksaan visualisasi tinja. Pawlawska menyatakan bahwa karena kadar bilirubin
dalam empedu hanya10%, sedangkan kadar asam empedu di dalam empedu adalah
60%, maka tidak adanya asam empedu di dalam cairan duodenum dapat menentukan
adanya atresia bilier.
2.10Pencitraan
a) Pemeriksaan ultrasonografi
Theoni mengemukakan bahwa akurasi diagnostic USG 77% dan dapat
ditingkatkan bilapemeriksaan dilakukan dalam 3 fase, yaitu pada keadaan puasa, saat
minum dan sesudah minum.Bila pada saat atau sesudah minum kandung empedu
berkontraksi, maka atresia bilier kemungkinan besar (90%) dapat disingkirkan.
Dilatasi abnormal duktus bilier, tidak ditemukannya kandung empedu, dan
meningkatnya ekogenitas hati, sangat mendukung diagnosis atresia bilier. Namun
demikian, adanya kandung empedu tidak menyingkirkan kemungkinan atresia bilier,
yaitu atresia bilier tipe I / distal.
b) Sintigrafi hati
Pemeriksaan sintigrafi sistem hepatobilier dengan isotop Technetium 99m
mempunyai akurasi diagnostik sebesar 98,4%. Sebelum pemeriksaan dilakukan,
kepada pasien diberikan fenobarbital 5 mg/kgBB/hari per oral, dibagi dalam 2 dosis
selama 5 hari. Pada kolestasisintrahepatik pengambilan isotop oleh hepatosit
berlangsung lambat tetapi ekskresinya ke usus normal, sedangkan pada atresia bilier
proses pengambilan isotop normal tetapi ekskresinya keusus lambat atau tidak terjadi
sama sekali. Di lain pihak, pada kolestasis intrahepatik yang beratjuga tidak akan
ditemukan ekskresi isotop ke duodenum. Untuk meningkatkan sensitivitas
danspesifisitas pemeriksaan sintigrafi, dilakukan penghitungan indeks hepatik
(penyebaran isotop dihati dan jantung), pada menit ke-10. Indeks hepatik > 5 dapat
menyingkirkan kemungkinanatresia bilier, sedangkan indeks hepatik < 4,3
merupakan petunjuk kuat adanya atresia bilier.Teknik sintigrafi dapat digabung
dengan pemeriksaan DAT, dengan akurasi diagnosis sebesar 98,4%. Torrisi
mengemukakan bahwa dalam mendetcksi atresia bilier, yang terbaik
adalahmenggabungkan basil pemeriksaan USG dan sintigrafi.
c) Liver Scan
Scan pada liver dengan menggunakan metode HIDA (Hepatobiliary
Iminodeacetic Acid). Hida melakukan pemotretan pada jalur dari empedu dalam
tubuh, sehingga dapat menunjukan bilamana ada blokade pada aliran empedu.
d) Pemeriksaan kolangiografi
Pemeriksaan ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreaticography).
Merupakan upaya diagnostik dini yang berguna untuk membedakan antara atresia
bilier dengan kolestasis intrahepatik. Bila diagnosis atresia bilier masih meragukan,
dapat dilakukan pemeriksaan kolangiografi durante operasionam.
Sampai saat ini pemeriksaan kolangiografi dianggap sebagai baku emas
untuk membedakan kolestasis intrahepatik dengan atresia bilier.
2.11Biopsi hati
Gambaran histopatologik hati adalah alat diagnostik yang paling dapat diandalkan. Ditangan
seorang ahli patologi yang berpengalaman, akurasi diagnostiknya mencapai 95%,sehingga dapat
membantu pengambilan keputusan untuk melakukan laparatomi eksplorasi, danbahkan berperan
untuk penentuan operasi Kasai. Keberhasilan aliran empedu pasca operasi Kasai di 6 tukan oleh
diameter duktus bilier yang paten di daerah hilus hati. Bila diameter duktus100 200 u atau
150 400 u maka aliran empedu dapat terjadi. Desmet dan Ohya menganjurkan agar dilakukan
frozen section pada saat laparatomi eksplorasi, untuk menentukan apakah portoenterostomi dapat
dikerjakan. Gambaran histopatologik hati yang mengarah ke atresia bilier mengharuskan
intervensi bedah secara dini. Yang menjadi pertanyaan adalah waktu yang paling optimal untuk
melakukan biopsi hati. Harus disadari, terjadinya proliferasi duktuler (gambaran histopatologik
yang menyokong diagnosis atresia bilier tetapi tidak patognomonik) memerlukan waktu. Oleh
karena itu tidak dianjurkan untuk melakukan biopsi pada usia < 6 minggu
2.12Penatalaksanaan
1. Terapi medikamentosa
1) Memperbaiki aliran bahan-bahan yang dihasilkan oleh hati terutama asam empedu
(asamlitokolat), dengan memberikan :
a) Fenobarbital 5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis, per oral.
b) Fenobarbital akan merangsang enzimglukuronil transferase (untuk mengubah
bilirubin indirek menjadi bilirubin direk); enzimsitokrom P-450 (untuk
oksigenisasi toksin), enzim Na+ K+ ATPase (menginduksi
aliranempedu). Kolestiramin 1 gram/kgBB/hari dibagi 6 dosis atau sesuai jadwal
pemberian susu. Kolestiraminmemotong siklus enterohepatik asam empedu
sekunder
2) Melindungi hati dari zat toksik, dengan memberikan : Asam ursodeoksikolat, 310
mg/kgBB/hari, dibagi 3 dosis, per oral. Asam ursodeoksikolat mempunyai daya ikat
kompetitif terhadap asam litokolat yang hepatotoksik.
2. Terapi nutrisi
Terapi yang bertujuan untuk memungkinkan anak tumbuh dan berkembang seoptimal
mungkin, yaitu :
1) Pemberian makanan yang mengandung medium chain triglycerides (MCT) untuk
mengatasi malabsorpsi lemak dan mempercepat metabolisme. Disamping itu,
metabolisme yang dipercepat akan secara efisien segera dikonversi menjadi
energy untuk secepatnya dipakai oleh organ dan otot, ketimbang digunakan
sebagai lemak dalam tubuh. Makanan yang mengandung MCT antara lain seperti
lemak mentega, minyak kelapa, dan lainnya.
2) Penatalaksanaan defisiensi vitamin yang larut dalam lemak. Seperti vitamin A, D,
E, K
3. Terapi bedah
a. Kasai Prosedur
Prosedur yang terbaik adalah mengganti saluran empedu yang mengalirkan empedu keusus.
Tetapi prosedur ini hanya mungkin dilakukan pada 5-10% penderita. Untuk melompati atresia
bilier dan langsung menghubungkan hati dengan usus halus, dilakukan pembedahan yang disebut
prosedur Kasai. Biasanya pembedahan ini hanya merupakan pengobatan sementara dan pada
akhirnya perlu dilakukan pencangkokan hati.
a)Laboratorium
1. Bilirubin direk dalam serum meninggi. Normalnya (0,3 – 1,9 mg/dl)
2. Bilirubin indirek serum meninggi karena kerusakan parenkim hati akibat bendungan
empedu yang luas. Normalnya (1,7 – 7,1 mg/dl)
3. Tidak ada urobilinogen dalam urin.
4. Pada bayi yang sakit berat terdapat peningkatan transaminase alkalifosfatase (5-
20 kali lipat nilai normal) serta traksi-traksi lipid (kolesterol fosfolipid trigliserol).
b) Pemeriksaan Diagnostik
1.USG yaitu untuk mengetahui kelainan kongenital penyebab
kolestasis ekstra hepatik (dapat berupa dilatasi kristik saluran empedu).
2. Memasukkan pipa lambung sampa duodenum lalu cairan duodenum diaspirasi. Jika
tidak ditemukan cairan empedu, dapat berarti atresia empedu terjadi.
3. Sintigrafi Radio Kolop Hepatobilier untuk mengetahui kemampuan
hati memproduksi empedu dan mengekskresikan ke saluran empedu sampai
tercurah ke duodenum. Jika tidak ditemukan empedu di duodenum, maka dapat
berarti terjadi katresia intrahepatik.
4. Biopsi hati perkutan ditemukan hati berwarna coklat kehijauan dan noduler.
Kandung empedu mengecil karena kolaps. 75 % penderita tidak ditemukan lumen
yang jelas.
3.2 Analisis Data
no Data etiologi Masalah keperawatan
1 DS: pasien menangis, rewel Inflamasi yg progresiv hypertermi
DO: kerusakan
Suhu tubuh meningkat progresif pada
(38,4°C) duktus bilier
Takikardi (103x/menit) ekstrahepatik
RR meningkat >24x/menit
Mekanisme tubuh untuk
meningkatkan suhu
tubuh
Hypertermi
2 DS : pasien terlihat sesak. cairan asam empedu Pola napas tidak efektif
DO : RR= 35x/menit balik ke hati
Penggunaan otot bantu pernapasan Peradangan sel hati
Napas pendek
Hepatomegali
(pembesaran hepar)
distensi abdomen
menekan diafragma
peningkatan Komplain
paru
Kebutuhan oksigen
meningkat
Frekuensi napas
meningkat
3 DS: Tidak mau makan, rewel, Obstruksi aliran dari hati Gangguan pemenuhan
mual/muntah. ke dalam usus Nutrisi kurang dari
Do: kebutuhan tubuh
Berat badan turun (6 kg menjadi gangguan penyerapan
5,1 kg) ,muntah, konjungtiva lemak dan vitamin larut
lemak (A, D, E, dan K)
anemis.
Nutrisi kurang dari
kebutuhan
4 Ds:- cairan asam empedu Kerusakan integritas
Do: balik ke hati kulit
Anak tampak tidak nyaman
dengan posisi tidurnya itching dan akumulasi
Terdapat pruritus di daerah pantat dari toksik
& punggung anak
Albumin 3,27 g/dL tersebar ke dalam darah
dan kulit
(N:3,8-5,4)
Pruiritis (gatal) pd kulit
Diare
6 DS : - Pembesaran hepar Kekurangan volume
DO : Penurunan turgor kulit
cairan
Frekuensi nadi meningkat > Distensi abdomen
100x/menit
Produksi keringat meningkat Perut terasa penuh
Input = 700 ml/hr
Output = 1000 ml/hr Mual muntah
gas. empedu.
medium chain triglycerides (MCT) lemak serta vitamin yang larut dalam
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Atresia bilier (biliary atresia) adalah suatu penghambatan di dalam pipa/saluran-
saluran yang membawa cairan empedu (bile) dari liver menuju ke kantung empedu
(gallbladder). Ini merupakan kondisi congenital, yang berarti terjadi saat kelahiran.
Etiologi atresia bilier masih belum diketahui dengan pasti. Sebagian ahli menyatakan bahwa
faktor genetik ikut berperan, yang dikaitkan dengan adanya kelainan kromosom trisomi17,
18 dan 21; serta terdapatnya anomali organ pada 30% kasus atresia bilier. Namun, sebagian
besar penulis berpendapat bahwa atresia bilier adalah akibat proses inflamasi yang
merusak duktus bilier, bisa karena infeksi atau iskemi.
Bayi dengan atresia bilier biasanya muncul sehat ketika mereka lahir. Gejala
penyakit ini biasanya muncul dalam dua minggu pertama setelah hidup. Gejala-gejala seperti
Ikterus, Jaundice Urin gelap Tinja berwarna pucat, Penurunan berat badan dan ini
berkembang ketika tingkat ikterus meningkat.
4.2 Saran
Perlu deteksi dini kasus atresia bilier dan pemberian penatalaksanaan yang tepat demi
tercapainya pertumbuhan fisik dan perkembangan mental yang optimal bagi penderita
atresia bilier.
DAFTAR PUSTAKA
Behrman, Richard E. (1992). Ilmu Kesehatan Anak Ed. 2. Jakarta: EGC.David. (1994).
Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Kumar, Robbins Cotran. (1999). Buku Saku Robbins Dasar Patologi Penyakit Ed. 5.
Jakarta: EGC.
Markum, A. H. (1999). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Gaya Baru.
Sjamsuhidajat dan Win De Jong. (1998). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Staff Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. (2000). Ilmu Kesehatan Anak Ed. 1.
Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI
Oldham, Keith T.et all (eds); Biliary Atresia at Principles and Practice of Pediatric
Surgery, 4th Edition.
Carpenito, Lynda Juall. 2003. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta : EGC.
Widodo Judarwanto. 2010. Atresia Bilier, Waspadai Bila Kuning Bayi Baru Lahir yang
berkepanjangan. From : url :http://koranindonesiasehat.wordpress.com/2012/02/07/atresia-bilier
waspadai-bila-kuning-bayi-baru-lahir-yang-berkepanjangan/
Steven M. Biliary Atresia. Emedicine. 2009. Available From: url: http:// emedicine.
medscape.com/ article/927029-overview
Sjamsul Arief. Deteksi Dini Kolestasis Neonatal. Divisi Hepatologi Ilmu Kesehatan Anak FK
UNAIR.Surabaya. 2006. Available from : url :http://www.pediatrik.com/pkb/20060220-ena504-
pkb.pdf
WINDA JULYARNI
MARIA DEDA
MARETA M BOKY
YUBELIN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS CENDERAWASIH
TAHUN 2018/2019